BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan
bawah yang serius karena merupakan penyebab kematian terbesar terutama di
negara berkembang, selain itu di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada,
dan negara – negara Eropa juga banyak kasus yang terjadi (Setyoningrum, 2006).
Dari data Southeast Asia Medical Information Center (SEAMIC) Health
Statistic 2001 pneumonia merupakan penyebab kematian nomer 6 di Indonesia,
nomer 9 di Brunei, nomer 7 di Malaysia, nomer 3 di Singapura, nomer 6 di
Thailand, dan nomer 3 di Vietnam. Insidensi pneumonia komunitas di Amerika
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian
utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Di Amerika dengan cara
invasive pun penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%. Penyebab pneumonia
sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak segera
diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika secara
empiris (Anonim, 2003).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan
penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan
1
2
11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 %
kasus infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam
Malik Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi
nontuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180
pneumonia komuniti dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia
komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang
dirawat per tahun (Anonim, 2003)
Masalah pneumonia perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang
tepat terutama pada efektivitas terapi penyakit pneumonia ini
dikarenakan
kejadian yang cukup tinggi. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa
bahwa penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat membantu RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta
dalam meningkatkan pelayanan kesehatannya
terutama dalam mengetahui efektivitas terapi penyakit pneumonia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka didapat rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Seperti apakah gambaran pengobatan dengan antibiotik pada pasien
dewasa
rawat
inap
yang
menderita
pneumonia
RS
PKU
Muhammadiyah Yogyakarta yang meliputi jenis antibiotik, dosis
antibiotik, frekuensi pemberian, dan waktu minum?
2. Bagaimana efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa
rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
3
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran pengobatan dengan antibiotik pada pasien
pneumonia dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
2. Mengetahui efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa
rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan agar :
1. Bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang efektivitas terapi
menggunakan antibiotik pada pasien dewasa rawat inap yang
menderita pneumonia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Bermanfaat sebagai masukan dalam upaya peningkatan pelayanan
kesehatan terutama dalam keefektivitasan terapi penyakit neumonia
pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pneumonia
a. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian bawah
yang mengenai parenkim paru (Mansjoer dkk., 2000). Pneumonia adalah
4
peradangan pada parenkim paru yang dapat terjadi pada semua umur. Pneumonia
juga merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan gejala demam, batuk,
sesak napas, adanya ronki basah kasar, dan gambaran infiltrate pada foto polos
dada (Setyoningrum, 2006).
Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari cabang – cabang bronkus,
parenkim paru, dan pleura. Infeksi bakteri atau jamur atau virus yang menyerang
parenkim paru dapat menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernapasan
bagian bawah dimana seluruh persediaan darah harus melewati pembuluh darah
kapiler paru sehingga infeksi bakterti atau jamur atau virus dapat ikut bersama
aliran darah (Shulman dkk., 1994).
Pada alkoholik akut atau kronis atau yang menderita penyakit berat,
infeksi tersebut mula – mula akan membentuk koloni ada saluran pernapasan
bagian atas dan melalui sistem saraf sentral yang berpengaruh
terhadap
pengurangan refleks tersedak dan fungsi siliare trakeobronkus yang jelek, maka
sistem pertahanan saluran pernapasan bagian bawah akan terganggu sehingga
koloni infeksi tersebut dapat masuk ke saluran pernapasan bagian bawah dan
terjadi pneumonia (Shulman dkk., 1994).
Pneumonia dapat dibagi menjadi 2, yaitu (Anonim, 2003) :
i. Infectious pneumonia
Infectious pneumonia juga dibagi 2, yaitu pneumonia tipikal
(karena bakteri) dan pneumonia atipikal (karena virus dan
mycoplasma)>
5
ii. Non-infectious pneumonia, dapat karena aspirasi makanan,
hidrokarbon atau reaksi hipersensitif.
b. Etiologi
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorgansime baik virus
maupun bakteri. Sebagian kecil dapat juga disebabkan oleh bahan kimia
(Hidrokarbon,
lipoid substance)
ataupun
benda
asing yang
teraspirasi
(Setyoningrum, 2006).
Sebagian besar pneumonia disebabkan karena infeksi virus yang kemudian
mengalami komplikasi bakteri. Secara klinis pada anak sulit membedakan
pneumonia bacterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan
radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tan, 2002).
Beberapa kasus pneumonia juga mempunyai komplikasi seperti efusi
pleura, abses paru, dan sepsis. Bakteri penyebabnya pun berbeda. Berikut bakteri
penyebab pneumonia dengan komplikasi (Anonim, 2003) :
i. Efusi pleura = Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Streptococcus group A, Flora mulut, dan Staphylococcus aureus.
Efusi pleura adalah akumulasi cairan di dalam rongga pleura.
Timbulnya efusi pleura didahului oleh keradangan pleura atau
pleuritis. Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Penyebab terbanyak
adalah keradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya,
misal bronkopneumonia, tuberculosis paru, dan sebagainya (Alsagaff,
2010).
6
ii. Abses paru = Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Staphylococcus aureus, dan Flora mulut.
Abses paru adalah lesi paru berupa suprasi dan nekrosis jaringan. Bila
terjadi aspirasi, kuman Klebsiela pneumonia sebagai kuman komensal
di saluran atas ikut masuk ke saluran pernapasan bawah. Akibat
aspirasi berulang, aspirat tidak dapat dikeluarkan dan pertahanan
saluran
napas
menurun
sehingga
terjadi
peradangan.
Proses
peradangan dimulai dari bronkus atau bronkiolus, menyebar ke
parenkim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi. Perluasan
pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi sehingga pus atau
jaringan nekrotik dapat dikeluarkan dan lama kelamaan menjadi proses
abses akut menahun (Alsagaff, 2010).
iii. Sepsis = Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus.
Sepsis adalah suatu infeksi di dalam aliran darah. Sepsis merupakan
akibat dari suatu infeksi bakteri di bagian tubuh manusia. Yang sering
menjadi sumber terjadinya sepsis adalah infeksi ginjal, hati atau
kandung empedu, usus, kulit (selulitis), dan paru–paru (pneumonia
karena bakteri), gangguan sistem kekebalan. Gejala yang timbul antara
lain demam, hiperventilasi, menggigil, kulit terasa hangat, takikardi,
lingglung, penurunan produksi air kemih (Mahdiana, 2010).
Pneumonia dapat dibedakan berdasarkan klinis dan epidimiologis, antara
lain (Anonim, 2005) :
7
i. Community Acquired Pneumonia (CAP)
Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau didapat di
lingkungan masyarakat. Pathogen umum yang sering menginfeksi
adalah Streptococcus pneumonia, Haemopjyllus influenza, bakteri
atipikal, virus influenza, Respiratory Synctial Virus (RSV). Pada anakanak, selain pathogen pada pasien dewasa, pathogen yang sering
ditemukan sedikit berbeda yaitu adanya kertelibatan Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia.
ii. Pneumonia Nosokomial atau Hospital acquired Pneumonia (HAP)
Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah
sakit yang perkembangannya lebih dari 48 jam setelah pasien
memeriksakan diri ke rumah sakit. Patogen yang umum menginfeksi
adalah bakteri nosokomial yang resisten terhadap antibiotika yang
beredar di rumah sakit. Bakteri nosokomial yang biasanya adalah
bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti Klebsiella sp,
Escherichia coli, Proteus sp, Staphylococcus aureus khususnya yang
resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang
dirawat di ICU.
iii. Pneumonia Aspirasi
Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi flora arofaring dan
cairan lambung. Pneumonia aspirasi biasa didapat pada pasien dengan
status mental yang buruk atau depresi, maupun pasien dengan
gangguan
refleks
menelan.
Patogen
yang
menginfeksi
pada
8
Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari
flora mulut dan flora saluran napas atas, yaitu Streptococci anaerob.
Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae, bakteri yang
sering ditemukan adalah campuran antar Gram negative batang,
Staphylococcus aureus, dan anaerob.
Kelompok pneumonia lain adalah pneumonia khusus yang dapat
disubklasifikasikan ke dalam kelompok yang normal (non-imunosupresi) dan
imunosupresi. Pneumonia pada pasien non-imunosupresi, diantaranya pneumonia
mikroplasma, pneumonia virus, dan pneumonia Legionnaires. Sedangkan pada
pasien yang imunosupresi, misal pada pasien AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Syndrome) adalah Pneumocystic cariini. Selain itu ada pula kelompok pneumonia
non-infektif, diantaranya aspirasi pneumonia, lipid pneumonia, dan eosinofilik
pneumonia (underwood, 1999).
Pneumonia juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu
(Underwood, 1999) :
i. Pneumonia
bakteri
:
Streptococcus
pneumonia,
Haemophillus
influenza, Staphylococcus aureus.
ii. Pneumonia atipikal : Clamydia pneumonia, Mycoplasma pneumonia,
aspirasi.
iii. Pneumonia virus :Influenza virus, parainfluenza virus, Rhinovirus,
Respiratory synctial virus.
iv. Pneumonia jamur : Candida, Aspergillus, Crytococcus
9
c. Patofisiologi
Jalan pernapasan yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah hidung,
faring, laring, trakea, bronkus dan bronkhiolus. Saluran pernapasan dari hidung
sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk
melalui rongga hidung, maka udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan
(Dahlan, 2000).
Dalam keadaan normal, saluran pernapasan bagian bawah mulai dari
faring sampai alveoli selalu dalam keadaan steril. Ada beberapa mekanisme
pertahanan paru yaitu filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan
refleks epiglotis, refleks batuk, sistem pembersihan oleh lapisan mukosiliar, dan
respon imun. Apabila mekanisme pertahanan paru ini terganggu maka partikel
asing atau organisme dapat masuk atau menginfeksi saluran pernapasan bagian
atas hingga bawah dan kemungkinan besar terjadi pneumonia (Setyoningrum,
2006).
Rute yang dilalui oleh agen infeksi berbeda-beda untuk dapat sampai ke
paru-paru dan menyebakan pneumonia. Agen infeksi ini paling sering masuk ke
paru-paru dengan cara terhirup. Penyebab tersering infeksi saluran pernapasan
adalah virus. Infeksi virus primer menyebabkan mukosa membengkak dan
menghasilkan banyak lendir sehingga bakteri dapat berkembang dengan mudah
dalam mukosa (Bidulph dan Stace, 1999). Pneumonia biasanya mulai pada lobus
kanan bawah, kanan tengah, atau kiri bawah, karena gaya gravitasi daerah-daerah
tersebut maka kemungkinan terbesar untuk membawa sekresi saluran napas
bagian atas yang diaspirasi pada waktu tidur. Refleks batuk yang menjadi gejala
10
klinik pneumonia dirangsang oleh material-material yang melalui barier-barier
yaitu glottis dan laring yang berfungsi melindungi saluran napas bagian bawah
(Isselbacher, 2001 ).
Gambaran patologis tertentu dapat ditunjukkan oleh beberapa bakteri
tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumonia
biasanya bermanisfestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh
lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonates, karena Staphylococcus
aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin,
stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis
pendarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan
menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga
terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan
virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulanbulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe dkk., 2008).
d. Gambaran Klinis
Berdasarkan
pedoman
diagnosis
dan
penatalaksanaan
pneumonia
komunitas yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)
pada tahun 2003 :
11
i.
Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid
atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
ii. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas,
pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki
basah kasar pada stadium resolusi.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan (Anonim, 2003) :
i.
Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
12
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
ii.
Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul,
dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
f. Penatalaksanaan Terapi
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di
rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk dalam faktor
modifikasi adalah (American Thoracic Society, 2001) :
i. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
a) Umur lebih dari 65 tahun
b) Memakai obat-obat golongan ß-laktam selama tiga bulan terakhir
c) Pecandu alkohol
d) Penyakit gangguan kekebalan
13
e) Penyakit penyerta yang multipel
ii. Bakteri enterik Gram negatif
a) Penghuni rumah jompo
b) Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
c) Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
d) Riwayat pengobatan antibiotik
iii. Pseudomonas aeruginosa
a) Bronkiektasis
b) Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
c) Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
d) Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
i.
Penderita rawat jalan
a) Pengobatan suportif / simptomatik
1) Istirahat di tempat tidur
2) Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
3) Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
4) Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
b) Pemberian antiblotik harus diberikan kurang dari 8 jam
ii.
Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
a) Pengobatan suportif / simptomatik
1) Pemberian terapi oksigen
14
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
b) Pengobatan antibiotik harus diberikan kurang dari 8 jam
iii.
Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
a) Pengobatan suportif / simptomatik
1) Pemberian terapi oksigen
2) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
3) Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
b) Pengobatan antibiotik kurang dari 8 jam
c) Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap di ruang rawat
biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di Ruang Rawat
Intensif.
Terapi empirik pneumonia komunitas berdasarkan ATS 2001 (American
Thoracic Society) :
i. Pasien rawat jalan :
a) Tanpa
penyakit
kardiopulmoner
atau
faktor
modifikasi
menggunakan makrolid atau doksisiklin.
b) Dengan
penyakit kardiopulmoner atau faktor modifikasi
menggunakan ß-laktam yaitu amoksisilin dosis tinggi, amoksisilin
15
klavulanat atau parenteral seftriakson ditambah makrolid atau
doksisiklin atau fluorokuinolon respirasi saja.
ii. Pasien rawat inap :
a) Dengan
penyakit
kardiopulmoner
atau
faktor
modifikasi
menggunakan ß-laktam iv + makrolid iv atau doksisiklin atau
fluorokuinolon iv saja (anti pneumokokus).
b) Tanpa
penyakit
kardiopulmoner
atau
faktor
modifikasi
menggunakan Azitromisinn iv saja jika alergi doksisiklin atau ßlaktam atau fluorokuinolon saja (anti pneumokokus).
iii. Pasien rawat intensif :
a) Tanpa resiko pseudomonas menggunakan ß-laktam iv ditambah
makrolid azitromisin iv atau fluorokuinolon iv.
b) Dengan
resiko
pseudomonas
menggunakan
ß-laktam
anti
pseudomonas iv ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas iv
atau
ß-laktam
anti
pseudomonas
iv
ditambah
makrolid
(azitromisin) iv atau fluorokuinolon anti pseudomonas iv.
Antibiotik yang seirng digunakan antara lain :
i. Penisilin
Penisilin adalah antibiotik yang dapat menghalangi sintesa lengkap
polimer dari senyawa amino dan gula yang saling terikat satu dengan yang lain
(peptidoglikan) yang spesifik bagi kuman disebut murein. Bila sel tumbuh dan
plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis, maka dinding sel
yang tidak sempurna itu akan pecah dan bakteri musnah. Dinding sel manusia dan
16
hewan tidak terdiri dari murein sehingga antibiotik ini tidak toksik untuk manusia
(Tjay dan Rahardja, 2007). Penisilin merupakan asam organik yang terdiri dari
satu inti siklik (cincin tiazolidin dan cincin beta-laktam) dengan satu rantai
samping (Istiantoro dan Gan, 2012).
Mekanisme
kerja
penisilin
adalah
menghambat
pembentukan
mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Efek bakterisida
akan dihasilkan terhadap mikroba yang sensitif (mikroba yang sedang aktif
membelah) terhadap penisilin (Istiantoro dan Gan, 2012). Ampisilin dan
amoksisilin juga aktif terhadap kuman Gram positif dan sejumlah kuman Gram
negatif, kecuali Pseudomonas, Klebsiella, dan B. fragilis tetapi yang membedakan
antibiotik ini mempunyai spektrum luas (Tjay dan Rahardja, 2007).
Profil obat-obat golongan penisilin yang digunakan antara lain (Lacy dkk.,
2009) :
a) Ampisilin
1) Farmakokinetika
i) Absorpsi oral 50%
ii) Distribusi : empedu dan jaringan.
iii) Protein Binding :15 – 20%
iv) Waktu paro eliminasi : 1-1,8 jam, untuk pasien gagal ginjal
terminal atau anuria 7-20 jam.
v) Ekskresi : urin (90% obat utuh) dalam 24 jam.
17
2) Interaksi obat :
i) Kadar ampisilin dalam darah dapat meningkat dengan
metotreksat dan allopurinol.
ii) Kadar ampisilin dalam darah menurun dengan atenolol dan
tetrasiklin.
iii) Kecepatan absorpsi ampisilin dapat menurun dengan adanya
makanan.
3) Efek samping
i) Sistem saraf pusat : demam, serangan epilepsi, encephalopathy.
ii) Dermatologi : eritema, ruam kulit, urtikaria.
iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah, stomatitis.
iv) Hematologi
:
anemia,
leucopenia,
eosinophilia,
trombositopenia.
v) Hepatik : peningkatan kadar AST
vi) Respirologi : laryngeal stridor.
vii) Renal : nefritis interstitial (jarang).
b) Ampisilin-Sulbaktam
Ampisilin : sda
Sulbaktam :
1) Farmakokinetika :
i) Distribusi : empedu dan jaringan.
ii) Protein Binding : 38%.
iii) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal : 1-1,3 jam.
18
iv) Ekskresi : urin (75%_80% obat utuh) dalam 8 jam.
2) Interaksi obat :
i) Kadar ampisilin-sulbaktam dalam darah dapat meningkat
dengan metotreksat dan allopurinol.
ii) Kadar ampisilin-sulbaktam dalam darah menurun dengan
atenolol dan tetrasiklin.
3) Efek samping :
i) >10% : nyeri lokal pada tempat injeksi
ii) Dermatologi : 1-10% ruam kulit
iii) Gastrointestinal : 1-10% diare.
c) Amoksisilin
1) Farmakokinetika :
i) Absorpsi oral cepat dan komplit.
ii) Distribusi : cairan tubuh dan tulang.
iii) Proterin Binding : 17-20%.
iv) Metabolisme : sebagian di hepar.
v) Waktu paro eliminasi : neonatus 3,7 jam; infant dan anak 1-2
jam; dewasa dengan fungsi renal normal 0,7-1,4 jam.
vi) Ekskresi : urin (60% obat utuh).
2) Interaksi obat :
i) Kadar amoksisilin dalam darah dapat meningkat dengan
metotreksat dan allopurinol.
ii) Kadar amoksisilin dalam darah menurun dengan tetrasiklin.
19
3) Efek samping :
i) Sistem saraf pusat : agitasi, cemas, bingung, sakit kepala,
insomnia.
ii) Dermatologi : eritema, ruam kulit, steven-johnson syndrome,
urticaria.
iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah.
iv) Hematologi
:
anemia,
leucopenia,
eosinophilia,
trombositopenia.
v) Hepatik : hepatitis, peningkatan ALT dan AST.
d) Penisilin G
1) Farmakokinetika :
i) Distribusi : sedikit melewati barier sawar otak.
ii) Protein Binding : 65%.
iii) Metabolisme : hepatic 30% untuk asam penicilloic.
iv) Waktu paro eliminasi : neonatus umur < 6 hari 3,2-3,4 jam;
umur 7-13 hari 1,2-2,2 jam; umur > 14 hari 0,9-1,9 jam; anakanak dan dewasa dengan fungsi renal normal 30-50 menit;
pasien gagal ginjal terminal 3,3-5,1 jam.
v) Ekskresi : urin (58-85% obat utuh).
2) Interaksi obat :
i) Kadar penisilin G dalam darah dapat meningkat dengan
metotreksat dan agen uricosuric.
ii) Kadar penisilin G dalam darah menurun dengan tetrasiklin.
20
3) Efek samping :
i) Sistem saraf pusat : dosis tinggi : koma, hiperrefleksia,
serangan epilepsi.
ii) Dermatologi : ruam kulit, dermatitis.
iii) Gastrointestinal : pseudomembran colitis.
iv) Hematologi : anemia hemolitik, neutropenia.
v) Renal : dosis tinggi kerusakan renal tubular, nefritis interstitial
akut.
Biasanya pada pengobatan pneumonia, antibiotik golongan penisilin dapat
dikombinasikan dengan kloramfenikol. Kloramfenikol merupakan antibiotik
spektrum luas yang bersifat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman Gram
positif dan sejumlah kuman Gram negatif, tetapi dapat juga bersifat bakteriosid
terhadap Streptococcus pneumonia, Neisseria meningitides, dan Haemophyllus
influenza (Tjay dan Rahardja, 2007). Mekanisme kerja kloramfenikol adalah
menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol dapat bersifat bakterisida
apabila dalam konsentrasi tinggi (Istiantoro dan Gan, 2012).
Profil obat-obat golongan lain-lain sebagai berikut (Lacy dkk., 2009) :
a) Klindamisin
1) Farmakokinetika :
i) Absorpsi oral cepat (90%).
ii) Distribusi : konsentrasi tinggi di tulang dan urin.
iii) Bioavailabilitas topical : <1%.
iv) Metabolisme : hepatic.
21
v) Waktu paro eliminasi : neonatus premature 8,7 jam; dewasa
1,6-5,3 jam.
vi) Ekskresi : urin (10%) dan feses 4% sebagai obat aktif atau
metabolisme.
2) Interaksi obat :
i) Kadar klindamisin dalam darah dapat meningkat dengan
neuromuscular blocking agent.
ii) Kadar klindamisin dalam darah menurun dengan kaolin.
3) Efek samping :
i) Genitourinary : >10% candidiasis vagina.
ii) Dermatologi : >10% kulit kering, terbakar, eritema.
b) Kloramfenikol
1) Farmakokinetika :
i) Distribusi : jaringan dan cairan tubuh.
ii) Protein Binding : 60% menurun pada pasien dengan disfungsi
renal.
iii) Metabolisme : hepatik.
iv) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal dewasa 4 jam;
anak-anak 4-6 jam; infant lama secara signifikan.
v) Ekskresi : urin (30% dalam bentuk kloramfenikol suksinat pada
dewasa, 6-80% pada anak-anak, 5-15% dalam bentuk
kloramfenikol).
22
2) Interaksi obat :
i) Kadar kloramfenikol dalam darah dapat meningkat dengan
barbiturat, sulfonylurea, hidantoin.
ii) Kadar
penisilin
G
dalam
darah
menurun
dengan
cyanocobalamin, hidantoin, barbiturate, dan rifampisin.
3) Efek samping :
i) Sistem saraf pusat : pusing, delirium, depresi, demam, sakit
kepala.
ii) Dermatologi : ruam kulit, angioedema, urticaria.
iii) Gastrointestinal : diare, mual, muntah, stomatitis.
iv) Ocular : neuritis optic.
v) Hematologi : anemia aplastik, trombositopenia.
ii. Sefalosporin
Sefalosporon termasuk antibiotik beta-laktam dengan struktur, khasiat, dan
sifat yang mirip dengan penisilin. Mekanisme kerjanya adalah menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif
maupun Gram negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing derivat
bervariasi (Istiantoro dan Gan, 2012).
Sefalosporin dibagi menjadi 4 generasi yaitu (Tjay dan rahardja, 2007) :
a) Generasi ke-1 : sefalotin, sefazolin, sefradin, sefaleksin, sefadroksil. Aktif
terhadap cocci gram positif, tidak berdaya terhadap gonococci, H.
influenza, Bacteroides, dan Pseudomonas. Pada umumnya tidak tahan
terhadap laktamase.
23
b) Generasi ke-2 : sefaklor, sefamandol, sefmetazol, sefuroksim. Lebih aktif
terhadap kuman Gram negatif, termasuk H. influenza, Proteus, Klebsiella,
gonococci, dan kuman-kuman yang resisten untuk amoksisilin.
c) Generasi ke-3 : sefoperazo, sefotaksim, seftizoksim, seftriakson, sefotiam,
sefiksim, sefpodoksim, sefprozil. Aktivitasnya lebih kuat pada kuman
Gram negatif dan lebih luas lagi meliputi Pseudomonas, bakteroides, dan
khususnya seftazidim.
d) Generasi ke-4 : sefepim, sefpirom. Sefepim juga aktif sekali terhadap
Pseudomonas. Golongan antibiotik ini sering dikombinasikan dengan
golongan penisilin atau aminoglikosida untuk terapi infeksi yang diduga
dari kuman Gram negatif,
khususnya
Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacter, Klebsiella, Seratia, dan beberapa infeksi lain seperti Infeksi
Saluran Kemih (ISK), bakterimia (sepsis), osteomyelitis, pneumonia, dan
otitis (Brunton dkk., 2006).
Profil obat-obat golongan sefalosporin yang digunakan sebagi berikut
(Lacy dkk., 2009) :
a) Sefalosporin generasi I
1) Cefadroxil
i) Farmakokinetika :
(a) Absorpsi : cepat dan mudah di absorpsi.
(b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh meliputi kandung empedu, urin, tulang, sputum,
cairan empedu, pleural, an synovial.
24
(c) Protein Binding : 20%.
(d) Metabolisme : sebagian kecil di hepatik
(e) Waktu paro eliminasi : 1-2 jam, gagal ginjal 20-24 jam.
(f) Ekskresi : urin (>90% obat utuh).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar cefadroxil dalam darah dapat meningkat dengan agen
uricosuric.
(b) Kadar cefadroxil dalam darah menurun dengan vaksin
typoid.
iii) Efek samping :
(a) Gastrointestinal : 1-10% diare.
b) Sefalosporin generasi III
1) Sefotaksim
i) Farmakokinetika :
(a) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh meliputi aquaeous humor, cairan prostatic dan
ascetic, tulang.
(b) Metabolisme : sebagian di hepatic menjadi metabolit aktif,
desacetylcefotaxime.
(c) Ekskresi : urin (obat utuh dan metabolit).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar sefotaksim dalam darah dapat meningkat dengan
agen uricosuric.
25
(b) Kadar sefotaksim dalam darah menurun dengan vaksin
typoid.
iii) Efek samping :
(a) Gastrointestinal : 1-10% diare, mual muntah, colitis.
(b) Dermatologi : ruam kulit, pruritus.
(c) Local : nyeri pada tempat injeksi.
2) Sefiksim
i) Farmakokinetika :
(a) Absorpsi : 40-50%.
(b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh meliputi kandung empedu, urin, tulang, sutum, kulit,
cairan empedu, pleural, dan synovial.
(c) Protein Binding : 65%.
(d) Waktu paro eliminasi ; fungsi renal normal 3-4 jam, gagal
ginjal > 11,5 jam.
(e) Ekskresi : urin (50% dosis diabsorpsi sebagai obat aktif),
feses (10%).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar sefiksim dalam darah dapat meningkat dengan agen
uricosuric.
(b) Kadar sefiksim dalam darah menurun dengan vaksin
typoid.
26
iii) Efek samping :
(a) Gastrointestinal : 16% diare, 2-10% nyeri abdominal, mual,
dyspepsia, flatulensi.
3) Seftriakson
i) Farmakokinetika :
(a) Absorpsi : IM, dapat di absorpsi dengan baik.
(b) Distirbusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh meliputi kandung empedu, paru, tulang, dan cairan
empedu.
(c) Protein Binding : 85-95%.
(d) Waktu paro eliminasi : fungsi renal normal 5-9 jam, gagal
ginjal (sedang-berat) 12-16 jam.
(e) Ekskresi : urin (33-67% obat utuh), feses (sebagai obat
inaktif).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar seftriakson dalam darah dapat meningkat dengan
antagonis vitamin K.
(b) Kadar seftriakson dalam darah menurun dengan garam
kalsium (intravena), injeksi ringer laktat, agen uricosuric.
iii) Efek samping :
(a) Local : >10% indurasi dan hangat.
(b) Gastrointestinal : 3% diare.
(c) Hematologi : 6% eosinofilia, 5% trombositosis.
27
(d) Hepatic : 3% peningkatan transaminase.
4) Seftazidim
i) Farmakokinetika :
(a) Distribusi : secara luas berdistirbusi ke tubuh, meliputi
tulang, cairan empedu, kulit.
(b) Protein Binding : 17%.
(c) Waktu paro eliminasi : 1-2 jam, lebih lama pada pasien
dengan kerusakan renal, neonatus <23 hari 2,2-47 jam.
(d) Ekskresi : urin (80-90% obat utuh).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar seftazidim dalam darah dapat meningkat dengan
agen uricosuric.
(b) Kadar seftazidim dalam darah menurun dengan vaksin
typoid.
iii) Efek samping :
(a) Local : 1% nyeri pada tempat injeksi.
(b) Gastrointestinal : 1% diare, 3-7% mual muntah.
5) Cefuroxime
i) Farmakokinetika :
(a) Absorpsi : oral, meningkat dengan makanan.
(b) Distribusi : secara luas berdistribusi ke jaringan dan cairan
tubuh, melewati barier sawar otak.
(c) Protein Binding : 33-50%.
28
(d) Waktu paro eliminasi : anak-anak 1-2 jam, dewasa 1-2 jam,
lebih lama pada pasien dengan kerusakan renal.
(e) Ekskresi : urin (66%-100% obat utuh).
ii) Interaksi obat :
(a) Kadar cefuroxime dalam darah dapat meningkat dengan
agen uricosuric.
(b) Kadar cefuroxime dalam darah menurun dengan antasida,
antagonis H2.
iii) Efek samping :
(a) Dermatologi : 3% diaper rash.
(b) Gastrointestinal : 4-11% diare, 3-7% mual muntah.
(c) Hematologi : 7% eosinofilia, 10% penurunan hemoglobin
dan hematokrit.
(d) Hepatik : 2-4% peningkatan transaminase.
iii. Aminoglikosida
Aminoglikosida mempunyai spektrum luas yang bersifat bakterisid.
Digolongkan sebagai berikut :
a) Streptomisin, digunakan sebagi obat anti-TBC.
b) Kanamisin dengan turunannya amikasin (aktivitas bagi Pseudomonas
paling kuat, tetapi terhadap basil Gram negatif lainnya 2-3 kali lebih
lemah, kecuali Mycobacterium);
dibekasin; gentamisin (berkhasiat
terhadap Pseudomonas, Proteus, dan Stapilokok yang resisten terhadap
penisilin, tidak aktif terhadap mycobacterium, Streptokok, dan kuman
29
anaerob, sering dikombinasikan dengan Sefalosporin generasi ke-3)
dan turunannya netilmisin dan tobramisin; neomisin, framisetin, dan
paromomisin (Tjay dan rahardja, 2007).
Mekanisme kerja aminoglikosida adalah setelah terikat dengan ribosom
30S,
terjadi kesalahan dalam pembacaan terjemahan mRNA sehingga
menghambat sintesis protein (Istiantoro dan Gan, 2012).
Profil obat-obat golongan aminoglikosida sebagai berikut (Lacy dkk.,
2009) :
a) Gentamisin
1) Farmakokinetika :
i) Absorpsi : IM, cepat dan komplit.
ii) Distribusi : ke cairan ekstraseluler, bersifat hidrofilik.
iii) Protein Binding : <30%.
iv) Waktu paro eliminasi : infant <1 minggu 3-11,5 jam, pada
pasien gagal ginjal terminal 36-70 jam.
v) Ekskresi : urin.
2) Interaksi obat :
i) Kadar gentamisin dalam darah dapat meningkat dengan derivat
bisphosphat, botulinum toxin Type A, botulinum toxin Type B,
carboplatin, siklosporin, neuromuscular agent.
ii) Kadar gentamisin dalam darah menurun dengan penisilin.
3) Efek samping :
i) System saraf pusat : >10% vertigo dan ataxia.
30
ii) Otic : >10% ototoksisitas.
iii) Dermatologi : 1-10% kulit kemerahan, kulit gatal, ruam kulit.
b) Amikasin
1) Farmakokinetika :
i) Absorpsi : IM cepat, oral sedikit diabsorpsi.
ii) Distribusi : ke cairan ekstraseluler, bersifat hidrofilik.
iii) Protein Binding : 0-11%.
iv) Waktu paro eliminasi : infant 1-3 hari dengan BBLR 7-9 jam,
>7 hari 4-5 hari, anak-anak 1,6-2,5 jam, dewasa 1,4-2,3 jam,
apda anuria atau pasien renal stadium akhir 28-86 jam.
v) Ekskresi : urin (94-98%).
2) Interaksi obat :
i) Kadar amikasin dalam darah dapat meningkat dengan
amphoterisin
B,
capreomisin,
loop
diuretic,
NSAIDs,
vancomisin.
ii) Kadar amikasin dalam darah menurun dengan penisilin.
3) Efek samping :
i) System saraf pusat : 1-10% neurotoksisitas.
ii) Otic : 1-10% ototoksisitas.
iii) Renal : 1-10% nefrotoksisitas.
31
iv. Makrolida
Antibiotik golongan ini dibagi menjadi eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Yang sering digunakan
adalah azitromisin yang aktif terhadap beberapa kuman Gram negatif, antara lain
Haemophyllus influenza, penyebab infeksi saluran pernapasan (Tjay dan
Rahardja, 2007).
Profil obat-obat golongan makrolida sebagi berikut (Lacy dkk., 2009) :
a) Azitromisin
1) Farmakokinetika :
i) Absorpsi : oral cepat.
ii) Distribusi : ke jaringan, kulit, paru, sputum, tonsil dan serviks.
iii) Waktu paro eliminasi : iv intermediet release 68-72 jam,
extended release 59 jam.
iv) Ekskresi : urin 6%.
2) Interaksi obat :
i) Kadar azitromisin dalam darah dapat meningkat dengan
nelfinavir.
ii) Kadar azitromisin dalam darah menurun dengan vaksin typoid.
3) Efek samping :
i) Dermatologi : 2-10% pruritus dan ruam kulit.
ii) Gastrointestinal : 4-9% diare, ≤7% mual.
iii) Local : 2-10% nyeri pada tempat injeksi.
iv) Genitourinary : 2-10% vaginitis.
32
g. Efektivitas Terapi
Suatu terapi antibiotik dikatakan efektif apabila memenuhi beberapa
persyaratan sebagai berikut (Anonim, 2003) :
i. Kultur bakteri negatif.
ii. Berkurangnya
gejala
dan
tanda
penyakit
pneumonia
seperti
berkurangnya frekuensi batuk, suhu tubuh (normal = 36 - 37° C),
Respiration rate (RR) normal, tidak ada retraksi, tidak ada krepitasi,
tidak ada suara ronki.
iii. Tidak terdapat infilrat atau rontgen dada jernih.
iv. Data laboratorium normal seperti (Sutedjo, 2008) :
a) Jumlah Leukosit
Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan
hemopoetik untuk jenis bergranula dan jaringan limfatik untuk untuk
jenis tak bergranula, berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh terhadap
infeksi.
1) dewasa
2) bayi / anak
= 4000 – 10.000/mm3
= 9000 – 12.000/mm3
3) bayi baru lahir = 9000 – 30.000/mm3
b) Laju Endap Darah (LED)
LED mengukur kecepatan endap eritrosit dan menggambarkan
komposisi plasma serta perbandingannya antara eritrosit dan plasma.
LED dipengaruhi oleh berat sel darah dan luas permukaan sel serta
gravitasi bumi. Semakin berat sel darah, semakin cepat laju endapnya,
33
dan semakin luas permukaan sel, makin lambat pengendapannya.
Setiap peningkatan viskositas plasma akan menimbulkan daya tarik ke
atas semakin besar, sehingga laju endap lambat, tetapi sebaliknya
setiap keadaan yang membuat sel darah lebih berat (misal
menggumpal), maka laju endap kebawah semakin meningkat.
1) LED normal (pria = 0 – 8 mm/jam dan wanita = 0 – 15 mm/jam)
2) LED menurun dapat terjadi pada polositema vera, gagal jantung
kongesti, anemia sel sabit, infeksi mononukleus, defisiensi faktor V
pembekuan, arthritis degenerative, dan angina pectoris.
3) LED meningkat terjadi pada arthritis rheumatoid, infark miokard
akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hepar, dan ginjal), penyakit
Hodkin’s, myeloma multiple, limfosarkoma, infeksi bakteri, gout, SLE,
eritoblastosis foetalis, kehamilan trimester II dan III, operasi, dan luka
bakar.
c) Neutrofil
Neutrofil lebih cepat beraksi jika terdapat radang dan perlukaan dan
merupakan leukosit bergranula yang intinya mempunyai banyak lobus
yang menjadi garis depan pertahanan selama fase infeksi akut.
Jumlah neutrofil meningkat biasanya pada kasus infeksi akut, penyakit
radang, kerusakan jaringan Acute Miocard infark (AMI), penyakit
Hodkin’s, hemolitik pada bayi baru lahir, apendiksitis, dan pancreatitis
akut. Jumlah neutrofil menurun apabila terdapat infeksi virus,
leukemia, agranulositosis, anemia aplastik, dan anemia defisiensi besi.
34
d) Limfosit
Jumlah limfosit menurun ditemukan pada penderita kanker, leukemia
myeloid, hiperfungsi adrenokortikal, anemia apalstik, agranulositosis,
gagal ginjal, sclerosis multiple, sindrom nefrotik, dan SLE. Jumlah
limfosit meningkat terdapat pada leukemia limfositik, infeksi virus,
infeksi kronik, penyakit Hodkin’s, myeloma multiple, dan hipofungsi
adrenokortikal.
e) Monosit
Jumlah monosit menurun terdapat pada leukemia limfosit, dan anemia
aplastik. Jumlah monosit meningkat terdapat pada infeksi virus,
penyakit parasit, leukemia monosit, kanker, dan penyakit kolagen.
f) Eosinofil
Jumlah
eosinofil
menurun
apabila
ditemukan
hiperfungsi
adrenokortikal, stress, shock, dan luka bakar. Jumlah eosinofil
meningkat apabila terdapat peristiwa alergi, infeksi parasit, flebitis,
kanker tulang, otak, testis, dan ovarium.
g) Basofil
Jumlah basofil meningkat apabila terdapat proses inflamasi, leukemia,
dan fase penyembuhan infeksi. Jumlah basofil menurun, terdapat pada
penderita stress, hipersensitivitas, dan kehamilan.
35
2. Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang mempunyai
struktur organisasi yang didalamnya menggabungkan semua profesi kesehatan,
fasilitas diagnosis dan terapi, alat dan perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam
suatu sistem terkoordinasi untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi
masyarakat (Siregar dan Amalia, 2004).
Menurut SK Menteri Kesehatan RI no. 983/Menkes/ SK/XI/1992
menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik. Rumah
sakit harus memiliki misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat.
Tugasnya adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan
berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang
dilakukan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan
serta melaksanakan upaya rujukan. Untuk itu rumah sakit umum perlu mempunyai
fungsi pelayanan medis, penunjang medis, pelayanan dan asuhan keperawatan,
rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serat
menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan (Aditama, 2000).
3. Rekam medis
Rekam medis merupakan salah satu sumber informasi sekaligus sarana
komunikasi yang dibutuhkan baik penderita, maupun pemberi layanan kesehatan
dan pihak-pihak terkait lain (Klinisi, manajemen RS, asuransi dan sebagainya),
36
untuk pertimbangan dalam menentukan suatu kebijakan tata laksana atau
pengelolaan atau tindakan medik.
Beberapa informasi yang seharusnya tertera pada rekam medis antara lain
data demografi, anamnesis, hasil pemeriksaan penunjang medik atau diagnostik,
lama rawat, nama dan paraf dokter yang merawat. Rekam medis dapat menjadi
sumber data sekunder yang memadai apabila data yang terekam cukup lengkap,
informatif, jelas dan akurat (Gitawati dkk, 1996).
F. Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik subjek
penelitian (pasien dewasa yang terdiagnosa pneumonia), gambaran pengobatan
dengan antibiotik pada pasien pneumonia pada pasien dewasa rawat inap,
efektivitas terapi penyakit pneumonia pada pasien dewasa rawat inap di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.
Download