Pengertian Politik

advertisement
Makalah Kapita Selekta Ilmu Sosial
Pengertian Politik
Penyusun:
Santi Novarini
44111010136
Universitas Mercu Buana
Fakultas Ilmu komunikasi
Jakarta
2011-2012
1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas limpahan rahmat dan petunjuk dari-Nya saya
dapat menyelesaikan makalah untuk tugas akhir mata kuliah kapita selekta ilmu sosial.
Saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna bila dibandingkan makalah
lain yang mungkin lebih lengkap dan memiliki sumber literatur yang terbarukan. Hal ini
tentunya akan menjadikan diri saya secara pribadi untuk terus menambah wawasan akan
pengetahuan yang luas tentang ilmu politik.
Saya meminta maaf apabila terdapat kesalahan dalam pengerjaan makalah ini. Untuk itu
saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun ilmu pengetahuan ini.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Tahun-tahun terakhir ini semakin banyak orang menyadari bahwa politik
merupakan hal yang melekat pada lingkungan hidup manusia. Politik hadir di manamana, di sekitar kita. Sadar atau tidak, mau atau tidak, politik ikut mempengaruhi
kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat.
Hal itu berlangsung sejak kelahiran sampai dengan kematian, tidak peduli apakah kita
ikut mempengaruhi proses politik atau tidak ? Karena poltik mempengaruhi
kehidupan semua orang maka Aristoteles pernah mengatakan, politik merupakan
master of science.1
Maksudnya bukan dalam arti ilmu pengetahuan (scientific), tetapi ia
menganggap, pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami
lingkungan. Bagi Aristoteles, dimensi politik dalam keberadaan manusia merupakan
dimensi terpenting sebab ia mempengaruhi lingkungan lain dala kehidupan manusia.
Bagi Aristoteles, politik berarti mengatur apa yang seyogyanya kita lakukan dan apa
yang seyogianya yang tidak dilakukan. Penjelasan ini menyadarkan kita akan
pentingnya mempelajari ilmu politik.
1
H. Victor Wiseman. 1969. Politics: Master of Science. London: Routlegde & Kegan Paul.
3
BAB II
Konsep-konsep Politik
Sejak awal hingga perkembangan yang terakhir ada sekurang-kurangnya lima
pandangan mengenai politik. Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga
negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua politik adalah
segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga,
politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam
rangka mencari dan/ atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Kelima cara pandang dalam melihat politik tersebut dijelaskan berikut ini.
A. Klasik
Sebagai mana dikemukakan Aristoteles, pandangan klasik melihat politik
sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan
menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota
masyarakat. Filsof ini membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan
bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang menyangkut
kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta). Pada hemat Aristotels,
urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama melikik nilai moral yang lebih
tinggi daripada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan swasta.
Menurut aristoteles, manusia merupakan makhluk poltik dan sudah menjadi
hakikat manusia untuk hidup dalam polis.2 Hanya dalam polis itu manusia dapat
memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena disana urusan-urusan yang
berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan
polis manusia dipandang sebagai makhluk yang berderajat diatas manusia seperti
Dewa atau Tuhan.3
2
3
Secara etimologis, opolitik berasal dari kata polis yang berarti negara kota pada zaman yunani kuno
Aristotetle., 1972. The Politics. Bungay, Suffolk: The Chauser Press. Hlm. 38
4
Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksudkan dengan kepentingan
umum atau kebijakan bersama? Apakah yang harus dipandang sebagai isi atau
substansi kebaikan bersama? Siapakah yang harus menafsirkan suatu urusan
merupakan kepentingann umum atau tidak?
Rumusan kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat
bervariasi. Sebagian orang mengatakan kepentingan umum merupakan tujuantujan moral atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak, seperti keadilan, kebajikan,
kebahagiaan, dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum
sebagai keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan general will
(keinginan orang banyak atau kepentingan umum) dari will of wall (keinginan
banyak orang atau kumpulan keinginan banyak orang).
Sementara itu, ada yang merumuskan kepentingan umum sebagai keinginan
golongan mayoritas. Ilmuwan politk kontemporer, Samuel P. Hutington
melukiskan kepentinagn umum secara singkat sebagai kepentingan pemerintah
karena lembaga pemerintahan dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan
bersama. 4
Konsep politik menurut pandangan klasik itu tampak sangat kabur.
Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan
patokan kepentingan umum yanng disetujui bersama dalam masyarakat. Namun,
suatu hal yang patut mendapatkan perhatian dari pandangan klasik berupa
penekanan yang diberikan pada “apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan
bersama seluruh warga negara polis dan “dengan cara apa sebaiknya” tujuantujuan itu dicapai. Dengan kata lain, pandangan klasik lebih menekankan aspek
filosofis (idea dan etik) daripada aspek politik.
Dalam pengertian poltik terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas.
Berpolitik adalah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak
dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama. Barangkali aspek
filosofis ini yang merupakan kelebihan, dan karena itu menjadi ciri khas
pandangan klasik. Dalam hal ini, aspek filosofis lebih ditekankan daripada aspek
4
Samuel P. Hutington. 1975. The Politics. Bungay, Suffolk: The Chauser Press. Hlm. 28
5
politik. Oleh karena itu, metode kajian yang digunakan bukan empirisme,
melainkan metode spekulatif-normatif.
B. Kelembagaan
Pandangan
ini
melihat
politik
sebagai
hal
yang
berkaitan
dengan
penyelenggaraan negara dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai
komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik
yang sah dalam wilayah tertentu.5
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan
fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Max Weber merupakan persaingan
untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian
kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu negara.
Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang
kongkrit, dan dia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan
fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan.
Berdasarkan ketaatan Weber disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara,
yaitu:
1) Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti
jabatan, peranan, dan lembaga-lembaga, yang semuanya memiliki
tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal dan
permanen;
2) Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh Negara yang
memiliki kewenangan yang sah untuk membuat putusan yang final
dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak
untuk mengeakkan putusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan
menanggalkan hak milik. Dalam hal ini untuk melaksanakan
kewenangan maka negara menggunakan aparatnya, seperti polisi,
militer, jaksa, hakim dan petugas lembaga permasyarakatan.
5
Gerth dan Wright Mills, (Eds.). 1961. From Max Weber. Essays in Sociology. New York: Routledge &
Keagan Paul Ltd. Hlm. 17.
6
3) Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam
batas-batas wilayah negara tersebut.
Sebelum
Perang
Dunia
Kedua,
sarjana-sarjana
ilmu
politik
mengidentifikasikan politik sebagai studi mengenai negara. Dalam hal ini, ada
pelbagai kepustakaan yang berjudul “Pengantar Ilmu Politik” yang diawali dengan
pernyataan, ilmu politik bermula dan berakhir dengan negara. Atas dasar itu, ada
buku yang ditulis oleh empat sarjana ilmu politik Amerika Serikat. Mereka
merumuskan ilmu politik sebagai ilmu yang memperlajari modern national state,
its institutions, laws, and processes.6
Akan tetapi, dewasa ini para ilmuwan politik tidak lagi menggunakan
konseptualisasi itu sebab mereka berpendapat, politik merupakan gejala serba
hadir dalam masyarakat apa saja, yang tidak terbatas pada masyarakat-negara
atau negara modern. Lalu mereka mencari dan merumuskan konsep politik yang
sejauh mungkin dapat diterapkan dalam sebanyak mungkin tempat dan waktu.
Lalu dipertanyakan, mengapa mereka tidak lagi menggunakan pandangan
kelembagaan?
Mereka
mengajukan
empat
kritik
terhadap
pandangan
kelembagaan.7 Pertama, konsep itu terlalu sempit. Ciri-ciri negara yang disebutkan
itu berlaku pada masyarakat yang berbentuk negara, khususnya negara-negara
industri maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara. Sebagaimana diketahui, ada
pelbagai masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun
belum memenuhi ciri-ciri negara modern tetapi sudah melaksanakan proses dan
kegiatan politik.
Masyarakat yang disebutkan terakhir ini belum memenuhi ciri-ciri negara
modern. Hal itu disebabkan:
1) Belum ada diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan yang jelas.
Biasanya yan terjadi berupa satu struktur melaksanakan lebih dari satu
6
Rodee, Anderson, Greeene dan Christol. 1976. Introduction of Political Science. Tokio: McGraw-Hill
Kogakusha, Ltd. Hlm 17
7
Bandingkan dengan Charles Andrain. 1970. Political Life and Social Change: An Introduction to Political
Science. Belmot, Cal,: Wadworth Publishing Company, Inc. Hlm. 10.
7
fungsi. Kepala suku berperan sebagai ketua adat dan pemimpin agama
maupun sebagai kepala pemerintahan dan pemilik sumebr ekonomi.
Dengan kata lain, struktur masyarakatnya masih bersifat sederhana dan
informal, tetapi kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat
seperti ini;
2) Tidak memiliki struktur yang memonopoli kewenangan dalam meggunakan
paksaan fisik sebab kekuasaan terpencar atau terdistribusi pada seluruh
anggota masyarakat. Memang ada kontrol terhadap perilaku anggota
masyarakat namun bukan bersifat paksaan fisik, melainkan berupa sanksi
moral dan psikologis, seperti pengucilan dari pergaulan, sindiran, gosip,
teguran;
3) Atas wilayah masyarakat belum jelas sebab penduduk cenderung
berpindah, termasuk apabila tidak senang lagi terhadap pemimpin
masyarakat setempat.
Kedua, dalam negara-negara industri maju kekuasaaan tidak terpusat pada negara
melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian dan kepada berbagai
kekuatan politik dalam masyarakat. Ketiga, konseptualisasi di atas terlalu melihat
negara dari sudut juridis formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala
yang statis. Keempat, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak
memiliki nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang
dipelajari, bukan lembaganya. Demikian kritik yang diajukan oleh kaum
behavioralist.
Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat
kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian.8 Mereka memandang negara
tidak lagi sekedar arena persaingan kepentingan diantara berbagai kepentingan
dalam masyarakat, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki otonomi (terlepas
dari pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan (yang melaksanakan
kebijaksanaan yang dibuat sendiri). Negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki
8
Antara lain diperakarsai oleh Peter Evans, Ruschemeyer dan Skocpol, (Eds.). 1985. Bring the State Back
In. Cambridge: Cambridge University Press.
8
kepentingan yang berbeda dari kepentingan yang bersaingan atau bertentangan
dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga sebagai statistic perspective
(perspektif negara).
C. Kekuasaan
Pandangan
ketiga
melihat
politik
sebagai
kegiatan
mencari
dan
memmpertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik
dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan
kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan.
Robson merupakan salah seorang yang mengembangkan pandangan tentang
kekuasaan ini. dirumuskan, ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian
pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan,
elaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang
pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan
dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, proses-proses,
ruang lingkup dan hasil-hasil kekuasaan.9
Yang menjadi pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kekuasaan?
Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak
lain untuk berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi.
Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang memperngaruhi dan
dipengaruhi, atau yang satu dengan yang lain mematuhi. Hubungan ini selalu
diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini.
Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan
juga memuliki sejumlah kelemahan. Pertama, konseptualisasi tersebut tidak
membedakan keusasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak
beraspek politik.
Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku
pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut
lingkungan masyarakat yang terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas
diikuti maka kemampuan para pemimpin agama tidaklah beraspek politik. Hal itu
karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang
9
William Robson. 1954. The University Teaching of Social Sciences: Political Science. Paris: UNESCO.
Hlm. 17-18.
9
mendistribusikan niali-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang
lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti maka kemampuan
para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anggota
jemaah, termasuk dalam kategori kegiatan politik. Selain kekusaan, ilmu politik
masih memiliki konsep-konsep yang lain, seperti kewenangan , legitimasi, konflik,
konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi, politik sebagai
kegaiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan merupakan konseptualisasi
yang terlalu luas dan kurang tajam. Walaupun demikian harus dicatat konsep
kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tak terpisahkan dari ilmu
poltik.
D. Fungsionalisme
Fungsionalisme
memandang
politik
sebagai
kegiatan
merumuskan
dan
melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan di
atas, dewasa ini para ilmuwan politik memandang politik dari kacamata
fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam
membuat dan melaksanakan kebijakan umum.
Di antara ilmuwan politik yang menggunakan kacamata fungsional dalam
mempelajari gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. Easton
merumuskan politik sebagai The authoritative allocation of values for a
society.10atau alokasi nilai-nilai secara otoratif, berdasarkan kewenangan, dan
karena itu mengikat untuk suatu masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap
kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses
pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat.
Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah Who
gets what, when, how,11 atau masalah siapa mendapat apa, kapan, bagaimana.
“Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai. “Kapan” berarti ukuran
10
11
David Easton. 1965. System Analysis of Political Life. New York: John Willey & Sons Inc. Hlm. 21.
Harold Lasswell. 1972. Politics: Who gets what, when, how, New York: The World Publication Comp.
10
pengaruh yang akan digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan
nilai-nilai
terbanyak.
“Bagaimana”
berarti dengan
cara
aoa
seseorang
dengan
nilai-nilai?
mendapatkan nilai-nilai.
Yang
menjadi
pertanyaan,
apa
yang
dimaksud
Fungsionalisme mengartikan nilai-nilai sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal
yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk
mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup
yang di anggap baik, seperti keadilan, keamanan, kebebasan, persamaan,
demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan YME, kemanusiaan, kehormatan, dan
Nasionalisme. Disamping bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat
konkret, seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, sarana perhubungan dan komunikasi, dan rekreasi. Pendek kata, nilainilai itu ada yang berupa kebutuhan ide spiritual, ada pula yang abstrak dan
kongkret itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Jadi, kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi
pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.
Kelemahan pandangan fungsionalisme adalah menempatkan pemerintah
sebagai sarana dan wasit terhadap persaingan diantara berbagai kebijakan politik
untuk
mendapatkan
nilai-nilai
yang
terbanyak
dari
kebijakan
umum.
Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki
kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada lembaga
pemerintah (yang mewakili kepentingan umum) maupun kepentingan para elit
yang memegang jabatan (melaksanakan peranan).
Disamping
itu,
fungsionalisme
cenderung
melihat
nilai-nilai
secara
instrumental bukan sebagai tujuan seperti yang ditekankan pandangan klasik. Bagi
fungsionalisme nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari
satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain. Dalam hal ini, dilupakan
11
politik pernah dapat bersifat netral, bahwa politik secara ideal seharusnya
menyangkut kebaikan bersama.
Politik berasal dari kata “Polis” yang berarti: Negara, dan Kata “Taia” yang berarti:
urusan. Jadi Politik berarti: urusan Negara. Para ahli berbeda pendapat
ketika
memberikan definisi atau pengertian mengenai politik. Menurut Miriam Budiardjo,
perbedaan ini muncul karena mereka memberikan cara pandang yang berbeda ketika
menjelaskan tentang konsep politik sebagaimana berikut :
a. Negara (State)
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya.
Menurut Roger R. Soltau dalam bukunya “Introduction to Politics”, Ilmu politik
adalah mempelajari negara, tujuan-tujuan negara, dan lembaga-lembaga yang
akan melaksanakan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya
serta dengan negara-negara lain.
Menurut J. Barent, Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara
yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; Ilmu politik mempelajari
negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya.
b. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan
dari pelaku.
Menurut Harold D. Lasswell dan A. Kaplan, Ilmu politik adalah mempelajari
pembentukan dan pembagian kekuasaan.
Menurut Deliar Noer, Ilmu politik adalah memusatkan perhatian pada masalah
kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
c. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Keputusan (decision) adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif.
12
Aspek keputusan banyak menyangkut soal pembagian yang oleh Harold D.
Lasswell dirumuskan dalam kerangka sebagai “ Who Gets What, When, and
How”.
Menurut Joyce Mitchel, Politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau
pembuatan kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.
Menurut Karl W. Deutsch, Politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana
umum.
d. Kebijaksanaan (Policy)
Menurut Hoogerwerf, Kebijaksanaan umum adalah membangun masyarakat
secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.
Menurut David Easton, Ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya
kebijaksanaan umum.
e. Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power)
Pembagian (distribution) adalah pembagian atau penjatahan dari nilai-nilai dalam
masyarakat.
Roger F. Soltau, dalam buku yang berjudul “Introduction to Politics”. Ilmu Politik adalah,
Ilmu yang mempelajari Negara, tujuan-tujuan Negara dan lembaga-lembaga yang akan
melaksanakan tujuan itu, hubungan antara Negara dengan Warga Negaranya serta
dengan negara-negara lain.
J. Barents, Ilmu Politik adalah, Ilmu yang mempelajari kehidupan Negara yang
merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, Ilmu Politik itu mempelajati negaranegara itu, melakukan tugasnya.
Salah satu fokus perhatian ilmu politik dalam masalah kekuasaan adalah :
a. Upaya memperoleh kekuasaan
b. Upaya mempertahankan kekuasaan
c. Memperagakan kekuasaan
d. Bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan
13
Konsep-konsep yang terdapat dalam kekuasaan yang menjadi fokus para ahli adalah :
a. Wewenang (authority)
b. Kendali (Control)
c. Kapasitas (Capacity)
d. Hubungan/Relasi (Relationship)
Bidang kajian ilmu politik meliputi :
1. Teori Ilmu Politik : meliputi teori politik dan sejarah perkembangan ide-ide politik
2. Lembaga-lembaga Politik : meliputi UUD, pemerintahan nasional, pemda, fungsi
ekonomi dan sosial pemerintah, dan perbandingan lembaga-lembaga politik.
3. Partai Politik : meliputi organisasi kemasyarakatan, pendapat umum, partisipasi
warga negara dalam pemerintahan dan administrasi.
4. Hubungan Internasional : meliputi politik internasional, organisasi-organisasi
internasional, administrasi internasional, dan hukum internasional
14
BAB III
PENUTUP
Rangkuman
Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa definisi ilmu politik sangat beraneka ragam
tergantung pada disiplin ilmu mereka yang merumuskan politik tersebut dan tergantung
pula pada sudut pandang/perspektif mereka terhadap ilmu politik.
Meskipun demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa ilmu politik adalah ilmu yang
berusaha berbicara tentang eksistensi negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijaksanaan, dan distribution of power dalam suatu pemerintahan atau negara.
15
Daftar Pustaka
Andrain, Charles. 1970. Political Life and Social Change: An Introduction to Political
Science. Belmot, Cal,: Wadworth Publishing Company, Inc.
Aristotetle., 1972. The Politics. Bungay, Suffolk: The Chauser Press.
Easton, David. 1965. System Analysis of Political Life. New York: John Willey & Sons
Inc.
Gerth dan Wright Mills, (Eds.). 1961. From Max Weber. Essays in Sociology. New York:
Routledge & Keagan Paul Ltd.
Hutington, Samuel P. 1975. The Politics. Bungay, Suffolk: The Chauser Press.
Lasswell, Harold. 1972. Politics: Who gets what, when, how, New York: The World
Publication Comp.
Peter Evans, Ruschemeyer dan Skocpol, (Eds.). 1985. Bring the State Back In. Cambridge:
Cambridge University Press.
Robson, William. 1954. The University Teaching of Social Sciences: Political Science.
Paris: UNESCO.
Rodee, Anderson, Greeene dan Christol. 1976. Introduction of Political Science. Tokio:
McGraw-Hill Kogakusha, Ltd.
Subakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Wiseman ,Victor H. 1969. Politics: Master of Science. London: Routlegde & Kegan Paul.
16
Download