BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Commercial Loan Theory Commercial Loan Theory atau real bills doctrine atau productive theory of credit mulai dikenal sekitar abad 18. Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan tahun 1776. teori ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (self liquiditing). Self Liquiditing berarti pemberian pinjaman mengandung makna untuk pembayaran kembali. Teori ini menyatakan secara spesifik bahwa bankbank hanya akan memberikan kredit jangka pendek yang sangat mudah dicairkan atau likuid (“Short Term, Self Liquiditing”) melalui pembayaran kembali (angsuran) atas kredit tersebut sebagai sumber likuiditas. Esensi commercial loan theory dalam landasan penelitian ini adalah bank memberikan pembiayaan kepada masyarakat dengan perjanjian bagi hasil yang telah disepakati. Hal ini sesuai dengan fungsi dari perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi, yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk 10 11 fasilitas pembiayaan atau financing yang memang adalah salah satu kegiatan utama dari bank tersebut untuk mendapatkan laba. 2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency Theory (teori keagenan). Teori ini mencoba menjelaskan adanya konflik kepentingan antara manajemen selaku agen dan pemilik selaku prinsipal. Prinsipal ingin mengetahui segala informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan pertanggung jawaban dari agen (manajemen). Esensi teori keagenan dalam menjadi landasan teori penelitian ini adalah adanya pemisahan fungsi antara investor dan pihak manajemen bank. Dimana para investor atau pemegang saham ingin mengetahui hal yang berkaitan dengan modal saham yang diinvestasikannya yang dikelola oleh pihak manajemen untuk menilai prospek perusahaan di masa datang dari pertumbuhan profitabilitas perusahaan tersebut. 12 2.2 Bank Syariah 2.2.1 Pengertian Bank Syariah Menurut Danupranata (25:2013) bank syariah dengan mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, sedangkan lebih lanjut dalam kamus Bank Indonesia di jelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menggunakan sistem dan operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah Islam, yaitu mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang dituntun oleh Al-Quran dan Al-Hadist, dan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang tidak dilarang oleh Al-Quran dan Al-Hadist (Islamic Banking). Dijelaskan juga bahwa definisi bank dan bank umum menurut UndangUndang No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Di dalam undang-undang ini juga memuat tentang bank yang menjelaskan prinsip syariah dengan pengertian sebagai berikut: “Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. 13 Sedangkan menurut Muhammad (13:2005) menjelaskan bahwa: Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan Al-Quran dan Hadist; sementara bank yang beroperasi sesuai ketentuan prinsip syariah Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam. Khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usahanya yaitu menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk lainnya berdasarkan prinsip syariah dan berasaskan pada kemitraan, keadilan, transparansi dan universal. 2.2.2 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat untuk memperoleh pembiayaan, dan sebagainya. Namun, perbedaaan utama antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah larangan riba (bunga) dalam perbankan syariah. Dalam islam riba apapun jenisnya diharamkan, sedangkan jual-beli (murabahah) dan kemitraan/kerjasama (mudharabah, musyarakah) dengan prinsip bagi hasil dihalalkan. Menurut Antonio (34:2001), perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut: 14 Tabel 2.1 Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional Bank Syariah 1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja. 2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa. 3. Profit dan falaah (kemakmuran dunia akhirat) oriented. 4. Hubungan dengan nasabah dalam Bank Konvensional 1. Investasi yang halal dan haram. 2. Memakai perangkat bunga. 3. Profit oriented. 4. Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debiturkreditur. 5. Tidak terdapat dewan sejenis. bentuk kemitraan. 5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah. Sumber : Antonio (34:2001) Adapun perbedaan bunga dan bagi hasil antara bank syariah dan bank konvensional menurut Antonio (60:2001) adalah sebagai berikut: 15 Tabel 2.2 Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil Uraian Bank Konvensional Penentuan Bunga Keuntungan waktu dibuat Bank Syariah pada Penentuan perjanjian besarnya rasio/ dengan asumsi harus nisbah bagi hasil selalu untung. dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Besarnya Persentase Berdasarkan jumlah pada Besarnya uang/modal bagi yang dipinjamkan. berdasarkan rasio hasil pada jumlah keuntungan yang diperoleh. 16 Pembiayaan Pembayaran tetap bunga Bagi seperti hasil yang tergantung dijanjikan pada tanpa keuntungan proyek pertimbangan apakah yang dijalankan, proyek yang dijalankan bila usaha merugi, oleh pihak nasabah kerugian untung atau rugi. akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Jumlah Pembiayaan Jumlah pembayaran Jumlah pembagian bunga tidak meningkat laba meningkat sekalipun jumlah sesuai dengan keuntungan berlipat peningkatan atau keadaan ekonomi jumlah sedang “booming” Eksistensi Eksistensi pendapatan. bunga Tidak ada yang diragukan (kalau tidak merugikan dikecam) oleh semua keabsahan agama, agama Islam. Sumber: Antonio (60:2001) termasuk hasil. bagi 17 2.2.3 Prinsip Dasar Perbankan Syariah Secara garis besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah islam tersebut ditentukan oleh akad hubungan akad yang terdiri dari lima konsep dasar akad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan produk-produk lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan bukan bank syariah untuk dioperasionalkan. Kelima konsep tersebut adalah: (1) sistem simpanan, (2) bagi hasil, (3) margin keuntungan, (4) sewa, (5) fee/jasa. (Muhammad, 85:2005) 1. Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah) Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasilitas al-wadi’ah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al-wadi’ah identik dengan giro. 2. Bagi Hasil (Syirkah) Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharabah dan musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan 18 dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan. 3. Prinsip Jual beli (at-Tijarah) Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tatacara jual beli, dimana bank yang akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). 4. Prinsip Sewa (al-Ijarah) Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya (operating lease). Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah. (2) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiyah merupakan penggabung sewa dan beli, dimana penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease). 5. Prinsip fee/jasa (al-Ajr Wal Umulah) Prinsip ini meliputi seluruh layanan non pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer, dan lain-lain. Secara syariah prinsip ini didasarkan pada konsep al-ajr wal umulah. 19 2.2.4 Fungsi dan Peran Bank Syariah Bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional dimana fungsi bank syariah merupakan karakteristik bank syariah. Dengan mengetahui fungsi bank syariah secara jelas akan membawa dampak dalam pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah. Menurut Muhammad (15:2005), fungsi bank syariah antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memurnikan operasional perbankan syariah sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat. 2. Meningkatkan kesadaran syariah umat Islam sehingga dapat memperluas segmen dan pangsa pasar perbankan syariah. 3. Menjalin kerjasama dengan para ulama, sebab bagaimanapun juga peran ulama di Indonesia sangat dominan bagi kehidupan umat Islam. Lebih lanjut, Muhammad (16:2005) mengemukakan secara luas peran bank syariah dapat terwujud dari aspek-aspek sebagai berikut: 1. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan dan upaya ini akan terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan. 2. Memberikan return yang lebih baik. Artinya, investasi di bank syariah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return yang diberikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu 20 memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Dengan kata lain, nasabah akan memberikan bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya. 3. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syariah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat ditekan. 4. Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syariah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana zakat, infak, dan shaddaqah. 5. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk almudharabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syariah sebagai financial arranger bank memperoleh komisi atau bagi hasil bukan karena spread bunga. 6. Uswan hasanah, implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha bank. 2.3 Pembiayaan 2.3.1 Pengertian Pembiayaan Bank syariah sebagai lembaga intermediasi memiliki fungsi untuk menghimpun dana masyarakat dari pihak yang kelebihan dana ke pihak yang membutuhkan dana, penyaluran dana kepada pihak yang membutuhkan dana ini 21 salah satunya dengan memberikan pembiayaan (financing) atau yang di bank konvensional disebut dengan istilah kredit atau pinjaman. Menurut Kasmir (96:2008), pembiayaan adalah penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pembiayaan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah mempunyai pengertian sebagai berikut : “Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bitamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa”. 22 2.3.2 Unsur-unsur Pembiayaan Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit atau pembiayaan menurut Kasmir (98:2008) adalah: 1. Kepercayaan Merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu yang akan datang, setelah sebelumnya pihak bank melakukan penelitian terhadap nasabah. 2. Kesepakatan Di samping unsur percaya, dalam pembiayaan juga mengandung unsur kesepakatan antara pemberi kredit dalam hal ini bank, dengan penerima kredit (nasabah) yang dituangkan dalam suatu perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing-masing. 3. Jangka waktu Setiap pembiayaan yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu itu mencakup masa pengembalian pembiayaan yang telah disepakati. 4. Risiko Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagihnya atau macetnya pemberian pembiayaan. Semakin panjang jangka waktunya semakin besar risikonya, demikian 23 pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik itu yang disengaja oleh nasabah yang jail, maupun yang tidak disengaja akibat bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur kesengajaan lainnya. 5. Balas Jasa Merupakan keuntungan dari pemberian pembiayaan yang telah dilakukan pihak bank yang dikenal dengan istilah bagi hasil. 2.3.3 Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Pemberian suatu fasilitas kredit (pembiayaan) mempunyai tujuan tertentu yang tidak terlepas dari misi bank tersebut didirikan, adapun tujuan utama pemberian suatu pembiayaan (Kasmir,100:2008) antara lain: 1. Mencari keuntungan Keuntungan yang dalam hal ini berupa bagi hasil sangat penting bagi kelangsungan hidup bank, terlebih lagi pada umumnya sebagian besar dana bank biasanya dialokasikan untuk pembiayaan sehingga menyumbangkan pendapatan besar. 2. Membantu usaha nasabah Dengan adanya fasilitas pembiayaan dapat membantu para nasabah yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana modal kerja untuk pengembangan dan perluasan usahanya. 3. Membantu pemerintah 24 Bagi pemerintah semakin banyak kredit (pembiayaan) yang disalurkan oleh pihak perbankan maka akan semakin baik. Karena semakin banyak kredit berarti akan semakin meningkatkan pembangunan di berbagai sektor. Dengan menyebarnya pemberian kredit atau pembiayaan pemerintah memperoleh keuntungan berupa: a. Penerimaan pajak, dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan bank. b. Membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk pembiayaan pembangunan usaha baru atau perluasan usaha yang akan membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyerap tenaga kerja yang masih menganggur. c. Meningkatkan jumlah barang dan jasa. d. Menghemat devisa negara, terutama untuk produk-produk yang sebelumnya di impor jika sudah dapat diproduksi di dalam negeri dengan fasilitas pembiayaan yang ada maka jelas akan dapat menghemat devisa negara. Disamping tujuan di atas suatu fasilitas pembiayaan juga memiliki fungsi untuk meningkatkan daya guna uang. Maksudnya jika uang hanya disimpan saja, tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Lain halnya jika uang tersebut disalurkan melalui pembiayaan maka uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh pihak penerima kredit. Selain dari itu pembiayaan juga meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, meningkatkan 25 kegairahan berusaha bagi nasabah yang memiliki modal terbatas dan yang penting pembiayaan juga sebagai alat stabilitas ekonomi karena melalui pembiayaan yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat juga dapat membantu dalam mengekspor barang ke luar negeri sehingga meningkatkan devisa negara. Bagi masyarakat luas pemberian pembiayaan juga sebagai alat peningkatan dan pemerataan pendapatan, karena pemberian pembiayaan yang tepat berarti akan menciptakan lapangan kegiatan usaha, dengan adanya lapangan kegiatan usaha berarti pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan menerima suatu pendapatan. 2.3.4 Kualitas Pembiayaan Pembiayaan menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas risiko kemungkinan terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk membayar bagi hasil, serta melunasi pembiayaannya. Jadi unsur utama dalam menetukan kualitas tersebut adalah waktu pembayaran bagi hasil, pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok pembiayaan dan diperinci atas: Tabel 2.3 Indikator Kualitas Pembiayaan No 1. Kualitas Pembiayaan Pembiayaan Lancar Kriteria a. Pembayaran angsuran pokok dan/ atau bagi hasil tepat waktu; dan b. Memiliki rekening yang aktif; atau 26 2. Perhatian Khusus 3. Kurang lancar 4. Diragukan 5. Macet c. Bagian dari pembiayaan yang dijamin dengan agunan tunai (cash colateral). a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bagi hasil yang belum melampaui sembilan puluh hari, atau b. Kadang-kadang terjadi cerukan; atau c. Mutasi rekening relative aktif; atau d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau e. Didukung oleh pinjaman baru a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bagi hasil; atau b. Sering terjadi cerukan; atau c. Frekuensi mutasi rekening relatif rendah d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan lebih dari sembilan puluh hari, atau e. Terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur, atau f. Dokumentasi pinjaman yang lemah a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bagi hasil, atau b. Terdapat cerukan yang bersifat permanen, atau c. Terdapat wanprestasi lebih dari 180 hari atau d. Terdapat kapitalisasi bunga, atau e. Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian pembiayaan maupun pengikatan jaminan. a. Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/ atau bagi hasil, atau b. Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau c. Dari segi hukumannya kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada 27 nilai wajar. 2.4 Financing to Deposit Ratio (FDR) Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah rasio antara jumlah pembiayaan yang diberikan bank dengan dana pihak ketiga yang diterima oleh bank. Financing to deposit Ratio (FDR) ditentukan oleh perbandingan antara jumlah pembiayaan yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan. Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang mengukur kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera dipenuhi. Kewajiban tersebut berupa call money yang harus dipenuhi pada saat adanya kewajiban kliring, dimana pemenuhannya dilakukan dari aktiva lancar yang dimiliki perusahaan. Menurut Dendawijaya (116:2005), Financing to Deposit Ratio (FDR) menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Financing to deposit Ratio (FDR) dirumuskan sebagai berikut: Pembiayaan FDR = x 100 % Total dana pihak ketiga + Modal Inti Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/11/DPNP/2010, Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan perbandingan antara pembiayaan 28 dengan dana pihak ketiga ditambah modal sendiri. Besarnya nilai Financing to Deposit Ratio (FDR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Pembiayaan FDR = x 100 % Total dana pihak ketiga + Modal Sendiri Adapun dana pihak ketiga dalam bank syariah berupa (Muhammad, 266:2005): 1. Titipan (wadi’ah) simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya tapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan. 2. Partisipasi modal berbagi hasil dari berbagai risiko untuk investasi umum. 3. Investasi khusus dimana bank hanya berlaku sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee dan investor sepenuhnya mengambil risiko atas investasi tersebut. Menurut Muhammad (265:2005), semakin tinggi rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk pembiayaan menjadi semakin besar. Semakin besar kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara otomatis laba juga akan mengalami kenaikan. Menurut Dendawijaya (114:2005), batas maksimum untuk Financing to deposit Ratio (FDR) adalah sebesar 110%, dimana apabila melebihi batas tersebut berarti likuiditas bank sudah termasuk kategori buruk, sebagian praktisi perbankan 29 menyepakati batas aman dari Financing to deposit Ratio (FDR) adalah sebesar 80% dengan batas toleransi antara 85% dan 100%. Jika angka rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) suatu bank berada pada angka di bawah 80% (misalkan 60%), maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 60% dari seluruh dana yang dihimpun. Karena fungsi utama dari bank adalah sebagai intermediasi (perantara) antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, maka dengan rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) 60% berarti 40% dari seluruh dana yang dihimpun tidak disalurkan kepada pihak yang membutuhkan, sehingga dapat dikatakan bahwa bank tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Kemudian jika rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) bank mencapai lebih dari 110%, berarti total pembiayaan yang diberikan bank tersebut melebihi dana yang dihimpun. Oleh karena dana yang dihimpun dari masyarakat sedikit, maka bank dalam hal ini juga dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya sebagai pihak intermediasi (perantara) dengan baik. Semakin tinggi Financing to Deposit Ratio (FDR) menunjukkan semakin riskan kondisi menunjukkan kurangnya efektivitas bank dalam menyalurkan pembiayaan. Jika rasio Financing to deposit Ratio (FDR) bank berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka laba yang diperoleh bank tersebut akan meningkat (dengan asumsi bank tersebut mampu menyalurkan pembiayaannya dengan efektif). Dan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.12/11/DPNP/2010, besarnya Financing to Deposit Ratio (FDR) 30 yang mencerminkan likuiditas suatu bank yang sehat adalah 85% - 110%. Apabila Financing to Deposit Ratio (FDR) suatu bank berada di atas atau di bawah 85%110%, maka bank dalam hal ini dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya sebagai pihak intermediasi (perantara) dengan baik. 2.5 Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) 2.5.1 Pengertian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Suatu kenyataan bahwa pembiayaan bermasalah merupakan bagian dari financing portofolio dari sebuah bank syariah, namun pemberian pembiayaan yang sukses adalah bank yang mampu mengelola pembiayaan bermasalah pada suatu tingkat wajar yang tidak menimbulkan kerugian bank yang bersangkutan. Menurut Siamat (175:2005), Non Performing Financing (NPF) adalah: “Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktorfaktor internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian diluar kemampuan kendali kreditur”. Menurut Dendawijaya (68:2005), Non Performing Financing (NPF) adalah: “Pembiayaan-pembiayaan yang kategori kolektabilitasnya masuk dalam kriteria pembiayaan kurang lancar, pembiayaan diragukan, dan pembiayaan macet” Dendawijaya (82:2009) pun mengemukakan dampak dari keberadaan Non Performing Financing (NPF) yang tidak wajar salah satunya adalah hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan) dari kredit yang diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi profitabilitas. 31 Menurut Rahmawulan (2008), suatu kredit dinyatakan bermasalah jika bank benar-benar tidak mampu menghadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit tersebut. Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko kerugian sehubungan dengan pihak peminjam tidak dapat dan tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo. Menurut Firdaus dan Ariyanti (43:2009), menjelaskan bahwa: “Kegiatan menyalurkan kredit oleh bank mengandung resiko (credit risk) yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keberlangsungan usaha bank, likuiditas, rentabilitas (profitabilitas), serta solvabilitas bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan dalam pengelolaan kredit bank yang juga secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian suatu negara” Menurut Mahmoeddin (3:2010), Non Performing Financing pada dasarnya disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Apabila penurunan pembiayaan dan profitabilitas sudah sangat parah sehingga mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun. Non Performing Financing (NPF) semakin tinggi maka profitabilitas akan semakin rendah dan sebaliknya, jika Non Performing Financing (NPF) semakin rendah maka profitabilitas akan semakin tinggi. Seperti yang diungkapkan Abdullah (114:2005), “Jika kredit bermasalah sangat besar dan cadangan yang 32 dibentuk juga besar berakibat modal bank kemungkinan menjadi negatif sehingga laba yang diperoleh menjadi terganggu”. Perhitungan Non Performing Financing (NPF) yang diinstruksikan Bank Indonesia dirumuskan sebagai berikut: Total Pembiayaan Bermasalah NPF = x 100% Total Pembiayaan Menurut Muhammad (265:2005), menjelaskan bahwa: “…komponen penilaian suatu aktiva produktif sebagai indikator penilaian kinerja dan kesehatan bank terdiri dari total kredit/pembiayaan bermasalah dan total kredit/pembiayaan yang diberikan”. Berdasarkan pengertian di atas maka tingkat risiko pembiayaan bermasalah dapat dirumuskan sebagai berikut: Total Pembiayaan Bermasalah NPF = x 100% Total Pembiayaan Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Non Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan atau kredit yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal bank syariah. Adapun kriteria kesehatan bank syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut: 33 Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Peringkat Non Performing Financing Peringkat Nilai NPF Predikat 1 NPF < 2% Sangat Baik 2 2% £ NPF £ 5% Baik 3 5% £ NPF £ 8% Cukup Baik 4 8% £NPF £ 12% Kurang Baik 5 NPF ³ 12% Tidak Baik Sumber: SE BI No. 9/24/DPbs tanggal 30 Oktober 2007 2.5.2 Penyebab Pembiayaan Bermasalah ( Non Performing Financing) Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensial bagi bank jika tidak ditangani dengan baik, karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Pembiayaan bermasalah menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor perbankan adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat, yaitu antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending units). Bank syariah adalah selaku lembaga yang bermodalkan kepercayaan semata dari masyarakat dalam menjalankan fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat. Bank syariah sebagai lembaga perkreditan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana kepada masyarakat, harus melakukan analisis melalui prinsip 5C, guna meminimalkan risiko bermasalahnya atau tidak kembalinya pembiayaan. Banyak 34 faktor yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Menurut Mahmoeddin (51:2010) faktor-faktor penyebab terjadinya pembiayaan bermasalah, yaitu: 1. Faktor Internal Faktor Internal perbankan yang menyebabkan pembiayaan bermasalah ialah adanya kelemahan atau kesalahan dalam bank itu sendiri, yang terdiri dari: a. Kebijakan pemberian pembiayaan yang terlalu ekspansif Peningkatan penghimpunan dana dari pihak ketiga yang cukup pesat menyebabkan beberapa bank melakukan pertumbuhan pembiayaan yang melebihi tingkat wajar. Hal ini disebabkan untuk menghindari terjadinya pengumpulan dana, seharusnya bank tetap melakukan kebijakan pemberian pembiayaan dengan prosedur berhati-hati untuk menghindari terjadinya risiko Non Performing Financing (NPF). b. Penyimpangan pemberian pembiayaan Bank pada umumnya telah memiliki pedoman dan tata cara pemberian pembiayaan, namun dalam pelaksanaanya seringkali tidak dilakukan dengan patuh dan taat asas. Penyimpangan pemberian pembiayaan terhadap prosedur atau kebijakan ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun kualitas pejabat-pejabat pemberi pembiayaan selain disebabkan oleh adanya 35 dominasi pemutuan pembiayaan oleh pejabat tertentu pada bank yang bersangkutan. c. Itikad kurang baik pemilik atau pengurus dan pegawai bank Seringkali terjadi pemilik atau pengurus dan pegawai bank memberikan pembiayaan kepada debitur yang sebenarnya tidak bankable. Kegiatan usaha yang tidak bankable tersebut antara lain kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya selain tidak jelas debiturnya (debitur fiktif) yaitu penggunaan dan yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti yang ada. d. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan Sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan yang lemah menyebabkan pemantauan terhadap performance pembiayaan tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya, dengan demikian permasalahan yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah tidak dapat terdeteksi secara dini dan hal ini dapat menimbulkan kerugian. e. Lemahnya sistem informasi pembiayaan Bank cenderung melaporkan gambaran pembiayaan yang lebih baik dari keadaan yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan tujuan mendapatkan penilaian kesehatan yang lebih baik. Bank perlu mengadministrasikan dan memiliki informasi pembiayaan bermasalah yang sama dengan yang dilaporkan kepada Bank 36 Indonesia, apabila hal ini tidak dilakukan maka bank tidak memiliki gambaran yang akurat mengenai keadaan pembiayaan bermasalah yang sebenarnya sehingga tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan lebih dini. 2. Faktor eksternal Non Performing Financing (NPF) dapat pula disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu: a. Kegagalan usaha debitur Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang terdapat dalam lingkungan usaha debitur. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kegagalan produksi, distribusi, pemasaran maupun regulasi terhadap suatu industri. b. Menurunnya kegiatan ekonomi Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada sektor-sektor usaha tertentu akibat adanya kebijakan pemerintah telah menjadi salah satu penyebab kesulitan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada bank. c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur Persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan oleh beberapa calon debitur dengan cara tertentu yang mendorong bank menawarkan persyaratan pembiayaan yang lebih ringan dan 37 jumlah pembiayaan yang lebih besar. Pada akhirnya pemberian yang berlebihan dapat mendorong debitur yang bersangkutan menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan spekulatif. d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya Beberapa pembiayaan bermasalah yang terjadi karena musibah yang dialami debitur seperti sarana usaha mengalami kebakaran, sementara debitur atau bank tidak melakukan pengamanan penutupan asuransi. 2.5.3 Dampak Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang kurang menguntungkan baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan maupun terhadap kegiatan ekonomi dan moneter negara. Menurut Mahmoeddin (111:2004), dampak yang akan diakibatkan oleh pembiayaan bermasalah, yaitu: 1. Dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi pembiayaan Bank yang dirongrong masalah pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan mengalami kesulitan operasional. Pembiayaan dengan kualitas buruk memerlukan cadangan penghapusan yang semakin besar sehingga menyebabkan biaya yang harus ditanggung untuk mengadakan cadangan tersebut semakin besar, hal ini jelas mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Profitabilitas yang semakin menurun akan mengurangi modal sendiri kemudian CAR akan menurun, sehingga bank memerlukan modal dana segar, apabila bank 38 syariah tidak dapat menambah modal sendiri maka nilai kesehatan operasi akan menurun. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. 2. Dampak terhadap dunia perbankan Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Penurunan pembiayaan dan profitabilitas yang sudah sangat parah akan mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun. 3. Dampak terhadap ekonomi dan moneter negara Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan menghilangkan kesempatan bank untuk membiayai kegiatan operasinya dan perluasan debitur lain karena terhentinya perputaran dana yang akan dipinjamkan. Hal ini akan memperkecil kesempatan pengusaha lain untuk memanfaatkan peluang bisnis dan investasi yang ada. 2.5.4 Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing) Risiko yang terjadi dari pembiayaan adalah pembiayaan yang bermasalah atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu menganalisis metode penyelesaiannya. Menurut Kasmir (126:2008), bahwa 39 penyelesaian pembiayaan bermasalah adalah upaya bank untuk menjaga kualitas pembiayaan dan menghindari risiko kerugian yang mungkin akan diderita bank dengan sasaran utama dari pendekatan sisi aktiva dan pasiva bank yaitu: 1. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas aktiva produktif. 2. Menekan penghapusan penyisihan aktiva produktif yang dibentuk. 3. Meningkatkan penerimaan bunga pinjaman dan operasional perkreditan bank. 4. Upaya memperoleh dana murah dari hasil penagihan pembiayaan bermasalah yang telah dihapus buku (write off) sehingga dapat memberi sumbangan bagi peningkatan likuiditas maupun ekuitas bank. 5. Memudahkan penyusunan business plan bank tersebut dalam memprediksi target-target perusahaan yang bermuara pada tingkat kesehatan suatu bank. 6. Memperbaiki reputasi dan citra bank tersebut. Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: 1. Rescheduling, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa jadwal atau jangka waktu pembiayaan baik pokok, tunggakan margin maupun masa tenggang, sehingga debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank. 2. Reconditioning , yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat pembiayaan yang tidak terbatas 40 pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal saldo pembiayaan, sehingga debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank. 3. Restructuring, yaitu debitur akan mampu memenuhi kewajibannya pada bank dengan perubahan syarat-syarat yang menyangkut: a. Penurunan margin pembiayaan. b. Penurunan tunggakan pokok pembiayaan. c. Perpanjangan jangka waktu pembiayaan. d. Penambahan fasilitas pembiayaan. e. Pengambilan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur. 2.6 Profitabilitas 2.6.1 Pengertian Profitabilitas Sebagaimana bank umum lainnya (bank konvensional), tugas utama bank syariah adalah mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Pengertian profitabilitas menurut Mahmoeddin (20:2004), adalah: “Kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan” Munawir (33:2004) mengemukakan bahwa : 41 ”Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu”. Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan, dengan demikian profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank. Menurut Kasmir (196:2012) mendefinisikan profitabilitas yaitu: “Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan.” Triyuwono dan As’Udi (87:2001), menyatakan bahwa tujuan keuntungan dalam akuntansi syariah adalah untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban menunaikan zakat. Oleh karena itu, keuntungan dalam akuntansi syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha, apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum. Hal ini sangat penting untuk melakukan pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban kepada Allah SWT yang dimanifestasikan dalam bentuk penentuan pembayaran zakat. Segala aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana bank tercermin dalam laporan keuangan dimana proses pencatatan sampai tercerminnya laporan keuangan harus dilakukan dengan benar, sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan oleh pihak umum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 42 akuntansinya harus menjaga output yang dihasilkan tetap dalam kebenaran, keadilan, dan kejujuran sebagaimana halnya hakikat dalam ajaran agama Islam. Laporan keuangan yang diterbitkan bank syariah secara lengkap diisyaratkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 101 (Revisi 2011) yang terdiri dari: 1. Laporan Posisi Keuangan 2. Laporan Laba Rugi 3. Laporan Perubahan Ekuitas 4. Laporan Arus Kas 5. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat 6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan , dan 7. Catatan atas Laporan Keuangan Mengoptimalkan keuntungan dalam akuntansi syariah tidak berarti bahwa bentuk hanya melakukan usaha peningkatan keuntungan, lebih dari itu bank juga harus memperhitungkan tingkat investasi modal untuk menjaga agar pendapatan terutama keuntungan terus dapat ditingkatkan. Bank syariah harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan agar mencapai tingkat keuntungan yang cukup dan tingkat risiko yang rendah. Tingkat keuntungan yang dihasilkan bank dikenal dengan istilah profitabilitas, yang merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank untuk menghasilkan keuntungan dari aset yang digunakan. 43 Mahmoeddin (20:2004) menjelaskan bahwa: “Analisa profitabilitas akan dicari hubungan timbal balik antara pos-pos yang ada dalam income statement itu sendiri maupun hubungan timbal balik dengan pos-pos yang ada dalam neraca bank untuk mendapatkan berbagai indikasi yang berguna dalam mengukur efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.” Kasmir (297:2008) menyatakan bahwa: “Rasio rentabilitas sering disebut profitabilitas usaha. Rasio rentabilitas digunakan untuk mengukur tingkat efisien usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan.” Tjoekam (270:2000) menyatakan bahwa: “Kinerja bank umumnya diukur dengan profitabilitas itu sendiri menggunakan ukuran ROE dan ROA”. Menurut Arifin (64:2003) bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank, yaitu: 1. Return On Assets (ROA), adalah perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau perbandingan dari laba sebelum pajak dan zakat terhadap total aset. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, kondisi ideal Return on Assets (ROA) yang harus dicapai minimal 1.25%. 2. Return On Equity (ROE), didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata modal (average equity) atau investasi para pemilik bank. Dilihat dari pandangan para 44 pemilik, Return on Equity (ROE) adalah ukuran yang lebih penting karena mereflesikan kepentingan kepemilikan mereka. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia. Perusahaan unggulan biasanya memiliki nilai Return on Equity (ROE) yang berada diatas level 25%. 2.6.2 Return On Assets (ROA) ROA berguna untuk menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan laba dari pengelolaan asset yang dimiliki. Dalam perhitungan ROA, besarnya nilai Return On Assets dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Arifin, 64:2003): Laba Sebelum Pajak dan Zakat ROA = x 100% Total Aset ROA digunakan untuk mengukur profitabilitas bank karena Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai profitabilitas suatu bank, diukur dengan assets yang dananya sebagian besar dari dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 118:2009). Keunggulan menggunakan rasio ROA (Van Horne dan Wachowicz, 163:2011) : ROA mudah dihitung, dipahami dan sangat berarti dalam nilai absolute. 45 ROA sebagai tolok ukur prestasi manajemen dalam memanfaatkan aktiva yang dimiliki perusahaan untuk memperoleh laba. ROA sebagai alat mengevaluasi atas penerapan kebijakankebijakan manajemen. Nilai ROA yang semakin mendekati 1, berarti semakin baik profitabilitas perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ROA berarti kinerja perusahaan semakin efektif, sehingga struktur modal perusahaan dapat mencerminkan aktivitas pembiayaan dengan tingkat pengembalian atau laba yang didapat (Kasmir, 197:2012). 2.6.3 Return On Equity (ROE) Menurut Reeve, Warren dan Dunhac (346:2009), menyatakan bahwa: “Return On Equity mengukur tingkat pendapatan yang diterima sehubungan dengan jumlah yang diinvestasikan oleh para pemegang saham”. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Arifin, 64:2003): Laba Sebelum Pajak dan Zakat ROE = x 100% Total Equity Tingkat Return On Equity (ROE) yang cukup tinggi menunjukkan perusahaan mampu menggunakan ekuitasnya dengan efisien dan efektif, sehingga para investor percaya bahwa perusahaan akan dapat memberikan pendapatan yang lebih besar. Apabila suatu perusahaan memiliki tingkat ROE yang rendah maka 46 minat investor terhadap saham menjadi rendah pula (Reeve, Warren dan Dunhac, 345:2009). Berdasarkan teori-teori di atas maka penulis menggunakan Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE) untuk dijadikan sebagai ukuran profitabilitas pada penelitian ini. Dan alasan yang dapat disimpulkan adalah karena ROA dalam analisis keuangan mempunyai arti yang sangat penting yaitu merupakan salah satu teknis analisis yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat efektifitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Selain itu penulis juga menggunakan ROE karena penulis ingin melihat profitabilitas dari sudut pandang calon investor, dimana ROE ini memiliki arti penting untuk menilai prospek perusahaan di masa datang dan dalam memenuhi harapan pemegang saham. 2.7 Peneliti Terdahulu Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Financing to Deposit Ratio (FDR), Non Performing Financing (NPF), dan Profitabilitas adalah sebagai berikut : 1) Susilawati (2011), penelitian yang dilakukan adalah meneliti pembiayaan mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF). Dalam penelitian ini objek yang diteliti adalah Bank BPR Syariah Baiturridha Pusaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembiayaan mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF). 2) Kharisma (2011), pada penelitian ini peneliti meneliti dana pihak ketiga dan Non Performing Financing terhadap profitabilitas. Penelitian ini 47 menghasilkan kesimpulan bahwa secara simultan dana pihak ketiga dan Non Performing Financing secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Dan Secara Parsial terdapat pengaruh yang signifikan antara dana pihak ketiga terhadap profitabilitas dan terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara Non Performing Financing terhadap profitabilitas. 3) Priyono (2009), penelitian ini dilakukan untuk meneliti Financing To Deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan Perputaran aktiva terhadap Profititabilitas. Secara garis besar ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh simultan dan parsial antara Financing To Deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan Perputaran aktiva terhadap Profititabilitas. 4) Arifa (2008), penelitian ini meneliti apakah ada pengaruh Non Performing Financing dan Financing To deposit Ratio Terhadap Presentase Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Financing To Deposit Ratio (FDR) dan Non Performing Financing (NPF) secara simultan atau bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah. 5) Mutaminah dan Chasanah (2012), penelitian ini meneliti analisis eksternal dan internal dalam menentukan Non Performing Financing Bank Umum Syariah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 48 GDP (Gross Domestic Product) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap NPF bank umum syariah, inflasi berpengaruh egatif signifikan terhadap NPF bank umum syariah, kurs atau nilai tukar berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum syariah, rasio return pembiayaan profit loss sharing terhadap return total pembiayaan (RR) berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap NPF bank umum syariah, rasio alokasi pembiayaan murabahah terhadap alokasi pembiayaan profit loss sharing (RR) berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum syariah. 49 Tabel 2.5 Tabel Perbandingan Skripsi dengan Penelitian Terdahulu No Penulis / Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian Persamaan 1. Susi Susilawati (2011) Pengaruh pembiayaan mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF) Pada Bank BPR Syariah Baitturidha Pusaka Periode 20102011 Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembiayaan mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF). Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Susi Susilawati (2011) adalah pada variabel Non Performing Financing (NPF) sama sama dihitung dengan perbandingan antara pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan. 2. Dea Naufal Kharisma (2011) Pengaruh dana pihak ketiga dan non performing financing terhadap profitabilitas perbankan syariah pada periode 2008- - Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Dea Naufal Kharisma adalah variabel independen yang digunakan adalah non performing financing, dan variabel dependen yang digunakan Secara simultan dana pihak ketiga dan non performing financing secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas. Perbedaan - Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian oleh Susi Susilawati (2011) adalah Non Performing Financing (NPF) pada penelitian Susi Susilawati digunakan sebagai variabel dependen , sedangkan penulis menggunakan Non Performing Financing (NPF) sebagai variabel independen. - Pada hal pembiayaan penelitian Susi Susilawati lebih berfokus pada pembiayaan mudharabah sedangkan penulis pembiayaan menyeluruh baik murabahah maupun mudharabah Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Dea Naufal Kharisma adalah pada variabel independen penulis menggunakan Financing to Deposit Ratio sebagai X1 sedangkan Dea Naufal Kharisma menggunakan 50 3. Priyono (2009) 4. Umaira Arifa (2008) 2011 - Pengaruh Financing to deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan Perputaran aktiva terhadap Profitabilitas (studi pada Bank Syariah Mandiri, Tbk tahun 2004 -2007) Pengaruh Non Performing Financing dan Financing To deposit Ratio Terhadap Presentase Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah pada Bank Muamalat Indonesia Terdapat pengaruh simultan dan parsial antara Financing To Deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan Perputaran aktiva terhadap Profitabilitas. Secara Parsial terdapat pengaruh yang signifikan antara dana pihak ketiga terhadap profitabilitas dan terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara non performing financing terhadap profitabilitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Financing To Deposit Ratio (FDR) dan Non Performing Financing (NPF) secara simultan atau bersamasama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah. adalah profitabilitas . Dalam Dana Pihak Ketiga. penelitian ini, profitabilitas sama dihitung menggunakan rasio ROA (Return On Investment) Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Priyono adalah variabel independen yang digunakan adalah financing to deposit ratio, dan variabel dependen yang digunakan adalah profitabilitas. Dalam penelitian ini, profitabilitas sama dihitung menggunakan rasio ROA. Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Umaira Arifa adalah variabel independen yang digunakan adalah non performing financing dan financing to deposit ratio. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Priyono adalah Penulis tidak menggunakan Debt To Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan Perputaran Aktiva sebagai variabel independen. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Umaira Arifa adalah pada variabel dependennya. Penelitian Umaira Arifa menggunakan Presentase Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah sebagai variabel dependen sedangkan penulis menggunakan variabel dependen profitabilitas. 51 5. Mutaminah dan Siti Nur Zaidah Chasanah (2012) Analisis eksternal dan internal dalam menentukan Non Performing Financing Bank Umum Syariah di Indonesia. - - - GDP (Gross Domestic Product) berpengaruh positif tidak signifikan terhadap NPF bank umum syariah. Inflasi berpengaruh egatif signifikan terhadap NPF bank umum syariah. Kurs atau nilai tukar berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum syariah. Rasio return pembiayaan profit loss sharing terhadap return total pembiayaan (RR) berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap NPF bank umum syariah rasio alokasi pembiayaan murabahah terhadap alokasi Persamaan penelitian penulis dengan penelitian Mutaminah dan Siti Nur Zaidah adalah sama-sama meneliti Non Performing Financing pada Bank Umum Syariah di Indonesia. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Mutaminah dan Siti Nur Zaidah adalah peneliti menggunakan Financing to Deposit Ratio dan Non Performing Financing sebagai variabel independen dan profitabilitas sebagai variabel dependen yang diukur menggunakan ROA dan ROE. 52 pembiayaan profit loss sharing (RR) berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum syariah. 53 2.8 Kerangka Pemikiran 2.8.1 Pengaruh Financing To Deposit Ratio (FDR) Terhadap Profitabilitas Sesuai dengan usaha bank yang utama adalah penyaluran kredit dan jika dilihat dari struktur asset bank maka kredit/pembiayaan merupakan earning asset terbesar dibandingkan dengan asset lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan Abdullah (32:2005) bahwa: “Uang tunai yang dimiliki bank bisa bersumber dari modal sendiri, maupun sumber-sumber lain dan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali baik secara keseluruhan maupun secara berangsur-angsur, selanjutnya berdasarkan peran bank sebagai perantara keuangan (Financial Intermediary) dana tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit atau alternative lainnya. Berdasarkan uraian tersebut maka operasional bank bertujuan mendapatkan keuntungan dari selisih bunga pinjaman kepada debitur dengan suku bunga simpanan yang dibayarkan kepada masyarakat sebagai nasabah yang menyimpan dananya kepada bank. Selisih bunga yang diterima sebagai keuntungan bank itu disebut spread”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan semakin besar Financing to Deposit Ratio (FDR) berarti semakin besar tingkat profitabilitas. Dengan semakin besar (FDR) berarti semakin besar ekspansi pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Dengan semakin besar ekspansi pembiayaan maka akan semakin besar pula profitabilitas bank karena pendapatan yang berasal dari pembiayaan yaitu pendapatan bagi hasil akan semakin besar pula. 54 2.8.2 Pengaruh Non Performing Financing (NPF) Terhadap Profitabilitas Bank Syariah dituntut untuk selalu menjaga pembiayaan agar tidak berada dalam kategori pembiayaan bermasalah, risiko yang dihadapi bank adalah risiko tidak terbayarnya pembiayaan atau bagi hasil yang sering disebut default risk atau risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan timbul dari berbagai pembiayaan yang masuk dalam kategori bermasalah yang dapat mengganggu tingkat kesehatan bank bila berada dalam tingkat yang tinggi. Meskipun risiko pembiayaan bermasalah tidak dapat terhindarkan, maka harus diusahakan dalam tingkat wajar. Menurut Firdaus dan Ariyanti (4:2009) menyatakan bahwa: “Kegiatan menyalurkan kredit oleh bank mengandung resiko (credit risk) yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keberlangsungan usaha bank, likuiditas, rentabilitas (profitabilitas), serta solvabilitas bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan atau kegagalan dalam pengelolaan kredit bank yang juga secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian suatu negara.” Dari pengertian di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam rangka kegiatan penyaluran kredit/pembiayaan oleh bank yang bertujuan memperoleh laba terkandung risiko-risiko yang harus dihadapi, ada dua hal yang dipikirkan oleh manajemen bank dalam pengelolaan kredit atau pembiayaan yakni besaran total yang diambil untuk menaikkan laba dan berapa banyak risiko yang harus diambil bank. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) dan Non Performing Financing (NPF) memiliki hubungan 55 dengan tingkat profitabilitas bank syariah. Hubungan tersebut dapat dituangkan dalam bagan kerangka pemikiran sebagai berikut : Financing To Deposit Ratio (X1) Profitabilitas (Y) Non Performing Financing (X2) Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran 2.9 Hipotesis Penelitian Penggunaan hipotesis dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya baru sekedar jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan. Dengan hipotesis, penelitian menjadi jelas terarah pegujiannya. Dengan kata lain hipotesis membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian dilapangan baik sebagai objek maupun dalam pengumpulan data. Menurut Sekaran (135:2007), menerangkan bahwa: “Hipotesis didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis di antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji”. Penggunaan hipotesis dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya baru sekedar jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka yang dapat disajikan oleh penulis berhipotesis : H1 : Financing To Deposit Ratio berpengaruh terhadap profitabilitas bank 56 syariah. H2 : Non Performing Financing berpengaruh terhadap profitabilitas bank syariah. H3 : Financing To Deposit Ratio dan Non Performing Financing berpengaruh simultan terhadap profitabilitas bank syariah.