1 INTERSEKSI POLITIK DAN EKONOMI Bisnis Dan Politik-Power Over Resources Approach DR. EDIARNO Direktur Lembaga Ekonomi Bagi Hasil http://www.ekonomi-bagi-hasil.com Jakarta, 11 September 2015 A. Pendahuluan Pendekatan ekonomi politik sesungguhnya masih belum menemukan bentuknya yang final. Hal itu tergambar dari kesimpulan survei literatur tentang pendekatan ekonomi politik yang dilakukan oleh Caporaso and Levine. Menurut keduanya, ekonomi dan politik memiliki perbedaan-perbedaan kategoris, yang harus dipertimbangkan didalam usaha membangun pendekatan ekonomi politik. Perbedaan tersebut memiliki landasan dan implikasi-implikasi yang normatif. Kategori perbedaan tersebut meliputi aspek-aspek, institusi, metode, objek, orientasi dan proses yang dimiliki keduanya.1 Perbedaan normatif antar keduanya ternyata cukup banyak. Perbedaan itu berakar pada sejarah kelahiran ekonomi klasik, yang awalnya memang dirancang untuk memisahkan ekonomi dari absolutisme politik, sesuai semboyannya; Laissez Faire.2 Perbedaan kategoris antara keduanya dapat dijelaskan secara ringkas berikut ini. Institusi ekonomi adalah pasar sedangkan institusi politik adalah negara. Ekonomi menjadikan mekanisme pasar, pertukaran bebas, sebagai metode alokasi sumber daya. Metode alokasi politik adalah berdasar otoritas . Tujuan alokasi ekonomi adalah untuk efisiensi, sedangkan tujuan utama alokasi oleh sistem politik tidak semata efisiensi, tapi bisa aspek lainnya seperti ketertiban atau keadilan sosial. Bagi ekonomi pasar adalah institusi untuk efisiensi, politik tidak menjadikan negara sebagai institusi untuk efisiensi. Ekonomi mengelola barang pribadi (private goods) sebagai objeknya, sedangkan sistem politik mengelola barang publik (public goods). Penyediaan barang didalam ekonomi didasarkan kepada keinginan bebas individu 1 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. 225 2 Roger A. Arnold, Macroeconomics, (Mason, OH: Thomson Higher Education, 2008), p.189 2 (free will) dan efisiensi. Metode pertukaran didalam ekonomi adalah sukarela dan bebas. Sedangkan, penyediaan barang didalam politik, didasarkan kepada kebutuhan dan ada tidaknya hak (entitlement) yang dimiliki seorang warga, terlepas apakah itu efisien atau tidak. Ekonomi menggunakan ‘keinginan bebas’ individu sebagai dasar kepatuhan orang kepada norma pasar. Politik menggunakan ‘paksaan’ untuk menciptakan kepatuhan (compliance) orang kepada norma-norma negara. Pertukaran ekonomi dinilai berdasarkan kriteria utilitas barang, ukuran yang relatif jelas, sedangkan politik menggunakan kriteria yang lebih luas, rumit, dan kurang jelas ukurannya.3 Dengan demikian banyaknya perbedaan kategori normatif diatas membuat usaha unifikasi ekonomi dan politik menjadi sulit. Caporaso and Levine melakukan survei dengan kerangka berfikir bahwa perbedaan pengertian-pengertian yang dikandung ekonomi dan politik tetap dihormati dan keduanya tidak perlu saling direduksi satu sama lainnya.4 Dengan sikap tersebut, kesimpulan keduanya adalah bahwa ekonomi dan politik memiliki banyak persinggungan, istilah keduanya ‘broad point of contacts’, namun keduanya tetap tidak dapat direduksi, dan tidak mudah untuk melakukan asimilasi keduanya didalam usaha untuk menghasilkan sebuah pendekatan ekonomi politik yang umum.5 Dengan kata lain, adanya ‘broad point of contacts’ antara ekonomi dan politik tidak sampai membuat Caporaso and Levine optimis terhadap usaha penyatuannya, bahkan cenderung memilih sikap yang tetap memperlakukan keduanya, ekonomi dan politik, sebagai entitas terpisah. Survey tersebut dimaksudkan oleh keduanya sebagai langkah awal untuk melihat kemungkinan menulis sebuah buku teks ilmu ekonomi politik.6 Namun, kesimpulan survey ‘yang pesimis’ tersebut tampak tidak mendukung maksud keduanya untuk menulis buku teks tersebut. Didalam surveynya, Caporaso and Levine menggugurkan potensi dua pendekatan yang awalnya dianggap menjanjikan yaitu, 3 James A Caporaso, David P. Levine, Theories York; Cambridge University Press, 1996), p. 222-223 4 James A Caporaso, David P. Levine, Theories York; Cambridge University Press, 1996), p. 225 5 James A Caporaso, David P. Levine, Theories York; Cambridge University Press, 1996), p. 225 6 James A Caporaso, David P. Levine, Theories York; Cambridge University Press, 1996), p. vii of Political Economy, (New of Political Economy, (New of Political Economy, (New of Political Economy, (New 3 power approach dan economic approach.7 Adanya kesimpulan pesimis Caporaso and Levine tersebut kurang menggembirakan, karena mengandung ancaman terhadap relevansi profesi ekonomi politik. Namun, kesimpulan yang diambil oleh Caporaso and Levine tersebut sesungguhnya merupakan implikasi dari sifat penelitian mereka, yaitu deskriptif atau ekplorasi.8 Caporaso and Levine memang menyatakan bahwa beban penelitiannya adalah hanya untuk mengidentifikasi dan mengembangkan perbedaan yang terdapat didalam pendekatan ekonomi politik yang sudah ada; elaboration of approaches.9 Kesimpulan pesimis itu juga hasil dari kerangka berfikir penelitiannya yaitu, bahwa ekonomi dan politik tidak dapat saling direduksi satu sama lainnya, dimana perbedaan pengertian-pengertian yang dikandung keduanya, ekonomi dan politik, tetap dihormati.10 Dengan kerangka berfikir tersebut maka usaha unifikasi cenderung sulit. Disatu sisi, kerangka berfikir ini mencerminkan sikap critical survey, namun kerangka berfikir itu mengarahkan perhatian yang jauh lebih besar kepada aspek-aspek pemisahan daripada kepada aspekaspek pengabungan keduanya. Penelitian Caporaso and Levine juga melakukan pembatasan pendekatan yang boleh masuk kedalam ruang penelitian mereka, melalui dua jenis pembatasan (two cuts). Pertama, tidak memasukkan pendekatan ekonomi politik yang dianggap keduanya tidak memiliki landasan teoritis yang substantif. Kedua, membuang pendekatanpendekatan yang dianggap keduanya tidak memiliki pengaruh yang luas.11 Kita tidak tahu, apa saja pendekatan ekonomi politik yang telah dibuang oleh keduanya berdasarkan penilaian subjektif mereka. Dalam usaha integrasi ekonomi politik, Caporaso and Livine juga membatasi pengertian ekonomi hanya sebatas produksi dan pertukaran saja. Padahal menurut buku teks ekonomi sudah umum dikenal definisi ekonomi yang mencakup kegiatan produksi, pertukaran dan distribusi hasil ekonomi. Masalah distribusi sebagai bagian yang penting dari 7 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p.221-222 8 Sanafiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial,(Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal 18 9 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. vii 10 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. 225 11 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. vii 4 ekonomi sudah dinyatakan oleh buku teks ekonomi sejak abad 19.12 Buku-buku teks ekonomi abad 21 juga menyatakan tiga fungsi mekanisme pasar, yaitu;13 (1).Menentukan apa yang diproduksi (what), (2). Bagaimana memproduksinya (how) dan (3). Kepada siapa hasilnya dibagi (for whom) . Fungsi ketiga mekanisme pasar tersebut merupakan masalah distribusi. Aspek distribusi tidak mendapat perhatian didalam pengertian ekonomi yang disebutkan oleh Caporaso and Levine. Namun, dibalik pesimisme yang ditebar oleh kesimpulan Caporaso and Levine tersebut, sesungguhnya terdapat aspek optimisme, yang kontradiktif dengan kesimpulan pesimis mereka yaitu; adanya ‘broad points of contact’ antara ekonomi dan politik, yang dikandung oleh pendekatan ekonomi politik yang termasuk didalam penelitiannya.14 Jika titik-titik persinggungan itu banyak, maka wilayah interseksi antara ekonomi dan politik itu cukup luas, dimana bangunan pendekatan ekonomi politik bisa didirikan. Cara yang produktif untuk integrasi ekonomi dan politik bukanlah melihat apa yang ada didalam masing-masing disiplin ilmu, lalu menerapkannya kedalam wilayah disiplin lainnya. Penggunaan pendekatan ekonomi neoklasik total kedalam politik jelas akan sulit karena doktrin ekonomi neoklasik memang dibangun diatas dasar keinginan untuk memisahkan ekonomi dari politik. Langkah yang kontruktif didalam membangun pendekatan ekonomi politik adalah bertolak dari wilayah interseksi politik dan ekonomi, yang jelas memang ada. Interseksi yang kuat antara ekonomi dan politik ditunjukan oleh berbagai pernyataan dan penelitian ahli kedua displin tersebut. Dalam kaitannya dengan distribusi kekayaan, kelompok ekonom, misalnya Thomas Piketty (2014) menyebutkan, sejarah dari distribusi kekayaan yang pincang, berakar dalam sebab-sebabnya pada mekanisme politik, dan tidak dapat direduksi semata sebagai akibat mekanisme ekonomi.15 Ahli politik, Huntington, menyebutkan bahwa, apa yang berpengaruh 12 Henry Fawcet, Manual of Political Economy, (London: Macmillan and Co, 1883), p.4 Henry Fawcett (1883) menyebutkan didalam bukunya, “political economy is concerned with those principles which regulated the production, the distribution, and the exchange of wealth”. Jadi didalamnya termasuk kajian tentang prinsip-prinsip didalam distribusi kekayaan. 13 Bradley R. Schiller, The Economy Today, (Boston: McGraw-Hill, 2006), p.12 14 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. 225 15 Thomas Piketty, Capital, (Massachusetts; Harvard University Press, 2014), p. 20 5 terhadap pertumbuhan ekonomi adalah stabilitas politik, tidak tergantung kepada jenis sistem politiknya. Sistem politik apapun akan mendorong pertumbuhan ekonomi sepanjang sistem itu mampu menciptakan tertib politik (political order).16Ada juga pendapat dari pendukung teori modernisasi, misalnya Karl Deutsch, Daniel Lerner dan Cyril Black, menyebutkan bahwa modernisasi merupakan sebuah proses yang sistematis , dimana tujuan-tujuannya seperti pembangunan politik demokrasi, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan (equity) bukan hanya kompatibel satu sama lainnya tapi saling memperkuat (mutually reinforcing).17 Lenski (1966) menyebutkan, dengan adanya struktur politik yang egaliter, maka masuk akal untuk berharap, akan lebih banyak anggota masyarakat yang kurang mampu dapat mengorganisir dirinya melalui serikat, kelompok kepentingan dan partai politik, yang akan memperkuat basis politik mereka, mendapatkan kursi di parlemen, sehingga dapat ikut berpartisipasi dan mengendalikan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh mesin pemerintahan. Dengan demikian, demokrasi dapat memfasilitasi bagi pengurangan kesenjangan pendapatan.18 Berdasarkan berbagai argumentasi tersebut diatas dan adanya ‘broad point of contacts’ antara ekonomi dan politik yang disebutkan oleh Caporaso and Levine, kajian ini akan membangun pendekatan ekonomi politik yang disebut dengan power over resources approach (POR Approach). Pendekatan tersebut kemudian akan didemonstraikan penggunaannya untuk membahas dua masalah terkait yaitu, (1) partisipasi politik warga yang relevan dalam konteks sistem politik demokrasi partisipatif dan (2) relasi bisnis dengan politik. B. Ekonomi Politik-Power Over Resources Approach Power menunjukkan kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan, kita harus melakukan sesuatu untuk mempengaruhi dan merubah dunia. Kita harus melakukan aksi didalam dan atas dunia. Max Weber mendefinisikan power sebagai “ 16 Adam Przaworski, Michael A Alvarez, Jose Antonio Cheibub, Fernando Limongi, Democracy and Development, Political Institutions and Well-Being in the World, 1950-1990, (New York; Cambridge University Press, 2000), p.187 17 Alex Inkeles (editor), On Measuring Democracy, Its Consequences and Concomitants, (New Jersey; Transaction Publishers, 1993), p.127 18 Alex Inkeles (editor), On Measuring Democracy, Its Consequences and Concomitants, (New Jersey; Transaction Publishers, 1993), p.134 6 kemungkinan bahwa seorang aktor didalam hubungan sosialnya memiliki posisi untuk mewujudkan keinginannya walaupun terdapat penghambat, terlepas dari dasar yang digunakan untuk menghitung kemungkinan tersebut.19 Power Over merupakan salah satu dari tiga jenis tafsiran tentang power. Ketiga tafsiran power tersebut adalah power over nature to secure ends, power over others, dan power with others.20 Ketiga tafsiran power tersebut dapat direduksi menjadi dua saja, power over dan power with, karena dua tafsiran power over adalah sama, dan tidak perlu dibedakan karena hanya objeknya yang berbeda. Power Over Resources yang dipergunakan disini adalah power dalam makna power over, penggunaan kekuasaan yang timbul akibat penguasaan atas sumber daya, penguasaan sumber daya sebagai penentu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi hubungan sosialnya, untuk mempengaruhi, mengubah keputusan sistem politik agar sesuai dengan tujuannya. Sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya yang memiliki nilai, sehingga karena nilainya, diperebutkan oleh semua orang, sehingga membuatnya bersifat langka. Kelangkaan inilah yang menjadi faktor penghambat untuk memilikinya dan membuat penguasaannya mendatangkan potensi kekuasaan, yang bisa dipergunakan untuk mempengaruhi dan merubah hubungan sosial seseorang dan merubah dunia. Pendekatan Power Over Resource (POR) ini dibangun dengan didasarkan kepada adanya eksistensi empat interseksi antara ekonomi dan politik berikut ini. 1. Adanya interseksi wilayah politik dan ekonomi. 2. Adanya interseksi metode alokasi didalam ekonomi dan politik 3. Adanya interseksi sumber daya ekonomi dan politik 4. Adanya interseksi resiko politik terhadap ekonomi Eksistensi interseksi wilayah ekonomi dan politik sudah dijelaskan diatas, yang disimpulkan oleh Caporaso and Levine dengan istilah, broad point of contacts. Interseksi metode alokasi terjadi karena ekonomi dan politik sama-sama merupakan metode alokasi. Ekonomi merupakan metode alokasi sumber daya secara sukarela, untuk 19 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p.161 20 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p.162 7 mencapai kondisi ekonomi dengan allocative efficiency.21 Politik juga merupakan metode alokasi nilai, sumber daya yang bernilai, kepada masyarakat secara otoritatif, sesuai dengan definisi sistem politik menurut Easton.22 Menurut Easton, semua masyarakat menghadapi masalah kelangkaan sumber daya, yang dapat mengarah kepada perselisihan mengenai alokasinya. Masyarakat dapat menyelesaikan konflik alokasi menurut interaksi otonom antar manusia. Alokasi yang bersifat politik dilakukan menurut otoritas, berdasarkan kewenangan. Alokasi berdasar otoritas, politik, bukan hanya terjadi pada sistem politik atau negara saja, tapi juga terjadi disemua tingkatan subsistem sosial seperti, keluarga, perusahaan (business firms), serikat dagang, parpol atau gereja. Didalam perusahaan, pimpinan perusahaan menetapkan anggaran unit-unit bisnis dibawahnya berdasarkan otoritas. Kepala keluarga mengalokasikan uang jajan kepada anak-anaknya berdasarkan otoritas. Adanya alokasi berdasarkan otoritas pada setiap sub-sistem sosial tersebut menunjukkan bahwa sub-sistem sosial tersebut memiliki seperangkat kegiatan yang sifatnya seperti elemen sebuah sistem politik.23 Namun, alokasi melalui sistem politik, negara, berbeda dengan sub-sistem sosial tersebut dalam hal bahwa otoritas dari sistem politik untuk mengalokasi sumber daya dilakukan atas nama seluruh masyarakat dan dengan kewenangan yang diperolehnya dari pengakuan masyarakat atas posisi dan kewenangan yang mereka miliki.24 Kewenangan melakukan alokasi sumber daya secara otoritatif yang dimiliki negara atau sistem politik meliputi wilayah nasional, diatas semua sub-sistem sosial yang ada didalam sebuah negara. Caporaso and Levine mempertentangkan cara alokasi ekonomi yang sukarela dengan alokasi politik yang bersifat otoritatif, paksaan oleh yang berwenang. Mereka menyebutkan, pasar yang bebas menghilangkan alokasi berdasarkan otoritas…Pasar dirancang untuk kebebasan inisiatif individu dan kebebasan ‘self-interest’ individu, dan memastikan bahwa pilihan (choice) menggantikan paksaan (coercion). 21 Richard G.Lipsey, Christoper T.S.Ragan and Paul A.Storer, Economics, (Boston: Pearson Addison Wesley, 2008), p. 280 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p.16 22 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice Hall, 1965), p. 50, 56, 57 23 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice Hall, 1965), p. 56 24 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice Hall, 1965), p. 54 8 Implikasinya, maka ‘ekonomi’ dan ‘power’ (otoritas) tampak saling bertolakbelakang. 25 Pendapat Caporaso and Levine ini bisa dibatalkan dengan alasan, bahwa pasar sesungguhnya tidak bebas dari paksaan karena pasar bekerja berdasarkan kontrak bisnis. Jika diperhatikan lebih teliti, sifat sukarela dari ekonomi hanya terjadi sebelum kontrak dibuat. Ketika kontrak telah dibuat, maka aspek sukarela menjadi hilang, digantikan oleh paksaan, yang diperintahkan oleh pasal-pasal yang terdapat didalam kontrak. Sifat memaksa dari instrumen kontrak itu sama otoritatifnya dengan undang-undang positip. Pandangan bahwa kontrak bersifat memaksa sebagai undang-undang tersebut universal, yang disebutkan oleh doktrin Pacta Sund Servanda.26 Tanpa doktrin hukum ini, maka kontrak akan runtuh, dan pertukaran ekonomi tidak terjamin, manusia akan kembali kepada kekacauan state of nature Hobbes; dalam kondisi state of war. 27 Ketika kontrak telah dibuat, alokasi sumber daya ekonomi dijalankan menurut kewenangan yang dikatakan oleh kontrak. Kontrak itu memiliki coercive power didalam alokasi sumber daya ekonomi. Sistem politik, negara, adalah juga produk kontrak, namun kesepakatan dengan lingkup publik yang disebut dengan teori John Locke, teori ‘Social Compact’ atau ‘Social Contract’ 28 Ditinjau dari kontrak sosial, sebelum terjadinya kontrak sosial, negara belum ada dan pihak-pihak yang membuat kontrak yaitu anggota masyarakat masih bebas. Anggota masyarakat lalu sepakat membuat kontrak sosial antar 25 James A Caporaso, David P. Levine, Theories of Political Economy, (New York; Cambridge University Press, 1996), p. 160 26 Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 209 Pacta Sunt Servanda, berarti “ kontrak itu mengikat’ secara hukum. Bagi pihak-pihak yang membuat kontrak, maka kontrak itu mengikat mereka seperti mengikatnya sebuah undang-undang. Tujuan dari penerapan Pacta Sunt Servanda adalah untuk mendapatkan ketertiban hukum, menjamin ketertiban sosial, ketertiban ekonomi dan perdagangan. (hal 218) Pacta Sunt Servanda diakui sebagai salah satu prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, menjadi salah satu sumber hukum internasional; sumber hukum ketiga dalam Statuta Mahkamah Internasional. Lihat, Sefriani, Hukum Internasional, (Jakarta; Rajawali Pers,2011), hal, 26, 49 27 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 61 28 Frederick Copleston SJ, Locke (4), in A History of Philosophy, Volume V, (New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, 1985), p.128 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 346 9 mereka secara sukarela. Paska kontrak sosial, anggota masyarakat menjadi tidak sebebas sebelumnya, meraka tunduk kepada kekuatan memaksa yang dimiliki negara. Kekuasaan ‘memaksa’ yang dimiliki otoritas politik atau negara tersebut didapatnya paska terjadinya kontrak sosial tersebut. Dengan demikian, sebelum kontrak para pihak didalam politik juga bebas dan kontrak sosial dibuat secara sukarela. Sifat kontrak politik menurut perspektif kontrak sosial sama dengan kontrak ekonomi, yaitu sama-sama sukarela. Tidak tepat, jika dikatakan bahwa alokasi politik bersifat memaksa, sedangkan alokasi ekonomi bersifat sukarela. Perbedaan sifat kontrak politik yang memaksa dan kontrak ekonomi yang sukarela, terjadi karena perbedaan tingkat analisis. Ekonomi dinilai saat sebelum kontrak, politik dinilai setelah kontrak. Jika tingkat analisisnya sama, yaitu sama-sama sebelum kontrak atau sama-sama setelah kontrak, maka sifat proses alokasi menurut ekonomi dan politik sama saja. Sebelum kontrak, ekonomi dan politik bersifat sukarela karena semua pihak dapat memilih sesuai pilihan mereka. Setelah kontrak, alokasi menurut ekonomi dan politik menjadi samasama bersifat otoritatif, memaksa. Paska kontrak dibuat, alokasi didalam ekonomi juga bersifat memaksa, yaitu dipaksakan oleh pasalpasal yang ada didalam kontrak. Kontrak mendapatkan kekuatan memaksanya dari negara melalui lembaga peradilan yang menjadi bagian sistem politik. Negara atau sistem politik memberi jaminan ‘eksistensi dan eksekusi’ atas semua ayat-ayat perjanjian yang dibuat didalam wilayah yurisdiksinya. Jika ada pihak yang melanggar kontrak, negara dapat memaksakan isi kontrak. Walaupun seandainya negara tidak memberikan jaminan, kontrak ekonomi masih memiliki kekuatan memaksanya, berdasarkan rasionalitas manusia, melalui doktrin hukum universal; Pacta Sun Servanda. Semua perjanjian didasarkan kepada asas pacta sunt servanda atau asas kekuatan mengikat kontrak. Di Indonesia, asas tersebut terdapat didalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.29 Dengan demikian, saat paska kontrak dibuat, alokasi ekonomi akhirnya menjadi bersifat memaksa seperti alokasi sistem politik. Demikian pula alokasi otoritatif oleh negara selalu mengandung aspek sukarela dan aspek pertimbangan efisiensi. Dimensi sukarela muncul sepanjang proses perdebatan atau musyawarah sebelum 29 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung; Penerbit Mandar Maju, 2012) hal. 91 10 keputusan atau kebijakan dibuat. Adanya perdebatan dan musyawarah itu sendiri sebenarnya implisit bahwa pembuatan keputusan mengandung unsur sukarela. Musyawaran, perdebatan atau voting merupakan akomodasi terhadap sikap sukarela para pihak. Putusan otoritatif yang dibuat oleh sistem politik didasarkan kepada input berupa, tuntutan(demand) dan dukungan (support).30 Putusan otoritatif bidang politik dibuat untuk dapat memelihara tingkat dukungan yang besar terhadap sistem politik, sehingga sistem politik dapat beroperasi normal. Dua variabel esensil didalam setiap sistem politik yang harus dapat berjalan normal adalah, (1) pembuatan dan pelaksanaan keputusan untuk masyarakat dan (2) penerimaan oleh masyarakat atas keputusan sistem politik tersebut sebagai mengikat.31 Efektifitas dua variabel esensil sistem politik tersebut sangat dipengaruhi oleh dukungan masyarakat terhadap sistem politik. Kebutuhan terhadap tingkat dukungan yang cukup, atau dukungan minimal, tersebut mengakibatkan putusan otoritatif sulit untuk bisa dibuat semena-mena hanya berdasar preferensi satu orang saja. Putusan otoritatif lebih merupakan hasil proses tawar menawar, negosiasi, konsensus, dimana unsur sukarela terlibat. Dengan perspektif teori kontrak sosial, bahkan didalam pemerintahan otoriter sekalipun, selalu ada ruang negosiasi. Dengan demikian, proses pembuatan putusan otoritatif politik mengandung dimensi persamaan kualitas dengan proses pembuatan kontrak bisnis didalam ekonomi. Oleh karena itu, secara metode, keduanya memiliki kesamaan sehingga wilayah interseksi metode terdapat diantara keduanya. Disamping alasan diatas, interseksi alokasi antara ekonomi dan politik terjadi karena sebab-sebab kelangkaan dan kesamaan sumber daya. Putusan ekonomi dan putusan politik pasti melibatkan alokasi sumber daya yang terdapat di masyarakat. Didalam alokasi tersebut, baik ekonomi maupun politik sama-sama menghadapi kelangkaan sumber daya. Selain itu banyak sumber daya keduanya adalah sama, misalnya uang. Menurut Dahl, sumber daya politik (political resources) adalah apapun yang bisa digunakan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah, khususnya pemerintah pada tingkat pusat. Semua yang dianggap memiliki nilai oleh masyarakat dapat digunakan sebagai sumber daya politik, untuk mencapai tujuan politik, seperti; uang, 30 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice Hall, 1965), p. 112 31 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice Hall, 1965), p. 92,96-97 11 kekayaan (wealth), kedudukan sosial (social standing), kehormatan (honor), reputasi, status hukum, ilmu pengetahuan, kemampuan kognitif, informasi, kapasitas melakukan pemaksaan, organisasi, perangkat komunikasi, koneksi (seperti “Guanxi’ di China).32 Dubrow menambahkan, pengalaman didalam urusan politik sebagai sumber daya politik.33 Menurut ekonom, sumber daya ekonomi masyarakat adalah faktor-faktor produksi yang dimiliki masyarakat, yang terdiri dari tiga kategori; land, labor and capital, yang dipergunakan sebagai input untuk menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa.34 Kapital adalah dana yang disisihkan dari komsumsi, yang ditujukan untuk mempertahankan produksi sekarang dan dimasa yang akan datang. Kapital merupakan penyisihan hasil produksi masa lalu, untuk membantu produksi sekarang dan masa akan datang.35 Ekonomi Politik menyebutkan faktor-faktor produksi tersebut untuk menghasilkan kekayaan (wealth).36 Barang dan jasa yang dihasilkan oleh ekonomi tersebut merupakan kekayaan sebuah masyarakat atau bangsa.Namun tidak semua barang dan jasa termasuk wealth. Hanya barang dan jasa yang memiliki nilai tukar yang termasuk komponen wealth.37 Jika sumber daya politik dan sumber daya ekonomi dibandingkan maka, kategori yang termasuk sumber daya politik tampak lebih luas daripada kategori sumber daya ekonomi. Sumber daya ekonomi, kapital, uang, wealth, adalah kategori-kategori yang merupakan bagian dari sumber daya politik. Walaupun jenis sumber daya politik itu lebis luas, namun banyak jenis sumber daya politik yang sulit diukur, seperti reputasi, kedudukan sosial, kualitas jaringan sosial. Sementara itu sumber daya ekonomi pada umumnya sensibel, 32 Robert A. Dahl, Equality versus Inequality, (American Political Science Asscociation; Political Science and Politics, Vol.29, No.4, Dec 1996), p.639 http://www.jstor.org/journals/apsa.html. 33 Joshua Kjerulf Dubrow, On The Realtionship between Political Inequality and Economic Inequality: A Cross-National Study, Paper, (Polish Academy of Science, Poland), p.8 34 Richard G.Lipsey, Christoper T.S.Ragan and Paul A.Storer, Economics, (Boston: Pearson Addison Wesley, 2008), p. 6 35 Henry Fawcet, Manual of Political Economy, (London: Macmillan and Co, 1883), p.11 36 Henry Fawcet, Manual of Political Economy, (London: Macmillan and Co, 1883), p. 4 37 Henry Fawcet, Manual of Political Economy, (London: Macmillan and Co, 1883), p. 6 12 material dan sudah bisa diukur. Oleh karena itu, sumber daya ekonomi bisa mewakili, merefleksikan sumber daya politik. Pandangan ini sesuai dengan studi ahli politik tentang ketidaksamaan politik (political inequality), yang menggunakan ukuran-ukuran sumber daya ekonomi untuk mengukur sumber daya politik. Jeffrey Winter menyebutkan lima jenis sumber daya kekuasaan (power resources) yaitu; Hak politik formal, Kekuasaan Jabatan resmi dalam komponen utama struktur sistem politik, Kekuasaan Mobilisasi massa, Kekuasaan Pemaksaan, Kekuasaan Material. Konsentrasi penguasaan atas empat jenis sumber kekuasaan yang pertama pada individu akan menjadikannya elite politik. Sedangkan konsentrasi penguasaan jenis kelima, kekuasaan material, pada individu akan menghasilkan oligarki.38 Dari kelima jenis sumber daya kekuasaan tersebut, Winters menyebutkan kekuasaan material sebagai sumber daya yang paling menonjol.39 Lenski (1966), menyebutkan, kekuatan politik merupakan fungsi dari kekayaan (wealth). Pernyataan Lenski tersebut diperkuat oleh kajian tentang partisipasi politik; bahwa semakin unggul seseorang secara ekonomi maka semakin terhormat dan semakin istimewa anggota masyarakat tersebut, dan semakin tinggi kecendrungan partisipasi politiknya.40 Dengan demikian, interseksi sumberdaya politik dengan sumber daya ekonomi adalah sumber daya ekonomi itu sendiri. C. Kekuatan Partisipasi Politik; Power Over Resource Approach Partisipasi politik adalah kegiatan atau aksi nyata, bukan hanya pikiran, sikap atau kecendrungan, yang dilakukan oleh anggota masyarakat, secara sukarela, baik melalui metode konvensional atau sesuai prosedur maupun melalui metode yang tidak konvensional seperti mogok, boikot dan revolusi dengan tujuan untuk mempengaruhi hasil keputusan politik.41 Beberapa kegiatan yang termasuk didalam partisipasi politik tersebut adalah kegiatan untuk memberikan suara 38 Jeffrey A. Winters, Zia Anshor (alih bahasa), Oligarki, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal.17-30 39 Jeffrey Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, (Jakarta; LP3ES, Majalah Prisma, Volume 33, 2014), hal. 11 40 Joshua Kjerulf Dubrow, Cross-National Measures of Political Inequality of Voice, ASK Research & Method, Vol. 19 (1,2010), p. 98 http://www.ifispan.waw.pl 41 Syaiful Mujani, Muslim Demokrat, Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 38-39 13 (voting), menentukan kandidat pejabat dan untuk mencalonkan diri untuk menduduki jabatan pemerintahan.42 Partisipasi politik adalah sarana untuk mempengaruhi agar keputusan-keputusan sistem politik sesuai dengan keinginan atau tujuan partisipan. Partisipasi politik merupakan sebuah power karena partisipasi tersebut digunakan untuk mempengaruhi atau merubah keputusan politik agar sesuai dengan keinginan partisipan. Partisipasi politik pasti membutuhkan pengorbanan sumber daya atau biaya, karena partisipasi tersebut merupakan ‘kegiatan’ atau aksi yang memiliki tujuan. Dalam kaitannya dengan sumber daya tersebut, aksi partisipasi politik merentang dari kegiatan yang biayanya rendah, seperti pergi ke TPS untuk memberikan suara, sampai aksi revolusi yang membutuhkan biaya yang sangat besar. Keterlibatan unsur biaya menunjukkan bahwa partisipasi politik membutuhkan dukungan sumber daya material yang memiliki nilai. Penguasaan sumber daya yang bernilai tersebut berhadapan dengan hambatan berupa kelangkaan sumber daya yang bernilai tersebut. Mengingat partisipasi memiliki tujuan yaitu, mempengaruhi keputusan politik agar sesuai dengan kepentingan pelaku, maka masalah efektifitas menjadi penting. Aspek efektifitas partisipasi politik tersebut memerlukan komitmen dan kesediaan pengorbanan sumber daya. Argumentasiargumentasi yang diuraikan diatas menegaskan bahwa, partisipasi politik bukan sekedar soal kesadaran berpolitik saja tapi menyangkut kemampuan untuk mengorbankan sumber daya material yang bernilai. Partisipasi bukan sekedar keinginan, tapi telah memenuhi kriteria untuk disebut sebuah power, yang digunakan untuk mempengaruhi atau merubah putusan sistem politik. Mengingat sumber daya politik dapat diwakilkan oleh sumber daya ekonomi, maka partisipasi politik adalah fungsi dari penguasaan sumber daya ekonomi. Istilah sumber daya ekonomi sudah menunjukkan bahwa sumber daya itu bernilai, kompetitif dan langka (scarce).43 Semakin besar penguasaan seseorang atas sumber daya ekonomi maka semakin besar potensi kekuatan politiknya dan semakin besar potensi kekuatan partisipasi politiknya (potential political participation power). Disini disebut potensi kekuatan partisipasi politik, karena bisa saja kekuatan politik itu tidak dipergunakanya, Mohtar Mas’oed, Colin MacAndrews (Editor), Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2000), hal. 45 43 Roger A Arnold, Macroeconomics, (Mason, OH: Thomson Higher Education, 2008), p.4 42 14 tidak aktual, masih tetap dalam bentuk potensi saja. Potensi itu menjadi kekuatan politik aktual ketika dipergunakan dalam partisipasi politik. Potensi kekuatan politik seorang guru besar ilmu politik, yang memiliki jaringan politik luas dan reputasi yang tinggi, akan tetap sebagai potensi jika tidak digunakan dengan aksi nyatanya didalam partisipasi politik. Dengan menggunakan pendekatan power over resources dapat disimpulkan bahwa kekuatan partisipasi politik seseorang, sekelompok anggota masyarakat, tergantung kepada luasnya penguasaan sumber daya ekonomi. D. Relasi Bisnis-Politik; Power Over Resource Approach Diatas telah disimpulkan bahwa seseorang dengan penguasaan sumber ekonomi yang besar memiliki potensi kekuatan partisipasi politik yang besar. Dalam konteks sistem ekonomi pasar, kapitalisme, orang dengan penguasaan sumber daya ekonomi yang besar tersebut adalah mereka yang termasuk golongan kelas pemilik modal, yang secara tradisi disebut kaum borjuis.44 Inti dari kaum borjuis adalah pengusaha, perusahaan45, industriawan, pedagang, yang didukung lapisan berikutnya yaitu para profesional perkotaan, bankir, manajer, lawyer. Pada awal kelahirannya abad 17, mereka adalah pendukung utama liberalisme, sebagai kelompok menengah baru, rising class of merchants, pendukung John Locke saat pecahnya perseteruan raja dengan parlemen yang dikuasai partai Locke, Liberal Whig party.46 Pada masa kini, semua anggota kelompok itu biasa dikenal dengan istilah kelompok bisnis. Jika pada zaman feodalisme, penguasa sumber daya ekonomi adalah kelompok bangsawan-Aristokrat, pada era kapitalisme penguasa sumber daya ekonomi adalah kelompok bisnis. Pada kelahiran kapitalisme, salah satu tema utama perjuangan kaum borjuis adalah meminggirkan negara dari ekonomi, membuat ekonomi bebas dari pengaruh negara, melalui semboyan kaum kapitalis; Laisse Faire (biarkan kami bebas).47 Tapi mengapa, ketika kapitalisme telah 44 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 103 45 Orang (natuurlijk persoon) dan Perusahaan (rechtspersoon) menurut ilmu hukum adalah sama-sama subjek hukum.. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban.Lihat, Achamd Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2008), hal.175 46 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 57, 103 47 Roger A. Arnold, Macroeconomics, (Mason, OH: Thomson Higher Education, 2008), 189 15 menjadi sistem ekonomi yang mendunia, kelompok bisnis malah masuk atau mendekati sistem politik, membaurkan ekonomi dengan politik? Bagaimana menjelaskan fenomena yang kontradiktif ini? Apa tujuan dari kelompok bisnis menggunakan potensi kekuatan partisipasi politik mereka untuk memasuki lingkaran sistem politik? Sistem politik yang dimaksud disini adalah sistem politik menurut pendekatan struktural fungsional Almond48, yang mengisi Black Box sistem politik David Easton49 dengan struktur, fungsi dan proses politik. Menurut Almond, semua sistem politik memiliki struktur dan fungsi yang universal. Struktur politik dan fungsi politik tersebut berlaku dimana saja, termasuk di Indonesia. Almond (1974) menunjukkan enam lembaga politik yang mengisi struktur politik. Enam lembaga politik tersebut adalah; Kelompok kepentingan, Partai politik, Badan legislatif, Badan Eksekutif, Birokrasi dan Badan Peradilan. Struktur politik tersebut menjalankan delapan fungsi politik, yaitu: Sosialisasi politik, Rekrutmen politik, Komunikasi Politik, Artikulasi kepentingan, Agregasi kepentingan, Pembuatan Kebijakan, Penerapan Kebijakan, Ajudikasi Kebijakan.50 Kelompok bisnis menggunakan potensi kekuatan partisipasi politik mereka untuk mempengaruhi hasil-hasil dari proses berfungsinya lembaga-lembaga yang ada didalam struktur politik. Kelompok bisnis mempengaruhi hasil putusan lembaga-lembaga politik baik secara tidak langsung maupun langsung. E. Motif Relasi Bisnis-Politik: Security Ketika kelompok bisnis menggunakan potensi kekuatan partisipasi politiknya kedalam sistem politik, maka sesuai dengan definisi partisipasi politik, tujuannya adalah untuk mempengaruhi keputusan politik agar memihak kepentingannya. Sebelum pembahasan 48 Gabriel A. Almond, A Functional Approach to Comparative Politics, in Gabriel A. Almond, James S. Coleman (editors), The Politics of The Developing Areas, (New Jersey; Princeton University Press, 1971), p.3-64 49 Stephen L. Wasby, Political Science The Discipline And Its Dimensions, (New York; Charles Scribner’s Sons, 1970), p. 110 David Easton, A Framework for Political Analysis, (New Jersey; Prentice-Hall, Inc, 1965), p.112 50 Mohtar Mas’oed, Colin MacAndrews (Editor), Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2000), hal. 27-31 Gabriel A. Almond, A Functional Approach to Comparative Politics, in Gabriel A. Almond, James S. Coleman (editors), The Politics of The Developing Areas, (New Jersey; Princeton University Press, 1971), p.17 16 aspek kepentingannya, perlu diketahui lebih dahulu motif kaum bisnis melakukan aksi partisipasi politik. Motif kaum bisnis adalah keamanan (security motive) dalam arti luas. Motif keamanan itu luas muncul meliputi semua tingkatan kebutuhan yang disebutkan oleh Maslow(1943). Maslow menyebutkan enam tingkatan kebutuhan yang memotivasi tindakan manusia yaitu; Physiological Needs, Safety Need, Social Need, Esteem Needs, Self Actualization Need.51 Orang memerlukan keamanan (security) dimanapun dia berada dalam struktur tingkat kebutuhan yang telah bisa dicapainya dan menjadi pola hidupnya. Seseorang yang telah mampu memenuhi kebutuhan pada tingkat esteem needs seperti, status sosial yang tinggi, prestise, kehormatan, dan telah terbiasa hidup dengan limpahan esteem needs, akan terpenjara dengan kebiasaan tersebut dan berusaha untuk mengamankan kebiasaan tersebut, dan berusaha keras agar tidak jatuh. Hal yang sama juga terjadi pada orang yang baru mampu memenuhi kebutuhan makan dan pakaian saja. Dia memerlukan keamanan kebutuhan makan dan pakaiannya untuk tetap terpenuhi. Sesuai dengan motif tersebut, kaum bisnis menggunakan kekuatan potensi partisipasi politik untuk tujuan yang sesuai dengan motif security tersebut. Motif security yang melandasi kepentingan kaum bisnis terhadap negara sudah muncul sejak 200 tahun yang lalu. Motif itu sudah tercermin dengan jelas didalam gagasan filosofis politik yang berkembang menjelang kelahiran ekonomi klasik pada abad 17 di Inggris. Gagasan pemisahan ekonomi dari negara sudah terlihat pada masa Thomas Hobbes(1588-1679), didalam bukunya Leviathan yang terbit tahun 1651,52 pada saat mana pemikiran tentang perlindungan hak pribadi yang tidak terbatas pada kaum aristokrat menjadi kian penting. Hobbes hidup pada masa perang sipil. Suasananya begitu kacau sehingga Hobbes menyatakan kondisi alamiah relasi antar manusia (state of nature) adalah saling bermusuhan satu sama lainnya, atau dalam state of war 53. Manusia berada dalam situasi kehidupan yang ‘solitary, poor, nasty, brutish and short.54 State of nature yang chaotic 51 Michael R. Salomon, Consumer Behavior, (New Jersey; Pearson Education, Inc, 2007), p.126-127 52 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 57, 61 53 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 61 54 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 58 17 tersebut, tidak bertentangan dengan pengakuan bahwa manusia memiliki hak-hak alamiah yaitu bebas (free) dan setara (equal). Manusia menjadi buas seperti binatang, adu kekuatan, siapa kuat dia yang menang, saling rampas, saling bunuh antar sesamanya adalah justru karena kebebasan tiap orang untuk memperjuangkan kepentingan pribadinya, yaitu mempertahankan hidup (preserving of life). Formula Hobbes untuk keluar dari siatuasi chaotic tersebut adalah perlunya kehadiran penguasa yang kuat dan absolut. Kebutuhan terhadap kekuasaan (power) menjadi landasan legitimasi bagi kehadiran negara.55 Dalam kaitannya dengan hak (ius), Hobbes menyebutkan, hak adalah kebebasan untuk berbuat atau untuk menahan diri, hukum (law, lex) menetapkan dan mengikat”. Keduanya dua sisi dari mata uang yang sama. Hukum alam (law of nature) dan hukum sipil adalah sama. Hanya negara sebagai sumber dari hukum sipil.56 Implikasi pandangan Hobbes ini adalah, dalam hal hak milik pribadi, maka negara menjadi penjaminnya. Hak milik pribadi yang alamiah (ius) dijamin oleh negara dengan hukum (lex). Kekuasaan negara itu harus absolut, karena state of nature antar manusia yang buas sehingga walaupun secara alamiah hak milik pribadi sudah ada (ius naturale) namun hak-hak itu tidak terjamin. Ian Saphiro menyebutkan, kewenangan mutlak yang diberikan oleh Hobbes kepada negara itu sesungguhnya kewenangan yang menurut kriteria liberal memang tidak bisa ditawar, yaitu adanya jaminan hak milik pribadi dan kedaulatan hukum, keutuhan wilayah dan sistem moneter yang efektif, tegaknya kesepakatan dan pemberian sanksi pada kejahatan serta pemungutan pajak bagi tujuan-tujuan terbatas. Maksud Hobbes, tanpa adanya kekuasaan yang tegas dan otoritatif serta dapat menegakkan aturan dan norma yang diperlukan bagi interaksi sosial, maka masyarakat akan kacau. Hobbes menyatakan, “singkirkan hukum sipil, dan tidak seorangpun tahu mana milik dia, dan mana milik orang lain”. 57 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 308 55 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 329 56 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 311 57 Ian Saphiro, The Evolution of Rights in Liberal Theory (1996), Terjemahan oleh Masri Maris, Evolusi Hak Dalam Teori Liberal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 69 18 Locke menolak gagasan Hobbes tentang state of nature yang kacau dan perlunya pemerintah yang absolut. Menurut Locke, state of nature tidak kacau sehingga tidak memerlukan pemerintah yang absolut untuk membuatnya tertib. State of nature Locke yang tidak kacau, walau tetap ada ketidaknyamanan, membuat kebutuhan terhadap pemerintah hanya untuk mengatasi ketidaknyamanan saja. Tingkat kebutuhannya terhadap kehadiran penguasa tidak setinggi seperti Hobbes. Konsepsi Locke menunjukkan bahwa tanpa ada pemerintah, manusia sudah bisa mengatur dirinya sendiri dan melakukan kerjasama. Pada state of nature, dengan rasionya, manusia dapat mengetahui bahwa sejak lahir manusia telah memiliki hak-hak alamiah yang terdiri dari life,liberty and estate yang kesemuanya dapat disebut property.58 Hak dasar manusia tersebut bersifat pra-negara, yang telah dimiliki manusia sebelum negara ada. Hak-hak alamiah tersebut ada karena hukum alam dan bukan merupakan lisensi dari siapapun. Karena dalam state of nature semua manusia memiliki hak yang sama terhadap kebebasan, maka kekuasaan yang diletakkan diatas seseorang harus dengan persetujuannya. Hak kebebasan yang sama bermakna bahwa tidak ada hak seseorang untuk menguasai orang lain, kecuali orang yang dikuasai itu setuju. Kekuasaan yang dipaksakan atas seseorang tanpa persetujuannya adalah tidak syah. Oleh karena itu kekuasaan negara hanya syah jika terdapat persetujuan para subjeknya, rakyatnya. Jika Hobbes membenarkan penguasa politik karena kebutuhan, Teori persetujuan Locke memberi landasan legitimasi kekuasaan politik berdasarkan persetujuan orang yang dikuasainya.59 Locke kemudian mengemukakan pandangannya tentang negara dengan theory social compact atau social contract. Menurut teori ini, terdapat dua tahap perjanjian di dalam proses pembentukan kekuasaan politik (negara). Pada tahap pertama yang disebut Pactum Unionis, manusia yang bebas, setara dan independen membentuk masyarakat politik (negara) melalui kesepakatan individu. Pada tahap kedua, yang disebut pactum Subjectionis, setiap persetujuan bersama antar individu terbentuk atas dasar mayoritas. Kesepakatan tersebut tidak berarti penyerahan semua hak individu kepada negara. Hak-hak alamiah manusia, life, liberty, property, atau semuanya disebut property, tetap 58 Frederick Copleston SJ, The Utilitarian Movement, in A History of Philosophy, Volume VIII, (New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, 1985), 11 59 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 329 19 tinggal pada individu dan harus dilindungi oleh negara.60 Kepentingan sosial tidak dapat dijadikan alasan untuk mengganggu kepentingan ketiga hak-hak dasar individu tersebut. Jika dibandingkan dengan Hobbes, maka Locke merubah natural law Hobbes menjadi natural rights.61 Namun natural right belum merupakan hak milik karena hanya hak milik yang memiliki pelindung kekuatan yang bisa dipaksakan. Natural rights belum memiliki kekuatan yang memaksa. Dalam status natural rights, akan selalu ada orang yang masih mau mengambilnya. Disamping itu menurut Locke, besarnya natural rights hanya sebatas yang diperlukan untuk kebutuhan biologis diri dan keluarga saja. Harta yang dimiliki diluar kebutuhan biologis tidak bisa menjadi hak milik atas dasar natural right. Harta itu menjadi hak milik atas dasar persetujuan sosial atau social rights.62 Konsepsi Locke tentang social rights sebagai dasar property rights membutuhkan lembaga untuk menegakkan dan melindunginya. Lembaga itu adalah negara karena negara bisa memberikan keabsyahan hak milik. Negara memiliki wewenang membuat hukum dan menggunakan kekuatan memaksa untuk menegakkannya, melindungi hak milik yang syah menurut hukum dan membatalkan hak milik yang illegal. Hal ini menunjukkan bahwa liberalisme Locke melihat natural rights merupakan produk alam, atau dari Tuhan, sedangkan hak milik (property rights) merupakan produk sosial. Adam Smith Adam Smith (1723-1790) melalui bukunya Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations (1776), yang dikenal sebagai pendiri aliran ekonomi klasik, bapak ilmu ekonomi.63 mendorong kelas menengah kota, kaum borjuis; pedagang, profesional, menentang monopoli negara atas kegiatan ekonomi. Inti dari pandangan ekonomi klasik adalah ekonomi ‘laissez faire’; biarkan kami bebas, yang menunjukkan bahwa kemakmuran akan lebih baik jika kegiatan ekonomi dibebaskan dari negara. Ekonomi lebih baik 60 Satya Ariananto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, 2011), 75 Lihat juga; Frederick Copleston SJ, Locke (4), in A History of Philosophy, Volume V, (New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, 1985), 128 61 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 338 62 Lee Cameron McDonald, Western Political Theory, Part 2, (New York; Harcourt Brace Jovanovich, Inc, 1962), p. 330 63 Paul A. Samuelson , William D. Nordhaus, Economics, (New York: McGrawHill, 2010), p. 30 20 diserahkan kepada individu-individu, yang diberikan kebebasan berkompetisi melalui mekanisme pasar mengejar self interest mereka. Tangan tak terlihat (invisible hands) akan mengorganisir semua self interest individu tersebut kepada kemakmuran seluruh masyarakat yang lebih baik.64 Menurut Smith, negara harus terlibat seminimal mungkin didalam pertukaran ekonomi. Fungsi negara menurut Smith dibatasi hanya ada tiga yaitu; (1) mempertahankan negara dari invasi musuh, (2) mempromosikan keadilan, terutama melindungi hak milik pribadi (protecting property rights) dan memelihara ketertiban, serta (3) menyediakan barang-barang publik yang tidak disediakan oleh swasta, seperti jembatan, jalan, pelabuhan.65 Dari pandangan Hobbes, Locke dan Smith diatas dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, walaupun mereka menginginkan pemisahan ekonomi dari negara, tidak berarti bahwa ekonomi tidak membutuhkan negara. Ekonomi membutuhkan negara, karena tanpa negara ekonomi akan kacau, kembali kepada kondisi state of nature, yang kacau menurut Hobbes atau tidak menyenangkan menurut Locke. Kedua, mereka menggantungkan harapan mereka kepada negara untuk keamanan operasi pasar ekonomi dan keamanan hasil-hasil kekayaan yang diproduksinya. Hal itu diungkapkan dengan bahasa preserving of life, penjamin hak milik pribadi (protecting property), penjamin ketertiban dan penjaga dari invasi musuh. Walaupun kedudukan power negara mengalami degradasi dari penguasa absolut (Hobbes), tunduk kepada kesepakatan warga, kontrak sosial (Locke) dan penjaga ketertiban, nachtwachterstaat, night-watchman state (Adam Smith), namun tetap memelihara adanya fungsi untuk menjaga hak hidup (preserving of life), menjamin hak milik pribadi (protecting property) atau menjaga keamanan kekayaan (protecting wealth), yang semuanya termasuk kategori security; of right, of property, of wealth. Sejak kelahiran kapitalisme, motif security tersebut muncul secara konsisten dalam konteks relasi masyarakat-negara, khususnya relasi masyarakat ekonomi-negara atau bisnis-politik. F. Tujuan Relasi Bisnis-Politik Dalam perjalanannya, gagasan kapitalisme yang menetapkan fungsi negara untuk protecting private wealth mengalami gangguan64 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 68 65 Terence Ball, Richard Dagger, Political Ideologies and the democratic Ideal, (New York; Harper Collins Publisher, 1991), p. 70 21 gangguan. Gangguan utama datang dari konsep ekonomi sosialisme Uni Sovyet, yang menjadikan negara sebagai pusat perencana alokasi sumber daya sehingga membuat teori kontrak sosial politik, konsep kontrak sukarela ekonomi antar anggota masyarakat kehilangan landasan. Sosialisme membuat negara dengan wewenang alokasi otoritatif menjadi dominan, kebebasan anggota masyarakat didalam proses alokasi sumber daya secara sukarela menjadi hilang dan gagasan protecting private wealth menjadi tidak relevan. Model sosialisme mengingatkan model alokasi otoritatif oleh negara seperti pada masa feodalisme, merkantilisme, pra-kapitalisme, yang ditentang oleh kapitalisme. Paska perang dunia kedua, negara-negara bangsa (nation states) baru yang lahir mendapatkan kemerdekaannya melalui proses ‘self determination’ dengan perang melawan kolonialisme, rasa nasionalisme itu sangat kuat. Gagasan membatasi peran negara seperti liberalisme dan kapitalisme sangat sulit untuk bisa diterima para pemimpinnya. Sosialisme dirasakan dapat memenuhi dahaga idealisme, gagasan negara untuk kepentingan kemakmuran bersama lebih mudah diterima, kolektivisme lebih cocok dihati daripada individualisme. Fenomena diatas disebutkan oleh Huntington, yang menyebutkan bahwa pokok fikiran warga Amerika ketika membahas pembentukan pemerintahan terutama akan tertuju kepada upaya untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan pemerintah tersebut. Rakyat negara berkembang tidak memaknai kekuasaan pemerintah dengan basis kesadaran seperti itu.66 Kepentingan nasionalisme yang kuat disertai dengan metode alokasi yang benar-benat otoritif tanpa ruang sukarela tersebut cocok dengan ciri-ciri ekonomi sosialisme. Negara tidak dimaknai sebagai institusi artifisial seperti anggapan teori kontrak sosial, tapi, negara adalah eksisten yang substantif. Implikasi selanjutnya, karena negara subtantif maka alokasi otoritatif negara tidak dianggap relatif tapi mutlak. Ketika akhirnya kapitalisme kemudian masuk kedalam negara berkembang karena kebutuhan modal, terjadi percampuran antara sosialisme dan kapitalisme tersebut. Percampuran itu membuat fungsi negara dalam hubungannya dengan pasar berubah dari protecting rights kapitalisme menjadi preserving rights. Pengertian protecting dan preserving tersebut berbeda. Protecting, keeping something from being harmed, being lost,67 66 Samuel P. Huntington, Sahat Simamora dan Suryatim (penterjemah), Tertib Politik, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003,) hal. 9 67 http://www.meriam-webster.com 22 melindungi sesuatu yang sudah ada dari faktor luar yang merusak, sedangkan Preserving; keeping something from harm or loss; 68 memelihara atau melindungi sesuatu dalam kondisi yang seharusnya dari kerusakan akibat faktor penyebab internal atau eksternal. Didalam protecting, orientasinya ke pihak luar, yang menggangu atau merusak, seperti protecting country. Implisit didalamnya, pihak internal tidak merupakan faktor penyebab kerusakan, tidak melakukan perusakan. Apa yang dilindungi negara sudah terbentuk. Didalam protecting, negara hanya aktif jika sistem menghadapi gangguan atau ancaman. Kalau tidak ada gangguan terhadap sistem, maka negara diam saja. Didalam preserving, orientasinya kepada faktor penyebab internal dan eksternal. Penyebab kerusakan bisa dari internal dan eksternal. Didalam preserving, negara aktif melindungi, memelihara dan membina dimensi-dimensi normatif yang harus dilindunginya itu. Preserving lebih aktif daripada protecting. Contohnya, negara aktif terlibat didalam didalam melindungi nyawa atau kehidupan warga, sehingga Hobbes menulis istilah preserving of life. Fungsi negara didalam preserving right menunjukkan adanya peran aktif negara didalam merumuskan dan menegakkan ‘rights’ yang menurut negara perlu dilindungi.Pandangan ini lebih dirasa pas dengan cita rasa nasionalisme daripada protecting rights, dimana definisi ‘rights’ atau ‘wealth’ sudah ditentukan, oleh kaum borjuis, dan negara hanya tinggal menjaganya saja. Adanya keterlibatan aktif negara didalam perumusan ‘rights’ membuat negara terlibat didalam alokasi pasar, dengan metode alokasi otoritatif yang ditafsirkan secara mutlak. Alokasi otoritatif oleh negara ikut membentuk struktur kepemilikan dan kekayaan di masyarakat. Situasi ini tidak kondusif bagi investasi asing karena tak ada jaminan hak milik yang final, dan resiko nasionalisasi menjadi material jika fenomena itu diikuti oleh nasionalisme yang kuat. Hal yang sama dirasakan oleh kelompok bisnis nasional, namun mereka lebih paham dan lebih baik didalam menyikapinya. Konteks preserving wealth itu bisa menjadi expanding wealth karena metode alokasi negara membuka peluang tersebut. Bagi kelompok bisnis, keterlibatan negara didalam penciptaan struktur kekayaan masyarakat mengandung peluang untuk memperluas kekayaan, bukan hanya sekedar memelihara kekayaan yang sudah ada saja. Ketika kelompok bisnis memasuki politik, motif awal ‘security’ tersebut kemudian diterjemahkan menjadi tiga tujuan yaitu, (1) 68 http://www.meriam-webster.com 23 preserving wealth, (2) expanding wealth dan (3) risks protection. Jeffrey Winter, penulis teori Oligarki, menyatakan bahwa tujuan oligarki adalah untuk wealth defence.69 Warga biasa ingin jika hartanya mendapatkan perlindungan dari pencurian. Oligark ingin lebih dari sekedar perlindungan harta miliknya dari pencurian, prioritas mereka adalah mendapatkan peluang untuk meningkatkan kekayaannya. Mereka juga menfungsikan kekayaannya sebagai benteng pertahanan atas kekayaannya.70 Tujuan Oligark yang disebutkan oleh Winters adalah kombinasi pertahanan kekayaan dan memperluas kekayaan, yang bisa dikategorikan sebagai kombinasi wealth preserving dan wealth expanding. Tujuan, expanding wealth adalah variasi lain yang dikembangkan dari preserving wealth. Preserving dalam konteks mempertahankan dan membina kekayaan, sedangkan expanding lebih eksplisit untuk mengembangkan kekayaan. Tujuan risk protection dikemukakan disini karena politik menimbulkan resiko bagi sistem ekonomi. Bagi dunia usaha dan bagi aktor-aktor bisnis, resiko itu merupakan bagian dari resiko politik. Dalam kajian ini, resiko yang relevan muncul akibat perbedaan metode alokasi ekonomi dan metode alokasi sistem politik. Metode alokasi sistem politik, atau negara, yang didasarkan kepada otoritas merupakan resiko bagi sistem ekonomi. Resiko itu terletak kepada kemungkinan intervensi alokasi otoritatif sistem politik kedalam sistem ekonomi, dan menimpa industri atau bisnis tertentu. Resiko itu cukup signifikan karena sumber daya ekonomi tertentu bisa berubah alokasinya hanya melalui secarik kertas keputusan pemerintah. Keputusan memasukkan industri tertentu kedalam daftar negative list, keputusan menaikkan UMR , mencabut subsidi BBM, moratorium izin penangkapan ikan atau menasionalisasi perusahaan asing akan dapat merusak kekayaan aktor bisnis tertentu. Keputusan-keputusan itu semua bersifat otoritatif, tidak melalui mekanisme pasar, tapi dengan akibat-akibat yang substantif terhadap mereka yang berada dipasar. Mengingat adanya persepsi perbedaan alokasi antara ekonomi dan politik, maka kelompok bisnis yang menggunakan kekuatan pastisipasi politiknya juga memiliki dua preferensi. Pertama, kelompok 69 Jeffrey Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia, (Jakarta; LP3ES, Majalah Prisma, Volume 33, 2014), hal. 17 70 Jeffrey A. Winters, Wealth Defense and the Limits of Liberal Democracy, for Annual Conference of the American Society of Political and Legal Philosophy on the topic of ‘Wealth’ Washington DC August 28-31, 2014, Revised version 25 April 2015, http://www.ssrn.com/abstact=2452419 24 bisnis yang memiliki komitmen kepada alokasi melalui mekanisme pasar atau by choice, dan kedua, mereka yang tidak memiliki komitmen kepada mekanisme pasar, dan lebih menyukai metode alokasi otoritatif. Perbedaan preferensi kedua kelompok bisnis tersebut timbul akibat pemaknaan yang berbeda tentang metode alokasi otoritatif. Kelompok pertama melihat metode alokasi otoritatif sistem politik sebagai ancaman bagi operasi mekanisme pasar. Kelompok pertama ini berkepentingan menjaga operasi pasar agar tetap konsisten berdasarkan mekanisme pasar, karena mekanisme pasar itu yang telah memberi mereka kekayaan. Kelompok bisnis yang kedua tidak melihat metode alokasi otoritatif sebagai ancaman tapi justru sebagai peluang. Kelompok kedua lebih menyukai alokasi otoritatif karena model alokasi itu yang telah memberinya atau dianggapnya mudah memberinya kekayaan. Matrik Relasi Bisnis-Politik Berdasarkan Komitmen Terhadap Ekonomi Mekanisme pasar Kelompok Bisnis Komitmen Sistem Politik (Negara) Komitmen (Imparsial) Tidak komitmen (1) Ideal (2) Birokrat Rente Tidak komitmen (3) Pengusaha Rente (4) Predator Dari segi sistem politik, maka sikap sistem politik terhadap mekanisme pasar juga ada dua jenis yaitu, pertama, sistem politik yang memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar, dan kedua, sistem politik yang tidak memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Sistem politik yang ambivalen termasuk didalam kelompok sistem politik yang tidak memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Jika kelompok bisnis dan kelompok sistem politik tersebut disatukan dalam sebuah matrik, maka terdapat empat kwadran alternatif kombinasi relasi bisnis dan politik. Pertama, kwadran (1) menggambarkan situasi ideal, didalam situasi ini kelompok bisnis yang memiliki komitmen untuk menjalan usaha ekonomi berdasarkan prinsip mekanisme pasar, berhadapan 25 dengan sistem politik atau negara yang juga memiliki komitmen untuk memelihara ekonomi mekanisme pasar. Pada situasi ini sebenarnya tidak terdapat dorongan bagi kelompok bisnis untuk menggunakan potensi kekuatan partisipasi politiknya, karena sistem politik sendiri menjaga agar sistem ekonomi berjalan sesuai mekanisme pasar. Sistem politik akan menjaga sehingga metode alokasi otoritatif yang dimilikinya tidak sampai mengganggu atau mengintervensi alokasi sumber daya melalui mekanisme pasar, by choice, didalam sistem ekonomi. Situasi ini merupakan situasi yang sehat dan mampu membuat perekonomi memiliki fundamental yang kuat, dengan asumsi bahwa mekanisme pasar berjalan sempurna. Dengan catatan, disini tidak diperhitungkan tentang adanya masalah kepincangan pendapatan yang sebetulnya konsisten dihasilkan oleh sistem ekonomi kapitalis.71 Sejak merdeka, Indonesia belum pernah memiliki situasi dimana kelompok bisnis dan sistem politik sama-sama memiliki komitmen terhadap ekonomi berbasis mekanisme pasar. Revolusi industri tahun 1750, dan komitmen terhadap gagasan mekanisme pasar Adam Smith tahun 1776, anti merkantilisme, berhasil membuat Inggris menjadi imperium dan negara industri paling maju pada abad 19. Kedua, merupakan situasi dimana sistem politik tidak memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar, sementara kelompok bisnis memiliki komitmen untuk menjalankan usaha dengan mekanisme pasar, maka sistem politik dipandang oleh kelompok bisnis sebagai sumber resiko. Resiko itu adalah kemungkinan bahwa metode alokasi otoritatif digunakan oleh sistem politik didalam sistem ekonomi. Kelompok bisnis akan terdorong untuk menggunakan potensi kekuatan partisipasi politiknya didalam sistem politik. Tujuannya adalah untuk membentengi sistem ekonomi umumnya, khususnya industri kelompok bisnisnya, agar terhindar dari alokasi otoritatif oleh sistem politik, seperti keputusan monopoli impor, monopoli distribusi atau keputusan nasionalisasi perusahaan asing. Birokrat menyukai situasi ini karena memberi mereka peluang mendapatkan kekayaan secara mudah. Jika situasi birokrat rente ini persisten maka lama-lama kelompok bisnis 71 Penulis menganjurkan Ekonomi Bagi Hasil untuk; (1) mengatasi kesenjangan pendapatan yang persisten dihasilkan kapitalisme, (2) untuk meningkatkan kemampuan entreprenurship masyarakat, memperluas sumber aktoraktor entrepreneurship dan, (3) untuk menghindarkan masyarakat, negara dari ketergantungan terhadap sumber entrepreneur dari kelompok pengusaha-kaum pemilik modal yang eksklusif. Lihat : Ediarno, Teori Ekonomi Bagi Hasil, (Serang: Penerbit A-Empat, 2014) 26 akan terpengaruh mengikuti pola alokasi otoritatif, yang membuat pergeseran situasi kepada kwadran (4); predator. Ketiga, pada situasi ini sistem politik memiliki komitmen terhadap ekonomi berbasis mekanisme pasar, namun kelompok bisnisnya jenis mereka yang tidak memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Situasi bisa berkembang menjadi dua alterlatif. Jika sistem politik konsisten dengan mekanisme pasar, maka kelompok bisnis akan terpaksa mengikuti sehingga kelompok bisnis tersebut menjadi kelompok yang memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Atau, kelompok bisnis yang tidak pro-mekanisme pasar hilang digantikan oleh mereka yang memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Situasi itu menghasilkan pergeseran dari kwdaran (3) kepada kwadran (1); kondisi ideal. Namun, jika akhirnya sistem politik tidak konsisten dengan komitmennya terhadap mekanisme pasar, akibat kuatnya pengaruh kelompok bisnis yang anti mekanisme pasar, maka akan terjadi pergeseran dari kwadran (3) ke kwadran (4); kondisi terburuk. Ke-empat, adalah situasi terburuk dimana sistem politik dan kelompok bisnis sama-sama tidak memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Ini adalah gabungan situasi dimana birokrat dan kelompok bisnis sama-sama pencari rente ekonomi. Dalam situasi seperti ini tidak mungkin terbentuk fondasi ekonomi yang kuat, karena tidak ada yang berfikir tentang efisiensi, padahal alokasi yang efisiensi menjadi faktor kunci pertumbuhan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Hanya dengan mengetahui efisiensi, inovasi menjadi terfikirkan dan memicu lahirnya tehnologi baru, produk baru, tehnik produksi baru dan cara-cara pemasaran baru. Hanya inovasi yang akan mampu memberikan pertumbuhan ekonomi tinggi karena inovasi mampu memberikan keuntungan usaha yang besar. Inovasi yang marak akan membuat ekonomi dipenuhi produk-produk yang berada pada tahap pertumbuhan (growth) dalam product life cycle, dengan margin yang tebal, highest profits, recession resistant.72 Situasi ‘inovasi yang marak’ ini tidak terdapat pada kwadaran (4), karena kegiatan ekonomi yang dijalankan cenderung yang bersifat rente. Situasi pada kwadran (4) rentan terhadap krisis ekonomi dan kerusuhan sosial. Penyebabnya adalah dua, pertama ekonomi tidak memiliki fundamental yang kuat. Kedua, kesenjangan yang besar dan cemburu sosial akibat terbentuknya 72 Michael E. Porter, Competitive Strategy, Techniques For Analyzing Industries and Competition, (New York, The Free Press, 1980), p. 157-161 27 kelompok elite politik dan elite ekonomi yang eksklusif. Walaupun kapitalisme menciptakan kesenjangan, namun dia masih punya cara yang jelas untuk mendistribusi pendapatan yaitu mekanisme pasar, dan yang agak ilusif adalah mekanisme trickle down effect. Didalam situasi kwadran (4), tidak ada mekanisme distribusi pendapatan kebawah yang jelas dan sistematis, kecuali kedermawanan individu (benevolence). G. Aplikasi Dan Penilaian Empat situasi teoritis yang digambarkan masing-masing kwadran diatas bisa hadir secara nyata dalam bentuk kombinasi. Namun kita tetap bisa menggunakannya dengan menggunakan rule of thumb, yaitu; “Jika sistem politik memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar, maka tidak ada insentif bagi kelompok bisnis untuk mendekati atau memasuki sistem politik, karena tidak ada manfaatnya bagi kelompok bisnis tersebut”. Jika fenomena yang aktual terjadi ternyata banyak kelompok bisnis yang mendekati atau memasuki sistem politik, maka hal itu merupakan indikator bahwa sistem politik tidak atau kurang memiliki komitmen terhadap mekanisme pasar. Metode alokasi otoritatif masih banyak dipergunakan didalam ekonomi. Sistem politik masih melakukan intervensi kedalam ekonomi dengan metode alokasi otoritatifnya, melalui secarik kertas keputusan. Situasi ini diketahui kelompok bisnis, yang melihatnya sebagai peluang untuk preserving wealth dan expanding wealth. Artinya, perekonomian tidak efisien, tidak kuat fundamentalnya karena ekonomi dan politik berada didalam kwadran (4), yang persentase kekentalannya ditunjukkan oleh banyaknya kelompok bisnis yang berada di arena sistem politik. Semakin banyak kelompok bisnis yang berada di sistem politik, maka semakin kental predatorisme. Dengan menggunakan perspektif diatas, maka model Predatory 73 state dan teori oligarki yang disebutkan oleh Jeffrey Winter 74akan muncul didalam situasi kwadran (4). Para individu pemimpin kelompok bisnis memasuki dan mempengaruhi sistem politik, bertahan lama didalamnya dan menjadikan sistem politik sebagai sarana preserving wealth dan expanding wealth. Tujuan itu hanya mungkin tercapai jika sistem politik, dijaga agar, tidak memiliki komitmen penuh terhadap berjalannya alokasi mekanisme pasar didalam ekonomi. Metode alokasi 73 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 55 74 Jeffrey A. Winters, Zia Anshor (alih bahasa), Oligarki, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal.8 28 yang dominan digunakan didalam sistem ekonomi adalah alokasi otoritatif. Fenomena kwadran (3) ditunjukkan oleh teori Rent-seeking Bureaucrats model Predatory state.75 dimana birokrat menggunakan rasionalitas ekonomi, yaitu keuntungan pribadi atau kelompok, sebagai dasar didalam membuat kebijakan. Birokrat memproduksi kebijakan, peraturan yang tujuannya bukan untuk meningkatkan nilai tambah produk, tapi untuk motif mencari untung (rent seeking). Putusannya bahkan mendistorsi pasar. Rent seeking, sebenarnya bisa dilakukan siapa saja, bukan hanya birokrat. Pengertiannya dalam ekonomi politik dikonotasikan sebagai tindakan negatif.76 Rent seeking diartikan sebagai tindakan mencari untung tanpa usaha nyata meningkatkan nilai tambah produk bahkan usahanya menghambat terbentuknya pasar yang efisien. Pelaku Rent seeking baik birokrat maupun kelompok bisnis mencari kekayaan dari memanfaatkan kekuasaan otoritatif pemerintah. Disamping Winter, terdapat tiga peneliti asing yang pernah melakukan penelitian ekonomi dan politik Orde Baru di Indonesia. Mereka adalah William D Lidle (1996)77, Richard Robinson(1986)78 dan Andrew Macintyre (1991)79. Kesimpulan dari tiga peneliti tersebut dapat dilihat dengan menggunakan perspektif empat kwadran pada 75 Deliarnov, Ekonomi Politik,( Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hal.66-70 Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empiris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 57 77 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996) Pendekatan yang digunakan Liddle adalah political leadership dan political culture yang khusus. Political Culture umumnya melihat hubungan langsung antara budaya politik dengan perilaku politik masyarakat. Political Culture yang khusus adalah; melihat hubungan budaya politik dengan perilaku politik tidak berhubungan secara langsung, tapi dimediasi, dipengaruhi oleh proses akumulasi, mobilisasi dan penempatan sumber daya ekonomi dan politik oleh aktor-aktor sosial dan aktor-aktor politik didalam masyarakat. Budaya politik itu sendiri bukan hanya dibentuk oleh struktur sosial saja tapi dibentuk oleh aksi-aksi individu yang melakukan akumulasi sumber daya dan menggunakannnya untuk merubah substansi budaya politik masyarakat. Dengan demikian budaya politik adalah sebuah proses sejarah, yang terus berubah, tergantung kepada, dibentuk oleh aksi-aksi perubahan yang dilakukan oleh individu, tokoh pada konteks struktur sosial yang ada pada zamannya. ( p. 11). Pandangan Liddle berbeda dengan Marx yang melihat budaya politik sebagai produk langsung dari struktur kelas sosial. Liddle menempatkan peran aktor dan sumber daya yang diakumulasi oleh aktor tersebut diantara struktur sosial dan budaya politik. 78 Richard Robinson, Indonesia: The Rise of Capital, (Sydney; Allen & Unwin, 1987) 79 Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia, (Sydney; Allen & Unwin, 1992) 76 29 matrik pendekatan Power Over Resources. Dalam kajian ini akan dibahas hasil penelitian William D Liddle dengan perspektif Empat Kwadran Power over Resource approach. Dalam rangka menjawab Huntington tentang pentingnya pelembagaan politik untuk tertib politik (political order)80 dan pemerintahan yang kuat81 dan civic polity82, Liddle menunjukkan buktibukti institusionalisasi politik yang telah dilakukan rezim otoriter Orde Baru yang memerintah sejak tahun 196683. Presiden Suharto adalah tokoh kunci didalam pelembagaan politik Orde Baru. Pelembagaan itu dilakukan dengan membangun; struktur politik orde baru dalam bentuk sebuah piramid yang curam, didominasi oleh puncaknya yaitu lembaga kepresidenan, dengan Presiden Suharto sebagai pusatnya, didukung oleh militer yang aktif didalam politik, birokrasi yang tersentralisasi, pola hubungan negara-masyarakat dibawah koptasi dan represi negara, dan kebijakan represif yang meniadakan organisasi oposisi.84 Didalam struktur juga termasuk, lembaga-lembaga yang memonitor hubungan negara-masyarakat dalam konteks kebijakan kooptasi dan represif seperti Kopkamtib, lembaga korporatisme negara yang dibentuk oleh pemerintah melalui departemen terkait, seperti Kadin.85 Kelompok Militer merupakan konstituen politik Suharto yang utama. Birokrasi merupakan konstituen politik Suharto yang kedua.86 Tentang partai politik, Liddle menunjukkan bahwa pendapat 80 Samuel P Huntington, Political order in changing society, penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 11 81 Samuel P Huntington, Political order in changing society, penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal.35 82 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 34, Civic Polity, suatu sistem politik yang memiliki tingkat rasio pelembagaan politik terhadap tingkat partisipasi politik yang tinggi. Lawannya adalah sistem politik praetorian dimana rasionya rendah, pelembagaan politiknya tidak dapat menampung tingkat partisipasi politik masyarakat. Lihat: Samuel P Huntington, Political order in changing society, penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 92-93 83 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 3 84 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 17, 18, 20, 21 85 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 17-20 86 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 125 30 Huntington tidak tepat karena walaupun pelembagaan politik terjadi, dengan adanya partai politik, PDI, PPP, Golkar, namun tidak terbentuk ‘value’87, sehingga walaupun Golkar merupakan partai yang besar, namun Golkar bukan institusi yang sentral didalam sistem politik Orde Baru.88 Huntington juga kurang tepat ketika mengkaitkan pelembagaan politik yang lemah dengan pemerintahan dan legitimasi yang lemah.89 Walaupun pelembagaan politik rendah, namun Orde Baru merupakan pemerintahan yang kuat dan terbukti bertahan selama 32 tahun. Hal itu menunjukkan legitimasi pemerintahan Orde Baru yang tinggi. Liddle menyebutkan legitimasi Orde Baru berasal dari aspek performance90. Prestasi ekonomi, yang didasarkan kepada kebijakan ekonomi yang konsisten dijalankan selama satu setengah dekade sejak tahun 1966 dan pendapatan minyak yang konsisten menyumbang lebih dari setengah APBN.91 Suharto merubah sumber kekayaan tersebut menjadi dukungan politik dengan mendistribusikan kekayaan tersebut, melalui atau kepada, mereka yang berada didalam struktur piramid Orde Baru, sampai ke desa-desa. Distribusi dilakukan dalam bentuk anggaran untuk kenaikan gaji PNS, meningkatkan standard hidup PNS yang belum pernah terjadi sebelumnya, pembangunan infrastruktur, subsidi alat pertanian, irigasi, pupuk untuk produksi beras sehingga menyenangkan pemilik lahan. Distribusi juga dilakukan dengan program INPRES yang menjangkau pedesaan, dengan pembangunan jalan, rumah sakit, sekolah dan pasar pedesaan. Dengan lanskap politik tanpa oposisi politik melalui kebijakan represif menciptakan stabilitas politik, dukungan kekayaan dari sumber daya minyak yang sangat besar, pendistribusiannya melalui piramid telah menunjang struktur piramid yang solid dan membuat pembangunan ekonomi dapat berjalan 87 Definisi Huntington tentang pelembagaan (institutionalization); the process by which organizations and procedures acquire value and stability’ Lihat: R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 20 Samuel P Huntington, Political order in changing society, penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal.16 88 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 11 89 Samuel P Huntington, Political order in changing society, penerjemah Sahat Simamora dan Suryatim, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 35 90 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 25 91 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 24 31 sampai ke desa-desa, yang pada akhirnya melahirkan dukungan politik yang kuat dan konsisten kepada pemerintahan orde baru.Huntington menyebutkan, sistem politik apapun akan mendorong pertumbuhan ekonomi sepanjang sistem itu mampu menciptakan tertib politik (political order).92 Pendapat Huntington tersebut tampaknya benar bahwa, apa yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah stabilitas politik, tidak tergantung kepada jenis sistem politiknya Sikap Presiden Suharto terhadap kapitalisme, adalah sama seperti sikap para pemimpin nasionalis pada zamannya, yaitu anti kapitalisme. Kapitalisme dianggap identik dengan kolonialisme. Mereka menolak kaum kapitalis diberi peran penting didalam pembangunan ekonomi. Gagasan pembangunan ekonomi yang diterima adalah peran negara yang kuat didalam ekonomi (statisme), dimana negara membuat rencana ekonomi, mengatur dan kadang-kadang memiliki dan menjalankan usaha bisnis. Gagasan pembangunan statisme tersebut cocok dengan pemerintahan yang birokratis dan patrimonialis, yang bersumber dari budaya politik pra-kolonial Jawa, monarki absolut.93 Namun sikap pro-state, antiforeign dan anticapitalist, ternyata bertolakbelakang dengan kebijakan ekonomi yang dipilih Presiden Suharto, yang memilih pandangan ekonom profesional lulusan Berkeley, kebijakan ekonomi yang pro-investasi asing dan pro-pasar.94 Kelompok ekonom profesional tersebut merupakan salah satu dari tiga segitiga pembentuk kebijakan ekonomi yang berada didalam piramid Orde Baru yaitu, Ekonom Profesional, Ekonom Nasionalis dan Patrimonialis.95 Ekonom nasionalis adalah sekelompok pejabat tinggi negara, yang lebih menyukai kebijakan pertumbuhan ekonomi cepat yang dipimpin negara, proyek-proyek dengan investasi kapital sangat besar, tanpa prospek manfaat yang jelas dalam jangka pendek dan menengah. Mereka umumnya, seperti Ibnu Sutowo dan Habibie, memiliki pendidikan terbatas dalam bidang ekonomi. Berbeda dengan 92 Adam Przaworski, Michael A Alvarez, Jose Antonio Cheibub, Fernando Limongi, Democracy and Development, Political Institutions and Well-Being in the World, 1950-1990, (New York; Cambridge University Press, 2000), p.187 93 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 115 94 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 110, 123 95 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 110, 124 32 kelompok ekonom profesional yang memang memiliki latar pendidikan ekonomi barat. Patrimonialis adalah pendukung utama politik Suharto, terutama kelompok militer, yang tidak banyak terlibat didalam pembentukan kebijakan ekonomi. Sepanjang orde baru, Suharto lebih banyak mengandalkan ekonom profesional didalam kebijakan ekonomi. Liddle mematahkan beberapa pandangan peneliti barat lainnya, seperti Harold Crough yang membandingkan pemerintahan orde baru dengan pola patrimonial Weber, dimana pemerintah lebih mementingkan elit daripada rakyatnya.96 Harold Crough menyatakan patriomonalisme tidak kompatibel dengan rasionalitas ekonomi liberal. Patrimonial lebih mementingkan favoritisme dan kesewenangan daripada sistem administrasi berdasarkan birokrasi yang rasional. 97 Pada faktanya, Orde Baru menunjukkan bahwa patrimonialisme ternyata dapat berjalan dan tidak menjadi faktor penghambat yang penting bagi berjalannya ekonomi berorientasi pasar.98 Dengan latar budaya politik patrimonial, doktrin ekonomi resmi yang dipilih orde baru adalah pembangunan ekonomi yang seyogyanya melibatkan tiga institusi yang harmonis, prinsip harmonis layaknya sebuah keluarga, yaitu; negara, koperasi dan sektor swasta.99 Prinsip kekeluargaan tersebut sesuai dengan pola patron-klien atau patrimonialisme yang mencerminkan pola hubungan kepatuhan bapak-anak. Patrimonialisme tidak menjadi faktor penghambat operasi kapitalis karena kesadaran Suharto yang membutuhkan mesin pencipta kekayaan untuk mendukung patrimonialisme atau patron-klien tersebut. Suharto menjadikan patrimonialisme sebagai alat untuk membangun dukungan politik. Patron-klien sebagai instrumen untuk membangun dukungan politik personal dilaksanakan dengan menjadikan patronklien sebagai dasar untuk menetapkan reward-punisment.100 Suharto sadar bahwa reward yang efektif kepada pendukung politik perlu berbentuk material, yang membutuhkan biaya yang besar. Kesadaran 96 R William Liddle, Leadership (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 38 97 R William Liddle, Leadership (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 110, 117 98 R William Liddle, Leadership (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 110, 123 99 R William Liddle, Leadership (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 116 100 R William Liddle, Leadership (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 118 and Culture in Indonesian Politics, and Culture in Indonesian Politics, and Culture in Indonesian Politics, and Culture in Indonesian Politics, and Culture in Indonesian Politics, 33 ini sudah lama dimiliki Suharto. Ketika Suharto membangun dasardasar dukungan politik yang kuat pada awal Orde Baru, langkahlangkahnya meliputi pemberian tambahan gaji, pendapatan kepada pejabat-pejabat tertentu, baik dari kalangan militer, sipil dan organisasi-organisasi tertentu, yang kesemuanya membutuhkan sumber dana besar. Peran ekonom profesional itu penting bagi Suharto karena memberinya sumber dana untuk membiayai politik patron-kliennya. Kredibiltas kebijakan para ekonom profesional itu tinggi karena memang terbukti ketika kebijakan mereka mampu mendatangkan bantuan investasi asing yang besar, mengatasi krisis Pertamina tahun 1975 dan perbaikan saat menurunnya pendapatan minyak sejak tahun1983. Disamping itu, ekonomi pro-pasar sesungguhnya juga mendukung politik patron-klien Suharto. Hal itu memungkinkan karena pihak swasta yang mendapat peluang dan manfaat ekonomi akibat kebijakan pro-pasar juga dijadikan sebagai kelompok sumber dana untuk membiayai relasi patron-klien piramid orde baru. Suharto sadar bahwa dari tiga institusi pertumbuhan ekonomi; negara-koperasiswasta, maka swasta akan menjadi pihak yang paling kuat.101 Koperasi akhirnya melemah. Itu terbukti dari ungkapan seorang Dirjen Koperasi Orde Baru periode 1966-1978, “ Saingan dan ancaman dari usaha nonkoperasi merupakan iklim lain yang sangat berat bagi koperasi dan seringkali memberikan pukulan yang mematikan. Koperasi dilahirkan dalam kondisi yang tidak menguntungkan, karena……dilahirkan dalam lingkungan yang serba miskin. Kalau koperasi berhasil melaksanakan usahanya dalam bidang tertentu, hal itu dilakukan dengan mengambil atau merebutnya dari yang sudah ada di tangan orang lain, mendesak orang lain atau ‘diambil dengan paksa’ melalui kebijaksanaan pemerintah.102 Suharto memiliki kesadaran bahwa personal political power di Indonesia memerlukan sumber pembiayaan yang informal.103 Sumber pembiayaan untuk politik patron-kliennya diluar sumber101 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 123 102 Ibnoe Soedjono, Kebijaksanaan Koperasi: Beberapa Masalah dan Prospeknya, di dalam“Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, buku 3 1966-1982”, Ed., Hadi Susastro, Aida Budiman, Ninasapti Triaswati, Armida Alisjahbana dan Sri Adiningsih, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 88-89 103 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 119-120 34 sumber pendapatan negara, pendapatan minyak, tersebut adalah swasta yang disebut dengan sistem Cukong. Sistem cukong adalah sumber dana yang berasal dari cukong, umumnya adalah etnis China yang menjadi pemimpin kelompok bisnis, yang memberikan sumbangan dana atas imbalan perlindungan dan kontrak-kontrak negara yang diberikan pejabat. Cukongisme sudah menjadi tradisi didalam kehidupan politik Indonesia, bahkan sejak kolonialisme. Sejak tahun 1940-an, para komandan militer regional, karena kurangnya dana pemerintah pusat, lalu membina hubungan dengan cukong untuk mendapatkan sumber dana. Liem Sioe Liong, pengusaha kecil yang kemudian menjadi konglomerat terkaya Indonesia, memulai hubungan dekatnya dengan Kolonel Suharto di Semarang pada tahun 1950-an saat Suharto menjabat kepala divisi.104 Sistem cukong tidak berada resmi didalam piramid orde baru, namun cukong adalah sumber dana penting yang dipergunakan Suharto untuk memelihara patron-klien piramid orde baru. Peranan sumber dana cukong dari kegiatan bisnis membesar pada saat awal orde baru, 1966-1969, dan sejak 1983, ketika pendapatan minyak menurun.105 H. Kesimpulan Dari segi pendekatan ekonomi politik, dapat disimpulkan bahwa ilmu ekonomi politik akhirnya adalah ilmu tentang interaksi timbal balik antara ekonomi dan politik. Kedua bidang ilmu tersebut tidak dapat direduksi satu sama lainnya karena tidak semua kegiatan ekonomi bernilai politik dan tidak semua kegiatan politik memiliki nilai ekonomi atau menimbulkan efek ekonomi. Tapi keduanya memang berinteraksi kuat melalui banyak variabel. Mencari dan menemukan variabel-variabel yang relevan itulah yang penting untuk membangun pendekatan atau metode analisis ekonomi politik. Seandainya tidak ada negara, maka analisis ekonomi politik tidak diperlukan karena tidak bermanfaat. Analisis ekonomi politik menjadi sangat penting karena hanya analisis tersebut yang mampu memberi kesadaran baru tentang akibat-akibat kegiatan ekonomi terhadap struktur kehidupan bernegara dan akibat-akibat putusan politik terhadap distribusi kekayaan antar warga. Pada tataran praktek, kegiatan ekonomi dan politik tidak imparsial, tapi bias kepentingan aktor atau kelompoknya. Faktor inilah 104 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 112 105 R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p.121-122, 126 35 yang harus diketahui untuk mencegah agar kepentingan aktor tidak menimbulkan dampak negatif yang ditanggung oleh seluruh warga negara, baik dampak politis maupun dampak ekonomi. Untuk itu, kajian ini mengajukan sebuah pendekatan ekonomi politik; Power Over Resources (POR). Dengan pertimbangan bahwa ekonomi dan politik berinteraksi, maka sifat interaktif ekonomi politik tersebut membutuhkan pendekatan yang dapat menggabungkan prinsip-prinsip ekonomi dan politik yang relevan dengan wilayah interaksinya. Pendekatan Power Over Resources (POR) yang dikembangkan disini dibangun dengan pertimbangan tersebut. Ujicoba penggunaan pendekatan POR dilakukan dalam kajian ini dengan menggunakan hasil penelitian William D Liddle tentang politik Orde baru yang menggunakan pendekatan political leadership dan political culture. Hasil penggunaan pendekatan POR tersebut menunjukkan bahwa POR dapat menunjukkan benar merah relasi bisnis-politik pada masa Orde Baru. POR juga dapat memberi jawaban besar atas penyebab krisis ekonomi 1998, yaitu ; struktur ekonomi riel yang lemah akibat dominannya peran alokasi otoritatif sepanjang orde baru. Dalam konteks relasi bisnis-politik, berdasarkan penelitian Liddle, maka pola hubungan bisnis-politik sepanjang pemerintahan orde baru menurut pendekatan Power Over Resources menggambarkan situasi pada kwadran (4). Walaupun pada tingkat makro ekonomi terlihat pilihan kebijakannya bersifat pro-pasar, namun hasil-hasilnya pada tingkat mikro ekonomi dialokasikan secara otoritatif kepada kelompok bisnis etnis China. Alokasi otoritatif itu merupakan bagian dari tradisi sistem cukong. Sistem cukung adalah bentuk relasi bisnispolitik pada masa orde baru. Sistem cukong yang dimaksud adalah penggunaan sumber dana dari kelompok bisnis cukong yang berasal dari etnis China untuk membiayai dukungan politik patron-klien aktor politik. Dalam tradisi ini, sumber dana cukong tersebut disebarkan atau didistribusikan lagi kepada para pendukung piramid orde baru. Mereka yang berada didalam piramid struktur orde baru, adalah personil militer, birokrasi atau PNS, sehingga terbentuk piramid patron-klien dengan basis benevolence-obedience.106 Distribusi itu juga terjadi 106 Istilah benevolence-obedience, merupakan aspek budaya politik yang melihat pola hubungan pemerintah dan rakyat sebagai benevolent ruler-obedient populace atau seperti hubungan Bapak-Anak, Bapak memberikan hadiah kepada anak, Anak mematuhi bapak. Lihat, R William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, (Sydney; Allen & Unwin, 1996), p. 80-81 36 sampai menjangkau tingkat pembangunan di desa, dan pernah berhasil meraih prestasi swasembada beras tahun 1984, yang diakui PBB. Pada kelompok bisnis yang termasuk kedalam sistem cukong orde baru, mereka mendapat manfaat ekonomi yang besar. Liem Sioe Liong, pengusaha kecil di Semarang kemudian menjadi konglomerat terkaya Indonesia. Disamping itu masih terdapat banyak konglomerat etnis China yang berhasil dikembangkan orde baru. Richard Robinson (1987: p.271-320) menyebut relasi bisnis-politik orde baru tersebut dengan istilah; politico-bureaucrat-cukong. Relasi inilah yang membuat orde baru berhasil melahirkan kelas pemilik modal baru Indonesia, atau kelas borjuis, yang berasal dari etnis China. Kelompok bisnis etnis China mengusai modal sebesar minimal 70%-75% dari seluruh modal domestik. Terbentuknya kelas borjuis Indonesia dari etnis China memiliki dampak politik yang kurang kondusif bagi pemerintahan sipil yang demokratis. Seandainya kelas pemilik modal, kelas borjuis, yang berhasil dibangun orde baru adalah pribumi, maka kehidupan pemerintahan sipil, demokrasi, akan jauh lebih baik. Ujian terhadap ketahanan dan peran kelas pemilik modal etnis China binaan orde baru tersebut datang pada tahun 1998. Krisis ekonomi tahun 1998 menunjukkan bahwa kelas pemilik modal etnis China tersebut tidak mampu berperan banyak. Indonesia menjadi negara, dan rakyatnya, yang paling menderita dan paling lama terjebak didalam krisis ekonomi 1998. Konsentrasi kekayaan yang diberikan oleh orde baru melalui sistem cukong bahkan tidak mampu mencegah keruntuhan piramid pemerintahan orde baru, patronnya selama 30 tahun lebih. Posisi pada kwadran (4) memang tak memungkinkan untuk bisa membangun struktur ekonomi riel Indonesia yang secara fundamental kuat. Struktur ekonomi riel lemah akibat dominannya peran alokasi otoritatif sepanjang orde baru. Dari perspektif prinsip fundamental ekonomi, kelompok bisnis swasta binaan orde baru tersebut tidak kuat karena tidak lahir dari alokasi pasar yang kompetitif, tapi dari belas kasih alokasi otoritatif oleh sistem politik orde baru. .