BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kambing Peranakan Etawa Kambing peranakan etawa (PE) merupakan ternak yang mempunyai genetik paling unggul di Indonesia dan digemari oleh peternak sebagai penghasil susu, daging dan anak lebih dari satu ekor pada setiap kelahirannya (Syukur dan Suharno, 2014). Air susu yang dihasilkan merupakan hasil dari kambing yang sangat berguna baik untuk manusia maupun untuk anak kambing itu sendiri yang dihasilkan oleh induknya. Kasus mastitis atau radang amabing ini sangat mengganggu dan menurunkan hasil produksi air susu pada kambing PE ini (Purnomo, et al., 2006). 2.2 Mastitis Mastitis berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu "mastos" yang berarti kelenjar ambing dan "itis" yang berarti radang. Menurut Subronto, (2001) penyakit mastits atau dikenal dengan radang ambing yang merupakan infeksi dari bakteri. Dilihat dari penyakitnya, mastits ini terjadi secara akut, sub akut, maupun kronis. Kejadian mastitis secara laboratoris biasanya disebabkan karena peninggkatan jumlah sel somatik dalam air susu, sehingga mempengaruhi air susu secara fisik dalam susunannya tanpa ada perubahan patologis atau pada kelenjarnya. 5 6 Pada kejadian mastitis yang bersifat akut dapat diketahui seperti pembenggkaan pada ambing, ambing terasa hangat saat diraba, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Struktur air susunya sendiri berubah seperti air susu pecah, bercampur endapan, adanya jonjot fibrin, akumulasi fibrin dan gumpalan protein. Sedangkan pada kejadian yang sub akut gejalanya masih ringan dibandingkan dengan kejadian akut, kambing masih punya nafsu makan, suhu dalam batas normal. Mastitis yang bersifat kronis, merupakan infeksi yang sudah terjadi sangat lama dari satu periode laktasi pertama sampai periode laktasi berikutnya, dan proses kronis ini berakhir dengan atropinya kelenjar mamae (Rahayu, 2009). Kejadian mastitis disebabkan banyak faktor seperti pemerahan yang tidak higienis oleh pemerah, air yang digunakan mengandung atau terpapar oleh bakteri penyebab masitits, kain lap yang mengandung bakteri serta bakteri makanan paling senang tumbuh dalam lingkungan yang banyak mengandung protein guna dalam pertumbuhan bakteri (Suwito dan Julianto 2013). 2.3 Bakteri Penyebab Mastitis 2.3.1 Staphylococcus sp Staphylococcus sp adalah bakteri Gram positif, bentuk kokus, diameter sekitar 1µm, tidak motil, fakultatif anaerob, berpasangan, bergerombol, berantai satu, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan oksidasi-negatif. Dari jenis Staphylococcus sp yang paling tinggi prosentasenya dalam kejadian mastitis pada kambing PE adalah Sel bakteri Staphylococcus aureus berbentuk bulat dengan diameter sekitar 1µm dan dan terususn dalam kelompok tidak beraturan. 7 Koagulase dihasilkan oleh bakteri ini yang dimana protein yang dapat menggumpalkan plasma darah yang diberikan oksalat atau sitrat yang didalamnya berkerja dengan serum darah. Bakteri Staphylococcus sp memproduksi koagulase berpotensi menjadi pathogen invasive. Staphylococcus aureus mempunyai beberapa tipe virulensi dalam patogenesisnya yaitu: tipe gen permukaan, enzim degradasi, enterotoksin, leukosisdin, dan haemolisin. Antigen permukaan ini memegang peran penting dalam proses penempelan antara Staphylococcus aureus pada epitel kelenjar mammae dan pemebentukan biofibrin dalam barrier proteksi. Enzim degadrasi Staphylococcus aureus ada beberapa jenis: toksin eksfoliatif (etA), toksin eksfoliatif B (etB), toksin eksfoliatif D (etD), serine protease (SpIA) dan serine V8 protease. Virulensi tipe ini berperan dalam invansi bakteri dalam sel epitel (Cowan dan Constance, 1954). Enterotoksin merupakan hal yang sangat penting dalam food borne disease dan berdasarkan reaksi serologi enterotoksin. Enterotoksin bersifat tahan pada suhu 110ºC selama 30 menit dan dalam jumlah 106-108 colony forming unit (cfu)/ml berpotensi menghasilkan toksin dengan konsentrasi 1µg. Toxic shock syndrome toxin-1 merupakan protein dengan ikatan peptida tunggal yang bersifat isoelektrik dan merupakan penghasil pyrogenic eksotoksin yang paling besar selain dari Streptococcus. Mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus penghasil Toxic shock syndrome toxin-1 dapat menyebabkan demam, tekanan darah menurun, pembesaran (Oliveira, et al., 2011). dari berbagai organ dan kematian 8 Staphylococcus aureus memiliki kemampuan menghasilkan faktor virulensi hemolisin. Hemolisin dihasilkan saat Staphylococcus aureus berkoloni dan bersifat menghemolisis sel darah merah. Produksi hemolisin dapat diketahui dengan menanam bakteri tersebut dalam media agar darah. Hemolisin terbentuk apabila di sekitar koloni Staphylococcus aureus terlihat zona terang atau terjadi hemolisis dari sel darah merah. Tipe hemolitik yang dihasilkan dari Staphylococcus aureus ada empat macam yaitu α, ß, γ dan δ. Hemolisin yang penting patogenesis Staphylococcus aureus adalah tipe α dan ß. Tipe hemolisin α diproduksi sekitar 20-50%, sedangkan ß toksin sekitar 75-100% (Dinges, et al., 2002). 2.3.2 Streptococcus sp Streptococcus sp adalah bakteri yang dapat menginfeksi spesies hewan seperti kejadian mastitis, polyarthritis, dan meningitis. Merupakan bakteri Gram positif, coccus, dengan diameter 1µm dengan rantai panjang yang berbeda. Spesies Streptococcus yang bersifat catalase-negatif, fakultatif anaerob, tidak motil. Dari isolasi yang didapat ada beberapa spesies Streptococcus yaitu: Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae dan Streptococcus uberis adalah pathogen utama yang menyebabkan kejadian mastitis. Streptococcus agalactiae yang berkolonisasi disaluran susu dan menghasilkan infeksi persisten dengan kejadian intermiten mastitis akut. Streptococcus dysgalactiae, yang ditemukan di alat kelamin dan kulit kelenjar susu yang menyebabkan mastitis akut. 9 Streptococcus uberis yang sebagai flora normal kulit, mukosa vagina merupakan penyebab utama dari kejadian mastitis klinis tanpa adanya tanda yang sistemik (Quin, et al., 2002) 2.3.3 Mycoplasma sp Mycoplasma merupakan mikroorganisme dari kelas Mollicutes dimana kebanyakan dari genus ini merupakan pathogen pada hewan. Mycoplasma merupakan sel prokariotik, bersifat pleomorfik, berbentuk bola, berdiameter 0,30,9 µm, merupakan Gram positif dan anaerob. Mycoplasma rentan terhadap pemanasan, pengeringan, deterjen, dan desinfektan namun bakteri ini mampu bertahan terhadap antibiotik penisilin yang menggangu pertumbuhannya. Bakteri ini menempel sel inangnya dalam pembentukan toxin yang penting dalam patogenesisnya dengan gejala eksudat purulent yang berada di kelenjar sehingga mengakibatkan degenerasi epitel alveolar sehingga terjadi hyperplasia epitel dan atrofi pada tahap akhir penyakit mastitis (Quin, et al., 2002) 2.3.4 Escherichia coli Escherichia coli (E. coli) merupakan Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak bersepora dan dapat tumbuh dalam suasana aerob sampai fakultatif anaerob dengan suhu optimum 37 ºC sampai rentan suhu 15-45 ºC. Pada media EMBA mempunyai ciri-ciri koloni kecil bulat, tepi rata, warna hijau metalik. E. coli merupakan flora normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri ini dapat menimbulkan pneumonia, endokarditis, infeksi pada luka dan abses pada berbagai organ (Jawetz, et al., 1982). 10 2.4 Resistensi Bakteri 2.4.1 Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi yang luas, seperti infeksi kulit dan jaringan lunak, pneumonia, bakteremia, dan infeksi metastasis, seperti bakteriuria, endokarditis, osteomyelitis, dan meningitis. faktor-faktor virulensi yang ada pada Staphylococcus aureus berhubungan dengan patogenesis dari berbagai infeksi tersebut. Faktor virulensi itu adalah surface protein dan secreted protein. Surface protein berperan untuk adhesi pada matriks ekstraseluler (adhesin) dan pertahanan dari sistem imun inang, sedangkan secreted protein berperan untuk menyerang sel inang. Adhesi disebut juga dengan microbial surface components recognizing adhesive matrix molecules (MRCRAMMS) yang berikatan dengan matriks yang berada di jaringan sel inang. Infeksi Staphylococcus aureus sangat berbahaya karena bakteri ini telah resisten terhadap beberapa golongan antibiotik. Penisilin yang merupakan tatalaksana yang pertama kali ditemukan untuk infeksi Staphylococcus aureus telah mengalami resistensi sejak 1942. Selanjutnya, berbagai galur resisten telah ditemukan, diantaranya Methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA). Secara umum, MRSA telah resisten terhadap semua antibiotik golongan betalaktam (Harris, et al., 2002). Selain itu, MRSA nasokomial juga dapat menyebabkan resistensi pada golongan antibiotik lainnya, seperti makrolida, aminoglikosida, dan quinolone, VRSA menyebabkan resistensi terhadap vankomisin yang merupakan drug of 11 choice infeksi akibat MRSA. Kasus VRSA pertama kali ditemukan di Jepang pada pasien post operative wound infection yang mendapatkan terapi vankomisin dalam waktu yang lama (Hiramitsu dan Keiichi, 2001). 2.4.2 Escherichia coli Pola resistensi yang ada pada E. coli terletak pada faktor genetik yang mulanya peka dan membawa gen sehingga resistensi terhadap antibiotik. Resistensi genetik yang kromosonal, yaitu hasil mutasi spontan pada lokus yang mengontrol terhadap kepekaan antibiotik dan resistensi ekstrakromososm yang menjadi faktor resistensi dari bakteri ke bakteri yang lainnya melalui konjugasi. Adanya faktor resistensi ini menjadikan enzim pada antibiotik sehingga inaktif dan menurunkan kemampuan ikatan antibiotik terhadap bakteri (Primadona, 2008). Menurut Jawetz dkk (1982), resistensi bakteri E.ncoli ini membentuk selaput sel yang menghambat penembusan kedalam dinding sel oleh antibiotik. Didalam dinding sel antibiotik akan diinaktifasi dengan enzim hidrolitik yang dihasilkan bakteri agar terhindar dari zat perusak yang ditimbulkan oleh antibitik. 2.4.3 Streptococcus sp Pada penelitian yang dilakukan Jain dkk (2012), deteksi PCR terhadap Streptococcus mempunyai pola resistensi terhadap antibotk tetrasiklin yaitu gen tetO. Gen ini merupakan antagonis untuk antibiotik golongan tetrasiklin. Resistensi tetrasiklin merupakan pola resistensi Streptococcus pada gen macrolide dan gen primernya adalah tetM, tetO, ermA, ermB, ermC, ermTR, dan mefA. 12 Pengkodean resistensi tetrasiklin pada gen tetM dan tetO serta pengklasifikasian gen isolasi yang resisten atau intermediet terhadap eritomisin oleh bakteri Streptococcus (Dogan, et al., 2005). 2.4.4 Mycoplasma sp Mycoplasma merupakan mikroorganisme yang hidup secara bebas dengan diameter 300 nm. Bakteri ini dilapisi dengan tiga lapis membran yang tidak terdapat pada bakteri jenis konvensional yang lain. Pola resistensi yang ada pada Mycoplasma ini adalah gen bawaan yang mana resisten terhadap beberapa antibiotik misalnya rifamisin, tetrasiklin, eritromisin. Antibotik tersebut merupakan bakterisidal terhadap Mycoplasma. Terlepas dari hal tersebut, sifat resistensi yang ditimbulkan adalah mutasi gen atau resistensi gen bawaan. Pada antibiotik tetrasiklin ini Mycoplasma mempunyai gen bawaan untuk menghindari dari bakterisidal dengan gen tetM. Pola resistensi juga dipengaruhi oleh sumber pertumbuhan Mycoplasma dan yang mempunyai imuno defisiensi terhadap antibiotik (Robinson and Christiane, 1997). 2.5 Antibiotik Antibiotik merupakan kelompok zat antibakteri yang diproduksi suatu mikroorganisme tertentu. Antibiotik dapat menghambat mikroorganisme yang sesuai dengan konsentrasi tertentu. Adapun kerja antibiotik ada dua yaitu: antibiotik bersifat bakteriostastik yang sifatnya menghambat dan antibiotik bersifat bakteriosidal yang sifatnya membunuh bakteri (Schunack, et al., 1990). 13 Ganiswarna dkk (1995), menyatakan bahwa ada lima mekanisme kerja yang terdapat pada antibiotik dalam proses mengaggu dan menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain: 1. Menganggu metabolism sel mikroba Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Sebagian mikroba dapat menggunakan asam folat yang ada disekelilingnya, sedangkan golongan yang lain harus mensintesisnya sendiri untuk kebutuhannya. Antibiotik seperti sulfonamid aktif mengganggu sintesis asam folat, apabila antibiotik tersebut mampu bersaing dengan PABA (para amino benzoid acid) yang dihasilkan oleh bakteri untuk disatukan dalam asam folat, maka akan terbentuk asam folat yang analog bersifat non fungsional, akibatnya kehidupan bakteri akan terganggu. Untuk dapat bekerja, asam folat harus dirubah menjadi bentuk akhirnya yaitu asam tetrahidrofolat dalam dua tahap. Pada tahap akhir, antibiotik seperti trimetropim dapat menghambat dihidrofolat reduktase sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional (Snow, 1977). Jenis antibiotik yang digunakan dalam proses metabolism sel mikroba dimana prosesnya adalah di sistem PABA bakteri adalah: Sulfametasin dan Sulfametoksazol karena bakterisidal ini memblokade para aminobenzoic acid (PABA) didalam asam nukleat (Quinn, et al., 2002). 14 2. Menghambat sintesis dinding sel mikroba Dinding sel bakteri, secara kimia mengandung senyawa yaitu komplek polimer mukopeptida. Antibiotik yang menghambat reaksi dalam proses sintesis peptidoglikan seperti vankomisin, dimana antibiotik tidak mengikat PBP (Penicillin Binding Protein), tapi langsung mengikat ujung peptida dalanin pada prekursor peptidoglikan sehingga menghambat reaksi transpeptidase. Reaksi ini menunjukan terjadinya perubahan tekanan osmotis dalam sel bakteri lebih tinggi dari pada di luar sel. Hal ini menyebabkan kerusakan dinding sel atau terjadi lisis pada sel terutama pada bakteri yang peka (Snow, 1977). Contoh antibiotik yang berperan dalam proses menghambat sintesis dinding sel mikroba adalah: antibiotik ß-Lactam Penisilin, Cepalosporin, dan Vankomisin. Antibiotik ini berperan sebagai bakterisidal (Quin, et al., 2002). 3. Merusak membrane sel mikroba Dinding sel bakteri adalah lapisan membran sel lipoprotein yang mempunyai sifat permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar masuknya substansi dari dan kedalam sel, serta memelihara tekanan osmotik internal. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi dioxyribo nucleic acid (DNA) dan sintesis dinding sel. Beberapa antibiotik yang dikenal mempunyai mekanisme kerja mengganggu membran sel yaitu antibiotik peptida dan antibiotik polyene (Garrod et al., 1981). 15 Contoh antibiotik yang berperan dalam merusak membran sel mikroba adalah: golongan polipeptida polimisin dan kolistin, bersifat bakterisidal terhadap bakteri dalam waktu lambat (Quinn, et al., 2002). 4. Menghambat sintesis protein sel mikroba Untuk kehidupannya, sel bakteri perlu mensintesis berbagai bentuk protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, yang bekerja sama dengan message ribonucleic acid (mRNA) dan transfer ribonucleic acid (tRNA). Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, 30 Sved-berg dan 50 Sved-berg, untuk dapat berfungsi pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70 Sved-berg (Garrod, et al., 1981). Antibiotik mengikat diri pada salah satu komponen ribosom, menyebabkan salahnya pembacaan pada mRNA oleh tRNA pada waktu sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan tidak berfungsi terhadap sel bakteri. Contoh antibiotik yang berperan menghambat sintesis protein sel mikroba adalah : Nitroforantoin, Streptomisin, Neomisin, Oksitetrasiklin dan Doksisiklin. Antibiotik ini berperan dalam bakteri yang bersifat bakteriostatik dan antibiotik ini sering digunakan dilapangan (Quinn, et al., 2001). 5. Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom. Berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom dikelompokkan dalam 3 grup, yakni: 16 1) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s dan 40s. 2) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 50s dan 30s. 3) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotik (Snow, 1977). Dalam antibiotik yang digunakan dalam proses sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba adalah: Streptomisin, Neomisin, Oksitetrasikline, Dosisikline, Khlorampenikol, Kindamisin, Tilosin, Asam Nalidisik (Quinn, et al., 2002). 2.5.1 Ampisilin Ampisislin adalah antibiotik golongan aminopenisilin yang bekerja spektrum luas dan bersifat bakteriosidal terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri-bakteri yang resisten terhadap antibiotik ampisilin diantaranya: Streptococcus, Cornybacterium, Fusiformis spp, E. coli, Shigella, Salmonella, Brucella dan Pasteurella. Antibiotik ampisilin ini digunakan dalam penanganan kasus bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Bentuk ampisilin adalah Kristal putih yang larut dalam air, namun antibiotik ini dapat diinaktivasi oleh bakteri penghasil penisilinase. Seperti golongan penisilin lainnya antibiotik ini bekerja menghambat sintesis dinding sel dan menyerang peptidoglikan bakteri (Brander, 1991). 17 2.5.2 Oksitetrasiklin Oksitetrasiklin termasuk golongan tetrasiklin yang merupakan anti mikroba yang kerjanya menghambat sintesi protein. Antibiotik ini menghasilkan bakteriosidal pada proses sintesis protein di ribososm pada mikroorganisme. Masuknya dalam ribosom mikroorganisme akan berikatan dengan ribososm 30S dan menghalangi asam amino mikroorganisme. Golongan tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas yang bekerja paa bakteri Gram positif dan Gram negatif, sehingga penggunaanya untuk mengobati manifestasi infeksi bakteri yang menyerang saluran pencernaan seperti bakteri E. coli. Resistensi dapat terjadi apabila didalam ribososm subunit 30S gagal dalam pengikatan oleh antibiotik sehingga sintesis bakteri berlangsung (Pratiwi, 2008). 2.5.3 Sulfametoksazole Sulfametosazol merupakan golongan sulfonamide yang mempunyai sifat bakteriostastik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotik golongan ini kebanyakan diberikan secara oral, melalui sistem pencernaan didistribusikan keseluruh tubuh. Cara kerja dari golongan obat ini yaitu menghambat sintesis asam fola bakterit melalui hambatan kompetitif pada dihidropteroatsintetase (antagonimus folat). Resistensi terhadap golongan ini disebabkan mutasi dari sistem pengkodean gen yang melakukan metabolisme asam tetrahidrofolat. Asam tetrahidrofolat berubah normal dan tidak dihambat oleh sulfananmid dan trimetropin (Pratiwi, 2008). 18 2.6 Kerangka Konsep Mastitis atau yang dikenal dengan radang pada ambing merupakan salah satu penyakit yang sering dihadapi peternak dalam pengembangan ternak kambing PE. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang merugikan peternak kambing PE terutama yang menghasilkan susu dan anak (Swart, et al., 1984). Penelitian yang dilakukan Suwito dan Julianto, (2013) menyebutkan bahwa jenis bakteri yang telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis meliputi: Streptococcus agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus uberis, Streptococcus zooepidemicus, Staphylococcus aureus, E. coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Sedangkan menurut Najeeb, et al., (2013) menyebutkan bahwa bakteri yang berhasil disolasi dari air susu kambing yang menderita mastitis yaitu : Staphylococcus aureus, E. coli, Streptococcus spp, Pseudomonas spp, Bacillus spp dan Corynebacterium sp. Dalam pengobatan mastitis dilapangan biasanya digunakan antibiotik. Antibiotik yang digunakan yaitu : Metisilin, Kanamisin, Klorampenikol dan Tetrasiklin yang menunjukan sensitif (S) terhadap bakteri Staphylococcus aureus (Sasindharan, et al., 2011). Fakhrurrazi dan Rasmidar (2009) menjelaskan bahwa antibiotik yang digunakan yaitu Oksitetrasiklin, Klindamisin, Vankomisin dan Metisilin bersifat sensitif (S) terhadap bakteri penyebab utama mastitis yaitu Staphylococcus aureus. Kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik diakibatkan karena pemaparan dari antibiotik, pemberian dosis yang tidak tepat, diagnosa yang kurang tepat, tidak tepatnya sasaran antibiotik terhadap bakteri (Satari, 2013). 19 Resistensi juga disebabkan oleh mutasi genetik oleh bakteri dan transfer genetik mikroba (Sjahrurachman, 2011). Pada kejadian mastitis antibiotik yang sudah menunjukan sifat resisitensi yaitu : Oksitetrasiklin, Ampisilin, Eritromisin, sedangkan Gentamisin menunjukan sifat intermediet (Purnomo, et al., 2006). Menurut Salasia, dkk (2005) antibiotik yang mengalami resisten yaitu Oksasiklin, Eritromisin, Tetrasiklin, Ampisilin serta Gentamisin. Uji kepekaan ini dilakukan untuk mengetahui pola kepekaan bakteribakteri penyebab mastitis terhadap antibiotik Ampisilin, Oksitetrasiklin dan Sulfametoksazol dan sebagai pemilihan antibiotik yang tepat dalam penanganannya. Antibiotik Ampisilin dilapangan merupakan obat kombinasi dengan antibiotik Streptomisin, Oksitetrasiklin merupakan antibiotik yang sering digunakan dalam kasus yang disebabkan oleh mikroba yang mempunyai spektrum luas terhadap Gram-positif, Gram-negatif sedangkan antibiotik Sulfametoksazol sering digunakan karena efektifitasnya yaitu menghabat sistem sintesis asam folat pada bakteri.