5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kambing Peranakan Etawa

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kambing Peranakan Etawa
Kambing peranakan etawa (PE) merupakan ternak yang mempunyai
genetik paling unggul di Indonesia dan digemari oleh peternak sebagai penghasil
susu, daging dan anak lebih dari satu ekor pada setiap kelahirannya
(Syukur dan Suharno, 2014).
Air susu yang dihasilkan merupakan hasil dari kambing yang sangat
berguna baik untuk manusia maupun untuk anak kambing itu sendiri yang
dihasilkan oleh induknya. Kasus mastitis atau radang amabing ini sangat
mengganggu dan menurunkan hasil produksi air susu pada kambing PE ini
(Purnomo, et al., 2006).
2.2 Mastitis
Mastitis berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
"mastos" yang berarti kelenjar ambing dan "itis" yang berarti radang. Menurut
Subronto, (2001) penyakit mastits atau dikenal dengan radang ambing yang
merupakan infeksi dari bakteri. Dilihat dari penyakitnya, mastits ini terjadi secara
akut, sub akut, maupun kronis. Kejadian mastitis secara laboratoris biasanya
disebabkan karena peninggkatan jumlah sel somatik dalam air susu, sehingga
mempengaruhi air susu secara fisik dalam susunannya tanpa ada perubahan
patologis atau pada kelenjarnya.
5
6
Pada kejadian mastitis yang bersifat akut dapat diketahui seperti
pembenggkaan pada ambing, ambing terasa hangat saat diraba, warna kemerahan
dan terganggunya fungsi. Struktur air susunya sendiri berubah seperti air susu
pecah, bercampur endapan, adanya jonjot fibrin, akumulasi fibrin dan gumpalan
protein. Sedangkan pada kejadian yang sub akut gejalanya masih ringan
dibandingkan dengan kejadian akut, kambing masih punya nafsu makan, suhu
dalam batas normal. Mastitis yang bersifat kronis, merupakan infeksi yang sudah
terjadi sangat lama dari satu periode laktasi pertama sampai periode laktasi
berikutnya, dan proses kronis ini berakhir dengan atropinya kelenjar mamae
(Rahayu, 2009).
Kejadian mastitis disebabkan banyak faktor seperti pemerahan yang tidak
higienis oleh pemerah, air yang digunakan mengandung atau terpapar oleh bakteri
penyebab masitits, kain lap yang mengandung bakteri serta bakteri makanan
paling senang tumbuh dalam lingkungan yang banyak mengandung protein guna
dalam pertumbuhan bakteri (Suwito dan Julianto 2013).
2.3 Bakteri Penyebab Mastitis
2.3.1 Staphylococcus sp
Staphylococcus sp adalah bakteri Gram positif, bentuk kokus, diameter
sekitar 1µm, tidak motil, fakultatif anaerob, berpasangan, bergerombol, berantai
satu, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, dan oksidasi-negatif. Dari jenis
Staphylococcus sp yang paling tinggi prosentasenya dalam kejadian mastitis pada
kambing PE adalah Sel bakteri Staphylococcus aureus berbentuk bulat dengan
diameter sekitar 1µm dan dan terususn dalam kelompok tidak beraturan.
7
Koagulase dihasilkan oleh bakteri ini yang dimana protein yang dapat
menggumpalkan plasma darah yang diberikan oksalat atau sitrat yang didalamnya
berkerja dengan serum darah. Bakteri Staphylococcus sp memproduksi koagulase
berpotensi menjadi pathogen invasive.
Staphylococcus aureus
mempunyai beberapa
tipe
virulensi dalam
patogenesisnya yaitu: tipe gen permukaan, enzim degradasi, enterotoksin,
leukosisdin, dan haemolisin.
Antigen permukaan ini memegang peran penting dalam proses penempelan
antara Staphylococcus aureus pada epitel kelenjar mammae dan pemebentukan
biofibrin dalam barrier proteksi. Enzim degadrasi Staphylococcus aureus ada
beberapa jenis: toksin eksfoliatif (etA), toksin eksfoliatif B (etB), toksin
eksfoliatif D (etD), serine protease (SpIA) dan serine V8 protease. Virulensi tipe
ini berperan dalam invansi bakteri dalam sel epitel (Cowan dan Constance, 1954).
Enterotoksin merupakan hal yang sangat penting dalam food borne disease
dan berdasarkan reaksi serologi enterotoksin. Enterotoksin bersifat tahan pada
suhu 110ºC selama 30 menit dan dalam jumlah 106-108 colony forming unit
(cfu)/ml berpotensi menghasilkan toksin dengan konsentrasi 1µg. Toxic shock
syndrome toxin-1 merupakan protein dengan ikatan peptida tunggal yang bersifat
isoelektrik dan merupakan penghasil pyrogenic eksotoksin yang paling besar
selain dari Streptococcus. Mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus
penghasil Toxic shock syndrome toxin-1 dapat menyebabkan demam, tekanan
darah
menurun,
pembesaran
(Oliveira, et al., 2011).
dari
berbagai
organ
dan
kematian
8
Staphylococcus aureus memiliki kemampuan menghasilkan faktor virulensi
hemolisin. Hemolisin dihasilkan saat Staphylococcus aureus berkoloni dan
bersifat menghemolisis sel darah merah. Produksi hemolisin dapat diketahui
dengan menanam bakteri tersebut dalam media agar darah. Hemolisin terbentuk
apabila di sekitar koloni Staphylococcus aureus terlihat zona terang atau terjadi
hemolisis dari sel darah merah. Tipe hemolitik yang dihasilkan dari
Staphylococcus aureus ada empat macam yaitu α, ß, γ dan δ. Hemolisin yang
penting patogenesis Staphylococcus aureus adalah tipe α dan ß. Tipe hemolisin α
diproduksi
sekitar
20-50%,
sedangkan
ß
toksin
sekitar
75-100%
(Dinges, et al., 2002).
2.3.2 Streptococcus sp
Streptococcus sp adalah bakteri yang dapat menginfeksi spesies hewan
seperti kejadian mastitis, polyarthritis, dan meningitis. Merupakan bakteri Gram
positif, coccus, dengan diameter 1µm dengan rantai panjang yang berbeda.
Spesies Streptococcus yang bersifat catalase-negatif, fakultatif anaerob, tidak
motil. Dari isolasi yang didapat ada beberapa spesies Streptococcus yaitu:
Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae dan Streptococcus uberis
adalah pathogen utama yang menyebabkan kejadian mastitis.
Streptococcus
agalactiae
yang
berkolonisasi
disaluran
susu
dan
menghasilkan infeksi persisten dengan kejadian intermiten mastitis akut.
Streptococcus dysgalactiae, yang ditemukan di alat kelamin dan kulit kelenjar
susu yang menyebabkan mastitis akut.
9
Streptococcus uberis yang sebagai flora normal kulit, mukosa vagina
merupakan penyebab utama dari kejadian mastitis klinis tanpa adanya tanda yang
sistemik (Quin, et al., 2002)
2.3.3 Mycoplasma sp
Mycoplasma merupakan mikroorganisme dari kelas Mollicutes dimana
kebanyakan dari genus ini merupakan pathogen pada hewan. Mycoplasma
merupakan sel prokariotik, bersifat pleomorfik, berbentuk bola, berdiameter 0,30,9 µm, merupakan Gram positif dan anaerob. Mycoplasma rentan terhadap
pemanasan, pengeringan, deterjen, dan desinfektan namun bakteri ini mampu
bertahan terhadap antibiotik penisilin yang menggangu pertumbuhannya.
Bakteri ini menempel sel inangnya dalam pembentukan toxin yang penting
dalam patogenesisnya dengan gejala eksudat purulent yang berada di kelenjar
sehingga mengakibatkan degenerasi epitel alveolar sehingga terjadi hyperplasia
epitel dan atrofi pada tahap akhir penyakit mastitis (Quin, et al., 2002)
2.3.4 Escherichia coli
Escherichia coli (E. coli) merupakan Gram negatif, berbentuk batang
pendek, tidak bersepora dan dapat tumbuh dalam suasana aerob sampai fakultatif
anaerob dengan suhu optimum 37 ºC sampai rentan suhu 15-45 ºC. Pada media
EMBA mempunyai ciri-ciri koloni kecil bulat, tepi rata, warna hijau metalik.
E. coli merupakan flora normal dalam saluran pencernaan manusia dan
hewan. Bakteri ini dapat menimbulkan pneumonia, endokarditis, infeksi pada luka
dan abses pada berbagai organ (Jawetz, et al., 1982).
10
2.4 Resistensi Bakteri
2.4.1 Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus dapat menyebabkan infeksi yang luas, seperti infeksi
kulit dan jaringan lunak, pneumonia, bakteremia, dan infeksi metastasis, seperti
bakteriuria, endokarditis, osteomyelitis, dan meningitis. faktor-faktor virulensi
yang ada pada Staphylococcus aureus berhubungan dengan patogenesis dari
berbagai infeksi tersebut. Faktor virulensi itu adalah surface protein dan secreted
protein. Surface protein berperan untuk adhesi pada matriks ekstraseluler
(adhesin) dan pertahanan dari sistem imun inang, sedangkan secreted protein
berperan untuk menyerang sel inang. Adhesi disebut juga dengan microbial
surface components recognizing adhesive matrix molecules (MRCRAMMS) yang
berikatan dengan matriks yang berada di jaringan sel inang.
Infeksi Staphylococcus aureus sangat berbahaya karena bakteri ini telah
resisten terhadap beberapa golongan antibiotik. Penisilin yang merupakan
tatalaksana yang pertama kali ditemukan untuk infeksi Staphylococcus aureus
telah mengalami resistensi sejak 1942. Selanjutnya, berbagai galur resisten telah
ditemukan, diantaranya Methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), dan
vancomycin-resistant Staphylococcus aureus (VRSA). Secara umum, MRSA
telah
resisten
terhadap
semua
antibiotik
golongan
betalaktam
(Harris, et al., 2002).
Selain itu, MRSA nasokomial juga dapat menyebabkan resistensi pada
golongan antibiotik lainnya, seperti makrolida, aminoglikosida, dan quinolone,
VRSA menyebabkan resistensi terhadap vankomisin yang merupakan drug of
11
choice infeksi akibat MRSA. Kasus VRSA pertama kali ditemukan di Jepang
pada pasien post operative wound infection yang mendapatkan terapi vankomisin
dalam waktu yang lama (Hiramitsu dan Keiichi, 2001).
2.4.2 Escherichia coli
Pola resistensi yang ada pada E. coli terletak pada faktor genetik yang
mulanya peka dan membawa gen sehingga resistensi terhadap antibiotik.
Resistensi genetik yang kromosonal, yaitu hasil mutasi spontan pada lokus yang
mengontrol terhadap kepekaan antibiotik dan resistensi ekstrakromososm yang
menjadi faktor resistensi dari bakteri ke bakteri yang lainnya melalui konjugasi.
Adanya faktor resistensi ini menjadikan enzim pada antibiotik sehingga inaktif
dan menurunkan kemampuan ikatan antibiotik terhadap bakteri (Primadona,
2008).
Menurut Jawetz dkk (1982), resistensi bakteri E.ncoli ini membentuk
selaput sel yang menghambat penembusan kedalam dinding sel oleh antibiotik.
Didalam dinding sel antibiotik akan diinaktifasi dengan enzim hidrolitik yang
dihasilkan bakteri agar terhindar dari zat perusak yang ditimbulkan oleh antibitik.
2.4.3 Streptococcus sp
Pada penelitian yang dilakukan Jain dkk (2012), deteksi PCR terhadap
Streptococcus mempunyai pola resistensi terhadap antibotk tetrasiklin yaitu gen
tetO. Gen ini merupakan antagonis untuk antibiotik golongan tetrasiklin.
Resistensi tetrasiklin merupakan pola resistensi Streptococcus pada gen macrolide
dan gen primernya adalah tetM, tetO, ermA, ermB, ermC, ermTR, dan mefA.
12
Pengkodean resistensi tetrasiklin pada gen tetM dan tetO serta
pengklasifikasian gen isolasi yang resisten atau intermediet terhadap eritomisin
oleh bakteri Streptococcus (Dogan, et al., 2005).
2.4.4 Mycoplasma sp
Mycoplasma merupakan mikroorganisme yang hidup secara bebas dengan
diameter 300 nm. Bakteri ini dilapisi dengan tiga lapis membran yang tidak
terdapat pada bakteri jenis konvensional yang lain. Pola resistensi yang ada pada
Mycoplasma ini adalah gen bawaan yang mana resisten terhadap beberapa
antibiotik misalnya rifamisin, tetrasiklin, eritromisin. Antibotik tersebut
merupakan bakterisidal terhadap Mycoplasma.
Terlepas dari hal tersebut, sifat resistensi yang ditimbulkan adalah mutasi
gen atau resistensi gen bawaan. Pada antibiotik tetrasiklin ini Mycoplasma
mempunyai gen bawaan untuk menghindari dari bakterisidal dengan gen tetM.
Pola resistensi juga dipengaruhi oleh sumber pertumbuhan Mycoplasma dan yang
mempunyai imuno defisiensi terhadap antibiotik (Robinson and Christiane, 1997).
2.5 Antibiotik
Antibiotik merupakan kelompok zat antibakteri yang diproduksi suatu
mikroorganisme tertentu. Antibiotik dapat menghambat mikroorganisme yang
sesuai dengan konsentrasi tertentu. Adapun kerja antibiotik ada dua yaitu:
antibiotik bersifat bakteriostastik yang sifatnya menghambat dan antibiotik
bersifat bakteriosidal yang sifatnya membunuh bakteri (Schunack, et al., 1990).
13
Ganiswarna dkk (1995), menyatakan bahwa ada lima mekanisme kerja yang
terdapat pada antibiotik dalam proses mengaggu dan menghambat pertumbuhan
bakteri, antara lain:
1.
Menganggu metabolism sel mikroba
Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagian mikroba dapat menggunakan asam folat yang ada disekelilingnya,
sedangkan golongan
yang lain harus mensintesisnya
sendiri untuk
kebutuhannya. Antibiotik seperti sulfonamid aktif mengganggu sintesis asam
folat, apabila antibiotik tersebut mampu bersaing dengan PABA (para amino
benzoid acid) yang dihasilkan oleh bakteri untuk disatukan dalam asam folat,
maka akan terbentuk asam folat yang analog bersifat non fungsional,
akibatnya kehidupan bakteri akan terganggu.
Untuk dapat bekerja, asam folat harus dirubah menjadi bentuk
akhirnya yaitu asam tetrahidrofolat dalam dua tahap. Pada tahap akhir,
antibiotik seperti trimetropim dapat menghambat dihidrofolat reduktase
sehingga asam dihidrofolat tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat
yang fungsional (Snow, 1977).
Jenis antibiotik yang digunakan dalam proses metabolism sel mikroba
dimana prosesnya adalah di sistem PABA bakteri adalah: Sulfametasin dan
Sulfametoksazol karena bakterisidal ini memblokade para aminobenzoic acid
(PABA) didalam asam nukleat (Quinn, et al., 2002).
14
2.
Menghambat sintesis dinding sel mikroba
Dinding sel bakteri, secara kimia mengandung senyawa yaitu komplek
polimer mukopeptida. Antibiotik yang menghambat reaksi dalam proses
sintesis peptidoglikan seperti vankomisin, dimana antibiotik tidak mengikat
PBP (Penicillin Binding Protein), tapi langsung mengikat ujung peptida dalanin pada
prekursor
peptidoglikan
sehingga
menghambat
reaksi
transpeptidase.
Reaksi ini menunjukan terjadinya perubahan tekanan osmotis dalam
sel bakteri lebih tinggi dari pada di luar sel. Hal ini menyebabkan kerusakan
dinding sel atau terjadi lisis pada sel terutama pada bakteri yang peka (Snow,
1977).
Contoh antibiotik yang berperan dalam proses menghambat sintesis
dinding sel mikroba adalah: antibiotik ß-Lactam Penisilin, Cepalosporin, dan
Vankomisin. Antibiotik ini berperan sebagai bakterisidal (Quin, et al., 2002).
3.
Merusak membrane sel mikroba
Dinding sel bakteri adalah lapisan membran sel lipoprotein yang
mempunyai sifat permeabilitas selektif dan berfungsi mengontrol keluar
masuknya substansi dari dan kedalam sel, serta memelihara tekanan osmotik
internal. Selain itu membran sel juga berkaitan dengan replikasi dioxyribo
nucleic acid (DNA) dan sintesis dinding sel. Beberapa antibiotik yang dikenal
mempunyai mekanisme kerja mengganggu membran sel yaitu antibiotik
peptida dan antibiotik polyene (Garrod et al., 1981).
15
Contoh antibiotik yang berperan dalam merusak membran sel
mikroba adalah: golongan polipeptida polimisin dan kolistin, bersifat
bakterisidal terhadap bakteri dalam waktu lambat (Quinn, et al., 2002).
4.
Menghambat sintesis protein sel mikroba
Untuk kehidupannya, sel bakteri perlu mensintesis berbagai bentuk
protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, yang bekerja sama
dengan message
ribonucleic
acid (mRNA)
dan transfer
ribonucleic
acid (tRNA). Pada bakteri, ribosom terdiri dari dua sub unit, 30 Sved-berg dan
50 Sved-berg, untuk dapat berfungsi pada sintesis protein kedua komponen ini
akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70 Sved-berg
(Garrod, et al., 1981).
Antibiotik mengikat diri pada salah satu komponen ribosom,
menyebabkan salahnya pembacaan pada mRNA oleh tRNA pada waktu
sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal dan tidak
berfungsi terhadap sel bakteri.
Contoh antibiotik yang berperan menghambat sintesis protein sel
mikroba adalah : Nitroforantoin, Streptomisin, Neomisin, Oksitetrasiklin dan
Doksisiklin. Antibiotik ini berperan dalam bakteri yang bersifat bakteriostatik
dan antibiotik ini sering digunakan dilapangan (Quinn, et al., 2001).
5.
Menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel bakteri
Penghambatan sintesis protein dapat berlangsung di dalam ribosom.
Berdasarkan koefisien sedimentasinya, ribosom dikelompokkan dalam 3 grup,
yakni:
16
1) Ribosom 80s, terdapat pada sel eukariot. Partikel ini terdiri dari subunit 60s
dan 40s.
2) Ribosom 70s, didapatkan pada sel prokariot dan eukariot. Partikel ini terdiri
dari subunit 50s dan 30s.
3) Ribosom 55s, hanya terdapat pada mitokondria mamalia dan menyerupai
ribosom bakteri baik fungsi maupun kepekaannya terhadap antibiotik
(Snow, 1977).
Dalam antibiotik yang digunakan dalam proses sintesis atau merusak
asam nukleat sel mikroba adalah: Streptomisin, Neomisin, Oksitetrasikline,
Dosisikline,
Khlorampenikol,
Kindamisin,
Tilosin,
Asam
Nalidisik
(Quinn, et al., 2002).
2.5.1 Ampisilin
Ampisislin adalah antibiotik golongan aminopenisilin yang bekerja
spektrum luas dan bersifat bakteriosidal terhadap bakteri Gram positif dan Gram
negatif. Bakteri-bakteri yang resisten terhadap antibiotik ampisilin diantaranya:
Streptococcus, Cornybacterium, Fusiformis spp, E. coli, Shigella, Salmonella,
Brucella dan Pasteurella.
Antibiotik ampisilin ini digunakan dalam penanganan kasus bakteri Gram
positif maupun Gram negatif. Bentuk ampisilin adalah Kristal putih yang larut
dalam air, namun antibiotik ini dapat diinaktivasi oleh bakteri penghasil
penisilinase. Seperti golongan penisilin lainnya antibiotik ini bekerja menghambat
sintesis dinding sel dan menyerang peptidoglikan bakteri (Brander, 1991).
17
2.5.2 Oksitetrasiklin
Oksitetrasiklin termasuk golongan tetrasiklin yang merupakan anti mikroba
yang kerjanya menghambat sintesi protein. Antibiotik ini menghasilkan
bakteriosidal pada proses sintesis protein di ribososm pada mikroorganisme.
Masuknya dalam ribosom mikroorganisme akan berikatan dengan ribososm 30S
dan menghalangi asam amino mikroorganisme.
Golongan tetrasiklin merupakan antibiotik berspektrum luas yang bekerja
paa bakteri Gram positif dan Gram negatif, sehingga penggunaanya untuk
mengobati manifestasi infeksi bakteri yang menyerang saluran pencernaan seperti
bakteri E. coli. Resistensi dapat terjadi apabila didalam ribososm subunit 30S
gagal dalam pengikatan oleh antibiotik sehingga sintesis bakteri berlangsung
(Pratiwi, 2008).
2.5.3 Sulfametoksazole
Sulfametosazol merupakan golongan sulfonamide yang mempunyai sifat
bakteriostastik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif. Antibiotik golongan
ini kebanyakan diberikan secara oral, melalui sistem pencernaan didistribusikan
keseluruh tubuh.
Cara kerja dari golongan obat ini yaitu menghambat sintesis asam fola
bakterit melalui hambatan kompetitif pada dihidropteroatsintetase (antagonimus
folat). Resistensi terhadap golongan ini disebabkan mutasi dari sistem pengkodean
gen yang melakukan metabolisme asam tetrahidrofolat. Asam tetrahidrofolat
berubah normal dan tidak dihambat oleh sulfananmid dan trimetropin
(Pratiwi, 2008).
18
2.6 Kerangka Konsep
Mastitis atau yang dikenal dengan radang pada ambing merupakan salah
satu penyakit yang sering dihadapi peternak dalam pengembangan ternak kambing
PE. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang merugikan peternak kambing PE
terutama yang menghasilkan susu dan anak (Swart, et al., 1984).
Penelitian yang dilakukan Suwito dan Julianto, (2013) menyebutkan
bahwa jenis bakteri yang telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis
meliputi: Streptococcus agalactiae, Streptococcus disgalactiae, Streptococcus
uberis,
Streptococcus
zooepidemicus,
Staphylococcus
aureus,
E.
coli,
Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Sedangkan menurut
Najeeb, et al., (2013) menyebutkan bahwa bakteri yang berhasil disolasi dari air
susu kambing yang menderita mastitis yaitu : Staphylococcus aureus, E. coli,
Streptococcus spp, Pseudomonas spp, Bacillus spp dan Corynebacterium sp.
Dalam pengobatan mastitis dilapangan biasanya digunakan antibiotik.
Antibiotik yang digunakan yaitu : Metisilin, Kanamisin, Klorampenikol dan
Tetrasiklin yang menunjukan sensitif (S) terhadap bakteri Staphylococcus aureus
(Sasindharan, et al., 2011). Fakhrurrazi dan Rasmidar (2009) menjelaskan bahwa
antibiotik yang digunakan yaitu Oksitetrasiklin, Klindamisin, Vankomisin dan
Metisilin bersifat sensitif (S) terhadap bakteri penyebab utama mastitis yaitu
Staphylococcus aureus.
Kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik diakibatkan karena
pemaparan dari antibiotik, pemberian dosis yang tidak tepat, diagnosa yang
kurang tepat, tidak tepatnya sasaran antibiotik terhadap bakteri (Satari, 2013).
19
Resistensi juga disebabkan oleh mutasi genetik oleh bakteri dan transfer genetik
mikroba (Sjahrurachman, 2011).
Pada kejadian mastitis antibiotik yang sudah menunjukan sifat resisitensi
yaitu : Oksitetrasiklin, Ampisilin, Eritromisin, sedangkan Gentamisin menunjukan
sifat intermediet (Purnomo, et al., 2006). Menurut Salasia, dkk (2005) antibiotik
yang mengalami resisten yaitu Oksasiklin, Eritromisin, Tetrasiklin, Ampisilin
serta Gentamisin.
Uji kepekaan ini dilakukan untuk mengetahui pola kepekaan bakteribakteri penyebab mastitis terhadap antibiotik Ampisilin, Oksitetrasiklin dan
Sulfametoksazol
dan
sebagai
pemilihan
antibiotik
yang
tepat
dalam
penanganannya. Antibiotik Ampisilin dilapangan merupakan obat kombinasi
dengan antibiotik Streptomisin, Oksitetrasiklin merupakan antibiotik yang sering
digunakan dalam kasus yang disebabkan oleh mikroba yang mempunyai spektrum
luas terhadap Gram-positif, Gram-negatif sedangkan antibiotik Sulfametoksazol
sering digunakan karena efektifitasnya yaitu menghabat sistem sintesis asam folat
pada bakteri.
Download