BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah yang serius karena merupakan penyebab kematian terbesar terutama di negara berkembang, selain itu di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara – negara Eropa juga banyak kasus yang terjadi (Setyoningrum, 2006). Dari data Southeast Asia Medical Information Center (SEAMIC) Health Statistic 2001 pneumonia merupakan penyebab kematian nomer 6 di Indonesia, nomer 9 di Brunei, nomer 7 di Malaysia, nomer 3 di Singapura, nomer 6 di Thailand, dan nomer 3 di Vietnam. Insidensi pneumonia komunitas di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Di Amerika dengan cara invasive pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara empiris (Anonim, 2003). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 1 2 11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun (Anonim, 2003) Masalah pneumonia perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang tepat terutama pada efektivitas terapi penyakit pneumonia ini dikarenakan kejadian yang cukup tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa bahwa penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat membantu RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dalam meningkatkan pelayanan kesehatannya terutama dalam mengetahui efektivitas terapi penyakit pneumonia. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Seperti apakah gambaran pengobatan dengan antibiotik pada pasien dewasa rawat inap yang menderita pneumonia RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta yang meliputi jenis antibiotik, dosis antibiotik, frekuensi pemberian, dan waktu minum? 2. Bagaimana efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta? 3 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui gambaran pengobatan dengan antibiotik pada pasien pneumonia dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Mengetahui efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan agar : 1. Bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang efektivitas terapi menggunakan antibiotik pada pasien dewasa rawat inap yang menderita pneumonia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Bermanfaat sebagai masukan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan terutama dalam keefektivitasan terapi penyakit neumonia pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. E. Tinjauan Pustaka 1. Pneumonia a. Definisi Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian bawah yang mengenai parenkim paru (Mansjoer dkk., 2000). Pneumonia adalah 4 peradangan pada parenkim paru yang dapat terjadi pada semua umur. Pneumonia juga merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan gejala demam, batuk, sesak napas, adanya ronki basah kasar, dan gambaran infiltrate pada foto polos dada (Setyoningrum, 2006). Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari cabang – cabang bronkus, parenkim paru, dan pleura. Infeksi bakteri atau jamur atau virus yang menyerang parenkim paru dapat menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernapasan bagian bawah dimana seluruh persediaan darah harus melewati pembuluh darah kapiler paru sehingga infeksi bakterti atau jamur atau virus dapat ikut bersama aliran darah (Shulman dkk., 1994). Pada alkoholik akut atau kronis atau yang menderita penyakit berat, infeksi tersebut mula – mula akan membentuk koloni ada saluran pernapasan bagian atas dan melalui sistem saraf sentral yang berpengaruh terhadap pengurangan refleks tersedak dan fungsi siliare trakeobronkus yang jelek, maka sistem pertahanan saluran pernapasan bagian bawah akan terganggu sehingga koloni infeksi tersebut dapat masuk ke saluran pernapasan bagian bawah dan terjadi pneumonia (Shulman dkk., 1994). Pneumonia dapat dibagi menjadi 2, yaitu (Anonim, 2003) : i. Infectious pneumonia Infectious pneumonia juga dibagi 2, yaitu pneumonia tipikal (karena bakteri) dan pneumonia atipikal (karena virus dan mycoplasma)> 5 ii. Non-infectious pneumonia, dapat karena aspirasi makanan, hidrokarbon atau reaksi hipersensitif. b. Etiologi Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorgansime baik virus maupun bakteri. Sebagian kecil dapat juga disebabkan oleh bahan kimia (Hidrokarbon, lipoid substance) ataupun benda asing yang teraspirasi (Setyoningrum, 2006). Sebagian besar pneumonia disebabkan karena infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan pneumonia bacterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tan, 2002). Beberapa kasus pneumonia juga mempunyai komplikasi seperti efusi pleura, abses paru, dan sepsis. Bakteri penyebabnya pun berbeda. Berikut bakteri penyebab pneumonia dengan komplikasi (Anonim, 2003) : i. Efusi pleura = Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Streptococcus group A, Flora mulut, dan Staphylococcus aureus. Efusi pleura adalah akumulasi cairan di dalam rongga pleura. Timbulnya efusi pleura didahului oleh keradangan pleura atau pleuritis. Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Penyebab terbanyak adalah keradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya, misal bronkopneumonia, tuberculosis paru, dan sebagainya (Alsagaff, 2010). 6 ii. Abses paru = Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, dan Flora mulut. Abses paru adalah lesi paru berupa suprasi dan nekrosis jaringan. Bila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela pneumonia sebagai kuman komensal di saluran atas ikut masuk ke saluran pernapasan bawah. Akibat aspirasi berulang, aspirat tidak dapat dikeluarkan dan pertahanan saluran napas menurun sehingga terjadi peradangan. Proses peradangan dimulai dari bronkus atau bronkiolus, menyebar ke parenkim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi. Perluasan pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan dan lama kelamaan menjadi proses abses akut menahun (Alsagaff, 2010). iii. Sepsis = Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus. Sepsis adalah suatu infeksi di dalam aliran darah. Sepsis merupakan akibat dari suatu infeksi bakteri di bagian tubuh manusia. Yang sering menjadi sumber terjadinya sepsis adalah infeksi ginjal, hati atau kandung empedu, usus, kulit (selulitis), dan paru–paru (pneumonia karena bakteri), gangguan sistem kekebalan. Gejala yang timbul antara lain demam, hiperventilasi, menggigil, kulit terasa hangat, takikardi, lingglung, penurunan produksi air kemih (Mahdiana, 2010). Pneumonia dapat dibedakan berdasarkan klinis dan epidimiologis, antara lain (Anonim, 2005) : 7 i. Community Acquired Pneumonia (CAP) Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau didapat di lingkungan masyarakat. Pathogen umum yang sering menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, Haemopjyllus influenza, bakteri atipikal, virus influenza, Respiratory Synctial Virus (RSV). Pada anakanak, selain pathogen pada pasien dewasa, pathogen yang sering ditemukan sedikit berbeda yaitu adanya kertelibatan Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia. ii. Pneumonia Nosokomial atau Hospital acquired Pneumonia (HAP) Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit yang perkembangannya lebih dari 48 jam setelah pasien memeriksakan diri ke rumah sakit. Patogen yang umum menginfeksi adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Bakteri nosokomial yang biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti Klebsiella sp, Escherichia coli, Proteus sp, Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU. iii. Pneumonia Aspirasi Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi flora arofaring dan cairan lambung. Pneumonia aspirasi biasa didapat pada pasien dengan status mental yang buruk atau depresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada 8 Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yaitu Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae, bakteri yang sering ditemukan adalah campuran antar Gram negative batang, Staphylococcus aureus, dan anaerob. Kelompok pneumonia lain adalah pneumonia khusus yang dapat disubklasifikasikan ke dalam kelompok yang normal (non-imunosupresi) dan imunosupresi. Pneumonia pada pasien non-imunosupresi, diantaranya pneumonia mikroplasma, pneumonia virus, dan pneumonia Legionnaires. Sedangkan pada pasien yang imunosupresi, misal pada pasien AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah Pneumocystic cariini. Selain itu ada pula kelompok pneumonia non-infektif, diantaranya aspirasi pneumonia, lipid pneumonia, dan eosinofilik pneumonia (underwood, 1999). Pneumonia juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu (Underwood, 1999) : i. Pneumonia bakteri : Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus. ii. Pneumonia atipikal : Clamydia pneumonia, Mycoplasma pneumonia, aspirasi. iii. Pneumonia virus :Influenza virus, parainfluenza virus, Rhinovirus, Respiratory synctial virus. iv. Pneumonia jamur : Candida, Aspergillus, Crytococcus 9 c. Patofisiologi Jalan pernapasan yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus dan bronkhiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui rongga hidung, maka udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan (Dahlan, 2000). Dalam keadaan normal, saluran pernapasan bagian bawah mulai dari faring sampai alveoli selalu dalam keadaan steril. Ada beberapa mekanisme pertahanan paru yaitu filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, refleks batuk, sistem pembersihan oleh lapisan mukosiliar, dan respon imun. Apabila mekanisme pertahanan paru ini terganggu maka partikel asing atau organisme dapat masuk atau menginfeksi saluran pernapasan bagian atas hingga bawah dan kemungkinan besar terjadi pneumonia (Setyoningrum, 2006). Rute yang dilalui oleh agen infeksi berbeda-beda untuk dapat sampai ke paru-paru dan menyebakan pneumonia. Agen infeksi ini paling sering masuk ke paru-paru dengan cara terhirup. Penyebab tersering infeksi saluran pernapasan adalah virus. Infeksi virus primer menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak lendir sehingga bakteri dapat berkembang dengan mudah dalam mukosa (Bidulph dan Stace, 1999). Pneumonia biasanya mulai pada lobus kanan bawah, kanan tengah, atau kiri bawah, karena gaya gravitasi daerah-daerah tersebut maka kemungkinan terbesar untuk membawa sekresi saluran napas bagian atas yang diaspirasi pada waktu tidur. Refleks batuk yang menjadi gejala 10 klinik pneumonia dirangsang oleh material-material yang melalui barier-barier yaitu glottis dan laring yang berfungsi melindungi saluran napas bagian bawah (Isselbacher, 2001 ). Gambaran patologis tertentu dapat ditunjukkan oleh beberapa bakteri tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumonia biasanya bermanisfestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonates, karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis pendarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulanbulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe dkk., 2008). d. Gambaran Klinis Berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada tahun 2003 : 11 i. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. ii. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. e. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan (Anonim, 2003) : i. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia 12 sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. ii. Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. f. Penatalaksanaan Terapi Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor modifikasi adalah (American Thoracic Society, 2001) : i. Pneumokokus resisten terhadap penisilin a) Umur lebih dari 65 tahun b) Memakai obat-obat golongan ß-laktam selama tiga bulan terakhir c) Pecandu alkohol d) Penyakit gangguan kekebalan 13 e) Penyakit penyerta yang multipel ii. Bakteri enterik Gram negatif a) Penghuni rumah jompo b) Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru c) Mempunyai kelainan penyakit yang multipel d) Riwayat pengobatan antibiotik iii. Pseudomonas aeruginosa a) Bronkiektasis b) Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari c) Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir d) Gizi kurang Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi: i. Penderita rawat jalan a) Pengobatan suportif / simptomatik 1) Istirahat di tempat tidur 2) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi 3) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas 4) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran b) Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam ii. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa a) Pengobatan suportif / simptomatik 1) Pemberian terapi oksigen 14 2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit 3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik b) Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam iii. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif a) Pengobatan suportif / simptomatik 1) Pemberian terapi oksigen 2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit 3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik b) Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam c) Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat Intensif. Terapi empirik pneumonia komunitas berdasarkan ATS 2001 (American Thoracic Society) : i. Pasien rawat jalan : a) Tanpa penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi menggunakan makrolid atau doksisiklin. b) Dengan penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi menggunakan ß-laktam yaitu amoksisilin dosis tinggi, amoksisilin 15 klavulanat atau parenteral seftriakson ditambah makrolid atau doksisiklin atau fluorokuinolon respirasi saja. ii. Pasien rawat inap : a) Dengan penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi menggunakan ß-laktam iv + makrolid iv atau doksisiklin atau fluorokuinolon iv saja (anti pneumokokus). b) Tanpa penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi menggunakan Azitromisinn iv saja jika alergi doksisiklin atau ßlaktam atau fluorokuinolon saja (anti pneumokokus). iii. Pasien rawat intensif : a) Tanpa resiko pseudomonas menggunakan ß-laktam iv ditambah makrolid azitromisin iv atau fluorokuinolon iv. b) Dengan resiko pseudomonas menggunakan ß-laktam anti pseudomonas iv ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas iv atau ß-laktam anti pseudomonas iv ditambah makrolid (azitromisin) iv atau fluorokuinolon anti pseudomonas iv. Antibiotik yang seirng digunakan antara lain : i. Penisilin Penisilin adalah antibiotik yang dapat menghalangi sintesa lengkap polimer dari senyawa amino dan gula yang saling terikat satu dengan yang lain (peptidoglikan) yang spesifik bagi kuman disebut murein. Bila sel tumbuh dan plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis, maka dinding sel yang tidak sempurna itu akan pecah dan bakteri musnah. Dinding sel manusia dan 16 hewan tidak terdiri dari murein sehingga antibiotik ini tidak toksik untuk manusia (Tjay dan Rahardja, 2007). Penisilin merupakan asam organik yang terdiri dari satu inti siklik (cincin tiazolidin dan cincin beta-laktam) dengan satu rantai samping (Istiantoro dan Gan, 2012). Mekanisme kerja penisilin adalah menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Efek bakterisida akan dihasilkan terhadap mikroba yang sensitif (mikroba yang sedang aktif membelah) terhadap penisilin (Istiantoro dan Gan, 2012). Ampisilin dan amoksisilin juga aktif terhadap kuman Gram positif dan sejumlah kuman Gram negatif, kecuali Pseudomonas, Klebsiella, dan B. fragilis tetapi yang membedakan antibiotik ini mempunyai spektrum luas (Tjay dan Rahardja, 2007). Profil obat-obat golongan penisilin yang digunakan antara lain (Lacy dkk., 2009) : a) Ampisilin 1) Farmakokinetika i) Absorpsi oral 50% ii) Distribusi : empedu dan jaringan. iii) Protein Binding :15 – 20% iv) Waktu paro eliminasi : 1-1,8 jam, untuk pasien gagal ginjal terminal atau anuria 7-20 jam. v) Ekskresi : urin (90% obat utuh) dalam 24 jam. 17 2) Interaksi obat : i) Kadar ampisilin dalam darah dapat meningkat dengan metotreksat dan allopurinol. ii) Kadar ampisilin dalam darah menurun dengan atenolol dan tetrasiklin. iii) Kecepatan absorpsi ampisilin dapat menurun dengan adanya makanan. 3) Efek samping i) Sistem saraf pusat : demam, serangan epilepsi, encephalopathy. ii) Dermatologi : eritema, ruam kulit, urtikaria. iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah, stomatitis. iv) Hematologi : anemia, leucopenia, eosinophilia, trombositopenia. v) Hepatik : peningkatan kadar AST vi) Respirologi : laryngeal stridor. vii) Renal : nefritis interstitial (jarang). b) Ampisilin-Sulbaktam Ampisilin : sda Sulbaktam : 1) Farmakokinetika : i) Distribusi : empedu dan jaringan. ii) Protein Binding : 38%. iii) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal : 1-1,3 jam. 18 iv) Ekskresi : urin (75%_80% obat utuh) dalam 8 jam. 2) Interaksi obat : i) Kadar ampisilin-sulbaktam dalam darah dapat meningkat dengan metotreksat dan allopurinol. ii) Kadar ampisilin-sulbaktam dalam darah menurun dengan atenolol dan tetrasiklin. 3) Efek samping : i) >10% : nyeri lokal pada tempat injeksi ii) Dermatologi : 1-10% ruam kulit iii) Gastrointestinal : 1-10% diare. c) Amoksisilin 1) Farmakokinetika : i) Absorpsi oral cepat dan komplit. ii) Distribusi : cairan tubuh dan tulang. iii) Proterin Binding : 17-20%. iv) Metabolisme : sebagian di hepar. v) Waktu paro eliminasi : neonatus 3,7 jam; infant dan anak 1-2 jam; dewasa dengan fungsi renal normal 0,7-1,4 jam. vi) Ekskresi : urin (60% obat utuh). 2) Interaksi obat : i) Kadar amoksisilin dalam darah dapat meningkat dengan metotreksat dan allopurinol. ii) Kadar amoksisilin dalam darah menurun dengan tetrasiklin. 19 3) Efek samping : i) Sistem saraf pusat : agitasi, cemas, bingung, sakit kepala, insomnia. ii) Dermatologi : eritema, ruam kulit, steven-johnson syndrome, urticaria. iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah. iv) Hematologi : anemia, leucopenia, eosinophilia, trombositopenia. v) Hepatik : hepatitis, peningkatan ALT dan AST. d) Penisilin G 1) Farmakokinetika : i) Distribusi : sedikit melewati barier sawar otak. ii) Protein Binding : 65%. iii) Metabolisme : hepatic 30% untuk asam penicilloic. iv) Waktu paro eliminasi : neonatus umur < 6 hari 3,2-3,4 jam; umur 7-13 hari 1,2-2,2 jam; umur > 14 hari 0,9-1,9 jam; anakanak dan dewasa dengan fungsi renal normal 30-50 menit; pasien gagal ginjal terminal 3,3-5,1 jam. v) Ekskresi : urin (58-85% obat utuh). 2) Interaksi obat : i) Kadar penisilin G dalam darah dapat meningkat dengan metotreksat dan agen uricosuric. ii) Kadar penisilin G dalam darah menurun dengan tetrasiklin. 20 3) Efek samping : i) Sistem saraf pusat : dosis tinggi : koma, hiperrefleksia, serangan epilepsi. ii) Dermatologi : ruam kulit, dermatitis. iii) Gastrointestinal : pseudomembran colitis. iv) Hematologi : anemia hemolitik, neutropenia. v) Renal : dosis tinggi kerusakan renal tubular, nefritis interstitial akut. Biasanya pada pengobatan pneumonia, antibiotik golongan penisilin dapat dikombinasikan dengan kloramfenikol. Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman Gram positif dan sejumlah kuman Gram negatif, tetapi dapat juga bersifat bakteriosid terhadap Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides, dan Haemophyllus influenza (Tjay dan Rahardja, 2007). Mekanisme kerja kloramfenikol adalah menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol dapat bersifat bakterisida apabila dalam konsentrasi tinggi (Istiantoro dan Gan, 2012). Profil obat-obat golongan lain-lain sebagai berikut (Lacy dkk., 2009) : a) Klindamisin 1) Farmakokinetika : i) Absorpsi oral cepat (90%). ii) Distribusi : konsentrasi tinggi di tulang dan urin. iii) Bioavailabilitas topical : <1%. iv) Metabolisme : hepatic. 21 v) Waktu paro eliminasi : neonatus premature 8,7 jam; dewasa 1,6-5,3 jam. vi) Ekskresi : urin (10%) dan feses 4% sebagai obat aktif atau metabolisme. 2) Interaksi obat : i) Kadar klindamisin dalam darah dapat meningkat dengan neuromuscular blocking agent. ii) Kadar klindamisin dalam darah menurun dengan kaolin. 3) Efek samping : i) Genitourinary : >10% candidiasis vagina. ii) Dermatologi : >10% kulit kering, terbakar, eritema. b) Kloramfenikol 1) Farmakokinetika : i) Distribusi : jaringan dan cairan tubuh. ii) Protein Binding : 60% menurun pada pasien dengan disfungsi renal. iii) Metabolisme : hepatik. iv) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal dewasa 4 jam; anak-anak 4-6 jam; infant lama secara signifikan. v) Ekskresi : urin (30% dalam bentuk kloramfenikol suksinat pada dewasa, 6-80% pada anak-anak, 5-15% dalam bentuk kloramfenikol). 22 2) Interaksi obat : i) Kadar kloramfenikol dalam darah dapat meningkat dengan barbiturat, sulfonylurea, hidantoin. ii) Kadar penisilin G dalam darah menurun dengan cyanocobalamin, hidantoin, barbiturate, dan rifampisin. 3) Efek samping : i) Sistem saraf pusat : pusing, delirium, depresi, demam, sakit kepala. ii) Dermatologi : ruam kulit, angioedema, urticaria. iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah, stomatitis. iv) Ocular : neuritis optic. v) Hematologi : anemia aplastik, trombositopenia. ii. Sefalosporin Sefalosporon termasuk antibiotik beta-laktam dengan struktur, khasiat, dan sifat yang mirip dengan penisilin. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif maupun Gram negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi (Istiantoro dan Gan, 2012). Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi yaitu (Tjay dan rahardja, 2007) : a) Generasi ke-1 : sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Aktif terhadap cocci gram positif, tidak berdaya terhadap gonococci, H. influenza, Bacteroides, dan Pseudomonas. Pada umumnya tidak tahan terhadap laktamase. 23 b) Generasi ke-2 : sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Lebih aktif terhadap kuman Gram negatif, termasuk H. influenza, Proteus, Klebsiella, gonococci, dan kuman-kuman yang resisten untuk amoksisilin. c) Generasi ke-3 : sefoperazo, sefotaksim, seftizoksim, seftriakson, sefotiam, sefiksim, sefpodoksim, sefprozil. Aktivitasnya lebih kuat pada kuman Gram negatif dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas, bakteroides, dan khususnya seftazidim. d) Generasi ke-4 : sefepim, sefpirom. Sefepim juga aktif sekali terhadap Pseudomonas. Golongan antibiotik ini sering dikombinasikan dengan golongan penisilin atau aminoglikosida untuk terapi infeksi yang diduga dari kuman Gram negatif, khususnya Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter, Klebsiella, Seratia, dan beberapa infeksi lain seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), bakterimia (sepsis), osteomyelitis, pneumonia, dan otitis (Brunton dkk., 2006). Profil obat-obat golongan sefalosporin yang digunakan sebagi berikut (Lacy dkk., 2009) : a) Sefalosporin generasi I 1) Cefadroxil i) Farmakokinetika : (a) Absorpsi : cepat dan mudah di absorpsi. (b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan tubuh meliputi kandung empedu, urin, tulang, sputum, cairan empedu, pleural, an synovial. 24 (c) Protein Binding : 20%. (d) Metabolisme : sebagian kecil di hepatik (e) Waktu paro eliminasi : 1-2 jam, gagal ginjal 20-24 jam. (f) Ekskresi : urin (>90% obat utuh). ii) Interaksi obat : (a) Kadar cefadroxil dalam darah dapat meningkat dengan agen uricosuric. (b) Kadar cefadroxil dalam darah menurun dengan vaksin typoid. iii) Efek samping : (a) Gastrointestinal : 1-10% diare. b) Sefalosporin generasi III 1) Sefotaksim i) Farmakokinetika : (a) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan tubuh meliputi aquaeous humor, cairan prostatic dan ascetic, tulang. (b) Metabolisme : sebagian di hepatic menjadi metabolit aktif, desacetylcefotaxime. (c) Ekskresi : urin (obat utuh dan metabolit). ii) Interaksi obat : (a) Kadar sefotaksim dalam darah dapat meningkat dengan agen uricosuric. 25 (b) Kadar sefotaksim dalam darah menurun dengan vaksin typoid. iii) Efek samping : (a) Gastrointestinal : 1-10% diare, mual muntah, colitis. (b) Dermatologi : ruam kulit, pruritus. (c) Local : nyeri pada tempat injeksi. 2) Sefiksim i) Farmakokinetika : (a) Absorpsi : 40-50%. (b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan tubuh meliputi kandung empedu, urin, tulang, sutum, kulit, cairan empedu, pleural, dan synovial. (c) Protein Binding : 65%. (d) Waktu paro eliminasi ; fungsi renal normal 3-4 jam, gagal ginjal > 11,5 jam. (e) Ekskresi : urin (50% dosis diabsorpsi sebagai obat aktif), feses (10%). ii) Interaksi obat : (a) Kadar sefiksim dalam darah dapat meningkat dengan agen uricosuric. (b) Kadar sefiksim dalam darah menurun dengan vaksin typoid. 26 iii) Efek samping : (a) Gastrointestinal : 16% diare, 2-10% nyeri abdominal, mual, dyspepsia, flatulensi. 3) Seftriakson i) Farmakokinetika : (a) Absorpsi : IM, dapat di absorpsi dengan baik. (b) Distirbusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan tubuh meliputi kandung empedu, paru, tulang, dan cairan empedu. (c) Protein Binding : 85-95%. (d) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal 5-9 jam, gagal ginjal (sedang-berat) 12-16 jam. (e) Ekskresi : urin (33-67% obat utuh), feses (sebagai obat inaktif). ii) Interaksi obat : (a) Kadar seftriakson dalam darah dapat meningkat dengan antagonis vitamin K. (b) Kadar seftriakson dalam darah menurun dengan garam kalsium (intravena), injeksi ringer laktat, agen uricosuric. iii) Efek samping : (a) Local : >10% indurasi dan hangat. (b) Gastrointestinal : 3% diare. (c) Hematologi : 6% eosinofilia, 5% trombositosis. 27 (d) Hepatic : 3% peningkatan transaminase. 4) Seftazidim i) Farmakokinetika : (a) Distribusi : secara luas berdistirbusi ke tubuh, meliputi tulang, cairan empedu, kulit. (b) Protein Binding : 17%. (c) Waktu paro eliminasi : 1-2 jam, lebih lama pada pasien dengan kerusakan renal, neonatus <23 hari 2,2-47 jam. (d) Ekskresi : urin (80-90% obat utuh). ii) Interaksi obat : (a) Kadar seftazidim dalam darah dapat meningkat dengan agen uricosuric. (b) Kadar seftazidim dalam darah menurun dengan vaksin typoid. iii) Efek samping : (a) Local : 1% nyeri pada tempat injeksi. (b) Gastrointestinal : 1% diare, 3-7% mual muntah. 5) Cefuroxime i) Farmakokinetika : (a) Absorpsi : oral, meningkat dengan makanan. (b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan tubuh, melewati barier sawar otak. (c) Protein Binding : 33-50%. 28 (d) Waktu paro eliminasi : anak-anak 1-2 jam, dewasa 1-2 jam, lebih lama pada pasien dengan kerusakan renal. (e) Ekskresi : urin (66%-100% obat utuh). ii) Interaksi obat : (a) Kadar cefuroxime dalam darah dapat meningkat dengan agen uricosuric. (b) Kadar cefuroxime dalam darah menurun dengan antasida, antagonis H2. iii) Efek samping : (a) Dermatologi : 3% diaper rash. (b) Gastrointestinal : 4-11% diare, 3-7% mual muntah. (c) Hematologi : 7% eosinofilia, 10% penurunan hemoglobin dan hematokrit. (d) Hepatik : 2-4% peningkatan transaminase. iii. Aminoglikosida Aminoglikosida mempunyai spektrum luas yang bersifat bakterisid. Digolongkan sebagai berikut : a) Streptomisin, digunakan sebagi obat anti-TBC. b) Kanamisin dengan turunannya amikasin (aktivitas bagi Pseudomonas paling kuat, tetapi terhadap basil Gram negatif lainnya 2-3 kali lebih lemah, kecuali Mycobacterium); dibekasin; gentamisin (berkhasiat terhadap Pseudomonas, Proteus, dan Stapilokok yang resisten terhadap penisilin, tidak aktif terhadap mycobacterium, Streptokok, dan kuman 29 anaerob, sering dikombinasikan dengan Sefalosporin generasi ke-3) dan turunannya netilmisin dan tobramisin; neomisin, framisetin, dan paromomisin (Tjay dan rahardja, 2007). Mekanisme kerja aminoglikosida adalah setelah terikat dengan ribosom 30S, terjadi kesalahan dalam pembacaan terjemahan mRNA sehingga menghambat sintesis protein (Istiantoro dan Gan, 2012). Profil obat-obat golongan aminoglikosida sebagai berikut (Lacy dkk., 2009) : a) Gentamisin 1) Farmakokinetika : i) Absorpsi : IM, cepat dan komplit. ii) Distribusi : ke cairan ekstraseluler, bersifat hidrofilik. iii) Protein Binding : <30%. iv) Waktu paro eliminasi : infant <1 minggu 3-11,5 jam, pada pasien gagal ginjal terminal 36-70 jam. v) Ekskresi : urin. 2) Interaksi obat : i) Kadar gentamisin dalam darah dapat meningkat dengan derivat bisphosphat, botulinum toxin Type A, botulinum toxin Type B, carboplatin, siklosporin, neuromuscular agent. ii) Kadar gentamisin dalam darah menurun dengan penisilin. 3) Efek samping : i) System saraf pusat : >10% vertigo dan ataxia. 30 ii) Otic : >10% ototoksisitas. iii) Dermatologi : 1-10% kulit kemerahan, kulit gatal, ruam kulit. b) Amikasin 1) Farmakokinetika : i) Absorpsi : IM cepat, oral sedikit diabsorpsi. ii) Distribusi : ke cairan ekstraseluler, bersifat hidrofilik. iii) Protein Binding : 0-11%. iv) Waktu paro eliminasi : infant 1-3 hari dengan BBLR 7-9 jam, >7 hari 4-5 hari, anak-anak 1,6-2,5 jam, dewasa 1,4-2,3 jam, apda anuria atau pasien renal stadium akhir 28-86 jam. v) Ekskresi : urin (94-98%). 2) Interaksi obat : i) Kadar amikasin dalam darah dapat meningkat dengan amphoterisin B, capreomisin, loop diuretic, NSAIDs, vancomisin. ii) Kadar amikasin dalam darah menurun dengan penisilin. 3) Efek samping : i) System saraf pusat : 1-10% neurotoksisitas. ii) Otic : 1-10% ototoksisitas. iii) Renal : 1-10% nefrotoksisitas. 31 iv. Makrolida Antibiotik golongan ini dibagi menjadi eritromisin dengan derivatnya klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Yang sering digunakan adalah azitromisin yang aktif terhadap beberapa kuman Gram negatif, antara lain Haemophyllus influenza, penyebab infeksi saluran pernapasan (Tjay dan Rahardja, 2007). Profil obat-obat golongan makrolida sebagi berikut (Lacy dkk., 2009) : a) Azitromisin 1) Farmakokinetika : i) Absorpsi : oral cepat. ii) Distribusi : ke jaringan, kulit, paru, sputum, tonsil dan serviks. iii) Waktu paro eliminasi : iv intermediet release 68-72 jam, extended release 59 jam. iv) Ekskresi : urin 6%. 2) Interaksi obat : i) Kadar azitromisin dalam darah dapat meningkat dengan nelfinavir. ii) Kadar azitromisin dalam darah menurun dengan vaksin typoid. 3) Efek samping : i) Dermatologi : 2-10% pruritus dan ruam kulit. ii) Gastrointestinal : 4-9% diare, ≤7% mual. iii) Local : 2-10% nyeri pada tempat injeksi. iv) Genitourinary : 2-10% vaginitis. 32 g. Efektivitas Terapi Suatu terapi antibiotik dikatakan efektif apabila memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut (Anonim, 2003) : i. Kultur bakteri negatif. ii. Berkurangnya gejala dan tanda penyakit pneumonia seperti berkurangnya frekuensi batuk, suhu tubuh (normal = 36 - 37° C), Respiration rate (RR) normal, tidak ada retraksi, tidak ada krepitasi, tidak ada suara ronki. iii. Tidak terdapat infilrat atau rontgen dada jernih. iv. Data laboratorium normal seperti (Sutedjo, 2008) : a) Jumlah Leukosit Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik untuk jenis bergranula dan jaringan limfatik untuk untuk jenis tak bergranula, berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi. 1) dewasa 2) bayi / anak = 4000 – 10.000/mm3 = 9000 – 12.000/mm3 3) bayi baru lahir = 9000 – 30.000/mm3 b) Laju Endap Darah (LED) LED mengukur kecepatan endap eritrosit dan menggambarkan komposisi plasma serta perbandingannya antara eritrosit dan plasma. LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta gravitasi bumi. Semakin berat sel darah, semakin cepat laju endapnya, 33 dan semakin luas permukaan sel, makin lambat pengendapannya. Setiap peningkatan viskositas plasma akan menimbulkan daya tarik ke atas semakin besar, sehingga laju endap lambat, tetapi sebaliknya setiap keadaan yang membuat sel darah lebih berat (misal menggumpal), maka laju endap kebawah semakin meningkat. 1) LED normal (pria = 0 – 8 mm/jam dan wanita = 0 – 15 mm/jam) 2) LED menurun dapat terjadi pada polositema vera, gagal jantung kongesti, anemia sel sabit, infeksi mononukleus, defisiensi faktor V pembekuan, arthritis degenerative, dan angina pectoris. 3) LED meningkat terjadi pada arthritis rheumatoid, infark miokard akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hepar, dan ginjal), penyakit Hodkin’s, myeloma multiple, limfosarkoma, infeksi bakteri, gout, SLE, eritoblastosis foetalis, kehamilan trimester II dan III, operasi, dan luka bakar. c) Neutrofil Neutrofil lebih cepat beraksi jika terdapat radang dan perlukaan dan merupakan leukosit bergranula yang intinya mempunyai banyak lobus yang menjadi garis depan pertahanan selama fase infeksi akut. Jumlah neutrofil meningkat biasanya pada kasus infeksi akut, penyakit radang, kerusakan jaringan Acute Miocard infark (AMI), penyakit Hodkin’s, hemolitik pada bayi baru lahir, apendiksitis, dan pancreatitis akut. Jumlah neutrofil menurun apabila terdapat infeksi virus, leukemia, agranulositosis, anemia aplastik, dan anemia defisiensi besi. 34 d) Limfosit Jumlah limfosit menurun ditemukan pada penderita kanker, leukemia myeloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia apalstik, agranulositosis, gagal ginjal, sclerosis multiple, sindrom nefrotik, dan SLE. Jumlah limfosit meningkat terdapat pada leukemia limfositik, infeksi virus, infeksi kronik, penyakit Hodkin’s, myeloma multiple, dan hipofungsi adrenokortikal. e) Monosit Jumlah monosit menurun terdapat pada leukemia limfosit, dan anemia aplastik. Jumlah monosit meningkat terdapat pada infeksi virus, penyakit parasit, leukemia monosit, kanker, dan penyakit kolagen. f) Eosinofil Jumlah eosinofil menurun apabila ditemukan hiperfungsi adrenokortikal, stress, shock, dan luka bakar. Jumlah eosinofil meningkat apabila terdapat peristiwa alergi, infeksi parasit, flebitis, kanker tulang, otak, testis, dan ovarium. g) Basofil Jumlah basofil meningkat apabila terdapat proses inflamasi, leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Jumlah basofil menurun, terdapat pada penderita stress, hipersensitivitas, dan kehamilan. 35 2. Rumah Sakit Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang mempunyai struktur organisasi yang didalamnya menggabungkan semua profesi kesehatan, fasilitas diagnosis dan terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Siregar dan Amalia, 2004). Menurut SK Menteri Kesehatan RI no. 983/Menkes/ SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah sakit harus memiliki misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugasnya adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Untuk itu rumah sakit umum perlu mempunyai fungsi pelayanan medis, penunjang medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serat menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan (Aditama, 2000). 3. Rekam medis Rekam medis merupakan salah satu sumber informasi sekaligus sarana komunikasi yang dibutuhkan baik penderita, maupun pemberi layanan kesehatan dan pihak-pihak terkait lain (Klinisi, manajemen RS, asuransi dan sebagainya), 36 untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata laksana atau pengelolaan atau tindakan medik. Beberapa informasi yang seharusnya tertera pada rekam medis antara lain data demografi, anamnesis, hasil pemeriksaan penunjang medik atau diagnostik, lama rawat, nama dan paraf dokter yang merawat. Rekam medis dapat menjadi sumber data sekunder yang memadai apabila data yang terekam cukup lengkap, informatif, jelas dan akurat (Gitawati dkk, 1996). F. Keterangan Empirik Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik subjek penelitian (pasien dewasa yang terdiagnosa pneumonia), gambaran pengobatan dengan antibiotik pada pasien pneumonia pada pasien dewasa rawat inap, efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.