BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Commercial

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Commercial Loan Theory
Commercial Loan Theory atau real bills doctrine atau productive theory of
credit mulai dikenal sekitar abad 18. Kajian teori ini dilakukan oleh Adam Smith
dalam bukunya yang terkenal The Wealth of Nation yang diterbitkan tahun 1776.
teori ini beranggapan bahwa bank hanya boleh memberikan pinjaman dengan
surat dagang jangka pendek yang dapat dicairkan dengan sendirinya (self
liquiditing). Self Liquiditing berarti pemberian pinjaman mengandung makna
untuk pembayaran kembali. Teori ini menyatakan secara spesifik bahwa bankbank hanya akan memberikan kredit jangka pendek yang sangat mudah dicairkan
atau likuid (“Short Term, Self Liquiditing”) melalui pembayaran kembali
(angsuran) atas kredit tersebut sebagai sumber likuiditas.
Esensi commercial loan theory dalam landasan penelitian ini adalah bank
memberikan pembiayaan kepada masyarakat dengan perjanjian bagi hasil yang
telah disepakati. Hal ini sesuai dengan fungsi dari perbankan syariah sebagai
lembaga intermediasi, yaitu mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk
10
11
fasilitas pembiayaan atau financing yang memang adalah salah satu kegiatan
utama dari bank tersebut untuk mendapatkan laba.
2.1.2
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis
perusahaan yang dipakai selama ini. Teori ini dikembangkan oleh Jensen dan
Meckling (1976). Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori
keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan
adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang yaitu investor
dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Pemisahan
pemilik dan manajemen di dalam literatur akuntansi disebut dengan Agency
Theory (teori keagenan).
Teori ini mencoba menjelaskan adanya konflik kepentingan antara
manajemen selaku agen dan pemilik selaku prinsipal. Prinsipal ingin mengetahui
segala informasi termasuk aktivitas manajemen, yang terkait dengan investasi atau
dananya dalam perusahaan. Hal ini dilakukan dengan meminta laporan
pertanggung jawaban dari agen (manajemen). Esensi teori keagenan dalam
menjadi landasan teori penelitian ini adalah adanya pemisahan fungsi antara
investor dan pihak manajemen bank. Dimana para investor atau pemegang saham
ingin mengetahui hal yang berkaitan dengan modal saham yang diinvestasikannya
yang dikelola oleh pihak manajemen untuk menilai prospek perusahaan di masa
datang dari pertumbuhan profitabilitas perusahaan tersebut.
12
2.2
Bank Syariah
2.2.1
Pengertian Bank Syariah
Menurut Danupranata (25:2013) bank syariah dengan mengacu kepada
Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/148/KEP/DIR tanggal 12
November 1998 pasal 12 ayat (3) menyatakan bahwa Bank berdasarkan Prinsip
Syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah, sedangkan lebih
lanjut dalam kamus Bank Indonesia di jelaskan bahwa bank syariah adalah bank
yang menggunakan sistem dan operasi perbankan berdasarkan prinsip syariah
Islam, yaitu mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian berusaha yang dituntun
oleh Al-Quran dan Al-Hadist, dan mengikuti tata cara berusaha dan perjanjian
berusaha yang tidak dilarang oleh Al-Quran dan Al-Hadist (Islamic Banking).
Dijelaskan juga bahwa definisi bank dan bank umum menurut UndangUndang No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
Di dalam undang-undang ini juga memuat tentang bank yang menjelaskan
prinsip syariah dengan pengertian sebagai berikut:
“Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.
13
Sedangkan menurut Muhammad (13:2005) menjelaskan bahwa:
Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah
Islam; (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan Al-Quran
dan Hadist; sementara bank yang beroperasi sesuai ketentuan prinsip syariah
Islam adalah bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan
Syariah Islam. Khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat itu dijauhi
praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bank syariah adalah badan
usaha yang melakukan kegiatan usahanya yaitu menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk lainnya berdasarkan prinsip syariah
dan berasaskan pada kemitraan, keadilan, transparansi dan universal.
2.2.2
Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank syariah dan bank konvensional memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi
komputer
yang
digunakan,
syarat-syarat
untuk
memperoleh
pembiayaan, dan sebagainya.
Namun, perbedaaan utama antara perbankan syariah dengan perbankan
konvensional adalah larangan riba (bunga) dalam perbankan syariah. Dalam islam
riba apapun jenisnya diharamkan, sedangkan jual-beli (murabahah) dan
kemitraan/kerjasama (mudharabah, musyarakah) dengan prinsip bagi hasil
dihalalkan. Menurut Antonio (34:2001), perbandingan antara bank syariah dan
bank konvensional dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut:
14
Tabel 2.1
Perbedaan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank Syariah
1. Melakukan investasi-investasi yang
halal saja.
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual
beli, atau sewa.
3. Profit dan falaah (kemakmuran
dunia akhirat) oriented.
4. Hubungan dengan nasabah dalam
Bank Konvensional
1. Investasi yang halal dan haram.
2. Memakai perangkat bunga.
3. Profit oriented.
4. Hubungan
dengan
nasabah
dalam bentuk hubungan debiturkreditur.
5. Tidak terdapat dewan sejenis.
bentuk kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana
harus sesuai dengan fatwa Dewan
Pengawas Syariah.
Sumber : Antonio (34:2001)
Adapun perbedaan bunga dan bagi hasil antara bank syariah dan bank
konvensional menurut Antonio (60:2001) adalah sebagai berikut:
15
Tabel 2.2
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Uraian
Bank Konvensional
Penentuan
Bunga
Keuntungan
waktu
dibuat
Bank Syariah
pada Penentuan
perjanjian besarnya
rasio/
dengan asumsi harus nisbah bagi hasil
selalu untung.
dibuat pada waktu
akad
dengan
berpedoman pada
kemungkinan
untung rugi.
Besarnya Persentase
Berdasarkan
jumlah
pada Besarnya
uang/modal bagi
yang dipinjamkan.
berdasarkan
rasio
hasil
pada
jumlah keuntungan
yang diperoleh.
16
Pembiayaan
Pembayaran
tetap
bunga Bagi
seperti
hasil
yang tergantung
dijanjikan
pada
tanpa keuntungan proyek
pertimbangan
apakah yang
dijalankan,
proyek yang dijalankan bila usaha merugi,
oleh
pihak
nasabah kerugian
untung atau rugi.
akan
ditanggung
bersama
oleh
kedua belah pihak.
Jumlah Pembiayaan
Jumlah
pembayaran Jumlah pembagian
bunga tidak meningkat laba
meningkat
sekalipun
jumlah sesuai
dengan
keuntungan
berlipat peningkatan
atau keadaan ekonomi jumlah
sedang “booming”
Eksistensi
Eksistensi
pendapatan.
bunga Tidak
ada
yang
diragukan (kalau tidak merugikan
dikecam) oleh semua keabsahan
agama,
agama Islam.
Sumber: Antonio (60:2001)
termasuk hasil.
bagi
17
2.2.3
Prinsip Dasar Perbankan Syariah
Secara garis besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah islam tersebut
ditentukan oleh akad hubungan akad yang terdiri dari lima konsep dasar akad.
Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan produk-produk
lembaga keuangan bank syariah dan lembaga keuangan bukan bank syariah untuk
dioperasionalkan. Kelima konsep tersebut adalah: (1) sistem simpanan, (2) bagi
hasil, (3) margin keuntungan, (4) sewa, (5) fee/jasa. (Muhammad, 85:2005)
1. Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh bank
Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana
untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-wadi’ah. Fasilitas al-wadi’ah
biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan
seperti
halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan
konvensional al-wadi’ah identik dengan giro.
2. Bagi Hasil (Syirkah)
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil
usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha
ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank
dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip
ini adalah mudharabah dan musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah
dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan
18
dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah lebih banyak
untuk pembiayaan.
3. Prinsip Jual beli (at-Tijarah)
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tatacara jual beli,
dimana bank yang akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan
atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang
atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah
dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin).
4. Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis: (1) Ijarah, sewa
murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya
(operating lease). Dalam teknis perbankan, bank dapat membeli dahulu
equipment yang dibutuhkan nasabah kemudian menyewakan dalam waktu
dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah. (2) Bai al takjiri atau
ijarah al muntahiyah merupakan penggabung sewa dan beli, dimana
penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa
(financial lease).
5. Prinsip fee/jasa (al-Ajr Wal Umulah)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non pembiayaan yang diberikan bank.
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi,
Kliring, Inkaso, Jasa Transfer, dan lain-lain. Secara syariah prinsip ini
didasarkan pada konsep al-ajr wal umulah.
19
2.2.4
Fungsi dan Peran Bank Syariah
Bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional
dimana fungsi bank syariah merupakan karakteristik bank syariah. Dengan
mengetahui fungsi bank syariah secara jelas akan membawa dampak dalam
pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah.
Menurut Muhammad (15:2005), fungsi bank syariah antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Memurnikan operasional perbankan syariah sehingga dapat lebih
meningkatkan kepercayaan masyarakat.
2. Meningkatkan kesadaran syariah umat
Islam sehingga dapat
memperluas segmen dan pangsa pasar perbankan syariah.
3. Menjalin kerjasama dengan para ulama, sebab bagaimanapun juga
peran ulama di Indonesia sangat dominan bagi kehidupan umat Islam.
Lebih lanjut, Muhammad (16:2005) mengemukakan secara luas peran
bank syariah dapat terwujud dari aspek-aspek sebagai berikut:
1. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan.
Artinya, bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan
dan upaya ini akan terwujud jika ada mekanisme operasi yang
transparan.
2. Memberikan return yang lebih baik. Artinya, investasi di bank syariah
tidak memberikan janji yang pasti mengenai return yang diberikan
kepada investor. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu
20
memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank
konvensional. Dengan kata lain, nasabah akan memberikan bagi hasil
sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya.
3. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank
syariah
mendorong
terjadinya
transaksi
produktif
dari
dana
masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat ditekan.
4. Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syariah bukan
hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan
dana zakat, infak, dan shaddaqah.
5. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk almudharabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk
melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka
bank syariah sebagai financial arranger bank memperoleh komisi atau
bagi hasil bukan karena spread bunga.
6. Uswan hasanah, implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha
bank.
2.3
Pembiayaan
2.3.1
Pengertian Pembiayaan
Bank syariah sebagai lembaga intermediasi memiliki fungsi untuk
menghimpun dana masyarakat dari pihak yang kelebihan dana ke pihak yang
membutuhkan dana, penyaluran dana kepada pihak yang membutuhkan dana ini
21
salah satunya dengan memberikan pembiayaan (financing) atau yang di bank
konvensional disebut dengan istilah kredit atau pinjaman.
Menurut Kasmir (96:2008), pembiayaan adalah penyedia uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antar bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.
Pembiayaan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan
syariah mempunyai pengertian sebagai berikut :
“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bitamlik;
c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna;
d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa”.
22
2.3.2
Unsur-unsur Pembiayaan
Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit atau
pembiayaan menurut Kasmir (98:2008) adalah:
1. Kepercayaan
Merupakan suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang
diberikan (berupa uang, barang atau jasa) akan benar-benar diterima
kembali di masa tertentu yang akan datang, setelah sebelumnya pihak
bank melakukan penelitian terhadap nasabah.
2. Kesepakatan
Di samping unsur percaya, dalam pembiayaan juga mengandung unsur
kesepakatan antara pemberi kredit dalam hal ini bank, dengan
penerima kredit (nasabah) yang dituangkan dalam suatu perjanjian
dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban
masing-masing.
3. Jangka waktu
Setiap pembiayaan yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu,
jangka waktu itu mencakup masa pengembalian pembiayaan yang
telah disepakati.
4. Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu
risiko tidak tertagihnya atau macetnya pemberian pembiayaan.
Semakin panjang jangka waktunya semakin besar risikonya, demikian
23
pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik itu yang
disengaja oleh nasabah yang jail, maupun yang tidak disengaja akibat
bencana alam atau bangkrutnya usaha nasabah tanpa ada unsur
kesengajaan lainnya.
5. Balas Jasa
Merupakan keuntungan dari pemberian pembiayaan yang telah
dilakukan pihak bank yang dikenal dengan istilah bagi hasil.
2.3.3
Tujuan dan Fungsi Pembiayaan
Pemberian suatu fasilitas kredit (pembiayaan) mempunyai tujuan tertentu
yang tidak terlepas dari misi bank tersebut didirikan, adapun tujuan utama
pemberian suatu pembiayaan (Kasmir,100:2008) antara lain:
1. Mencari keuntungan
Keuntungan yang dalam hal ini berupa bagi hasil sangat penting bagi
kelangsungan hidup bank, terlebih lagi pada umumnya sebagian besar
dana bank biasanya dialokasikan untuk pembiayaan sehingga
menyumbangkan pendapatan besar.
2. Membantu usaha nasabah
Dengan adanya fasilitas pembiayaan dapat membantu para nasabah
yang memerlukan dana, baik dana investasi maupun dana modal kerja
untuk pengembangan dan perluasan usahanya.
3. Membantu pemerintah
24
Bagi pemerintah semakin banyak kredit (pembiayaan) yang disalurkan
oleh pihak perbankan maka akan semakin baik. Karena semakin
banyak kredit berarti akan semakin meningkatkan pembangunan di
berbagai sektor. Dengan menyebarnya pemberian kredit atau
pembiayaan pemerintah memperoleh keuntungan berupa:
a. Penerimaan pajak, dari keuntungan yang diperoleh nasabah dan
bank.
b. Membuka kesempatan kerja, dalam hal ini untuk pembiayaan
pembangunan usaha baru atau perluasan usaha yang akan
membutuhkan tenaga kerja baru sehingga dapat menyerap tenaga
kerja yang masih menganggur.
c. Meningkatkan jumlah barang dan jasa.
d. Menghemat devisa negara, terutama untuk produk-produk yang
sebelumnya di impor jika sudah dapat diproduksi di dalam negeri
dengan fasilitas pembiayaan yang ada maka jelas akan dapat
menghemat devisa negara.
Disamping tujuan di atas suatu fasilitas pembiayaan juga memiliki fungsi
untuk meningkatkan daya guna uang. Maksudnya jika uang hanya disimpan saja,
tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Lain halnya jika uang tersebut
disalurkan melalui pembiayaan maka uang tersebut menjadi berguna untuk
menghasilkan barang atau jasa oleh pihak penerima kredit. Selain dari itu
pembiayaan juga meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, meningkatkan
25
kegairahan berusaha bagi nasabah yang memiliki modal terbatas dan yang penting
pembiayaan juga sebagai alat stabilitas ekonomi karena melalui pembiayaan yang
diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat juga
dapat membantu dalam mengekspor barang ke luar negeri sehingga meningkatkan
devisa negara.
Bagi masyarakat luas pemberian pembiayaan juga sebagai alat
peningkatan dan pemerataan pendapatan, karena pemberian pembiayaan yang
tepat berarti akan menciptakan lapangan kegiatan usaha, dengan adanya lapangan
kegiatan usaha berarti pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut akan
menerima suatu pendapatan.
2.3.4
Kualitas Pembiayaan
Pembiayaan menurut kualitasnya pada hakikatnya didasarkan atas risiko
kemungkinan terhadap kondisi dan kepatuhan nasabah pembiayaan dalam
memenuhi kewajiban-kewajibannya untuk membayar bagi hasil, serta melunasi
pembiayaannya. Jadi unsur utama dalam menetukan kualitas tersebut adalah
waktu pembayaran bagi hasil, pembayaran angsuran maupun pelunasan pokok
pembiayaan dan diperinci atas:
Tabel 2.3
Indikator Kualitas Pembiayaan
No
1.
Kualitas Pembiayaan
Pembiayaan Lancar
Kriteria
a. Pembayaran angsuran pokok dan/
atau bagi hasil tepat waktu; dan
b. Memiliki rekening yang aktif; atau
26
2.
Perhatian Khusus
3.
Kurang lancar
4.
Diragukan
5.
Macet
c. Bagian dari pembiayaan yang
dijamin dengan agunan tunai (cash
colateral).
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/ atau bagi hasil yang belum
melampaui sembilan puluh hari, atau
b. Kadang-kadang terjadi cerukan; atau
c. Mutasi rekening relative aktif; atau
d. Jarang terjadi pelanggaran terhadap
kontrak yang diperjanjikan; atau
e. Didukung oleh pinjaman baru
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/atau bagi hasil; atau
b. Sering terjadi cerukan; atau
c. Frekuensi mutasi rekening relatif
rendah
d. Terjadi pelanggaran terhadap kontrak
yang diperjanjikan lebih dari
sembilan puluh hari, atau
e. Terdapat indikasi masalah keuangan
yang dihadapi debitur, atau
f. Dokumentasi pinjaman yang lemah
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/ atau bagi hasil, atau
b. Terdapat cerukan yang bersifat
permanen, atau
c. Terdapat wanprestasi lebih dari 180
hari atau
d. Terdapat kapitalisasi bunga, atau
e. Dokumentasi hukum yang lemah
baik untuk perjanjian pembiayaan
maupun pengikatan jaminan.
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok
dan/ atau bagi hasil, atau
b. Kerugian operasional ditutup dengan
pinjaman baru, atau
c. Dari segi hukumannya kondisi pasar,
jaminan tidak dapat dicairkan pada
27
nilai wajar.
2.4
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Financing to Deposit Ratio (FDR) adalah rasio antara jumlah pembiayaan
yang diberikan bank dengan dana pihak ketiga yang diterima oleh bank.
Financing to deposit Ratio (FDR) ditentukan oleh perbandingan antara jumlah
pembiayaan yang diberikan dengan dana masyarakat yang dihimpun yaitu
mencakup giro, simpanan berjangka (deposito), dan tabungan.
Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang mengukur
kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban keuangan yang harus segera
dipenuhi. Kewajiban tersebut berupa call money yang harus dipenuhi pada saat
adanya kewajiban kliring, dimana pemenuhannya dilakukan dari aktiva lancar
yang dimiliki perusahaan.
Menurut Dendawijaya (116:2005), Financing to Deposit Ratio (FDR)
menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan
dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan
sebagai sumber likuiditasnya. Financing to deposit Ratio (FDR) dirumuskan
sebagai berikut:
Pembiayaan
FDR =
x 100 %
Total dana pihak ketiga + Modal Inti
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 12/11/DPNP/2010,
Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan perbandingan antara pembiayaan
28
dengan dana pihak ketiga ditambah modal sendiri. Besarnya nilai Financing to
Deposit Ratio (FDR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Pembiayaan
FDR =
x 100 %
Total dana pihak ketiga + Modal Sendiri
Adapun dana pihak ketiga dalam bank syariah berupa (Muhammad, 266:2005):
1. Titipan
(wadi’ah)
simpanan
yang
dijamin
keamanan
dan
pengembaliannya tapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan.
2. Partisipasi modal berbagi hasil dari berbagai risiko untuk investasi
umum.
3. Investasi khusus dimana bank hanya berlaku sebagai manajer investasi
untuk memperoleh fee dan investor sepenuhnya mengambil risiko atas
investasi tersebut.
Menurut Muhammad (265:2005), semakin tinggi rasio Financing to
Deposit Ratio (FDR) tersebut memberikan indikasi semakin rendahnya
kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah
dana yang diperlukan untuk pembiayaan menjadi semakin besar. Semakin besar
kredit maka pendapatan yang diperoleh naik, karena pendapatan naik secara
otomatis laba juga akan mengalami kenaikan.
Menurut Dendawijaya (114:2005), batas maksimum untuk Financing to
deposit Ratio (FDR) adalah sebesar 110%, dimana apabila melebihi batas tersebut
berarti likuiditas bank sudah termasuk kategori buruk, sebagian praktisi perbankan
29
menyepakati batas aman dari Financing to deposit Ratio (FDR) adalah sebesar
80% dengan batas toleransi antara 85% dan 100%.
Jika angka rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) suatu bank berada pada
angka di bawah 80% (misalkan 60%), maka dapat disimpulkan bahwa bank
tersebut hanya dapat menyalurkan sebesar 60% dari seluruh dana yang dihimpun.
Karena fungsi utama dari bank adalah sebagai intermediasi (perantara) antara
pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, maka dengan
rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) 60% berarti 40% dari seluruh dana yang
dihimpun tidak disalurkan kepada pihak yang membutuhkan, sehingga dapat
dikatakan bahwa bank tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Kemudian jika rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) bank mencapai lebih dari
110%, berarti total pembiayaan yang diberikan bank tersebut melebihi dana yang
dihimpun. Oleh karena dana yang dihimpun dari masyarakat sedikit, maka bank
dalam hal ini juga dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya sebagai pihak
intermediasi (perantara) dengan baik. Semakin tinggi Financing to Deposit Ratio
(FDR) menunjukkan semakin riskan kondisi menunjukkan kurangnya efektivitas
bank dalam menyalurkan pembiayaan. Jika rasio Financing to deposit Ratio
(FDR) bank berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, maka laba
yang diperoleh bank tersebut akan meningkat (dengan asumsi bank tersebut
mampu menyalurkan pembiayaannya dengan efektif).
Dan berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No.12/11/DPNP/2010, besarnya Financing to Deposit Ratio (FDR)
30
yang mencerminkan likuiditas suatu bank yang sehat adalah 85% - 110%. Apabila
Financing to Deposit Ratio (FDR) suatu bank berada di atas atau di bawah 85%110%, maka bank dalam hal ini dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya
sebagai pihak intermediasi (perantara) dengan baik.
2.5
Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
2.5.1
Pengertian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Suatu kenyataan bahwa pembiayaan bermasalah merupakan bagian dari
financing portofolio dari sebuah bank syariah, namun pemberian pembiayaan
yang sukses adalah bank yang mampu mengelola pembiayaan bermasalah pada
suatu tingkat wajar yang tidak menimbulkan kerugian bank yang bersangkutan.
Menurut Siamat (175:2005), Non Performing Financing (NPF) adalah:
“Pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktorfaktor internal yaitu adanya kesengajaan dan faktor eksternal yaitu suatu kejadian
diluar kemampuan kendali kreditur”.
Menurut Dendawijaya (68:2005), Non Performing Financing (NPF) adalah:
“Pembiayaan-pembiayaan yang kategori kolektabilitasnya masuk dalam
kriteria pembiayaan kurang lancar, pembiayaan diragukan, dan pembiayaan
macet”
Dendawijaya (82:2009) pun mengemukakan dampak dari keberadaan
Non Performing Financing (NPF) yang tidak wajar salah satunya adalah
hilangnya kesempatan memperoleh income (pendapatan) dari kredit yang
diberikan, sehingga mengurangi perolehan laba dan berpengaruh buruk bagi
profitabilitas.
31
Menurut Rahmawulan (2008), suatu kredit dinyatakan bermasalah jika
bank benar-benar tidak mampu menghadapi risiko yang ditimbulkan oleh kredit
tersebut. Risiko kredit didefinisikan sebagai risiko kerugian sehubungan dengan
pihak peminjam tidak dapat dan tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar
kembali dana yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo.
Menurut Firdaus dan Ariyanti (43:2009), menjelaskan bahwa:
“Kegiatan menyalurkan kredit oleh bank mengandung resiko (credit risk)
yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keberlangsungan usaha bank, likuiditas,
rentabilitas (profitabilitas), serta solvabilitas bank sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan atau kegagalan dalam pengelolaan kredit bank yang juga secara
langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian suatu negara”
Menurut Mahmoeddin (3:2010), Non Performing Financing pada dasarnya
disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari
mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi
kegiatan usaha bank.
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi
bank tersebut. Apabila penurunan pembiayaan dan profitabilitas sudah sangat parah
sehingga mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka
kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun.
Non Performing Financing (NPF) semakin tinggi maka profitabilitas akan
semakin rendah dan sebaliknya, jika Non Performing Financing (NPF) semakin
rendah maka profitabilitas akan semakin tinggi. Seperti yang diungkapkan
Abdullah (114:2005), “Jika kredit bermasalah sangat besar dan cadangan yang
32
dibentuk juga besar berakibat modal bank kemungkinan menjadi negatif sehingga
laba yang diperoleh menjadi terganggu”.
Perhitungan Non Performing Financing (NPF) yang diinstruksikan Bank
Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
Total Pembiayaan Bermasalah
NPF =
x 100%
Total Pembiayaan
Menurut Muhammad (265:2005), menjelaskan bahwa:
“…komponen penilaian suatu aktiva produktif sebagai indikator penilaian
kinerja dan kesehatan bank terdiri dari total kredit/pembiayaan bermasalah dan
total kredit/pembiayaan yang diberikan”.
Berdasarkan pengertian di atas maka tingkat risiko pembiayaan
bermasalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
Total Pembiayaan Bermasalah
NPF =
x 100%
Total Pembiayaan
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Non
Performing Financing (NPF) adalah pembiayaan atau kredit yang mengalami
kesulitan dalam memenuhi kewajibannya kepada bank yang disebabkan oleh
faktor internal dan eksternal bank syariah.
Adapun kriteria kesehatan bank syariah yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia adalah sebagai berikut:
33
Tabel 2.4
Kriteria Penilaian Peringkat Non Performing Financing
Peringkat
Nilai NPF
Predikat
1
NPF < 2%
Sangat Baik
2
2% £ NPF £ 5%
Baik
3
5% £ NPF £ 8%
Cukup Baik
4
8% £NPF £ 12%
Kurang Baik
5
NPF ³ 12%
Tidak Baik
Sumber: SE BI No. 9/24/DPbs tanggal 30 Oktober 2007
2.5.2
Penyebab Pembiayaan Bermasalah ( Non Performing Financing)
Pembiayaan bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat
potensial bagi bank jika tidak ditangani dengan baik, karena itu diperlukan
penanganan yang sistematis dan berkelanjutan.
Pembiayaan bermasalah
menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank. Peranan sektor
perbankan adalah menjembatani dua kelompok kepentingan masyarakat, yaitu
antara kepentingan masyarakat pemilik dana (surplus spending units) dengan
masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending units). Bank syariah adalah
selaku lembaga yang bermodalkan kepercayaan semata dari masyarakat dalam
menjalankan fungsinya sebagai penerima amanah masyarakat. Bank syariah
sebagai lembaga perkreditan dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur dana
kepada masyarakat, harus melakukan analisis melalui prinsip 5C, guna
meminimalkan risiko bermasalahnya atau tidak kembalinya pembiayaan. Banyak
34
faktor yang menyebabkan pembiayaan tersebut menjadi bermasalah. Menurut
Mahmoeddin
(51:2010)
faktor-faktor
penyebab
terjadinya
pembiayaan
bermasalah, yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor Internal perbankan yang menyebabkan pembiayaan bermasalah
ialah adanya kelemahan atau kesalahan dalam bank itu sendiri, yang
terdiri dari:
a. Kebijakan pemberian pembiayaan yang terlalu ekspansif
Peningkatan penghimpunan dana dari pihak ketiga yang cukup
pesat menyebabkan beberapa bank melakukan pertumbuhan
pembiayaan yang melebihi tingkat wajar. Hal ini disebabkan untuk
menghindari terjadinya pengumpulan dana, seharusnya bank tetap
melakukan kebijakan pemberian pembiayaan dengan prosedur
berhati-hati untuk menghindari terjadinya risiko Non Performing
Financing (NPF).
b. Penyimpangan pemberian pembiayaan
Bank pada umumnya telah memiliki pedoman dan tata cara
pemberian pembiayaan, namun dalam pelaksanaanya seringkali
tidak dilakukan dengan patuh dan taat asas. Penyimpangan
pemberian pembiayaan terhadap prosedur atau kebijakan ada pada
umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun kualitas
pejabat-pejabat pemberi pembiayaan selain disebabkan oleh adanya
35
dominasi pemutuan pembiayaan oleh pejabat tertentu pada bank
yang bersangkutan.
c. Itikad kurang baik pemilik atau pengurus dan pegawai bank
Seringkali terjadi pemilik atau pengurus dan pegawai bank
memberikan pembiayaan kepada debitur yang sebenarnya tidak
bankable. Kegiatan usaha yang tidak bankable tersebut antara lain
kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya selain tidak jelas
debiturnya (debitur fiktif) yaitu penggunaan dan yang sebenarnya
berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti yang ada.
d. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan
Sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan yang lemah
menyebabkan pemantauan terhadap performance pembiayaan tidak
dapat
dilakukan
sebagaimana
mestinya,
dengan
demikian
permasalahan yang dapat menimbulkan pembiayaan bermasalah
tidak dapat terdeteksi secara dini dan hal ini dapat menimbulkan
kerugian.
e. Lemahnya sistem informasi pembiayaan
Bank cenderung melaporkan gambaran pembiayaan yang lebih
baik dari keadaan yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan
tujuan mendapatkan penilaian kesehatan yang lebih baik. Bank
perlu mengadministrasikan dan memiliki informasi pembiayaan
bermasalah yang sama dengan yang dilaporkan kepada Bank
36
Indonesia, apabila hal ini tidak dilakukan maka bank tidak
memiliki gambaran yang akurat mengenai keadaan pembiayaan
bermasalah yang sebenarnya sehingga tidak dapat mengambil
langkah-langkah pencegahan lebih dini.
2. Faktor eksternal
Non Performing Financing (NPF) dapat pula disebabkan oleh faktor
eksternal, yaitu:
a.
Kegagalan usaha debitur
Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang terdapat dalam lingkungan usaha debitur. Faktor-faktor
tersebut dapat berupa kegagalan produksi, distribusi, pemasaran
maupun regulasi terhadap suatu industri.
b. Menurunnya kegiatan ekonomi
Menurunnya kegiatan ekonomi terutama pada sektor-sektor usaha
tertentu akibat adanya kebijakan pemerintah telah menjadi salah
satu penyebab kesulitan debitur untuk memenuhi kewajibannya
kepada bank.
c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh
debitur
Persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan oleh
beberapa calon debitur dengan cara tertentu yang mendorong bank
menawarkan persyaratan pembiayaan yang lebih ringan dan
37
jumlah pembiayaan yang lebih besar. Pada akhirnya pemberian
yang berlebihan dapat mendorong debitur yang bersangkutan
menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan spekulatif.
d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya
Beberapa pembiayaan bermasalah yang terjadi karena musibah
yang dialami debitur seperti sarana usaha mengalami kebakaran,
sementara debitur atau bank tidak melakukan pengamanan
penutupan asuransi.
2.5.3
Dampak Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Financing)
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak
yang kurang menguntungkan baik bagi pemberi pembiayaan, dunia perbankan
maupun terhadap kegiatan ekonomi dan moneter negara. Menurut Mahmoeddin
(111:2004), dampak yang akan diakibatkan oleh pembiayaan bermasalah, yaitu:
1. Dampak terhadap kelancaran operasi bank pemberi pembiayaan
Bank yang dirongrong masalah pembiayaan bermasalah dalam jumlah
besar akan mengalami kesulitan operasional. Pembiayaan dengan
kualitas buruk memerlukan cadangan penghapusan yang semakin besar
sehingga
menyebabkan
biaya
yang
harus
ditanggung
untuk
mengadakan cadangan tersebut semakin besar, hal ini jelas
mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Profitabilitas yang semakin
menurun akan mengurangi modal sendiri kemudian CAR akan
menurun, sehingga bank memerlukan modal dana segar, apabila bank
38
syariah tidak dapat menambah modal sendiri maka nilai kesehatan
operasi akan menurun. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan
masyarakat terhadap bank tersebut.
2. Dampak terhadap dunia perbankan
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat
operasi bank tersebut. Penurunan pembiayaan dan profitabilitas yang
sudah sangat parah akan mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan
rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank
akan menurun.
3. Dampak terhadap ekonomi dan moneter negara
Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan
menghilangkan
kesempatan
bank
untuk
membiayai
kegiatan
operasinya dan perluasan debitur lain karena terhentinya perputaran
dana yang akan dipinjamkan. Hal ini akan memperkecil kesempatan
pengusaha lain untuk memanfaatkan peluang bisnis dan investasi yang
ada.
2.5.4
Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah (Non Performing
Financing)
Risiko yang terjadi dari pembiayaan adalah pembiayaan yang bermasalah
atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah
dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu
menganalisis metode penyelesaiannya. Menurut Kasmir (126:2008), bahwa
39
penyelesaian pembiayaan bermasalah adalah upaya bank untuk menjaga kualitas
pembiayaan dan menghindari risiko kerugian yang mungkin akan diderita bank
dengan sasaran utama dari pendekatan sisi aktiva dan pasiva bank yaitu:
1. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas aktiva produktif.
2. Menekan penghapusan penyisihan aktiva produktif yang dibentuk.
3. Meningkatkan
penerimaan
bunga
pinjaman
dan
operasional
perkreditan bank.
4. Upaya memperoleh dana murah dari hasil penagihan pembiayaan
bermasalah yang telah dihapus buku (write off) sehingga dapat
memberi sumbangan bagi peningkatan likuiditas maupun ekuitas bank.
5. Memudahkan penyusunan business plan bank tersebut dalam
memprediksi target-target perusahaan yang bermuara pada tingkat
kesehatan suatu bank.
6. Memperbaiki reputasi dan citra bank tersebut.
Tindakan penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat dilakukan dengan
beberapa cara sebagai berikut:
1. Rescheduling, yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa jadwal atau
jangka waktu pembiayaan baik pokok, tunggakan margin maupun
masa
tenggang,
sehingga
debitur
akan
mampu
memenuhi
kewajibannya pada bank.
2. Reconditioning , yaitu perubahan syarat pembiayaan berupa perubahan
sebagian atau seluruh syarat-syarat pembiayaan yang tidak terbatas
40
pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau
persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal
saldo pembiayaan, sehingga debitur akan mampu memenuhi
kewajibannya pada bank.
3. Restructuring, yaitu debitur akan mampu memenuhi kewajibannya
pada bank dengan perubahan syarat-syarat yang menyangkut:
a. Penurunan margin pembiayaan.
b. Penurunan tunggakan pokok pembiayaan.
c. Perpanjangan jangka waktu pembiayaan.
d. Penambahan fasilitas pembiayaan.
e. Pengambilan aset debitur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Konversi pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada
perusahaan debitur.
2.6
Profitabilitas
2.6.1
Pengertian Profitabilitas
Sebagaimana bank umum lainnya (bank konvensional), tugas utama bank
syariah adalah mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin
tersedianya likuiditas yang cukup.
Pengertian profitabilitas menurut Mahmoeddin (20:2004), adalah:
“Kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan”
Munawir (33:2004) mengemukakan bahwa :
41
”Profitabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
laba selama periode tertentu”.
Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal
dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank
dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan, dengan demikian profitabilitas
dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja
bank.
Menurut Kasmir (196:2012) mendefinisikan profitabilitas yaitu:
“Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan.”
Triyuwono dan As’Udi (87:2001), menyatakan bahwa tujuan keuntungan
dalam akuntansi syariah adalah untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu
kewajiban menunaikan zakat. Oleh karena itu, keuntungan dalam akuntansi
syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha, apakah sudah
dilakukan secara efisien atau belum. Hal ini sangat penting untuk melakukan
pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban kepada Allah SWT yang
dimanifestasikan dalam bentuk penentuan pembayaran zakat.
Segala aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana bank tercermin
dalam laporan keuangan dimana proses pencatatan sampai tercerminnya laporan
keuangan harus dilakukan dengan benar, sehingga informasi yang dihasilkan
dapat digunakan oleh pihak umum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
42
akuntansinya harus menjaga output yang dihasilkan tetap dalam kebenaran,
keadilan, dan kejujuran sebagaimana halnya hakikat dalam ajaran agama Islam.
Laporan keuangan yang diterbitkan bank syariah secara lengkap
diisyaratkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 101 (Revisi 2011)
yang terdiri dari:
1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat
6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan , dan
7. Catatan atas Laporan Keuangan
Mengoptimalkan keuntungan dalam akuntansi syariah tidak berarti bahwa
bentuk hanya melakukan usaha peningkatan keuntungan, lebih dari itu bank juga
harus memperhitungkan tingkat investasi modal untuk menjaga agar pendapatan
terutama keuntungan terus dapat ditingkatkan. Bank syariah harus mempersiapkan
strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi
berdasarkan kebijakan yang telah digariskan agar mencapai tingkat keuntungan
yang cukup dan tingkat risiko yang rendah.
Tingkat keuntungan yang dihasilkan bank dikenal dengan istilah
profitabilitas, yang merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank untuk
menghasilkan keuntungan dari aset yang digunakan.
43
Mahmoeddin (20:2004) menjelaskan bahwa:
“Analisa profitabilitas akan dicari hubungan timbal balik antara pos-pos
yang ada dalam income statement itu sendiri maupun hubungan timbal balik
dengan pos-pos yang ada dalam neraca bank untuk mendapatkan berbagai indikasi
yang berguna dalam mengukur efisiensi dan profitabilitas bank yang
bersangkutan.”
Kasmir (297:2008) menyatakan bahwa:
“Rasio rentabilitas sering disebut profitabilitas usaha. Rasio rentabilitas
digunakan untuk mengukur tingkat efisien usaha dan profitabilitas yang dicapai
oleh bank yang bersangkutan.”
Tjoekam (270:2000) menyatakan bahwa:
“Kinerja bank umumnya diukur dengan profitabilitas itu sendiri
menggunakan ukuran ROE dan ROA”.
Menurut Arifin (64:2003) bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai
untuk mengukur kinerja bank, yaitu:
1. Return On Assets (ROA), adalah perbandingan antara pendapatan
bersih (net income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau
perbandingan dari laba sebelum pajak dan zakat terhadap total aset.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, kondisi ideal Return on
Assets (ROA) yang harus dicapai minimal 1.25%.
2. Return On Equity (ROE), didefinisikan sebagai perbandingan antara
pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata modal (average
equity) atau investasi para pemilik bank. Dilihat dari pandangan para
44
pemilik, Return on Equity (ROE) adalah ukuran yang lebih penting
karena mereflesikan kepentingan kepemilikan mereka.

Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia. Perusahaan unggulan
biasanya memiliki nilai Return on Equity (ROE) yang berada
diatas level 25%.
2.6.2
Return On Assets (ROA)
ROA berguna untuk menunjukkan kemampuan manajemen bank dalam
menghasilkan laba dari pengelolaan asset yang dimiliki. Dalam perhitungan ROA,
besarnya nilai Return On Assets dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut
(Arifin, 64:2003):
Laba Sebelum Pajak dan Zakat
ROA =
x 100%
Total Aset
ROA digunakan untuk mengukur profitabilitas bank karena Bank
Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mengutamakan nilai
profitabilitas suatu bank, diukur dengan assets yang dananya sebagian besar dari
dana simpanan masyarakat (Dendawijaya, 118:2009).
Keunggulan menggunakan rasio ROA (Van Horne dan Wachowicz,
163:2011) :

ROA mudah dihitung, dipahami dan sangat berarti dalam nilai
absolute.
45

ROA sebagai tolok ukur prestasi manajemen dalam memanfaatkan
aktiva yang dimiliki perusahaan untuk memperoleh laba.

ROA sebagai alat mengevaluasi atas penerapan kebijakankebijakan manajemen.
Nilai ROA yang semakin mendekati 1, berarti semakin baik profitabilitas
perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi ROA berarti kinerja
perusahaan semakin efektif, sehingga struktur modal perusahaan dapat
mencerminkan aktivitas pembiayaan dengan tingkat pengembalian atau laba yang
didapat (Kasmir, 197:2012).
2.6.3
Return On Equity (ROE)
Menurut Reeve, Warren dan Dunhac (346:2009), menyatakan bahwa:
“Return On Equity mengukur tingkat pendapatan yang diterima
sehubungan dengan jumlah yang diinvestasikan oleh para pemegang saham”.
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut (Arifin, 64:2003):
Laba Sebelum Pajak dan Zakat
ROE =
x 100%
Total Equity
Tingkat Return On Equity (ROE) yang cukup tinggi menunjukkan
perusahaan mampu menggunakan ekuitasnya dengan efisien dan efektif, sehingga
para investor percaya bahwa perusahaan akan dapat memberikan pendapatan yang
lebih besar. Apabila suatu perusahaan memiliki tingkat ROE yang rendah maka
46
minat investor terhadap saham menjadi rendah pula (Reeve, Warren dan
Dunhac, 345:2009).
Berdasarkan teori-teori di atas maka penulis menggunakan Return On
Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE) untuk dijadikan sebagai ukuran
profitabilitas pada penelitian ini. Dan alasan yang dapat disimpulkan adalah
karena ROA dalam analisis keuangan mempunyai arti yang sangat penting yaitu
merupakan salah satu teknis analisis yang lazim digunakan untuk mengukur
tingkat efektifitas dari keseluruhan operasi perusahaan. Selain itu penulis juga
menggunakan ROE karena penulis ingin melihat profitabilitas dari sudut pandang
calon investor, dimana ROE ini memiliki arti penting untuk menilai prospek
perusahaan di masa datang dan dalam memenuhi harapan pemegang saham.
2.7
Peneliti Terdahulu
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Financing to Deposit Ratio
(FDR), Non Performing Financing (NPF), dan Profitabilitas adalah sebagai
berikut :
1) Susilawati (2011), penelitian yang dilakukan adalah meneliti pembiayaan
mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF). Dalam
penelitian ini objek yang diteliti adalah Bank BPR Syariah Baiturridha
Pusaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pembiayaan mudharabah terhadap Non Performing Financing (NPF).
2) Kharisma (2011), pada penelitian ini peneliti meneliti dana pihak ketiga
dan Non Performing Financing terhadap profitabilitas. Penelitian ini
47
menghasilkan kesimpulan bahwa secara simultan dana pihak ketiga dan
Non Performing Financing secara bersama-sama berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas. Dan Secara Parsial terdapat pengaruh yang
signifikan antara dana pihak ketiga terhadap profitabilitas dan terdapat
pengaruh yang tidak signifikan antara Non Performing Financing
terhadap profitabilitas.
3) Priyono (2009), penelitian ini dilakukan untuk meneliti Financing To
Deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan
Perputaran aktiva terhadap Profititabilitas. Secara garis besar ditarik
kesimpulan bahwa terdapat pengaruh simultan dan parsial antara
Financing To Deposit Ratio , Debt to Equity Ratio, Total Dana Pihak
Ketiga dan Perputaran aktiva terhadap Profititabilitas.
4) Arifa (2008), penelitian ini meneliti apakah ada pengaruh Non
Performing Financing dan Financing To deposit Ratio Terhadap
Presentase Return Bagi Hasil Deposito Mudharabah Mutlaqah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Financing To Deposit Ratio (FDR) dan
Non Performing Financing (NPF) secara simultan atau bersama-sama
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Return Bagi Hasil
Deposito Mudharabah Mutlaqah.
5) Mutaminah dan Chasanah (2012), penelitian ini meneliti analisis
eksternal dan internal dalam menentukan Non Performing Financing
Bank Umum Syariah di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
48
GDP (Gross Domestic Product) berpengaruh positif tidak signifikan
terhadap NPF bank umum syariah, inflasi berpengaruh egatif signifikan
terhadap NPF bank umum syariah, kurs atau nilai tukar berpengaruh
positif namun tidak signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum
syariah, rasio return pembiayaan profit loss sharing terhadap return total
pembiayaan (RR) berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap NPF
bank umum syariah, rasio alokasi pembiayaan murabahah terhadap
alokasi pembiayaan profit loss sharing (RR) berpengaruh negatif
signifikan terhadap tingkat rasio NPF bank umum syariah.
49
Tabel 2.5
Tabel Perbandingan Skripsi dengan Penelitian Terdahulu
No
Penulis /
Tahun
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
Persamaan
1.
Susi
Susilawati
(2011)
Pengaruh pembiayaan
mudharabah terhadap
Non Performing
Financing (NPF)
Pada Bank BPR
Syariah Baitturidha
Pusaka Periode 20102011
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh
pembiayaan
mudharabah terhadap Non
Performing Financing (NPF).
Persamaan penelitian penulis
dengan penelitian Susi Susilawati
(2011) adalah pada variabel Non
Performing Financing (NPF) sama
sama dihitung dengan
perbandingan antara pembiayaan
bermasalah terhadap total
pembiayaan.
2.
Dea Naufal
Kharisma
(2011)
Pengaruh dana pihak
ketiga dan non
performing financing
terhadap profitabilitas
perbankan syariah
pada periode 2008-
-
Persamaan
penelitian
penulis
dengan penelitian Dea Naufal
Kharisma
adalah
variabel
independen yang digunakan adalah
non performing financing, dan
variabel dependen yang digunakan
Secara simultan dana
pihak ketiga dan non
performing
financing
secara
bersama-sama
berpengaruh
signifikan
terhadap profitabilitas.
Perbedaan
-
Perbedaan penelitian penulis
dengan penelitian oleh Susi
Susilawati (2011) adalah Non
Performing Financing (NPF)
pada penelitian Susi Susilawati
digunakan
sebagai
variabel
dependen , sedangkan penulis
menggunakan Non Performing
Financing (NPF)
sebagai
variabel independen.
- Pada hal pembiayaan penelitian
Susi Susilawati lebih berfokus
pada pembiayaan mudharabah
sedangkan penulis pembiayaan
menyeluruh baik murabahah
maupun mudharabah
Perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian Dea Naufal Kharisma
adalah pada variabel independen
penulis menggunakan Financing to
Deposit Ratio sebagai X1 sedangkan
Dea Naufal Kharisma menggunakan
50
3.
Priyono
(2009)
4.
Umaira
Arifa
(2008)
2011
-
Pengaruh Financing
to deposit Ratio , Debt
to Equity Ratio, Total
Dana Pihak Ketiga
dan Perputaran aktiva
terhadap Profitabilitas
(studi pada Bank
Syariah Mandiri, Tbk
tahun 2004 -2007)
Pengaruh
Non
Performing Financing
dan Financing To
deposit
Ratio
Terhadap Presentase
Return Bagi Hasil
Deposito
Mudharabah
Mutlaqah pada Bank
Muamalat Indonesia
Terdapat pengaruh simultan
dan parsial antara Financing
To Deposit Ratio , Debt to
Equity Ratio, Total Dana
Pihak Ketiga dan Perputaran
aktiva terhadap Profitabilitas.
Secara Parsial terdapat
pengaruh yang signifikan
antara dana pihak ketiga
terhadap profitabilitas dan
terdapat pengaruh yang
tidak signifikan antara non
performing
financing
terhadap profitabilitas.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Financing To Deposit
Ratio (FDR) dan Non
Performing Financing (NPF)
secara simultan atau bersamasama mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap
Return Bagi Hasil Deposito
Mudharabah Mutlaqah.
adalah profitabilitas . Dalam Dana Pihak Ketiga.
penelitian ini, profitabilitas sama
dihitung menggunakan rasio ROA
(Return On Investment)
Persamaan penelitian penulis
dengan penelitian Priyono adalah
variabel independen yang
digunakan adalah financing to
deposit ratio, dan variabel
dependen yang digunakan adalah
profitabilitas. Dalam penelitian ini,
profitabilitas sama dihitung
menggunakan rasio ROA.
Persamaan penelitian penulis
dengan penelitian Umaira Arifa
adalah variabel independen yang
digunakan adalah non performing
financing dan financing to deposit
ratio.
Perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian Priyono adalah Penulis
tidak menggunakan Debt To Equity
Ratio, Total Dana Pihak Ketiga dan
Perputaran Aktiva sebagai variabel
independen.
Perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian Umaira Arifa adalah pada
variabel dependennya. Penelitian
Umaira Arifa menggunakan
Presentase Return Bagi Hasil
Deposito Mudharabah Mutlaqah
sebagai variabel dependen sedangkan
penulis menggunakan variabel
dependen profitabilitas.
51
5.
Mutaminah
dan Siti
Nur Zaidah
Chasanah
(2012)
Analisis eksternal dan internal dalam
menentukan
Non
Performing
Financing
Bank
Umum Syariah di Indonesia.
-
-
-
GDP (Gross Domestic
Product) berpengaruh
positif tidak signifikan
terhadap NPF bank
umum syariah.
Inflasi
berpengaruh
egatif
signifikan
terhadap NPF bank
umum syariah.
Kurs atau nilai tukar
berpengaruh
positif
namun tidak signifikan
terhadap tingkat rasio
NPF
bank
umum
syariah.
Rasio
return
pembiayaan profit loss
sharing terhadap return
total pembiayaan (RR)
berpengaruh
negatif
tidak signifikan terhadap
NPF
bank
umum
syariah
rasio
alokasi
pembiayaan murabahah
terhadap
alokasi
Persamaan penelitian penulis
dengan penelitian Mutaminah dan
Siti Nur Zaidah adalah sama-sama
meneliti Non Performing
Financing pada Bank Umum
Syariah di Indonesia.
Perbedaan penelitian penulis dengan
penelitian Mutaminah dan Siti Nur
Zaidah adalah peneliti
menggunakan Financing to Deposit
Ratio dan Non Performing Financing
sebagai variabel independen dan
profitabilitas sebagai variabel
dependen yang diukur menggunakan
ROA dan ROE.
52
pembiayaan profit loss
sharing
(RR)
berpengaruh
negatif
signifikan
terhadap
tingkat rasio NPF bank
umum syariah.
53
2.8
Kerangka Pemikiran
2.8.1
Pengaruh Financing To Deposit Ratio (FDR) Terhadap Profitabilitas
Sesuai dengan usaha bank yang utama adalah penyaluran kredit dan jika
dilihat dari struktur asset bank maka kredit/pembiayaan merupakan earning asset
terbesar dibandingkan dengan asset lainnya. Hal ini seperti yang diungkapkan
Abdullah (32:2005) bahwa:
“Uang tunai yang dimiliki bank bisa bersumber dari modal sendiri, maupun
sumber-sumber lain dan sewaktu-waktu dapat ditarik kembali baik secara
keseluruhan maupun secara berangsur-angsur, selanjutnya berdasarkan peran bank
sebagai perantara keuangan (Financial Intermediary) dana tersebut disalurkan
kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk kredit atau alternative
lainnya. Berdasarkan uraian tersebut maka operasional bank bertujuan mendapatkan
keuntungan dari selisih bunga pinjaman kepada debitur dengan suku bunga simpanan
yang dibayarkan kepada masyarakat sebagai nasabah yang menyimpan dananya
kepada bank. Selisih bunga yang diterima sebagai keuntungan bank itu disebut
spread”.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan semakin besar Financing to
Deposit Ratio (FDR) berarti semakin besar tingkat profitabilitas. Dengan semakin
besar (FDR) berarti semakin besar ekspansi pembiayaan yang disalurkan oleh
bank. Dengan semakin besar ekspansi pembiayaan maka akan semakin besar pula
profitabilitas bank karena pendapatan yang berasal dari pembiayaan yaitu
pendapatan bagi hasil akan semakin besar pula.
54
2.8.2
Pengaruh Non Performing Financing (NPF) Terhadap Profitabilitas
Bank Syariah dituntut untuk selalu menjaga pembiayaan agar tidak berada
dalam kategori pembiayaan bermasalah, risiko yang dihadapi bank adalah risiko
tidak terbayarnya pembiayaan atau bagi hasil yang sering disebut default risk atau
risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan timbul dari berbagai pembiayaan yang
masuk dalam kategori bermasalah yang dapat mengganggu tingkat kesehatan
bank bila berada dalam tingkat yang tinggi. Meskipun risiko pembiayaan
bermasalah tidak dapat terhindarkan, maka harus diusahakan dalam tingkat wajar.
Menurut Firdaus dan Ariyanti (4:2009) menyatakan bahwa:
“Kegiatan menyalurkan kredit oleh bank mengandung resiko (credit risk)
yang dapat mempengaruhi kesehatan dan keberlangsungan usaha bank, likuiditas,
rentabilitas (profitabilitas), serta solvabilitas bank sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan atau kegagalan dalam pengelolaan kredit bank yang juga secara
langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian suatu negara.”
Dari pengertian di atas dapat diidentifikasi bahwa dalam rangka kegiatan
penyaluran kredit/pembiayaan oleh bank yang bertujuan memperoleh laba
terkandung risiko-risiko yang harus dihadapi, ada dua hal yang dipikirkan oleh
manajemen bank dalam pengelolaan kredit atau pembiayaan yakni besaran total
yang diambil untuk menaikkan laba dan berapa banyak risiko yang harus diambil
bank.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkat Financing
to Deposit Ratio (FDR) dan Non Performing Financing (NPF) memiliki hubungan
55
dengan tingkat profitabilitas bank syariah. Hubungan tersebut dapat dituangkan
dalam bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :
Financing To
Deposit Ratio
(X1)
Profitabilitas (Y)
Non Performing
Financing
(X2)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.9
Hipotesis Penelitian
Penggunaan hipotesis dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya baru
sekedar jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan. Dengan
hipotesis, penelitian menjadi jelas terarah pegujiannya. Dengan kata lain hipotesis
membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian dilapangan baik sebagai objek
maupun dalam pengumpulan data. Menurut Sekaran (135:2007), menerangkan
bahwa: “Hipotesis didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis di
antara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat
diuji”. Penggunaan hipotesis dalam penelitian karena hipotesis sesungguhnya baru
sekedar jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan.
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka yang dapat disajikan oleh
penulis berhipotesis :
H1
: Financing To Deposit Ratio berpengaruh terhadap profitabilitas bank
56
syariah.
H2
:
Non Performing Financing berpengaruh terhadap profitabilitas bank
syariah.
H3
:
Financing To Deposit Ratio dan Non Performing Financing berpengaruh
simultan terhadap profitabilitas bank syariah.
Download