Kajian Literatur Hambatan, Tantangan and Solusi Mobilisasi Pendanan untuk Pembiayaan Proyek Efisiensi Energi FGD Pembiayaan Efisiensi Energi Direktorat Jenderal EBTKE KESDM & GIZ Jakarta, 13 April 2016 Potensi Investasi dan Tantangan Mewujudkan Kegiatan Efisiensi Energi di Indonesia Perbandingan kebutuhan investasi untuk mencapai target kebijakan konservasi energi negara-negara Asia Tenggara Negara Strategi/Rencana Aksi Investasi yang dibutuhkan ($ juta) Vietnam Mengurangi konsumsi energi sebesar 3-5% (2010) dan 5-8% (2010-2015) 649 Malaysia Mengurangi konsumsi energi sebesar 10% dari tahun 2011-2030 901 Indonesia Mengurangi intensitas energi sebesar 1%/tahun dan mengurangi elastisitas energi dibawah 1 pada 2025 6019 Thailand Mengurangi intensitas energi sebesar 25% pada 2030 2006 Singapura Mengurangi intensitas energi sebesar 20% (2020) dan 8% (2030) Sumber: ADB, 2013 97 Investasi untuk efisiensi energi relatif rendah dibandingkan dengan total investasi di sektor energi Mengapa rendah? • Biaya transaksi EE yang dikeluarkan oleh energy service company atau lembaga pembiayaan relatif tinggi. • Ketersedian informasi tentang teknologi dan pilihan-pilihan intervensi tidak tersedia secara publik. • Akses terhadap profesional yang dapat membantu untuk pendanaan dan/atau implementasi terbatas. • Persepsi bahwa capex EE tinggi dan lembanga keuangan tidak bersedia membiayai proyek efisiensi energi. Investasi efisiensi energi di Indonesia terkendala 3 (tiga) hal: kerangka kebijakan, pendanaan dan kapasitas stakeholder • Kerangka kebijakan dan insentif yang terbatas • • • • • Kebijakan energi nasional dan regulasi pendukung (efiensiensi energi) Koherensi kebijakan energi dan tujuan Insentif fiskal dan fasilitas pendanaan Kepemilikan asing (foreign ownership) Kapasitas institusi regulator • Pendanaan • Lembaga keuangan memiliki perangkat pendanaan, pengetahuan, serta pemahanan tentang kesempatan dari efisiensi energi yang terbatas, • Lembaga keuangan cenderung menetapkan jaminan (collateral) yang tinggi saat memberikan pendanaan. Sumber: ReEx Capital (2011), Vivid Economics (2015) Lanjutan.. • Kapasitas yang terbatas: • Keterbatasan organisasi/lembaga (ESCO) yang memiliki kompetensi yang memadai untuk memberikan saran/jasa untuk efisiensi energi. • Minimnya pengetahuan perusahaan/pelaku usaha tentang peluang dan manfaat efisiensi energi dengan teknologi yang tersedia saat ini. • Keterbatasan kapasitas bank untuk melakukan penilaian (appraisal) proyek efisiensi energi. • Keterbatasan fasilitas lab untuk melakukan pengujian untuk penentuan ranking efisiensi energi. Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat kerangka kebijakan fiskal yang komprehensif untuk mendukung implementasi proyek efisiensi energi • Kajian yang dilakukan oleh Vivid Economics untuk Kementerian Keuangan & KESDM (2015) merekomendasikan seperangkat kerangka kerja kebijakan fiskal yang komprehensif untuk mengatasi tantangan kebijakan, pendanaan dan kapasitas: • Pembentukan Energy Efficiency Revolving Fund – yang telah dirintis sejak 2011/2012. • Pembentukan instrumen dan mekanisme insentif fiskal untuk mendukung implementasi efisiensi energi di industri dan bangunan komersial sesuai ketentuan PP 70/2009 • Pemberian insentif fiskal untuk bangunan yang hemat energi (mis. Insentif PBB) • Mereformasi sistem pelelangan pemerintah (government procurement system) untuk mendorong pemakaian teknologi yang efisien dan penerapan energy performance standard contract (ESPC) oleh ESCO. Pembiayaan Proyek Efisiensi Energi di Indonesia Pelaksanaan proyek efisiensi energi ditentukan oleh interaksi berbagai faktor yang pada akhirnya mempengaruhi keputusan pemilik bisnis. Government Policy & regulation Energy price/energy expenses Access to technology suppliers/manufacture Sound project idea and plan Business Owner Internal drivers Incentives & Disincentives Enabling environment Access to finance/availability of financial support In-house/Outsource technical resources available: internal staff, external consultant, ESCO Business environment/competition Ketersediaan pendanaan dan kebutuhan pendanaan untuk proyek efisiensi energi yang ada di Indonesia tidak sesuai Ketersediaan pendanaan (supply) Kebutuhan pendanaan (demand) • Opsi modalitas pendanaan terbatas, termasuk instrumen Public Finance Mechanism (PFM) • Pembiayaan korporasi (corporate finance) • Pinjaman > IDR 5 milyar (min. IDR 10-25 milyar) • Asset-based lending • Pinjaman diberikan untuk ekspansi dan modal kerja • Instrumen hutang dan membutuhkan jaminan • Tenor singkat (3-5 tahun) • Instrumen pendanaan untuk mitigasi resiko tdk tersedia • Pendanaan “murah” untuk persiapan dan pengembangan proyek efisiensi energi (mis. Hibah) • Pembiayaan proyek (project finance), non-recourse • Pinjaman kecil (small loan) • Cost-saving sebagai collateral • Perusahaan baru, minim asset (mis: start-up), tanpa kemampuan untuk memberikan jaminan (asset or dana tunai) • Pinjaman diperlukan untuk investasi peralatan baru dan/atau aktivitas retrofit • Tenor lebih relax • Instrumen pendanaan untuk mitigasi resiko Salah satu tantangan terbesar adalah ketiadaan pembiayaan komersial yang sesuai dengan kebutuhan pendanaan proyek efisiensi energi • Efisiensi energi lazim tidak dipandang sebagai investasi yang menguntungkan dan merepresentasikan proporsi yang sangat kecil dari pendanaan bank atau lembaga keuangan lainnya. • Lembaga keuangan/pembiayaan lazimnya menawarkan asset-based lending, terbatas pada 50%-70% dari kebutuhan capital cost, yang membutuhkan: • 30%-50% ekuitas (dan tambahan pinjaman dari pihak lain) • 100%-120% collateral atau jaminan atas nilai pinjaman • Pendekatan penghematan biaya merupakan pendekatan yang non-konvensional. Lembaga keuangan lazimnya menilai tambahan pendapatan (additional revenue) dari proyek yang didanai, bukan penghematan biaya (cost-saving). • Nilai transaksi (loan) relatif kecil vs. kompleksitas dalam proses persiapan kredit, dan biaya transaksi bank yang tidak sepadan. Model pembiayaan proyek efisiensi energi konvensional Debitor – host company Loan repayment (not based on energy saving) Loan collateral/guarantee (fixed asset) Provide assed-based loan Equity Equity finance (to supplement the loan) Keterbatasan pendanaan ini terjadi karena keterbatasan informasi dan kapasitas lembaga keuangan atas model bisnis efisiensi energi • Bank dan lembaga keuangan lainnya tidak memiliki: • Informasi yang cukup dan pengetahuan tentang manfaat dan keuntungan tindakan efisiensi energi. • Pemahaman atas model bisnis efisiensi energi – energy savings performance contract/ESCO model. • Perangkat (tool) dan kapasitas internal serta kecakapan yang memadai untuk menilai kelayakan (appraisal) dan resiko proyek efisiensi energi. • Minimnya kepercayaan terhadap nilai penghematan energi sebagai hasil intervensi dan penerapan tindakan efisiensi energi. • Regulasi perbankan yang membatasi perbankan melakukan inovasi pembiayaan (misalnya prinsip kehati-hatian bank – prinsip 5C). Pemahaman perusahaan (industri/gedung komersial terhadap manfaat efisiensi energi minim/terbatas • Intervensi untuk melakukan efisiensi energi dipandang sebagai investasi infrastruktur (jangan diganti kalau belum rusak) • Nilai manfaat tindakan/investasi efisiensi energi tidak diketahui – investasi baru vs. ekspansi bisnis inti. • Pemahaman bahwa pembiayaan proyek efisiensi energi (PEE) melalui hutang dapat mengganggu kapasitas kredit dari bisnis inti. • PEE tidak dapat berkompetisi capital untuk bisnis inti dengan hurdle rate <1 th. • Pimpinan perusahaan tidak menyadari nilai ekonomi dari penghematan energi, tidak percaya terhadap efek dari PEE, tidak memahami ESPC dan M&V sebagai instrumen yang menjamin terjadinya penghematan yang direncanakan. • Nilai investasi relatif kecil dibandingkan dengan investasi pada bisnis inti untuk mendapatkan perhatian Direksi/CEO. Keterbatasan penyedia jasa dan lembaga yang kompeten secara teknis dan finansial untuk melakukan proyek efisiensi energi juga menjadi kendala. • Keterbatasan jumlah Energy Service Company (ESCO) yang memiliki kompetensi teknis yang memadai untuk melaksankan Energy Service Performance Contracting (ESPC). • Kemampuan pendanaan dan akses pendanaan perusahaan penyedia jasa untuk implementasi proyek efisiensi energi sangat rendah. • Akses terhadap klien yang potensial rendah. • Tenaga ahli (individual) yang berafliasi degnan perusahaan penyedia jasa efisiensi energi/ESCO menguasai perangkat yang instrumental untuk melakukan ESPC secara mumpuni (standar audit energi, Investment Grade Energy Audit/IGA, M&V protocol, dsb). Minimnya regulasi dan informasi yang dapat mendorong pelaksanaan efisiensi energi oleh industri/gedung • Regulasi • Batas pengguan > 6000 TOE untuk melaksanakan manajemen energi dalam PP 70/2009 dinilai terlalu tinggi. • Pengaturan mengenai ESCO – standarisasi dan kompetensi. • Minim aturan soal efisiensi energi untuk bangunan gedung (komersial). • Insentif • Instrumen pendanaan: hibah, jaminan/guarantee instrument, pinjamana bunga rendah • Audit energi: prosedur, proses, kualitas • Informasi • • • • Informasi teknologi hemat energi untuk industri dan biaya serta keekonomiannya. Informasi tentang penyedia jasa (appraisal, energy audit, instalasi, M&V, dsb). Informasi tentang sumber dan fasilitas pendanaan/pembiayaan (domestik dan luar negeri). Help desk/clearing house. Rekomendasi (1) • Intervensi kebijakan • Membuat kebijakan efisiensi energi sebagai mandatory untuk industri dan bangunan komersial (tidak hanya untuk intensive energy industry). • Reformasi sistem procurement sektor publik sehingga instansi pemerintah dan pemerintah daerah dapat membeli perangkat hemat energi dan melakukan kontrak kinerja (performance contracting) untuk efisiensi energi. • Membuat aturan insentif untuk investasi efisiensi energi. • Membangun kapasitas teknis dan kemampuan finansial ESCO. • Mendorong lembaga keuangan untuk mengembangkan produk finansial baru yang sesuai dengan kebutuhan pendanaan proyek efisiensi energi. • Membangun kapasitas bank dan lembaga keuangan dalam pembiayaan proyek energi efficiency. • Information-hub/clearing house • Menyusun panduan project finance untuk proyek efisiensi energi bagi bank/lembaga keuangan. Rekomendasi (2) • Membentuk project agregator untuk dapat mengumpulkan portfolio PEE dan memobilisasi pendanaan dari investor atau pendanaan dari lembaga pendanaan. • Pengembangan instrumen pendanaan inovatif • Fasilitas dana hibah untuk pengembangan proyek (mis: melakukan IGA) • Menyediakan instrumen penjaminan untuk melindungi pembiayaan SME dan ESCO’s performance contract. • Subsidi pembiayaan misalnya subsidi bunga pinjaman proyek energi efisiensi, transaksi pembelian teknologi hemat energi. • Fasilitas pinjaman jangka panjang untuk portfolio aggregator dengan tenor pinjaman yang lebih panjang. Contioh opsi skema garansi penghematan energi dari proyek efisiensi energi Debt service shortfall payment Guarantor/ Insurer Financial Institution/Bank Saving guarantee contract Asset pledges • • • Memberikan garansi penghematan energi (energy saving) dari PEE kepada LK/Bank. Penjamin memberikan jaminan kekurangan penghematan energi yang dibutuhan oleh peminjam untuk membayar pinjaman kepada LK/Bank ESCO memberikan jaminan kinerja penghematan energi dari proyek yang dikerjakan SG fees Debt service payment Loan proceeds Project Host/Borrower Loan agreement Energy Saving Performance Contract ESCO contracts Flow of funds Rekomendasi (3) • Perluasan pasar • Pengembangan portfolio proyek efisiensi energi, misalnya melalui audit energi awal (detail audit), dan Investment Grade Audit (IGA). • Menciptakan permintaan yang stabil terhadap produk finansial yang khusus untuk efisiensi energi melalui pengembangan proyek-proyek yang berpeluang untuk melaksanakan energy service performance contract. • Mendorong perusahaan mengoptimalkan pemanfaatan off-sheet balance financing untuk proyek retrofit skala korporat, dan upgrading program. • Perlunya kerjasama ESCO dan lembaga keuangan untuk melakukan penilaian kelayakan dan resiko PEE, serta melakukan pemasaran ke client potensial. • Model PEE berbasis pada ESPC sebagai sarana belajar ESCO, institusi pendanaan dan host (industri/bangunan gedung). Terima Kasih [email protected] | www.iesr.or.id