DM - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Diabetes Melitus (DM) termasuk dalam suatu kelompok gangguan
metabolisme dengan ciri adanya hiperglikemik dan ketidaknormalan metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein. Penyakit DM adalah hasil dari kekurangan
sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi
makrovaskular dan mikrovaskular pada pasien (Schwinghammer,
2009).
Dua macam kelompok besar penggolongan DM, yaitu DM tipe 1 dan
DM tipe 2. Penyakit DM tipe 1 terjadi karena adanya pengaruh dari genetik,
lingkungan, dan faktor imunologi yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sel beta pankreatik dan defisiensi insulin. Penyakit DM tipe 2 terjadi karena
resistensi insulin dan ketidaknormalan sekresi insulin, kejadian DM tipe 2 dapat
berhubungan dengan faktor genetik. Individu yang memiliki orang tua dengan
DM tipe 2 memiliki risiko yang tinggi mengalami diabetes. Apabila kedua orang
tua memiliki DM tipe 2 risiko terkena diabetes adalah sekitar 40% (Powers,
2012).
Tahun 2007 diabetes merupakan tujuh penyebab kematian terbesar di
Amerika. Tahun 2010 diabetes merupakan lima penyebab kematian terbesar di
seluruh dunia dan bertanggungjawab pada 4 juta kematian. Prevalensi terjadinya
DM di dunia telah meningkat secara drastis selama dua dekade terakhir dan
diketahui terdapat 30 juta kasus pada tahun 1985 menjadi 285 juta kasus pada
tahun 2010.
1
Terjadi peningkatan prevalensi kedua tipe 1 dan tipe 2 DM, tetapi
prevalensi terjadinya DM tipe 2 meningkat dengan cepat, hal ini terjadi karena
semakin meningkatnya individu yang obesitas, pengurangan aktivitasfisik, dan
meningkatnya populasi usia lanjut (Powers, 2012). International Diabetes
Federation memperkirakan bahwa akan terjadi 438 juta individu akan mengalami
diabetes di tahun 2030.
Prevalensi penderita DM tipe 2 juga meningkat dengan peningkatan umur
dan diakui kini semakin meningkat pada usia remaja. Lebih tingginya peningkatan
prevalensi pada remaja ini berkaitan dengan pola gaya hidup (Triplit et al., 2008).
Populasi penderita DM di Indonesia diperkirakan berkisar antara 1,5 sampai 2,5
persen (kecuali di Manado sampai 6%) dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar
200 juta jiwa. Lebih dari 3-5 juta penduduk Indonesia menderita DM (Anonim,
2006). Kasus DM tipe 2 diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 8,4 juta
orang pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta orang pada tahun 2030 (Wild et al.,
2004).
Hipertensi merupakan salah satu faktor pada penderita DM yang menjadi
penyebab terjadinya penyakit makrovaskular sehingga dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas. Hipertensi dapat mempercepat komplikasi lain pada
DM, terutama penyakit kardiovaskular dan nefropati. Target tekanan darah
<130/80 mmHg, terapi harus melibatkan adanya modifikasi gaya hidup seperti
pengurangan berat badan, olahraga, manajemen stres, dan restriksi sodium.
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan bahwa semua pasien
diabetes dan hipertensi diberikan terapi dengan ACE inhibitor atau dengan ARB.
2
Angiotensin converting enzyme inhibitor dan angiotensin receptor blocker dapat
memperlambat progresivitas makroalbuminuria pada pasien DM tipe 2, hipertensi,
dan mikroalbuminuria. Selain itu juga dapat digunakan obat yang dapat
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular seperti beta bloker, diuretik tiazid, dan
calcium channel blocker (Powers, 2012).
Pasien dengan penyakit diabetes dan hipertensi harus diberikan regimen
terapi ACE inhibitor atau ARB karena secara farmakologi keduanya mempunyai
kemampuan sebagai nefroprotektor. Bukti klinis menunjukan bahwa kedua
antihipertensi tersebut dapat menurunkan risiko kardiovaskular (ACE inhibitor)
dan menurunkan risiko disfungsi ginjal (ARB) pada pasien diabetes (Saseen &
Carter, 2005).
Pengobatan rasional pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi sangat
diperlukan karena penderita DM dimungkinkan menggunakan antidiabetik seumur
hidupnya. Pengobatan rasional meliputi, tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien,
tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping (ADA, 2013).
Terapi untuk mengontrol kadar gula darah yang tinggi dan gejala yang
ditimbulkannya merupakan hal yang penting, tetapi tujuan utama manajemen
pasien DM adalah mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi dan
memperbaiki harapan hidup serta kualitas pasien. Penelitian dan perkembangan
obat yang dilakukan dalam beberapa dekade terakhir dapat memberikan informasi
yang dapat diterapkan secara langsung untuk mencegah progesivitas penyakit
pada populasi yang berisiko (Schwinghammer, 2009). Rumah Sakit Umum
Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo merupakan rumah sakit rujukan di Kabupaten
3
Banyumas dan rumah sakit tersebut merupakan rumah sakit pendidikan yang
sering digunakan untuk penelitian. Studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo diketahui bahwa kejadian rawat inap berulang pada
penderita DM masih sering terjadi. Data penderita DM tipe 2 di rumah sakit
tersebut adalah sebagai berikut: tahun 2008 jumlah pasien rawat inap sebanyak 30
dan pasien rawat jalan sebanyak 257 totalnya 287, tahun 2009 jumlah pasien
rawat inap adalah 32 dan pasien rawat jalan sebanyak 385 totalnya 417, tahun
2010 jumlah pasien rawat inap adalah 31 dan pasien rawat jalan sebanyak 372
totalnya 403, dan pada tahun 2011 jumlah pasien rawat inap adalah 36 dan jumlah
pasien rawat jalan adalah sebanyak 389 totalnya 425 pasien. Dari data tersebut
menunjukan bahwa semakin tahun terjadi peningkatan pasien DM tipe 2 yang
berada di rawat inap maupun rawat jalan (Ferawati, 2014).
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memandang perlu dilakukan
penelitian untuk mengevaluasi penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi
pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
dalam upaya memberikan pengobatan yang rasional dan aman untuk pasien.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi pada pasien
DM Tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo?
2. Bagaimana ketepatan penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi
pada pasien DM Tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pola penggunaan obat antidiabetik dan antihipertensi pada
pasien DM Tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo.
2. Mengetahui dan mengevaluasi ketepatan penggunaan obat antidiabetik dan
antihipertensi pada pasien DM Tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat
inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Rumah Sakit
a. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan evaluasi
penggunaan obat DM Tipe 2 dengan hipertensi pada pasien rawat inap
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
periode Januari-Desember
2014.
b. Memberikan informasi bagi praktisi kesehatan terutama farmasis.
c. Memberikan rekomendasi kepada klinisi untuk tatalaksana terapi
pasien DM Tipe 2 dengan hipertensi sehingga dapat meningkatkan
efektivitas terapi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien.
2. Bagi Peneliti
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dan
pengalaman.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Melitus
a.
Definisi dan klasifikasi diabetes melitus
Diabetes melitus atau yang selanjutnya disingkat DM termasuk dalam
suatu kelompok gangguan metabolisme dengan ciri adanya hiperglikemik
dan ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. DM
adalah hasil dari kekurangan sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau
keduanya.Hal
ini
dapat
menyebabkan
mikrovaskular
kronik,
makrovaskular, dan komplikasi neuropati (Schwinghammer, 2009).
1). DM Tipe 1
Proses autoimun yang terjadi karena adanya infeksi virus yang
menimbulkan reaksi autoimun yang berlebihan. Akibatnya sel-sel
pertahanan tubuh tidak hanya membasmi virus, tetapi merusak dan
memusnahkan sel – sel beta pankreas. Hal ini menyebabkan sel-sel
beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin. Bila insulin tidak
dapat diproduksi, maka sel tidak dapat menyerap glukosa dari darah
sehingga kadar gula meningkat (Tjay & Rahardja, 2002). Diabetes
melitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
terjadi karena kerusakan autoimun sel beta pancreas (Triplitt et al.,
2005).
2). DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) terjadi karena proses penuaan pada pasien sehingga
6
terjadi penyusutan sel – sel beta pankreas secara progresif. Sel beta
pankreas yang telah menyusut tersebut umumnya masih aktif tetapi
sekresi insulinnya berkurang. Penyusutan sel beta pankreas dan
resistensi insulin mengakibatkan kadar gula darah meningkat (Tjay &
Rahardja, 2002).
3). DM tipe spesifik
Diabetes melitus tipe spesifik meliputi individu dengan genetik
fungsi sel beta, genetik kerja insulin, penyakit endokrin pankreas,
endokrinopati (akromegali, sindrom Cushing), DM karena obat atau
bahan kimia, infeksi dan sindrom genetik (Triplitt et al., 2005).
4). DM Gestasional
Diabetes melitus gestasional adalah intoleransi glukosa yang timbul
selama kehamilan.DM gestasional terjadi pada 7% dari seluruh
kehamilan. Terapi DM gestasional menurunkan kecacatan dan
kematian pada ibu dan janin (Triplitt et al., 2005).
b. Patofisiologi Diabetes Melitus
Sel islet dari pulau Langerhans merupakan komponen pankreas yang
menyusun 1 % total masa pankreas. Insulin disintesis oleh sel beta pankreas
dalam bentuk preproinsulin (prekurson polipeptida) yang akhirnya akan diubah
menjadi proinsulin. Insulin terdiri atas 51 asam amino dengan ikatan ganda dan
dihubungkan oleh dua jembatan disulfida. Glukosa merupakan faktor penting
dalam memacu pelepasan insulin yang dipengaruhi oleh asupan nutrisi dan
pelepasan hormone peptid gastrointestinal.Insulin kemudian masuk kesirkulasi
7
portal dan didegradasi oleh hepar dan hanya 50% yang mencapai sirkulasi
perifer.
DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan dua karakter yaitu resistensi
insulin dan kerusakan sel beta pankreas. Resistensi insulin pada hati, jaringan
adipose, dan otot akan memicu penurunan ambilan kembali glukosa di jaringan
perifer, meningkatkan glukosa hepatik, dan meningkatkan lipolisis sehingga
terjadi peningkatan sekresi insulin yang merupakan kompensasi terjadinya
resistensi insulin (Schwinghammer, 2009).
c.
Gejala dan Diagnosis Diabetes Melitus
Gejala DM yang paling sering terjadi adalah poliuri, polidipsi, polifagi,
penurunan berat badan, dan kadang disertai dengan pandangan mata
kabur.Penurunan tingkat pertumbuhan dan kerentanan terhadap infeksi juga
dapat terjadi pada hiperglikemia kronik (Schwinghmmer, 2009).
Diagnosis DM ditegakan dari gejala khas poliuri, polidipsi, dan turunnya
berat badan. Pemeriksaan gula darah sewaktu ≥11,1 mmol/L (200 mg/dL) atau
glukosa darah puasa ≥ 7,0 mmol/L (126 mg/dL) nilai HbA1C (≥6,5%) dan nilai
kadar glukosa 2 jam postprandial ≥11,1 mmol/L (200 mg/dL) (Powers, 2012).
Untuk memastikan diagnosis DM dapat dilakukan dengan pemeriksaan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Tes TTGO lebih sensitif dan spesifik dari
pemeriksaan kadar gula darah puasa (ADA, 2013).
d.
Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi kronik dari DM dapat mempengaruhi banyak sistem organ dan
bertanggungjawab pada morbiditas dan mortalitas terkait penyakit. Komplikasi
8
kronik DM terbagi menjadi dua macam yaitu komplikasi vaskular dan
nonvaskular. Komplikasi nonvaskular dapat berupa gastroparesis, diare,
gangguan pada kulit, infeksi, katarak, glaukoma, dan gangguan pendengaran.
Komplikasi vaskular terbagi menjadi dua macam yaitu makrovaskular dan
mikrovaskular. Komplikasi mikrovaskular dapat berupa retinopati, edema
makular, neuropati, dan nefropati. Komplikasi makrovaskular dapat berupa
penyakit jantung koroner, penyakit arteri perifer, dan penyakit serebrovaskular
(Powers, 2012).
e.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Tujuan terapi DM antara lain (Powers, 2012):
1). Menghilangkan gejala terkait hiperglikemia
2). Mengurangi atau menghilangkan komplikasi jangka panjang yaitu
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.
3). Membimbing pasien untuk mencapai gaya hidup sehat.
Selain itu, tujuan tatalaksana terapi DM adalah
dapat mencapai nilai
HbA1c<7,0% , gula darah postprandial <180 mg/dl, tekanan darah <130/80
mmHg, LDL 100 mg/dl, HDL 40 mg/dl pada pria dan 50 mg/dl pada wanita dan
kadar trigliserid adalah mencapai 150 mg/dl (Powers, 2012).
Perencanaan diit makanan merupakan pokok pangkal penanganan DM.
Semua pasien harus diit dengan pembatasan kalori, terutama DM tipe 2. Diit
yang direkomendasikan pada pasien DM tipe 2 adalah diit kandungan
karbohidrat (45% - 65%), lemak (25% - 35%) dan protein dari total kalori harian
(15%-20%) dan diit penurunan asupan lemak dan kolesterol. Olahraga pada
9
pasien DM berguna untuk meningkatkan sensitifitas insulin, menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular, menurunkan tekanan darah, mempertahankan masa
otot, mengurangi lemak, dan dapat menurunkan berat badan.American Diabetes
Association merekomendasikan olahraga 150 menit per minggu dengan olahraga
tipe aerobik dengan intensitas sedang (Powers, 2012).
Antidiabetik merupakan kelompok obat yang digunakan dalam terapi DM
secara farmakologi. Antidiabetik dibedakan atas insulin dan antidiabetik oral
(Triplitt et al., 2005).
1). Insulin
Insulin merupakan hormon anabolik dan antikatabolik. Insulin
memiliki peranan penting dalam metabolisme protein, karbohidrat dan
lipid. Produksi insulin endogen berasal dari pemecahan peptide proinsulin
dari sel beta pankreas untuk mengaktivasi peptide insulin dan C-peptida,
yang sering digunakan sebagai marker produksi insulin endogen (Tripllit
et al., 2005).
Insulin merupakan obat utama pada DM tipe 1 dan digunakan pada
pasien DM tipe 2 yang menderita penyakit parah (gangguan pada hati dan
ginjal), pasien yang menjalani operasi, pasien dalam keadaan kritis, dan
hamil menyusui. Pada pasien tersebut, insulin memiliki keuntungan
mengontrol kadar gula darah pasien dengan lebih baik dan lebih cepat
(Powers, 2012).
10
2). Antidiabetika Oral
a). Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja menstimulasi pelepasan insulin dengan
berinteraksi kanal K+ATP. Sulfonilurea memiliki aksi menutup
kanal K+ATP sehingga meningkatkan pemasukan kalsium ke
dalam sel dan meningkatkan sekresi pada sel beta pankreas.
Golongan sulfonilurea paling efektif digunakan pada individu DM
tipe 2 dengan onset <5 tahun.
Sulfonilurea generasi pertama seperti klorpropamid, tolazamid,
dan tolbutamid memiliki waktu paruh yang panjang, mudah
menyebabkan insiden hipoglikemia, dapat terjadi interaksi, dan
saat ini sudah jarang digunakan. Sulfonilurea generasi kedua,
memiliki onset yang cepat dan menjaga gula darah postprandial
dengan lebih baik. Pada umumnya sulfonilurea menaikan sekresi
insulin secara akut dan obat golongan ini harus diberikan sebelum
makan. Hipoglikemia yang terjadi karena penggunaan sulfonilurea
adalah karena penundaan makan,
naiknya
aktivitas
fisik,
mengkonsumsi alkohol dan insufisiensi renal (Powers, 2012).
Efek samping yang umum dirasakan pada penggunaan
sulfonilurea adalah peningkatan berat badan. Sulfonilurea dapat
berinteraksi dengan alkohol, warfarin, aspirin, ketoconazol, αglucosidase inhibitor, dan flukonazol (Powers, 2012).
11
b). Biguanid
Contoh obat golongan biguanid adalah metformin. Metformin
dapat mengurangi produksi glukosa hepatik dan mengaktivasi
AMP-dependen protein kinase dan memasuki sel melalui
transporter kation organik. Metformin dapat mengurangi gula
darah puasa dan kadarinsulin, meningkatkan profil lipid, dan dapat
menurunkan berat badan. Dosis inisial yang dapat digunakan
adalah 500 mg sekali atau dua kali dalam sehari dan dapat dinaikan
hingga 1000 mg (Powers, 2012).
Metformin
dapat
digunakan
secara
efektif
sebagai
monoterapi dan dapat digunakan sebagai kombinasi dengan agen
oral atau insulin. Toksisitas yang jarang terjadi adalah asidosis
laktat. Vitamin B12 menurun hingga 30% saat penggunaan
metformin. Metformin tidak boleh digunakan pada pasien
gangguan ginjal, asidosis, congestive heart failure, penyakit liver,
atau hipoksemia yang berat (Powers, 2012).
c). Thiazolidinedion
Thiazolidinedion atau glitazon adalah obat yang digunakan
untuk terapi DM tipe 2 yang dapat menurunkan resistensi insulin
karena dapat berikatan dengan reseptor PPAR-gamma (Peroxisome
Proliferator Activator Reseptor gamma) yang terdapat pada
jaringan lemak dan vaskuler. Dua macam obat yang termasuk
thiazolidinedion yang memiliki efikasi yang sama. Rentang
12
terapeutik untuk pioglitazon adalah 15-45 mg/hari dalam satu
dosis, dan rosiglitazon dengan dosis harian total adalah 2-8 mg/hari
yang dapat dikonsumsi satu atau dua kali dalam sehari (Powers,
2012).
Rosiglitazon
trigliserida.
dapat
Pioglitazone
meningkatkan
dapat
LDL,
HDL,
dan
meningkatkan
HDL
dan
menurunkan LDL. Thiazolidinedion dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan berat badan (2-3 kg), dapat terjadi edema perifer,
congestive heart failure, dikontraindikasikan pada pasien yang
mengidap penyakit liver atau congestive heart failure. Risiko patah
tulang meningkat pada wanita yang mengkonsumsi obat golongan
ini. Wanita yang sedang hamil perlu perhatian khusus, karena
keamanan dari obat golongan ini masih belum diketahui (Powers,
2012).
d). Penghambat alfa glukosidase
Penghambat alfa glukosidase yaitu akarbose dan miglitol dapat
menurunkan hiperglikemia postprandial dengan cara menghambat
absorpsi glukosa. Kedua jenis obat tersebut diminum saat suapan
pertama saat makan, sehingga dapat menurunkan absorpsi glukosa
dengan cara menghambat enzim yang meguraikan oligosakarida
menjadi monosakarida di usus (Powers, 2012).
Terapi dimulai atau diinisiasi dengan dosis yang rendah (25
mg akarbose atau miglitol) saat makan malam dan dapat
13
ditingkatkan dosisnya menjadi 50-100 mg untuk akarbose dan 50
mg untuk miglitol (Powers, 2012).
Efek samping yang paling sering terjadi adalah diare dan
flatulensi. Obat golongan ini dapat menaikan kadar obat
sulfonilurea dalam darah dan dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipoglikemia. Tidak diperbolehkan digunakan bersama dengan bile
acid resins dan golongan antasida, dikontraindikasikan dengan
penderita inflammatory bowel disease, gastroparesis, atau serum
kreatinin yang mencapai >2mg/dL. Obat golongan ini memang
tidak seefektif golongan obat yang lain, namun dapat menurunkan
glukosa postprandial pada individu dengan DM tipe 1 (Powers,
2012).
e). Meglitinid
Meglitinid memiliki mekanisme aksi menutup kanal K+ ATP
sehingga meningkatkan pemasukan kalium ke dalam sel dan
meningkatkan sekresi insulin.
Efek samping meglitinid adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan yang efeknya lebih kecil dari sulfonilurea. Repiglinid
dan nateglinid dapat digunakan pada pasien dengan gangguan
ginjal. Obat golongan meglitinid kontra-indikasi dengan pasien
yang memiliki kerusakan hati yang sampai parah (Triplitt et al.,
2005). Dosis repaglinid adalah 0,5-1,6 mg/hari sedangkan dosis
nateglinid adalah 120-360 mg/hari (Triplitt et al., 2005).
14
2.
Hipertensi
a. DefinisiHipertensi
Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri
yang persisten. Penderita dengan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg dan tekanan darah sistolik lebih besar sama dengan 140 mmHg
mengalami hipertensi sistolik terisolasi (Schwinghammer, 2009).
b. Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Penyebabnya
Hipertensi merupakan kondisi medis yang heterogen. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1). Hipertensi Primer
Hipertensi
yang
tidak
diketahui
penyebabnya
(hipertensi
esensial/idiopatik). Kondisi ini tidak dapat disembuhkan tetapi hanya
dapat dikontrol tekanan darahnya. Hipertensi primer meliputi 90%
dari seluruh pasien hipertensi. Banyak mekanisme telah diidentifikasi
yang mungkin berperan dalam patogenesis hipertensi jenis ini,
sehingga sulit bahkan tidak mungkin untuk mengetahui penyebab
hipertensi ini secara tepat. Hipertensi yang disebabkan faktor genetik
mungkin mempunyai peran penting dalam peningkatan hipertensi
primer. Beberapa ciri genetik ini adalah gen yang berpengaruh
terhadap keseimbangan sodium, mutasi genetik yang merubah sekresi
urin kallikrein, pelepasan nitrat oksidase, ekskresi aldosteron, adrenal
steroid lain dan angiotensinogen juga menjadi penyebab. Identifikasi
secara individual terhadap ciri genetik merupakan pendekatan
15
alternatif untuk mencegah atau mengelola hipertensi primer (Dipiro et
al, 2005).
2). Hipertensi Sekunder
Hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Ada beberapa
kondisi klinis dan faktor endogen yang dapat menyebabkan hipertensi
sekunder jika penyebab ini dapat diidentifikasi dan dihilangkan maka
hipertensi potensial dapat disembuhkan. Lebih kurang dari 10%
pasien hipertensi disebabkan oleh penyakit penyerta atau akibat terapi
obat yang dapat meningkatkan tekanan darah, hanya 50% pasien
hipertensi sekunder dapat diketahui penyebab dan hanya beberapa
pasien dapat diperbaiki kelainannya, dalam beberapa kasus gangguan
ginjal (end renal disease = ESRD) karena penyakit ginjal kronik atau
renovaskuler disease merupakan penyebab terbanyak. Obat secara
langsung atau tidak langsung dapat menyebabkan penyakit hipertensi
atau kekambuhan hipertensi dengan meningkatnya tekanan darah.
Ketika penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hal ini
merupakan langkah awal tata laksana yang dapat berupa penghentian
atau penggantian obat penyebab hipertensi atau terapi penyaki
penyerta (Schwinghammer, 2009).
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7(Seventh
Report of the Joint National Committee) mencakup 4 kategori, dengan nilai
normal tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik
(TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit
16
tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi di masa yang akan datang.
Tabel I. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
<120
<80
Prehipertensi
120 – 139
80 - 89
Hipertensi Stage 1
140 – 159
90 - 99
Hipertensi Stage 2
≥ 160
≥ 100
c.
Patofisiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit heterogen yang dapat disebabkan oleh
penyebab spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patologis yang tidak
diketahui penyebabnya (hipertensi primer). Hipertensi sekunder diderita pada
10% kasus, dan kebanyakan pada kasus hipertensi sekunder karena peyakit ginjal
yang kronik atau penyakit renovaskular. Hal lain yang dapat menyebabkan
hipertensi sekunder adalah karena kondisi Cushing’s syndrome, hipertiroidisme,
hiperparatiroidisme, aldosteronisme primer, kehamilan, obstructive sleep apnea,
dan coarctation of the aorta. Beberapa obat-obatan pun dapat menyebabkan
kenaikan tekanan darah yaitu kortikosteroid, estrogen, NSAID, amfetamin,
sibutramin,
siklosporin,
takrolimus,
erythropoietin,
dan
venlafaxine
(Schwinghammer, 2009). Ada berbagai multifaktor yang menyebabkan
hipertensi diantaranya adalah:
1). Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin angiotensin –
aldosteron, hormon natriuretik, atau hiperinsulinemia.
2). Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut otonom,
volume plasma, dan kontraksi arteriol.
17
3). Defisiensi senyawa sintesis lokal vasodilator pada endotelium
vaskuler, misalnya prostasiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau
terjadinya peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor seperti
angiotensin II dan endotelin I.
4). Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormon
natriuretik yang menginhibisi transport natrium intraseluler,
menghasilkan peningkatan reaktivitas vaskuler dan tekanan darah.
5). Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler memicu perubahan
vaskuler, fungi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler
perifer
6). Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal.
7). Diabetes mellitus, resistensi insulin dan obesitas (Schwinghammer,
2009).
d. Gejala dan Diagnosis
Pasien dengan hipertensi primer yang tidak mengalami komplikasi
biasanya tidak merasakan gejala yang spesifik. Pasien dengan hipertensi sekunder
dapat merasakan gejala-gejala yang spesifik. Pada pasien yang memiliki
pheochromocytoma memiliki riwayat gejala sakit kepala paroxysmal, berkeringat,
takikardi, palpitasi, dan hipotensi ortostatik. Pada awal aldosteronisme, dapat
terjadi hipokalemia dan kelemahan otot. Pasien hipertensi sekunder yang memiliki
penyakit sindrom Cushing mengalami gejala seperti kenaikan berat badan,
18
poliuria, edema, menstruasi yang tidak teratur, jerawat, dan kelemahan otot
(Schwinghammer, 2009).
Penanda utama pada hipertensi primer adalah kenaikan tekanan darah saat
sedang melakukan aktivitas fisik. Kerusakan organ seperti mata, otak, hepar,
ginjal, dan pembuluh darah perifer seiring dengan progresivitas hipertensi.
Diagnosis
hipertensi
dapat
dilakukan
dengan
funduskopi
yang
dapat
menggambarkan penyempitan pembuluh darah, infark, dan perdarahan retina.
Cardiopulmonary examination juga dapat menggambarkan heart rate yang
abnormal, hipertropi ventrikel kiri, terdapat suara tiga dan empat pada jantung dan
rales. Peripheral vascular examination dapat mendeteksi adanya aterosklerosis.
Pasien yang menderita sindrom Cushing terdapat tanda yang khas yaitu moon
face, buffalo hump, hirsutism, dan abdominal striae.
Hipokalemia dapat
menandakan terjadinya mineralokortikoid induced hypertension. Protein dan sel
darah pada urin mengindikasikan adanya penyakit renovaskular. Perlu tes
laboratorium yang digunakan untuk menetapkan pemilihan regimen terapi, yaitu
urinalisis, darah lengkap, komponen kimia dalam serum (natrium, kalium,
kreatinin, gula darah, dan lipid) tes laboratorium tersebut untuk mengetahui
adanya faktor risiko dan perubahan metabolisme (Schwinghammer, 2009).
e. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan umum dari pengobatan hipertensi adalah:
1). Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan
hipertensi.
19
2). Mencapai target tekanan darah <140/90 mmHg untuk sebagian besar
pasien.
Target tekanan darah <130/80 mmHg untuk pasien yang
menderita DM, gagal ginjal kronik, penyakit arteri koroner (infark
miokardial, angina), penyakit vaskular aterosklerosis nonkoroner (stroke
iskemik, serangan iskemik, aneurisme, dan penyakit arteri perifer).
Pasien dengan gangguan ventrikel kiri mempunyai target tekanan darah
<120/80 mmHg.
3). Tekanan darah sistolik menjadi nilai untuk memprediksi risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan tekanan darah diastole,
dan nilai SBP digunakan untuk mengontrol hipertensi (Schwinghammer,
2009).
f. Terapi Nonfarmakologi
Perubahan gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah pada individu yang
memiliki kelebihan berat badan atau obesitas, mengkonsumsi makanan kaya
kalium dan kalsium, pengurangan makanan yang mengandung natrium,
berolahraga, dan pembatasan konsumsi alkohol. Perubahan gaya hidup dapat
menurunkan tekanan darah, mempertahankan efektivitas obat antihipertensi, dan
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Tabel II. Modifikasi Gaya Hidup Untuk Penanganan Hipertensi (sumber: JNC 7)
Modifikasi
Rekomendasi
Perkiraan
Pengukuran systolic
blood pressure
Penurunan berat badan
Menjaga berat badan
5-20 mmHg/10 kg
normal 5- 20 mmHg/10kg
penurunan berat badan
(body mass index 18,5 –
24,9 kg/m2)
20
Lanjutan Tabel II. Modifikasi Gaya Hidup Untuk Penanganan Hipertensi (sumber: JNC 7)
Pengaturan makan DASH
Mengkonsumsi diet kaya
8-14 mmHg
(Dietary Approaches to Stop
buah – buahan, sayuran,
Hypertension)
dan susu rendah lemak,
produk dengan kandungan
rendah lemak jenuh dan
total.
Diet pengurangan natrium
Kurangi asupan natrium
2-8 mmHg
tidak lebih dari 100 mmol
per hari (2,4 g natrium
klorida atau 6 g sodium).
Aktivitas fisik
Regular aktivitasfisik
4-9 mmHg
aerobik seperti jalan kaki
30 menit/hari, beberapa
hari/minggu
Sedikit minum alkohol
Limit minum alkohol tidak
2-4 mmHg
lebih dari 2/hari (30 ml
etanol)
g. Terapi Farmakologi
Obat-obat dalam terapi farmakologi hipertensi dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu first line drug dan second line drug. Golongan first line drug adalah diuretik,
beta receptor blocker, Angiostensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI),
Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB).
Golongan second line drug adalah alpha 1 receptor blocker, central alpha 2
agonist, reserpin dan vasodilator.
1).
Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan
klorida
sehingga
menurunkan
volume
darah
dan
cairan
ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah.
a). Tiazid
21
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport
bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga
ekskresi Na+ dan Cl-. Contoh obat golongan tiazid adalah
hidroklorotiazid (HCT), bendroflumetiazid, Indapamid, dan
lain – lain.
b). Loop henle diuretik
Obat golongan ini bekerja di loop henle dengan cara
menghambat kotransport Na+, Cl-, K+ dan menghambat resopsi
air serta elektrolit. Contoh obatnya adalah furosemid, asam
etakrinat, bumetanid, dan lain-lain.
c). Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium merupakan obat antihipertensi
lemah jika digunakan tunggal. Diuretik hemat kalium dapat
mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan
oleh diuretik lainnya. Contoh obat: spironolakton, triamterene,
amilorid, hidroklorida, dan lain-lain.
2).
Angiostensin converting enzyme inhibitor (ACEI)
Angiotensin converting enzyme inhibitor memiliki mekanisme
menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana
angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang merangsang sekresi
aldosteron. Sehingga dapat terjadi vasodilatasi dan menurunkan sekresi
aldosterone. ACE inhibitor ini juga dapat mencegah degradasi bradikinin
dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya termasuk
22
prostaglandin E dan prostasiklin. Contoh obat ACE inhibitor adalah
kaptopril, enalapril, ramipril, dan lain – lain (Schwinghammer, 2009).
3).
Beta blocker
Berbagai mekanisme reaksi penurunan tekanan darah akibat
pemberian beta blocker, antara lain: penurunan frekuensi denyut jantung
dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung,
hambatan sekresi renin di sel jukstaglomerular ginjal akibat penurunan
produksi
angiotensin
II dan efek sentral
yang mempengaruhi
aktivitassaraf simpatis perubahan aktivitas neuron adrenerjik dan lain –
lain. Ada 3 golongan beta blocker yaitu:
a). Kardioselektif, afinitas terhadap β1 reseptor lebih besar
daripada β2 reseptor. Contoh: atenolol, betaxolol, dan
metoprolol.
b). ISA (Intrinsic Sympatomimetic Activity) atau partial β
reseptor agonis. Contoh: acebutolol, penbutolol, dan
pindolol.
c). Membran stability effect. Contoh: propranolol, labetolol,
dan lain – lain (Schwinghammer, 2009).
4).
Angiotensin receptor blocker (ARB)
Mekanisme aksi Angiotensin receptor blocker (ARB) adalah
dengan menghambat reseptor AT1 (Angiotensin 1) mencegah efek
angiotensin II namun tidak menghambat angiotensin II reseptor.
Angiotensin II adalah suatu oktapeptida yang merupakan komponen aktif
23
dalam sistem renin angiotensin aldosteron dan bekerja pada sistem
kardiovaskuler dan neuroendokrin. Contoh: candesartan, losartan,
irbesartan, dan lain-lain (Schwinghammer, 2009).
5).
Calcium Channel Blocker (CCB)
Calcium Channel Blocker bekerja dengan menghambat influks
kalsium
sepanjang
membrane
sel.
Calcium
Channel
Blocker
menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat
saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan.Sehingga mengurangi
masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot polos
menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan penurunan tekanan
darah.
Contoh:
nifedipin,
verapamil,
diltiazem,
dan
lain-lain
(Schwinghammer, 2009).
6).
Alpha 1 receptor blocker
Prazosin, terasozin, dan doxazosin adalah penyekat reseptor α 1
selektif. Bekerja pada pembuluh darah perifer dan menghambat
pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan vasodilatasi
dan menurunkan tekanan darah (Schwinghammer, 2009).
7).
Agonis alpha 2 central
Agonis alpha 2 central menurunkan tekanan darah terutama
dengan menstimulasi reseptor alpha 2 adrenergik di otak. Perangsangan
ini menurunkan aliran simpatetik dari pusat vasomotor di otak dan
meningkatkan tonus vagal. Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan
dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut
24
jantung, cardiac output, total peripheral resisten, aktivitas plasma renin,
dan reflex baroreseptor. Contoh obat: klonidin, metildopa, guanabenz,
dan lain – lain.
8).
Reserpin
Reserpin menurunkan tekanan darah dengan mengosongkan
norepinefrin dari ujung saraf simpatetik dan memblok perjalanan
norepinefrin ke granul penyimpanannya. Reserpin juga mengosongkan
katekolamin dari otak dan miokardium, mengakibatkan sedasi, depresi,
dan berkurangnya curah jantung. Pengurangan tonus simpatetik
menurunkan tekanan darah dan resistensi perifer (Schwinghammer,
2009).
9).
Vasodilator
Obat vasodilator menyebabkan relaksasi jantung langsung otot
polos arteriol. Aktivitas oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar
tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua
obat juga menyebabkan penurunan tekanan darah perfusi yang kuat
mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor
menyebabkan meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan
denyut jantung, curah jantung dan pelepasan renin. Contoh obat:
hidralazin, minoksidil, dan lain – lain (Schwinghammer, 2009).
25
F. Kerangka Konsep
Pasien dengan catatan
medik di instalasi rawat
inap yang menderita
DM tipe 2 dengan
hipertensi.
Evaluasi
ketepatan
penggunaan
obat
antidiabetik
dan
antihipertensi, berupa:
a.
b.
c.
d.
Terapi
obat
antidiabetik
dan
antihipertensi
Tepat indikasi
Tepat obat
Tepat pasien
Tepat dosis
Pengobatan
yang tepat
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
G. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan obat
pada pasien DM tipe 2 dengan hipertensi. Kriteria penggunaan obat rasional
antidiabetik meliputi kriteria tepat indikasi, tepat pasien, tepat dosis dan tepat obat
sesuai dengan standar ADA 2013, dan Drug Information Handbook 14th edition.
Pengobatan rasional antihipertensi berdasarkan kriteria tepat indikasi, tepat
pasien, tepat dosis, dan tepat obat sesuai dengan standar ADA 2013 dan Drug
Information Handbook 14th edition.
26
Download