UJI EFEKTIVITAS DAN FOTOSTABILITAS KRIM EKSTRAK ETANOL 70 % TEH HITAM (Camellia sinensis L.) SEBAGAI TABIR SURYA SECARA IN VITRO Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Far.) Oleh : Syifa Octa Maulidia NIM : 106102003375 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI NAMA : SYIFA OCTA MAULIDIA NIM : 106102003375 JUDUL : UJI EFEKTIVITAS DAN FOTOSTABILITAS KRIM EKSTRAK ETANOL 70 % TEH HITAM (Camellia sinensis L.) SEBAGAI TABIR SURYA SECARA IN VITRO Disetujui oleh: Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Farida Sulistiawati, M.Si., Apt NIP: 150377443 Yuni Anggraeni S.Si., Apt NIP: 198310282009012008 Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Drs, M. Yanis Musdja M.Sc., Apt NIP: 1956010619851010001 ii LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi dengan judul PEMANFAATAN SELULOSA BAKTERI – PVA HASIL IRADIASI (HIDROGEL) SEBAGAI MATRIKS TOPENG MASKER WAJAH Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan tim penguji oleh Syifa Octa Maulidia NIM: 106102003375 Menyetujui, Pembimbing: 1. Pembimbing I Farida Sulistiawati, M.Si., Apt ........................ 2. Pembimbing II Yuni Anggraeni S.Si., Apt. ........................ Penguji: 1. Ketua Penguji Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc., Apt. ........................ 2. Anggota Penguji I Eka Putri, M.Si, Apt. ........................ 3. Anggota Penguji II Ofa Suzanti betha, M.Si., Apt ........................ 4. Anggota Penguji III Drs. M. Yanis Musdja, M.Sc., Apt. ........................ Mengetahui, Dekan Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. DR. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And Tanggal lulus : 26 Agustus 2010 iii LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Jakarta, Agustus 2010 Syifa Octa Maulidia 106102003375 iv ABSTRAK Judul : Uji Efektifitas dan Fotostabilitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Sebagai Tabir Surya Secara In Vitro Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang formulasinya mengandung zat aktif yang dapat membaurkan, menyerap atau memantulkan secara efektif cahaya matahari terutama daerah emisi gelombang ultraviolet dan inframerah. Salah satu bahan alam yang memiliki potensi sebagai tabir surya adalah teh hitam (Camellia sinensis L.) dengan kandungan senyawa flavonoid yang diduga mampu mengabsorbsi sinar UV. Pada penelitian ini, ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) diformulasikan dengan variasi konsentrasi (1 %, 2 %, dan 3 %) kedalam sediaan topikal (krim). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yang baik dan stabil serta menguji efektivitas dan fotostabilitas sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) sebagai tabir surya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) memiliki panjang gelombang 293,4 nm dan mempunyai efektivitas sebagai tabir surya yang termasuk dalam kategori proteksi ultra. Ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) juga dapat dibuat menjadi sediaan yang baik dan stabil. Dari ketiga variasi konsentrasi ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yang dibuat dalam sediaan krim memiliki efektivitas sebagai tabir surya dengan menunjukkan kategori sebagai sunblock pada daerah eritema, dengan nilai fotostabilitas formula uji (3 %) yang aktivitasnya hampir sama dengan formula kontrol positif. Kata kunci : Teh Hitam (Camellia sinensis L.), krim, efektivitas dan fotostabilitas tabir surya. v ABSTRACT Title : Effectiveness and Photostability Cream 70 % Ethanol Extract of Black Tea (Camellia sinensis L.) As Sunscreen In Vitro Sunscreen formulation is the preparation of cosmetics that contain active substances that can confound, effectively absorb or reflect sunlight, especially the emission of ultraviolet and infrared waves. One of the natural ingredients that have potential as a sunscreen is black tea (Camellia sinensis L.) by flavonoid content that allegedly able to absorb UV light. In this study, 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) is formulated with various concentrations (1%, 2% and 3%) to a topical preparation (cream). The purpose of this research is to make cream of 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) is good and stable as well as test the effectiveness and dosage photostability cream 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) as a sunscreen. The results of this study showed that 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) has a wavelength of 293.4 nm and has effectiveness as a sunscreen that includes in the category of ultra protection. 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) can also be made into a good and stable supply. Of the three variations of the concentration of 70% ethanol extract of black tea (Camellia sinensis L.) are made in the cream has effectiveness as a sunscreen by showing the category as a sunblock on the area erythema, with a value photostability test formula (3%) whose activity is similar to the formula positive control. Keywords: Black Tea (Camellia sinensis L.), cream, sunscreen effectiveness and photostability. vi KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Uji Efektivitas dan Fotostabilitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Camellia sinensis L. sebagai Tabir Surya secara In Vitro”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari, keberhasilan penulisan skripsi ini adalah karena karunia Allah SWT dan dorongan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. DR (hc). dr. M. K Tadjudin, Sp. And. Selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. M Yanis Musdja, M.Sc, Apt. Selaku ketua Program Studi Jurusan Farmasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Farida Sulistiawati, M.Si., Apt dan Ibu Yuni Anggraeni S.Si., Apt selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan serta membimbing penulis sampai terselesaikannya skripsi ini. 4. Ayahanda Zaenal Abidin dan Ibunda Ucih Hamidah, beserta keluarga terkasih yang selalu dengan ikhlas dan setia memberikan semangat dan dukungan, baik secara moril maupun materil dan juga untaian do’a yang selalu di panjatkan dalam setiap langkah yang penulis lakukan. vii 5. Bapak/Ibu Dosen dan Staff Akademika Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan bantuannya kepada penulis. 6. Aji Muhammad Tsabbit Imani yang telah banyak membantu, memberikan semangat serta menemani baik suka maupun duka selama penelitian. 7. Teman-teman Farmasi angkatan 2006 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut membantu penulis selama ini. Semoga silaturahmi kita bisa tetap terjaga. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan guna kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang dan yang akan datang. Jakarta, Agustus 2010 Penulis viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ABSTRAK ..................................................................................................... ABSTRACK .................................................................................................. KATAPENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. i ii iii iv v vi vii ix xi xii xiii BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................. 1.3 Hipotesis................................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ................................................................... 1 1 3 3 4 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 2.1 Teh Hitam (Camellia sinensis, L) ............................................ 2.1.1 Klasifikasi ....................................................................... 2.1.2 Nama Daerah ................................................................... 2.1.3 Deskripsi ......................................................................... 2.1.4 Kandungan Kimia ........................................................... 2.1.5 Senyawa Flavonoid ......................................................... 2.1.6 Khasiat............................................................................ 2.2 Ekstraksi ................................................................................... 2.2.1 Proses Pembuatan Ekstrak .............................................. 2.2.2 Ekstraksi Dengan Menggunakan Pelarut ........................ 2.3 Kulit......................................................................................... 2.3.1 Struktur Kulit .................................................................. 2.3.2 Fisiologi Kulit ................................................................. 2.4 Sinar Matahari Dan Melanogenesis ......................................... 2.5 Sediaan Krim Tabir surya ........................................................ 2.5.1 Sediaan Tabir Surya ........................................................ 2.5.2 Sediaan Krim ................................................................... 2.5.3 Penentuan Efektivitas Sediaan Tabir Surya............. ....... 2.6 Spektrofotometri UV-Vis ......................................................... 5 5 5 5 5 8 8 10 10 11 12 14 15 17 18 20 20 22 24 26 BAB III KERANGKA KONSEP .............................................................. 28 ix BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 4.1 Tempat Dan Waktu Penelitian ................................................ 4.1.1 Tempat Penelitian ........................................................... 4.1.2 Waktu Penelitian ............................................................ 4.2 Bahan Dan Alat ........................................................................ 4.2.1 Bahan .............................................................................. 4.2.2 Alat ................................................................................. 4.3 Prosedur Kerja .......................................................................... 4.3.1 Pengumpulan Bahan Dan Determinasi ........................... 4.3.2 Penapisan Fitokimia ........................................................ 4.3.3 Pembuatan Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ..................................................... 4.3.4 Pemeriksaan Karakteristik Ekstrak ................................. 4.3.5 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ................... 4.3.6 Formulasi Krim ............................................................... 4.3.7 Pembuatan Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ................................... 4.3.8 Evaluasi Sediaan Krim Tabir surya................................. 4.3.9 Uji Fotostabilitas Krim Tabir Surya ................................ 4.3.10 Pengolahan Data .......................................................... 4.3.11 Uji Efektivitas Krim Tabir Surya ................................ 29 29 29 29 29 29 30 30 30 30 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 5.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 5.1.1 Pengumpulan Bahan Dan Determinasi .......................... 5.1.2 Penapisan Fitokimia ....................................................... 5.1.3 Ekstraksi Serbuk Teh Hitam .......................................... 5.1.4 Karakterisasi Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam .............. 5.1.5 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum .................. 5.1.6 Evaluasi Krim ................................................................. 5.1.7 Uji Fotostabilitas Krim ................................................... 5.1.8 Uji Efektivitas Krim ....................................................... 5.2 Pembahasan ............................................................................. 40 40 40 40 40 41 41 41 46 47 47 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 6.1 Kesimpulan ............................................................................. 6.2 Saran ........................................................................................ 55 55 55 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57 LAMPIRAN ..................... .............................................................................. 61 x 33 33 35 35 36 36 38 38 39 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22. Tabel 23. Tabel 24. Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28. Transmisi Eritema Dan Pigmentasi Sediaan Tabir Surya ............. Kategori Penilaian Tabir Surya ...................................................... Formula Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) .................................................................... Hasil Penapisan Fitokimia ............................................................. Hasil Karakterisasi Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) .................................................................... Hasil Pemeriksaan Organoleptis ................................................... Hasil Pemeriksaan Homogenitas ................................................... Hasil Pemeriksaan Sentrifugasi ..................................................... Hasil Pemeriksaan pH ................................................................... Hasil Pemeriksaan Viskositas (Cp) ............................................... Hasil Pemeriksaan Organoleptis Cycling Test ............................... Hasil Pemeriksaan Homogenitas Cycling Test .............................. Hasil Pemeriksaan Sentrifugasi Cycling Test ................................ Hasil Pemeriksaan pH Cycling Test .............................................. Hasil Pemeriksaan Viskositas (Cp) Cycling Test .......................... Hasil Pengukuran Perubahan Serapan Krim Sebelum dan Sesudah Beberapa Waktu Penyinaran dengan Sinar UV 366 nm .. Uji Efektivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam ........ Uji Efektivitas Krim Tabir Surya ................................................... Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 40 ppm ..................................................... Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 60 ppm ..................................................... Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 80 ppm .................................................. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 100 ppm ................................................... Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 120 ppm ................................................... Perhitungan Uji Efektivitas Krim Formula KN (kontrol negatif) .. Perhitungan Uji Efektivitas Krim Formula KP benzofenon-3 (kontrol positif) ............................................................................ Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 1 % (KrT 1 %) ..................... Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 2 % (KrT2 %) ...................... Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 3 % (KrT 3 %) ..................... xi 25 26 35 40 41 42 42 42 43 43 44 44 44 45 45 46 47 47 77 79 80 81 82 83 84 85 86 87 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19. Gambar 20. Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23. Gambar 24. Gambar 25. Gambar 26. Gambar 27. Gambar 28. Gambar 29. Gambar 30. Gambar 31. Gambar 32. Struktur Kimia Flavonoid .......................................................... Penampang Kulit......................................................................... Kurva Hubungan Antara pH dengan Waktu Penyimpanan ........ Kurva Hubungan Antara Viskositas dengan Waktu Penyimpanan .............................................................................. Kurva Hubungan Antara pH dengan Satabilitas Penyimpanan Cycling test ........................................................... Kurva Hubungan Antara Viskositas dengan Stabilitas Penyimpanan Cycling Test.......................................................... Kurva Hubungan antara Absorbansi dengan Lamanya Waktu Paparan Sinar UV 366 nm ............................... Tanaman Teh (Camellia sinensis L.)......................................... Serbuk Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ................................. Maserasi Serbuk Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ................... Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ............ Formula Krim Minggu ke- 0 ....................................................... Formula Krim minggu ke- 1 ....................................................... Formula Krim Minggu ke- 2 ....................................................... Formula Krim Minggu ke- 3 ....................................................... Formula Krim Minggu ke- 4…………………………………... Sentrifugasi Minggu ke- 0 .......................................................... Sentrifugasi Minggu ke-4 ........................................................... Formula Krim Sebelum Cycling Test ......................................... Formula Krim Sesudah Cycling Test ........................................ Uji Homogenitas Sebelum Cycling Test .................................... Uji Homogenitas Sesudah Cycling Test...................................... Uji Sentrifugasi Sebelum Cycling Test ....................................... Uji Sentrifugasi Sesudah Cycling Test........................................ Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia .................................... .. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Teh Hitam........................... Viskometer Brookfield ………………………………………... pH Meter...................................................................................... Spektrofotometer UV-Vis ........................................................... Oven ..... .................................................................................... Alat Centrifuge.................................................................... 89 UV 366 nm .................................................................................. xii 9 14 43 43 45 45 46 62 62 62 62 68 68 69 69 70 70 70 71 71 71 71 71 71 88 88 89 89 89 89 89 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Tanaman dan Serbuk Teh (Camellia sinensis L.) .................. Hasil Determinasi Tanaman Teh (Camellia sinensis L.) ......... Alur Penelitian ........................................................................ Hasil Scanning Panjang Gelombang Maksimum Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) ....................... Lampiran 5. Perhitungan Karakteristik Ekstrak ............................................ Lampiran 6. Gambar Formula Krim............................................................. Lampiran 7. Hasil Statistik Aktivitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya ................................................ Lampiran 8. Hasil Uji Efektifitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya…………………………………………... Lampiran 9. Hasil Uji Efektifitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya ................................................ Lampiran 10. Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak ....... Lampiran 11. Alat ......................................................................................... xiii 62 63 64 66 67 68 72 77 83 88 89 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara tropis, di mana pengaruh sinar matahari sangat besar terhadap kehidupan makhluk hidup. Sinar matahari memberikan efek yang menguntungkan yaitu dapat mencegah atau mengobati gangguan pada tulang dengan cara mengaktifkan provitamin D3 (7-dehidrokolesterol) yang terdapat pada epidermis kulit menjadi vitamin D3. Namun pemaparan sinar matahari yang berlebihan juga dapat menimbulkan efek yang merugikan terutama terhadap kulit dikarenakan sinar ultraviolet yang terkandung di dalamnya dapat menyebabkan eritema dan pigmentasi kulit, percepatan penuaan kulit, bahkan dapat menimbulkan kanker (Harry, 1975). Besarnya radiasi yang mengenai kulit tergantung pada jarak antara suatu tempat dengan garis khatulistiwa, kelembaban udara, musim, ketinggian tempat dan jam waktu setempat. Semakin dekat jarak antara suatu tempat dengan garis khatulistiwa, maka akan semakin besar radiasi sinar ultraviolet yang mengenai kulit. Intensitas radiasi UV tertinggi adalah pukul 10.00-16.00 waktu setempat, yaitu ketika orang sedang aktif di luar rumah sehingga kulit perlu dilindungi dari bahaya sinar UV matahari (Shaath. Nadim, 2005). Salah satu upaya untuk menghindari kontak langsung dengan sinar matahari yaitu dengan menggunakan pelindung berupa bahan tabir surya yang diformulasikan dalam sediaan kosmetik baik yang berbentuk krim, gel, 1 2 maupun lotion. Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetik yang digunakan pada permukaan kulit yang bekerja antara lain dengan menyerap, menghamburkan, atau memantulkan sinar ultraviolet (Depkes RI, 1985 ). Sebagian besar bahan-bahan untuk tabir surya merupakan bahan sintetik misalnya PABA (Para Amino Benzoic Acid) yang sangat populer di negara-negara barat karena efektif menyerap sinar UV-B dan cepat mencokelatkan kulit. Tetapi untuk kulit Asia atau Indonesia, tabir surya yang mengandung PABA tidak cocok dan tidak aman karena cepat mencokelatkan kulit dan bersifat photosensitizer (Diana, 2006). Oleh karena itu, penting dilakukan suatu penelitian untuk mencari senyawa aktif yang berasal dari alam yang dapat berguna sebagai tabir surya, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan dan meneliti teh hitam sebagai tanaman perdu yang diharapkan dapat berpotensi sebagai bahan kosmetik khususnya sebagai bahan tabir surya. Teh hitam (Camellia sinensis L.) merupakan salah satu perdu atau pohon kecil yang berasal dari daratan Asia Tenggara namun sekarang telah dibudidayakan di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun subtropis. Tanaman ini biasanya dipangkas bila dibudidayakan untuk dipanen daunnya. Di Indonesia sendiri teh hitam dimanfaatkan sebagai tanaman yang berguna sebagai antidiare, namun belakangan ini teh hitam telah dimanfaatkan untuk mengobati penyakit asma, penyakit jantung koroner, diabetes, dan antioksidan. Diketahui juga bahwa pada penelitian sebelumnya ekstrak air teh hitam yang dibuat sediaan gel dapat berpotensi sebagai tabir surya (Turkoglu. Cigirgil, 2007). 3 Dalam penelitian ini, sediaan tabir surya dari teh hitam dibuat dalam sediaan krim. Pemilihan krim sebagai bentuk sediaan tabir surya karena krim merupakan sediaan yang memiliki keuntungan berupa nilai estetikanya yang cukup tinggi dan tingkat kenyamanan dalam penggunaannya yang cukup baik, disamping itu sediaan krim ini merupakan sediaan yang mudah di cuci, bersifat tidak lengket, memberikan efek melembabkan pada kulit serta memiliki kemampuan penyebaran yang baik. Karena dalam penelitian ini sediaan tabir surya dibuat dalam bentuk sediaan krim yang menggunakan air lebih sedikit maka ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol 70 % teh hitam. Oleh karena itu sediaan krim ektrak etanol 70 % teh hitam ini perlu diteliti efektivitas, fotostabilitas, dan stabilitas fisiknya agar diperoleh sediaan yang baik. 1.2 Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dapat dibuat dalam sediaan krim yang baik dan stabil? 2. Bagaimana efektivitas dan fotostabilitas sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam sebagai sediaan tabir surya? 1.3 Hipotesis Ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dapat dibuat menjadi sediaan krim tabir surya yang baik dan stabil dengan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya yang belum diketahui. 4 1.4 Tujuan Penelitian 1. Menentukan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) 2. Membuat sediaan krim tabir surya ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yang memiliki aktivitas sebagai tabir surya yang memberikan penampilan sediaan yang baik dan stabil. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan fotostabilitas dari krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) sebagai tabir surya dan formulasi krim dari ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teh Hitam (Camellia sinensis L.) 2.1.1 Klasifikasi (Sulistyowati, 2004) Teh hitam (Camellia sinensis L.) diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales) Familia (suku) : Camelliaceae (Theaceae) Genus (marga) : Camellia Spesies (jenis) : Camellia sinensis L. Varietas 2.1.2 : Assamica Nama daerah Enteh (sunda) 2.1.3 Deskripsi Camellia sinensis L. berasal dari daratan Asia Selatan dan Tenggara, namun sekarang telah dibudidayakan di seluruh dunia, baik daerah tropis maupun subtropis. Tumbuhan ini merupakan perdu atau pohon kecil yang biasanya dipangkas bila dibudidayakan untuk dipanen daunnya. Camellia sinensis L. memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5–4 cm dengan 7 hingga 8 petal. Daunnya 6 memiliki panjang 4–15 cm dan lebar 2–5 cm. Daun-daun itu mempunyai rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun. Daun muda memiliki warna lebih terang, sedangkan daun tua berwarna lebih gelap. Daun dengan umur yang berbeda menghasilkan kualitas teh yang berbeda-beda, hal tersebut dikarenakan komposisi kimianya yang berbeda. Biasanya, pucuk dan dua hingga tiga daun pertama dipanen untuk pemrosesan. Biasanya pemetikan dengan tangan (manual) ini diulang setiap dua minggu. Berdasarkan penanganan pasca panen, teh dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu (Sulistyowati, 2004) 1) Teh Hijau Teh hijau diperoleh tanpa proses fermentasi. Daun teh dilayukan dengan panas sehingga terjadi inaktivasi enzim. Pemanasan ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan udara kering dan pemanasan basah dengan uap panas (steam). Pada pemanasan kering dilakukan pada suhu 100-200 °C sedangkan pemanasan basah dengan menggunakan mesin (steamer) suhunya sekitar 220-300 °C. Proses pemanasan udara kering pada daun teh akan memberikan aroma dan rasa yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian uap panas (steam). Namun keuntungan dengan cara pemberian uap panas adalah warna teh dan seduhannya akan lebih hijau terang. 2) Teh hitam Teh hitam diperoleh melalui proses fermentasi. Daun teh segar dilayukan terlebih dahulu pada palung pelayu, kemudian digiling 7 sehingga sel-sel daun rusak. Selanjutnya dilakukan fermentasi pada suhu sekitar 19-26 °C dengan kelembaban sekitar 90-98 %. Lamanya fermentasi sangat menentukan kualitas hasil akhir, biasanya dilakukan selama 60-100 menit. Apabila proses fermentasi telah selesai, dilakukan pengeringan yang bertujuan untuk menghentikan proses oksidasi enzimatis yang terjadi pada saat fermentasi serta membuat teh tahan lama dalam penyimpanan. Pengeringan dilakukan selama 13-18 menit sampai kadar air teh kering mencapai 2,5-3,5 %. 3) Teh putih Untuk membuat teh putih diperlukan daun teh yang paling muda, yang masih dipenuhi bulu putih pendek atau bulu halus. Pemasakannya mengalami 2 tahap, yaitu penguapan dan pengeringan tidak ada proses pelayuan dan penggilingan. Daun teh yang telah dibersihkan kemudian dipanaskan pada suhu 160-240 °C selama 3-7 menit untuk inaktivasi enzim, selanjutnya digulung dan dikeringkan. Tampilan teh putih hampir tidak berubah, yaitu berwarna putih keperakan. Ketika diseduh akan berwarna kuning pucat dengan aroma lembut dan segar. Ada juga jenis teh yang disebut dengan Teh olong, yaitu teh yang diproses hampir sama seperti teh putih yaitu melalui proses semi fermentasi. Selain itu teh jenis ini juga dibuat dengan bahan baku khusus, yaitu varietas tertentu yang memberikan aroma khusus. 8 2.1.4 Kandungan kimia (Anonim, 2010) Daun teh hitam (Camellia sinensis L.) mengandung senyawa bioaktif polifenol yang terdiri dari senyawa flavonoid, tannin (3,57 %), kafein (7,56 %), theobromin (0,69 %), theopilin (0,25 %), asam galat (1,15 %), asam klorogenat (0,21 %), gula (6,85 %), pektin (0,16 %), polisakarida (4,17 %), asam oksalat (1,50 %), asam malonat (0,02 %), asam suksinat (0,09 %), asam malat (0,31 %), asam sitrat (0,84 %), lipid (4,79 %), peptida (5,99 %), asam fenalat dan asam amino (3,03 %). Juga mengandung vitamin B1, B2, C, E, dan K. Serta kaya mineral kalium (potassium) (4,83 %) dan mineral lain (4,70 %). Senyawa katekin yang berada dalam senyawa flavonoid mengandung: epikatekin (EC) (1,21 %), epikatekin galat (ECG) (3,86 %), epigalo katekin (EGC) (1,09 %), epigalo katekin galat (EGCG) (4,63 %), theaflavin (2,62 %), thearubigin (35,90 %), dan quercetin. 2.1.5 Senyawa flavonoid Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6 dan umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Bagi tumbuhan flavonoid ini dapat berguna sebagai senyawa yang dapat menarik serangga, yang membantu dalam proses penyerbukan dan dapat berguna sebagai senyawa yang dapat menarik perhatian binatang untuk membantu penyebaran biji (Harborne, 1987). Sedangkan untuk manusia dalam dosis kecil flavonoid ini dapat bekerja sebagai stimulan pada jantung, kemudian pada jenis flavon yang terhidroksilasi dapat bekerja sebagai diuretik dan dapat bekerja sebagai antioksidan pada lemak (Sirait. Midian, 2007) 9 Gambar 1. Struktur Kimia Flavonoid Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid (yaitu flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semuanya mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Flavonoid merupakan kandungan senyawa khas pada tumbuhan hijau dengan mengecualikan alga. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, bunga, dan biji (Markham, 1988). Aglikon dari flavonoid adalah polifenol dan karena itu mempunyai sifat kimia senyawa fenol, yaitu bersifat agak asam sehingga dapat larut dalam basa dan ketika ditambahkan basa atau ammonia warnanya akan berubah. Tetapi bila senyawa ini terlalu lama di dalam basa akan menyebabkan banyak senyawa flavonoid yang terurai. Flavonoid merupakan senyawa yang bersifat polar. Hal ini disebabkan karena adanya gula yang terikat pada flavonoid yang cenderung menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air sehingga flavonoid ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak dikocok dengan petroleum eter. Senyawa ini merupakan senyawa yang 10 mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi dan dapat menunjukan pita spektrum kuat pada spektrum UV dan spektrum tampak (Harborne, 1987 dan Markham, 1988). 2.1.6 Khasiat Daun teh hitam berkhasiat sebagai obat antara lain untuk mengobati penyakit asma, angina pektoris, penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung koroner, diare, disentri, diabetes, antibakteri, antioksidan, antikanker, dan antimutagenik. Selain itu, juga telah diketahui dapat digunakan sebagai tabir surya (Cheryl, 2002). 2.2 Ekstraksi (Depkes RI, 2000) Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lainlain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alakaloid, flavonoid, dan lain-lain. Struktur kimia yang yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat, dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan 11 dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. 2.2.1 Proses pembuatan ekstrak (Depkes RI, 2000) 1) Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif dan makin efisien, namun makin halus serbuk, maka akan makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan filtrasi. 2) Cairan pelarut Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik (optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan cairan penyari antara lain: selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, dan keamanan. 12 3) Separasi dan pemurnian Tujuan dari tahapan ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tidak bercampur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorpsi dan penukar ion. 4) Pemekatan atau penguapan (vaporasi dan evaporasi) Pemekatan berarti jumlah parsial senyawa terlarut (solute) secara penguapan pelarut tidak sampai menjadi kering, melainkan ekstrak hanya menjadi kental atau pekat. 5) Randemen Randemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia kering. 2.2.2 Ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI, 2000) 1) Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. 13 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak. 2) Cara panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. 2. Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. 3. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50 oC. 14 4. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit). 5. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama dan temperatur sampai titik didih air. 2.3. Kulit (Djuanda, 2007) Gambar 2. Penampang Kulit (Graaff dkk, 2001). Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15 % dari berat badan. Kulit ini sangat kompleks, elastis dan sensitif, bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna 15 terang (fair skin) pirang, dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa. 2.3.1 Struktur kulit (Iswari, 2007) Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: 1. Lapisan epidermis, lapisan ini terdiri atas stratum corneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. a. Stratum corneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk). Secara alami, sel-sel yang sudah mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk berdegenerasi. Permukaan stratum corneum dilapisi oleh suatu lapisan pelindung lembab tipis yang bersifat asam disebut Mantel Asam Kulit. b. Stratum lusidum (daerah sawar/lapisan jernih) terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak jelas di telapak tangan dan kaki. c. Stratum granulosum (lapisan keratohialin/lapisan seperti butir) merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. d. Stratum spinosum (stratum malphigi/lapisan sel duri) atau disebut pula prikle cell layer (lapisan akanta) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-beda karena 16 adanya proses mitosis. Di antara sel-sel spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosum banyak mengandung glikogen. e. Stratum germinativum (lapisan sel basal) terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade). Di dalam stratum germinativum terdapat sel-sel melanosit, yaitu selsel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan memberikannya kepada sel-sel keratinosit melalui dendritnya. 2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastis dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. b. Pars retikulare, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis, bagian ini terdiri dari serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin, dan retikulin. 3. Lapisan subkutis (hypodermis) merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Di 17 dalam lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. 2.3.2 Fisiologi kulit (Iswari, 2007) Fungsi Kulit antara lain: 1. Proteksi, kulit ini akan menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis. Serabut elastis yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak subkutan berfungsi mencegah trauma mekanik langsung terhadap interior tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan cara mencegah keluarnya air dari dalam tubuh dan mencegah penguapan air, dapat berfungsi sebagai barier terhadap racun dari luar. Selain itu, mantel asam dapat berfungsi untuk mencegah pertumbuhan bakteri di kulit. 2. Absorpsi, beberapa bahan dapat diabsorpsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi kelembaban, dan metabolisme. 3. Ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia. 4. Persepsi sensoris, kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui beberapa reseptor seperti benda meissner, diskus markell dan 18 korpuskulum golgi sebagai reseptor raba, korpuskulum pacini sebagai reseptor tekanan, korpuskulum ruffini dan benda krauss sebagai reseptor suhu dan nervus end plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat dan selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri. 5. Pengaturan suhu tubuh, kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Pada saat temperatur badan menurun terjadi vasokonstriksi sedangkan pada saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas. 6. Pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal. Jumlah, tipe, ukuran, dan distribusi pigmen melanin akan menentukan variasi warna kulit sesorang. 7. Keratinisasi, proses keratinisasi ini berlangsung secara normal kirakira selama 14-21 hari dan memberikan perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik. 2.4 Sinar Matahari dan Melanogenesis Penyinaran matahari mempunyai dua efek, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan. Sinar ultraviolet merupakan bagian dari sinar matahari yang bertanggung jawab terhadap efek yang merugikan tersebut. Kerusakan kulit akibat sinar ultraviolet antara lain tergantung dari frekuensi dan lamanya sinar matahari mengenai kulit, intensitas sinar matahari, serta sensitivitas seseorang. Efek nyata penyinaran 19 matahari, pertama-tama ialah kemerahan pada kulit (eritema) yang diikuti oleh warna cokelat kemerahan. Pada dasarnya, timbul warna cokelat kemerahan yang merupakan reaksi perlindungan terhadap kerusakan akibat sinar ultraviolet (Balsam, 1972) Kulit yang terpapar oleh sinar matahari selama 6-20 jam akan menghasilkan eritema yang cepat atau lambat menimbulkan pencokelatan kulit (tanning). Tanning cepat tampak jelas 1 jam setelah kulit terpapar matahari dan kemudian akan hilang kembali dalam waktu 4 jam. Hal ini mungkin disebabkan oleh reaksi oksidasi dari radikal bebas semiquinon yang tidak stabil di dalam melanin. Di sini tidak tampak adanya pembentukan melanosom baru. Tanning lambat terjadi 48-72 jam setelah kulit terpapar sinar matahari dengan panjang gelombang 320-500 nm. Reaksi serupa terjadi pada sunburn (290-320 nm). Hal ini disebabkan oleh pembentukan melanosom-melanosom baru secara perlahan, dan baru terlihat dalam waktu 72 jam. Sinar ultraviolet gelombang agak panjang serta sinar yang dapat dilihat, antara 320-700 nm, merupakan penyebab melanogenesis, tetapi gelombang-gelombang lebih pendek (290-320 nm) masih merupakan inisiator paling efektif untuk melanogenesis (Iswari, 2007). Berdasarkan panjang gelombang dan efek fisiologisnya, sinar ultraviolet dibedakan menjadi 3 bagian: (Depkes RI, 1985) 1. UV-A ialah sinar dengan panjang gelombang antara 400-315 nm dengan efektivitas tertinggi pada 340 nm, dapat menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan. 20 2. UV-B ialah sinar dengan panjang gelombang antara 315- 280 nm dengan efektivitas tertinggi pada 297,6 nm, merupakan daerah eritemogenik yang dapat menimbulkan sengatan surya sehingga terjadi reaksi pembentukan melanin awal. 3. UV-C ialah sinar dengan panjang gelombang dibawah 280 nm, dapat merusak jaringan kulit, tetapi sebagian besar telah tersaring oleh lapisan ozon dalam atmosfer. Secara alamiah kulit juga mempunyai mekanisme perlindungan terhadap sengatan surya ialah dengan penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Perlindungan terhadap sengatan surya ini disebabkan oleh peningkatan jumlah melanin dalam epidermis. Butir melanin yang terbentuk dalam sel basal kulit setelah penyinaran ultraviolet-B akan berpindah ke stratum korneum di permukaan kulit, kemudian teroksidasi oleh sinar ultraviolet-A. Jika kulit mengelupas, butir melanin akan lepas, sehingga kulit kehilangan pelindung terhadap sinar matahari (Depkes RI, 1985). 2.5 2.5.1 Sediaan Krim Tabir Surya Sediaan tabir surya Sediaan tabir surya adalah suatu sediaan kosmetika yang digunakan untuk membaurkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari, terutama daerah emisi gelombang ultraviolet dan inframerah, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya matahari (Depkes RI, 1985). Berdasarkan pada mekanisme aksinya, tabir surya dapat dibagi menjadi tabir surya kimiawi yang mampu mengubah 21 panjang gelombang berenergi tinggi menjadi energi yang rendah dan tabir surya fisik yang disamping mampu mengabsorpsi sinar ultraviolet dapat juga mampu memantulkan sinar ultraviolet (Depkes RI, 2000). Penyinaran ultraviolet dengan panjang gelombang di atas 330 nm dapat menyebabkan kulit menjadi kecoklatan. Eritema timbul bersamaan dengan warna coklat. Pada panjang gelombang antara 334,2–366,3 nm efektif dalam pembentukan warna coklat dengan sedikit eritema. Pada penyinaran dengan panjang gelombang 250–270 nm, akan timbul eritema yang ringan, yang menghilang dalam beberapa hari tanpa menimbulkan warna kecoklatan. Penyinaran dengan panjang gelombang kurang dari 320 nm dapat menyebabkan eritema, sedangkan dengan panjang gelombang antara 300–420 nm dapat menyebakan pembentukan pigmen (Depkes RI, 1985). Syarat-syarat bagi preparat sediaan tabir surya (sunscreen) adalah enak dan mudah dipakai, jumlah yang menempel mencukupi kebutuhan, bahan aktif dan bahan dasar mudah tercampur, dan bahan dasar harus dapat mempertahankan kelembutan dan kelembaban kulit (Iswari, 2007). Syarat-syarat bagi bahan aktif untuk preparat tabir surya antara lain: (Iswari, 2007) 1) Efektif menyerap radiasi UV-B tanpa perubahan kimiawi, karena jika tidak demikian akan mengurangi efisiensi, bahkan menjadi toksik atau menimbulkan iritasi 2) Meneruskan UV-A untuk mendapatkan tanning (untuk kulit orang Eropa) 22 3) Stabil, yaitu tahan keringat dan tidak menguap 4) Mempunyai daya larut yang cukup untuk mempermudah formulasinya 5) Tidak berbau atau boleh berbau ringan 6) Tidak toksik, tidak mengiritasi dan tidak menyebabkan sensitisasi Bentuk-bentuk preparat tabir surya (sunscreen) dapat berupa: (Iswari, 2007) 1. Preparat anhydrous (preparat yang berdasar minyak), keuntungan dari preparat ini adalah daya tahanya terhadap air, sehingga tidak terganggu oleh perspirasi dan air kolam renang atau laut. 2. Emulsi (non-minyak O/W, semi minyak dual emulsion, dan lemak W/O). semi minyak dual emulsion dan lemak W/O digunakan sebagai dasar preparat tabir surya. Yang kandungan lemaknya tinggi tampak mirip minyak, sedangkan yang bukan minyak mirip preparat yang berbahan air. penampakannya Keuntungan yang dari menarik, preparat serta emulsi ini konsistensinya adalah yang menyenangkan sehingga memudahkan untuk pemakaian. 3. Preparat tanpa lemak (greaseless preparation), keuntungan dari preparat ini adalah tidak berlemak dan tidak lengket, sehingga lebih menyenangkan untuk dipakai, akan tetapi kekurangannya adalah mudah larut dalam air. 2.5.2 Sediaan krim Krim (cremores) adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan 23 untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995). Krim merupakan salah satu bentuk emulsi semisolid yang digunakan secara topikal. Emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil terdiri dari dua fase tidak dapat bercampur satu dengan lainnya, yaitu fase hidrofil dan lipofil (Ansel, 1989). Berdasarkan tipe emulsinya, krim terbagi atas dua tipe yaitu (Depkes RI, 1995) 1. Krim minyak-air (M/A) Bila fase lipofil terdispersi dalam fase hidrofil maka sistem ini disebut emulsi minyak dalam air. Krim M/A sering disebut sebagai “vanishing krim” karena sifatnya yang bila di oleskan pada kulit dapat menghilang dari permukaan dan akan memberikan efek pendinginan pada kulit, hal ini terjadi karena air sebagai fasa kontinyu akan menguap dan akan meningkatkan konsentrasi zat larut air pada lapisan yang melekat. 2. Tipe emulsi air-minyak (A/M) Bila fase hidrofil terdispersi dalam fase lipofil maka sistem ini disebut emulsi air dalam minyak. Konsistensi krim A/M dapat bervariasi dan tergantung pada komposisi fase minyak, fase air dan campuran zat 24 pengemulsi yang dipakai. Perbandingan relatif kedua fase dan sifat fase masing-masing zat menunjukkan pengaruh yang nyata. Sediaan kosmetik yang stabil adalah suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat diterima selama periode waktu penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Evaluasi stabilitas fisik krim antara lain: 1. Stabilitas penyimpanan pada suhu ruang (28±2 °C). Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya ketidakstabilan dari sediaan yang disimpan hanya pada satu tempat yaitu pada suhu ruang (28±2 °C). Jika hasil menunjukan tidak ada tanda ketidakstabilan maka dapat disimpulkan bahwa sediaan tersebut stabil pada suhu ruang. 2. Cycling test. Cycling test merupakan evaluasi dari efek pengaruh penggunaan suhu yang bervariasi. Evaluasi ini juga merupakan simulasi perjalanan suatu sediaan farmasi pada saat di distribusikan, di mana sediaan akan berada pada suatu tempat yang berbeda, dan tempat tersebut dapat memiliki kondisi/suhu yang berbeda. Evaluasi dilakukan sebanyak 3 siklus, 1 siklus terdiri dari 2 hari pada suhu dingin (2-4 °C) dan di ikuti 2 hari pada suhu panas (40 °C) (Sarfaraz, 2004). 2.5.3 Penentuan efektivitas sediaan tabir surya (Balsam, 1972) Efektivitas dari sediaan tabir surya dapat ditentukan dengan metode penentuan persen eritema dan persen pigmentasi. Ekstrak yang diperoleh dan sediaan yang dibuat diukur absorbansinya pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung nilai serapan 25 dan nilai persen transmitannya dengan rumus A = - log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas pigmentasi (Fp) pada panjang gelombang 292,5372,5 nm. Selanjutnya nilai persen transmisi eritema dihitung dengan rumus: % Te = % Tp = Keterangan ∑ ∑ ∑ ∑ : % Te = Nilai persen transmisi eritema % Tp = Nilai persen transmisi pigmentasi Ee =∑ Ep =∑ Berikut ini merupakan nilai dari fluks eritema (Fe) dan fluks pigmentasi (Fp) untuk sediaan tabir surya. Tabel 1. Transmisi Eritema dan Pigmentasi Sediaan Tabir Surya Rentang Panjang Gelombang (nm) Fluks Eritema 290 – 295 295 – 300 300 – 305 305 – 310 310 – 315 315 – 320 Rentang total eritema, 290–320 nm 0,1105 0,6720 1,0000 0,2008 0,1364 0,1125 2,2322 (76,3 %) 26 Rentang Panjang Gelombang (nm) Fluks Pigmentasi 320 – 325 325 – 330 330 – 335 335 – 340 340 – 345 345 – 350 350 – 355 355 – 360 360 – 365 365 – 370 370 – 375 Rentang total pigmentasi, 320–375 nm 0,1079 0,1020 0,0936 0,0798 0,0669 0,0570 0,0488 0,0456 0,0356 0,0310 0,0260 0,6942 (23,7 %) Fluks Total Pigmentasi, 290–375 nm 2,9264 (100 %) Suatu tabir surya mendapatkan kategori penilaian sebagai berikut: Tabel 2. Kategori Penilaian Tabir Surya 2.6 % Te % Tp Kategori penilaian tabir surya <1 1–6 6–12 10-18 3–40 42–86 45–86 45–86 Sunblock Proteksi ultra Suntan Fast tanning Spektrofotometer UV- Vis Spektrofotometer UV-Vis adalah analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultra violet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis, sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif dibandingkan kualitatif (Silverstein, 1986). 27 Spektrofotometer UV-Vis yang merupakan korelasi absorban (sebagai ordinat) dan panjang gelombang (sebagai absis) tidak merupakan garis spektrum akan tetapi merupakan pita spektrum. Terbentuknya pita spektrum UV-Vis tersebut disebabkan oleh transisi energi yang tidak sejenis dan terjadinya eksitasi elektronik lebih dari satu macam pada gugus molekul yang kompleks. Analisis dengan spektrofotometer UV-Vis selalu melibatkan pembacaan absorbansi radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radiasi elektromagnetik yang diteruskan. Absorpsi direkam sebagai absorbansi (Mulja dan Suharman, 1995). Dalam analisis kuantitatif pada spektrofotometri UV-Vis ini didasarkan pada hukum Lambert-Beer, yang menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak tergantung dari intensitas sumber cahaya dan kemudian menyatakan bahwa penyerapan sebanding dengan jumlah molekul yang diserap. Dari hukum Lambert-Beer dapat diketahui hubungan antara transmitan, tebal cuplikan, dan konsentrasi. T= A = - Log T A = Log Keterangan : T = Transmitan A = Absorbansi I = Intensitas radiasi yang diteruskan Io = Intensitas radiasi yang dating 28 BAB III KERANGKA KONSEP Latar belakang teh hitam Pengumpulan bahan dan pembuatan simplisia Penapisan fitokimia Serbuk simplisia teh hitam Pembuatan ekstrak etanol teh hitam Hitam Penapisan fitokimia dan karakterisasi ekstrak Ektrak etanol 70 % teh hitam Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak Pembuatan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) Evaluasi sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh Uji fotostabilitas dan efektivitas tabir surya krim ekstrak etanol 70 % teh hitam hitam Uji fotostabilitas krim tabir surya 1. Stabilitas penyimpanan suhu ruang (28±2 °C) 2. Cycling test Uji efektivitas krim tabir surya Penentuan kategori tabir surya 29 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian 4.1.1 Tempat penelitian Laboratorium Teknologi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4.1.2 Waktu penelitian Penelitian ini berlangsung dalam waktu 3 bulan, terhitung dari bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010. 4.2. Bahan dan Alat 4.2.1 Bahan Simplisia daun teh hitam (Camellia sinensis L.), air suling, etanol 70 % (Brataco), etanol 95 % (Brataco), asam stearat (Brataco), setil alkohol (Brataco), vaselin album (Brataco), adeps lanae (Brataco), oleum olivae (Brataco), dimetikon (Brataco), metil paraben (Brataco), trietanolamin (TEA) (Brataco), propilenglikol (Brataco), benzofenon-3 (PT. Martina Berto), pereaksi dragendorf, pereaksi Mayer, amil alkohol, serbuk Magnesium (Mg), asam klorida, besi (III) klorida, gelatin 1 %, natrium hidroksida, isopropanol. pereaksi Lieberman-Buchard, kloralhidrat, 30 4.2.2 Alat Alat-alat yang digunakan antara lain: neraca analitik digital (Wigger Hausser), hot plate, oven, tanur, lumpang, alu, rotavapor, piknometer, spektrofotometer UV-Vis (Perkin Elmer), lampu UV (Camag UV-Cabinet), viskometer Brookfield, kaca objek, pH meter (MettlerToledo), erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, ependorf, batang pengaduk, cawan penguap, cawan porselen, termometer, sentrifugator (Sorvall Fresco). 4.3. Prosedur Kerja 4.3.1 Pengumpulan bahan dan determinasi Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah teh hitam (Camellia sinensis L.) diperoleh dari Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor (PT. Perkebunan Nusantara VIII) yang telah mengalami proses fermentasi hingga menjadi teh hitam. Determinasi bahan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Cibinong untuk memastikan kebenaran simplisia. 4.3.2 Penapisan fitokimia (Farnswoth, 1969) 1) Identifikasi golongan alkaloid Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dilembabkan dengan 5 ml ammoniak 25 % digerus dalam mortir, kemudian ditambahkan 20 ml kloroform dan digerus kembali dengan kuat, campuran tersebut disaring dengan kertas saring, filtrat berupa larutan organik diambil (sebagai larutan A). Larutan A (10 ml) diekstraksi dengan 10 ml 31 larutan HCl 1:10 dengan pengocokan dalam tabung reaksi, diambil larutan bagian atasnya (larutan B). Larutam A diteteskan beberapa tetes pada kertas saring dan disemprot atau ditetesi dengan pereaksi Dragendorff, terbentuk warna merah atau jingga pada kertas saring menunjukkan adanya senyawa alkaloid. Larutan B dibagi dalam 2 tabung reaksi, ditambahkan masing-masing pereaksi Dragendorff dan pereaksi Mayer, terbentuk endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorff atau endapan putih dengan pereaksi Mayer menunjukkan adanya senyawa alkaloid. 2) Identifikasi golongan flavonoid Sebanyak 10 gram serbuk simplisia ditambah 100 ml air panas, dan didihkan selama 5 menit dan disaring. Diambil 5 ml filtratnya (dalam tabung reaksi), ditambahkan serbuk Mg secukupnya dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, kocok kuat, dan biarkan memisah. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. 3) Identikasi golongan saponin Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 10 ml air panas. Setelah dingin dikocok kuat secara vertikal selama 10 detik. Terbentuknya busa yang stabil, menunjukkan adanya saponin, bila ditambahkan 1 tetes HCl 1 % busa tetap stabil. 4) Identifikasi golongan tanin Sebanyak 10 gram serbuk simplisia ditambah 10 ml air, dididihkan selama 15 menit, setelah dingin kemudian disaring dengan kertas saring. Filtrat ditambah 1-2 tetes FeCl3 1 %. Terbentuknya 32 warna biru, hijau, atau hitam menunjukkan adanya senyawa golongan tanin. 5) Identifikasi steroid/triterpenoid Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimaserasi dalam 20 ml eter selama 2 jam kemudian disaring. Diuapkan dalam cawan penguap sampai kering. Ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat ke dalam residu. Terbetuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya steroid/triterpenoid. 6) Identifikasi golongan kuinon Sebanyak 1 gram serbuk simplisia dipanaskan dalam air selama 5 menit, disaring. Sebanyak 5 ml filtat ditambah beberapa tetes larutan NaOH 1 N. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya kuinon. 7) Identifikasi golongan minyak atsiri Sebanyak 2 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi (volume 20 ml), tambahkan 10 ml pelarut petroleum eter. Pada mulut tabung dipasang corong yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air, kemudian disaring dengan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan pada cawan penguap, selanjutnya residu dilarutkan dengan pelarut etanol 95 % sebanyak 5 ml lalu disaring dengan kertas saring. Filtratnya diuapkan dengan cawan penguap, residu yang berbau aromatik menunjukkan adanya senyawa golongan minyak atsiri. 33 4.3.3 Pembuatan ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi. Serbuk simplisia teh hitam (Camellia sinensis L.) ditimbang sebanyak 500 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlemenyer, ditambahkan pelarut etanol 70 % sampai serbuk simplisia terendam. Pelarut dilebihkan setinggi kurang lebih 2,5 cm di atas permukaan serbuk (Harbone, 1987). Proses maserasi ini dilakukan selama 5x24 jam sambil diaduk. Lalu disaring menggunakan kapas untuk menyaring ampas. Proses ini dilakukan berulang-ulang hingga tidak ada lagi senyawa yang terekstrak yang ditandai dengan warna pelarut yang jernih atau hampir tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring dan diuapkan pelarutnya dengan menggunakan vakum rotavapor pada suhu 40-50 °C hingga diperoleh ekstrak kental etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) 4.3.4 Pemeriksaan karakterisasi ekstrak A. Parameter spesifik ekstrak 1) Identitas Pengujian ini dilakukan untuk mencari identitas yang spesifik dari ekstrak yang diuji. Pengujian ini meliputi dari pendeskripsian dari nama ekstrak (nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama Indonesia tumbuhan dan senyawa identitas yang dapat dijadikan sebagai petunjuk dengan metode tertentu). 34 2) Organoleptik Pengujian ini dilakukan dengan meggunakan panca indera untuk mendeskripsikan dari bentuk, warna, bau, dan rasa. 3) Pemeriksaan keasaman dan kebasaan/pH Cara : pH ekstrak teh hitam diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi dengan dapar standar pH 4 dan pH 7. B. Parameter non spesifik ekstrak (Depkes RI, 2000) 1) Pemeriksaan susut pengeringan Penetapan susut pengeringan dilakukan dengan metode gravimetri. Krus tertutup bersih dan kering ditimbang sebagai berat kosong (a), krus tersebut dimasukkan ekstrak dan ditimbang (b) dan dipanaskan pada suhu 105 0C selama 30 menit dan ditimbang (c). Pemanasan dilakukan sampai diperoleh bobot yang tetap. % Kadar air : 2) Pemeriksaan kadar abu Krus tertutup bersih dan kering ditimbang sebagai berat kosong (a), sebanyak 2 gram ekstrak (b) dimasukan ke dalam krus yang sudah ditara, kemudian dipijarkan di dalam tanur pada suhu 700 0C sampai menjadi abu, didinginkan dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang tetap atau stabil (c). % Kadar abu = 35 3) Randemen Ekstrak Randemen ekstrak etanol dihitung dengan membandingkan berat awal simplisia dan berat akhir ekstrak yang dihasilkan. % Randemen ekstrak : 4.3.5 Penentuan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang ditentukan pada konsentrasi 100 ppm ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yang di larutkan dalam etanol 95 %. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang UV yaitu 200–400 nm (Hasil absorbansi dapat dilihat pada lampiran 4). 4.3.6 Formulasi Krim Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Formula (%) Bahan Ekstrak daun teh hitam Asam stearat Setil Alkohol Vaselin album Adeps lanae Oleum olivae Nipagin Trietanolamin Propilenglikol Dimetikon Benzofenon-3 Aquadest ad KN KP KrT 1 % 15 1 4 0,5 4 0,1 1,2 7 1 100 15 1 4 0,5 4 0,1 1,2 7 1 3 100 1 15 1 4 0,5 4 0,1 1,2 7 1 100 KrT 2 % KrT 3 % 2 15 1 4 0,5 4 0,1 1,2 7 1 100 Keterangan: (KN) Kontrol negatif (krim tanpa ekstrak dan tanpa benzofenon-3), (KP) Kontrol positif (krim mengandung benzofenon-3), (KrT 1 %) Krim teh 1 %, (KrT 2 %) Krim teh 2 %, (KrT 3 %) Krim teh 3 %. 3 15 1 4 0,5 4 0,1 1,2 7 1 100 36 4.3.7 Pembuatan sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) a. Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, vaselin album, oleum olivae, benzofenon-3 dan adeps lanae) dipanaskan hingga temperatur 70 oC (campuran pertama) b. Fase air (trietanolamin, metil paraben, dimetikon dan propilenglikol) masing-masing dilarutkan dalam air panas (campuran kedua). c. Campuran kedua (fasa air) sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam campuran pertama (fase minyak) pada suhu 70 oC sambil terus diaduk. Setelah tercampur lalu digerus dalam lumpang yang telah dipanaskan sampai terbentuk massa krim. Penggerusan dilakukan hingga mencapai suhu kamar. Setelah dingin ekstrak etanol 70 % daun teh hitam dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam basis sambil terus diaduk hingga homogen. 4.3.8 Evaluasi sediaan krim tabir surya 1) Pengamatan organoleptis pengamatan organoleptis dapat dinilai dari tekstur sediaan yang stabil meliputi perubahan warna dan bau krim. Pengamatan dilakukan terhadap krim yang baru dibuat dan yang telah disimpan. 2) Homogenitas Pengujian homogenitas ini dilakukan dengan cara mengoleskan krim yang telah dibuat pada kaca objek, kemudian dikatupkan dengan kaca objek yang lainnya dan dilihat apakah basis tersebut homogen dan apakah permukaannya halus merata. Pengukuran dilakukan pada krim yang yang baru dibuat dan yang telah disimpan. 37 3) Pengukuran pH Krim dimasukkan ke dalam wadah, lalu diukur pHnya dengan pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan dapar standar (pH 4 dan pH 7). Pengukuran dilakukan pada krim yang baru dibuat dan krim telah disimpan. 4) Uji viskositas Penentuan viskositas menggunakan alat sediaan krim viskometer Brookfield dilakukan dengan digital dengan menggunakan spindel R6 dan dengan kecepatan putar sebesar 12 rpm. Penentuan viskositas ini bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan kekentalan pada tiap formula krim. Pembacaan hasil viskositas dalam Cp. Pengukuran dilakukan pada krim yang baru dibuat dan krim yang telah disimpan. 5) Sentrifugasi. Pengujian dilakukan dengan cara memasukan sediaan krim kedalam tabung sentrifugasi, kemudian diputar pada 2.000-3.000 rpm selama 30 menit, kemudian diamati perubahan fisiknya apakah terjadi pemisahan. Pengukuran dilakukan pada krim yang baru dibuat dan yang telah disimpan. 6) Uji stabilitas penyimpanan Krim disimpan selama 4 minggu pada temperatur ruang (28±2 °C). Kemudian dievaluasi setiap minggunya meliputi organoleptis, homogenitas, viskositas, dan pH. 38 7) Evaluasi Cycling test Sediaan diletakkan pada suhu 2-4 °C selama 2 hari dilanjutkan dengan meletakkan sediaan pada suhu 40 °C selama 2 hari (1 siklus) pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 siklus dan diamati terjadinya perubahan fisik dari sediaan krim pada sebelum cycling test dan sesudah cycling test. 4.3.9 Uji fotostabilitas krim tabir surya (Nining, 2005) 1) Pengukuran serapan awal krim. Setiap formula ditimbang sebanyak 0,3 gram kemudian dilarutkan dalam 30 ml etanol 95 % dan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh (293,4 nm) 2) Pengukuran perubahan serapan krim setelah beberapa waktu penyinaran dengan sinar UV. Setiap formula ditimbang 0,3 gram selanjutnya dioleskan secara merata pada kaca objek dan disinari dengan UV pada panjang gelombang 366 nm. Lama sinar bervariasi selama 30, 60, 90, dan 120 menit. Kemudian krim yang telah dipaparkan dilarutkan dalam 30 ml etanol 95 % dan diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang yang telah diperoleh (293,4 nm). 4.3.10 Pengolahan data Hasil percobaan dihitung dan diolah secara statistik. Data uji fotostabilitas krim dibuat antara absorbansi terhadap lamanya waktu paparan sinar UV 366 nm (menit) dan dianalisis dengan metode Analisia Varian satu arah (ANAVA). 39 4.3.11 Uji efektivitas krim kabir surya 1) Uji efektivitas tabir surya ekstrak etanol 70 % teh hitam Dibuat larutan induk ekstrak etanol 70 % teh hitam dalam etanol 95 % dengan konsentrasi 500 ppm. Dari larutan induk tersebut dibuat seri larutan dengan konsentrasi 40, 60, 80, 100, dan 120 ppm yang diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Dan dihitung % Te dan % Tp. 2) Uji efektivitas krim tabir surya Setiap formula ditimbang 1,25 gram dilarutkan dalam etanol 95 % sampai 25 mL. Kemudian diambil 5 mL larutan, diencerkan dengan etanol 95 % hingga 25 mL. Masing-masing larutan diamati serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang eritema dan pigmentasi yaitu pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm, kemudian dihitung % Te dan % Tp, berdasarkan rumus: % Te = % Tp = ∑ ∑ ∑ ∑ Keterangan: % Te = Nilai persen transmisi eritema % Tp = Nilai persen transmisi pigmentasi Ee =∑ Ep =∑ Serta menentukan kategori tabir surya yang diperoleh dari nilai % Te dan % Tp. 40 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian 5.1.1 Pengumpulan bahan dan determinasi Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah teh hitam yang diperoleh dari Perkebunan Teh Gunung Mas Bogor (PT. Perkebunan Nusantara VIII). Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukan bahwa tanaman ini adalah daun teh (Camellia sinensis L.) suku Theaceae. 5.1.2 Penapisan fitokimia Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Golongan Hasil penapisan Hasil penapisan simplisia ekstrak Alkaloid + + Flavonoid + + Tanin + + Saponin + + Steroid/Triterpenoid Minyak Atsiri Kuinon + + Keterangan: (+) Menunjukan reaksi positif, (-) Menunjukan reaksi negatif 5.1.3 Ekstraksi serbuk teh hitam Hasil ekstraksi dari 500 gram serbuk simplisia kering teh hitam (Camellia sinensis L.) diperoleh ekstrak kental berwarna hitam sebanyak 164 gram dengan rendemen ekstrak 32,8 %. Perhitungan randemen dapat dilihat pada lampiran 5. 41 5.1.4 Karakterisasi ekstrak etenol 70 % teh hitam Tabel 5. Hasil Karakterisasi Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Jenis Karakterisasi Parameter Spesifik: Identitas Nama Identitas Nama latin tumbuhan Bagian tumbuhan yang digunakan Nama Indonesia tumbuhan Organoleptik Bentuk Warna Bau Rasa pH Bobot Jenis Parameter Non Spesifik Kadar Abu Susut pengeringan Rendemen Hasil Ekstrak kental etanol 70 % teh hitam Camellia sinensis L. Daun Enteh / teh Kental Hitam Khas (tajam) Pahit 5,62 0,874 gram/ml 0,36 % 6,21 % 32,8 % Hasil perhitungan karakterisasi ekstrak dapat dilihat pada lampiran 5. 5.1.5 Penentuan panjang gelombang maksimum Panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yaitu 293,4 nm. Hasil dapat dilihat pada lampiran 4. 5.1.6 Evaluasi krim 1) Uji stabilitas penyimpanan Stabilitas krim disimpan pada suhu ruang (28±2 °C) selama 4 minggu. Kemudian dievaluasi setiap minggunya meliputi organoleptis, homogenitas, viskositas, dan pH. 42 Tabel 6. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Minggu ke0 1 2 3 Warna putih; Warna putih; Warna putih; Warna putih; bau oleum bau oleum bau oleum bau oleum Rosae rosae rosae rosae KP Warna putih; Warna putih; Warna putih; Warna putih; bau oleum bau oleum bau oleum bau oleum rosae rosae rosae rosae KrT Warna cokelat Warna cokelat Warna cokelat Warna cokelat 1% muda; bau muda; bau muda; bau muda; bau oleum rosae oleum rosae oleum rosae oleum rosae KrT Warna cokelat Warna cokelat Warna cokelat Warna cokelat 2% muda; bau muda; bau muda; bau muda; bau oleum rosae oleum rosae oleum rosae oleum rosae KrT Warna Warna Warna Warna 3% cokelat; bau cokelat; bau cokelat; bau cokelat; bau oleum rosae oleumrosae oleum rosae oleum rosae Keterangan: (KN) Kontrol negatif, (KP) Kontrol positif, (KrT 1 %) Krim %, (KrT 2 %) Krim teh 2 %, (KrT 3 %) Krim teh 3 %. Formula KN 4 Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae teh 1 Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Homogenitas Formula KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % 0 homogen homogen homogen homogen homogen 1 homogen homogen homogen homogen homogen Minggu ke2 homogen homogen homogen homogen homogen 3 homogen homogen homogen homogen homogen Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Sentrifugasi Minggu keFormula KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % 0 Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah 4 Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah 4 homogen homogen homogen homogen homogen 43 Tabel 9. Hasil Pemeriksaan pH Formula 0 7,43 7,50 7,35 7,40 7,39 KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Minggu ke2 7,30 7,22 7,19 7,11 7,18 1 7,38 7,46 7,30 7,28 7,21 3 7,24 7,01 7,15 7,06 7,11 4 7,13 7,00 7,04 6,86 6,94 7,6 7,4 7,2 p H 7 6,8 6,6 6,4 0 1 2 3 4 Minggu keKN KP KrT 1 % KrT 2% KrT 3 % Gambar 3. Kurva Hubungan antara pH dengan Waktu Penyimpanan Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Viskositas (Cp) Formula 0 34600 43800 42400 46200 40100 KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3% Minggu ke2 41400 49300 48300 47800 49200 1 36100 47400 44800 46800 44100 3 47200 51200 50400 49800 52100 4 52200 51800 57200 53600 60700 viskositas (cp) 80000 60000 40000 20000 0 0 KN 1 KP 2 3 Minggu keKrT 1 % KrT 2% 4 KT 3 % Gambar 4. Kurva Hubungan antara Viskositas dengan Waktu Penyimpanan 44 2) Evaluasi Cycling Test Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 siklus dan diamati terjadinya perubahan fisik dari sediaan krim pada sebelum cycling test dan sesudah cycling test. Tabel 11. Hasil Pemeriksaan Organoleptis Formula Organoleptis Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN Warna putih; Warna putih; bau oleum rosae bau oleum rosae KP Warna putih; Warna putih; bau oleum rosae bau oleum rosae KrT 1 % Warna cokelat muda; Warna cokelat muda; bau oleum rosae bau oleum rosae KrT 2 % Warna cokelat muda; Warna cokelat muda; bau oleum rosae bau oleum rosae KrT 3 % Warna cokelat; Warna cokelat; bau oleum rosae bau oleum rosae Keterangan: (KN) Kontrol negatif, (KP) Kontrol positif, (KrT 1%) Krim teh 1 %, (KrT 2 %) Krim teh 2 %, (KrT 3 %) Krim teh 3 %. Tabel 12. Hasil Pemeriksaan Homogenitas Formula KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Homogenitas Sebelum cycling test Sesudah cycling test homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen homogen Tabel 13. Hasil Pemeriksaan Sentrifugasi Formula KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Sentrifugasi Sebelum cycling test Sesudah cycling test Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah Tidak memisah 45 Tabel 14. Hasil Pemeriksaan pH Formula pH Sebelum cycling test 7,30 7,52 7,28 7,33 7,41 KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Sesudah cycling test 7,24 7,47 7,16 7,21 7,23 7,6 pH 7,4 7,2 7 6,8 sebelum sesudah KN KP Siklus KrT 1 % KrT 2% KrT 3 % Gambar 5. Kurva Hubungan antara pH dengan Stabilitas Penyimpanan Cycling Test. Tabel 15. Hasil Pemeriksaan Viskositas Formula KN KP KT 1 % KT 2 % KT 3 % Viskositas Sebelum cycling test Sesudah cycling test 36900 38100 44200 45400 36500 39200 32500 34500 33900 36600 Viskositas (cp) 50000 40000 30000 20000 10000 0 sebelum FN sesudah FP Siklus KT 1 % KT 2% KT 3 % Gambar 6. Kurva Hubungan antara Viskositas dengan Stabilitas Penyimpanan pada Cycling Test 46 Uji fotostabilitas krim Tabel 16. Hasil Pengukuran Perubahan Serapan Krim Sebelum dan Sesudah Beberapa Waktu Penyinaran dengan Sinar UV 366 nm. KN Absorban ratarata sebelum penyinaran * (0 menit) 0,2522 30 menit 0,2203 60 menit 0,1937 90 menit 0,1372 120 menit 0,1267 KP 3 % 1,9222 1,8272 1,7526 1,6845 1,5949 KrT 1 % 0,7514 0,6685 0,6202 0,5771 0,5015 KrT 2 % 0,7844 0,7026 0,6601 0,6066 0,5544 KrT 3 % 0,8443 0,7591 0,7029 0,6408 0,5941 Formula Absorban rata-rata setelah penyinaran* * Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum 293,4 nm dengan tiga kali pengukuran Keterangan: (KN) Kontrol negatif (krim tanpa ekstrak dan tanpa benzofenon-3), (KP) Kontrol positif (krim mengandung benzofenon-3), (KrT 1 %) Krim teh 1 %, (KrT 2 %) Krim teh 2 %, (KrT 3 %) Krim teh 3 %. 2,5 2 Absorbansi 5.1.7 1,5 1 0,5 0 0 30 60 90 120 Waktu (menit) KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Gambar 7. Kurva Hubungan antara Absorbansi dengan Lamanya Waktu Paparan Sinar UV 366 nm 47 5.1.8 Uji efektivitas krim Tabel 17. Uji Efektivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Data dapat dilihat pada lampiran 7) Konsentrasi (ppm) 40 60 80 100 120 Ee Ep % Te % Tp 5,5424 4,2507 4,0064 3,7672 3,5195 2,6084 2,0116 1,6484 1,5653 1,5299 2,4829 1,9042 1,7948 1,6876 1,5766 3,7574 2,8977 2,3746 2,2548 2,2038 Kategori Penilaian Aktivitas Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Tabel 18. Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Formula Ee Ep % Te % Tp KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % 0,0877 1,5510 0,9187 0,7161 0,0589 0,8536 0,5383 0,3143 0,0392 0,6948 0,4115 0,3208 0,0848 1,1229 0,7754 0,4527 Kategori Penilaian Aktivitas Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema Keterangan: % Te = % Tp = ∑ ∑ ∑ ∑ Ee = ∑ Ep = ∑ 5.2 Pembahasan Determinasi bahan dilakukan di Herbarium Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong-Bogor dan menunjukan bahwa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku adalah daun teh (Camellia sinensis L.) yang termasuk dalam suku Camelliaceae (Theaceae) dengan marga Camellia. 48 Proses pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode maserasi dengan menggunakan etanol 70 % yang telah didestilasi sebelumnya. Penggunaan metode maserasi merupakan metode yang cukup efektif dalam mengekstraksi suatu simplisia, keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat terhindar dari kerusakan senyawa aktif yang terkandung dalam suatu simplisia yang mungkin diakibatkan oleh faktor suhu. Akan tetapi dalam menggunakan metode ini ternyata masih banyak kekurangan di antaranya yaitu membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan pelarut yang cukup banyak. Proses maserasi dilakukan sebanyak 5x24 jam dengan sesekali pengocokan dan penggunaan pelarut yang baru hingga tidak ada lagi senyawa yang terekstrak yang ditandai dengan warna pelarut yang jernih atau hampir tidak berwarna. Tujuan penggunaan pelarut etanol 70 % ini adalah untuk menarik senyawa metabolit sekunder dalam simplisia. Ekstrak cair yang telah diperoleh kemudian dipekatkan dengan menggunakan penguap vakum putar (rotavapor) pada suhu 40-50 °C sampai diperoleh ekstrak yang kental. Suhu 40-50 °C merupakan suhu optimum untuk bisa menguapkan pelarut etanol, karena jika kurang dari suhu tersebut dapat menjadikan proses evaporasi semakin lama, dan jika suhu yang digunakan lebih dari suhu tersebut dikhawatirkan akan terjadi bumping sehingga proses evaporasi tidak maksimal dan tidak efektif. Dari hasil proses ekstraksi yang dilakukan diperoleh ekstrak kental etanol yang berwarna hitam sebesar 164 gram dengan randemen 32,8 % dari berat kering simplisia teh hitam (Camellia sinensis L.) 49 Pada penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa ekstrak air teh hitam yang dibuat sediaan gel dapat berpotensi sebagai tabir surya (Turkoglu. Cigirgil, 2007). Karena dalam penelitian ini sediaan tabir surya dibuat dalam bentuk sediaan krim yang menggunakan air lebih sedikit maka ekstrak yang digunakan adalah ekstrak etanol 70 % teh hitam. Krim merupakan sediaan yang memiliki keuntungan berupa nilai estetikanya yang cukup tinggi dan tingkat kenyamanan dalam penggunaannya yang cukup baik. Di samping itu, sediaan krim ini merupakan sediaan yang mudah dicuci, bersifat tidak lengket, memberikan efek melembabkan kulit, serta memiliki kemampuan penyebaran yang baik (Ansel, 1989). Formula krim yang dibuat dibedakan berdasarkan variasi konsentrasi ekstrak yang digunakan yang terbagi dalam tiga konsentrasi yaitu 1 %, 2 %, dan 3 %. Konsentrasi ekstrak yang digunakan ini diambil berdasarkan konsentrasi yang digunakan dalam penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak. Formula krim juga dibuat tanpa menggunakan ekstrak sebagai kontrol negatif dan menggunakan benzofenon-3 3 % sebagai kontrol positif. Pembuatan formula kontrol negatif untuk melihat perbedaan antara formula krim yang menggunakan ekstrak dan tidak. Sedangkan pembuatan formula kontrol positif untuk melihat perbedaan efektivitasnya sebagai tabir surya yang dibandingkan dengan yang menggunakan ekstrak dalam formula krim ini. Evaluasi stabilitas fisik sediaan krim dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 metode uji. Pertama, menggunakan evaluasi krim berdasarkan uji stabilitas penyimpanan pada suhu ruang (28±2 °C) selama 4 minggu. 50 Kedua, evaluasi krim berdasarkan metode uji dipercepat (Cycling test). Cycling test merupakan simulasi perjalanan suatu sediaan farmasi pada saat di distribusikan, di mana sediaan akan berada pada suatu tempat yang berbeda, dan tempat tersebut dapat memiliki kondisi/suhu yang berbeda (Sarfaraz, 2004). Dari hasil pemeriksaan organoleptis dan sentrifugasi baik pada uji stabilitas penyimpanan suhu ruang (28±2 °C) maupun pada uji cycling test, kelima formula (KN, KP, KT 1 %, KT 2 % dan KT 3 %) krim tidak mengalami perubahan warna, bau, dan homogenitas. Hal tersebut menunjukan bahwa kelima formula krim memiliki penampilan yang baik dan memiliki kestabilan yang baik pula. Uji derajat keasaman atau kebasaan (pH) merupakan parameter fisikokimia yang harus dilakukan pada pengujian sediaan topikal (dermal), karena pH sediaan dapat mempengaruhi efektivitas, stabilitas, dan kenyamanan penggunaan sediaan pada kulit. Apabila sediaan bersifat basa (tidak masuk dalam rentang pH kulit 4,5-6,5) akan mengakibatkan kulit terasa licin, cepat kering, dan dikhawatirkan akan mempengaruhi elastisitas kulit, namun apabila sediaan bersifat asam dengan rentang pH di bawah rentang pH kulit akan mengakibatkan kulit mudah teriritasi (Iswari, 2007). Dari hasil pengamatan pH baik pada uji stabilitas penyimpanan suhu ruang maupun pada uji cycling test menunjukkan nilai pH yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh salah satu basis krim yang memiliki nilai pH lebih tinggi. Salah satu basis krim tersebut adalah trietanolamin (TEA) yang memiliki gugus amin yang bersifat basa, dan tidak dipengaruhi oleh ekstrak etanol 51 70% teh hitam. Perbedaan pH sediaan dapat mempengaruhi efektivitas, jika pH basa menyebabkan pergeseran batokromik sedangkan jika pH asam terjadi pergeseran hipsokromik (Nadim, 1990). Pergeseran panjang gelombang maksimum menyebabkan perubahan kemampuan menyerap UV sehingga mempengaruhi efektivitasnya. Dalam penelitian ini perbedaan pH sediaan tidak menyebabkan perbedaan efektivitas tabir surya yang bermakna. Hal ini disebabkan pada rentang pH tersebut belum terjadi pergeseran panjang gelombang maksimum. Sebab pergeseran panjang gelombang maksimum terjadi apabila pH sediaan di atas 9 atau di bawah 4 (Nadim, 1990). Hasil uji pH pada kedua evaluasi stabilitas fisik ini juga mengalami penurunan. Hal ini belum diketahui penyebabnya, namun mungkin hal tersebut disebabkan wadah yang tidak kedap udara sehingga CO2 dapat masuk ke dalam wadah, dan gas CO2 bereaksi dengan air sehingga menyebabkan turunnya nilai pH. Pemeriksaan viskositas krim baik berdasarkan uji stabilitas penyimpanan pada suhu ruang maupun uji cycling test dilakukan dengan menggunakan viskometer Brookfield pada kecepatan 12 rpm, dengan spindel no. 6. Kelima formula mengalami peningkatan nilai viskositas. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya kadar air pada sediaan. Viskositas sediaan setengah padat juga bisa meningkat dengan meningkatnya umur sediaan (Lachman, 1994). Uji fotostabilitas sediaan tabir surya ini dilakukan dengan cara mengukur serapan yang dimiliki kelima formula krim baik sebelum maupun sesudah pemaparan dengan sinar UV. Hasil pengukuran tersebut 52 menunjukkan bahwa serapan sediaan mengalami penurunan yang dimulai pada menit ke-30 sampai dengan menit ke-120 (dapat dilihat pada tabel 16). Hal ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi ekstrak etanol 70 % teh hitam sebagai bahan pelindung dari sinar UV yang semakin kecil karena mengalami kerusakan dengan adanya pengaruh penyinaran. Sesuai dengan data uji fotostabilitas bahwa semakin lama waktu penyinaran, ekstrak etanol 70 % teh hitam yang rusak semakin meningkat sehingga tidak bisa lagi secara optimal melindungi kulit (Iswari, 2007). Data yang diperoleh dianalisa secara statistik dengan perangkat lunak SPSS 17.0 menggunakan metode analisa varian satu arah (ANOVA) (Lampiran 7). Metode ini digunakan untuk melihat adanya kesamaan atau perbedaan rata-rata penurunan persentase aktivitas krim tabir surya pada setiap formula. Untuk analisa data menggunakan metode ANOVA terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas, hal ini bertujuan untuk mengetahui homogenitas dan distribusi data yang normal atau tidak. Dari hasil uji tersebut dapat dilihat bahwa data pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 terdistribusi normal dan data pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 menit juga terlihat homogen karena tidak memiliki perbedaan yang bermakna (p ≥ 0,05). Terhadap seluruh formula yang tidak memiliki perbedaan secara bermakna dilanjutkan uji beda nyata terkecil (BNT) dengan metode LSD, untuk menentukan formula mana yang memberikan nilai yang tidak berbeda secara bermakna dengan formula lainnya. Dari data hasil uji BNT tersebut diketahui bahwa pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 formula uji (1 % dan 2 %) dan kontrol negatif (KN) tidak mempunyai efek yang hampir sama 53 dengan kontrol positif (KP), hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan yang bermakna dengan kontrol positif (p ≤ 0,05). Pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 formula uji (1 %, 2 %, dan 3 %) dan kontrol positif (KP) tidak mempunyai efek yang hampir sama dengan kontrol negatif (KN), hal ini dibuktikan dengan adanya perbedaan yang bermakna dengan kontrol negatif (p ≤ 0,05). Sedangkan pada menit ke-0, 30, 60, 90, dan 120 formula uji (3 %) mempunyai efek yang hampir sama dengan kontrol positif (KP), hal ini dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang bermakna dengan kontrol positif (p ≥ 0,05). Efektivitas krim tabir surya dilihat berdasarkan nilai persen transmisi eritema (% Te) dan persen transmisi pigmentasi (% Tp). Serapan dari masing-masing formula diukur setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5 nm, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas perlindungan yang diberikan dan untuk mengetahui kategori perlindungan yang diberikan oleh sediaan tabir surya. Berdasarkan hasil pengukuran absorbansi dan perhitungan, baik nilai persen transmisi eritema maupun persen transmisi pigmentasi mengalami perubahan. Semakin besarnya konsentrasi ekstrak etanol 70 % teh hitam yang ditambahkan ke dalam sediaan maka % Te yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena kemampuan untuk menyerap sinar UV yang menjadi besar sehingga sinar UV yang dapat diteruskan ke permukaan kulit semakin kecil. Dari hasil perhitungan persen transmisi eritema dan persen transmisi pigmentasi seluruh formula uji (KrT 1 %, KrT 2 %, dan KrT 3 %) berturut- 54 turut memiliki nilai % Te 0,6948; 0,4115; dan 0,3208, sedangkan % Tp 1,1229; 0,7754; dan 0,4527. Dari data nilai % Te dan % Tp tersebut, ketiga formula krim termasuk tabir surya dengan kategori penilaian sebagai sunblock (Balsam,1972). Karena syarat nilai persen transmisi eritama untuk sunblock (% Te<1) dan persen transmisi pigmentasi (% Tp 3-40) sehingga semua formula uji hanya memenuhi pada % Te saja (% Te < 1), artinya sediaan krim yang mengandung ekstrak etanol 70 % teh hitam hanya mampu menahan kulit agar tidak terjadi eritema/kemerahan bukan menahan pigmentasi. Hal ini mungkin disebabkan karena pada formula krim yang mengandung ekstrak etanol 70 % teh hitam memiliki daya serap pada UV B Zheng, 2008 ) dan diketahui bahwa UV B menyebabkan efek eritema pada kulit. Dengan adanya ekstrak etanol 70 % teh hitam tersebut maka sinar UV B akan terserap sehingga efek eritemanya menurun. 55 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dapat dibuat menjadi sediaan krim yang baik dan stabil dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak (1 %, 2 %, dan 3 %). 2. Krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) mempunyai efektivitas sebagai tabir surya, dengan ditunjukkan pada panjang gelombang ekstrak yang termasuk dalam daerah UV-B, yaitu 293,4 nm yang dikategorikan sebagai sunblock pada daerah eritema. Sediaan ini juga memiliki nilai fotostabilitas yang dapat dilihat dari hasil statistik, dimana formula uji (3 %) memiliki aktivitas yang hampir sama dengan formula kontrol positif. 6.2 Saran Diperlukan penelitian lanjutan mengenai: 1. Uji fotostabilitas untuk pemaparan dengan sinar UV sebaiknya menggunakan sinar UV utuh/ sinar UV yang sesuai dengan UV sebenarnya agar hasil yang diperoleh lebih akurat. 2. Evaluasi stabilitas fisik nilai pH krim belum sesuai dengan pH kulit maka perlu dilakukan pengurangan penggunaan basa (trietanolamin) dalam formulasi krim untuk mendapatkan krim yang lebih baik. 3. Dilakukan uji efektivitas tabir surya pada konsentrasi ideal dengan metode in vivo. 56 4. Ekstrak etanol 70 % teh hitam mempunyai serapan panjang gelombang maksimum pada 293,4 nm yang merupakan daerah UV B, maka perlu dilakukan kombinasi dengan bahan aktif yang mampu menyerap sinar UV A untuk menghasilkan sediaan tabir surya yang efektif sebagai pelindung yang baik terhadap UV A dan UV B. 57 58 59 60 DAFTAR PUSTAKA Anief, Moh. 1993. Farmasetika. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 49, 115, 118-120. Anief, Moh. 1997. Formulasi Obat Topikal dengan Dasar Penyakit Kulit. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 1-2, 7-8, 58. Anonim. 2007. http://www.kalbe.co.id/?mn=news&tipe=articles. Diakses tanggal 10 januari 2009 pukul 19.30. Anonim. 2010. http://reshaardianto.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/. Diakses tanggal 25 februari 2010 pukul 11.45 Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi Keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. UI Press : Jakarta. Hal 376, 380, 513. Astuti, Fitria. 2005. Analisis Kimia Teh Hitam Berdasarkan standar Nasional Indonesia 01-1902-1995. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Skripsi Universitas Indonesia, Depok Balsam, MS. And Sagarin E. 1972. Cosmetic Science and Technology. 2nd ed. John Willey and Sons Inc, New York. Hal. 197-291 Departemen Kesehatan RI. 1978. Farmakope Indonesia Edisi III. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 9 Departemen Kesehatan RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 122-123. Departemen Kesehatan RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 22, 30, 32. Departemen Kesehatan RI. 1993. Kodeks Kosmetika Indonesia. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 52, 246, 481483, 247, 406, 489. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal 6, 1030 Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Pengawasan Obat Tradisional : Jakarta. Hal 1, 9-12. 57 58 Diana. Zoe Draelos, Thaman. Lauren. A, 2006. Cosmetic Formulation of skin Care Product. Taylor and Francis Group. Hal. 3-8 Djuanda, adhi. Hamzah, mochtar. Dan Aisyah, siti, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi. V, FKUI, Jakatra. Hal. 3-8 Farnsworth, N.R. 1969. Biological and Phytochemical Screening of Plants. journal pharmaceutical science. Hal 255 – 265 Graaff, Kent M Van De & R Ward Rhees. 2001. Scauhm’s Easy Outlines Human Anatomy and Physiology. McGraw-Hill : New York. Hal 29. G.M.,Rahma. Tabir Surya. Diambil dari URL: http://rgmaisyah.files.wordpress.com/2009/04/tabir-surya.pdf. Diakses tanggal 6 Februari 2010, pukul 10.45 WIB Gumilar, Laras. 2004. Skripsi : Penentuan Efektivitas Krim Ekstrak Etanol Daun Singkong (Manihot utillisima Pohl) Secara In-Vitro Sebagai Tabir Surya, Bandung. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerbit ITB : Bandung. Hal 6-7. Harry, R.G. 1975. The Principles and Practice of Industrial Pharmacy, 2nd ed. Leo and Febiger : Philadelphia. Hal 417, 427-428. Indah Firdausi, Nur. 2009. Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat (Epms) Dari Rimpang Kencur Sebagai Bahan Tabir Surya Pada Industri Kosmetik. Karya Ilmiah, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Diambil dari URL: http://darsono-sigit.um.ac.idwpcontentuploads200911nur-indah-firdausi.pdf. Diakses tanggal 5 Februari 2010, pukul 14.22 WIB Iswari Trangono. Retno, Latifah. Fatma, 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. PT. Gramedia, Jakarta. Hal. 12, 26-30, 48, 81-86. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II Edisi Ketiga. Alih bahasa Suyatmi S. UI Press : Jakarta. Hal 1042, 1051, 1064, 1087. Levin, Cheryl BA; Howard Maibach, MD. 2002. Explorationof“Alternative” and “Natural” Drugs in Dermatology. University of California–San Francisco Medical Center. 59 Markham, K.R,. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Terjemahan Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB Bandung, Bandung. Hal. 1-10, 15 Martin A, Swarbick J, Cammarat A. 1993. Farmasi Fisik Jilid II Edisi Ketiga. Penerjemah Yoshita. UI Press : Jakarta. Hal 766, 827-843, 1023-1026, 1100-1101. Mitsui, T.Phd. . 1997. New Cosmetics Science. Elseveir. Amsterdam. Hal. 341-351. Mulja, M dan Suharman, 1995. Analisis Instrumental. Airlangga Univ Press. Surabaya. Hal. 26-60 Niazi, Sarfaraz K. 2004. Pharmaceutical Manufacturing Formulations Semisolid Products Volume 4. CRC Press. New York Washington, D.C. Oen, L.H, Dr, dkk. 1986. Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran. Cermin Dunia Kedokteran No 41. Penerbit : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma. Outeahealing. 2007. Kandungan Teh Hitam. (online) http://outeahealing.wordpress.com/2007/11/17/kandungan-teh hitam/, diakses tanggal 9 November 2009 Shaath, nadim. 2005. Sunscreen; Regulation and Commercial Development. 3rd ed. Taylor and Francis Group. New york. Silverstein, Bassler and Morrill. 1986. Penyidikan Spektrometrik Senyawa Organik, Edisi ke- 4. Erlangga. Jakarta. Hal. 305 Sirait. Midian, 2007. Penentun Fitokimia Dalam Farmasi, Penerbit ITB Bandung. Hal. 129 Sugihartini. Nining, Marchaban, Prammono. Suwidjiyo, 2005. Jurnal; Pengaruh penambahan fraksi etanol dari infusa daun (Plantago Major L.) terhadap efektivitas oktil Metoksinamat sebagai bahan aktiv tabir surya, Majalah Farmasi Indonesia. Hal 130-135. XQ Zheng, J Jin. 2008. Effect ultraviolet B irradiation on accumulation of catechins intes (Camellia sinensis (L) O. Kuntze). African Journal Biotechnology, vol 7. China. Diakses tanggal 25 Juni 2010 pukul 14,15 wib 60 Tuminah, Sulistyowati. 2004. Teh [(Camellia sinensis ). K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan, Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta Turkoglu, M. Cigirgil, N. 2007. Jurnal; Evaluation of black tea gel and its protection potential against UV, International Journal of Cosmetic Science, vol 29. Istanbul, Turkey. Hal 437-442. Diakses tanggal 15 Mei 2010 pukul 17,32 WIB Underwood, JCE. 2004. General and Systematic Pathology Fourth Edition. Churcill Livingstone. Hal 697. Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Penerjemah Dr.rer.nat. Soendani Noerono Soewandhi, Apt. Dan Dr. Mathilda B. Widianto, Apt., Jurusan Farmasi FMIPA ITB, Penyunting Prof. Dr. Moch. Samhoedi Reksohadiprodjo, Apt., Fakultas Farmasi UGM. Gajah Mada University Press : Yogyakarta. Hal 434-436, 564. Wade A, Waller PJ. 1994. Handbook of Pharmaceutical Excipients Second Edition. The Pharmaceutical Press : London. Hal 262, 310, 337, 407, 411, 494, 538, 558. 61 UJI EFEKTIVITAS DAN FOTOSTABILITAS KRIM EKSTRAK ETANOL 70 % TEH HITAM (Camellia sinensis L.) SEBAGAI TABIR SURYA SECARA IN VITRO SYIFA OCTA MAULIDIA NIM : 106102003375 PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Latar Belakang < 1% radiasi sinar matahari ke bumi adalah UV B Dampak negatif Kemerahan, noda hitam, penuaan dini, kekeringan, keriput dan sampai kanker kulit Intensitas cahaya meningkat Penting untuk pembentukan Vitamin D Akibat Global warming Penting adanya pelindung (Tabir Surya) Di lakukan penelitian Camellia sinensis L. Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dapat dibuat dalam sediaan krim yang baik dan stabil? 2. Bagaimana efektivitas dan fotostabilitas sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam sebagai sediaan tabir surya? Hipotesis Ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dapat dibuat menjadi sediaan krim tabir surya yang baik dan stabil dengan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya yang belum diketahui. Tujuan 1. Menentukan efektivitas dan fotostabilitas tabir surya sediaan krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) 2. Membuat sediaan krim tabir surya ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) yang memiliki aktivitas sebagai tabir surya yang memberikan penampilan sediaan yang baik dan stabil. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi tentang efektivitas dan fotostabilitas dari krim ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) sebagai tabir surya dan formulasi krim dari ekstrak etanol 70 % teh hitam (Camellia sinensis L.) dengan menggunakan variasi konsentrasi ekstrak. Tanaman Teh hitam (Camellia sinensis L.) Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Sub Kelas : Dialypetalae Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales) Familia (suku) : Camelliaceae (Theaceae) Genus (marga) : Camellia Spesies (jenis) : Camellia sinensis L. Varietas : Assamica Nama daerah : Enteh (sunda) Deskripsi Camellia sinensis L. memiliki akar tunggang yang kuat. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5–4 cm dengan 7 hingga 8 petal. Daunnya memiliki panjang 4–15 cm dan lebar 2–5 cm. Daun-daun itu mempunyai rambut-rambut pendek putih di bagian bawah daun. Daun muda memiliki warna lebih terang, sedangkan daun tua berwarna lebih gelap. Khasiat Daun teh hitam berkhasiat sebagai obat antara lain untuk mengobati penyakit asma, angina pektoris, penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung koroner, diare, disentri, diabetes, antibakteri, antioksidan, antikanker, dan antimutagenik. Kerangka Konsep Latar belakang teh hitam Serbuk simplisia teh hitam Penapisan fitokimia dan Karakterisasi ekstrak Penapisan fitokimia Pembuatan ekstrak etanol teh hitam Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 % teh hitam Pembuatan krim tabir surya Evaluasi krim ekstrak etanol 70 % teh hitam Stabilitas penyimpanan pada suhu ruang (28±2 °C) dan cycling test Uji fotostabilitas Uji efektivitas krim tabir surya Penentuan kategori tabir surya Hasil Penelitian Hasil penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak Golongan Hasil penapisan simplisia Hasil penapisan ekstrak Alkaloid + + Flavonoid + + Tanin + + Saponin + + Steroid/Triterpenoid - - Minyak Atsiri - - Kuinon + + Hasil karakterisasi ekstrak etenol 70 % teh hitam Jenis Karakterisasi Parameter Spesifik: Identitas Nama Identitas Nama latin tumbuhan Bagian tumbuhan yang digunakan Nama Indonesia tumbuhan Organoleptik Bentuk Warna Bau Rasa pH Bobot Jenis Parameter Non Spesifik Kadar Abu Susut pengeringan Rendemen Hasil Camellia sinensis Camellia sinensis L. Daun Enteh / teh Kental Hitam Khas (tajam) Pahit 5,62 0,874 gram/ml 0,36 % 6,21 % 32,8 % Hasil Scanning Panjang Gelombang Maksimum Ekstrak Etanol 70% Teh Hitam (Camellia sinensis, L) Pada Konsentrasi 100 ppm Evaluasi krim ekstrak etanol 70 % teh hitam sebagai tabir surya pada suhu ruang (28±2 °C) selama 4 minggu • Organoleptis Organoleptis minggu keFormula 0 1 2 3 4 KN Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KP Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae Warna putih; bau oleum rosae KrT 1% Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 2% Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae Warna cokelat muda; bau oleum rosae KrT 3% Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleumrosae Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae Warna cokelat; bau oleum rosae • Homogenitas Formula Homogenitas minggu ke0 1 2 3 4 KN homogen homogen homogen homogen homogen KP homogen homogen homogen homogen homogen KrT 1 % homogen homogen homogen homogen homogen KrT 2 % homogen homogen homogen homogen homogen KrT 3 % homogen homogen homogen homogen homogen • Sentrifugasi Sentrifugasi minggu keFormula 0 4 KN Tidak memisah Tidak memisah KP Tidak memisah Tidak memisah KrT 1 % Tidak memisah Tidak memisah KrT 2 % Tidak memisah Tidak memisah KrT 3 % Tidak memisah Tidak memisah • pH Formula pH minggu ke0 1 2 3 4 KN 7,43 7,38 7,30 7,24 7,13 KP 7,50 7,46 7,22 7,01 7,00 KrT 1 % 7,35 7,30 7,19 7,15 7,04 KrT 2 % 7,40 7,28 7,11 7,06 6,86 KrT 3 % 7,39 7,21 7,18 7,11 6,94 7,6 7,4 7,2 p H 7 6,8 6,6 6,4 0 1 2 3 Minggu keKN KP KrT 1 % KrT 2% KrT 3 % 4 • Viskositas Formula Viskositas (cp )minggu ke0 1 2 3 4 KN 34600 36100 41400 47200 52200 KP 43800 47400 49300 51200 51800 KrT 1 % 42400 44800 48300 50400 57200 KrT 2 % 46200 46800 47800 49800 53600 KrT 3% 40100 44100 49200 52100 60700 70000 viskositas (cp) 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 0 1 2 3 Minggu keKN KP KrT 1 % KrT 2% KT 3 % 4 Evaluasi cycling test krim ekstrak etanol 70 % teh hitam sebagai tabir surya • Organoleptis Formula KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Organoleptis Sebelum cycling test Sesudah cycling test Warna putih; Warna putih; bau oleum rosae bau oleum rosae Warna putih; Warna putih; bau oleum rosae bau oleum rosae Warna cokelat muda; Warna cokelat muda; bau oleum rosae bau oleum rosae Warna cokelat muda; Warna cokelat muda; bau oleum rosae bau oleum rosae Warna cokelat; Warna cokelat; bau oleum rosae bau oleum rosae • Homogenitas Formula Homogenitas Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN homogen homogen KP homogen homogen KrT 1 % homogen homogen KrT 2 % homogen homogen KrT 3 % homogen homogen • Sentrifugasi Formula Sentrifugasi Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN Tidak memisah Tidak memisah KP Tidak memisah Tidak memisah KrT 1 % Tidak memisah Tidak memisah KrT 2 % Tidak memisah Tidak memisah KrT 3 % Tidak memisah Tidak memisah • pH Formula pH Sebelum cycling test Sesudah cycling test KN 7,30 7,24 KP 7,52 7,47 KrT 1 % 7,28 7,16 KrT 2 % 7,33 7,21 KrT 3 % 7,41 7,23 7,6 7,5 pH 7,4 7,3 7,2 7,1 7 6,9 sebelum sesudah Siklus KN KP KrT 1 % KrT 2% KrT 3 % • Viskositas Formula Viskositas Sesudah cycling test KN 36900 38100 KP 44200 45400 KT 1 % 36500 39200 KT 2 % 32500 34500 KT 3 % 33900 36600 Viskositas (cp) Sebelum cycling test 50000 45000 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 sebelum sesudah Siklus FN FP KT 1 % KT 2% KT 3 % Hasil Pengukuran Perubahan Serapan Krim Sebelum dan Sesudah Beberapa Waktu Penyinaran dengan Sinar UV 366 nm. Formula Absorban ratarata sebelum penyinaran * (0 menit) Absorban rata-rata setelah penyinaran* 30 menit 60 menit 90 menit 120 menit KN 0,2522 0,2203 0,1937 0,1372 0,1267 KP 3 % 1,9222 1,8272 1,7526 1,6845 1,5949 KrT 1 % 0,7514 0,6685 0,6202 0,5771 0,5015 KrT 2 % 0,7844 0,7026 0,6601 0,6066 0,5544 KrT 3 % 0,8443 0,7591 0,7029 0,6408 0,5941 Kurva Hubungan antara Absorbansi dengan Lamanya Waktu Paparan Sinar UV 366 nm 2,5 Absorbansi 2 1,5 1 0,5 0 0 30 60 90 120 Waktu (menit) KN KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % Uji Efektivitas Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsent rasi (ppm) Ee Ep % Te % Tp Kategori Penilaian Aktivitas 40 60 80 100 120 5,5424 4,2507 4,0064 3,7672 3,5195 2,6084 2,0116 1,6484 1,5653 1,5299 2,4829 1,9042 1,7948 1,6876 1,5766 3,7574 2,8977 2,3746 2,2548 2,2038 Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Proteksi ultra Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Formula Ee Ep % Te % Tp Kategori Penilaian Aktivitas KP KrT 1 % KrT 2 % KrT 3 % 0,0877 1,5510 0,9187 0,7161 0,0589 0,8536 0,5383 0,3143 0,0392 0,6948 0,4115 0,3208 0,0848 1,1229 0,7754 0,4527 Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema Sunblock eritema TERIMAKASIH Proses Pembuatan Teh Hitam Daun teh segar Dilayukan Digiling Fermentasi pada suhu 19-26 °C dengan kelembaban sekitar 9098 % . Selama 60-100 menit Dikeringkan selama 13-18 menit. Sampai kadar air 2,5-3,5 % Pembuatan ekstrak etanol 70 % teh hitam 500 gram Serbuk teh hitam (Camellia sinensis L.) Penapisan fitokimia serbuk simpllisia Diamaserasi dengan 7 L etanol 70 % Di evaporasi dengan vakum rotavapor Maserat cair serbuk teh hitam Ekstrak etanol 70 % teh hitam Disaring dengan kapas dan kertas saring Penapisan fitokimia dan karakterisasi ekstrak Penentuan panjang gelombang maksimum Ekstrak etanol 70 % teh hitam 100 ppm dalam etanol 95 % Di ukur pada panjang gelombang 200-400 nm dengan spektrofotometer Diperoleh panjang gelombang maksimum ekstrak etanol 70 % teh hitam Pembuatan sediaan krim Fase minyak (asam stearat, setil alkohol, vaselin album, oleum olivae, benzofenon-3 dan adeps lanae) Fase air (trietanolamin, metil paraben, dimetikon dan propilenglikol) Fase air di masukkan sedikit demi sedikit ke dalam fase minyak pada suhu 70 °C Di gerus dalam lumpang yang telah dipanaskan sampai terbentuk masa krim Di masukkan ekstrak etanol 70 % teh hitam, sambil terus diaduk. Uji fotostabilitas krim tabir surya • Pengukuran serapan awal krim Setaiap formula ditimbang 0,3 gram Dilarutkan dalam etanol 95 % Diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 293,4 nm • Pengukuran serapan krim setelah beberapa waktu penyinaran dengan sinar UV 366 nm Setiap formula ditimbang 0,3 gram Dioleskan secara merata pada kaca objek Disinari dengan lampu UV 366 nm Perubahan serapan yang terjadi setelah penyinaran diukur dengan spektro UV-Vis pada panjang gelombang 293,4 Lama penyinaran bervariasi selama 30, 60, 90, dan 120 menit Uji efektivitas ekstrak etanol 70 % teh hitam Larutan induk ekstrak etanol 70 % teh hitam dalam etanol 95 % degan konsentrasi 500 ppm Dibuat seri larutan dengan konsentrasi 40, 60, 80, 100, dan 120 ppm Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5372,5 nm Dihitung % Te dan % Tp Uji efektivitas krim tabir surya Setiap formula ditimbang 1,25 gram Dilarutkan dalam etanol 95 % sampai 25 ml Diambil 5 ml larutan, kemudian diencerkan dengan etanol 95 % Diukur serapannya setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 292,5-372,5 nm Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung intensitas transmitansinya (T) dengan rumus T= 10−𝐴 Nilai fluks eritema yang diteruskan oleh bahan tabir surya (Ee) dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan fluks eritema (Fe) pada panjang gelombang 292-317 nm Nilai fluks pigmentasi (Ep) dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan fluks pigmentasi (Fp) pada panjang gelombang 322-372 nm Selanjutnya dihitung denga rumus: % Te = 𝑬𝒆 𝑭𝒆 % Tp = 𝑬𝒑 𝑭𝒑 • Randemen ekstrak Berat total ekstrak : 164 gram Berat simplisia kering : 500 g % Randemen ekstrak = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑡𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑙𝑖𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 164 x 100% 500 = 32,8% × 100 % • Bobot jenis ekstrak teh hitam Berat piknometer kosong (w1) : 16,233 g Berat piknometer + air (w2) : 40,772 g Berat piknometer + ekstrak (w3): 37,683 g 𝑤3−𝑤1 Bobot jenis = 𝑤2−𝑤1 × 1 𝑔𝑟/ml = 37,683 – 16,233 × 1 𝑔𝑟/ml 40,772 – 16,233 = 0,874 gram/ml • Susut pengeringan Berat cawan (a) Berat cawan + ekstrak awal (b) Berat cawan + ekstrak akhir (c) 𝑏−𝑐 𝑏−𝑎 : 23,150 g : 24,147 g : 24,085g % susut pengeringan : × 100 % : 24,147 – 24,085 x 100 % 24,147 – 23,150 : 6,21 % • Kadar abu Berat cawan (a) : 25,752 g Berat ekstrak (b) : 3,009 g Berat ekstrak akhir (c) : 25,763 g 𝑐−𝑎 𝑏 % Kadar Abu : × 100% : 25,763 – 25,752 x 100% 3,009 : 0.365 % STUDY Exploration of “Alternative” and “Natural” Drugs in Dermatology Cheryl Levin, BA; Howard Maibach, MD Objective: To review some of the promising natural rem- edies within dermatology to explore their potential clinical benefit in supplementing conventional drugs. tant. Data were independently extracted by multiple observers. Data Synthesis: Natural remedies seem promising in Data Sources: MEDLINE searches from January 1966 through October 2000 and Science Citation Index searches from January 1974 through October 2000 were conducted. Study Selection: Primary importance was given to in vivo and in vitro controlled studies, the results of which encourage further exploration. Data Extraction: The controls used, the statistical approach to analysis, and the validity of the experimental method analyzed were considered particularly impor- R treating a wide variety of dermatologic disorders, including inflammation, phototoxicity, psoriasis, atopic dermatitis, alopecia areata, and poison oak. Conclusions: The alternative medications presented seem promising, although their true effects are unknown. Many of the presented studies do not allow deduction of clinical effects. Further experimentation must be performed to assess clinical benefit. Arch Dermatol. 2002;138:207-211 ECENTLY, ALTERNATIVE rem- edies have been investigated to supplement traditional drugs. We performed a literature search to highlight recently reported medicaments. Emphasis was placed on studies that followed the evidence-based dermatology guidelines.1,2 RESULTS Alternative medications and their potential clinical uses from human studies and animal and in vitro studies3-24 are summarized in the Table. TEA EXTRACTS From the University of California–San Francisco Medical Center. Ultraviolet solar radiation may induce a variety of adverse effects in humans, including melanoma,25 photoaging of the skin,26,27 sunburn,28 and immunosuppression.29,30 Protection against UV-induced skin damage includes avoidance of sun exposure, application of sunscreens, low-fat diets,31,32 and pharmacologic intervention with retinoids.33 More recently, green tea extracts have been reported to be beneficial in treating UV-induced photodamage. In a study by Elmets et al,6 1% to 10% green tea polyphenolic (GTP) fraction- (REPRINTED) ARCH DERMATOL / VOL 138, FEB 2002 207 sin ethanol and water vehicle were applied onto the backs of 6 volunteers. Thirty minutes after GTP application, patients were exposed to twice the minimal erythema dose of UV radiation from a solar simulator. The minimal erythema dose was determined for each patient by exposing skin to graded doses of UV radiation from the solar simulator. Green tea extracts resulted in a dose-dependent reduction of UV-induced erythema as measured by chromatometry and visual evaluation. See also pages 232 and 251 The (-)-epigallocatechin-3-gallate and (-)-epicatechin-3-gallate polphenolic fractions were most effective, while the (-)-epigallocatechin (EGC) and (-)-epicatechin fractions had little effect. Histologic examination showed a decrease in sunburn cells in GTP-treated skin. Epidermal Langerhans cells, the antigen-presenting cells involved in the skin immune response, were significantly protected against UV damage. Finally, GTP fractions reduced UV-induced mutations in DNA, as detected by means of a phosphorus 32 postlabeling technique. Spectrophotometric analysis indicated that GTP fractions did not absorb UV-B light, implying a mechanism of action different WWW.ARCHDERMATOL.COM Downloaded from www.archdermatol.com on May 5, 2010 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. METHODS MEDLINE searches from January 1966 through October 2000 and Science Citation Index searches from January 1974 through October 2000 were conducted. Boolean searches relating to skin, allopathic remedies, herbal extracts, glycolic acid, and vitamins were conducted. Specific diseases and therapies were searched as title words or key words. from that of sunscreens. This study demonstrates the potential benefit of GTP extracts in preventing UVinduced immunosuppression and erythema. The use of GTP extracts was also found to be beneficial in treating UV-induced immunosuppression in mice. The GTP extracts, fruits and vegetables, and quercetin and chrysin significantly prevented the UV-induced suppression of contact hypersensitivity to picryl chloride when compared with irradiated, untreated control (P⬍.05). Increased ear thickness measurements were used to evaluate the response. The GTP was administered in concentrations of 0.1% and 0.01%.17 Green tea extracts have been beneficial in preventing early signs of photochemical damage to mouse and human skin treated with psoralen– UV-A therapy. Psoralen–UV-A, a treatment for psoriasis, increases the patient’s risk of developing melanoma and squamous cell carcinoma. Pretreatment and posttreatment with the green tea extracts in mouse and human skin significantly decreased markers of this photochemical damage, namely hyperplasia and hyperkeratosis, c-fos and p53, and erythema, (P⬍.05), when compared with vehicle controls (water given before and after treatment).34 The effects of green tea on skin are further discussed by Katiyar et al.35 Oral and topical standardized black tea extracts also decreased photochemical damage to the skin. In one study, standardized black tea extracts significantly reduced erythema and skinfold thickness associated with UV-B– induced carcinogenesis in cultured keratinocytes and mouse and human skin (P⬍.05). In topically treated mice, a 64% reduction in severity of erythema and a 50% decrease in skinfold thickness were observed when compared with vehicle control. A decrease in the expression of c-fos, c-jun, and p53 in mouse skin and keratinocytes pretreated with standardized black tea extracts was also noted. This study indicates that when green tea is oxidized to black tea, the extracts remain beneficial in preventing the early signs of UV-B–induced phototoxic effects, namely, sunburn and skin thickness.18 OTHER HERBS Tea produced from the leaves of the Eucommia ulmoides OLIVER tree (EUOL) is commonly consumed in China, Korea, and Japan. Geniposidic acid, a main component of EUOL, seems beneficial in improving some of the signs of aging in model rats. Falsely aged model rats fed a diet consisting of a 2.4% water-soluble methanol extract of EUOL had a statistically significant increased stratum (REPRINTED) ARCH DERMATOL / VOL 138, FEB 2002 208 corneum turnover rate compared with rats fed a comparable diet without the EUOL. In a similar experiment, rats fed geniposidic acid also had improved stratum corneum turnover. With aging, the stratum corneum turnover rate decreases, suggesting that EUOL and, specifically, geniposidic acid may alter the aging process.22 Benzoyl peroxide (BPO) is a free radical–generating compound and strong oxidizer. It is commonly used as a polymerization initiator,36 an additive in cosmetics,37 and a bleaching agent for flour and cheese.38 Spearmint may abrogate the effects of BPO-induced tumor promotion. In a recent study, pretreatment with spearmint (Mentha spicata) induced a statistically significant decrease in the BPO oxidative damage, toxic effects, and cellular hyperproliferation in adult female albino mice when compared with the BPO-treated control group. Topical spearmint extracts salvaged the levels of antioxidant enzymes glutathione peroxidase, glutathione reductase, glutathione S-transferase, and catalase that are reduced by BPO treatment alone. The BPO-elevated microsomal lipid peroxidation and hydrogen peroxide generation were significantly reduced with spearmint pretreatment. Furthermore, spearmint significantly decreased markers for cellular DNA synthesis, namely ornithine decarboxylase activity and thymidine uptake, as compared with BPO treatment alone. Analysis was performed on excised mouse skin.20 HYDROXYACIDS Topical -lipohydroxyacid (-LHA), a derivative of salicylic acid, improved some of the manifestations of aging in women by inducing a statistically significant epidermal thickening and dendrocytic hyperplasia. Both the younger and elder populations exhibited improvement, but the changes were more diverse in the older women. When compared with placebo, 6% of the young and 16% of the elderly population experienced increased filaggrin layer thickness. Further studies are needed to understand the mechanism of hydroxyacid action and, thereby, their full effect on aging skin.7 ESSENTIAL FATTY ACIDS Patients with atopic dermatitis (AD) are thought to have a reduced rate of conversion from linoleic acid to ␥-linolenic acid (GLA), dihomo-␥-linolenic acid, or arachidonic acid as compared with healthy subjects.39-42 Replacement of GLA, in the form of primrose oil or borage oil, may therefore benefit in the treatment of these patients. In fact, more than 20 randomized controlled studies assessing the effects of GLA have been performed, with most studies indicating an improved epidermal barrier on GLA application.8,9,40,43-49 In one recent study, topical application of 20% evening primrose oil caused a statistically significant stabilizing effect on the epidermal barrier in patients with AD as evaluated by transepidermal water loss and stratum corneum hydration. When compared with placebo, the water-in-oil emulsion of primrose oil proved effective, whereas the amphiphilic emulsion did not, emphasizing the importance of the vehicle.9 In addition, borage oil, which contains a large quantity of GLA, improved pruritus, erythema, vesiculation, and oozing in atopic paWWW.ARCHDERMATOL.COM Downloaded from www.archdermatol.com on May 5, 2010 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. Alternative Medications and Their Potential Clinical Uses* Therapy Potential Benefit Ascorbic acid Prevent nitrate tolerance Ascorbic acid and vitamin E Reduce sunburn reaction Decrease UV-induced erythema Green tea extract Prevent UVII and erythema -Lipohydroxyacid Improve signs of aging Borage oil (with GLA) Treat AD Primrose oil (with GLA) Treat AD Experimental Results Source, y Human Studies Potentiated vasodilatory/conductivity responses provoked by glycerol trinitrate Increased median minimal erythema dose in treated patients Decreased dermal blood flow, chromatometry, and visual grade Reduced chromatometry, improved visually and histologically Induced epidermal thickening and dendrocytic hyperplasia Improved pruritus, erythema, vesiculation, and oozing in patients with AD Stabilized epidermal barrier—increased TEWL and stratum corneum hydration in patients with AD No significant effect on patients with AD GLA Treat AD Meta-analysis—GLA significantly improved AD Aromatherapy Quaternium-18 bentonite Treat alopecia areata Prevent poison ivy or poison oak Homeopathic gels Reduce inflammation Improved visual score of disease Reduced or prevented reaction to urushiol as evaluated visually Decreased LDF (ie, decreased vasodilatory response) after methyl nicotinate application Flavonoids/green tea extracts Black tea extract Animal and In Vitro Studies Prevented UVII of contact hypersensitivity to picryl chloride Decrease early symptoms of Decreased erythema, skinfold thickness, expression UV-B−induced phototoxic effects of c-jun, c-fos, and p53 in mice, human skin, and keratinocytes Decrease early symptoms of Decreased UV-B−induced tumor formation, skin UV-B−induced phototoxic effects thickness, and ODC in mice Prevent oxidative stress Pretreatment decreased benzoyl peroxide oxidative damage, toxic effects, and hyperproliferation in adult female albino mice Treat genital herpes simplex virus Reduced lesion development, duration, and severity in guinea pigs and mice Improve signs of aging Increased stratum corneum turnover rate in rats fed GA Anti-inflammatory agents Inhibited the croton oil−induced edema in male albino mice㛳 Inhibit immediate-type allergic Inhibited mast cell degranulation in mice and rats; reactions prevented histamine and TNF-␣ release from peritoneal mast cells Counteract UVII Ascorbic acid Mentha spicata (spearmint) Vitamin E combination§ GA, Eucommia ulmoides OLIVER tree Capsular polysaccharides of cyanobacteria Lavender oil Bassenge et al,3 1998† Eberlein-Konig et al,4 1998‡ Dreher et al,5 1998‡ Elmets et al,6 2001‡ Avila-Camacho et al,7 1998‡ Adreassi et al,8 1997‡ Gehring et al,9 1999 Bamford et al,10 1985; Berth-Jones and Graham-Brown,11 1993‡ Morse et al,12 1989; Stewart et al,13 1991 Hay et al,14 1998‡ Marks et al,15 1995† Handschuh and Debray,16 1999‡ Steerenberg et al,17 1998† Zhao et al,18 1999‡ Kobayashi et al,19 1998† Saleem et al,20 2000† Sheridan et al,21 1997† Li et al,22 1999‡ Garbacki et al,23 2000† Kim and Cho,24 1999‡ *UVII indicates UV-induced immunosuppression; GLA, ␥-linolenic acid; AD, atopic dermatitis; TEWL, transepidermal water loss; LDF, laser Doppler flowmetry; ODC, ornithine decarboxylase; GA, geniposidic acid; and TNF-␣, tumor necrosis factor ␣. †Compared with untreated control. ‡Compared with placebo. §Vitamin E, sodium pyruvate, membrane-stabilizing fatty acid. 㛳At lease 1 strain of cyanobacteria had an opposite effect, increasing inflammation. tients when compared with placebo-treated patients (P⬍.05). Patients were given 40 drops of borage oil twice daily for 12 weeks; dermatologists and patients visually assessed the signs.8 In contrast, 2 important studies did not observe a significant clinical effect of GLA on AD compared with placebo. In studies by Bamford et al10 and Berth-Jones and Graham-Brown,11 evening primrose oil capsules did not improve erythema, excoriation, and lichenification clinical scores, as evaluated by dermatologists and patients. Meta-analysis of all previous randomized placebocontrolled studies indicated a significant difference between treatment and placebo groups.12,13 Critics of the meta(REPRINTED) ARCH DERMATOL / VOL 138, FEB 2002 209 analysis claim that it included unpublished trials and inadequate baseline data in terms of disease severity.11 Apparent differences in response between placebo and treatment groups may result from a greater severity at baseline in subjects receiving active treatment.11,50 Treatment of AD with GLA remains controversial. ESSENTIAL OILS Other essential oils have been investigated in treating IgEmediated allergic reactions as well as alopecia areata. Mice and rats pretreated with lavender oil inhibited mast cell degranulation, indicating that the oil could inhibit imWWW.ARCHDERMATOL.COM Downloaded from www.archdermatol.com on May 5, 2010 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. mediate-type allergic reactions. Topical and intradermal lavender oil inhibited the ear swelling response in mice and passive cutaneous anaphylaxis in rats when compared with isotonic sodium chloride solution control treatment (P⬍.05). Peritoneal mast cells were also inhibited from releasing histamine or tumor necrosis factor ␣ in vitro when lavender oil was applied.24 Alopecia areata was treated with 7 months of aromatherapy. A mixture of thyme, rosemary, lavender, and cedarwood essential oils in jojoba and grape seed carrier oils massaged into patients’ scalps significantly improved the alopecia when compared with the carrier oils alone. The efficacy of the treatment was evaluated at initial assessment and 3 and 7 months after treatment by dermatologists’ visual scoring of photographs and a computerized analysis of traced areas of alopecia.14 This study did not mention disease duration before aromatherapy treatment. Half of patients with recent-onset alopecia areata have remission within 1 year, which could account for the aromatherapy’s putatively beneficial results.51 scribes a developed tolerance to the vasodilatory effects of nitrate, due to both neurohormonal counterregulation and enhanced response to vasoconstrictor agonists.52 Oral administration of two 500-mg ascorbic acid capsules daily along with glycerol trinitrate for 3 days prevented nitrate tolerance in healthy volunteers taking transdermal glycerol trinitrate. With those taking ascorbic acid, the vasodilatory and conductivity responses evoked by glycerol trinitrate were potentiated throughout the 3-day period (24.5% increase vs control), while in those taking glycerol trinitrate alone, the responses slowly declined (8.2% increase vs control).3 This observed effect was statistically significant. A combination of vitamin E, sodium pyruvate, and membrane-stabilizing fatty acids induced a statistically significant decrease in the lesion development, duration, and severity of genital herpes simplex virus when applied after infection to guinea pigs and mice. The combined treatment yielded a 36% decrease in lesion severity score in guinea pigs and a 33% decrease in lesion size in hairless mice when compared with no treatment.21 ASCORBIC ACID AND VITAMIN E MISCELLANEOUS The hydrophobic ascorbic acid and lipophilic vitamin E have found increasing use in dermatologic treatment. Several studies investigated the effects of both ascorbic acid and vitamin E against oxidative stress. In mice, acute and chronic UV-B–induced photodamage was significantly decreased with intraperitoneal postadministration of magnesium-L-ascorbyl phosphate (MAP), a precursor to ascorbic acid (P⬍.05). Compared with irradiated, untreated mice, MAP-treated mice had a 60% decrease in UV-B– induced tumor formation, a 50% decrease in skin thickness, and a 55% decrease in ornithine decarboxylase, a marker for DNA synthesis. In addition, on acute exposure to UV-B irradiation, MAP prevented increases of lipid peroxidation in skin and sialic acid in serum. The MAP produced an immediate and transient increase in vitamin C in the serum, skin, and liver, indicating its conversion in those tissues.19 The effect of topical application of MAP in reducing UV-B photodamage is unknown. The clinical significance of this study remains uncertain. Oral ingestion of ascorbic acid (2000 mg/d) and vitamin E (1000 IU/d) reduced the sunburn reaction in human subjects. The volunteers’ threshold dose for eliciting sunburn and their cutaneous blood flow of skin irradiated with incremental UV doses were determined before and after 8 days of treatment. A statistically significant difference was observed in the median minimal erythema dose of ascorbic acid– and vitamin E–treated patients as compared with placebo-treated patients. The former minimal erythema dose increased 17%; the latter declined 14%.4 Topical pretreatment in humans with a combination of ascorbic acid, vitamin E, and melatonin provided a statistically significant enhanced photoprotection against UV-induced erythema. Dermal blood flow, visual grade, and chromatometry measures decreased with the combined treatment, as well as with each treatment alone, when compared with placebo-treated skin. The effect of the combined treatment was more pronounced.5 Ascorbic acid and vitamin E have also proved beneficial in treating other conditions. Nitrate tolerance de- Quaternium-18 bentonite, an organoclay used in cosmetics to thicken or stabilize the products, has been investigated for its ability to prevent poison ivy or poison oak contact dermatitis reactions in humans. Pretreatment with 5% quaternium-18 bentonite lotion on the forearm of patients with allergic contact dermatitis to poison oak or poison ivy significantly reduced or prevented a severe reaction to urushiol, the allergenic resin of both plants. Trained technicians blinded to the treated area visually evaluated the reactions. Statistical significance was found when treated test sites were compared with untreated controls.15 Pretreatment with diluted homeopathic gels effectively decreased the inflammation caused by methyl nicotinate in humans. The vasodilatory response to methyl nicotinate was measured by laser Doppler velocimetry. This measure was significantly reduced when the skin was pretreated with Urtica urens, Apis mellifica, Belladonna, or Pulsatilla aqueous gels as compared with vehicle control.16 It is important to note that methyl nicotinate inflammation is primarily a pharmacologic effect and has few immunologic implications, thereby minimizing the clinical significance of this study. Capsular polysaccharides from various strains of cyanobacteria were found to have anti-inflammatory effects on adult albino male mice. Six-hour application of hydrophilic extracts of capsular polysaccharides subsequent to croton oil–induced dermatitis caused a statistically significant reduction in the mouse ear edema when compared with croton oil inflammation without treatment. Some strains were not effective, and at least 1 other strain of capsular polysaccharides significantly increased the edema after croton oil application by about 29%. The most effective inflammation-reducing strains decreased the edema by as much as 56%, were dose-dependent, and were composed primarily of neutral sugars, uronic acids, and proteins. The inflammation-increasing extract contained a monosaccharide composition (glucose and mannose) similar to those of extracts that most significantly decreased dermatitis.23 (REPRINTED) ARCH DERMATOL / VOL 138, FEB 2002 210 WWW.ARCHDERMATOL.COM Downloaded from www.archdermatol.com on May 5, 2010 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. COMMENT The sampling of investigative medications presented by this review seems promising, although their true effects are unknown. Caution must be used when animal studies are interpreted. In addition, experimental design, such as sample size, drug concentration, method of exposure to the medicine, and analytic techniques, may greatly influence a study’s outcome. Further exploration of these medications under different experimental conditions would better estimate their true clinical benefit. Certainly, the lower cost, wide accessibility, and possible clinical improvement with many of these newer unconventional remedies has encouraged their continued research. It remains to be seen which, if any, provide a more advantageous therapeutic ratio than standard agents. These observations presumably are valid, thoughtful, and correct; as in the case of most pharmacologic arenas, the final arbiter is the patient. Alas, these patient truths are unfortunately not as hard a science as most physicians would like. Accepted for publication July 31, 2001. Corresponding author: Howard Maibach, MD, Department of Dermatology, UCSF Medical Center, 90 Medical Center Way, Room 110, San Francisco, CA 94143 (e-mail: [email protected]). REFERENCES 1. Bigby M. Evidence-based medicine in dermatology. Dermatol Clin. 2000;18:261-276. 2. Bashir S, Maibach H. Evidence Based Dermatology. Toronto, Ontario: BC Dekker. In press. 3. Bassenge E, Fink N, Skatchkov M, Fink B. Dietary supplement with vitamin C prevents nitrate tolerance. J Clin Invest. 1998;102:67-71. 4. Eberlein-Konig B, Placzek M, Przybilla B. Protective effect against sunburn of combined systemic ascorbic acid (vitamin C) and d-␣-tocopherol (vitamin E). J Am Acad Dermatol. 1998;38:45-48. 5. Dreher F, Gabard B, Schwindt D, Maibach H. Topical melatonin in combination with vitamins E and C protects skin from ultraviolet-induced erythema: a human study in vivo. Br J Dermatol. 1998;139:332-339. 6. Elmets C, Singh D, Tubesing K, Matsui M, Katiyar S, Mukhtar H. Cutaneous photoprotection from ultraviolet injury by green tea polyphenols. J Am Acad Dermatol. 2001;44:425-432. 7. Avila-Camacho M, Montastier C, Perard GE. Histometric assessment of the agerelated skin response to 2-hydroxy-5-octanoyl benzoic acid. Skin Pharmacol Appl Skin Physiol. 1998;11:52-56. 8. Andreassi M, Forleo P, Lorio AD, Masci S, Abate G, Amerio P. Efficacy of ␥-linolenic acid in the treatment of patients with atopic dermatitis. J Int Med Res. 1997; 25:266-274. 9. Gehring W, Bopp R, Rippke F, Gloor M. Effect of topically applied evening primrose oil on epidermal barrier function in atopic dermatitis as a function of vehicle. Drug Res. 1999;49:635-642. 10. Bamford J, Gibson R, Reiner C. Atopic eczema unresponsive to evening primrose oil (linoleic and ␥-linolenic acids). J Am Acad Dermatol. 1985;13:959-965. 11. Berth-Jones J, Graham-Brown R. Placebo-controlled trial of essential fatty acid supplementation in atopic dermatitis. Lancet. 1993;341:1557-1560. 12. Morse PH, Horrobin DF, Manku MS, et al. Meta-analysis of placebo-controlled studies of the efficacy of Epogam in the treatment of atopic eczema. Br J Dermatol. 1989;121:75-90. 13. Stewart J, Morse P, Moss M, et al. Treatment of severe and moderately severe atopic dermatitis with evening primrose oil (Epogam). J Nutr Med. 1991;2:9-15. 14. Hay I, Jamieson M, Ormerod A. Randomized trial of aromatherapy: successful treatment for alopecia areata. Arch Dermatol. 1998;134:1349-1352. 15. Marks J, Fowler J, Sherertz E, Rietschel R. Prevention of poison ivy and poison oak allergic contact dermatitis by quaternium-18 bentonite. J Am Acad Dermatol. 1995;33:212-216. 16. Handschuh J, Debray M. Modification of cutaneous blood flow by skin application of homeopathic anti-inflammatory gels. STP Pharma Sci. 1999;9:219-222. 17. Steerenberg P, Garseen J, Dortant P, et al. Protection of UV-induced suppression of skin contact hypersensitivity. Photochem Photobiol. 1998;67:456-461. 18. Zhao J, Jin X, Yaping E, Zheng ZS, Zhang YJ, Athar M. Photoprotective effect of black tea extracts against UVB-induced phototoxicity in skin. Photochem Photobiol. 1999;70:637-644. (REPRINTED) ARCH DERMATOL / VOL 138, FEB 2002 211 19. Kobayashi S, Takehana M, Kanke M, Itoh S, Ogata E. Postadministration protective effect of magnesium-L-ascorbyl-phosphate on the development of UVBinduced cutaneous damage in mice. Photochem Photobiol. 1998;67:669-675. 20. Saleem M, Alam A, Sultana S. Attenuation of benzoyl peroxide–mediated cutaneous oxidative stress and hyperproliferative response by the prophylactic treatment of mice with spearmint (Mentha spicata). Food Chem Toxicol. 2000;38: 939-948. 21. Sheridan J, Kern E, Martin A, Booth A. Evaluation of antioxidant healing formulations in topical therapy of experimental cutaneous and genital herpes simplex virus infections. Antiviral Res. 1997;36:157-166. 22. Li Y, Metori K, Koike K, Che Q-M, Takahashi S. Improvement in the turnover rate of the stratum corneum in false aged model rats by the administration of geniposidic acid in Eucommia ulmoides OLIVER leaf. Biol Pharm Bull. 1999;22:582585. 23. Garbacki N, Gloaguen V, Damas J, Hoffmann L, Tits M, Angenot L. Inhibition of croton-oil induced oedema in mice ear skin by capsular polysaccharides from cyanobacteria. Arch Pharmacol. 2000;361:460-464. 24. Kim H-M, Cho S-H. Lavender oil inhibits immediate-type allergic reaction in mice and rats. J Pharm Pharmacol. 1999;51:221-226. 25. Koh H, Kligler B, Lew P. Sunlight and cutaneous malignant melanoma: evidence for and against causation. Photochem Photobiol. 1990;51:765-779. 26. Wenk J, Brenneisen P, Meewes C, et al. UV-induced oxidative stress and photoaging. Curr Probl Dermatol. 2001;29:83-94. 27. Krutmann J. Ultraviolet A radiation–induced biological effects in human skin. J Dermatol Sci. 2000;23(suppl 1):S22-S26. 28. Biesalski H, Obermueller-Jevic U. UV light, beta-carotene and human skin— beneficial and potentially harmful effects. Arch Biochem Biophys. 2001;389: 1-6. 29. Hart P, Grimbaldeston M, Finlay-Jones J. Sunlight, immunosuppression and skin cancer: role of histamine and mast cells. Clin Exp Pharmacol Physiol. 2001;28:1-8. 30. Gil E, Kim T. UV-induced immune suppression and sunscreen. Photodermatol Photoimmunol Photomed. 2000;16:101-110. 31. Hakim I, Harris R, Ritenbaugh C. Fat intake and risk of squamous cell carcinoma of the skin. Nutr Cancer. 2000;36:155-162. 32. Black H. Influence of dietary factors on actinically-induced skin cancer. Mutat Res. 1998;422:185-190. 33. DiGiovanna J. Retinoid chemoprevention in patients at high risk for skin cancer. Med Pediatr Oncol. 2001;36:564-567. 34. Zhao JF, Zhang YJ, Jin XH, et al. Green tea protects against psoralen plus ultraviolet A–induced photochemical damage to skin. J Invest Dermatol. 1999;113: 1070-1075. 35. Katiyar S, Ahmad N, Muhktar H. Green tea and skin. Arch Dermatol. 2000;136: 989-994. 36. Kadoma Y, Fujisawa S. Kinetic evaluation of reactivity of bisphenol A derivatives as radical scavengers for methacrylate polymerization. Biomaterials. 2000;21: 2125-2130. 37. Piérard G, Piérard-Franchimont C, Goffin V. Digital image analysis of microcomedones. Dermatology. 1995;190:99-103. 38. Karasz A, Decocco F, Maxstadt J. Gas chromatographic measurements of benzoyl peroxide in (as benzoic acid) cheese. J Assoc Anal Chem. 1974;57:706-709. 39. Biagi P, Hrelia S, Celadon M, et al. Erythrocyte membrane fatty acid composition in children with atopic dermatitis compared to age-matched controls. Acta Paediatr. 1993;82:789-790. 40. Schalin-Karrila M, Mattila L, Jansen C, Uotila P. Evening primrose oil in the treatment of atopic eczema: effect of clinical status, plasma phospholipid fatty acids and circulating blood prostaglandins. Br J Dermatol. 1987;117:11-19. 41. Oliwiecki S, Burton J, Elles K, Horrobin D. Levels of essential and other fatty acids in plasma and red cell phospholipids from normal controls and patients with atopic eczema. Acta Derm Venereol. 1991;71:224-228. 42. Wright S, Sanders T. Adipose tissue essential fatty acids in the plasma phospholipids of patients with atopic eczema. Br J Dermatol. 1991;110:643-648. 43. Lovell C, Burton J, Horrobin D. Treatment of atopic eczema with evening primrose oil [letter]. Lancet. 1981;1:278. 44. Wright S, Burton J. Oral evening-primrose-seed oil improves atopic eczema. Lancet. 1982;2:1120-1122. 45. Bordoni A, Biagi P, Masi M, et al. Evening primrose oil (Efamol) in the treatment of children with atopic eczema. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:291-297. 46. Biagi P, Bordoni A, Hrelia S, et al. The effect of ␥-linolenic acid on clinical status, red cell fatty acid composition and membrane microviscosity in infants with atopic dermatitis. Drugs Exp Clin Res. 1994;20:77-84. 47. Biagi PL, Bordoni A, Masi M, Ricci G, Fanelli C, Patrizi A, Ceccolini E. A longterm study on the use of evening primrose oil (Efamol) in atopic children. Drugs Exp Clin Res. 1988;14:285-290. 48. Guenther L, Wexler D. Efamol in the treatment of atopic dermatitis [letter]. J Am Acad Dematol. 1987;17:860. 49. Humphreys F, Symons H, Brown H, Duff G, Hunter J. The effects of ␥-linolenic acid on adult atopic eczema and premenstrual exacerbation of eczema. Eur J Dermatol. 1994;4:598-603. 50. Horrobin D, Stewart C. Evening primrose oil and eczema. Lancet. 1990;335:864865. 51. Kalish R. Randomized trial of aromatherapy: successful treatment for alopecia areata. Arch Dermatol. 1999;135:602-603. 52. Munzel T, Giaid A, Kurz S, Stewart D, Harrison D. Evidence for a role of endothelin 1 and protein kinase C in nitroglycerin tolerance. Proc Natl Acad Sci U S A. 1995;92:5244-5248. WWW.ARCHDERMATOL.COM Downloaded from www.archdermatol.com on May 5, 2010 ©2002 American Medical Association. All rights reserved. 2004 http://www.kalbe.co.id/cdk ISSN : 0125-913X 144. THT 2004 http. www.kalbe.co.id/cdk International Standard Serial Number: 0125 – 913X 144. THT Daftar isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel Keterangan Gambar Sampul : Jaras sistim pendengaran manusia sumber: http://ivertigo.net 13 5. Rinitis Atrofi – Rizalina Arwinati Asnir 8. Papiloma Laring pada Anak – Bambang Supriyatno, Lia Amalia 11. Kista Duktus Tiroglosus – Hafni 13. Rinoskleroma – Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah 16. Kanker Nasofaring - Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir – R. Susworo 20. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat – Retno Gitawati, Ani Isnawati 24. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja – Novi Arifiani 29. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja – Ambar W. Roestam 35. Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi – HR Krisnabudhi 41. Vertigo: Aspek Neurologi – Budi Riyanto Wreksoatmodjo 47. Terapi Akupunktur untuk Vertigo – Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe 52. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah satu Sumber Antioksidan – Sulistyowati Tuminah 55. Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue di Jakarta Tahun 2001 – Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk 57. Produk Baru 58. Kapsul 59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah 62. Abstrak 64. RPPIK EDITORIAL Cermin Dunia Kedokteran kali ini terbit dengan topik bahasan masalah telinga, hidung dan tenggorokan. Beberapa penyakit seperti rinitis atrofi dan papiloma laring dapat anda jumpai; selain masalah pengaruh lingkungan – dalam hal ini kebisingan terhadap fungsi pendengaran khususnya. Tidak ketinggalan pula artikel mengenai kanker nasofaring dan perawatan trakeostomi – yang perlu diperhatikan, baik oleh tenaga medis maupun keluarga pasien. Artikel mengenai vertigo juga ikut melengkapi edisi ini Selamat membaca, komentar dan kritik sejawat sekalian tetap kami nantikan Redaksi 2 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 2004 International Standard Serial Number: 0125 - 913X REDAKSI KEHORMATAN KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan KETUA PENYUNTING - Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta - Prof. Dr. R Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Dr. Budi Riyanto W. - Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti MScD, PhD. PELAKSANA Sriwidodo WS. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta TATA USAHA Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta - Dodi Sumarna - Djuni Pristiyanto ALAMAT REDAKSI - DR. Arini Setiawati Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbe.co.id/cdk Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta NOMOR IJIN DEWAN REDAKSI 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk. - Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Zahir MSc. Soebianto PENCETAK PT. Temprint http://www.kalbe.co.id/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected] Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup. Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. English Summary RHINOSCLEROMA ACUPUNCTURE FOR VERTIGO Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe Bambang Supriyatno, Lia Amalia Dept of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia Dept. of ENT, Adam Malik General Hospital, Medan, North Sumatra, Indonesia Laryngeal papilloma is a benign tumor frequently found in children. It is caused by strains of human papilloma virus (HPV) family. Practically all patients with laryngeal papilloma present with hoarseness or a weak voice; chronic cough, paroxysms of chocking; recurrent respiratory infections also may occur. Partial airway obstruction may manifest as stridor or chest retractions. Diagnosis can be confirmed using a flexible fiberoptic laryngoscope to visualize the larynx. Papillomata have a characteristic wart-like appearance, and tend to be concentrated on the free margins of true vocal folds, particularly at the anterior commissure. The mainstay of treatment is surgical ablation. The role of medications such as alphainterferon, acyclovir, ribavirin, and retinoic acid are still debatable. Rhinoscleroma is an endemic disease; in Indonesia it is found in North Sulawesi, North Sumatera and Bali. There is still no accurate and successful management method for this problem . LARYNGEAL PAPILLOMA IN CHILDREN Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 13-15 dmr,raa,fih Dept. of Acupuncture Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia Vertigo is a common complaint, referred to dizziness or a sense of imbalance, can be due to vestibular system disorder. The symptoms may cause anxiety and disturb the patient’s social life. Conventional treatment is still not satisfactory. This is a report of a 50 yearold female with vertigo, treated with acupuncture and showed good improvement. Cermin Dunia Kedokt.2004: 144; 8-10 bso, laa Fate is distinghished but an expensive tutor (Goethe) 4 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 47-51 ppi,lys Artikel TINJAUAN KEPUSTAKAAN Rinitis Atrofi Rizalina Arwinati Asnir Bagian/SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Rinitis atrofi sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk dan di negara yang sedang berkembang. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai saat ini belum dapat diterangkan secara jelas, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Kata kunci : rinitis atrofi, sosial ekonomi rendah. PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.1-11 Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1-9 Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.14,7,11,13 Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16 Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.1,2,4,11,17 Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi .1-5,11-15 SINONIM : Ozaena, rinitis fetida, rinitis krustosa.20 KEKERAPAN Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.1-4,7,11,13 Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,8 dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.9 Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.20 Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun,8 Jiang dkk berkisar 13-68 tahun9, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.20 Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16 Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun. ETIOLOGI Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16 Beberapa teori yang dikemukakan antara lain : 1) Infeksi kronik spesifik 1-4, 7,9,11,12,17 Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena 2) Defisiensi Fe1-4,7,12, vitamin A1,2,5,7,11 3) Sinusitis kronik1,2,5,12,16,18 5) Ketidakseimbangan hormon estrogen1-5,7,11 6) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun1-4,7,5,7 7) Teori mekanik dari Zaufal4,5 8) Ketidakseimbangan otonom 4,7,12,17 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 5 9) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)4,5,17 10) Herediter5,7,17 11) Supurasi di hidung dan sinus paranasal5,16 12) Golongan darah. Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui4,10 dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. PATOLOGI DAN PATOGENESIS Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik,3,4,5,9,11,12,15,16,19 dan fibrosis dari tunika propria.3,4,12, terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran3,4,11 dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.3,13 ;oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:3,4,21 Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.3,4 Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat.10,11 Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.10,11 Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.7 GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Keluhan biasanya berupa : hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.1-5,10-12 Pada pemeriksaan ditemui : rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/telur larva (karena bau busuk yang 6 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat21 : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.1,2,9,11 Diagnosis Banding Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.21 KOMPLIKASI4,8,11 Dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis hidung, hidung pelana. PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan adalah: menghilangkan faktor etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,2 Konservatif 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.1,2 Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.3 2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 c 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. 3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu 5) Preparat Fe 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas1-5,11-14 Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.3 Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.21 OPERASI Tujuan operasi antara lain untuk: menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1) Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2) Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.4,5,10-14,23 Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.22 PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.5 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. KESIMPULAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta. 22. 23. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung . Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok . Edisi ke 3. Jakarta : FKUI, 1997; 91-3, 113-4. Mangunkusumo E. Rinitis Atrofi. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta : FKUI, 1992; 90-2. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. Dalam : ScottBrown's Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 4/8/26-7. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. Madras : All India Publisher, 1993; 202-5. Kumar S. Fundamental of Ear,Nose & Throat Diseases and Head - Neck Surgery. Calcutta : The New Book Stall, 1996; 218-21. Lobo CJ, Hartley C, Farrington WT. Closure of the Nasal Vestibule in Atrophic Rhinitis-A new non surgical technique. J Laryngol Otol 1998; 112 : 543-6. Sayed RH, Elhamd KA, Kader MA. Study of Surfactant Level in Cases of Primary Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 2000; 114 : 254-9. Baser B, Grewal DS, Hiranandani NL. Management of Saddle Nose Deformity in Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 1990 ; 104 : 404-7. Jiang R,Hsu C,Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Postoperative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. Am J Rhinol 1998 ; 12 : 325-33. Groves J,Gray RF.A Synopsis of Otolaryngology. 4th Bristol:Wright, 1985; 193-411. Maqbool M. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th ed New Delhi : Jaypee Brothers, 1993; 264-7. Massegur H.Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. Dalam : XVI Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney, 1997; 1403-6. Maran AGD. Disease of the Nose, Throat and Ear. Singapore : PG Publishing, 1992; 40-1. Colman BH. Disease of the Nose, Throat and Ear and Head and Neck. 14th ed Singapore : ELBS, 1987; 26-7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases. A Pocket Reference. 2nd ed. New York : Georg Thieme Verlag, 1994; 218-9. Hagrass, Gamea AM, Sherief SG.Radiological and Endoscopic Study of the Sinus Maxilla in Primary Atrophic Rhinitis.J Laryngol Otol 1992 ;106: 702-3. Bertrand B, Doyen A, Elloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the Treatment of Atrophic Rhinitis:Technique and Results. Laryngoscope 1996; 106 : 652-7. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok , Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 1-4, 10-5, 229. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies (ed), Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya, C. Jakarta: EGC, 1996; 173-82, 221-2. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofi. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang, 1986; 549-55. Mewengkang N, Samsudin, Sutomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada Penderita Ozaena Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang: 1986; 576-80. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls. Vol.1. New York : Georg Thieme Publishers, 1980; 349-51, 381-2. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3rd Baltimore : Williams & Wilkins, 1996; 492, 499. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 7 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Papiloma Laring pada Anak Bambang Supriyatno, Lia Amalia Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai di saluran nafas anak; dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Etiologi pasti papiloma laring tidak diketahui; diduga berhubungan dengan infeksi human papiloma virus (HPV) tipe 6 dan 11. Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang buruk, infeksi saluran nafas kronik, kelainan imunologis, dan terdapatnya kondiloma akuminata pada ibu. Manifestasi klinis awal biasanya berupa suara serak sampai afonia serta suara tangisan yang abnormal. Papiloma laring pada anak dapat menyebar ke trakea dan bahkan sampai ke paru-paru. Diagnosis papiloma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laringoskopi langsung. Pada laringoskopi langsung dapat terlihat gambaran tumor menyerupai kembang kol, berwarna kemerahan, rapuh, mudah berdarah, dan pertumbuhannya eksofilik. Tatalaksananya berupa tindakan bedah dikombinasikan dengan fotodinamik; obat-obatan (medikamentosa) kurang berperan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah sumbatan jalan nafas serta penyebaran ke paru-paru. Prognosis kurang baik dalam hal rekurensi; pada anak angka rekurensi (kekambuhan) masih cukup tinggi. Kata kunci : papiloma laring, anak, rekurensi PENDAHULUAN Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai pada saluran napas anak. Papiloma laring pertama kali dikenal sebagai kutil di tenggorok (warts in the throat) oleh Donalus pada abad ke-17. Mc Kenzie memperkenalkan nama papiloma laring pada abad ke-19.1 Papiloma merupakan neoplasma laring jinak pada anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Papiloma laring pada anak dapat menjadi masalah jika menyumbat jalan napas. Selain itu papiloma laring mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan meluas ke struktur trakeobronkial. 8 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada saluran napas merupakan penyebab potensial papiloma laring. Mc Kenzie membedakan penyakit ini dari tumor lain secara klinis dan menggunakan istilah “papiloma”.2,3 Papiloma merupakan jenis tumor yang berkembang dengan cepat, walaupun tidak ganas. Tumor ini dapat menyebar ke rongga mulut, hidung, trakea dan paru, tetapi lokasi tersering adalah laring.4,5 Terdapat dua jenis papiloma laring; salah satu adalah papiloma laring juvenilis yang biasanya multipel dan cenderung agresif. Yang lain adalah papiloma laring senilis yang soliter dan kurang agresif tetapi dapat berkembang menjadi ganas. INSIDENS Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak, 80% pada kelompok usia di bawah 7 tahun.6 Agung7 melaporkan 7 kasus antara 1970-1976, 6 di antaranya di bawah 12 tahun. Sedangkan di Bagian THT RSCM ditemukan 14 kasus antara 1993-1997 dengan usia antara 2,5-18 tahun. ETIOLOGI Etiologi papiloma laring tidak diketahui dengan pasti. Diduga Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11 berperan terhadap terjadinya papiloma laring. Diduga ada hubungan antara infeksi HPV genital pada ibu hamil dan papiloma laring pada anak.8,9 Hal ini terbukti dengan adanya HPV tipe 6 dan 11 pada kondiloma genital. Walaupun penemuan di atas menunjukkan peran infeksi virus pada papiloma laring, tetapi ada faktor lain yang berperan., mengingat papiloma laring dapat menghilang spontan saat pubertas. Teori yang melibatkan faktor hormonal sebagai salah satu penyebab pertama kali dikemukakan oleh Holinger.10 Terdapat beberapa faktor predisposisi papiloma laring yaitu sosial ekonomi rendah dan higiene yang buruk, infeksi saluran napas kronik, dan kelainan imunologis.3,11-13 HISTOPATOLOGI Gambaran makroskopik papiloma laring berupa lesi eksofitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara spontan. 10 Gambaran mikroskopik menunjukkan kelompok stroma jaringan ikat dan pembuluh darah seperti jari-jari yang dilapisi lapisan sel epitel skuamosa dengan permukaan keratotik atau parakeratotik. Kadang-kadang muncul gambaran sel yang bermitosis.10 MANIFESTASI KLINIS Pada awalnya adalah gangguan fonasi berupa suara serak sampai afonia dan suara tangisan abnormal pada anak. Bila papiloma cukup besar dapat menyebabkan gangguan pernapasan berupa batuk, sesak, dan stridor inspirasi. Penyebaran ke trakea dan bronkus jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi pada pasien dengan riwayat ekstirpasi papiloma atau riwayat trakeostomi sebelumnya, yang menimbulkan sumbatan saluran napas atau penyakit parenkim paru. 14-16 Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas, sedangkan Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.7,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dengan laringoskopi langsung atau tak langsung serta dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada anamnesis jika terdapat suara serak dan suara tangisan yang abnormal pada anak dengan atau tanpa riwayat infeksi yang telah diobati tetapi tidak ada perubahan, maka perlu dicurigai suatu papiloma laring. Biasanya terdapat stridor inspirasi dan pada pemeriksaan laringoskopi langsung tampak gambaran tumor yang menyerupai kembang kol, kemerahan, rapuh, dan mudah berdarah, serta pertumbuhannya eksofilik. Penyebaran ke trakea dan paru dapat diidentifikasi melalui foto toraks dan CT Scan. Pada foto toraks dapat terlihat gambaran kavitas.17 Diagnosis banding Diagnosis sulit terutama pada fase awal. Sering disalah diagnosis dengan laringo-trakeo-bronkitis, asma bronkial, laringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan laringoskopi langsung dan biopsi.15 PENATALAKSANAAN Ada beberapa perangkat dalam tatalaksana papiloma laring, semuanya mempunyai prinsip sama yaitu mengangkat papiloma dan menghindari rekurensi. Umumnya terapi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bedah Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis laring. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan papiloma dan/atau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas. Beberapa teknik yang digunakan antara lain: trakeostomi, laringofissure, mikrolaringoskopi langsung, mikrolaringoskopi dan ekstirpasi dengan forseps, mikrokauter, mikrolaringoskopi dengan diatermi, mikrolaringoskopi dengan ultrasonografi, kriosurgeri, carbondioxide laser surgery.17,18 Pada kasus papiloma laring yang berulang, terapi bedah pilihan adalah pengangkatan tumor dengan laser CO2. b. Medikamentosa Pemberian obat (medikamentosa) pernah dilaporkan baik digunakan secara sendiri maupun bersama-sama dengan tindakan bedah. Obat yang digunakan antara lain antivirus, hormon (dietilstilbestrol), steroid, dan podofilin topikal. Terapi medikamentosa ini tidak terlalu bermanfaat.18-20 c. Imunologis Terapi imunologi untuk papiloma laring umumnya hanya suportif menggunakan interferon.18 d. Terapi fotodinamik Terapi ini merupakan satu dari perangkat terbaru dalam tatalaksana papilomatosis laring rekuren.14 Terapi ini menggunakan dihematoporphyrin ether (DHE) yang tadinya dikembangkan untuk terapi kanker. Jika diaktivasi dengan cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai (630 nm), DHE menghasilkan agen sitotoksik yang secara selektif menghancurkan sel-sel yang mengandung substansi tersebut. Basheda dkk. melaporkan bahwa terapi fotodinamik efektif menghilangkan lesi endobronkial, tetapi tidak untuk lesi parenkim. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 9 KOMPLIKASI Pada umumnya papiloma laring pada anak dapat sembuh spontan ketika pubertas; tetapi dapat meluas ke trakea, bronkus, dan paru, diduga akibat tindakan trakeostomi, ekstirpasi yang tidak sempurna.13 Meskipun jarang, radiasi diduga menjadi faktor yang mengubah papiloma laring menjadi ganas. 7. 8. 9. 10. PROGNOSIS Prognosis papiloma laring umumnya baik. Angka rekurensi (berulang) dapat mencapai 40%. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi pada papiloma.16 Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi. Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 10 Harley C, Hamilton, Birzgalis AR. Recurrent respiratory papillomatosis. The Manchester experience 1974-1992. Laryngol and Otol 1994; 108:226-9. Kohlmoos HW. Papilloma of the larynx in children. Arch Otolaryngol 1995; 11:242-52. Elo J, Hidvigi J, Bajtai A. Papova viruses and recurrent laryngeal papillomata. Arch Otolaryngol 1995; 115:322-5. Erisen L, Fagan JJ, Myers EN. Late recurrences of laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122:942-4. Kashima H, Mounts P, Leventhal B. Sites of predilection in recurrent respiratory papillomatosis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:580-3. Steinberg BM, Topp WC, Schneider PS, et al. Laryngeal papillomavirus infection during clinical remission, N Engl J Med 1983; 308:1261-4. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Agung IB, Losin. Pengelolaan papiloma laring di Bagian THT FK-UGM. Laporan pendahuluan KONAS PERHATI V Semarang, 1977; .h.669-75. Smith EM, Pignatari SSN, Gray SD. Human papillomavirus infection in papillomas and nondisease respiratory sites of patients with recurrent respiratory papillomatosis using the polymerase chain reaction. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:554-7. Derkay CS. Task force on recurrent respiratory papillomas. A preliminary study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 121:1386-91. Abramson AL, Steinberg BM, Winkler B. Laryngeal papillomatosis: clinical histopathologic and molecular studies. Laryngoscope 1987; 97:678-85. Yasin AR. Penelitian pendahuluan pada papiloma laring. Skripsi. THT FKUI, 1982. Mulloly VM, Abramson AL, Steinberg BM. Clinical effect of alpha interferon dose variation on laryngeal papillomas. Laryngoscope 1998; 98:1324-9. Bashida SG, Mehta AC, de Boer G, Orlowski JP. Endobronchial and parenchymal juvenile laryngotracheobronchial papillomatosis effect of photodynamic therapy. Chest 1991; 100:1458-64. Shikowitz MJ. Comparison of pulsed and continuous wave light in photodynamic therapy of papillomas: An experimental study. Laryngoscope 1992; 102:300-10. Ossof RH, Werkheven JA, Dere H. Soft tissue complication of laser surgery for reccurent papillomatosis. Laryngoscope 1991; 101:1162-6. Rimell EM, Shoemaker DL, Pou AM. Pediatric respiratory papillomatosis. Prognostic role of viral typing and cofactors. Laryngoscope 1997; 107:915-47. White A, Haliwell M, Fairman DH. Ultrasonic treatment of laryngeal papillomata. Bristol General Hospital. h.249-60. Haglund S, Lundwuist P, Cantell K. Interferon therapy in juvenile laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol 1981; 107:327-32 Green GE, Bauman NM, Smith RJH. Pathogenesis and treatment of juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:187-207. Derkay CS, Darrow DH. Recurrent respiratory papillomatosis of the larynx. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:1-12. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Kista Duktus Tiroglosus Hafni Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Kista duktus tiroglosus merupakan 70 % dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini lebih sering terjadi pada anak. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya. Kata kunci : Kista duktus tiroglosus, kekambuhan PENDAHULUAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea.1-11 Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher.4,5 Kista ini biasanya terletak di garis median leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid.4-10,12 Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus yang banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya, bagian tengah korpus hiod, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen saekum serta mengangkat otot lidah di sekitarnya, seperti yang dilakukan Sistrunk pada tahun 1920.1,3,4,5,9,10,13 KEKERAPAN Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non neoplastik di leher, merupakan 40% dari tumor primer di leher.1,13,14 Ada penulis yang menyatakan hampir 70% dari seluruh kista di leher adalah kista duktus tiroglosus.5,6 Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak,10,14 walaupun dapat ditemukan di semua usia.4,9,10,12 Predileksi umur terbanyak antara umur 0 – 20 tahun yaitu 52%, umur sampai 5 tahun terdapat 38%.4,11 Sistrunk (1920) melaporkan 31 kasus dari + 86.000 pasien anak.3 Tidak terdapat perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa didapat dari lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun.3,5 Penulis lain mengatakan predileksi usia kurang dari 10 tahun sebesar 31,5%, pada dekade ke dua 20,4%, dekade ke tiga 13,5% dan usia lebih dari 30 tahun sebesar 34,6%.1,5 Waddell mendapatkan 28 kasus kista duktus tiroglosus secara histologik dari 61 pasien yang diduga menderita kista tersebut.12 Tri D dkk melaporkan 8 kasus kista duktus tiroglosus dari 1983-1985 di RS Kariadi Semarang.11 PATOGENESIS Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus : 1) infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami degenerasi kistik. 2) sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista. Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga terbentuklah kista.1 LOKASI Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid.11 Lokasi yang sering adalah1,5 : - intra lingual : 2,1% - suprahioid : 24,1% - tirohioid : 60,9% - suprasternal : 12,9% Sedangkan Ward4 mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya terdapat di: Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 11 - submental : 2 - suprahioid : 18 - transhioid : 2 - infrahioid : 43 - suprasternal : 3 Hanlon mendapatkan 1 kasus kista duktus tiroglosus yang lokasinya jauh ke lateral.8 4) Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu sentimeter. 5) Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali.5,11 GEJALA KLINIK Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah.1,6,7,10 Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadangkadang lebih besar.9 Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien mengeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah. KOMPLIKASI Fistel duktus tiroglosus dapat timbul spontan atau sekunder akibat trauma, infeksi atau operasi yang tidak adekuat. Kejadian fistel ini antara 15-34%.5 DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen.2,6,11 Diagnosis Banding 1. Lingual tiroid 2. Kista dermoid KESIMPULAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang tetap ada sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid. Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher. Biasanya terletak di garis median leher yang dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid. Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, walaupun dapat ditemukan pada semua usia. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus dengan cara Sistrunk yang sudah banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan. KEPUSTAKAAN 1. 3. 4. Kista brankial Lipoma1,11 2. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60-100%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktusduktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.11 Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 %.5,11 3. Cara Sistrunk : 1) Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi terlentang, kepala dan leher hiperekstensi. 2) Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan berbentuk elips megelilingi lubang fistula. 3) Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan memanjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya. 10. 12 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 4. 5. 6. 7. 8. 9. 11. 12. 13. 14. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 5/16/14. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 295-6, 381-2. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1996; 415-21. Karmody CS. Developmental Anomalies of the Neck. Dalam: Pediatric Otolaryngology. 2nd ed. Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1990; 1313-14. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head and Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1987; 1362-69. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2nd ed. Vol. II. Philadelphia : Lea & Febiger, 1989; 88. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore : ELBS, 1987; 183. O’Hanlon DM, Walsh N, Corry J et al. Aberrant thyroglossal cyst. J. Laryngol. Otol. 1994; 108 : 1105-7. Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam : Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al. Philadelphia : JB Lippincott Co, 19; 755. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae. Dalam : Scott-Brown’s Otolaryngology. 6th ed. Oxford: Butterworth – Heinemann, 1997; 6/30/8-12. Damijanti T, Suparjadi S, Samsudin. Tata Laksana Kiste Duktus Tiroglosus di UPF THT RSDK Semarang Th. 1983 - 1985. Dalam : Kumpulan Naskah Konas VI Perhati. Ujung Pandang. 1986; 760-7. Waddell A, Saleh H, Robertson N et al. Thyroglossal duct remnants. J. Laryngol. Otol. 2000; 114: 128-9. Urben SL, Ransom ER. Fusion of the thyroid interval in a patient with a thyroglossal duct cyst. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 120 (5): 757-9. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Rinoskleroma Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan ABSTRAK Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang. PENDAHULUAN Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.1-7 Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll (1918) di Sumatera Utara.2 Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8 Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pembedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan.6,8 Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempitan rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus. Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif (Klebsiella rhinoscleromatis).1,8-10 Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini.2,8,9 Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung sebagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga me- nimbulkan deformitas yang luas.8,10 Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi spesimen yang memperlihatkan sel-sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma.5,7 INSIDEN Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda.1,2,9 Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek.1,2 Belinoff melaporkan 94,5 % terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani.8 Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.8,9,11 Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia.2-4,7,9,11,13-16 Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8 ETIOLOGI Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif.1-16 Penyakit ini juga dihubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.2,7 HISTOPATOLOGI Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histo- Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 13 patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit. Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.9 Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granulomatosa2,9,12 1. Stadium kataral/ atropik Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan jaringan granulasi. 2. Stadium granulomatosa Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epiteliomatosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella rhinoskleromatis (Mikulicz sel). 3. Stadium sklerotik Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelainan bentuk. GEJALA KLINIS Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit.1 Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium 1,2,8-11,14: - Stadium I (Kataralis, Atrofi, Eksudasi) Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman. - Stadium II (Granulomatous, Infiltratif, Noduler) Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior). - Stadium III (Skleromatous, Stenosis, Sikatrik) Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus. 14 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah. Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granulomatosa yang mengeras.1,6,8,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi : rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.1,2,7,810,14,15 Diagnosis Banding2,7,13,15 1. Proses infeksi granulomatosa a. Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra b. Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksidioidomikosis c. Parasit : Leismaniasis mukokutaneus 2. Sarkoidosis 3. Wegener granulomatosis PENATALAKSANAAN Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan.6,8 1. Medikamentosa Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain: - Streptomisin : 0,5-1 g/ hari - Tetrasiklin : 1-2 g/ hari - Rifampisin 450 mg/ hari - Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin1,2,710,11,13-15 Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif.8 Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetrasiklin dengan hasil yang memuaskan.9 Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.3,10 2. Radiasi Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan.8,11 3. Dilatasi Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.1,9 4. Pembedahan Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang terbatas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas (seperti pada skleroma laring) harus dilakukan trakeostomi.1,4,7,9,10,13,14,16 KOMPLIKASI Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke : 1. Organ sekitar hidung : - Sinus paranasal - Saluran lakrimal (dakrioskleroma) - Orbita : proptosis, kebutaan - Telinga bagian tengah (otoskleroma) - Palatum mole, uvula, orofaring 2. Laring, sering timbul di daerah subglotik yang mengakibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian. 3. Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru. 4. Intrakranial Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat juga timbul berupa perdarahan (pada stadium granulomatosa) dan berdegenerasi maligna.1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. KEPUSTAKAAN 1. Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h 457-66. 15. 16. http//www.atlases.muni.ce/atl-en/sect-sect-58/html. Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies (ed). Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h 210. Yigla M, Ben-izhak O, Oren I et al. Laryngotracheobronchial involvement in a patient with nonendemic rhinoscleroma. Chest. June 2000. http//www.afip.org/departements/endocrine/case/dec00/december2 htm. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p. 1851-52. Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h 368-70. Groves C. Department of pathology. Vol 17. No 4. January. 1998. http//www.162.129.103.32/micro/v17n04.htm. Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Dalam : Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h 128-34. Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p. 603-7. Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p. 2089. Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Brown’s Otolaryngology. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4/8/34-35 Rhinoscleroma http//www.thedoctorsdoctor.com/diseases/rhinoscleroma. htm Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p. 40. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h 224556. Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p. 206-7. Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p. 61. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 15 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Kanker Nasofaring Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir R. Susworo Guru Besar dan Spesialis Radiologi (Konsultan) Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta PENDAHULUAN Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam tahapan tahapan yang disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel manusia yang mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak normal dan berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain disebutkan faktor makanan, seperti konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor eksternal seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus. Berbagai kekacauan struktur ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan dengan kanker payudara atau indung telur (ovarium), atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker nasofaring. Perubahan genetik ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom (chromosome breaks) dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat diturunkan Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada kelainan struktur gen yang diturunkan. KANKER NASOFARING (KNF) Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi dan di atas bagian bebas dari langit langit lunak. Yang disebut KNF adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk1. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai 16 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita. Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika bagian utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000.2 Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun.3 Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan. Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). 4 Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), (yang dinamai sesuai dengan penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma Burkitt pada 1960), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.5 Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine= CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB6. GEJALA KLINIS KNF Karena tidak ada gejala spesifik yang dijumpai pada penderita KNF, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Berbeda halnya dengan kanker leher rahim dan kanker payudara yang masing-masing dapat terdeteksi dengan metode pemeriksaan sitopatologik Papanicolaou dan mamografi; sampai saat ini belum ada metode penyaring yang paling efektif untuk deteksi dini KNF. Pemeriksaan titer antibodi IgA terhadap antigen yang diproduksi oleh virus Epstein Barr ternyata hanya bernilai untuk mengevaluasi respons dan kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pada awalnya pasien mengeluh pilek pilek biasa, kadang kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi perdarahan dari hidung (mimisan). Keluhan telinga dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eustachii yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam ruang telinga tengah dan udara luar. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini yang tidak jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. Pemberian pengobatan terhadap pembesaran kelenjar yang dianggap tbc tanpa pemeriksaan yang benar tentunya akan sangat merugikan penderita secara moril maupun materiil mengingat pengobatan tbc memerlukan waktu yang lama. Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi makin besar, maka dapat dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Keterlambatan diagnosis lain yang pernah terjadi adalah karena kegagalan mencari penyebab keluhan sakit kepala yang terus menerus. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena pemeriksaan CT scan / MRI dilakukan hanya pada jaringan otak saja, padahal nyeri kepala yang timbul dapat merupakan akibat desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Yang selanjutnya terjadi biasanya pasien ini akan memperoleh pengobatan nyeri kepala dalam jangka panjang dan pemeriksaan berulang ulang terhadap otaknya sampai akhirnya muncul salah satu gejala akibat KNF. Selain mendesak dasar tengkorak KNF juga seringkali menyerang saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang mengakibatkan pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik, keluhan sensorik yang sering timbul adalah rasa baal di wajah. Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan atau MRI nasofaring dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologik jaringan nasofaring. Sedangkan pemeriksaan lain, seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop (bone scanning) dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimanapun akan mengubah stadium penyakit dan mempunyai konskuensi terhadap tujuan pengobatan. PENGOBATAN Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah terapi radiasi. Kombinasi pengobatan dengan khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 17 yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobalt (Co60) atau dengan akselerator linier (Linear Accelerator atau Linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intensified Modulated Radiation Therapy) telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan Filipina telah memilikinya. Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak. dengan kekeringan pada mukosa mulut (xerostomia). Bila saliva yang mempunyai fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi. Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. PENUTUP Sekalipun KNF tidak selalu memberikan gejala yang spesifik, dianjurkan untuk tidak meremehkan gejala gejala seperti yang diutarakan di atas. Berkonsultasi ke dokter keluarga atau langsung ke dokter spesialis THT merupakan tindakan yang tepat. Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. (Lihat lampiran/ halaman 19). KEPUSTAKAAN 1. EFEK SAMPING PENGOBATAN Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau akan mengikutsertakan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka efek samping akut di atas akan menghilang dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi terjadilah disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti 2. 3. 4. 5. 6. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. In : Tjokronagoro A, Himawan S, Yusuf A, Azis MF, Susworo, Djakaria M. (Eds). Cancer in Asia and Pacfic. YKI. Jakarta Indonesia 1988; p. 471–86. Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D and Fraumeni JF (eds). Cancer epidemiology and prevention. 2nd. ed. N. York: Oxford University Press, 1996; p. 603 –18. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimates of the world-wide incidence of 25 major cancers in 1990. Int J Cancer; 1990; 80: 827–41. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer Incidence in Five Continents. Vol. 7, Lyon, France : IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press, 1997. Yu MC, Ho JHC, Ross RK, Henderson BE. NPC in Chinese – Salted fish or inhaled smoke? Prev Med. 1981; 10: 15-24. Hildesheim A et al. Herbal medicine use, Epstein Barr virus, and risk of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res. 1992; 52: 3048 –51. The flame of glory is the torch of the mind 18 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 LAMPIRAN : Gambar 1. Pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang ternyata merupakan metastasis dari KNF Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna (Linear Accelerator) Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang sedang memperoleh radiasi. Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 19 HASIL PENELITIAN Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat Retno Gitawati, Ani Isnawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ABSTRAK Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman); salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian “Pola sensitivitas kuman hasil usap tenggorok penderita tonsilo-faringitis akut terhadap Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat”. Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap antimikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI. Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus βhemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus β-hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin berturut–turut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20%. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%. Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis PENDAHULUAN Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama infeksi pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran per20 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %. serta lebih dari 50% penyebabnya adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman penyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophillus(2), dan untuk mengatasinya seringkali digunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(4). Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diduga paling banyak diberikan untuk infeksi saluran napas, dan sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitasnya, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA. Untuk maksud tersebut telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. BAHAN DAN CARA Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999. Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 – 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 400C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit. Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 370C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golongan betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan. HASIL Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, (Tabel 1). Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus β-haemolyticus (6.11%), Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi (Tabel 2). Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen tenggorok No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jenis (spesies) kuman Streptococcus viridans Branhamella catarrhalis Streptococcus β-haemolyticus Streptococcus pneumoniae Streptococcus non-haemolyticus Klebsiella pneumoniae Acinobacter spp. Yeast (ragi) Staphylococcus aureus Alkaligenes dispar Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus epidermidis Jumlah usap Jumlah (%) 71 (54.2) 30 (22.9) 8 (6.11) 5 (3.82) 5 (3.82) 4 (3.05) 2 (1.53) 2 (1.53) 2 (1.53) 1 (0.76) 1 (0.76) 1 (0.76) 132 (100) Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman terhadap antimikroba betalaktam di atas dapat dilakukan penghitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000), dengan cara atau rumus sebagai berikut: % R total antimikroba “A” = (% kuman “X” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “X”)/100 + (% kuman “Y” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “Y”)/100 + (% kuman “Z” x % R antimikroba “A” terhadap kuman “Z”)/100. (R = resistensi) Hasil penghitungan total resistensi berbagai kuman tersebut di atas terhadap antimikroba betalaktam (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan total resistensi tertinggi kumankuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04%, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berturut-turut 9.93% dan 5.35%. Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin. DISKUSI Hasil usap tenggorok mendapatkan 12 jenis kuman yang mencakup kuman gram negatif dan kuman gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan adalah S. viridans sebanyak 54.2 %; berbeda dengan yang dilaporkan Sugito(8) yaitu sebanyak 25 % dan Hartono(9) mendapatkan kuman tersebut 31,43 % pada penderita infeksi saluran pernafasan atas. Untuk kuman S. B hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %, tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(8) sebanyak 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(9) 25,71 %. Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai penyebab endokarditis. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 21 Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam Isolat kuman S. viridans B. catarrhalis S. β-haemolyticus S. pneumoniae S. non-haemolyticus K. pneumoniae Acinobacter spp. Yeast (ragi) S. aureus Alkaligenes spp. P. aeruginosa S. epidermidis % Isolat kuman 54.2 22.9 6.11 3.82 3.82 3.05 1.53 1.53 1.53 0.76 0.76 0.76 PeG 2.82 30.0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 Amx 2.82 0 0 0 0 0 0 100 50 100 100 0 Sulb 0 0 0 0 0 0 0 100 0 100 0 0 % resistensi antimikroba Cefoti Ceftri Cefota 1.41 4.23 4.23 0 3.33 3.33 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 0 0 20 0 0 50 0 100 100 100 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 0 Cefpi 0 3.33 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 Cefep 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 Cefrad 73.33 53.52 87.5 40.0 80.0 100 0 100 0 100 100 0 Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenislin; Cefoti = Cefotiam; Ceftri = Ceftriakson; Cefota = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome; Cefep = Cefepime; Cefrad = Cefradin. Tabel 3. Total resistensi isolat antimikroba betalaktam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Antimikroba Cefradin Penisilin-G Ceftriakson Cefotaksim Amoksisilin Cefotiam Cefpirome Sulbenisilin Cefepime kuman usap tenggorok terhadap % total resistensi 68.04 9.93 6.87 5.57 5.35 3.05 2.52 2.29 1.53 Total resistensi tertinggi kuman isolat tenggorok adalah terhadap Cefradin sebesar 68,04 %, diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba golongan sefalosporin generasi I dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom (UK) tahun 1998(10) untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba penisilin spektrum luas sebanyak 53,2 %, makrolid 15 %, penisilin spektrum sedang dan sempit 13,0 %, sefalosporin 7,7 %. Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan B Laktam, Makrolid dan Fluorokuinolon. Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan faringitis) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan pilihan ke empat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin(2). Resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian Josodiwondo (1996) sebesar 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo dkk (1986) sebesar 3,2 % dan 66,7 %; tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh penelitian ini yaitu 2,82 %, namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %. Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-akhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga terhadap golongan sefalosporin, karena mampu 22 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya, kecuali sefalosporin generasi ke tiga (11,12). .Penggunaan yang tidak rasional misalnya pemakaian berlebihan akan mempercepat resistensi, selain itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi kesembuhan; sering tidak ada korelasi antara konsentrasi ham-bat minimum (MIC) kuman dan kesembuhan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh jika terinfeksi bakteri yang sensitif, akan tetapi 9 % penderita meninggal dunia; sedangkan bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10). KESIMPULAN Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies, lima kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus β-hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi terhadap antimikroba Cephradin berturut– turut adalah 46,48%; 26,67%; 12,5%; 60% dan 20%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 70%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 80%. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob di Bidang THT. MKI 4 (2/3): 56-60. Dirjen Binkesmas. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasarkan Gejala, Departemen Kesehatan R I. 1996. Josodiwondo S. Perkembangan Kepekaan Kuman terhadap Antimikroba Saat Ini. MKI 1996; 46(9): 467-76. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute respiratory infections for the under five children among general practitioners. Berkala Ilmu Kedokteran 1997 . Trihendrokesowo dkk. Macam Kuman (dari pelbagai bahan pemeriksaan di Yogyakarta) dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik. MKI 1987; 2 (1): 6-12. 6. 7. 8. 9. Suprihati. Faktor Resiko Streptococcus hemolitikus Beta Grup A pada Penderita Saluran Nafas Atas di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Bag Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNDIP. Laporan penelitian 1998. Herman MJ. Antibiotik Beta Laktam. Jakarta, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1994. Sugito, Tarigan HMM, Nukman R. Epidemiologi dan Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI, Surakarta,1988. Hartono TE, Wibisono MY, Rai IB, Idajadi A. Pola bakteriologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Dalam Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI , Surakarta , 1988. 10. Jones A. Antimicrobial Pharmacodynamics in Respiratory Tract Infection: New Approach in Determining Patient Response to Antibiotic Therapy, Med Progr January 2003, 11. Sirot S, Sirot J, Saulnier P. Resistance to Betalactams in Enterobacteriaceae, distribution of phenotypes related to beta lactamase production. J Internat Med Res 1986; 14:193-9. 12. Slombe B. Beta Lactamase, Occurrence and Classsification. In : Rolinson GN, Watson A, (eds). Augmentin Clavulanate Pontetiated Amoxycillin. Amsterdam : Excerpta Medica 1980; 6-17. KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE JULI-SEPTEMBER 2004 Bulan Tanggal 10 Kegiatan Telemedicine Network in Indonesia, How is the Benefit for Family Doctors 10-11 The First Indonesian Symposium on Interventional Pediatric Cardiology 12-14 Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kedokteran Anak IDAI Juli 13-15 16 16-18 PIT XIV POGI : " Meningkatkan Profesionalisme Berlandaskan Etika Melalui Kerjasama Antar Pusat Pendidikan Obstetri dan Ginekologi dalam Era Pasar Bebas " Mekanisme Molekuler Patogenesis Virus RNA dan Perannya Dalam Perkembangan Bioteknologi Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular III & KARIMUN III Konker PGI-PEGI-PPHI 31-1/8 PIT IX Ilmu Penyakit Dalam 6-8 11-13 Agustus 13-15 28 17-18 25-26 September Pelatihan Asuhan Nutrisi pada Diabetes 11th International Symposium on Shock and Critical Care : New Insight in Diagnosis, Management and Therapy in Critical Care Medicine Seminar Sehari Kedokteran Kesehatan Kerja: Peran K3 dalam Meningkatkan Perlindungan Pekerja dan Produktivitas Kerja The 6th Int. Meeting on Respiratory Care Ind. (Respina V) 5 Tahun Pertemuan Ilmiah Berkala Ilmu Penyakit Dalam (PIB V IPD) FK Unand Recent Advances and Challenges in Endoscopic Surgery in Asia Pacific 26-29 30-3/10 2nd Indonesia - International Symposium on Infection Control Tempat dan Sekretariat Lt. 5, Gedung AR Fachruddin, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah, Ringroad Selatan Yogyakarta Telp. : 0274-37430, Faks. : 0274-37430 Website: http://telmed.fkumy.net Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : 0778-7024522, Fax : 0778-421352 E-mail : [email protected] Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : (021)-3148610, Fax : (021)-3913982 Website : www.idai.or.id Hotel Horison, Bandung Telp. : 022-2039086 / 2035042, Fax : 022-2035042 E-mail : [email protected] website : www.obgyn-bandung.org KPP Bioteknologi ITB, Bandung Telp. : 022-2534115, Fax : 022-2511612 E-mail : [email protected], [email protected] Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. : 021-31934636, Fax : 021-3161467 Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta Telp. : 0274-587555, Fax : 0274-565639 E-mail: [email protected] Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. : 021-330956, Fax : 021-3914830 Website : www.interna.or.id Jakarta, Telp. : 021-3928658,3907703, Fax : 021-3928659 E-mail : [email protected] Bali International Convention Center Telp. : 021-5684085 ext. 1242, Fax : 021-56961530 E-mail: [email protected] Karawaci, Tangerang Telp.: 021-79184052 Website: http://www.idki.or.id Jakarta Convention Centre Telp. : 021-4786 4646, Fax : 021-4786 6543 Email : [email protected] Web-site : www.respina.com/index.php Hotel Bumi Minang, Padang Telp. : 0751-37771, Fax : 0751-37771 Email: [email protected] Website : www.internafkunand.or.id Hotel Grand Hyatt, Bali Telp. : 021-4532202, 6685070, 6685006 Fax : 021-4535833, 6684878 Email : [email protected], [email protected] Website : www.pluit-hospital.co.id Bali, Telp. : 021-3919653, Fax : 021-3919653 Email: [email protected] Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 23 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja Novi Arifiani Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta PENDAHULUAN Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian orang merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap sangat mengganggu. Secara definisi, suara yang tidak dikehendaki itu dapat dikatakan sebagai bising.Bising yang di dengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh. Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya. Akibatnya kebisingan makin dirasakan mengganggu dan dapat memberikan dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung akibat kebisingan ini sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan, maka bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan pendidikan. Trauma akustik ataupun gangguan pendengaran lain yang timbul akibat bising di tempat kerja, gangguan sistemik yang timbul akibat kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mengenali pengaruh bising terhadap kesehatan tenaga kerja, melakukan deteksi dini dan pengendalian bising di tempat kerja. Pembahasan pada tulisan ini hanya akan dibatasi pada efek kebisingan terhadap kesehatan terutama kemampuan pendengaran, cara mendeteksi gangguan pendengaran akibat kebisingan, serta tatalaksana gangguan pendengaran akibat kebisingan. ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN Sebelumnya akan dibahas secara singkat anatomi dan fisiologi pendengaran. Anatomi Telinga Secara anatomi, telinga dapat dibagi menjadi tiga yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga luar berfungsi 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi energi getaran sampai ke gendang telinga. Telinga tengah menghubungkan gendang telinga sampai ke kanalis semisirkularis yang berisi cairan. Di telinga tengah ini, gelombang getaran yang dihasilkan tadi diteruskan melewati tulang-tulang pendengaran sampai ke cairan di kanalis semisirkularis; adanya ligamen antar tulang mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari gendang telinga. Telinga dalam merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan menghantarkan rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia. Konduksi Tulang Konduksi tulang adalah konduksi energi akustik oleh tulang-tulang tengkorak ke dalam telinga tengah, sehingga getaran yang terjadi di tulang tengkorak dapat dikenali oleh telinga manusia sebagai suatu gelombang suara. Jadi segala sesuatu yang menggetarkan tubuh dan tulang-tulang tengkorak dapat menimbulkan konduksi tulang ini. Secara umum tekanan suara di udara harus mencapai lebih dari 60 dB untuk menimbulkan efek konduksi tulang ini. Hal ini perlu diketahui, karena pemakaian sumbat telinga tidak menghilangkan sumber suara yang berasal dari jalur ini. Respon auditorik Jangkauan tekanan dan frekuensi suara yang dapat diterima oleh telinga manusia sebagai suatu informasi yang berguna, sangat luas. Suara yang nyaman diterima oleh telinga kita bervariasi tekanannya sesuai dengan frekuensi suara yang digunakan, namun suara yang tidak menyenangkan atau yang bahkan menimbulkan nyeri adalah suara-suara dengan tekanan tinggi, biasanya di atas 120 dB. Ambang pendengaran untuk suara tertentu adalah tekanan suara minimum yang masih dapat membangkitkan sensasi auditorik. Nilai ambang tersebut tergantung pada karakteristik suara (dalam hal ini frekuensi), cara yang digunakan untuk mendengar suara tersebut ( melalui earphone, pengeras suara, dsb), dan pada titik mana suara itu diukur ( saat mau masuk ke liang telinga, di udara terbuka, dsb). Ambang pendengaran minimum (APM) merupakan nilai ambang tekanan suara yang masih dapat didengar oleh seorang yang masih muda dan memiliki pendengaran normal, diukur di udara terbuka setinggi kepala pendengar tanpa adanya pendengar. Nilai ini penting dalam pengukuran di lapangan, karena bising akan mempengaruhi banyak orang dengan banyak variasi. Pendengaran dengan kedua telinga lebih rendah 2 sampai 3 dB. Jika seseorang terpajan pada suara di atas nilai kritis tertentu kemudian dipindahkan dari sumber suara tersebut, maka nilai ambang pendengaran orang tersebut akan meningkat; dengan kata lain, pendengaran orang tersebut berkurang. Jika pendengaran kembali normal dalam waktu singkat, maka pergeseran nilai ambang ini terjadi sementara. Fenomena ini dinamakan kelelahan auditorik. Kekuatan suara Kekuatan suara adalah suatu perasaan subjektif yang dirasakan seseorang sehingga dia dapat mengatakan kuat atau lemahnya suara yang didengar. Kekuatan suara sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan suara yang keluar dari stimulus suara, dan juga sedikit dipengaruhi oleh frekuensi dan bentuk gelombang suara. Pengukuran kekuatan suara secara umum dapat dilakukan dengan cara : 1) pengukuran subyektif dengan menanyakan suara yang didengar oleh sekelompok orang yang memiliki pendengaran normal dan yang dijadikan patokan adalah suara dengan frekuensi murni 1000 Hz, 2). Dengan menghitung menggunakan pita suara 2 atau 3 band, 3). Mengukur dengan alat yang dapat menggambarkan respon telinga terhadap suara yang didengar. Masking Karakteristik lain yang cukup penting dalam menilai intensitas suara adalah masking. Masking adalah suatu proses di mana ambang pendengaran seseorang meningkat dengan adanya suara lain. Suatu suara masking dapat didengar bila nilai ambang suara utama melampaui juga nilai ambang untuk suara masking tersebut. Sensitivitas Pendengaran Kemampuan telinga untuk mengolah informasi akustik sangat tergantung pada kemampuan untuk mengenali perbedaan yang terjadi pada stimulus akustik. Pemahaman percakapan dan identifikasi suara-suara tertentu, atau suatu alunan musik tertentu merupakan suatu proses harmonis di dalam otak manusia yang mengolah informasi auditorik berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan waktu yang didengar untuk masing-masing rangsangan auditorik tersebut. Pebedaan kecil tekanan suara akan didengar oleh telinga sebagai kuat atau lemahnya suara. Makin tinggi tekanan udara, makin kecil perbedaan yang dapat dideteksi oleh telinga manusia. Perbedaan minimum yang dapat dibedakan pada frekuensi suara yang sama tergantung pada frekuensi suara tersebut, nilai ambang di atasnya, dan durasi. Lokalisasi Sumber Bunyi Telinga mampu melokalisasi sumber suara/bunyi. Kemampuan ini merupakan kerja sama kedua telinga karena didasarkan atas perbedaan tekanan suara yang diterima oleh masing-masing telinga, serta perbedaan saat diterimanya gelombang suara di kedua telinga. Kemampuan telinga untuk membedakan sumber suara yang berjalan horizontal lebih baik daripada kemampuannya untuk membedakan sumber suara yang vertikal. Kemampuan ini penting untuk memilih suara yang ingin didengarkan dengan mengacuhkan suara yang tidak ingin didengarkan. GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat kebisingan adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara ambang pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran setelah adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran ambang pendengaran ini dapat berlangsung sementara namun dapat juga menetap. Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu trauma akustik, perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara (noiseinduced temporary threshold shift) dan perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen (noiseinduced permanent threshold shift). Pajanan bising intensitas tinggi secara berulang dapat menimbulkan kerusakan sel-sel rambut organ Corti di telinga dalam. Kerusakan dapat terlokalisasi di beberapa tempat di cochlea atau di seluruh sel rambut di cochlea. Pada trauma akustik, cedera cochlea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Namun pada pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses fisika semata, namun juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan merangsang sel-sel tersebut. Akibat rangsangan ini dapat terjadi disfungsi sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang pendengaran sementara atau justru kerusakan sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang pendengaran yang permanen. Trauma Akustik Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan getaran ke organ Corti. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga, kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ Corti. Penderita biasanya tidak sulit untuk menentukan saat terjadinya trauma yang menyebabkan kehilangan pendengaran. Noise-Induced Temporary Threshold Shift Pada keadaan ini terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran secara sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan bersifat reversibel. Untuk menghindari kelelahan auditorik, maka ambang pendengaran diukur kembali 2 menit Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 25 setelah pajanan suara. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang pendengaran ini adalah level suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji, spektrum suara, dan pola pajanan temporal, serta faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status kesehatan, obat-obatan (beberapa obat dapat bersifat ototoksik sehingga menimbulkan kerusakan permanen), dan keadaan pendengaran sebelum pajanan. Noise-Induced Permanent Threshold Shift Data yang mendukung adanya pergeseran nilai ambang pendengaran permanen didapatkan dari laporan-laporan dari pekerja di industri karena tidak mungkin melakukan eksperimen pada manusia. Dari data observasi di lingkungan industri, faktor-faktor yang mempengaruhi respon pendengaran terhadap bising di lingkungan kerja adalah tekanan suara di udara, durasi total pajanan, spektrum bising, alat transmisi ke telinga, serta kerentanan individu terhadap kehilangan pendengaran akibat bising. Memeriksa pendengaran Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak keluarga. Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran. Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan suatu keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang lebih baik, sedangkan pemeriksaan Schwabach memendek. Untuk menilai ambang pendengaran, dilakukan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan ini terdiri atas 2 grafik yaitu frekuensi (pada axis horizontal) dan intensitas (pada axis vertikal). Pada skala frekuensi, untuk program pemeliharaan pendengaran (hearing conservation program) pada umumnya diwajibkan memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000 Hz karena ini 26 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 merupakan frekuensi kritis yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan pendengaran dengan pekerjaan; tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan atau karena sebab yang lain. Pemeriksaan audiometri ini tidak secara akurat menentukan derajat sebenarnya dari gangguan pendengaran yang terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti lingkungan tempat dilakukannya pemeriksaan, tingkat pergeseran ambang pendengaran sementara setelah pajanan terhadap bising di luar pekerjaan, serta dapat pula permasalahan kompensasi membuat pekerja seolah-olah menderita gangguan pendengaran permanen. Prosedur pemeriksaan lain untuk menilai gangguan pendengaran adalah speech audiometry, pengukuran impedance, tes rekruitmen, bahkan perlu juga dilakukan pemeriksaan gangguan pendengaran fungsional bila dicurigai adanya faktor psikogenik. Untuk itu pemeriksaan gangguan pendengaran pada pekerja perlu dilakukan dengan cara seksama dan hati-hati untuk menghindari kesalahan dalam memberikan kompoensasi. EFEK FISIOLOGIS KEBISINGAN Efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Namun perlu diingat, bahwa keadaan bising di lingkungan seringkali disertai dengan faktor lainnya, seperti faktor fisika lain berupa panas, getaran, dan sebagainya; tidak jarang disertai juga dengan adanya faktor kimia dan biologis; mustahil untuk mengisolasi kebisingan sebagai satu-satunya faktor risiko. Efek jangka pendek berlangsung sampai beberapa menit setelah pajanan terjadi, sedangkan efek jangka panjang terjadi sampai beberapa jam, hari ataupun lebih lama. Efek jangka panjang dapat terjadi akibat efek kumulatif dari stimulus yang berulang. Efek jangka pendek Efek jangka pendek yang terjadi dapat berupa refleks otototot berupa kontraksi otot-otot, refleks pernapasan berupa takipneu, dan respon sistim kardiovaskuler berupa takikardia, meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya. Namun dapat pula terjadi respon pupil mata berupa miosis, respon gastrointestinal yang dapat berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsia, serta dapat terjadi pecahnya organ-organ tubuh selain gendang telinga (yang paling rentan adalah paru-paru). Efek jangka panjang Efek jangka panjang terjadi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek ini dapat berupa gangguan homeostasis tubuh karena hilangnya keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa keluhan psikosomatik akibat gangguan saraf otonom, serta aktivasi hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi, disritmia jantung, dan sebagainya. Secara sederhana, berikut ini respon tubuh terhadap adanya kebisingan (Gambar 1). Bising Reaksi Stres Umum akibat Kenaikan Adrenalin dan Noradrenalin Kenaikan Tekanan Darah Respon Vegetatif Peningkatan Kebutuhan Oksigen Peningkatan Agregasi Trombosit Kerusakan Dinding Arteri Trombosis Arteriosklerotik Oklusi A. Koroner Oklusi Arteri Lainnya Iskemaia Jantung Infark Miokard Stroke Gambar 1. Ikhtisar Reaksi Tubuh terhadap Bising KEBISINGAN DAN KEMAMPUAN KERJA Gangguan terhadap kemampuan kerja pada umumnya terjadi karena meningkatnya kewaspadaan umum akibat rangsangan terus menerus pada susunan saraf pusat. Pada awalnya sulit dibedakan dengan gangguan emosional yang timbul akibat bising; namun pada pemeriksaan efisiensi kerja terlihat pengaruh yang cukup bermakna. Namun tetap perlu hati-hati untuk melakukan interpretasi penelitian tentang kemampuan atau performa kerja. Suara yang asing, interupsi suara berulang, suara di atas 95 dB adalah beberapa keadaan kebisingan yang dapat mempengaruhi kemampuan bekerja. Namun penelitian efek kebisingan terhadap kemampuan kerja masih perlu dilakukan dengan seksama, terutama pada lingkungan industri. PENATALAKSANAAN TULI AKIBAT BISING Pencegahan merupakan penatalaksanaan pertama dan utama pada kebisingan di lingkungan pekerja. Pelaksanaan program pemeliharaan pendengaran (hearing program conservation) merupakan upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan di tempat kerja. Survei kebisingan di tempat kerja harus memperhatikan teknik sampling agar pemeriksaan tingkat kebisingan dapat memberikan gambaran keadaan yang terjadi; pemeriksaan audiometri berkala juga merupakan upaya deteksi dini pula. Penggunaan alat pelindung telinga, pengawasan dan pengendalian administrasi merupakan upaya penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di lingkungan kerja. Hearing conservation program tidak akan dibicarakan secara mendalam pada tulisan ini. Bila sudah terjadi gangguan pendengaran yang mengakibatkan gangguan komunikasi maka dapat dipikirkan penggunaan alat bentu dengar. Jika pendengaran sudah sedemikian buruknya sehingga komunikasi sangat sulit maka perlu dilakukan psikoterapi lebih intensif agar pekerja dapat menerima keadaannya. Jika dipergunakan alat bantu dengar, perlu dilakukan latihan pendengaran agar pekerja dapat menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Selain itu, penderita tuli akibat bising ini juga sulit mendengar suaranya sendiri sehingga diperlukan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada penderita yang mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea. KOMPENSASI TERHADAP KETULIAN PEKERJA AKIBAT BISING Faktor akustik, kondisi medis, dan permasalahan hukum harus diperhatikan dalam menetapkan hubungan kausal antara pajanan bising dan terjadinya gangguan pendengaran. Perlu ketelitian dan kehati-hatian dalam melakukan pemeriksaan ganggguan pendengaran pada pekerja untuk menghindari permasalahan kompensasi yang timbul di kemudian hari. Hal yang perlu diingat dalam menentukan kemungkinan adanya hubungan kausatif antara gangguan pendengaran dan bising di tempat kerja adalah 1). Benar telah terjadi kehilangan atau gangguan pendengaran dan 2). Dan gangguan pendengaran tersebut memang berasal dari pajanan bising di tempat kerja yang berlebihan. Tanda-tanda gangguan pendengaran harus dikenali secara dini. Pemeriksaan audiometri dilakukan untuk menilai derajat dan tipe gangguan pendengaran yang terjadi. Pemeriksaan ini bersifat subyektif, untuk itu perlu dilakukan oleh teknisi yang terlatih dan dokter harus melakukan supervisi terhadap pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan audiometri pra kerja merupakan suatu keharusan untuk mendapatkan data awal kondisi pendengaran tenaga kerja. Diagnosis banding lainnya disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan fisik yang seksama. Dalam laporan pemeriksaan fisik harus tercantum identitas yang jelas (termasuk saat pemeriksaan dan dokter yang melakukan pemeriksaan), keluhan utama, gangguan pendengaran yang saat ini terjadi, riwayat pekerjaan, riwayat pelatihan militer, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga. Riwayat pekerjaan dilakukan dengan menanyakan nama pekerjaan, jenis pekerjaan yang dilakukan (beserta tanggal atau waktu bekerja), durasi masing-masing pekerjaan, tanggal bekerja dan umur saat itu, kondisi geografis dan lokasi fisik pekerjaan, barang atau jasa yang dihasilkan, Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 27 penggunaan alat pelindung diri, sumber suara atau kebisingan yang ada di pekerjaan (baik yang dahulu maupun saat ini). Pemeriksaan fisik mendalam yang harus dilakukan adalah: 1. Pemeriksaan luar terhadap tanda-tanda jejas atau jaringan sikatrik yang menggambarkan adanya malfungsi. 2. Pemeriksaan otoskop untuk menilai gendang telinga, adakah tanda-tanda abnormalitas 3. Pemeriksaan refleks kedua mata 4. Menilai ada atau tidaknya nistagmus 5. Pemeriksaan dengan garpu tala 6. Pemeriksaan audiometri nada murni untuk memeriksa hantaran udara dan hantaran tulang 7. Uji kemampuan menangkap pembicaraan dan diskriminasi suara 8. Tes rekrutmen Sesudah dilakukan pemeriksaan terhadap pekerja dan lingkungan kerja maka dapat ditentukan apakah gangguan pendengaran akibat pekerjaan ataukah sebab yang lain. Bila terjadi akibat pajanan bising berlebihan di tempat kerja, harus dilakukan perhitungan formulasi gangguan pendengaran untuk memberikan kompensasi yang sesuai dengan kondisi pekerja tersebut. Setiap pekerja harus dievaluasi secara individual. Kompensasi diberikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berbeda di masing-masing negara. Pada tulisan ini tidak akan dibahas mengenai perhitungan kompensasi. 28 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 KESIMPULAN Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan deteksi dini untuk pencegahan karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup besar. Pemeriksaan gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat, dan hati-hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan kompensasi kepada tenaga kerja. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Harris CM (ed). Handbook of Noise Control. 2nd ed. McGraw-Hill Book Comp. New York : 1979. Nilland J. Zenz C. Occupational Hearing Loss, Noise, dan Hearing Conservation. In : Zenz C. (chief ed). Dickerson OB. Horvarth EP. Occupational Medicine. 3rd ed. Mosby. St. Louis : 1994 Soepardi ES. Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2001 Department for Environment, Food and Rural Affair. Noise and Nuisance Policy : Health Effect Based Noise Assasment Methods : A review and Feasibility Study September 1998. In ; http://www.defra.gov.uk/ environment/noise/health/page05.htm. February 6th, 2004. TINJAUAN KEPUSTAKAAN Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja Ambar W. Roestam Subbagian Kedokteran Kerja, Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta PENDAHULUAN Di negara-negara industri, bising merupakan masalah utama kesehatan kerja. Menurut WHO (1995), diperkirakan hampir 14% dari total tenaga kerja negara industri terpapar bising melebihi 90dB di tempat kerjanya. Diperkirakan lebih dari 20 juta orang di Amerika terpapar bising 85 dB atau lebih. Waugh dan Forcier mendapat data bahwa perusahaan kecil sekitar Sydney mempunyai tingkat kebisingan 87 dB. Di Quebec-Canada, Frechet mendapatkan data bahwa 55% daerah industri mempunyai tingkat kebisingan di atas 85 dB dan menurut survei prevalensi NIHL (Noise Induced Hearing Loss) atau TAB (Tuli Akibat Bising) bervariasi antara 40 – 50%. Di Indonesia, di pabrik peleburan besi baja prevalensi NIHL 31,55% pada tingkat paparan kebisingan 85 - 105 dB (Sundari,1997). Di perusahaan plywood di Tangerang, prevalensi NIHL 31,81% dengan paparan kebisingan 86.1 – 108.2 dB (Lusianawaty). Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helikopter TNI AU dan AD mendapatkan paparan bising antara 86 – 117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16 %. Penelitian pada pengemudi bajaj (Kertadikara, 1997) mendapatkan bahwa mereka terpapar bising antara 97 – 101 dB dengan 50% NIHL. Ini diperkuat dengan penelitian Yenni Basiruddin yang mendapatkan tingkat kebisingan dan getar pada pengemudi bajaj melebihi nilai ambang batas. Pada pengukuran bising didapatkan rerata intensitas bising bajaj 91 dB (64 dB - 96 dB), rerata akselerasi getar 4.2m/dt2. Pada kelompok ini pengemudi yang mengalami gangguan keseimbangan dan pendengaran sebesar 27,43%, gangguan pendengaran saja 17,14% dan gangguan keseimbangan saja 27,71%; jumlah seluruh gangguan mencapai 72,28% dari 350 pengemudi bajaj yang diperiksa. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa paparan di atas 85 dB dapat menimbulkan NIHL atau ketulian. Selain itu kebisingan juga dapat menimbulkan keluhan non-pendengaran seperti susah tidur, mudah emosi, dan gangguan konsentrasi yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja. Pencegahan dampak buruk kebisingan memerlukan perhatian dan dukungan semua jajaran di tempat kerja, dari jajaran tertinggi sampai tenaga kerja pelaksana. Penerapan program konservasi pendengaran di tempat kerja bermanfaat untuk mencegah gangguan pendengaran akibat paparan bising. Apa yang disebut kebisingan Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah gelombang suara dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum frekuensi suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan oleh jenis-jenis frekuensi yang ada. Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi : 1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut. Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar, dsb. 2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau 4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas. 3. Bising terputus-putus Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll 4. Bising impulsif Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 29 5. Bising impulsif berulang-ulang Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang bersifat kontinu, terutama yang memilikis pektrum frekuensi lebar dan intensitas yang tinggi. Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan, Organisasi Pekerja Internasional /ILO (International Labour Organization) telah mengeluarkan ketentuan jam kerja yang diperkenankan, yang dikaitkan dengan tingkat intensitas kebisingan lingkungan kerja sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Batasan waktu dan Pajanan kebisingan Intensitas suara (dB) OSHA Indonesia 90 85 92 95 88 100 91 105 94 110 97 115 100 Jam kerja terpapar 8 6 4 2 1 0.5 0.25 atau kurang Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja. PENGARUH BISING TERHADAP KESEHATAN TENAGA KERJA Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. 1. Gangguan fisiologis Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. 2. Gangguan psikologis Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain. 3. Gangguan komunikasi Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan 30 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 keselamatan tenaga kerja. 4. Gangguan keseimbangan Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual. 5. Efek pada pendengaran Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising; namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali. Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan sbb: • Temporary Threshold Shift = Noise-induced Temporary Threshold Shift = auditory fatigue = TTS - non-patologis - bersifat sementara - waktu pemulihan bervariasi - reversible/bisa kembali normal Penderita TTS ini bila diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap harikemudian menjadi ketulian menetap. Untuk mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam. • Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap - patologis - menetap PTS terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut : a. Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja. b. Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. c. Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain. d. Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup. • Tuli karena Trauma akustik Perubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan intensitas tinggi, seperti letusan, ledakan dan lainnya. Diagnosis mudah dibuat karena penderita dapat mengatakan dengan tepat terjadinya ketulian. Tuli ini biasanya bersifat akut, tinitus, cepat sembuh secara parsial atau komplit. AKIBAT KETULIAN TERHADAP AKTIVITAS SEBAGAI TENAGA KERJA Akibat ketulian terhadap aktivitas sebagai tenaga kerja dibedakan atas : 1. Hearing Impairment Didefinisikan sebagai kerusakan fisik telinga baik yang irreversible (NIHL/PTS) maupun yang reversible (TTS) 2. Hearing Disability Didefinisikan sebagai kesulitan mendengarkan akibat hearing impairment, misalnya : a. Problem komunikasi di tempat kerja b. Problem dalam mendengarkan musik c. Problem mencari arah/asal suara d. Problem membedakan suara Secara ringkas dapat dikatakan efek hearing impairment terhadap disability berbeda pada setiap individu, tergantung fungsi psikologis dan aktivitas sosial yang bersangkutan. 3. Handicap Ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang untuk melakukan suatu tugas yang normal dan berguna baginya. Menurut WHO diklasifikasikan sebagai berikut : a. Orientation handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam mengikuti pembicaraan) b. Physical independence handicap (ketidakmampuan/ keterbatasan untuk mandiri) c. Occupational handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam bekerja dan memilih karir) d. Economic self-sufficiency handicap e. Social integration handicap (ketidakmampuan/ keterbatasan dalam melakukan aktivitas normal harian, seperti respons terhadap alarm atau pesan lisan f. Inability to cope with occupational requirement (ketidakmampuan/keterbatasan yang mengakibatkan berkurangnya penghasilan) Kebisingan sangat merugikan tenaga kerja, terutama bila sampai NIHL dan juga merugikan perusahaan karena performance tenaga kerja yang menurun, biaya kesehatan yang membengkak serta kompensasi bila NIHL karena pekerjaan; oleh karena itu pencegahan terhadap gangguan pendengaran ini perlu diprioritaskan. Program pencegahan ini dikenal dengan istilah Program Konservasi Pendengaran. PROGRAM PENCEGAHAN/ PROGRAM KONSERVASI PENDENGARAN Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi halhal berikut (NIOSH, 1996): 1. Monitoring paparan bising 2. Kontrol engineering dan administrasi 3. Evaluasi audiometer 4. 5. 6. 7. Penggunaan Alat Pelindung Diri (PPE) Pendidikan dan Motivasi Evaluasi Program Audit Program Manfaat utama program ini adalah mencegah kehilangan pendengaran akibat kerja; kehilangan pendengaran akan mengurangi kualitas hidup seseorang dalam pekerjaannya. Hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha akan lebih baik, angka turn-over karena lingkungan kerja akan rendah. 1. Bagi pengusaha Taat hukum, hubungan baik dengan karyawan, menunjukkan itikad baik, meningkatkan produktivitas, mengurangi angka kecelakaan, mengurangi angka kesakitan, mengurangi lost day dan menaikkan kepuasan karyawan. 2. Bagi karyawan Mencegah ketulian; ketulian akibat bising tidak terasa (tanpa sakit), bersifat menetap (irreversible). Serta bisa mengurangi stres. Untuk melaksanakan program ini diperlukan hal-hal sebagai berikut : 1. Dukungan manajemen 2. Berupa policy statement 3. Integrated dengan program K3 4. Ada penanggung jawab program yang ditunjuk resmi Penanggung jawab bekerja sama dengan manajemen dan karyawan membuat Hearing Lost Prevention Plan and Policy. Manajemen dan karyawan konsisten melaksanakan program. 5. SOP dari setiap langkah dalam plan & policy harus jelas 6. Kontraktor dan vendor harus taat pada plan & policy tersebut. Dalam menyusun program konservasi pendengaran ini perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain: 1. Berpedoman bahwa pekerja tetap sehat dalam lingkungan bising. 2. Dilaksanakan oleh semua jajaran, dari pimpinan tertinggi sampai pekerja pelaksana. Komitmen pimpinan dan pekerja sangat penting. 3. Mengurangi dosis paparan kebisingan dengan memperhatikan tiga unsur : a. Sumber: mengurangi intensitas kebisingan (disain akustik, menggunakan mesin/alat yang kurang bising dan mengubah metode proses). b. Media: mengurangi transmisi kebisingan (menjauhkan sumber bising dari pekerja, mengaborsi dan me-ngurangi pantulan kebisingan secara akustik pada dinding, langit-langit dan lantai, menutup sumber kebisingan dengan barrier. c. Tenaga kerja: mengurangi penerimaan bising (penggunaan alat pelindung diri, ruang isolasi. rotasi kerja, jadwal kerja , dan lain-lain). 4. Mempertimbangkan kelayakan teknis dan ekonomis. 5. Utamakan pencegahan bukan pengobatan, proaktif bukan reaktif, kesejahteraan bukan santunan. 6. NAB bukanlah garis pemisah antara sakit dan sehat, namun merupakan pedoman. Penilaian dilakukan dengan memantau kebisingan lingkungan dan kesehatan pendengaran tenaga kerja (IDKI, 1994). Program selengkapnya adalah sebagai berikut : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 31 I. MONITORING PAPARAN BISING Tujuan monitoring paparan bising, yang sering juga disebut survei bising, bertujuan untuk : 1. Memperoleh informasi spesifik tentang tingkat kebisingan yang ada pada setiap tempat kerja. 2. Menetapkan tempat-tempat yang akan diharuskan menggunakan APD. 3. Menetapkan pekerja yang harus (compulsory) menjalani pemeriksaan audiometri secara periodik. 4. Menetapkan kontrol bising (baik administratif maupun teknis). 5. Menilai apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan UU yang berlaku. Prinsip monitoring paparan bising : Pengukuran dilakukan oleh pegawai yang mempunyai kualifikasi sebagai berikut : 1. SOP pengukuran harus ada dan jelas. 2. Hasil dikomunikasikan pada manajemen dan pegawai, - paling lama dalam waktu 2 minggu - untuk Jamsostek di Indonesia : 2 x 24 jam Ada 2 macam monitoring paparan bising : 1. Monitoring pendahuluan Pengukuran bising pendahuluan untuk menentukan masalah yang potensial berbahaya untuk pendengaran, berdasarkan lokasi tempat kerja. Survei ini dilaksanakan jika terdapat kesulitan dalam berkomunikasi, adanya keluhan pekerja bahwa telinga berdengung setelah bekerja. 2. Monitoring bising terperinci Dilakukan berdasarkan hasil monitoring bising pendahuluan, dengan menetapkan lokasi khusus yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan secara terperinci di setiap lokasi. Monitoring bising terperinci dilakukan dalam tiga tahap : a. Pengukuran lingkungan kerja Æ slow response dengan skala A (dB). Buat gambar peta bising (luas < = 93 meter). Bila hasil lebih dari 80 dB maka lingkungan tersebut cukup aman untuk bekerja, sedangkan bila antara 80 – 92 dB perlu pengukuran dan tindakan lebih lanjut (skala b). b. Pengukuran di tempat kerja (<85 dB) Dilakukan dengan skala B (intensitas bunyi) , pengukuran dengan peta, ukur tempat dan ruang kerja, ukur maximun dan minimumnya., bila lebih dari 85 dB, lakukan tahap selanjutnya c. Lamanya paparan (jumlah jam terpapar) Buat logbook untuk setiap orang berdasarkan job classification, catat lamanya terpapar (sekarang digunakan audiometer). II. KONTROL - engineering dan administratif Kontrol engineering ditujukan pada sumber bising dan sebaran bising; contohnya : 1. Pemeliharaan mesin (maintenance) yaitu mengganti, mengencangkan bagian mesin yang longgar, memberi pelumas secara teratur, dan lain-lain. 2. Mengganti mesin bising tinggi ke yang bisingnya kurang. 3. Mengurangi vibrasi atau getaran dengan cara mengurangi 32 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 tenaga mesin, kecepatan putaran atau isolasi. 4. Mengubah proses kerja misal kompresi diganti dengan pukulan. 5. Mengurangi transmisi bising yang dihasilkan benda padat dengan menggunakan lantai berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit-langit kerja. 6. Mengurangi turbulensi udara dan mengurangi tekanan udara. 7. Melakukan isolasi operator dalam ruang yang relatif kedap suara. Pengendalian administratif dilakukan dengan cara : 1. Mengatur jadual produksi 2. Rotasi tenaga kerja 3. Penjadualan pengoperasian mesin 4. Transfer pekerja dengan keluhan pendengaran 5. Mengikuti peraturan III. EVALUASI AUDIOMETRI Pengukuran audiometrik sebaiknya dilakukan pada : 1. Pre-employment 2. Penempatan ke tempat bising 3. Setiap tahun, bila bising > 85 dB 4. Saat pindah tugas keluar dari tempat bising 5. Saat pensiun/purna tugas Tipe audiogram : 1. Pre-employment/preplacement/Baseline 2. Annual monitoring 3. Exit Policy mengenai audiogram : 1. Base line atau data dasar : - dalam 6 bulan mulai bekerja di tempat bising (85 dβA) - untuk baseline 14 jam bebas bising, atau menggunakan APD 2. Annual audiogram Bagi yang TWA > 85 dBA 3. Evaluasi : - setiap tahun dibandingkan dengan base-line - bila STS (Significant Threshold Shift) > 10 dB (rata-rata pada 2000-3000-4000 Hz), maka disebut + (positif) Bila STS (+) maka yang dilakukan adalah : - periksa dokter - periksa tempat kerja - periksa data kalibrasi alat - komunikasikan dengan karyawan tersebut - jika karena penyakit, konsulkan ke dokter THT - periksa ulang dalam waktu 1 (satu) tahun Bila STS (+) karena pekerjaannya : - Bila belum menggunakan APD, diharuskan memakai - Bila sudah memakai, beri petunjuk ulang - Komunikasikan dengan pegawai dan atasan secara tertulis - Bila perlu, konsul THT Lakukan revisi baseline, bila STS persisten atau membaik IV. PENGGUNAAN APD Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan alat pelindung telinga : 1. Kecocokan; alat pelindung telinga tidak akan memberikan perlindungan bila tidak dapat menutupi liang telinga rapatrapat. 2. Nyaman dipakai; tenaga kerja tidak akan menggunakan APD ini bila tidak nyaman dipakai. 3. Penyuluhan khusus, terutama tentang cara memakai dan merawat APD tersebut. Jenis-jenis alat pelindung telinga : 1. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector) Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga : a. formable type b. custom-molded type c. premolded type Sumbat telinga bisa mengurangi bising s/d 30 dB lebih. 2. Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumaural protectors) Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 – 8000 Hz. 3. Helmet/ enclosure Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi maksimum 35 dBA pada 250 Hz sampai 50 dβ pada frekuensi tinggi Pemilihan alat pelindung telinga : 1. Earplug bila bising antara 85 – 200 dBA 2. Earmuff bila di atas 100 dBA 3. Kemudahan pemakaian, biaya, kemudahan membersihkan dan kenyamanan Pedoman yang sering digunakan adalah sebagai berikut : TWA/dBA < 85 85 – 89 90 – 94 95 – 99 > 100 Pemakaian APD Tidak wajib/perlu Optional Wajib Wajib Wajib Pemilihan APD Bebas memilih Bebas memilih Bebas memilih Pilihan terbatas Pilihan sangat terbatas APD ini harus tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya, perusahaan harus menyediakan APD ini. Cara terbaik sebenarnya bukan penggunaan APD tetapi pengendalian secara teknis pada sumber suara. V. PENDIDIKAN DAN MOTIVASI Program pendidikan dan motivasi menekankan bahwa program konservasi pendengaran sangat bermanfaat untuk melindungi pendengaran tenaga kerja, dan mendeteksi perubahan ambang pendengaran akibat paparan bising. Tujuan pendidikan adalah untuk menekankan keuntungan tenaga kerja jika mereka memelihara pendengaran dan kualitas hidupnya. Lebih lanjut penyuluhan tentang hasil audiogram mereka, sehingga tenaga kerja termotivasi untuk berpartisipasi melindungi pendengarannya sendiri. Juga melalui penyuluhan diharapkan tenaga kerja mengetahui alasan melindungi telinga serta cara penggunaan alat pelindung telinga. VI. EVALUASI PROGRAM Evaluasi program ditujukan untuk mengevaluasi hasil program-program konservasi, dengan sasaran : 1. Review program dari sisi pelaksanaan serta kualitasnya, misalnya pelatihan dan penyuluhan, kesertaan supervisor dalam program, pemeriksaan masing-masing area untuk meyakinkan apakah semua komponen program telah dilaksanakan. 2. Hasil pengukuran kebisingan, identifikasikan apakah ada daerah lain yang perlu dikontrol lebih lanjut. 3. Kontrol engineering dan administratif. 4. Hasil pemantauan audiometrik dan pencatatannya; bandingkan data audiogram dengan baseline untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program. 5. APD yang digunakan. VII. PROGRAM AUDIT 1. Audit Eksternal, dapat dilakukan program audit oleh pihak luar untuk mengetahui cost-effectiveness dan cost-benefit dari program konservasi pendengaran. 2. QQ program (Quality Qontrol Program) dilakukan secara internal, terus menerus untuk menilai efektivitas program konservasi pendengaran. PENUTUP Mengingat kebisingan dan tuli akibat bising bisa dicegah dengan program konservasi pendengaran, perusahaan sangat dianjurkan untuk menerapkan program konservasi. Tidak saja untuk melindungi pekerja, keuntungan utama perusahaan adalah mendapatkan karyawan yang produktif dan sehat. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 33 Redaksi Mengucapkan Selamat atas diselenggarakannya : Telemedicine Network in Indonesia di Yogyakarta, 10 Juli 2004 Website : http://telmed.fkumy.net Redaksi CDK 34 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 PRAKTIS Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi HR Krisnabudhi ] Rumah Sakit Bina Husada Cibinong, Bogor, Jawa Barat PENDAHULUAN Trakeostomi ialah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan lalulintas udara pernapasan. Trakeostomi diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta pengobatan terhadap penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi. Perawatan pasca trakeostomi besar pengaruhnya terhadap kesuksesan tindakan dan tujuan akhir trakeostomi. Perawatan pasca trakeostomi yang baik meliputi pengisapan discharge, pemeriksaan periodik kanul dalam, humidifikasi buatan, perawatan luka operasi di stoma, pencegahan infeksi sekunder dan jika memakai kanul dengan balon (cuff) yang high volumelow pressure cuff. Perawatan kanul trakea di rumah sakit dilakukan oleh paramedis yang terlatih dan mengetahui komplikasi trakeostomi(1), yang dapat disebabkan oleh alatnya sendiri maupun akibat perubahan anatomis dan fisiologis jalan napas pasca trakeostomi. Pasca trakeostomi kadang-kadang penderita pulang dengan kanul trakea masih terpasang. Selama di rumah penderita harus dapat memeliharanya agar jalan napas tetap lancar dan tidak terjadi komplikasi akibat kanul trakea. Untuk itu penderita harus mengetahui cara mengganti dan membersihkan kanul trakea serta tersedianya alat-alat yang diperlukan(2). Berdasarkan permasalahan tersebut, akan diuraikan cara perawatan mandiri pasca trakeostomi oleh penderita(3), petunjuk dokter atau paramedis yang perlu diberikan kepada penderita, cara membersihkan kanul dalam, mengganti kanul trakeostomi dan membersihkan discharge yang terjadi. Mudahmudahan informasi yang didapat dari kepustakaan ini berguna untuk mengelola pasien pasca trakeostomi di rumah. TRAKEOSTOMI Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan maksud membuat hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen trakea, sering saling tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea. PERUBAHAN-PERUBAHAN FISIOLOGIS AKIBAT TRAKEOSTOMI Di samping efek pada laring yang menyebabkan penderita tidak dapat berbicara, trakeostomi juga meniadakan proses pemanasan dan pelembaban udara inspirasi. Perubahan ini menyebabkan gagalnya silia mukosa bronkus mengeluarkan partikel-partikel tertentu dari paru. Discharge trakea berkurang dan menjadi kental, akhirnya terjadi metaplasia skuamosa pada epitel trakea. Trakeostomi memintas laring dan saluran napas bagian atas, karena itu mengurangi tahanan terhadap aliran udara, terutama bila telah terjadi proses patologik yang menyebabkan penyempitan di daerah glotis. Trakeostomi mengurangi ruang mati (dead space) anatomik sampai 100 ml. Hal ini sangat penting bagi penderita dengan tidal volume yang sangat terbatas. Trakeostomi dapat mengganggu gerakan pengangkatan laring pada waktu menelan. Keadaan ini menyebabkan penderita enggan menelan dan sering tersedak karena aspirasi ludah ke dalam laring dan trakea. Trakeostomi meniadakan mekanisme filtrasi saluran napas bagian superior, mengurangi efektifitas refleks batuk, dan mengganggu gerakan penutupan glotis hingga sering terjadi aspirasi ludah. Bila digunakan kanul trakea yang memakai balon, tekanan balon pada dinding lateral trakea dapat menyebabkan hipoksi epitel mukosa trakea. Epitel ini mudah terinfeksi hingga terjadi erosi mukosa trakea. Bartlett dkk menyatakan dari hasil penyelidikannya bahwa pada trakea yang normal tidak terdapat bakteri. Pada discharge trakea penderita dengan trakeostomi sering ditemukan berbagai koloni bakteri, yang sering ialah Pseudomonas aeruginosa dan kokus gram positif(4). Selanjutnya dikatakan, tidak ada korelasi antara bakteri dan flora saluran napas bagian atas dengan bakteri dan flora trakea penderita; bakteri dan flora di dalam trakea penderita berasal dari sumber-sumber lain, bukan dari saluran napas bagian atas. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 35 PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI Adanya kanul di dalam trakea yang merupakan benda asing akan merangsang pengeluaran discharge. Discharge ini akan keluar bila penderita batuk, pada saat dilakukan pengisapan atau pada saat penggantian kanul. Pengeluaran discharge dengan jalan membatukkan pada penderita dengan trakeostomi tidak seefektif pada orang normal, karena penderita tidak dapat menutup glotis untuk menghimpun tekanan yang tinggi(5), sehingga perlu dilakukan pengisapan. Beberapa jam pertama pasca bedah, dilakukan pengisapan discharge tiap 15 menit, selanjutnya tergantung pada banyaknya discharge dan keadaan penderita. Pengisapan discharge dilakukan dengan kateter pengisap yang steril dan disposable. Pada saat pengisap dimasukkan ke dalam trakea, jangan diberi tekanan negatif, begitu pula antara pengisapan harus diberi periode istirahat agar udara paru tidak terlalu banyak terisap, dengan demikian residual volume tidak banyak berkurang. Setelah ujung pengisap sampai di bronkus, dilakukan pengisapan perlahan-lahan sambil memutar kanul pengisap. Jika kanul trakea mempunyai kanul dalam, kanul dalamnya dikeluarkan terlebih dahulu. Kanul dalam ini harus sering diangkat dan dibersihkan. Lore (1973) menganjurkan memakai pengisap terkecil yang dapat melakukan pengisapan dengan adekuat, sedang Feldman dan Crawley (1971) memakai kateter pengisap steril dan non traumatik yang penampangnya kurang dari separuh penampang trakea. Sebelum melakukan pengisapan, sebaiknya penderita diberi oksigen selama 2-3 menit. Bila didapatkan sekret yang kental, teteskan larutan garam fisiologis terlebih dahulu. Dengan adanya trakeostomi, fungsi humidifikasi yang sebelumnya dilakukan oleh saluran napas bagian atas menghilang. Untuk itu menggantikannya perlu dilakukan humidifikasi buatan. Cara-cara untuk humidifikasi udara inspirasi di antaranya ialah: a). Condensor humidifier. Alat ini dipasang pada kanul trakea. Pada waktu ekspirasi, uap air mengembun pada lempeng-lempeng metal dari kondensor. Kekurangan alat ini ialah jika terjadi penimbunan discharge pada alat tersebut fungsinya akan berkurang. Alat ini harus diganti setiap 3 jam. b). Dengan melewatkan udara inspirasi melalui reservoir berisi air yang secara teratur dipanaskan dengan termostat. Alat ini relatif lebih efisien. Bila penderita bernafas spontan, campuran gas ditiupkan melalui suatu T-piece atau melalui kotak plastik yang dilubangi. c). Dengan menambahkan tetesan-tetesan air yang halus pada udara inspirasi. Efektifitas tetesan ini tergantung pada jumlah tetesan dan kelembaban relatif udara inspirasi. d). Secara sederhana humidifikasi dapat dikerjakan dengan menaruh lembaran kasa yang telah dibasahi di depan mulut kanul. Kasa tersebut diikatkan pada leher dan harus diganti sesering mungkin. Bila kanul terbuat dari polivinil klorida atau dari silikon, kanul ini diganti setiap 7 hari atau lebih cepat, karena lumennya akan mengecil oleh timbunan krusta dan discharge. Sebelum mengangkat kanul, trakea dan daerah faring 36 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 diisap terlebih dahulu, setelah itu balon dikempiskan kemudian kanul diangkat dan stoma dibersihkan dengan cepat. Kanul baru dipasang dengan mengarahkan ujungnya ke arah posterior lebih dahulu kemudian ke arah kaudal. Kesalahan memasang kanul dapat berakibat kanul terletak di dalam mediastinum. Bila diduga akan terjadi kesulitan pada pemasangan kanul kembali, siapkan alat-alat untuk resusitasi, laringoskop dan PET (pipa endo trakeal). Setelah penggantian kanul dilakukan auskultasi paru untuk menyakini bahwa kedua paru sama mengembang. Bila digunakan kanul memakai balon (cuff), sebaiknya dipilih balon yang bervolume besar dan bertekanan rendah. Balon diisi dengan udara secukupnya agar menempel rapat pada dinding trakea, dan jumlah udara yang dimasukkan dicatat. Jika balon terlalu banyak diisi udara akan terjadi hal-hal sebagai berikut: a). Iskemia dan nekrosis mukosa trakea. b). Nekrosis cincin-cincin tulang rawan trakea. c). Herniasi balon pada ujung kanul akan menyumbat jalan napas. d). Akan timbul gangguan saat menelan. Luka operasi pada stoma bila bersih cukup ditutup dengan kasa steril, tetapi luka terinfeksi perlu dikultur dan uji kepekaan dan diberikan antibiotika yang sesuai. Akhirnya penderita diajari untuk merawat diri sendiri. PERAWATAN MANDIRI PASCA TRAKEOSTOMI Pasca trakeostomi penderita akan diberi petunjuk oleh dokter atau paramedis perihal perawatan kanul trakeostomi. Petunjuk untuk penderita ini tergantung pada keadaan penderita saat dari rumah sakit. Petunjuk umum Belajarlah merawat sendiri kanul trakeostomi atas tanggung jawab sendiri. Jika tergantung pada seseorang saat melakukan hal itu, mungkin akan bermasalah. Peralatan hendaknya tersedia setiap saat melakukan perawatan kanul; lakukan setiap hari seperti menyikat gigi atau menyisir rambut. Kulit sekitar kanul dipelihara kebersihannya dengan air sabun, menggunakan lap atau kasa perban. Krusta diangkat dengan kapas aplikator yang dimasukkan ke dalam perhidrol. Pastikan tidak ada air memasuki stoma, dan hati-hati membersihkan kulit di sekitar kanul. Jika mengalami kesulitan bernapas atau pernapasan menjadi berbunyi, mungkin telah terdapat krusta atau mukus di dalam kanul. Angkatlah kanul dalam dan bersihkan. Jika ditemukan krusta dari mukus tebal yang sering terbentuk di dalam kanul, paling baik membersihkannya dengan memakai kasa basah di atas kanul. Jika udara rumah kering, mungkin diperlukan pelembab (bukan vaporizer). Membersihkan kanul dalam Alat yang perlu disediakan ialah botol kecil, kasa perban, penjepit, panci bergagang, saringan, dan cairan penggosok perak. Cara membersihkan kanul dalam, sebagai berikut: 1). Buatlah larutan sabun di dalam botol. 2). Angkat kanul dalam dengan cara pertama-tama putar kait kecil pengunci kanul dalam dan kemudian tarik kanul dalam ke luar. 3). Cuci kanul dalam dengan air dingin dan kemudian rendam untuk beberapa menit di dalam cairan sabun. 4). Bersihkan bagian dalam kanul dalam dengan kasa yang salah satu ujungnya diikatkan pada suatu tempat (Gb. 1). Gunakan penjepit untuk membantu menarik kasa melalui kanul. Tarik kanul dalam ke belakang, ke depan dan seterusnya sekeliling kasa yang diikatkan sampai bagian dalam kanul dalam bersih. 5). Setelah kanul dalam bersih, cuci dengan baik memakai air dingin yang mengalir. 6). Jika kanul dari perak telah memudar, rendam di dalam cairan pembersih perak untuk beberapa menit, kemudian bersihkan dan cuci. 7). Goyangkan kanul dalam untuk mengangkat tetesan air. Masukkan kanul dalam ke tempatnya dan putar kait kecil pengunci untuk mengunci pada tempatnya. 8). Minimal sekali sehari didihkan kanul dalam setelah dibersihkan. Gambar 2. Cara sterilisasi kanul dalam Logam bahan pada kanul perak sangat lunak, oleh karena itu dapat tergores atau bengkok dengan mudah, oleh karena itu tidak boleh dicoba untuk digores; krusta dapat diangkat dengan merendamnya. Tidak boleh digunakan penggosok kasar untuk membersihkan kanul dalam. Biasanya, kanul dalam dan luar dibuat secara spesifik agar cocok satu dengan yang lain, bahkan kanul dalam tidak akan saling tertukar dengan yang lain. Kanul plastik dapat dibersihkan dan dididihkan dengan cara yang sama seperti halnya kanul perak. Gambar 1. Pembersihan kanul dalam Merebus kanul dalam Tahapan untuk merebus kanul dalam ialah : 1). Tempatkan kanul dalam bersih pada saringan dan tempatkan saringan pada panci bergagang (Gb.2a). 2). Isi panci dengan air secukupnya untuk merendam kanul dalam (Gb. 2b). 3). Setelah air mendidih, didihkan kanul dalam selama 5 menit. 4). Angkat saringan dari panci bergagang, tuangkan air dari panci, dan tempatkan kembali saringan dalam panci. 5). Biarkan kanul dalam dingin untuk beberapa menit sebelum dimasukkan ke dalam kanul luar (Gb. 2). Cara mengganti kanul trakeostomi Petunjuk khusus dari dokter dan perawat diperlukan sebelum penderita mengganti kanul trakeostominya. Adanya lubang pada anterior leher yang secara langsung berhubungan dengan trakea, menyebabkan kanul trakeostomi dapat dimasukkan dengan mudah. Untuk mengangkat kanul trakeostomi, pita trakeostomi dibuka lebih dahulu, pelindung atau permukaan lempeng kanul trakeostomi dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk, kemudian ditarik ke arah anterior dan posterior. Kanul harus bersih dengan pita trakeostomi telah terpasang, dan siap untuk dimasukkan sebelum pengangkatan kanul trakeostomi. Salep dioleskan sangat tipis pada permukaan luar kanul trakeostomi untuk mempermudah memasukkannya. Pita trakeostomi yang digunakan pada kanul dapat satu atau dua untai (Gb. 3). Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 37 Cara melakukan : 1). Siapkan alat-alat. 2). Pegang kateter dengan salah satu tangan dan balon karet pada semprit dengan tangan yang lain. 3). Tekan balon karet sebelum kateter dimasukkan ke dalam kanul trakeostomi, untuk mengeluarkan udara di dalamnya. 4). Lepaskan balon karet, mukus akan terhisap ke dalam kateter dan semprit. 5). Bersihkan alat-alat dengan air sabun. Peralatan tersebut sering dididihkan untuk memelihara kebersihannya (Gb.4). 4” X 4 “ gauze pad Gambar 3. Cara penggantian kanul trakeostomi Pada saat memasukkan kanul trakeostomi, penderita melihatnya melalui cermin dan pegang tiap sisi lempeng permukaan kanul dengan ibu jari dan jari telunjuk. Kanul trakeostomi akan meluncur ke dalam dengan tekanan ke arah dalam secara halus. Di samping itu, hal yang penting ialah bahwa kanul dimasukkan segera setelah kotoran yang melekat pada kanul dibersihkan. Setelah kanul trakeostomi terpasang di tempatnya dan pita trakeostomi diikat, tempatkan kasa di atas kanul. Gambar 4. Cara penghisapan discharge Cara menghisap Banyaknya discharge mukus bervariasi. Mukus ini akan meningkat jumlahnya jika penderita dingin, jika udara dalam rumah kering, atau jika kanul teriritasi. Penghisapan mungkin diperlukan untuk mengontrol mukus. Mesin penghisap yang mudah dibawa dapat dipinjam dari rumah sakit dengan petunjuk penggunaannya. Kateter karet tidak boleh dimasukkan sampai melewati ujung dalam kanul trakeostomi, kecuali jika ada instruksi khusus untuk melakukannya dari dokter. Jika mesin penghisap tidak didapat, semprit steril atau kateter yang dapat dibeli di toko obat atau apotik bisa digunakan sebagai penghisap. Cara membuat kain alas di dada Penderita mungkin perlu memakai kain kasa alas di dada di bawah kanul trakeostomi, khususnya bila terdapat drainase sekitar kanul. Gb. 5 dan 6 menunjukkan cara membuat dan menggunakan alas di dada. Alas dada dari kasa trakeostomi steril mungkin tersedia dari pusat sterilisasi rumah sakit. Cara membuat alas dada untuk dipakai di bawah kanul trakeostomi ialah sebagai berikut : 1). Potong satu lembar kasa membentuk segi empat dengan ukuran 16 x 17 inci. 2). Lipat 1 inci pada tepi atas dan bawah. 3). Lipat 4 inci kasa pada tiap sisi. 4). Lipat 2 kali untuk mengurangi lebar menjadi 4 inci. Tempatkan 2 buah pita yang panjangnya 5 inci atau kasa yang 38 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 dipotong tepi lipatan pada bagian tepi atas separuh lipatan kasa dan setik silang bagian atas untuk mengkokohkan pita pada tempatnya. 5). Pakaikan kasa trakeostomi alas dada, masukkan pita atau tali pengikat pada tepi bagian atas dari bawah pita trakeostomi alas dada tiap sisi kanul trakeostomi. 6). Lipat tali pengikat atau pita dari alas dada di atas pita trakeostomi dan lipat kasa ke atas. Pastikan tali pengikat pada permukaan depan alas dada dengan peniti kecil yang aman (Gb.5). Gambar 6. Cara lain membuat alas dada dipakai di bawah kanul trakeostomi Gambar 5. Cara membuat alas trakeostomi Cara lain untuk membuat alas dada trakeostomi lebih mudah tetapi sedikit lebih mahal. Sebuah kasa 4 x 4 atau dua buah kasa 2 x 2 diperlukan untuk tiap alas dada. 1). kasa 4 x 4 inci. 2). kasa 4 x 4 inci yang tidak terlipat. 3). kasa 2 x 2 inci telah dibuat dengan melipat kasa dua kali. Jika kasa tidak terlipat, panjangnya 6 inci. Dua kasa tidak terlipat 2 x 2 inci dipakaikan. Satu tiap tepi dari kasa terbuka 4x 4 inci. 4). Kasa 2x2 inci telah disetik pada tempat dan dimasukkan di bawah pita trakeostomi pada tiap sisi kanul trakeostomi. Kasa 2 x 2 inci kemudian dilipat ke bawah di atas pita trakeostomi. 5). Kasa 4 x 4 inci telah dilipat ke atas. Kasa 2 x 2 inci dapat dipeniti di bagian dalam (Gb. 6). RINGKASAN Trakeostomi ialah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk mengatasi afiksi jika ada gangguan lalulintas udara pernafasan. Perawatan pasca trakeostomi besar pengaruhnya terhadap keberhasilan tujuan akhir trakeostomi. Pasca trakeostomi kadang-kadang penderita pulang dari rumah sakit dengan kanul trakea masih terpasang. Selama di rumah penderita harus dapat memelihara kanul trakea. Dokter atau paramedis perawatan harus memberikan petunjuk perihal perawatan kanul trakea. Petunjuk ini tergantung pada keadaan penderita saat pulang dari rumah sakit. Perawatan trakeostomi mandiri meliputi petunjuk umum, cara membersihkan kanul trakea, merebus kanul dalam, mengganti kanul, menghisap discharge, dan cara membuat kain alas dada untuk trakeostomi. KEPUSTAKAAN 1. 2. Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Tracheostomy. In :Boies's Fundamentals of Otolaryngology. A Textbook of ear, nose and throat diseases, 5th ed. Tokyo : Igaku Shoin Ltd., 1978 ; 705-17. Bireell JF, Me Dowall GD, Me Klay K, Me Kailum JR, Maran AGD. Tracheostomy. In : Logan Turner's Diseases of the nose, throat and ear. 5th ed. Bristol : John Wright and Sons Ltd, 1977 ; 1567-73. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 39 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Conway WA, Victor LD, Magilligon DJ, Fujita S, Zorick FJ, Roth T. Adverse effects of tracheostomy for sleep apnea. JAMA 1981; 246 : 34750. Davies J. Embriology and anatomy of the larynx, respiratory apparatus, diaphragma and esophagus. In: Paparella, Shumrick (eds). Otolaryngology. Vol. 1. Basic sciences and related disciplines. Philadelphia : WB Saunders Co, 1973. Evans JNG, Tood GB. Laryngo-tracheoplasty. J Laryngol Otol 1974 ; 88 : 589-97. Feldman SA, Crawley BE. Tracheostomy and artificial ventilation in the treatment of respiratory failure, 2nd ed. London : Edward Arnold Ltd, 1971 : 31-61. Galood HD, Toledo PS. Comparison of five type of tracheostomy tubes in the intubated trachea. Ann Otol 1978 ; 87 : 99-108. Lee KJ. The Otolaryngology board. A preparation guide. New York : Medical Examination Publ. Co. Inc, 1973 : 170-96. Lore JM. An atlas of head and neck surgery. Vol II, 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 1973 ; 688-708. Lulenski GC. Long term tracheal dimensions after flap tracheostomy. Arch Otolaryng 1981 ; 107 : 114-6. Lulenski GC, Batsakis JC. Tracheal incision as a contributing factor to tracheal stenosis. An experimental study, Ann Otol 1975 ; 84 : 781-6. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Montgomery WW. Silicone tracheal canula. Ann Otol 1980; 89 : 521-8. Montgomery WW. Manual for care of Montgomery silicone tracheal Ttube. Ann Otol 1980; 89 (suppl 73): 1-7. Natvig K, Olving JH. Tracheal changes in relation to different tracheostomy technique (An experimental study on rabbits). J Laryngol Otol 1981; 95: 61-8. Paparella MM, Shumrick DA, (eds). Otolaryngology, vol I. Basic sciences and related disciplines. Philadelphia: WB Saunders, 1973. Putney FJ. Complications and postoperative care after tracheostomy. Arch Otolaryngol. 1955; 62 : 272-6. Shapiro RS, Martin WM. Long custom made plastic tracheostomy tube in severe tracheomalacia. Laryngoscope 1981; 91: 355-61. Steel PM, Evans CC. Physiology of the larynx and tracheobronchial tree. In : Ballantyne, Grooves, (eds). Scott-Brown's diseases of the ear, nose and throat.. 4th ed. Vol I. Basic sciences. London : Butterworths, 1979 ; 433-75. Wright D. Tracheostomy and laryngotomy. In: Ballantyne J, (ed). Operative Surgery. Fundamental international techniques. Nose and throat. 3rd ed. London : Butterworths, 1976 ; 242-8. Siregar Z. Krikotirotomi. Skripsi di Bagian THT/RSCM. 19 September 1981. Redaksi Mengucapkan Selamat atas diselenggarakannya : PIT XIV POGI “Meningkatkan Profesionalisme Berlandaskan Etika Melalui Kerjasama Antar Pusat Pendidikan Obstetri dan Ginekologi dalam Era Pasar Bebas”, Bandung, 13 – 15 Juli 2004 Website : http://www.obgyn-bandung.org Redaksi CDK 40 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Vertigo: Aspek Neurologi Budi Riyanto Wreksoatmodjo Rumah Sakit Marzuki Mahdi, Bogor, Indonesia PENDAHULUAN Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek; yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness); deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian. Vertigo – berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar – merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. kurang stabil dibandingkan dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki, sehingga lebih memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan, selain itu diperlukan juga informasi gerakan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya. Informasi tersebut diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasinya; selain itu fungsi penglihatan dan proprioseptif juga berperan dalam memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat (Gb.1) . SISTIM KESEIMBANGAN Manusia, karena berjalan dengan kedua tungkainya, relatif Gambar 1. Bagan Sistim Keseimbangan Manusia Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 41 PATOFISIOLOGI Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut : 1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation) Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah. 2. Teori konflik sensorik Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab. 3. Teori neural mismatch Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.(Gb.2) Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulangulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsurangsur tidak lagi timbul gejala. Neural Store Sensory input (Rangsangan gerakan) Comparator Unit pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo. Normal Motion Sickness PAR PAR SYM SYM SYM PAR Gambar 3. Keseimbangan Sistim Simpatis dan Parasimpatis Keterangan : SYM : Sympathic Nervous System, PAR : Parasympathic Nervous System 6. Teori sinap Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis. TATALAKSANA PENDERITA VERTIGO Seperti diuraikan di atas vertigo bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda-beda. (Skema) Oleh karena itu, pada setiap penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak lesi dan penyebabnya. Skema Klasifikasi Vertigo Psikogenik Mismatch Adapted Sindrom Fobia Signal Gambar 2. Skema teori Neural Mismatch 4. Teori otonomik Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan (Gb. 3). 5. Teori neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mem42 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Sentral Vertigo Patologik BPPH Perifer Meniere Infeksi Trauma Iskemi Fisiologik Ketinggian, Mabuk Udara ANAMNESIS Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar, tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan, ketegangan. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksimal, kronik, progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik (Gambar 4)(6, 7). Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemi, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru juga perlu ditanyakan. Juga kemungkinan trauma akustik. kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai. Pemeriksaan Fisik Umum Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring,duduk dan berdiri; bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada: 1. Fungsi vestibuler/serebeler a. Uji Romberg (Gb. 5) : penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup. Gambar 4. Profil waktu serangan Vertigo pada beberapa penyakit Gambar 5. Uji Romberg PEMERIKSAAN FISIK Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik – vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral – yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat – korteks serebri, serebelum,batang otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik; selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut. Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung b. Tandem Gait: penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh. c. Uji Unterberger. Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 43 1. a. Fungsi Vestibuler Uji Dix Hallpike (Gb. 9) Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri Gambar 6. Uji Unterberger Kepala putar ke samping d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)(Gb. 7) Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi. Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke posisi terlentang) Gambar 7. Uji Tunjuk Barany e. Uji Babinsky-Weil (Gb. 8) Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang seama setengah menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang. Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa Gambar 8. Uji Babinsky Weil Pemeriksaan Khusus Oto-Neurologis(8,9) Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer. 44 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Gambar 9. Uji Dix-Hallpike Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue). b. Tes Kalori Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat (44ºC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral. c. Elektronistagmogram Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif. Fungsi Pendengaran Tes garpu tala Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan Schwabach memendek. b. Audiometri Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas),fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebeler (tremor, gangguan cara berjalan). 4. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI). TERAPI Tujuan pengobatan vertigo, selain kausal (jika ditemukan penyebabnya), ialah untuk memperbaiki ketidak seimbangan vestibuler melalui modulasi transmisi saraf; umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik. (Tabel 3). Tabel 3. Obat-obatan yang digunakan pada terapi simptomatik vertigo (sedatif vestibuler) Nama Generik Nama Dagang Cyclizine Dimenhydrinate Diphenhydramine Meclizine Marezine Dramamine Benadryl Promethazine Scopolamine Hydroxyzine Ephedrine Cinnarizine Flunarizine Hyoscine Betahistin Bonine, Antivert Phenergan, Avopreg Transderm Scop Holopon Iterax, Bestalin Stugeron Sibelium Buscopan Hyscopan Merislon 6 mg Betaserc 8 mg Dosisi Dewasa Tingkat Sedasi Rute Lain 50 mg 4 dd 25-50 mg 4 dd 25-50 mg 4 dd + ++ ++ im im,iv,rec + im, iv 4-6 12,5-25 mg 2-3 dd 25 mg 4 dd ++ - 72 0,5 mg 1 dd + im,iv,rec 4-6 0,5 mg 3 dd 25-100 mg 3 dd + ++ sc, iv 4–6 25 mg 4 dd 25-50 mg 3 dd 5 mg 2 dd 10-20 mg 3-4 dd 6-12 mg 3 dd 8-16 mg 3 dd 0 + + 0 0 0 im im - Lama Kerja (jam) 4-6 4-6 4-6 12-24 - Selain itu dapat dicoba metode Brandt-Daroff sebagai upaya desensitisasi reseptor semisirkularis (Gambar 9). 2. a. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. 2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik). 3. Neurofisiologi:Elektroensefalografi(EEG),Elektromiografi (EMG), Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP). Gambar 9. Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung; lalu tutup kedua mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan selama 30 detik, kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan tubuh dengan cara yang sama ke sisi lain, tahan selama 30 detik, kemudian duduk tegak kembali. Latihan ini dilakukan berulang (lima kali berturut-turut) pada pagi dan petang hari sampai tidak timbul vertigo lagi. Latihan lain yang dapat dicoba ialah latihan visual-vestibular; berupa gerakan mata melirik ke atas, bawah, kiri dan kanan me Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 45 ngikuti gerak obyek yang makin lama makin cepat; kemudian diikuti dengan gerakan fleksi–ekstensi kepala berulang dengan mata tertutup, yang makin lama makin cepat. Terapi kausal tergantung pada penyebab yang (mungkin) ditemukan. Beberapa penyebab vertigo yang sering ditemukan antara lain: Benign paroxysmal positional vertigo Dianggap merupakan penyebab tersering vertigo; umumnya hilang sendiri (self limiting) dalam 4 sampai 6 minggu. Saat ini dikaitkan dengan kondisi otoconia (butir kalsium di dalam kanalis semisirkularis) yang tidak stabil. Terapi fisik dan manuver Brandt-Daroff dianggap lebih efektif daripada medikamentosa. Penyakit Meniere Dianggap disebabkan oleh pelebaran dan ruptur periodik kompartemen endolimfatik di telinga dalam; selain vertigo, biasanya disertai juga dengan tinitus dan gangguan pendengaran. Belum ada pengobatan yang terbukti efektif; terapi profilaktik juga belum memuaskan; tetapi 60-80 % akan remisi spontan. Dapat dicoba pengggunaan vasodilator, diuretik ringan bersama diet rendah garam; kadang-kadang dilakukan tindakan operatif berupa dekompresi ruangan endolimfatik dan pemotongan n.vestibularis. Pada kasus berat atau jika sudah tuli berat, dapat dilakukan labirintektomi atau merusak saraf dengan instilasi aminoglikosid ke telinga dalam (ototoksik lokal). Pencegahan antara lain dapat dicoba dengan menghindari kafein, berhenti merokok, membatasi asupan garam. Obat diuretik ringan atau antagonis kalsium dapat meringankan gejala. Simtomatik dapat diberi obat supresan vestibluer. Vertigo akibat obat Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya pendengaran.Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina.. Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo. RINGKASAN Vertigo merupakan keluhan yang dapat dijumpai dalam praktek, umumnya disebabkan oleh kelainan /gangguan fungsi alat-alat keseimbangan, bisa alat dan saraf vestibuler, koordinasi gerak bola mata (di batang otak) atau serebeler. Penatalaksanaan berupa anamnesis yang teliti untuk mengungkapkan jenis vertigo dan kemungkinan penyebabnya; terapi dapat menggunakan obat dan/atau manuver-manuver tertentu untuk melatih alat vestibuler dan/atau menyingkirkan otoconia ke tempat yang stabil; selain pengobatan kausal jika penyebabnya dapat ditemukan dan diobati. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. Neuritis vestibularis Merupakan penyakit yang self limiting, diduga disebabkan oleh infeksi virus; jika disertai gangguan pendengaran disebut labirintitis. Sekitar 50% pasien akan sembuh dalam dua bulan. Di awal sakit, pasien dianjurkan istirahat di tempat tidur, diberi obat supresan vestibuler dan anti emetik. Mobilisasi dini dianjurkan untuk merangsang mekanisme kompensasi sentral. 4. 5. 6. 7. Andradi S. Aspek Neurologi dari Vertigo. Monograf. tanpa tahun, Harahap TP, Syeban ZS. Vertigo ditinjau dari segi neurologik. Monograf, tanpa tahun. Joesoef AA. Tinjauan umum mengenai vertigo. Dalam: Joesoef AA, Kusumastuti K.(eds.). Neurootologi klinis:Vertigo. Kelompok Studi Vertigo Perdossi, 2002. hal.xiii-xxviii. Makalah lengkap Simposium dan Pelatihan Neurotologi. 24 Juli 2001 Mengenal Pusing dalam Praktek Umum. Seri edukasi, Duphar, tanpa tahun. Sedjawidada R. Patofisiologi Tinitus dan Vertigo. Dalam: Simposium Tinitus dan Vertigo. Perhimpunan Ahli Telinga Hidung dan Tenggorok Indonesia cabang DKI Jakarta, 14 Desember 1991. Vertigo. Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi. Kelompok Studi Vertigo, Perdossi,1999. Every true genius must be natural or it is none (Schiller) 46 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 PRESENTASI KASUS Terapi Akupunktur untuk Vertigo Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe Departemen Akupunktur Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta ABSTRAK Vertigo merupakan kasus yang sering terjadi, tergolong sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi ruangan. Gejalanya menyebabkan pasien takut dan cemas, dan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengobatan vertigo secara konvensional dengan obat-obatan kadang-kadang kurang berhasil. Berikut dilaporkan kasus vertigo pada seorang wanita 50 tahun, diterapi dengan akupunktur dan menunjukkan hasil memuaskan. PENDAHULUAN Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi di ruangan (1) Istilah yang sering digunakan oleh awam adalah: puyeng, sempoyongan, mumet, pusing, pening, tujuh keliling, rasa mengambang, kepala terasa enteng, rasa melayang (1). Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomer tiga paling sering dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia sekitar 75 tahun, 50 % datang ke dokter dengan keluhan vertigo(2) . DEFINISI Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar (2). Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh (2). Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing (2). KLASIFIKASI Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok (2): 1. Vertigo paroksismal 2. 3. Vertigo kronis Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang. Vertigo paroksismal Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi : 1. Yang disertai keluhan telinga : Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen. 2. Yang tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L’enfance), Labirin picu (trigger labyrinth). 3. Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi, termasuk di sini adalah : - Vertigo posisional paroksismal laten, - Vertigo posisional paroksismal benigna. Vertigo kronis Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 47 serangan akut, dibedakan menjadi: 1. Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin. 2. Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin. 3. Vertigo yang dipengaruhi posisi : - Hipotensi ortostatik - Vertigo servikalis. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, berangsurangsur mereda, dibedakan menjadi : 1. Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis. 2. Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior. Ada pula yang membagi vertigo menjadi(3) : 1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler. 2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual. ETIOLOGI 1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer : a. Telinga bagian luar : serumen, benda asing. b. Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan. c. Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural. d. Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor. e. Inti Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks. 2. Penyakit SSP : a. Hipoksia – Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung. b. Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues. c. Trauma kepala/ labirin. d. Tumor. e. Migren. f. Epilepsi. 3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi-hamilmenopause. 48 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 4. 5. 6. Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia. Kelainan mata: kelainan proprioseptik. Intoksikasi. PATOFISIOLOGI Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.(2). Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya. DIAGNOSIS 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik : - Pemeriksaan mata - Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh - Pemeriksaan neurologik - Pemeriksaan otologik - Pemeriksaan fisik umum. 3. Pemeriksaan khusus : - ENG - Audiometri dan BAEP - Psikiatrik 4. Pemeriksaan tambahan : - Laboratorium - Radiologik dan Imaging - EEG, EMG, dan EKG. TERAPI Terdiri dari : 1. Terapi kausal 2. 3. Terapi simtomatik Terapi rehabilitatif TINJAUAN MENURUT ILMU AKUPUNKTUR Menurut Ilmu Akupunktur, vertigo termasuk golongan Xuan Yun (pusing = dizziness), disebabkan oleh hiperaktivitas Yang Hati, sehingga mengganggu telinga; atau karena akumulasi reak di Jiao–tengah sehingga menyumbat naiknya Qi ke telinga (4). Gejala Klinis(4,5 ) Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lembut atau seperti senar dan halus. Jika disebabkan oleh naiknya Yang Hati dan berkurangnya Yin Ginjal timbul gejala-gejala: puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis, nadi senar dan seperti benang. Etiologi & Patofisiologi ( 6 , 7 , 8 ) 1. Hiperaktifitas Yang Hati Disebabkan oleh stagnasi Qi Hati, sehingga menimbulkan api Hati dan angin Hati berlebihan yang naik mengganggu Qi di dalam kepala, sehingga timbul puyeng (pusing). Hiperaktifitas Yang Hati lama-kelamaan bisa mengakibatkan defisiensi Yin Hati.. 2. Defisiensi Qi dan darah Disebabkan oleh perdarahan kronis atau gangguan pencernaan sehingga Limpa dan Lambung lemah menyebabkan pembentukan Qi dan darah kurang, kulit pucat, pusing dan penglihatan kabur. 3. Defisiensi Cing Ginjal. Akan mengakibatkan gangguan telinga, otak, dan organorgan lain, terutama Hati, Limpa-Lambung, dan Jantung, sehingga timbul gejala vertigo. 4. Stagnasi lembab di Jiao-tengah. Lemahnya Limpa dan Lambung menyebabkan terbentuknya reak dan lembab yang menyumbat di Jiao tengah sehingga Qi terhambat untuk naik/turun, mengakibatkan vertigo. Terapi (4,5,6 ) 1. Jika akibat Hiperaktifitas Yang Hati, prinsip terapinya : Menenangkan Yang Hati, menguatkan Yin Hati, menghilangkan angin dalam, mengurangi kelebihan api Hati, melancarkan Qi Hati. Titik-titiknya : Baihui (GV 20) atau Fengchi (GB 20), Xingjian (LR 2), Qiuxu (GB 40), Taichong (LR 3). 2. Jika karena Defisiensi Qi dan darah, prinsip terapinya : Memelihara Qi dan darah dengan menguatkan Limpa, jika Qi dan darah tidak bisa naik ke kepala, maka Jantung dan Limpa dikuatkan. Titik-titiknya : Hegu (LI 4), Sanyinjiao (SP 6), Shenmen (HT 7). 3. Jika akibat defisiensi Cing Ginjal, prinsip terapinya : Menguatkan Ginjal Titik-titiknya : Guanyuan ( CV 4 ), Taixi ( KI 3 ), Shenshu ( UB 23 ), Fuliu ( KI 7 ). 4. Jika akibat stagnasi lembab di Jiao-tengah, prinsipnya : Menguatkan Limpa, menyeimbangkan Lambung, menghilangkan lembab dan menghilangkan reak, sehingga melancarkan Qi dalam Limpa-Lambung. Titik-titiknya : Pishu ( UB 20 ), Yinlingquan ( SP 9 ), Fenglong ( ST 40 ). KASUS I. Identitas penderita Nama Umur Jenis kelamin Agama Status perkawinan Pekerjaan Berobat tanggal : : : : : : : Ny. YR 50 th perempuan Islam menikah PNS (Fisioterapis) 4 September 2003 II. Anamnesis Keluhan utama : kepala terasa muter sejak 1 bulan Keluhan tambahan : mual . Perjalanan penyakit : - Kira-kira 1 bulan yang lalu pasien merasa leher sebelah kanan sakit; lama-kelamaan menjalar ke lengan kanan. Setelah berobat ke fisioterapi, membaik. - Dua minggu kemudian, pasien tiba-tiba merasa seperti "ada sesuatu" yang naik; kemudian merasa seperti mabuk dan mual. Muntah tidak ada. - Paisen berobat ke IRM; pada Rö tulang leher, ada penyempitan di C 4-5. - Diberi obat antalgin dan obat untuk vertigo; karena tidak ada perubahan, dirujuk ke bagian Saraf, diberi: Ibuprofen, Betaserc®, Clobazam, Neurodex®. - Seminggu kemudian kambuh lebih parah; pasien merasa ada "sesuatu" yang naik sampai ke leher, kepala terasa berat, dan berputar; disertai mual dan muntah. Pasien minta dirujuk ke bagian Akupunktur. - Tiga bulan sebelumnya pasien beberapa kali mengalami gejala-gejala awal serupa (ada "sesuatu" yang naik) tapi hanya sebentar dan tidak sampai berputar. - Riwayat trauma kepala pada tahun 2000, tetapi tetap sadar, tidak disertai pusing atau gejala lain. - Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-). - Riwayat infeksi telinga (-). III. Status Presens Keadaan Umum: compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 72 X/menit, pernafasan 20 X/menit, afebris. Pemeriksaan fisik dan neurologik dalam batas normal. IV. Pemeriksaan penunjang Ro Cervical (25/8/03): Spondyloarthrosis C 4-5 kanan dan kiri, Intervertebra C 6-7 kanan. Laboratorium (5/9/03): Hb: 12, Leukosit : 5200, diff: -/4//6/28/2, trombosit: 255.000, LED: 20, gula darah N / 2 jam PP: 92 / 103; Kholesterol Total, HDL / LDL: 284 / 49 / 200 mg/dl, Trigliserid: 174 mg/dl, As. Urat: 3 mg/dl Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 49 V. Pemeriksaan Akupunktur 1. Pengamatan ( Wang ) : a. Sen : semangat : baik; ekspresi umum : baik; sinar mata: bersinar; kesadaran : baik. b. Se : warna kulit: tak tampak kelainan; ekspresi wajah : bersinar segar. c. Sing Tay : bentuk tubuh: sedang; jika berjalan pelanpelan, seperti robot karena takut menoleh; posisi tubuh : t.a.k.; kulit tubuh: normal; keringat biasa; mata, telinga, hidung : t.a.k. d. Pemeriksaan Lidah : - otot lidah : merah muda, kebasahan sedang, pergerakan normal. - selaput lidah : putih, tipis, bersih. 2. Pendengaran dan Penciuman (Wen) : a. Pendengaran : suara bicara : biasa, suara nafas: normal; suara batuk, cekutan, bertahak: tak terdengar. b. Penciuman : hawa mulut: tak tercium, bau keringat: tak tercium; bau reak, air seni, tinja: tak diperiksa 3. Anamnesis (Wun) : Keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit sama seperti di atas. Pertanyaan khusus : a. Suka panas / dingin : lebih suka dingin b. Keadaan berkeringat : normal c. Rasa kepala : berputar; tubuh , anggota gerak : tak ada keluhan d. Buang Air Besar: sekali sehari, konsistensi baik Buang Air Kecil : frekuensi 7-10 kali, banyak, jernih e. Kebiasaan makan, minum: nafsu makan baik, kesukaan akan rasa: tak spesifik f. Dada : tak ada keluhan; perut : kadang-kadang mual, perih terutama kalau terlambat makan g. Pendengaran: tak ada keluhan h. Rasa haus: tak ada . i. Penyakit yang pernah diderita: trauma kepala tetapi tetap sadar, Ro kepala t.a.k. j. Keadaan haid : 4 bulan ini mulai tak teratur, lama haid 1 minggu, jumlah darah lebih sedikit dari sebelumnya, dismenorrhea (-), leukorrhea (-). 4. Perabaan (Cie) : a. Perabaan lokal: tidak ada nyeri tekan atau ketegangan otot. b. Suhu tubuh: normal c. Pemeriksaan nadi : kiri kanan dangkal dalam dangkal dalam cun 5 5 5 5 kuan 5 4 5 5 ce 5 5 5 5 5. Pemeriksaan khusus terhadap organ Cang Fu : a. Lambung : jika perut kosong perih, mual. b. Limpa : nafsu makan menurun, perut kembung, bertahak c. Hati : kepala muter, gangguan haid. d. Organ Cang Fu lain : tak ada kelainan. 50 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 VI. Resume Seorang perempuan umur 50 tahun datang dengan keluhan utama kepala terasa berputar disertai mual.. Satu bulan sebelumnya merasa leher sisi kanan sakit, menjalar ke lengan kanan. Setelah fisioterapi, membaik. Dua minggu kemudian pasien merasa seperti mabuk, mual, tidak muntah, didahului oleh rasa seperti ada "sesuatu" yang naik ke atas. Pasien berobat ke IRM, diberi antalgin dan obat vertigo; pada Rö tulang leher ternyata ada penyempitan di C 4-5. Karena tak ada perubahan, pasien dirujuk ke bagian Saraf, diberi Ibuprofen, Betaserc®, Clobazam, Neurodex®, tetapi tetap belum ada perbaikan. Satu minggu kemudian kambuh lebih parah, dan pasien minta dirujuk ke bag. Akupunktur. Tiga bulan sebelumnya beberapa kali mengalami gejalagejala seperti ada "sesuatu" yang naik ke atas, tapi hanya sebentar dan tidak sampai berputar. Riwayat trauma kepala pada tahun 2000, tetap sadar, Ro kepala t.a.k. Pada pemeriksaan akupunktur didapatkan : 1. Wang : - Sen : baik - Se : normal, bersinar - Sing Tay : kalau berjalan pelan-pelan, seperti robot, takut menengok. - Lidah : normal. 2. Wen : tak ada kelainan 3. Wun : lebih suka dingin, rasa kepala berputar, perut kalau terlambat makan sering mual, perih. Haid selama 4 bulan ini mulai tak teratur, darah haid lebih sedikit. 4. Cie: kuan kiri dalam Pada pemeriksaan organ Cang Fu ada kelainan pada organ Lambung, Limpa, Hati. VII. Diagnosis Kerja Kedokteran Umum : Vertigo Akupunktur : Kepala terasa berputar karena Yang se hati palsu akibat Si Hati. VIII. Pengobatan 1. Alat : jarum 2. Titik yang dipakai dan alasan pemakaiannya : a. Fengchi ( GB 20) : untuk mengusir angin b. Hegu ( LI 4 ): membuang angin, penenang c. Taichong ( LR 3 ): menormalkan Hati, penenang. d. Zhongwan ( CV 12 ) : menguatkan lambung, melancarkan Qi lambung e. Fenglong ( ST 40 ): menghilangkan lembab f. Sanyinjiao ( SP 6 ): menguatkan Limpa g. Neiguan (PC 6): mengatasi mual 3. Frekwensi : dua kali seminggu, 1 seri 12 kali. 4. Manipulasi: penguatan, selama 15 menit. IX. Prognosis Dubia ad bonam XI. Anjuran 1. Berobat akupunktur rutin 2. Pemeriksaan : CT, MRI 3. Konsul THT, Mata. XII. Follow up Tanggal 8/9/03 : Muter (+/-), mual (+/-),pasien masih minum obat dari bag. Saraf Tanggal 11/9/03 : Muter (-), mual (+/-), nyeri kepala sebelah kanan (berdenyut ). pasien sudah tidak minum obat-obatan. Ditambah akupunktur titik Zulinqi ( GB 41 ) kanan. Tanggal 15/9/03 : Muter (-), nyeri kepala (-), obat (-). Tanggal 18/9/03 : Tak ada keluhan, pasien merasa sembuh. DISKUSI Pada pasien ini , gejala-gejala vertigo disebabkan karena defisiensi Yin Hati. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala berupa haid tak teratur dalam 4 bulan ini, darah haid lebih sedikit, nadi Hati lemah. Defisiensi Yin Hati ini mengakibatkan muncul gejala-gejala Yang Se Hati palsu yaitu kepala berputar (akibat angin Hati). Hal ini kemudian mengakibatkan gangguan pada Limpa dan Lambung dan terbentuknya lembab/reak sehingga menimbulkan gejala-gejala mual, lambung perih dan perut kembung, sering bertahak. Yin Si Hati ini mungkin disebabkan karena Ginjal yang mulai melemah, mengingat pasien sudah berumur 50 tahun, dan haid tak teratur mungkin merupakan gejala pra-menopause. Setelah diterapi dua kali dengan prinsip terapi menghilangkan angin, menenangkan pasien, menguatkan Yin Hati, menghilangkan lembab, memperbaiki Limpa dan menyeimbangkan Lambung, serta simtomatis mengurangi mual, pasien merasa ada perbaikan dan pemakaian obat dihentikan. Sampai terapi ke lima pasien sudah merasa sembuh, tak ada keluhan. Karena takut ditusuk dan tak tahan sakit, pasien tidak melanjutkan pengobatan akupunkturnya. Sampai saat laporan dibuat tidak ada keluhan dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lumbantobing S M. Vertigo Tujuh Keliling. Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 1996. Nurimaba N, Joesoef A A, Andradi S. Vertigo, Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi. Cetakan pertama. Kelompok Studi Vertigo, PERDOSSI. Jakarta; 1999. Andradi S. Diagnosa Klinis & Terapi Vertigo. Bagian Neurologi FKUI/RSCM. Jakarta. Yin G, Liu Z . Advance Modern Chinese Acupuncture Therapy. First ed. Beijing: New World Press. 2000. O’Connor J, Bensky D. Acupuncture A Comprehensive Text. Chicago: Eastland Press. 1981. Huaitang S. Acupuncture and Moxibustion Treatment of Vertigo ( 2 ). Internat. J. Clin. Acupunc. 1993 : 4 ( 4 ) : 391 –5. Kiswojo, Kusuma A. Teori dan Praktek Ilmu Akupunktur. Jakarta: PT Gramedia., 1978. Kang L S,. Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 51 TINJAUAN KEPUSTAKAAN Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan Sulistyowati Tuminah Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departeman Kesahatan RI, Jakarta ABSTRAK Teh adalah salah satu bahan minuman alami yang sangat populer di masyarakat. Kandungan flavonoid dalam teh merupakan antioksidan yang bersifat antikarsinogenik, kariostatik serta hipokolesterolemik. Beberapa peneliti lain juga menyebutkan bahwa teh dapat bekerja sebagai hipoglikemik dan menghambat aterosklerosis. PENDAHULUAN Transisi nutrisi yang terjadi saat ini, dari makanan yang banyak mengandung serat ke makanan yang banyak mengandung lemak menyebabkan transisi epidemiologi, dari penyakit infeksi dan kurang gizi menjadi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker. Transisi nutrisi juga dihubungkan dengan prevalensi obesitas, terutama obesitas kanak-kanak serta non-insulin dependent diabetes mellitus.1 Obesitas juga berkaitan dengan angka kematian yang tinggi akibat penyakit jantung koroner dan stroke.2 Di masa sekarang, dengan harga obat-obatan yang mahal, anjuran Departemen Kesehatan untuk back to nature (kembali ke obat tradisional) adalah tepat. Juga karena bahannya mudah didapat, murah (terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat) dan dapat dibuat oleh semua orang. Teh merupakan bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta di berbagai lapisan masyarakat. Teh hitam diproduksi oleh lebih dari 75% negara di dunia, sedangkan teh hijau di produksi kurang lebih di 22% negara di dunia.3 Selain itu di negara-negara Barat, lebih dari setengah asupan flavonoid berasal dari teh hitam.4 KLASIFIKASI Di zaman dahulu, genus Camellia dibedakan menjadi beberapa spesies teh yaitu sinensis, assamica, irrawadiensis. Sejak tahun 1958 semua teh dikenal sebagai suatu spesies tunggal Camellia sinensis dengan beberapa varietas khusus, yaitu sinensis, assamica dan irrawadiensis.3 Menurut Graham HN (1984); Van Steenis CGGJ (1987) dan Tjitrosoepomo G (1989), tanaman teh Camellia sinensis O.K.Var.assamica (Mast) diklasifikasikan sebagai berikut(3,5,6): 52 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Divisi Sub divisi Kelas Sub Kelas Ordo (bangsa) Familia (suku) Genus (marga) Spesies (jenis) Varietas : : : : : : : : : Spermatophyta (tumbuhan biji) Angiospermae (tumbuhan biji terbuka) Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Dialypetalae Guttiferales (Clusiales) Camelliaceae (Theaceae) Camellia Camellia sinensis Assamica3,5,6 MACAM-MACAM TEH Berdasarkan penanganan pasca panen, teh dibagi menjadi 3 (tiga) macam(3), yaitu : 1. Teh Hijau Teh hijau diperoleh tanpa proses fermentasi; daun teh diperlakukan dengan panas sehingga terjadi inaktivasi enzim. Pemanasan ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan udara kering dan pemanasan basah dengan uap panas (steam). Pada pemanasan dengan suhu 85°C selama 3 menit, aktivitas enzim polifenol oksidase tinggal 5,49%. Pemanggangan (pan firing) secara tradisional dilakukan pada suhu 100-200 °C sedangkan pemanggangan dengan mesin suhunya sekitar 220-300°C. Pemanggangan daun teh akan memberikan aroma dan flavor yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian uap panas. Keuntungan dengan cara pemberian uap panas, adalah warna teh dan seduhannya akan lebih hijau terang.7 2. Teh hitam Teh hitam diperoleh melalui proses fermentasi. Dalam hal ini fermentasi tidak menggunakan mikrobia sebagai sumber enzim, melainkan dilakukan oleh enzim polifenol oksidase yang terdapat di dalam daun teh itu sendiri. Pada proses ini, katekin (flavanol) mengalami oksidasi dan akan menghasilkan thearubigin. Caranya adalah sebagai berikut : daun teh segar dilayukan terlebih dahulu pada palung pelayu, kemudian digiling sehingga sel-sel daun rusak. Selanjutnya dilakukan fermentasi pada suhu sekitar 22-28°C dengan kelembaban sekitar 90%. Lamanya fermentasi sangat menentukan kualitas hasil akhir; biasanya dilakukan selama 2-4 jam. Apabila proses fermentasi telah selesai, dilakukan pengeringan sampai kadar air teh kering mencapai 4-6%.7 3. Teh oolong Teh oolong diproses secara semi fermentasi dan dibuat dengan bahan baku khusus, yaitu varietas tertentu yang memberikan aroma khusus. Daun teh dilayukan lebih dahulu, kemudian dipanaskan pada suhu 160-240°C selama 3-7 menit untuk inaktivasi enzim, selanjutnya digulung dan dikeringkan.7 KOMPONEN THE (3) Komponen dari dua macam teh yang paling banyak digunakan (teh hijau dan teh hitam) adalah sebagai berikut (tabel 1 dan 2) : Tabel 1. Komposisi teh hijau(3) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Komponen Kafein (−) Epicatechin (−) Epicatechin gallat (−) Epigallocatechin (−) Epigallocatechin gallat Flavonol Theanin Asam glutamat Asam aspartat Arginin Asam amino lain Gula Bhn yg dpt mengendapkan alkohol Kalium (potassium) % Berat kering 7,43 1,98 5,20 8,42 20,29 2,23 4,70 0,50 0.50 0,74 0,74 6,68 12,13 3,96 AKTIVITAS ANTIOKSIDAN Penelitian di Barat dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari 8 macam produk teh hitam yang populer secara komersial dengan memasukkan 0,5 g daun teh ke dalam 25 ml air mendidih, kemudian diaduk selama 3 menit. Rata-rata aktivitas antioksidan larutan yang dihasilkan adalah 8.477 µmol/l (kisaran 4.275-12.110 µmol/l); dibandingkan dengan aktivitas antioksidan serum yang berkisar antara 350-550 µmol/l, berarti konsentrasi teh yang umum dikonsumsi mempunyai sifat antioksidan yang kuat secara in vitro4. Selanjutnya diteliti pengaruh infus 500 ml teh yang biasa digunakan untuk makan pagi di Inggris (1 g/100 ml) terhadap status antioksidan serum pada 10 sukarelawan yang sehat (5 laki-laki, 5 wanita; usia rata-rata 21,1 tahun; indeks massa tubuh: 24,0). Setelah 4 jam berpuasa, sebuah kanula intravena dipasang pada masing-masing sukarelawan/wati, kemudian diinfuskan teh tanpa susu selama lebih dari 20 menit pada saat makan siang. Aktivitas antioksidan serum rata-rata pada awal percobaan 430 µmol/l; setelah 60; 120; 180 menit pemberian teh adalah rata-rata 434; 447 dan 439 µmol/l (tidak ada perubahan yang berarti/signifikan). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian teh dengan jumlah besar dalam waktu singkat mempunyai sedikit pengaruh jangka pendek terhadap aktivitas antioksidan serum, berbeda dengan hasil penelitian mengenai pengaruh flavonoid anggur merah. Penelitian ini tidak meneliti kemungkinan pengaruh minum teh kumulatif jangka panjang terhadap status antioksidan.4 Daya antioksidan komponen katekin berbeda-beda. Epikatekin galat mempunyai daya antioksidan sebesar 4,93; epigalo katekin galat sebesar 4,75; epigalo katekin 3,82; epikatekin daya antioksidannya sebesar 2,50 dan untuk katekin daya antioksidannya sebesar 2,40. Daya antioksidan komponen katekin tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan vitamin C ataupun β-karoten.7 Tabel 2. Komposisi teh hitam(3) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Komponen Kafein Theobromin Theofilin (−) Epicatechin (−) Epicatechin gallat (−) Epigallocatechin (−) Epigallocatechin gallat Glikosida flavonol Bisflavanol Asam Theaflavat Theaflavin Thearubigen Asam gallat Asam klorogenat Gula Pektin Polisakarida Asam oksalat Asam malonat Asam suksinat Asam malat Asam akonitat Asam sitrat Lipid Kalium (potassium) Mineral lain Peptida Theanin Asam amino lain Aroma % Berat kering 7,56 0,69 0,25 1,21 3,86 1,09 4,63 Trace Trace Trace 2,62 35,90 1,15 0,21 6,85 0,16 4,17 1,50 0,02 0,09 0,31 0,01 0,84 4,79 4,83 4.70 5.99 3,57 3,03 0,01 KHASIAT TEH Salah satu zat antioksidan non nutrien yang terkandung dalam teh, yaitu catechin (katekin) dapat menyimpan atau meningkatkan asam askorbat pada beberapa proses metabolisme.3,8 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau berbanding terbalik dengan kadar serum kolesterol total (TC) dan low density lipoprotein (LDL-C), tetapi tidak terhadap trigliserida (TG) dan high density lipoprotein (HDLC).9,10 Teh efektif mencegah virus influensa A dan B selama masa kontak yang pendek.11 Selain itu diet fluorin yang Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 53 terkandung dalam daun teh (Camellia sinensis) dapat berfungsi kariostatik pada tikus Wistar.12 Penelitian menggunakan mencit dengan ekstrak teh hijau ternyata tidak hanya menurunkan jumlah tumor kulit, tetapi juga secara substansial memperkecil ukuran tumor.13 Beberapa penelitian lain menggunakan teh menunjukkan bahwa senyawa polifenol antioksidan (seperti katekin dan flavonol) yang terkandung dalam teh mempunyai sifat antikarsinogenik pada hewan dan manusia, termasuk pada wanita post menopause.14-18 Diperkirakan, flavonoid sebagai antioksidan berperan dalam mengurangi OH•, O2•− , dan radikal peroksil.19 Selain itu pada wanita post menopause, flavonoid dapat bersifat estrogenik yang menghambat oksidasi LDL, melindungi endotel dari berbagai luka yang disebabkan oleh radikal bebas serta mencegah aterosklerosis yang dapat menyumbat lumen arteri.20,21 Dirghantara (1994) melakukan penelitian mengenai efek sari seduhan teh hijau terhadap kadar kolesterol dan trigliserida tikus putih yang diberi diet kuning telur serta sukrosa. Ternyata sari seduhan teh hijau 10x dosis manusia (0,54 g /200 g.bb/hari) menghasilkan efek penurunan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan berat badan yang bermakna dengan kontrol perlakuan (P < 0,05).22 Sutarmaji (1994) meneliti pengaruh sari seduhan teh hijau terhadap kadar glukosa darah tikus normal yang diberi diet glukosa. Hasilnya diketahui bahwa sari seduhan teh hijau 25x dosis manusia (1,35 g/200 g BB/hari) menunjukkan efek hipoglikemik pada tikus 30 dan 60 menit setelah perlakuan.23Teh juga mencegah luka skorbut dan mengurangi plak aterosklerosis pada hewan yang diberi diet aterogenik. 3 Selain itu sifat menguntungkan dari teh adalah kemampuannya menghambat perkembangan leukemia setelah terpapar radiasi; menghambat mutagen yang disebabkan oleh pembentukan nitrosamin dari metilurea. Teh juga telah diuji teratogenik, hasilnya tidak ditemukan baik teratogen maupun embriotoksik. Pada keadaan yang tidak normal seperti pasien talasemia, teh juga digunakan untuk mengurangi penyerapan besi non-heme dan menghambat hemokromatosis.3 Mengenai kemungkinan hambatan penyerapan besi oleh teh, hal ini dapat dijelaskan, bahwa besi yang diabsorbsi manusia terdiri dari dua jenis, yaitu besi heme (yang terikat pada molekul hemoglobin) dan besi non-heme (yang tidak terikat pada molekul hemoglobin). Tumbuh-tumbuhan diketahui sebagai sumber besi yang baik, tetapi berjenis nonheme yang penyerapannya oleh manusia sangat sedikit, sebaliknya besi heme dari daging merah sangat banyak tersedia dan lebih mudah diserap. Substansi seperti tanin (dari teh), makanan berserat dan mengandung fitat menghambat penyerapan besi non-heme, tetapi manusia masih bisa mendapatkan besi heme dari daging merah. Selain itu, konsumsi vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan besi non-heme.24 PENUTUP Dari uraian di atas tampak banyak sekali khasiat teh, baik teh hitam maupun teh hijau. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengembangkan penelitian-penelitian lebih jauh 54 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 mengenai manfaat minuman teh bagi kesehatan, terutama yang berkaitan untuk penyakit degeneratif selain kanker. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Drewnowski A, Popkin BM. The Nutrition Transition : New Trends in the Global Diet. Nutr Rev. 1997; 55(2) : 31-43. Weststrate JA, Van Het Hof KH, Van den Berg H, et al. A comparison of effect of free access to reduce fat products or their full fat equivalents on food intake, body weight, blood lipids and fat-soluble antioxidant levels and haemostasis variables. Eur J Clin Nutr. 1998; 52 : 389-95. Graham HN. Tea : The Plant and Its Manufacture : Chemistry and Consumption of the Beverage. In Liss AR. The Methylxanthine Beverages and Foods : Chemistry, Consumption, and Health Effects. Prog Clin Biol Rev. 1984 : 29-74. Maxwell S, Thorpe G. Tea flavonoids have little short term impact on serum antioxidant activity. BMJ (27 July) [Medline] 1996; 313 : 229. Van Steenis CGGJ. Flora untuk Sekolah di Indonesia (terjemahan) PT. Pradnya Paramita. Jakarta. cet ke-4. 1987 ; 1-495. Tjitrosoepomo G. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). UGM Press. Yogyakarta. cet ke-2. 1989 ; 1-477. Astuti M. Potensi Antioksidan pada Teh. Kumpulan makalah : Radikal Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan : Dasar, Aplikasi dan Pemanfaatan Bahan Alam. Bag. Biokimia FKUI. Jakarta. 2001 : 1-15. Langseth L. Oxidants, Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI European Monograph Series. Brussel: 1995 ; 1-24. Kono S, Shinchi K, Ikeda N, Yanai F, Imanishi K. Green Tea Consumption and Serum Lipid Profiles : A Cross Sectional Study in Northern Kyushu, Japan. Preventive Medicine 1992; 21 : 526-31. Kono S, Shinchi K, Wakabayashi K, et al. Relation of Green Tea Consumption to Serum Lipids and Lipoprotein in Japanesse Men. J Epidemiol. 1996; 6 (3) : 128-33. Nakayama M, Toda M, Okubo S, Shimamura T. Inhibition of Influenza Virus Infection by Tea. Letters in Applied Microbiology. 1990; 11 : 3840. Gershon-Cohen J, McClendon JF. Fluorine in Tea and Caries in Rats. Nature 1954; 173 : 304-312. Zhi YW, Mou TH, Ferraro T, et al. Inhibitory Effect of Green Tea in the Drinking Water on Tumorigenesis by Ultraviolet Light ang 12-OTetradecanoylphorbol-13-Acetate in the Skin os SKH-1 Mice. Cancer Research 1992; 52 : 1162-70. Imai K, Suga K, Nakachi K. Cancer Prevention Effects of Drinking Green Tea among a Japanesse Population. Preventive Medicine. 1997; 26 (6) : 769-75. Goldbohm RA, Hertog MG, Brants HA, Van-Popel-G, Van-den Brandt – PA. Consumption of Black Tea and Cancer Risk : A Prospective Cohort Study. J Nat’l Cancer Inst. 1996; 88 (2) : 93-100. Zheng W, Doyle TJ, Kushi LH, Sellers TA, Hong CP, Folsom AR. Tea Consumption and Cancer Incidence in a Prospective Cohort Study of Postmenopausal Women. Am J Epidemiol. 1996; 144 (2) : 175-82. Blot WJ, McLaughin JK, Chow WH. Cancer Rates among Drinkers of Black Tea. Crit Rev Food Sci Nutr. 1997; 37 (8) : 739-60. Yang CS, Lee MJ, Chen L, Yang GY. Polyphenols as Inhibitors of Carcinogenesis. Environ Health Perspect. 1997 : 105 suppl 4 : 971-76. Tuminah S. Radikal Bebas dan Antioksidan – Kaitannya dengan Nutrisi dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 128: 49-51. Baraas F, Jufri M. Antologi Rehal Kolesterol dan Aterosklerosis. Prima Kardia Pers. Jakarta. cet ke-1. 1997 : 82-3. Baraas F, Jufri M. Antioksidan dan Penyakit Jantung. Prima Kardia Pers. Jakarta. cet ke-1. 1999 : 11-2. Dirghantara E. Efek sari seduhan daun teh hijau (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) terhadap kadar kolesterol dan trigliserida tikus putih yang diberi diet kuning telur dan sukrosa [abstrak]. FMIPA UI. Jakarta. 1994. Sutarmaji A. Pengaruh sari seduhan teh hijau terhadap kadar glukosa darah tikus normal yang diberi diet glukosa [abstrak]. FMIPA UI. Jakarta. 1994. Nair MK. Iron absorption and its implications in the control of iron deficiency anemia. Nutrition News. National Institute of Nutrition. Hyderabad. 1999; 20 (2) : 1-6. HASIL PENELITIAN Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue di Jakarta tahun 2001 Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai berjangkit di Indonesia sejak tahun 1968 dimulai dari Jakarta dan Surabaya, sejak itu penyakit DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia dengan jumlah kasus dan jumlah kematian yang terus meningkat serta wilayah penyebarannya yang makin meluas. Tahun 1968 hanya 2 Daerah Tingkat (Dati) Il yang terkena dengan 58 kasus dan 24 kematian tetapi pada tahun 1999 Dati II yang terkena sebanyak 203 dengan 9.871 kasus dan 1.414 kematian(1). Faktor- faktor yang diduga dapat mempengaruhi peningkatan kasus DBD di Indonesia ialah(2): (a) Pertumbuhan penduduk yang tinggi (b) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali (c) Tidak adanya kontrol vektor yang efektif di daerah endemis (d) Meningkatnya arus dan sarana transportasi. Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 1997 sebanyak 5190 dengan 49kematian, tahun 1998 15422 kasus dengan 133 kematian, dan tahun 1999 3751 kasus dengan 42 kematian(3). Uji Hemaglutinasi Inhibisi (uji HI) merupakan Gold Standard untuk pemeriksaan serologi pada penderita tersangka DBD (Tatalaksana DBD di Indonesia, 2001) ;pada penelitian ini semua serum responden diperiksa dengan menggunakan uji HI. Tujuan penelitian ini secara umum ialah untuk memberi gambaran penyakit DBD di Jakarta tahun 2000 dari penderita yang dirawat di rumah sakit dan sampel darahnya diperiksa di laboratorium Pusat Pemberantasan Penyakit Balitbangkes. Tujuan khususnya ialah: (a) Mengetahui distribusi penderita tersangka DBD berdasarkan umur dan jenis kelamin (b) Mengetahui hasil uji HI pada penderita tersebut (c) Mengetahui distribusi penderita dengan kriteria positif hasil uji HI (d) Mengetahui distribusi penderita dengan kriteria positif hasiI uji HI berdasarkan golongan usia (e) Mencari hubungan antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji HI positif METODOLOGI Disain penelitian: potong lintang (cross sectional) dengan sampel : penderita tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit selama periode Januari - April 2001. Kriteria inklusi : penderita berumur minimal 15 tahun, demam akut 2-7 hari, dirawat di rumah sakit, dan mengisi informed consent. Penderita diambil darahnya untuk pemeriksaan laboratorium di rumah sakit maupun untuk pemeriksaan uji HI. Uji HI dikerjakan menggunakan metode Clarke & Cassals dengan modifikasi mikrotiter(4) dengan menggunakan antigen Dengue-2. Sebelum uji HI sampel terlebih dahulu mendapat Kaolin treatment untuk menghilangkan non specific inhibitor. Konfirmasi hasil uji HI sesuai dengan kriteria WHO. HASIL DAN DISKUSI Responden yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 369 orang tetapi yang dapat diolah datanya hanya 187 orang (50,68%) karena Uji HI memerlukan sampel darah akut (A) dan konvalesen (K) sedangkan 182 orang (49,32%) lainnya tidak dapat diambil sampel darah konvalesennya karena : (a) Penderita tidak mau diambil darahnya lagi dengan alasan sudah banyak diambil darahnya (b) Penderita tidak sempat diambil darahnya oleh petugas karena sudah terlanjur pulang. Responden berumur antara 15 tahun sampai 65 tahun terbanyak di bawah 30 tahun (82,89%) dengan rata-rata umur penderita 25 tahun, (Tabel 1). Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 55 Tabel 1. Distribusi Penderita tersangka DBD menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Umur (tahun) 1520253035404550556065Jumlah Laki-laki (N) 25 30 18 11 6 4 2 0 0 1 1 98 Perempuan (N) 25 29 9 8 6 3 4 1 1 1 2 89 Total % 50 59 27 19 12 7 6 1 1 2 3 187 26,74 31,55 1,44 10,16 6,42 3,74 3,21 0,53 0,53 1,07 1,61 100,00 Pada penelitian ini perbandingan penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu 98 : 89 (1,1:1); karena jumlah responden laki-laki lebih banyak kelihatannya jumlah penderita laki-laki lebih besar. Tabel 2. Distribusi Hasil Uji HI pada Penderita Tersangka DBD Hasil Uji HI Positif Negatif Total Jumlah (N) 96 91 187 % 51,3 48,7 100,0 Tabel 2 memperlihatkan penderita dan hasil uji HI nya yaitu 51,3% positif dan 48,7% negatif. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang berkisar antara 30% - 50%, yaitu: tahun 1994: 34,5% ; tahun 1995: 50,19%; tahun 1996: 32,82%; tahun 1997: 34,21%; tahun 1998: 36,24%(5). Keadaan tersebut mungkin disebabkan: (a) Kurang cermat mendiagnosis penyakit DBD (b) Tidak mau ambil risiko penderita DBD terlewatkan tanpa pengobatan yang dianjurkan (c) Pengambilan sampel yang kurang tepat baik cara, waktu maupun penyimpanannya (d) Cara pengerjaan uji yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. Tabel 3. Distribusi Penderita Tersangka DBD dengan Kriteria Uji HI positif Kriteria Uji HI Positif Positif primer Positif sekunder Presumtif positif Total Jumlah (N) 21 64 11 96 % 21,9 66,7 11,4 100,0 Penderita terutama dengan infeksi sekunder (tabel 3) ; ini mendukung hipotesis infeksi sekunder pada patogenesis DBD yang banyak dianut, tetapi adanya penderita dengan infeksi primer dan presumtif juga membenarkan hipotesis virulensi virus. 56 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Pada tabet 4 terlihat penderita infeksi primer dapat ditemukan pada usia lanjut (golongan umur 65 tahun) meskipun pada usia yang lebih muda lebih banyak terjadi; infeksi sekunder terjadi pada golongan umur paling tua 45 tahun, dan untuk presumtif ditemukan paling tua pada golongan umur 55 tahun, ini menunjukkan bahwa penderita DBD memang sudah bergeser ke umur yang lebih tua. Tabel 4. Distribusi Hasil Uji HI Positif pada Penderita Tersangka DBD berdasarkan Umur. Golongan umur (th) 1520253035404550556065Total Kriteria hasil uji HI positif Positif primer Positif sekunder Presumtif positif 8 18 2 4 17 5 5 12 2 1 8 1 0 3 0 1 2 0 0 4 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 0 21 64 11 Total 28 26 19 10 3 3 4 0 1 0 2 96 Pada penelitian ini penderita DBD derajat (grade) I sebanyak 55,7% dan derajat II sebanyak 44,3%; tidak didapatkan adanya hubungan linier antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji HI positif (p = 0,6849). KESIMPULAN Ternyata tidak semua penderita tersangka DBD dapat diperiksa uji HI karena berbagai kendala. Jumlah penderita laki-laki dan perempuan sebanding; hasil uji HI positif sebesar 51,3% dengan kriteria positif sekunder yang terbanyak meskipun ditemukan infeksi primer pada penderita lanjut usia; penderita berada pada derajat I dan II, dan tidak ada hubungan linier antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji I-II yang positif. UCAPAN TERIMA KASIH Ditujukan kepada Kapuslitbang Pemberantasan Penyakit Badan Litbangkes, Pimpinan dan Staf RS Persahabatan, Pimpinan dan Staf RS Pasar Rebo, dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. KEPUSTAKAAN l. 2. 3. 4. 5. Profil Kesehatan Indonesia 1999. Departernen Kesehatan RI 2000. Jakarta. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal PPM&PLP Departemen Kesehatan RI. 2001. Data Kasus DBD 1999. Sub.Dit. Surveilans Dit.Jen. PPM&PLP Departemen Kesehatan RI. 2000. Clarke DH, Cassals J. Techniques for Haemagglutinatuon and Haemagglutination Inhibition with Arthropod-borne Viruses. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1958; 7: 561. Muchlastriningsih E et al. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penderita Tersangka DBD di Jakarta tahun 1998. Berita Epidemiologi, Desember 1999. Produk Baru Hemapo® Erythropoietin Syringe 2000 IU, 3000 IU, 10.000 IU in 1 mL KOMPOSISI Setiap mL larutan berisi: Epoetin alfa (recombinant human erythropoietin) 2000 IU, 3000 IU dan 10.000 IU. INDIKASI Pengobatan anemia yang disebabkan gagal ginjal kronik (renal anemia) pada pasien dengan dialisis dan non dialisis. KONTRA INDIKASI • Hipertensi berat yang tidak terkontrol. • Hipersensitif terhadap produk yang berasal dari sel mamalia. • Hipersensitif terhadap human albumin. INTERAKSI Tidak diketahui adanya interaksi klinis yang signifikan, tetapi efek erythropoietin dapat dipotensiasi oleh agen hematinik, seperti: FeSO4. EFEK SAMPING • Hipertensi • Peningkatan jumlah platelet • Lain-lain yang jarang terjadi yaitu rash, pruritus dan urtikaria; sakit kepala, artralgia, mual, edema, fatigue, diare, muntah ataupun reaksi di tempat injeksi. DOSIS dan CARA PEMBERIAN Pengobatan anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik: Larutan dapat diberikan secara IV atau SC. Fase Koreksi: Dosis awal untuk pasien hemodialisis adalah 100-150 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 2-3 kali pemberian. Jika peningkatan hematokrit tidak sesuai dengan yang diharapkan (<0.5%/minggu), dapat dilakukan penyesuaian dosis setelah 4 minggu pengobatan dengan meningkatkan dosis 15-30 IU/ kg/minggu, tetapi tidak lebih dari 30 IU/kg/minggu. Dosis untuk pasien non dialisis: 100 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 3 kali pemberian. Fase Pemberian: Untuk mempertahankan kadar hematokrit 30%-35%, sebaiknya diberikan dosis 50-150 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 2-3 kali pemberian (dosis dikurangi menjadi 2/3 dosis semula). Sebaiknya kadar hematokrit dipantau setiap 2-4 minggu sehingga penyesuaian dosis dapat dilakukan secara berkala untuk mempertahankan kadar Hematokrit yang optimum dan mencegah erithropoiesis yang terlalu cepat. Pada umumnya terapi Erythropoietin adalah terapi jangka panjang, meskipun dapat dihentikan setiap saat. Dosis untuk pasien gagal ginjal kronis non dialisis sebaiknya dipertimbangkan secara individual. PENYIMPANAN Simpan dalam lemari es, suhu 2-8°C. terlindung dari cahaya. Jangan dibekukan dan dikocok. KEMASAN Box isi pre-filled syringe 2000 IU/mL, 3000 IU/mL dan 1000 IU/mL. Reference: Bei Jing XieHe Hospital, 1998, Clinical Trial III Report of rhEPOInjection Marketing Office PT. KALBE FARMA Tbk. Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510 PO Box 3105 JAK, Jakarta – Indonesia Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680 Website : http://www.kalbe.co.id Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin – Jumat (07.00-15.30) Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 57 apsul Klasifikasi derajat gangguan pendengaran (ASHA, 1990). Brainstem auditory evoked potential (BAEP) pada dewasa normal. Elektrode diletakkan di vertex dan mastoid ipsilateral. Sumber: http://ivertigo.net./hearing/hrexam.html 58 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 INFORMATIKA KEDOKTERAN PENGANTAR Medical informatics is located at the intersection of information technology and the different disciplines of medicine and healthcare. Medical Informatics atau Informatika Kedokteran adalah ilmu yang mempelajari suatu bidang yang terbentuk pada perpotongan ilmu kedokteran/kesehatan dan Teknologi Informatik (Information Technology). Dalam perbincangan penulis dengan pakar Informatika Kedokteran dari Malaysia, dr HM Goh, disebutkan bahwa istilah-istilah seperti ’Informatika Kedokteran’ ’Informatika Kesehatan’ maupun ’e-health’ sebenarnya mempunyai arti yang kurang lebih sama. Secara rinci perkembangan nama / ilmu tersebut bisa dibaca pada ulasan di bawah ini: Berawal pada tahun 1970-an Istilah medical informatics diketahui berasal dari istilah bahasa Perancis informatique médicale. Sebelum tahun 1970an istilah yang dipergunakan bermacam-macam seperti: medical computer science, medical information science, computer in medicine, health informatics, dan beberapa istilah yang spesifik seperti nursing informatics, dental informatics, dll. Pengistilahan ini sama dengan pemberian istilah di bidangbidang lain di luar kesehatan, seperti: computer science, information processing, dan informatics, dan beberapa area yang lebih spesifik, contohnya: computational physics, computational linguistics, atau artificial intelligence. Jika mengikuti perkembangan bidang informatika, maka secara terperinci masih bisa dibagi lagi atas: ilmu komputer yang fundamental, informatika yang berorientasi pada aplikasi, dan informatika terapan. Demikian pula jika kita ingin membagi bidang-bidang dalam informatika kedokteran. Dua definisi Dari pelbagai penjelasan mengenai Informatika Kedokteran, penulis melihat ada pendapat dua pakar informatika kedokteran yang cukup diakui banyak orang, yakni: Shortlife EH dan Van Bemmel JH. Mereka mendefinisikan sebagai berikut: (1) Ilmu Informatika Kedokteran adalah ilmu yang menggunakan alat-alat sistem analitik untuk membangun prosedur-prosedur (algoritma-algoritma) demi kepentingan management, proses kontrol, pengambilan keputusan dan analisis keilmuan dari Ilmu Kedokteran. (2) Informatika Kedokteran terdiri dari aspek-aspek teori dan praktis dari proses informasi dan komunikasi, berlandaskan pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan pada proses-proses yang terjadi pada pelayanan kedokteran dan kesehatan. Dalam praktek sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari penerapan Informatika Kedokteran bisa dilihat seperti: 1. Proses pengolahan data Data adalah tulang punggung proses informatika selanjutnya. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana memperoleh dan mengeluarkan data, merawat data, dll. Kesemuanya dibutuhkan agar pengambilan keputusan manusia bisa dipercepat. 2. Telekomunikasi Masuk dalam bidang ini adalah teleconsultation, teleradiologi, telekardiologi, dan tele-tele yang lain 3. Medical Imaging Yang masuk dalam area ini seperti: ultrasound, radiologi, kedokteran nuklir, dll 4. Sistem Informasi Terdapat dua pembagian besar sistem informasi yaitu (1) yang berfokus pada pasien dan (2) yang berfokus pada keperawatan 5. Web dan internet Perkembangan dunia telekomunikasi begitu cepat. Saat ini aplikasi yang berbasis web sudah mulai digemari karena lebih mudah digunakan dari manapun dan kapan saja. Sebaliknya, sifat website pun sudah mulai berubah. Jika dahulu hanya bersifat satu arah (broadcast), misalnya menginformasikan jam praktek dokter, artikel kesehatan, dll. kemudian berkembang menjadi bersifat interaktif (dua arah), seperti: tanya jawab, dll. Akhir-akhir ini, aktivitas di website bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk proses bisnis, seperti: proses pendaftaran pasien, melihat rekam medik dll. Aspek-aspek lain yang berperan Aspek-aspek lain yang tidak bisa dianggap enteng adalah: Interaksi manusia dan komputer, Biaya dan keuntungan sistem informasi, aspek keamanan dan legalitas, dll. (Dr. Erik Tapan MHA) Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 59 Kegiatan Ilmiah Simposium Awam "Hindari Anemia Saat Cuci Darah", Hotel Acasia, 18 April 2004 Salah satu penyebab makin banyaknya jumlah penderita gagal ginjal adalah pola hidup modern, seperti maraknya mengkonsumsi alkohol, menghisap rokok, dan sebagainya. Di samping itu hal-hal lain yang juga menjadi dasar penyebab penyakit ini adalah adanya penyakit immunologi, batu ginjal, dan infeksi. Demikian dikatakan dr. J.Pudji Rahardjo, Sp.PD-KGH, dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta beberapa waktu lalu. (tampak dalam foto dr. Pudji Rahardjo, SpPD-KGH, narasumber simposium berkenan menyumbangkan suara emasnya) Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma Seminar Mengenal & Mengatasi Demam Berdarah, RSIA HERMINA Daan Mogot - Jakarta, 20 Maret 2004 Sampai dengan tanggal 15 Maret 2004, di DKI terdapat penderita DBD yang masih dirawat di RS sejumlah 2.043 orang. Untuk itu kita jangan sampai lengah. Demikian terungkap dalam Seminar Awam "Mengenal & Mengatasi Demam Berdarah Dengue, Sabtu 20 Maret 2004 di RSIA Hermina Daan Mogot Jakarta. Acara tersebut menampilkan pembicara tunggal Sri Kusumo Amdani, dokter spesialis anak yang berpraktek di rumah sakit ibu dan anak tersebut. Siang Klinik : Demensia dan Penatalaksanaannya, RS Mitra International, 25 Maret 2004 Demensia atau yang orang awam sering sebut 'pikun' ternyata bukan hanya merupakan masalah yang sederhana, hal ini jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa penderita demensia, ternyata bukan hanya mengalami penurunan fungsi kognitif saja, melainkan 60 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 juga mempunyai hambatan dalam membina hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain penyakit ini tidak hanya merugikan diri penderita sendiri tetapi juga orang lain yang berada di sekelilingnya, sehingga dapat dirasakan bahwa hal ini akan menjadi suatu problem yang sangat kompleks di masa yang akan datang. eHealth Asia 2004, Kuala Lumpur, 6 - 8 April 2004 Bertempat di Grand Plaza Park Royal Kuala Lumpur, hari ini Dato' Dr Abdul Gani Che Din, mewakili Mentri Kesehatan Malaysia Tan Sri Datu Dr.Hj. Mohammad Taha bin Arif, membuka acara eHealth Asia 2004. Dalam sambutan tertulisnya, mentri menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan kesehatan bersama hendaknya dipandu oleh prinsip sistem kesehatan yang mantap di masa depan, di samping hasil dari sistem kesehatan yang juga harus terfokus. APAMI Board Meeting, Kuala Lumpur, 6 April 2004 Pada malam hari, 6 April 2004, setelah menyelesaikan acara ilmiah, diadakan APAMI Board Meeting atau acara organisasi dari Asia Pasific Association of Medical Informatics. Wakil dari Indonesia, Erik Tapan, mempresentasikan perkembangan bidang tersebut di Indonesia. Presentasi dimulai dari Medical Record Elektronik RS Pertamina Jaya Jakarta, Tele-education kesehatan via satellite, Studio mini Jakarta Eye Center, Tele-radiologi Pantai Indah Kapuk, dan Portal Kedokteran www.kalbe.co.id, yang di klik rata-rata 2.000 kali per hari. Simposium Awam "Hindari Anemia Saat Cuci Darah", Hotel Acasia, 18 April 2004 Salah satu penyebab makin banyaknya jumlah penderita gagal ginjal adalah pola hidup modern, seperti maraknya mengkonsumsi alkohol, menghisap rokok, dan sebagainya. Di samping itu hal-hal lain yang juga menjadi dasar penyebab penyakit ini adalah adanya penyakit immunologi, batu ginjal, dan infeksi. Demikian dikatakan dr. J.Pudji Rahardjo, Sp.PD-KGH, dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta beberapa waktu lalu. 5th Jakarta Antimicrobial Update 2004, Hotel Borobudur Jakarta, 8-9 Mei 2004 Nutrisi enteral atau peroral sangat penting untuk saluran cerna, karena dapat mencegah atrofi villi usus, tetap menjaga kelangsungan fungsi usus, enterosit dan kolonosit. Nutrisi enteral lebih unggul dibandingkan parenteral dalam mempertahankan fungsi gastrointestinal, dan berperan sebagai nutrisi pokok atau suplemen dalam memperbaiki status nutrisi pasien yang dirawat di bidang ilmu penyakit dalam atau perawatan intensif Simposium Neurologi Untuk Masyarakat Umum, Balai Kemanunggalan TNI-Rakyat Makassar, 18 Januari 2004 Pada tanggal 18 Januari 2004, Bagian/UP Neurologi FK UNHAS/RS Dr. Wahidin Sudirohusodo bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) cabang Makassar telah menyelenggarakan simpoisum neurologi untuk masyarakat umum dengan topik ”Pengenalan dini gejala/gangguan saraf”. Tujuan dilaksanakannya simposium ini adalah untuk mencegah/menurunkan kecacatan dan kematina akibat penyakit saraf. Acara yang dilaksanakan di Balai Kemanunggalan TNI-Rakyat Makassar dimulai pukul 09.00 WITA diikuti oleh sekitar 1100 orang peserta. Asal peserta sangat beragam dari masyarakat umum sampai masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan, mahasiswa baik kedokteran maupun keperawatan.(foto diambil saat Session Mari Tanya Ahli, dari kiri ke kanan: dr. K. Ed. Sie, SpS(K), Prof. dr. Danial Abadi, SPS(K), dr. Amiruddin Aliah, SpS(K), MM dan Prof. dr. Arifin Limoa, SpS(K)). Seminar IT PERMAPKIN, Jakarta, 27 - 28 April 2004 Komputerisasi dalam "bisnis" layanan kesehatan, seharusnya sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan "proses bisnis"nya. Demikian dikatakan dr. Prabowo Soemarto dalam Seminar IT dari PB PERMAPKIN (Perhimpunan Manager Pelayanan Kesehatan) yang berlangsung selama dua hari di Jakarta. Sebabnya, lanjut Konsultan Management dari Layanan Kesehatan Cuma-cuma Dompet Dhuafa Republika tersebut, karena proses bisnis layananan kesehatan termasuk hal yang kompleks, mengingat sangat beragamnya latar belakang profesi yang menjalankannya. 4th Congress of Asian Pasific Society of Atherosclerosis and Vascular Disease (APSAVD) 2004, Bali International Convention Center, 6-9 Mei 2004 Dalam waktu 10 tahun ke depan seorang penderita kencing manis atau diabetes mellitus diperkirakan akan menderita penyakit jantung koroner (CHD/Coronary Heart Disease). Oleh karena itu penyakit DM saat ini telah dimasukan sebagai penyakit kardiovaskular berdasarkan guideline terbaru DM. Demikian salah satu yang ditekankan Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD, KE dari Pusat Diabetes dan Lipid FKUI Jakarta pada acara 4th Congress of Asian Pasific Society of Atherosclerosis and Vascular Disease (APSAVD) di Bali International Convention Center beberapa waktu lalu. National Obesity Symposium III, Hotel Shangri La Jakarta, 15-16 Mei 2004 Hasil riset terbaru dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) yang melibatkan lebih dari enam ribu orang, membuktikan bahwa prevalensi obesitas semakin meningkat. Dibandingkan dengan data WKNPG tahun 1998, angka kejadian penyakit ini pada pria melonjak hingga mencapai 9,16 % (WKNPG : 2,5 %) dan wanita 11,02 % (WKNPG : 5,9 %). Oleh karena itu obesitas menjadi masalah epidemik yang global, tak hanya di Indonesia saja namun di seluruh dunia. ASEAN Pharmaceutical Industry Congress, Jakarta, 23 - 25 Mei 2004 Bertempat di Hotel Gran Melia Jakarta, Minggu 23 Mei 2004 diadakan acara pembukaan eksebisi dari ASEAN Pharmaceutical Industry Congres I. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 400 peserta dari ASEAN ini berlangsung selama 3 hari dan diikuti oleh kurang lebih 40 industri farmasi dari dalam dan luar negeri, termasuk dari Kalbe Group. Seminar Ilmiah Kongres ARSSI I, Jakarta, 24 Mei 2004 Tuntutan terhadap dokter / rumah sakit bukan hal yang luar biasa lagi saat ini. Menurut Budi Sampurna, dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kasus tuntutan di rumah sakit umumnya diartikan sebagai tuntutan hukum yang diakibatkan oleh ketidakpuasan pasien. Hal tersebut dipaparkan dokter ahli hukum tersebut sewaktu menjadi pembicara di sesi ilmiah dalam rangka Kongres Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSSI) yang pertama di Jakarta, 24 Mei 2004. Seminar Integrated Hospital Marketing, Jakarta, 25 - 26 Mei 2004 Sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum mempergunakan Riset Marketing dalam menjalankan usahanya. Demikian dijelaskan Handi Irawan, dalam acara seminar Vi tahun 2004 dengan judul "Integrated Hospital Marketing" yang diselenggarakan Perhimpunan Manager Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN), di Jakarta selama 2 hari, 25 - 26 Mei 2004. Simposium Hematologi-Onkologi Medik Berkesinambungan XI, Hotel Mandarin Oriental - Jakarta, 29 Mei 2004 Terapi biologi sebagai bagian dari kemoterapi telah berkembang pesat dari terapi konvensional yang sebelumnya berbasis kemoterapi, radiasi dan operasi, menjadi terapi yang bersifat spesifik. Spesifik yang dimaksud adalah dengan mencegah pertumbuhan dan perkembangan khusus sel kanker, sehingga diharapkan terapi akan lebih tepat sasaran dengan efek samping lebih ringan serta kualitas hidup pasien yang meningkat. Demikian dikatakan Prof. Dr. Zubairi Djorban, Sp.PD, KHOM dalam sambutannya pada acara Simposium Hematologi-Onkologi Medik Berkesinambungan XI beberapa waktu lalu di Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 61 ABSTRAK KELAINAN KORTEKS PADA ADHD Penelitian menggunakan MRI dan teknik komputasi terhadap korteks serebri 27 anak dan remaja penderita ADHD dibandingkan dengan 46 kontrol, menunjukkan bahwa morfologi abnormal ditemukan di korteks frontal, selain itu didapatkan ukuran yang lebih kecil di daerah inferior dan korteks prefrontal dorsal bilateral; juga di korteks temporal anterior bilateral. Peningkatan nyata substansia grisea sebaliknya didapatkan di sebagian besar korteks temporal superior dan parietal inferior bilateral. Daerah frontal, temporal dan parietal merupakan korteks asosiasi heteromodal yang berkaitan dengan fungsi perhatian (attention) dan inhibisi tingkah laku (behavioral inhibition). Lancet 2003; 362: 1699-707 brw SICK BUILDING SYNDROME Sick building syndrome (sindrom gedung sakit) merupakan masalah yang belum sepenuhnya dipahami. Sekelompok peneliti di Montreal, Kanada mencoba menyelidikinya pada 771 pekerja kantor; sistem ventilasi ruang kerja mereka disinari dengan UVGI (ultraviolet germicidal irradiation) selama 4 minggu, kemudian dimatikan selama 12 minggu; siklus ini dilakukan sebanyak 3 kali, selama 48 minggu. Pengoperasian UVGI menurunkan konsentrasi mikroba dan endotoksin di permukaan sistim ventilasi sampai 99% (95%CI 67 – 100). Ternyata penggunaan UVGI dikaitkan dengan penurunan gejala berkait dengan pekerjaan secara umum (OD 0.8; 95%CI 0.7 – 0.99) juga terhadap keluhan respirasi (0.6; 0.4-0.9) dan keluhan mukosal (0.7; 0.5 – 0.8). Penurunan keluhan mukosal terutama di kalangan pekerja atopik (0.6; 0.5 – 0.8) dan bukan perokok (0.7; 0.5 – 0.9). Penggunaan UVGI juga menurunkan keluhan respirasi (0.4; 0.2 – 0.9) dan keluhan muskuloskeletal (0.5; 0.3 – 0.9) di kalangan bukan perokok. Lancet 2003; 362: 1785-91 brw ALAS TIDUR KERAS UNTUK NYERI PINGGANG BAWAH Kebanyakan dokter menganjurkan tidur di alas yang keras untuk mengatasi keluhan nyeri pinggang bawah. Para peneliti di Spanyol menilai 313 dewasa dengan nyeri pinggang bawah kronis nonspesifik; 158 diminta tidur di alas dengan derajat kekerasan 5.6, sedangkan 155 lainnya tidur di alas dengan derajat kekerasan 2.3; skala kekerasan kasur berkisar dari 1.0 (paling keras) sampai 10.0 (paling empuk). Setelah 90 hari mereka dievaluasi; ternyata mereka yang tidur di alas medium (5.6) lebih banyak yang berkurang rasa nyerinya, baik di tempat tidur (odds ratio 2.36; 95%CI: 1.13 – 4.93) maupun saat bangkit (1.93; 0.97 – 3.86) dan lebih rendah disabilitasnya (2.10; 1.24 – 3.56) dibandingkan dengan yang tidur di alas keras. Selama periode studi, mereka yang tidur di alas medium juga lebih sedikit merasa nyeri di siang hari (p=0.059), nyeri saat berbaring (p=0.064) dan nyeri saat bangkit dari tempat tidur (p=0.008) dibandingkan dengan mereka yang tidur di alas keras. Sayangnya dalam studi ini posisi tidur tidak ikut diperhitungkan, karena ternyata mereka yang tidur di alas medium lebih banyak yang mengambil posisi fetal (56% di awal percobaan, 65% di akhir percobaan) dibandingkan dengan mereka yang tidur di alas keras (54% dan 59%). 62 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 Lancet 2003; 362: 1599-604 brw PENGUKURAN ULTRASONOGRAFI UNTUK MENILAI RISIKO FRAKTUR Risiko fraktur dicoba dinilai melalui pemeriksaan ultrasonografi terhadap tulang kalkaneus; penelitian ini dilakukan atas 14 824 pria dan wanita 42-82 tahun di Norfolk, sepanjang tahun 1997-2000; mereka di amati selama rata-rata 1.9 ± 0.7 tahun. Selama masa itu terjadi 121 fraktur, 31 di antaranya fraktur femur. Ternyata populasi yang mempunyai distribusi BUA (broadband ultrasound attenuation) kalkaneus di kisaran 10% terendah, risiko frakturnya 4.44 kali (95%CI: 2.24 – 8.89; p<0.0001) dibandingkan dengan populasi yang di kisaran 30% tertinggi. Pengurangan 1 SD dari BUA (20 db/MHz) dihubungkan dengan risiko fraktur relatif 1.95 (95%CI: 1.50 – 2.52, p<0.0001) tidak tergantung usia, sex, tinggi badan, berat badan, kebiasaan merokok ataupun riwayat fraktur sebelumnya. Pemeriksaan kuantitatif ultrasonografi terhadap kalkaneus agaknya dapat meramalkan risiko fraktur baik di kalangan pria maupun wanita. Lancet 2004;363:197-202 brw METILPRDENISOLON UNTUK SINDROM GUILLAIN BARRE Dutch GBS study group mengadakan penelitian acak butaganda dengan kontrol plasebo untuk menilai manfaat penambahan metilprednisolon terhadap pengobatan imunoglobulin pada sindrom GuillainBarre. Sejumlah 233 pasien mendapat 0.4 g IVIg/kg.bb/hari selama 5 hari; 116 di antaranya juga diberi 500 mg. metilprednisolon/hari iv dalam 48 jam setelah pemberian IVIg pertama, 117 ABSTRAK sisanya mendapat plasebo. Analisis atas data dari 225 pasien menunjukkan bahwa skor disabilitas membaik satu tingkat atau lebih pada 68% (76 dari 112) pasien kelompok metilprednisolon dan pada 56% (63 dari 113) pasien kontrol. (OR 1.68; 95%CI: 0.97-2.88; p=0.06). Setelah penyesuaian data terhadap usia dan tingkat penyakit saat masuk, OR=1.89 (95%CI: 1.07-3.35; p=0.003). Efek samping tidak berbeda bermakna di antara dua kelompok tersebut. Ternyata penambahan metilprednisolon tidak memperbaiki hasil pengobatan sindrom Guiilain/Barre. Lancet 2004;363:192-6 brw EFEK SAMPING TRIMETOPRIMKOTRIMOKSAZOL Telah dilaporkan satu kasus wanita 63 tahun yang mendapat 20 mg/kg.bb trimetoprim, 100 mg/kg.bb sulfametoksazol iv dan 2 g. seftriakson iv dua kali sehari untuk infeksi Nocardia; setelah 4 hari pengobatan pasien tersebut mengalami gerakan involunter di kepala dan keempat ekstremitasnya, berupa mioklonus multifokal dan asterixis bilateral. Pemeriksaan MRI hasilnya tidak spesifik, dan pasien menolak punksi lumbal. Terapi trimetoprim-sulfametoksazol dihentikan, keesokan harinya gerakan involunter berkurang dan hilang sama sekali setelah 4 hari, Kejadian ini sebelumnya pernah dilaporkan pada 1 kasus anak. N Engl J Med 2004;350:88-9 brw ASPIRIN UNTUK POLISITEMIA VERA Aspirin ternyata juga bermanafat untuk mencegah komplikasi trombosis di kalangan pasien polisitemia vera. Para peneliti di Italia memberikan 100 mg aspirin/hari pada 253 pasien polisitemia vera, dibandingkan dengan 265 pasien yang diberi plasebo. Pemantauan dilakukan setelah 12, 24, 36, 48 dan 60 bulan kemudian. Di akhir percobaan, risiko infark miokard non fatal, stroke non fatal atau kematian akibat kardiovaskuler lebih rendah di kelompok aspirin (RR 0.41; 95%CI 0.15 – 1.15; p=0.09); demikian juga risiko infark miokard non fatal, stroke non fatal, emboli paru, trombosis vena atau kematian akibat kardiovaskuler (RR 0.40; 95%CI 0.18 – 0.91; p=0.03). Kematian, baik keseluruhan ataupun oleh sebab kardiovaskular lain tidak berbeda bermakna. Efek samping perdarahan tidak berbeda bermakna (RR 1.62; 95%CI 0.27-9.71). N Engl J Med 2004;350:114-24 brw EFEK LATIHAN TERHDAP KETAHANAN JANTUNG Kelompok peneliti di Inggris melakukan metaanalisis atas 9 percobaan yang seluruhnya melibatkan 801 pasien – 395 menjalani latihan, 406 sebagai kontrol. Ternyata selama periode followup rata-rata selama 705 ± 729 hari tercatat 88 (22%) kematian di kelompok latihan dan 105 (16%) di kelompok kontrol. Latihan secara bermakna menurunkan mortalitas (hazard ratio 0.65; 95%CI 0.46 – 0.92; logrank x2 5.9; p=0.015) Kematian dan perawatan rumahsakit juga lebih sedikit di kalangan latihan (0.72; 0.56-0.93; 6.4; p=0.011). Program latihan yang dijalani berupa bersepeda, jalan kaki, aerobik dan kalistenik yang bervariasi di antara percobaan-percobaan tersebut. BMJ 2004;328:189-92 brw MENCEGAH EKSASERBASI ASMA Suatu studi dilakukan untuk menilai manfaat penggandaan dosis inhalasi kortikosteroid dalam upaya mencegah peningkatan dosis prednisolon oral. Sejumlah 390 penderita asma pengguna kortikosteroid inhalasi yang berisiko eksaserbasi dipantau gejala asma dan morning peak flownya selama sampai 12 bulan. Saat gejalanya mulai memburuk, 192 menggandakan dosisnya, sedangkan 198 lainnya tidak (kedua kelompok menggunakan inhaler yang serupa) Setelah 12 bulan, data diolah dari 207 (53%) peserta; 110 di kelompok studi dan 97 di kelompok plasebo; ternyata 46 menggunakan prednisolon tambahan - 22 (11%) dari kelompok studi dan 24 (12%) dari kelompok plasebo membutuhkan prednisolon tambahan untuk mengatasi gejala asmanya. Risk ratio penggunaan prednisolon 0.95 (95%CI 0.55-1.64, p=0.8) Para peneliti berkesimpulan bahwa menggandakan dosis inhalasi tidak mencegah perburukan gajala asma (yang diukur dari kebutuhan prednisolon oral) Lancet 2004;363:271-5 brw Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 63 Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. 2. 3. 4. Kuman yang dikaitkan dengan rinitis atrofi: a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus c) Klebsiella pneumoniae d) Klebsiella ozeanae e) Klebsiella rhinoscleromatis Defisiensi yang dikaitkan dengan rinitis atrofi : a) Defisiensi vitamin B b) Defisiensi vitamin C c) Defisiensi vitamin D d) Defisiensi Zn e) Defisiensi Fe Kista duktus tiroglosus paling sering ditemukan di a) Submental b) Intralingual c) Suprahioid d) Transhioid e) Infrahioid Yang tidak benar mengenai papiloma laring; a) Tumor jinak b) Tidak pernah mematikan c) Berhubungan dengan HIV d) Gejalanya awalnya sesak e) Sering rekuren 5. Rinoskleroma dikaitkan dengan : a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus c) Klebsiella pneumoniae d) Klebsiella ozeanae e) Klebsiella rhinoscleromatis 6. Bakteri yang paling sering menginfeksi trakeostomi: a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus 64 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 c) d) e) Klebsiella Pseudomonas Staphylococcus 7. Kanker nasofaring terutama didapatkan di kalangan: a) Mongoloid b) Kaukasian c) Negroid d) Hispanik e) India 8. Pemakaian sumbat telinga tidak berguna jika intensitas suara di atas: a) 20 dB b) 40 dB c) 60 dB d) 80 dB e) 100 dB 9. Nyeri timbul jika intensitas suara melebihi ; a) 100 dB b) 120 dB c) 140 dB d) 160 dB e) 180 dB 10. Yang termasuk penyebab sentral pada vertigo ; a) Gangguan peredaran darah otak b) Trauma vestibuler c) Penyakit Meniere d) Vertigo posisional benigna e) Neuronitis vestibularis JAWABAN RPPIK : 1. 6. D D 2. 7. E A 3. 8. E C 4. 9. B B 5. 10. E A 62 Lampiran 1. Tanaman dan Serbuk Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Gambar 8. Tanaman Teh (Camellia sinensis L.) Gambar 10.Maserasi Serbuk Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Gambar 9. Serbuk Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Gambar 11. Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) 63 Lampiran 2. Hasil Determinasi Tanaman Teh (Camellia sinensis L.) 64 Lampiran 3. Alur Penelitian Latar belakang teh hitam Teh hitam di duga memiliki senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan tabir surya. Pengumpulan bahan dan pembuatan simplisia Penapisan Fitokimia Serbuk simplisia teh hitam Maserasi dengan etanol 70 % Evaporasi Eksrtak Etanol teh hitam Standarisasi Ekstrak 1. 2. 3. 4. 5. Parameter Spesifik Parameter Non Spesifik Identitas Ekstrak Organoleptis Ekstrak pH bobot jenis Penapisan Fitokimia ekstrak 1. Kadar Abu 2. Randemen 3. Susut pengeringan 65 Penentuan panjang gelombang maksimum ekstrak Pembuatan Krim Ekstrak Etanol 70% Teh Hitam (Camellia sinensi L.) Uji fotostabilitas dan efektivitas Krim tabir surya Evaluasi Sediaan Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam 1. Uji stabilitas penyimpanan pada suhu ruang (28±2°C) 2. Cycling test Uji fotostabilitas krim tabir surya Pengukuran serapan awal krim (tanpa mengandung ekstrak) secara Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang yang telah di peroleh Pengukuran perubahan serapan krim setelah beberapa waktu penyinaran (mengandung ekstrak) secara Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang yang telah di peroleh Uji efektivitas krim tabir surya Penentuan efektifitas tabir surya ekstrak etanol teh hitam (Camellia sinensis L.) secara spektrofotometer UV-Vis Penentuan efektifitas krim tabir surya teh hitam (Camellia sinensis L.) secara spektrofotometer UV-Vis Diperoleh nilai %Te & %Tp Diperoleh nilai %Te & %Tp Penentuan kategori tabir surya 66 Lampiran 4. Hasil Scanning Panjang Gelombang Maksimum Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Pada Konsentrasi 100 ppm Date: 12/4/2010 Time: 2:21:50 AM 2.5 2.3 2.1 1.9 1.7 238.24 1.5 1.3 A 1.1 229.33 293.46 0.9 0.7 0.5 260.47 0.3 0.1 0.00 200 220 240 260 280 300 320 340 nm Description: Lamda maks ekstrak etanol teh hitam 100 ppm Spectrum Name: C:\UVWINLAB\DATA\TEH.SP Date Created: Mon Apr 14:04:45 2010 Instrument Model: Lambda 25 Abscissa Ordinate Type 293,46 0,825 Peak 238,24 0,490 Base 360 380 400.0 67 Lampiran 5. Perhitungan Karakteristik Ekstrak 1. Randemen ekstrak Berat total ekstrak : 164 gram Berat simplisia kering : 500 g % Randemen ekstrak = = 164 x 100% 500 = 32,8% 2. Bobot jenis ekstrak teh hitam Berat piknometer kosong (w1) : 16,233 g Berat piknometer + air (w2) : 40,772 g Berat piknometer + ekstrak (w3) : 37,683 g ml Bobot jenis = = 37,683 – 16,233 40,772 – 16,233 = 0,874 gram/ml 3. Kadar abu Berat cawan (a) Berat ekstrak (b) Berat ekstrak akhir (c) ml : 25,752 g : 3,009 g : 25,763 g % Kadar Abu = = 25,763 – 25,752 x 100% 3,009 = 0.365 % 4. Susut pengeringan Berat cawan (a) : 23,150 g Berat cawan + ekstrak awal (b) : 24,147 g Berat cawan + ekstrak akhir (c) : 24,085g % Kadar air = = 24,147 – 24,085 x 100 % 24,147 – 23,150 = 6,21 % 68 Lampiran 6. Gambar Formula Krim 1. Uji Stabilitas Penyimpanan Suhu Ruang (28±2 °C) KN KrT 1 % KP KrT 2 % KrT 3 % Gambar 12. Formula Krim Minggu ke- 0 KN KrT 1 % KP KrT 2 % Gambar 13. Formula Krim minggu ke- 1 KrT 3 % 69 KN KrT 1 % KP KrT 2 % KrT 3 % Gambar 14. Formula Krim Minggu ke- 2 KN KrT 1 % KP KrT 2 % Gambar 15. Formula Krim Minggu ke- 3 KrT 3 % 70 KN KrT 1 % KP KrT 2 % KrT 3 % Gambar 16. Formula Krim Minggu ke- 4 Gambar 17. Sentrifugasi Minggu ke- 0 Gambar 18. Sentrifugasi Minggu ke-4 71 2. Uji Sebelum dan Sesudah Cycling Test. Gambar 19. Formula Krim Sebelum Cycling Test Gambar 20. Formula Krim Sesudah Cycling Test Gambar 21. Uji Homogenitas Sebelum Cycling Test Gambar 22. Uji Homogenitas Sesudah Cycling Test Gambar 23. Uji Sentrifugasi Sebelum Cycling Test Gambar 24. Uji Sentrifugasi Sesudah Cycling Test 72 Lampiran 7. Hasil Statistik Aktivitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya 1. Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Tujuan : Untuk melihat aktivitas krim tabir surya terdistribusi normal atau tidak Hipotesis : Ho : Data aktivitas krim tabir surya terdistribusi normal Ha : Data aktivitas krim tabir surya tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak NPar Tests Descriptive Statistics N absorbansi0 absorbansi30 absorbansi60 absorbansi90 absorbansi120 Mean 15 15 15 15 15 Std. Deviation .730920 .642480 .538560 .548573 .436333 .2108132 .1421973 .1678628 .1896068 .1400081 Minimum .3125 .3721 .2292 .1462 .1150 Maximum .9616 .8620 .8829 .8226 .6260 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test absorbansi0 N Normal Mean Param Std. Deviation a,,b eters Most Absolute Extrem Positive e Differe Negative nces Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) absorbansi30 absorbansi60 absorbansi90 absorbansi120 15 15 15 15 15 .730920 .642480 .538560 .548573 .436333 .2108132 .1421973 .1678628 .1896068 .1400081 .265 .241 .156 .249 .162 .152 -.265 .132 -.241 .143 -.156 .169 -.249 .088 -.162 1.028 .933 .605 .966 .628 .241 .348 .857 .308 .825 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Keputusan : Data aktivitas seluruh krim tabir surya terdistribusi secara normal. 73 2. Uji Homogenitas Levene Tujuan : Untuk melihat aktivitas uji krim tabir surya homogen atau tidak Hipotesis : Ho : Aktivitas krim tabir surya bervariasi homogen Ha : Aktivitas krim tabir surya tidak bervariasi homogen Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic absorbansi0 absorbansi30 absorbansi60 absorbansi90 absorbansi120 2.989 2.557 3.128 4.090 .976 df1 df2 4 4 4 4 4 Sig. 10 10 10 10 10 .073 .104 .065 .052 .463 Keputusan: Uji homogenitas aktivitas krim tabir surya bervariasi homogen ANOVA Sum of Squares absorbansi0 absorbansi30 absorbansi60 absorbansi90 absorbansi120 df Mean Square Between Groups .589 4 .147 Within Groups .034 10 .003 Total .622 14 Between Groups .235 4 .059 Within Groups .048 10 .005 Total .283 14 Between Groups .321 4 .080 Within Groups .074 10 .007 Total .394 14 Between Groups .411 4 .103 Within Groups .093 10 .009 Total .503 14 Between Groups .219 4 .055 Within Groups .055 10 .006 Total .274 14 F Sig. 43.696 .000 12.183 .001 10.854 .001 11.079 .001 9.881 .002 74 4. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan aktivitas krim tabir surya secara bermakna pada setiap formula Hipotesis : Ho : Aktivitas krim tabir surya tidak berbeda secara bermakna Ha : Aktivitas krim tabir surya berbeda secara bermakna Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikan ≥ 0,05, maka Ho diterima Jika nilai signifikan ≤ 0,05, maka Ho ditolak Multiple Comparisons LSD 95% Confidence Interval Dependent Variable (I) konsentrasi (J) konsentrasi absorbansi0 kontrol negatif kontrol positif .0473790 .000 -.675600 -.464466 -.3992333 .0473790 .005 -.504800 -.293666 -.4322000 * .0473790 .016 -.537767 -.326633 -.4921333 * .0473790 .131 -.597700 -.386566 .5700333 * .0473790 .000 .464466 .675600 formula 1% .1708000 * .0473790 .000 .065233 .276367 formula 2% .1378333 * .0473790 .000 .032266 .243400 formula 3% .0779000 .0473790 .020 -.027667 .183467 kontrol negatif .3992333 * .0473790 .000 .293666 .504800 kontrol positif -.1708000 * .0473790 .005 -.276367 -.065233 formula 2% -.0329667 .0473790 .502 -.138534 .072600 formula 3% -.0929000 .0473790 .078 -.198467 .012667 .4322000 * .0473790 .000 .326633 .537767 -.1378333 * .0473790 .016 -.243400 -.032266 formula 1% .0329667 .0473790 .502 -.072600 .138534 formula 3% -.0599333 .0473790 .235 -.165500 .045634 kontrol negatif .4921333 * .0473790 .000 .386566 .597700 kontrol positif -.0779000 .0473790 .131 -.183467 .027667 formula 1% .0929000 .0473790 .078 -.012667 .198467 formula 2% .0599333 .0473790 .235 -.045634 .165500 kontrol negatif kontrol negatif kontrol positif formula 3% absorbansi30 kontrol negatif Upper Bound * formula 3% formula 2% Lower Bound * formula 2% formula 1% Sig. -.5700333 formula 1% kontrol positif Mean Difference (I-J) Std. Error kontrol positif -.3516000 * .0566864 .000 -.477905 -.225295 formula 1% -.2581000 * .0566864 .001 -.384405 -.131795 formula 2% -.1822667 * .0566864 .009 -.308572 -.055962 formula 3% -.3186000 * .0566864 .000 -.444905 -.192295 75 kontrol positif formula 1% formula 2% formula 3% absorbansi60 kontrol negatif kontrol negatif .3516000 * .0566864 .000 .225295 .477905 formula 1% .0935000* .0566864 .000 -.032805 .219805 formula 2% .1693333 * .0566864 .000 .043028 .295638 formula 3% .0330000 .0566864 .013 -.093305 .159305 kontrol negatif .2581000 * .0566864 .001 .131795 .384405 kontrol positif -.0935000 .0566864 .130 -.219805 .032805 formula 2% .0758333 .0566864 .211 -.050472 .202138 formula 3% -.0605000 .0566864 .311 -.186805 .065805 kontrol negatif .1822667 * .0566864 .009 .055962 .308572 kontrol positif -.1693333 * .0566864 .014 -.295638 -.043028 formula 1% -.0758333 .0566864 .211 -.202138 .050472 formula 3% -.1363333 * .0566864 .037 -.262638 -.010028 kontrol negatif .3186000 * .0566864 .000 .192295 .444905 kontrol positif -.0330000 .0566864 .573 -.159305 .093305 formula 1% .0605000 .0566864 .311 -.065805 .186805 formula 2% .1363333 * .0566864 .037 .010028 .262638 kontrol positif -.4489667 * .0701685 .000 -.605312 -.292622 formula 1% -.2065333 * .0701685 .015 -.362878 -.050188 -.2664000 * .0701685 .004 -.422745 -.110055 -.3025667 * .0701685 .002 -.458912 -.146222 .4489667 * .0701685 .000 .292622 .605312 formula 1% .2424333 * .0701685 .000 .086088 .398778 formula 2% .1825667 * .0701685 .000 .026222 .338912 formula 3% .0664000 .0701685 .044 -.009945 .302745 formula 2% formula 3% kontrol positif formula 1% formula 2% kontrol negatif kontrol negatif .2065333 * .0701685 .015 .050188 .362878 kontrol positif -.2424333 * .0701685 .006 -.398778 -.086088 formula 2% -.0598667 .0701685 .414 -.216212 .096478 formula 3% -.0960333 .0701685 .201 -.252378 .060312 .2664000 * .0701685 .004 .110055 .422745 -.1825667 * .0701685 .026 -.338912 -.026222 formula 1% .0598667 .0701685 .414 -.096478 .216212 formula 3% -.0361667 .0701685 .617 -.192512 .120178 kontrol negatif .3025667 * .0701685 .002 .146222 .458912 kontrol positif kontrol negatif kontrol positif formula 3% absorbansi90 kontrol negatif kontrol positif formula 1% -.1464000 .0701685 .064 -.302745 .009945 formula 1% .0960333 .0701685 .201 -.060312 .252378 formula 2% .0361667 .0701685 .617 -.120178 .192512 kontrol positif -.4672667 * .0785970 .000 -.642392 -.292142 formula 1% -.3499000 * .0785970 .001 -.525025 -.174775 formula 2% -.3760667 * .0785970 .001 -.551192 -.200942 formula 3% -.4136333 * .0785970 .000 -.588758 -.238508 kontrol negatif .4672667 * .0785970 .000 .292142 .642392 formula 1% .1173667* .0785970 .000 -.057758 .292492 formula 2% .0912000* .0785970 .000 -.083925 .266325 formula 3% .0536333 .0785970 .010 -.121492 .228758 kontrol negatif .3499000 * .0785970 .001 .174775 .525025 kontrol positif -.1173667 .0785970 .166 -.292492 .057758 76 formula 2% formula 3% formula 2% -.0261667 .0785970 .746 -.201292 .148958 formula 3% -.0637333 .0785970 .436 -.238858 .111392 kontrol negatif .3760667 * .0785970 .001 .200942 .551192 kontrol positif -.0912000 .0785970 .273 -.266325 .083925 formula 1% .0261667 .0785970 .746 -.148958 .201292 formula 3% -.0375667 .0785970 .643 -.212692 .137558 kontrol negatif .4136333 * .0785970 .000 .238508 .588758 kontrol positif -.0536333 .0785970 .510 -.228758 .121492 .0637333 .0785970 .436 -.111392 .238858 formula 1% formula 2% absorbansi120 kontrol negatif kontrol positif formula 1% formula 2% formula 3% .0375667 .0785970 .643 -.137558 .212692 kontrol positif -.2681333 * .0607810 .000 -.403562 -.132705 formula 1% -.2547333 * .0607810 .002 -.390162 -.119305 formula 2% -.1677000 * .0607810 .020 -.303129 -.032271 formula 3% -.3574333 * .0607810 .000 -.492862 -.222005 kontrol negatif .2681333 * .0607810 .001 .132705 .403562 formula 1% .0134000* .0607810 .000 -.122029 .148829 formula 2% .1004333* .0607810 .000 -.034995 .235862 formula 3% -.0893000 .0607810 .033 -.224729 .046129 kontrol negatif .2547333 * .0607810 .002 .119305 .390162 kontrol positif -.0134000 .0607810 .830 -.148829 .122029 formula 2% .0870333 .0607810 .183 -.048395 .222462 formula 3% -.1027000 .0607810 .122 -.238129 .032729 kontrol negatif .1677000 * .0607810 .020 .032271 .303129 kontrol positif -.1004333 .0607810 .129 -.235862 .034995 formula 1% -.0870333 .0607810 .183 -.222462 .048395 formula 3% -.1897333 * .0607810 .011 -.325162 -.054305 kontrol negatif .3574333 * .0607810 .000 .222005 .492862 kontrol positif .0893000 .0607810 .173 -.046129 .224729 formula 1% .1027000 .0607810 .122 -.032729 .238129 formula 2% * .0607810 .011 .054305 .325162 .1897333 *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Keputusan : Aktivitas krim tabir surya seluruh formula uji berbeda secara bermakna dengan kontrol negatif dan kontrol positif (P < 0,05). Kesimpulan uji statistik : 1. Formula uji (1 % dan 2 %) dan kontrol negatif memiliki perbedaan secara bermakna dengan kontrol positif, artinya aktivitas dari formula uji (1 dan 2 %) tidak sebanding atau berbeda dengan kontrol positif. 2. Formula uji (1 %, 2 %, dan 3 %) dan kontrol positif memiliki perbedaan secara bermakna dengan kontrol negatif, artinya aktivitas dari formula uji (1 %, 2 %, dan 3 %) dan kontrol positif berbeda dengan kontrol negatif. 3. Formula uji (3 %) tidak memiliki perbedaan secara bermakna dengan control positif, artinya kontrol positif memiliki aktivitas yang hampir sama dengan formula uji 3 %. 77 Lampiran 8. Hasil Uji Efektifitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya Tabel 19. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 40 ppm λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 1,6212 2,3922 0,1105 0,2643 - 297,5 1,6128 2,4389 0,6720 1,6389 - 302,5 1,5873 2,5864 1,0000 2,5864 - 307,5 1,5736 2,6693 0,2008 0,5359 - 312,5 1,5661 2,7158 0,1364 0,3704 - 3,17,5 1,5372 2,9026 0,1125 0,3265 - Fp 322,5 1,5018 3,1492 0,1079 - 0,3398 327,5 1,4822 3,2946 0,1020 - 0,3360 332,5 1,4630 3,4435 0,0936 - 0,3223 337,5 1,4521 3,5310 0,0798 - 0,2818 342,5 1,4227 3,7783 0,0669 - 0,2527 347,5 1,4198 3,8036 0,0570 - 0,2168 352,5 1,3821 4,1486 0,0488 - 0,2024 357,5 1,3316 4,6601 0,0456 - 0,2125 362,5 1,3211 4,7742 0,0356 - 0,1699 367,5 1,3201 4,7852 0,0310 - 0,1483 372,5 1,3147 4,8451 0,0260 - 0,1259 ∑ = 5,5424 ∑ = 2,6084 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 2,4829 % = 3,7574 % 78 LANJUTAN Contoh perhitungan persen transmisi dan eritema: Nilai transmisi eritema: A = -log T %T = x 100 % = 2,3922 Dimana: A = nilai serapan pada panjang gelombang 292,5 nm Nilai fluks eritema: Ee = % T x Fe Ee = 2,3922 x 0,1105 = 0,2643 Dimana Fe = nilai fluks eritema pada panjang gelombang 290-295 nm (dilihat pada tabel 1) % transmisi eritema (% Te) = ∑ Ee / ∑ Fe = 5,5424 / 2,2322 = 2,4829 % Keterangan: ∑ Ee : Jumlah nilai fluks eritema yang diteruskan oleh tabir surya ∑ Fe : Fluks eritema pada rentang total eritema 290-320 nm (dilihat pada tabel 1) Selanjutnya untuk perhitungan persen transmisi pigmentasi dihitung dengan cara yang sama. 79 Tabel 20. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 60 ppm λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 1,7311 1,8574 0,1105 0,2052 - 297,5 1,7302 1,8612 0,6720 1,2507 - 302,5 1,7289 1,8668 1,0000 1,8668 - 307,5 1,7066 1,9652 0,2008 0,3946 - 312,5 1,6821 2,0792 0,1364 0,2836 - 317,5 1,6534 2,2212 0,1125 0,2498 - Fp 322,5 2,3834 0,0454 0,1079 - 0,2571 327,5 2,4311 0,0488 0,1020 - 0,2479 332,5 2,6779 0,0510 0,0936 - 0,2506 337,5 2,9053 0,0511 0,0798 - 0,2318 342,5 2,9861 0,0546 0,0669 - 0,1998 347,5 3,0782 0,1271 0,0570 - 0,1754 352,5 3,0896 0,1371 0,0488 - 0,1507 357,5 3,3729 0,1503 0,0456 - 0,1538 362,5 3,4914 0,1544 0,0356 - 0,1243 367,5 3,7792 0,1598 0,0310 - 0,1171 372,5 3,9646 0,2167 0,0260 - 0,1031 ∑ = 4,2507 ∑ = 2,0116 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 1,9042 % = 2,8977 % 80 Tabel 21. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 80 ppm λ (nm) A %T Fe 292,5 1,7642 1,7211 0,1105 0,1902 - 297,5 1,7616 1,7314 0,6720 1,1635 - 302,5 1,7439 1,8034 1,0000 1,8034 - 307,5 1,7394 1,8222 0,2008 0,3659 - 312,5 1,7144 1,9302 0,1364 0,2633 - 317,5 1,7085 1,9566 0,1125 0,2201 - Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) Fp 322,5 1,6885 2,0488 0,1079 - 0,2210 327,5 1,6720 2,1281 0,1020 - 0,2170 332,5 1,6662 2,1567 0,0936 - 0,2018 337,5 1,6538 2,2192 0,0798 - 0,1771 342,5 1,6340 2,3227 0,0669 - 0,1554 347,5 1,6026 2,4969 0,0570 - 0,1423 352,5 1,5844 2,6037 0,0488 - 0,1271 357,5 1,5677 2,7058 0,0456 - 0,1234 362,5 1,5423 2,8688 0,0356 - 0,1021 367,5 1,5019 3,1485 0,0310 - 0,0976 372,5 1,4922 3,2196 0,0260 - 0,0837 ∑ = 4,0064 ∑ = 1,6485 % Te = ∑ ∑ = = 1,7948 % % Tp = ∑ ∑ = = 2,3746 % 81 Tabel 22. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 100 ppm λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 1,7976 1,5937 0,1105 0,1761 - 297,5 1,7941 1,6066 0,6720 1,0796 - 302,5 1,7758 1,6757 1,0000 1,6757 - 307,5 1,7534 1,7644 0,2008 0,3543 - 312,5 1,7227 1,8936 0,1364 0,2583 - 317,5 1,7024 1,9842 0,1125 0,2232 - Fp 322,5 1,6821 2,0792 0,1079 - 0,2243 327,5 1,6693 2,1414 0,1020 - 0,2184 332,5 1,6477 2,2506 0,0936 - 0,0234 337,5 1,6128 2,4389 0,0798 - 0,1946 342,5 1,6094 2,4581 0,0669 - 0,1644 347,5 1,5838 2,6073 0,0570 - 0,1486 352,5 1,5421 2,8701 0,0488 - 0,1400 357,5 1,5223 3,0040 0,0456 - 0,1369 362,5 1,4813 3,3014 0,0356 - 0,1175 367,5 1,4772 3,3327 0,0310 - 0,1033 372,5 1,4421 3,6132 0,0260 - 0,0939 ∑ = 3,7672 ∑ = 1,6484 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 1,6876 % = 2,2548 % 82 Tabel 23. Perhitungan Uji Efektivitas Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 120 ppm λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 1,8173 1,5230 0,1105 0,1683 - 297,5 1,8124 1,5403 0,6720 1,0351 - 302,5 1,8096 1,5502 1,0000 1,5502 - 307,5 1,7878 1,6300 0,2008 0,3273 - 312,5 1,7632 1,7250 0,1364 0,2353 - 317,5 1,7429 1,8076 0,1125 0,2033 - Fp 322,5 1,6885 2,0488 0,1079 - 0,2210 327,5 1,6832 2,0739 0,1020 - 0,2115 332,5 1,6821 2,0792 0,0936 - 0,1941 337,5 1,6709 2,1335 0,0798 - 0,1702 342,5 1,6722 2,1271 0,0669 - 0,1423 347,5 1,6547 2,2146 0,0570 - 0,1262 352,5 1,6330 2,3281 0,0488 - 0,1136 357,5 1,6228 2,3834 0,0456 - 0,1087 362,5 1,6113 2,4474 0,0356 - 0,0871 367,5 1,5821 2,6176 0,0310 - 0,0811 372,5 1,5447 2,8529 0,0260 - 0,0741 ∑ = 3,5195 ∑ = 1,5299 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 1,5766 % = 2,2038 % 83 Lampiran 9. Hasil Uji Efektifitas Krim Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam sebagai Tabir Surya Tabel 24. Perhitungan Efektivitas Krim Formula KN (kontrol negatif) λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) 292,5 0,3670 42,9536 0,1105 4,7464 - 297,5 0,3614 43,5111 0,6720 29,2395 - 302,5 0,3278 47,0110 1,0000 47,0110 - 307,5 0,2994 50,1880 0,2008 10,0777 - 312,5 0,2762 52,9419 0,1364 7,2213 - 3,17,5 0,2422 57,2532 0,1125 6,4409 - Ep (% T x Fp) Fp 322,5 0,2116 61,4327 0,1079 - 6,6286 327,5 0,1907 64,4614 0,1020 - 6,5751 332,5 0,1777 66,4202 0,0936 - 6,2169 337,5 0,1629 68,7726 0,0798 - 5,4840 342,5 0,1448 71,6473 0,0669 - 4,7932 347,5 0,1421 72,0941 0,0570 - 4,1093 352,5 0,1139 76,9307 0,0488 - 3,7542 357,5 0,1114 77,3749 0,0456 - 3,5283 362,5 0,1102 77,5889 0,0356 - 2,7621 367,5 0,1094 77,7320 0,0310 - 2,4097 372,5 0,1065 78,2528 0,0260 - 2,0346 ∑ = 104,7368 ∑ = 48,2960 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 46,9208 % = 69,5707 % 84 Tabel 25. Perhitungan Uji Efektivitas Krim Formula KP benzofenon-3 (kontrol positif) λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 3,4280 0,0373 0,1105 0,0041 - 297,5 3,4246 0,0376 0,6720 0,0253 - 302,5 3,4019 0,0396 1,0000 0,0396 - 307,5 3,3927 0,0405 0,2008 0,0081 - 312,5 3,3721 0,0424 0,1364 0,0058 - 317,5 3,3717 0,0425 0,1125 0,0048 - Fp 322,5 3,3425 0,0454 0,1079 - 0,0049 327,5 3,3110 0,0488 0,1020 - 0,0049 332,5 3,2925 0,0510 0,0936 - 0,0047 337,5 3,2911 0,0511 0,0798 - 0,0041 342,5 3,2626 0,0546 0,0669 - 0,0036 347,5 2,8958 0,1271 0,0570 - 0,0072 352,5 2,8774 0,1371 0,0488 - 0,0067 357,5 2,8231 0,1503 0,0456 - 0,0068 362,5 2,8114 0,1544 0,0356 - 0,0055 367,5 2,7963 0,1598 0,0310 - 0,0049 372,5 2,6642 0,2167 0,0260 - 0,0056 ∑ = 0,08877 ∑ = 0,0589 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 0,0392 % = 0,0848 % 85 Tabel 26. Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 1 % (KrT 1 %) λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 2,2240 0,5970 0,1105 0,6759 - 297,5 2,1774 0,6646 0,6720 0,4466 - 302,5 2,1535 0,7022 1,0000 0,7022 - 307,5 2,1362 0,7308 0,2008 0,1467 - 312,5 2,1226 0,7540 0,1364 0,1028 - 317,5 2,1124 0,7719 0,1125 0,0868 - Fp 322,5 1,9992 0,9775 0,1079 - 0,1081 327,5 1,9954 0,8035 0,1020 - 0,1031 332,5 1,9721 0,1262 0,0936 - 0,0998 337,5 1,9562 0,8255 0,0798 - 0,0883 342,5 1,9060 0,8381 0,0669 - 0,0830 347,5 1,8719 0,8521 0,0570 - 0,0765 352,5 1,8640 0,8654 0,0488 - 0,0667 357,5 1,8401 0,8768 0,0456 - 0,0659 362,5 1,8269 0,8867 0,0356 - 0,0530 367,5 1,7313 0,8949 0,0310 - 0,0575 372,5 1,7011 0,9038 0,0260 - 0,0517 ∑ = 1,5510 ∑ = 0,8536 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 0,6948 % = 1,1229 % 86 Tabel 27. Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 2 % (KrT2 %) λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 2,4318 0,3699 0,1105 0,0408 - 297,5 2,4157 0,3824 0,6720 0,2569 - 302,5 2,3824 0,4146 1,0000 0,4146 - 307,5 2,3612 0,4353 0,2008 0,0874 - 312,5 2,3384 0,4587 0,1364 0,0626 - 317,5 2,2997 0,5015 0,1125 0,0564 - Fp 322,5 2,2661 0,5419 0,1079 - 0,0585 327,5 2,2536 0,5577 0,1020 - 0,0568 332,5 2,2181 0,6052 0,0936 - 0,0566 337,5 2,1719 0,6731 0,0798 - 0,0537 342,5 2,1482 0,7109 0,0669 - 0,0475 347,5 2,0938 0,8057 0,0570 - 0,0459 352,5 2,0722 0,8468 0,0488 - 0,0413 357,5 2,0614 0,8682 0,0456 - 0,0396 362,5 1,9828 1,0404 0,0356 - 0,0370 367,5 1,7746 1,6803 0,0310 - 0,0521 372,5 1,7218 1,8976 0,0260 - 0,0493 ∑ = 0,9187 ∑ = 0,5383 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 0,4115 % = 0,7754 % 87 Tabel 28. Perhitungan Uji Efektivitas Krim Tabir Surya Ekstrak Etanol 70 % Teh Hitam Konsentrasi 3 % (KrT 3 %) λ (nm) A %T Fe Ee (% T x Fe) Ep (% T x Fp) 292,5 2,5317 0,2939 0,1105 0,0325 - 297,5 2,5094 0,3094 0,6720 0,2079 - 302,5 2,4928 0,3215 1,0000 0,3215 - 307,5 2,4816 0,3299 0,2008 0,0662 - 312,5 2,4611 0,3458 0,1364 0,0471 - 317,5 2,4394 0,3636 0,1125 0,0409 - Fp 322,5 2,4261 0,3749 0,1079 - 0,0404 327,5 2,4019 0,3963 0,1020 - 0,0404 332,5 2,3996 0,3985 0,0936 - 0,0373 337,5 2,3727 0,4239 0,0798 - 0,0338 342,5 2,3564 0,4401 0,0669 - 0,0294 347,5 2,3019 0,4989 0,0570 - 0,0284 352,5 2,3001 0,5010 0,0488 - 0,0244 357,5 2,2846 0,5193 0,0456 - 0,0237 362,5 2,2442 0,5699 0,0356 - 0,0203 367,5 2,2006 0,6301 0,0310 - 0,0195 372,5 2,1911 0,6440 0,0260 - 0,0167 ∑ = 0,7161 ∑ = 0,3143 % Te = ∑ ∑ % Tp = ∑ ∑ = = = 0,3208 % = 0,4527 % 88 Lampiran 10. Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk Simplisia dan Ekstrak Alkaloid Tanin Flavonoid Minyak atsiri Kuinon Saponin Steroid/Triterpenoid Gambar 25. Hasil Penapisan Fitokimia Simplisia Alkaloid Tanin Flavonoid Minyak atsiri Kuinon Saponin Steroid/Triterpenoid Gambar 26. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak 89 Lampiran 11. Alat Gambar 27. Viskometer Brookfield Gambar 29. Spektrofotometer UV-Vis Gambar 31. Alat Centrifuge Gambar 28. pH Meter Gambar 30. Oven Gambar 32. UV 366 nm 90 Nining Sugihartini Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 130 – 135, 2005 Pengaruh penambahan fraksi etanol dari infusa daun Plantago major L. terhadap efektivitas oktil metoksisinamat sebagai bahan aktif tabir surya The influence of ethanol fractions of infusa of Plantago major L. leaves in effectivity of octyl methoxycinnamate as active ingredient of sunscreen Nining Sugihartini 1), Marchaban 2) dan Suwidjiyo Pramono 2) 1) 2) Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Abstrak Oktil metoksisinamat merupakan bahan aktif tabir surya yang setelah mendapat paparan cahaya matahari mengalami degradasi sehingga penggunaannya sebagai tabir surya menjadi kurang efektif. Antioksidan memiliki potensi sebagai fotoprotektor. Flavonoid yang terkandung dalam fraksi etanol daun Plantago major L. memiliki potensi sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh penambahan fraksi etanol daun Plantago major L. terhadap efektivitas oktil metoksisinamat sebagai bahan aktif sediaan tabir surya. Pada penelitian ini digunakan dua formula. Formula I mengandung oktil metoksisinamat dan formula II mengandung campuran oktil metoksisinamat dengan fraksi etanol daun Plantago major L. (1:1). Kedua formula dipaparkan cahaya matahari selama 5 jam (pukul 09.00-14.00 WIB). Penentuan efektivitas oktil metoksisinamat sebagai tabir surya ditentukan berdasarkan persen transmisi eritema dan persen transmisi pigmentasi pada masing-masing formula sebelum dan sesudah pemaparan dengan cahaya matahari selama 5 jam. Analisis data secara statistik dilakukan dengan Student t test pada taraf kepercayaan 95%. Penambahan fraksi etanol daun Plantago major, L. menurunkan nilai persen transmisi eritema setelah perlakuan pemaparan dengan cahaya matahari selama 5 jam (p<0,05). Fraksi etanol tersebut juga menurunkan secara bermakna persen transmisi pigmentasi baik sebelum atau sesudah pemaparan dengan cahaya matahari (p<0,05). Lebih jauh, karena fraksi etanol daun Plantago major, L. mempunyai serapan maksimum pada 331.8 yang merupakan daerah UVA, kombinasinya dengan oktil metoksisinamat menghasilkan sediaan tabir surya yang efektif sebagai pelindung baik terhadap UVA maupun UVB. Kata kunci : oktil metoksisinamat, fraksi etanol daun Plantago major L., tabir surya. Abstract Octyl methoxycinnamate is an active ingredient of that is degraded by solar irradiation resulting it usage as sunscreen becomes less effective. An antioxidant has capability as a photo-protector. Flavonoid in the ethanolic fraction of Plantago major, L. leaves is reported to have an antioxidant. This research was aimed to examine the influence of the addition of the ethanolic fraction of Plantago major, L. leaves to the effectiveness of octyl methoxycinnamate as a sunscreen. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 130 Pengaruh penambahan fraksi etanol.......... In this research, two formulas were prepared. Formula I contained octyl methoxycinnamate per se and formula II contained a mixture (1:1) of octyl methoxycinnamate and ethanolic fraction of Plantago major, L. leaves. Both formulas were exposed to the sun light for 5 hours (09.00-14.00 WIB) in which samples were taken every hour. The effectiveness of octyl methoxycinnamate was calculated based on the percentage of erythema transmission and the percentage of pigmentation transmission, prior and after the irradiation by the sun light for 5 hours. The statistical data analysis was performed based on the Student t test with a confidence level of 95%. The addition of the ethanol fraction of Plantago major, L. leaves significantly reduced the percentage of the erythema transmission after solar irradiation (p<0.05).The ethanol fraction also significantly reduced the percentage of pigmentation transmission prior and after solar irradiation (p<0.05). Furthermore, as the ethanol fraction had the maximum absorption at 331.8 nm, that is in the UVA spectrum, its combination with octyl methoxycinnamate resulted in a sun screen formulation that protect from UVA as well as UVB Key words: octyl methoxycinnamate, ethanol fraction of Plantago major, L. leaves, sunscreen. Pendahuluan Tabir surya digunakan untuk melindungi kulit dari paparan cahaya matahari langsung. Berdasarkan penelitian Diffey (2001), 90% pengguna tabir surya bertujuan untuk menurunkan resiko terjadinya kanker kulit. Hasil penelitian Green dkk. (1999) menyatakan bahwa penggunaan tabir surya setiap hari tenyata dapat menurunkan probabilitas terjadinya kanker kulit. Banyak bahan yang dapat dipergunakan sebagai tabir surya, salah satu diantaranya adalah oktil metoksisinamat. Mekanisme kerja bahan ini secara kimiawi adalah dengan mengabsorbsi sinar ultra violet (UV) sehingga menghambat penetrasi sinar UV ke dalam lapisan epidermis kulit. Penelitian Astuti (1997) menunjukkan bahwa paparan cahaya matahari ternyata dapat menurunkan kadar oktil metoksisinamat dalam sediaan. Hal ini disebabkan karena oktil metoksisinamat mengalami reduksi oleh cahaya matahari. Hasil degradasi tersebut ternyata tidak lagi bersifat sebagai tabir surya. Black (1990) menyatakan bahwa antioksidan memiliki potensi sebagai fotoprotektor. Cahaya UV dapat memacu pembentukan sejumlah senyawa reaktif atau radikal bebas pada kulit. Senyawa dengan kemampuan antioksidan atau penangkap radikal bebas dapat berkompetisi dengan molekul target dan mengurangi atau mengacaukan efek yang merugikan. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 Antioksidan alami banyak terkandung dalam tumbuhan misalnya vitamin E, vitamin C, beta karoten dan flavonoid. Oleh karena itu, tumbuhan dapat dipergunakan sebagai sumber antioksidan (Kikuzaki dan Nakatani, 1993; Al Saikhan dkk., 1995). Hertiani (2000) melaporkan bahwa flavonoid daun Plantago major, L ternyata aktif sebagai antioksidan dan memiliki potensi lebih besar dari kuersetin yaitu sebesar 41,08 ± 4,96%. Penelitian ini mengkaji penggunaan fraksi etanol infusa daun Plantago major, L (untuk selanjutnya disebut fraksi etanol) terhadap efektivitas oktil metoksisinamat. Hasil penelitian ini diharapkan akan sangat bermanfaat dalam memformulasi sediaan tabir surya menggunakan bahan aktif oktil metoksisinamat dengan memanfaatkan bahan antioksidan alami dari daun Plantago major, L sehingga dapat meningkatkan efektivitas oktil metoksisinamat. Metodologi Bahan Oktil metoksisinamat (PT. Vitapharm, Surabaya), silika gel G, aquades dan aquabides (kualitas farmasi). Metanol dan etanol (p.a E.Merck), kertas saring Whatman 40. Daun Plantago major L. (dari Tawangmangu) yang dipanen pada bulan April 2003. Alat Spektrofotometer uv-1601PC (Shimadzu, Japan), neraca analitik AR2140 Ohaus (New York), penyaring Whatman 0,45 µm nylon, ultrasonic LC 304 (Jerman), alat pembuat lapis tipis. 131 Nining Sugihartini Jalannya Penelitian Pembuatan fraksi etanol major L. daun Plantago Serbuk daun Plantago major L. kering diinfundasi selama 15 menit pada suhu 900 C kemudian diserkai panas. Filtrat diuapkan di atas penangas air sampai kental kemudian ditambahkan etanol berkali-kali sehingga larutan etanol terakhir tidak berwarna lagi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm. Filtrat dievaporasi sampai hampir kering (selanjutnya disebut fraksi etanol). Pembuatan formula sediaan. Formula I, oktil metoksisinamat ditimbang sebanyak satu g, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup yang sudah ditara, kemudian 15 g silika gel G dimasukkan, dan ditambahkan air suling 30 ml kemudian ditimbang. Lapisan lempeng kaca ukuran 5 x 20 cm yang diketahui beratnya disiapkan sebanyak 10 lempeng, dan diletakkan di atas pembuat lapis tipis. Formula segera dikocok kuat dan cepat kemudian diratakan di atas lempeng kaca dengan ketebalan 0,25 mm. Dalam keadaan basah masing-masing lempeng ditimbang dan disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya. Formula II, oktil metoksisinamat dan fraksi etanol daun Plantago major L. ditimbang masingmasing sebanyak satu g lalu dimasukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup yang sudah ditara, kemudian 15 g silika gel G dimasukkan dan ditambah air suling 30 ml kemudian ditimbang. Lapisan lempeng kaca ukuran 5 x 20 cm yang diketahui beratnya disiapkan sebanyak 10 lempeng dan diletakkan di atas pembuat lapis tipis. Formula segera dikocok kuat dan cepat kemudian diratakan di atas lempeng kaca dengan ketebalan 0,25 mm. Dalam keadaan basah masing-masing lempeng ditimbang dan disimpan ditempat yang terlindung dari cahaya. Penyinaran sampel Masing-masing formula (18 sampel) diletakkan pada rak atau tempat yang sesuai, diberi perlakuan dengan disinari langsung di tempat terbuka pada sinar matahari, dengan interval waktu satu jam, dimulai dari pukul 09.00-14.00 WIB. Untuk pembanding masing-masing formula (6 lempeng) diperlakukan tanpa penyinaran (0 jam). Setiap interval waktu masing-masing formula diambil dan disimpan ditempat terlindung dari cahaya matahari. Penentuan efektivitas oktil metoksisinamat Sampel yang sudah mengalami penyinaran (5 jam) dan tanpa penyinaran ( 0 jam ) belum diukur serapannya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 292,5 – 372,5 nm. Dari nilai serapan yang diperoleh dihitung nilai serapan untuk 1 g/l Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 dan T (%) 1 g/l dengan rumus A= - log T. Nilai transmisi eritema dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas eritema (Fe) pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Nilai transmisi pigmentasi dihitung dengan cara mengalikan nilai transmisi (T) dengan faktor efektivitas pigmentasi (Fp) pada panjang gelombang 292,5-372,5 nm. Selanjutnya nilai persen transmisi eritema dihitung dengan rumus=ΣTxFe/ ΣFe dan nilai persen transmisi pigmentasi dihitung dengan rumus=ΣTxFe/ ΣFe (Cumpelik, 1972). Hasil Dan Pembahasan Efektivitas oktil metoksisinamat dilihat berdasarkan nilai persen transmisi eritema dan persen transmisi pigmentasi yang ada. Pengaruh penambahan fraksi etanol terhadap efektivitas oktil metoksisinamat dilihat berdasarkan perubahan nilai persen transmisi eritema dan pigmentasi antara formula I dan II baik yang belum mengalami perlakuan penyinaran ataupun yang sudah mengalami perlakuan penyinaran yang dalam hal ini dipakai penyinaran selama 5 jam. Nilai persen transmisi eritema dan persen transmisi pigmentasi pada formula I dan II baik yang belum mengalami penyinaran (0) maupun yang sudah (5) disajikan pada Tabel I. Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa baik nilai persen transmisi eritema maupun persen transmsisi pigmentasi mengalami perubahan setelah penambahan fraksi etanol maupun dengan perlakuan penyinaran. Untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang signifikan maka dilakukan uji-t dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil perhitungan uji-t (Tabel II). Pada nilai persen transmisi eritema terlihat bahwa dengan perlakuan penyinaran ternyata memberikan nilai yang berbeda secara bermakna (p < 0,05) baik pada formula I dan II. Pada formula I sebelum penyinaran nilai transmisi eritema sebesar 3,84 x 10-9 (4,10x10-9) dan setelah mendapatkan penyinaran 5 jam menjadi 4,13 x 10-5 (1,16x10-5), sedangkan pada formula II sebelum penyinaran nilai transmisi eritema sebesar 2,71x10-13 (3,82x10-13) dan setelah mendapatkan penyinaran selama 5 jam menjadi 4,79x10-7 (7,36x10-8). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa setelah perlakuan penyinaran selama 5 jam nilai persen transmisi eritema meningkat secara bermakna (p < 0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan kadar oktil 132 Pengaruh penambahan fraksi etanol.......... Tabel I. Nilai persen transmisi eritema dan persen transmisi pigmentasi pada Formula I dan II baik yang belum mengalami penyinaran (0) maupun yang sudah (5) Formula % Transmisi eritema % Transmisi pigmentasi I.0 3,84 x 10-9 (4,10x10-9) I.5 4,13 x 10-5 (1,16x10-5) II.0 2,71 x 10-13 (3,82x10-13) II.5 4,79 x 10-7 (7,36x10-8) Keterangan : I.0 = Formula I tanpa perlakuan penyinaran I.5 = Formula I dengan penyinaran 5 jam II.0 = Formula II tanpa perlakuan penyinaran II.5 = Formula II dengan penyinaran 5 Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi 12,08 (1,66) 7,32 (0,81) 5,18 (1,14) 2,9 (0,06) Tabel II. Hasil uji-t antar formula dan perlakuan penyinaran Formula Perbedaan % Transmisi eritema I.0 dengan I.5 Berbeda bermakna II.0 dengan II.5 Berbeda bermakna I.0 dengan II.0 Tidak berbeda bermakna I.5 dengan II.5 Berbeda bermakna Keterangan : I.0 = Formula I tanpa perlakuan penyinaran I.5 = Formula I dengan penyinaran 5 jam II.0 = Formula II tanpa perlakuan penyinaran II.5 = Formula II dengan penyinaran 5 jam metoksisinamat sebagai bahan pelindung dari matahari semakin kecil karena mengalami degradasi. Hal ini sesuai dengan data pada analisis fotostabilitas dengan adanya pengaruh penyinaran. Semakin lama waktu penyinaran, oktil metoksisinamat yang terdegradasi semakin meningkat sehingga tidak bisa lagi secara optimal melindungi kulit. Semakin kecilnya kadar oktil metoksisinamat maka kemampuan untuk menyerap cahaya matahari menjadi menurun dan semakin besar energi matahari yang dapat diteruskan ke permukaan kulit. Akibatnya kulit menjadi lebih mudah mengalami eritema karena sengatan cahaya matahari. Pengaruh penambahan fraksi etanol pada nilai persen transmisi eritema dapat dilihat pada perbandingan persen transmisi eritema antara formula I.0 dengan II.0 dan juga antara I.5 dengan II.5. Pada perbandingan formula I.0 dengan II.0 ternyata tidak berbeda secara bermakna (p > 0,05) antara sebelum penambahan dan sesudah penambahan fraksi etanol. Hal ini kemungkinan disebabkan karena keduanya belum mengalami perlakuan penyinaran Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 Perbedaan % Transmisi pigmentasi Berbeda bermakna Tidak berbeda bermakna Berbeda bermakna Berbeda bermakna sehingga pengaruh adanya penambahan fraksi etanol belum terlihat, sedangkan pada perbandingan formula I.5 dan II.5 yang sudah mengalami perlakuan penyinaran selama 5 jam ternyata menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05). Nilai % transmisi eritema pada formula I.5 sebesar 4,13x10-5 (1,16x10-5), sedangkan pada formula II.5 (ada penambahan fraksi etanol) ternyata memberikan nilai yang lebih kecil yaitu sebesar 4,79x10-7 (7,36x10-8). Ini berarti dengan penambahan fraksi etanol dapat menurunkan terjadinya eritema. Meskipun pada analisis kuantitatif peningkatan kadar oktil metoksisinamat setelah penambahan fraksi etanol tidak memberikan peningkatan yang bermakna namun kemungkinan peningkatan kadar tersebut dapat membantu menurunkan terjadinya eritema. Kemungkinan lainnya adalah flavonoid dalam fraksi etanol yang telah terbukti mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dapat bersaing dengan senyawa yang dirusak oleh cahaya matahari. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Black (1990) bahwa cahaya matahari dapat menyebabkan 133 Nining Sugihartini terbentuknya senyawa reaktif atau radikal bebas dan antioksidan dapat bersaing dengan molekul target sehingga kerusakan yang terjadi dapat dikurangi. Lebih jauh diketahui bahwa fraksi etanol yang mengandung flavonoid memberikan serapan pada panjang gelombang 331,8 nm yang merupakan daerah spektra UV A sehingga penambahan fraksi etanol diduga mempunyai efek protektan terhadap UV A. Dewasa ini disadari bahwa perlindungan terhadap UV A sangat penting terutama terkait dengan kemungkinan terjadinya neoplasia, penuaan kulit dan perubahan imunologi pada kulit. Diketahui bahwa untuk memberikan efek yang sama dengan UV B dibutuhkan 1000 kali lebih banyak foton UV A namun UV A lebih mudah menembus atmosfer, sekitar 10-100 kali lebih banyak UV A diterima bumi dibandingkan UV B. Hal ini menyebabkan pengaruh UV A menjadi faktor yang sangat penting terhadap eritema dan kerusakan kulit karena cahaya matahari (Harber dkk., 1990). Pengaruh penambahan fraksi etanol terhadap nilai persen transmisi pigmentasi dapat dilihat pada perbandingan formula I.0 dengan II.0 dan formula I.5 dengan II.5. Nilai persen transmisi pigmentasi formula I.0 sebesar 12,08 (1,66) sedangkan pada formula II.0 sebesar 5,18 (1,14). Pada formula II.0 nilai persen transmisi pigmentasi menurun (p < 0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada formula II.0 terdapat fraksi etanol yang memiliki daya serap pada daerah UV A. Diketahui bahwa cahaya UV A menyebabkan efek pigmentasi pada kulit. Dengan adanya fraksi etanol tersebut maka cahaya UV A akan terserap sehingga efek pigmentasinya menurun. Demikian juga setelah kedua formula mengalami penyinaran dengan cahaya matahari selama 5 jam. Nilai persen transmisi pigmentasi pada formula I.5 sebesar 7,32 (0,81) sedangkan pada formula II.5 sebesar 2,9 (0,06). Nilai persen transmisi pigmentasi menurun pada formula II.5 (p < 0,05). Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena keberadaan fraksi etanol yang mampu menyerap pada daerah cahaya UV A sehingga nilai persen transmisi pigmentasinya menurun. Pengaruh penyinaran selama 5 jam terhadap nilai persen transmisi pigmentasi pada formula I dan II ternyata menyebabkan penurunan secara bermakna pada formula I (p < 0,05) dan tidak bermakna pada formula II (p > 0,05). Hal ini merupakan hal yang menguntungkan karena kulit menjadi tidak cepat berwarna setelah terkena paparan cahaya matahari. Pada formula II terdapat fraksi etanol daun Plantago major L. Berdasarkan data tersebut makin memperkuat dugaan bahwa fraksi etanol daun Plantago major L. memang memiliki potensi sebagai fotoprotektor terhadap UV A. Kesimpulan Penambahan fraksi etanol daun Plantago major, L. menurunkan nilai persen transmisi eritema khususnya setelah perlakuan pemaparan dengan cahaya matahari selama 5 jam (p<0,05). Fraksi etanol tersebut juga menurunkan secara bermakna persen transmisi pigmentasi baik sebelum atau sesudah pemaparan dengan cahaya matahari (p<0,05). Lebih jauh, karena fraksi etanol daun Plantago major, L. mempunyai serapan maksimum pada 331.8 yang merupakan daerah UVA, kombinasinya dengan oktil metoksisinamat menghasilkan sediaan tabir surya yang efektif sebagai pelindung baik terhadap UVA maupun UVB. Daftar Pustaka Al-Saikhan, M.S., Howard, L.R., and Miller Jr., J.C., 1995, Antioxidant Activity and Total Phenolics in Different Genotypes of Potato (Solanum tuberosum L.), J. Food Sci., 60(2), 341-342. Astuti, R., 1997, Fotostabilitas Oktilmetoksisinamat dan Pengaruhnya terhadap Fotostabilitas Triptofan, Tesis, Program Pascasarajana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Black, H.S., 1990, Antioxidant and Carotenoids as Potential Photoprotectants dalam Nicholas, J.L dan Nadim, A S. (Eds.,) Sunscreens Development, Evaluation and Regulatory Aspects, 267273, Vol. 10, Marcel Dekker Inc., New York. Diffey, B., 2001, Sunscreen isn’t Enough, J. Photochem. Photobiol., 64, 105-108. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 134 Pengaruh penambahan fraksi etanol.......... Green, A., Williams, G., and Neale, R., 1999, Does Daily Use of Sunscreen or β-carotene Supplements Prevent Skin Cancer in Healthy Adults?, Lancet, 354, 723-729. Harber, L.C., DeLeo, V.A., and Prystowsky, J.H., 1990, Intrinsic and Extrinsic Photoprotection Against UVB and UVA Radiation dalam Lowe, N.J and Shaath, N.A. (Eds.), Sunscreens Development, Evaluation and Regulatory Aspects, 367, Marcel Dekker, Inc., New York. Hertiani, T., 2000, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Antioksidan dari Daun Plantago major L, Thesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kikuzaki, H. and Nakatani, N., 1993, Antioxidant Effect of Some Ginger Constituent, J. Food Sci., 58(6) 1407-1408. Majalah Farmasi Indonesia, 16 (3), 2005 135 Fitokimia herba konyal Di Indonesia jenis-jenis Passiflora yang ada lebih dikenal dengan buahnya yang bisa dimakan dan memiliki rasa dan aroma yang lezat ( Passiflora edulis Sims, Passiflora foelidal, Passiflora laurifolia L dan lain-lain). Pemakaian dalam pengobatan hanya sebagai eksfektoran (buah Passiflora foetida L), antelmintik (daun Passiflora lautiflora L) dan obat raja singa serta kencing nanah (daun Passiflora quadrangularis L) (1). Passiflora yang dikenal dengan sebutan "Passion Flower" atau "Mararuja" mempunyai sejarah yang panjang dan beraneka ragam sebagai sedatif alami. Ibu-ibu di Brasilia memanfaatkan keefektifannya yang menenangkan anak-anak hiperaktif dan mempunyai kemampuan membantu mengatasi kekejangan dengan secangkir teh mararuja atau dua gelas jusnya. Mararuja menimbulkan rasa kantuk yang alami "natural sleepiness", tanpa menyebabkan depresi sistem saraf dan karena itu digunakan untuk semua jenis insomnia. Penderita di bawah pengaruhnya akan terpelihara ketenangan dan kemampuan berfikir, berbicara, bergerak, sehingga akhirnya tertidur. Pada penggunaan berlanjut, tidak ada kontraindikasi karena toksik dan adiktif (2). Di Jerman telah dibuat obat atau ekstrak herba Passiflora incarnata L. sebagai sedatif dan perbaikan kardiotonik seperti Plantival, sanadarmin, sedinfant, krauter-dragees dan lain-lain (5) Marga Passiflora yang berkerabat dengan Caricaceae, suku pepaya diketahui mengandung alkaloid, fenol, tanin dan senyawa sianogenik, flavonoid glikosida telah ditemukan pada beberapa jenis Passiflora ini, beberapa diantaranya diidentifikasi sebagai flavonoid dengan ikatan C-glikosida (2, 3, 4). Telaah fitokimia ini dilakukan untuk meneliti kandungan kimia herba Passiflora edulis Sims, yang satu marga dengan Passiflora incarneta L. dan banyak ditemukan di Jawa Barat sehingga hasilnya bisa dikembangkan lebih lanjut. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Botani Tinjauan botani meliputi aspek klasifikasi tumbuhan, nama daerah, ekologi dan penyebaran, morfologi tumbuhan, serta khasiat dan kegunaannya. Klasifikasi Tumbuhan Klasifikasi tumbuhan Passiflora edulis Sims, adalah: Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak kelas : Dilleniidae Bangsa : Violales Suku : Passifloraceae Marga : Passiflora Jenis : Passiflora edulis Sims (6) Nama Daerah Nama daerah Passiflora edulis Sims adalah : buah negeri (Jawa), paksi (Sunda), konyal, areuy pasi, buah monyet (1, 7, 8). Jenis Passiflora lain Jenis Passiflora lain yang dikenal di Indonesia antara lain adalah Passiflora foelida L. dengan nama daerah gegombo (Aceh), lemanas (Palembang), remugak (Lampung), kaceprek, pacean, permot, rajutan (Sunda), ceplukan blungsun (Jawa). Passiflora laurifolia L. dengan nama daerah buah susu, markisa leutik (Sunda); Passiflora mixtra L.F. dengan nama daerah tidak diketahui; Passiflora nilida H.B.le. yang tidak memiliki nama daerah, dan Passiflora guandrangularis L. dengan nama daerah markisa (Indonesia), prubis (Palembang), erbis, markusa (Sunda), belewa (Sumatra timur) (1,7). Jenis lain yang ada di dunia adalah Passiflora alata, Passiflora coccinea, Passiflora incarnata, Passiflora ligularis, Passiflora maliformis, Passiflora mollissima dan lain-lain. Morfologi Tumbuhan Passiflora edulis Sims merupakan terna merambat sedikit berkayu kuat tapi berumur pendek (5-7 tahun), dengan panjang lebih dari 15 m. Tangkainya gundul, berakar dan berwarna hijau. Memiliki sulur aksilar, berpilin, bergulung lebih panjang dari daunnya. Daun mempunyai Stipula dan petiolus: stipula lanseolatus, panjang 1 cm, petiolus dengan panjang 2-5 cm, bagian atas beralur, memiliki dua kelenjar bundar pada puncaknya. Daun muda tidak berlobus, selanjutnya jadi bentuk palmatus dengan tiga lobus, dasar daun kordalus: lobus ovalus oblong, 10-15 cm x 12-25 cm, akuminatus, tepinya bergerigi dengan ujung berkelenjar. Bunga tunggal, aksilar, berbau harum, indah, dengan diameter 7,5-10 cm, pedunkulus triangularis, panjang 2-5 cm, dekat apeks, berdaun tiga, braktea ovalus-oblong menjalar, bagian bawah kuning kehijauan, bagian atas putih bagian tepi dengan lebih dari empat kelenjar, apeks dengan bagian seperti dua, lima petal, bebas, putih dan tipis, berselang-seling dengan lobus kaliks. Korong terdiri dari dua barisan terluar berombak, benang tersebar, panjang 2-3 cm berwarna putih dengan dasar ungu, dan tiga barisan lebih dalam berupa papilla pendek berujung ungu. Stamen berjumlah lima, filamen bersatu dalam pipa melingkar ginotor kira-kira 1 cm dan kemudian terbagi dengan luas 1 cm. Antena besar, ovarium ginofor, ovoid, satu lokular dengan tiga plasenta palietal. Stilus berjumlah tiga, horizontal, klavatus, dengan alur longitudinal, panjang 1 cm stigma reniform atau condiform dengan diameter 0,5 cm. Buah bulat atau ovoid, 4-12 cm x 4-7 cm, ungu tua atau kuning jernih eksokarp keras dan tipis, mesokarp kehijauan, endokarp putih. Berbiji banyak berikat pada dinding ovarium, dilengkapi oleh aroma daging buah yang kekuningan atau yang banyak mengandung air yang dapat dimakan; rasanya kuat, biji hitam dan bergigi tiga pada dasarnya (8). Ekologi dan Penyebaran Terna merambat ini berasal dari selatan dan tumbuh di tepi hutan hujan dan di Asia Tenggara tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan 2000-3000 mm. Di Indonesia Passiflora edulis Sims ini tidak banyak dibudidayakan, tetapi banyak ditemukan di Jawa Barat pada ketinggian antara 1300-1700 m diatas permukaan laut di banyak tempat dan tumbuh liar dalam jumlah besar. Di dalam jurang-jurang gunung Cikuray, Papandayan, dan Malabar permukaan tanah yang luas telah dirimbuni dengan batang-batangnya yang tumbuh saling merapat. Penduduk menganggapnya sebagai tumbuhan hutan dan berpuas hati dengan buah yang didapat mereka kumpulkan di hutan itu. Passiflora ini tumbuh paling baik di Jawa Barat pada 400 kali dan lebih. Perkembangbiakan dengan biji atau stek dan tumbuh cepat. Tumbuhan ini berbunga beberapa kali dalam setahun dan selalu berbuah, yang terbanyak pada bulan Desember, Januari dan Juni (7). Khasiat dan Penggunaan Sampai saat ini yang biasa dimanfaatkan dari Passiflora edulis ini adalah buahnya yang bisa dimakan dalam keadaan segar atau diambil daging buahnya yang bisa dimakan dalam keadaan segar atau diambil daging buahnya dan diawetkan dengan pemanasan atau pendinginan. Jus buah ini memiliki rasa yang unik, kuat dan asam. Jenis produk yang bisa diperoleh antara lain es krim, serat, nektar, jus, konsentrat, perasan, selai dan jelly (8). Di Indonesia Passiflora edulis Sims hanya dimanfaatkan buahnya. Di Brazil selain sebagai makanan juga dimanfaatkan sebagai sedatif. Sedangkan di Peru digunakan sebagai makanan dan untuk infeksi saluran kencing (2). Kandungan Kimia Passaiflora edulis Sims, mengandung flavonoid, alkaloid, niacin, riboflavin, tiamin, asam askorbat, ? - karoten, asam sitrat, asam malat, etil butilat, etil kaproat, n-heksil butirat, n-heksil haproat, kalsium, besi, fosfor, kalium, natrium, pekilin-metil estrase fenolase (2). Tinjauan Kimia Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Semua flavonoid, menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semuanya mengandung atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan pra zat dari alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoid dalam tumbuhan umumnya terikat sebagai glikosida, baik O-glikosida maupun C-glikosida (9, 10). Flavonoid yang dilaporkan terdapat pada Passifora edulis Sims, adalah 6-C-C6-deo lingkik spiranosil J-3, 4, 5, 7-tetra hidroksiflavon atau disebut juga 6-c-husnovosiluteolin dengan struktur sebagai berikut: gbr1 Gambar 1.1. Struktur kuinovosilukolin (2) Steroid dan Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis dirumuskan dari hidrokarbon C30 asiklin, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklin dan nisbi rumit, kebanyakan berupa alcohol, aldehida atau asam karbohidrat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, sering bertitik leleh tinggi dan aktif optik pada umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru. Triterpena dapat dipilih menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saiconon dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir sebenarnya triterpena atau seteroid yang terdapat sebagai glikosida (10). Passiflora edulis Sims dilaporkan mengandung triterpenoid yang disebut passiflorin atau asam passiflorat dengan struktur sebagai berikut: Gambar 1.2: Struktur asam passiflorat (2) Alkaloid Tidak ada istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi umumnya alkaloid ini mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tak berwarna, seringkali bersifat aktif optik kebanyakan berbentuk kristal pada suhu kamar. Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis kebanyakan asam amino lebih rumit. Secara kimia alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya dari segi biosintesis merupakan terpenoid termodifikasi alkaloid lain terutama berupa senyawa atomatik dengan gugus basa sebagai rantai samping (10). Passiflora edulis Sims dilaporkan ini dengan alkaloid hormon yang memiliki struktur sebagai berikut: Gambar 13: Struktur harmin (11) Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu pelarut yang kepolarannya menengah (diklor metan atau etilasetat) kemudian pelarut yang bersifat polar (metanol atau etanol) (10). Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi sinambung. Ekstraksi Sinambung Ekstrasksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet. Pelarut penyair yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soxhlet dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh bagian linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki. Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pelarut murni sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa termolabil (10). Ekstraksi Cair-cair Ekstraksi cair-cair juga diperlukan untuk mengekstraksi senyawa glikosida untuk umumnya polar (aglikon yang berikatan dengan gula monosakarida dan disakarida). Ekstraksi cair-cair untuk glikosida biasanya dilakukan terhadap ekstrak etanol atau metanol awal. Ekstrak awal ini dilarutkan dalam air kemudian diekstraksi dengan etilasetat dan n-butanol. Glikosida terdapat dalam fase etilasetat atau n-butanol. Selain itu ekstraksi cair-cair dilakukan terhadap reaksi awal untuk menghilangkan lemak dan ekstrak tersebut jika bagian tumbuhan yang diekstraksi belum dihilangkan lemaknya pada ekstrak awal. Metode Pemisahan Prinsip dari pemisahan adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penserapan). Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketukketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian ke dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali elusi adalah sebagai berikut: untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 g ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini diameter corong dipilih sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (13). Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Metode Isolasi dan Pemurnian Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (14). Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis, kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik dalam waktu singkat menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam sulfat pekat yang bersifat korosif, kelemahannya adalah harga Rf yang tidak tetap (10, 15). Kromatografi Kertas Preparatif Kromatografi kertas dapat digunakan terutama untuk kandungan tumbuhan yang mudah larut dalam air, satu keuntungan utama kromatografi kertas ialah kemudahan dan kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai medium pemisahan dan penyangga. Untuk kromatografi kertas preparatif diperlukan kertas yang lebih besar dari pada untuk analisis. Keuntungan yaitu beban langan bilangan Rf yang besar sehingga pengukuran Rf merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru, kromatografi kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian asam penyerapan (10). Metode Karakterisasi Isolat Isolat murni yang diperoleh ditentukan dahulu golongannya dengan cara kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas dan kemudian diklasifikasi menggunakan pereaksi penampak bercak yang sesuai. Selanjutnya isolat dikarakterisasi secara spektrofotometri ulatraviolet dan spektofotometri infa merah untuk flavonoid dipakai pereaksi geser. Spektrofotometri Ultraviolet Spektrofotometri ultraviolet adalah pengukuran absorpsi radiasi elektromagnetik suatu senyawa di daerah ultraviolet (200-350 nm). Gugusan atom mengabsorpsi sinar ultraviolet adalah gugus kromofor yang mempunyai ikatan kovalen tak jenuh. Absorpsi radiasi dipengaruhi oleh organ gugus fungsi lain dalam molekul gugus tersebut adalah gugus auksokrom. Bila gugus auksokrom diikat oleh gugus kromofor maka intensitas absorpsi radiasi akan meningkat. Alat spektrofotometri ultraviolet terdiri atas sumber radiasi, monokromotor, wadah sampel, detektor dan rekorder. Sumber radiasi untuk pengukuran di daerah ultraviolet adalah lampu deuterium. Monokromotor berpungsi untuk memperoleh radiasi monokromatis dari sumber radiasi polikromatis. Sampel yang akan dianalisis ditempatkan dalam suatu selatan kuvet berbentuk kotak persegi panjang atau silinder kemudian kuvet ini ditempatkan dalam wadah sampel yang terdapat pada alat spektrofotometer. Detektor berfungsi sebagai petunjuk adanya radiasi yang ditransmisikan oleh sampel dan mengukur intensitas radiasi tersebut. Rekorder dapat menggambarkan secara otomatis kurva serapan pada kertas rekorder. Pelarut yang biasa digunakan dalam spektrofotometer ultraviolet adalah etanol 95% karena kebanyakan senyawa larut dalam pelarut ini. Pelarut lain yang dapat dipakai adalah air, metanol, n-heksan, eter minyak bumi dan eter (10). Spektroskopi serapan ultraviolet dan serapan tampak merupakan cara yang paling berguna untuk menganalisis flavonoid. Cara ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan memecahkan pola oksigenasi. Disamping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan diamati pergeseran puncak serapan yang terjadi sehingga secara tidak langsung cara ini berguna untuk memecahkan kedudukan gula atau metil yang berikat pada salah satu gugus hidroksi fenol. Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam pelarut metanol atau etanol, meskipun perlu diingat bahwa spektrum yang dihasilkan dalam etanol kurang memuaskan (9). Spektrofotometri Infra merah Rahasia alam banyak mengandung molekul organik yang menunjukkan absorpsi infra merah. Spektrofotometri infra merah sangat sesuai untuk identifikasi gugus fungsi dalam molekul. Dalam hal pengkonformasian struktur suatu zat, spektrum infra merah sering digunakan yaitu dengan membersihkan spektrum zat yang dianalisis dengan spektrum zat pembanding. Spektrum infra merah senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometer infra merah yang terekam secara otomatis dalam bentuk larutan, bentuk gerusan dalam minyak nujol atau dalam bentuk padatan dicampur dengan kalium bromida. Banyak gugus fungsi dapat diidentifikasikan dengan menggunakan frekuensi getaran yang terlihat mengakibatkan spektrofotometri infra merah merupakan cara paling sederhana dan diandalkan untuk menentukan golongan senyawa (10). Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk kering dan sayatan melintang herba seger dengan menggunakan mikroskop. Pelarut yang digunakan adalah air dan kloralhidrat. Penetapan Kadar Abu Total Dua sampai tiga gram serbuk yang telah digerus ditimbang dan dimasukkan ke dalam krus platina atau silikat yang telah dipijar dan ditata, kemudian diratakan. Harus dipisahkan perlahanlahan sampai orang habis, pemisahan dilakuan pada suhu 450o C kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap simplisia yang telah dikeringkan di udara. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL air selama lima menit, bagian yang tidak larut asam disaring dengan penyaring kaca masir atau kertas saring bebas abu lalu dicuci dengan air panas dan dipijar hingga bobot tetap dalam arus yang telah dipijar dan ditata. Kadar abu tidak larut asam dihitung dalam b/b persen terhadap bahan yang telah dikeringkan. Penetapan Kadar Abu Larut Air Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL air selama lima menit. Bagian yang tidak larut disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring bebas abu dipijarkan sampai bobot tetap. Kadar sesuai dengan jumlah abu yang larut dalam air dihitung dalam persen b/b terhadap bahan kering. Penetapan Kadar Sari Larut Air Serbuk dikeringkan di udara kemudian dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL air kloroform menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama enam jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian saring, filtrat sejumlah 20 ml diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditata, residu dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut air dihitung dalam persen sari yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol Cara sama dengan penetapan kadar air larut air tetapi digunakan pelarut etanol 95%. Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan cara penyulingan menurut prosedur yang direkomendasikan oleh "World Health Organization" (WHO), ke dalam labu yang tidak dicuci dengan air dan telah dikeringkan, tuangkan 200 mL toluen dan dua ml air. Kemudian disuling selama dua jam, setelah itu dibiarkan dingin selama 30 menit dan volume air dibaca dengan ketatapan 0,05 mL. Sejumlah 25 gram serbuk dimasukkan ke dalam labu lalu dipanaskan secara perlahan-lahan selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, kecepatan penyulingan mulai diatur lebih kurang dua tetes tiap detik, sehingga sebagian besar air tersuling. Kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga empat tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen penyulingan dilarutkan selama lima menit. Tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar dan diusahakan tidak ada air yang melekat pada tabung penerima. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca kadar air dihitung dalam persen (%).n1 = volume air hasil penyulingan pertama (mL); n = volume air hasil penyulingan kedua (mL) (17). Penetapan Susut Pengeringan Susut pengeringan adalah kadar bagian suatu zat yang menguap. Penetapannya adalah sebagai berikut: sebanyak satu sampai dua gram bahan ditimbang dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan tidak ditata. Bahan dalam harus diratakan hingga merupakan bagian setebal 5-10 mm, kemudian dimasukkan ke dalam lemari pengering, tutup dibuka, dikeringkan berserta tutup harus pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Krus harus segera ditutup jika lemari pengering dibuka, krus dimasukan ke dalam eksikator dan dibiarkan menjadi dingin sama dengan temperatur kamar. Pemeriksaan Kualitatif Beberapa Unsur Anorganik Pemeriksaan ini dilakukan terhadap ekstrak serbuk simplisia dalam air babas mineral dengan spektrometer serapan atom. Unsur-unsur kimia yang ditentukan adalah kinin, natrium, kalsium, magnesium, besi, tembaga dan seng. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan terhadap adanya alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon, steroid dan triterpenoid. Alkaloid Sebanyak dua gram serbuk bahan dilembabkan dalam amnonia 25%, lalu digerus dalam mortir. Kemudian ditambah 20 mL kloroform dan digerus kuat-kuat. Campuran disaring dan difiltrat digunakan untuk percobaan (larutan A). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan kemudian diberi pereaksi drageadorff. Warna jingga yang timbul pada kertas saring menunjukkan alkaloid positif. Larutan A diekstraksi dua kali dengan asam klorida 10% untuk larutan (larutan B). Masingmasing 5 mL larutan B dalam tabung reaksi diuji dengan pereaksi Mayer positif bila endapan putih yang terbentuk bertahan selama 15 menit. Dan positif pada uji dengan pereaksi dragendorff bila terbentuk endapan merah bata yang bertahan selama 15 menit. Flavonoid Sebanyak satu gram bahan ditambah 100 mL air panas, didihkan selama 15 menit, kemudian disaring. Filtrat (larutan C) juga digunakan untuk percobaan saponin, tanin dan kuinon. Larutan C sebanyak lima ml ditambah serbuk magnesium, dua ml alkohol, asam klorida (1:1) dan amil alkohol, dikocok kuat-kuat dan kemudian dibiarkan memisah. Saponin Sebanyak 10 mL larutan C dalam tabung reaksi dikocok vertikal selama 10 detik, kemudian didihkan selama 10 menit. Tanin Sebanyak masing-masing lima ml larutan C dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi. Tabung pertama ditambah dengan larutan besi (14) klorida 1% akan menunjukkan warna hijau violet bila bahan mengandung tanin. Tabung kedua ditambah dengan larutan glatin akan menunjukkan warna hijau violet bila bahan mengandung tanin. Untuk membedakan tanin kahekat dan tanin galat, larutan C ditambah dengan pereaksi Steasny L formaldehid 3%-asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam panas air 90oC. Terbentuknya filtrat dipisahkan dan dijenuhkan dengan natrium asetat. Pada penambahan larutan besi (III) klorida 1% akan terbentuk warna biru tinta atau hitam menunjukkan adanya tanin galat. Kuinon Ke dalam lima ml larutan C ditambahkan beberapa bekas larutan natrium hidroksida IN. Sterol/Terpenoid Sebanyak satu gram serbuk bahan dimaserasi dengan 20 ml eter selama dua jam kemudian disaring. Filtrat sebanyak lima ml diuapkan dalam cawan penguap. Ke dalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat anhidrat, kemudian ditambahkan satu tetes asam sulfat pekat. Ekstraksi dan Pemeriksaan Ekstrak Ekstraksi dilakukan untuk menarik komponen kimia dalam simplisia. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi sinambung dengan alat soxhlet berturut-turut menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat dan etanol. Ekstrak n-heksan selanjutnya diperiksa dengan kromatografi lapis tipis dengan pengembang nheksan; etil asetat (8:2) dan penampak bercak asam sulfat 10% dalam metanol. Ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol juga diperiksa kandungan flavonoidnya dengan kromatografi kertas dua dimensi, dengan pengembang pertama t-butanol; asam asetat; air (3:1:1) dan pengembang kedua asam asetat 15% dengan penampak bercah uap amonia dan alumunium (III) klorida 5% dalam etanol UV366. Ekstrak n-heksan menunjukkan hasil negatif, sedangkan ekstrak etil asetat memberikan enam bercak dengan fluonensi biru muda, kuning terang, hijau muda dan kuning kehijauan. Ekstrak etanol memberikan dua becak berfluoresensi biru dan kuning kehijauan. Fraksinasi dan Pemeriksaan Fraksi Ekstrak n-heksan Fraksinasi ekstrak n-heksan dilakukan dengan kromatografi cair vakum dengan pelarut berturutturut dari non polar sampai polar yang diperoleh dari campuran n-heksan - etol asetat dalam berbagai perbandingan. Hasil dipantau dengan kromatografi lapis tipis silika gel GF254. Pengembang n-heksan, etil asetat (8:2) dan diamati di bawah sinar ultraviolet. Kemudian penampak bercak asam sulfat 10% dalam metanol dan digosongkan. Pola kromatografi yang diperoleh menunjukkan adanya bercak kuning yang terpisah cukup baik dari fraksi n-heksan; etil asetat (9:1) (8:2) dan (7:3) yang berwarna biru ungu setelah disemprot. Ekstrak Etil Asetat Ekstrak etil asetat difraksinasi dengan metode Charanx-Paris sehingga diperoleh fraksi eter (F1), fraksi etil asetat (F2), fraksin-butanol (F3) dan fraksi air (F4). Tiap-tiap fraksi diperiksa dengan kromatografi kertas, pengembang n-butanol: asam asetat: air (4:1:5) dan asam asetat 5% dengan penampak bercak uap amoniak dan alumunium (III) klorida 5% dalam etanol dibawah UV366. Isolasi, Pemurnian dan Karakterisasi Isolat Senyawa dari Ekstrak n-heksan Fraksi n-heksan: etil asetat (9:1) memberikan jumlah bercak sedikit sehingga dipilih untuk dipisahkan lebih lanjut. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi lapis tipis preparatif, pengembang n-heksan: etil asetat (19:1) dan diperoleh enam pita. Dari keenam pita ini, ternyata pita berwarna kuning yang memberikan warna biru ungu dengan asam sulfat 10% yang diharapkan telah murni harus dipreparatif lagi karena pada saat diperiksa dengan UV254 terlihat pemadaman diatas dan dibawah pita tersebut. Pita kuning ini kemudian dipreparatif lagi dengan pengembang n-heksan: etil asetat (7:3) hasilnya dikromatografi lapis tipis dua dimensi dengan pengembang pertama n-heksan: etil asetat (7:3) dan pengembang kedua n-heksan dihasilkan satu becak berwarna kuning yang menjadi biru ungu dengan asam sulfat 10%. Ko-kromatografi dengan pembanding ?-karoten memberikan Rf yang hampir sama. Isolat A ini kemudian diukur dengan spektrofotometer ultraviolet dan diperoleh data dengan dua puncak pada 448 dan 472 nm dalam pelarut n-heksan. Spektrum infra merah isolat ini menunjukkan kemiripan dengan ?-karoten pustaka (19). Senyawa dari Ekstrak Etilasetat Fraksi F2 yang memunculkan frekuensi paling kuat dipreparatif dengan kertas whatman 3 dan pengembang asam asetat 15%. Kelima isolat hasil preparatif kemudian diperiksa dengan kromatografi kertas dua dimensi dengan pengembang pertama n-butanol: asam asetat: air (4:1:5), pengembang kedua asam asetat 15%. Isolat B, B2 dan B4, menunjukkan bercak tunggal, sedangkan isolat B3 dan B5, menunjukkan dua bercak isolat B2 yang berfrekuensi kuning terang dan isolat B4 yang berfrekuensi kuning muda dipilih untuk dikarakterisasi lebih lanjut dengan spektrofotometri ultraviolet. Hasil spektrofotometri ultraviolet isolat B2 dalam metanol memberikan dua puncak utama pada panjang gelombang 269 dan sekitar 320-340 nm. Penambahan natrium hidroksida 2 M memberikan pergeseran pita sekitar 53-73 nm dan pembentukan pita pada panjang gelombang 328 nm, dan tidak ada perubahan setelah lima menit. Penambahan alumunium (III) klorida dan asam klorida hanya menurunkan intensitas, sedangkan penambahan natrium asetat dan asam borat hanya sedikit menaikkan intensitas. Isolat B4 dengan spektrofotometer ultraviolet menghasilkan dua puncak utama pada 267 dan 340 nm. Penambahan natrium hidroksida 2 M menunjukkan pergeseran 6 nm pada pita n dan 55 nm pada pita 1. Sedangkan penambahan alumunium (III) klorida dan asam klorida serta natrium asetat dan asam borat tidak memungkinkan pergeseran berarti. Analisis glikosida terhadap isolat B2 dan B4 dilakukan dengan cara hidrolisis asam, yaitu dengan melarutkan isolat dalam 5 ml asam klorida 2 N: metanol (1:1) dan dipanaskan pada pemanas air selama 60 menit kemudian diuapkan sampai kering. Sisa dilarutkan sempurna dalam sesedikit mungkin pelarut metanol : air (1:1) dan dikromatografi dan kertas whatman 1. Pengembang asetat 15%, penampak bercak alumunium (III) klorida disamping bahan awal untuk mencegah terjadinya hidrolisis (9) diperoleh data bahwa isolat B2 mengalami hidrolisis dilanjutkan dengan Rf yang lebih kecil daripada sebelum hidrolisis. Bercak yang berfluoresensi kuning terang sebelum hidrolisis menjadi samar setelah hidrolisis. Sedangkan isolat B4 tidak mengalami perubahan. Isi hidrolisis kedua isolat kemudian dikromatografi dengan pengembang Isolat B2M menghasilkan becak kuning redup dan isolat B4 hanya bercak coklat redup. Untuk analisis lebih hemat, gula dan aglikan dipisahkan dengan cara menguapkan larutan etanol: air sampai volumenya tinggal sedikit dan dilakukan ekstraksi beberapa kali dengan etil asetat (dengan cara mengocok kuat-kuat dalam tabung reaksi) aglikon berada dalam fraksi etil asetat dan gula dalam fraksi air. Gula dalam fraksi air ini ditentukan jenisnya dengan kromatografi kertas dengan pengembang n-butanol: asam asetat: air (4:1:5) dan penampak bercak ? naftol, gula pembanding glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa (9). Diperoleh data bahwa jenis gula pada isolat B2 adalah ramnosa dengan gula isolat B4 tidak dapat dipecahkan. Masingmasing isolat juga diperiksa dengan pereaksi Molisch, isolat B2 dan B4 memberikan cincin merahnya pada perbatasan air dan asam sulfat tetapi pada violet B4 agak tipis. DAFTAR PUSTAKA 1. Kasahara, S. and S. Hemmi, "Medicinal Herb Index in Indonesia", PT. Eisai Indonesia, Jakarta, 1995, 48. 2. Lutomshi, J., et al, "Pharmacochemical Investigation on Raw Materials of Passiflora Edulis Forma Flavicarpa" , Planta Med., 27 (3), 1975,222,-225. 3. Bruneton, J., "Pharmacognosy Phtochemistry Medical Plants" , Technique & Documentation- Lavoister. 4. Duke, J.A., "Handbook of Medicinal Herb" , CRC Press Inc., Boca Raton, 1985, 347, 362. 5. Wichtl, M., "Herbal Drugs and Phytopharmaceutical" , Medpharm Sientific Publ., Stuttgart, 1994, 363-365. 6. Basuki, U.A., "Sistemik Tumbuhan Tinggi", Pusat Antar Universitas, Bidang Ilmu Hayati, ITB, Bandung, 1991, 89 dan 266-268. 7. Heyne, K., "Tumbuhan Berguna Indonesia" , Jil. II, terjemahan Badan Litbang Kehutanan Jakarta, Yayasan Santana Warna Jaya, Jakarta, 1987, 1456-1459. 8. Verheij, E.W.M and R.E. Coronel (Eds.), "Plant Resources of South East Asia, Edible Fruits and Nuts" , Prosea Foundation, Bogor, 1991/1992, 244-248. 9. Markham. K.R., "Cara Mengindentifikasi Flavonoid" , terjemahan K. Radmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1988, 1-117. 10. Harborne. I.B., "Metode Fitokimia" , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1987, 69-94, 142-158, 234-238. 11. Buckingham. J., et al (eds), "Dictionary of Natural Product", Chapman and Hall, London, 1994, 1352, 3863, 4453. 12. Bombardelli. E., et al., "Passiflorine a new Glycoside from Passiflora Edulis" , Phytochemistry 14, 1975, 2661-2665. 13. Soediro. I., dkk., "Kromatograf i Cepat Sebagai Cara Fraksinasi Ekstrak Tanaman", Acta Pharmaceutica Indonesia, XI (1), 1986, 28-30. 14. Stahl, E., "Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1985, 3-18. 15. Gritten, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarling, "Pengantar Kromatografi" , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1991, 5-9. 16. Ditjen POM, Depkes RI, "Cara Pembuatan Simplisia" , Depkes RI, Jakarta, 1985, 26. 17. Ditjen POM Depkes RI, "Materia Medica Indonesia", Jil.V, Depkes RI, Jakarta, 1989, 51541. 18. Farnsworth. N.R., "Biological and Phytochemical Screaning of Plants" , J. Pharm, SCI., 55 (3), 1996, 243-65. 19. Pouchert, C.J., "The Aldrich Library of Infrated Spectra" , 2nd ed., Aldrich Chemical co. Inc., Milwaukee, 1978, 37. 20. Fleming, I. and H.D. William, "Spectoscope Methods in Organic Chemistry" , Mc Graw Hill Book, London, 1989, 29-36. 21. Mabry, T.J., K.R. Marhham and M.B. Thomas, "The Systematic Identification of Flavonoid" , Springer-Verlog Inc., New York, 1970, 43-45, 55, 71, 98, 99. 22. Depkes RI, "Farmakope Indonesia" , ed 3, Depkes RI, Jakarta, 1976, 807, 817, 840. KARYA ILMIAH ISOLASI SENYAWA ETIL PARA METOKSI SINAMAT (EPMS) DARI RIMPANG KENCUR SEBAGAI BAHAN TABIR SURYA PADA INDUSTRI KOSMETIK Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Praktikum Kimia Fisika yang dibina oleh Bapak Darsono Sigit Oleh: Nur Indah Firdausi Off A / 107331407298 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN KIMIA November 2009 I. Judul: Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat (EPMS) dari Rimpang Kencur sebagai Bahan Tabir Surya pada Industri Kosmetik II. Data/Fakta Fakta yang ada berkaitan dengan senyawa etil para metoksi sinamat dalam rimpang kencur antara lain: 1. Kandungan senyawa kimia dari rimpang kencur (menurut J.J. Afriastini, 1990) antara lain minyak atsiri berupa sineol sebanyak 0.02%, asam metil kanil, pentadekana, ester etil sinamat, asam sinamat, borneol, kamfena, paraeumarina, asam anisat, alkaloid, gom mineral sebanyak 13.7% dan pati 4.14%. Kandungan minyak atsiri dalam rimpang kencur yaitu 2-4% yang terdiri dari etil sinamat, etil p-metoksisinamat, p-metoksi stirena, npentadekana, borneol, kamfen, 3,7,7-trimetil bisiklo [4,1,0] hept-3-ena 2. Isolasi Etil p-metoksisinamat (EPMS) dapat dilakukan dengan berbagai pelarut karena struktur senyawa EPMS terdiri dari gugus polar dan nonpolar sehingga agar lebih efektif maka perlu dilakukan pemilihan pelarut untuk mengekstraknya. Pelarut yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah heksana, etil asetat, alkohol dan aquades. Selain faktor pelarut, suhu juga berpengaruh terhadap proses pelarutan karenanya dilakukan pula optimasi suhu pada proses isolasi dengan pelarut yang telah terpilih. III. Masalah / Kesenjangan 1. Pelarut apa yang sesuai untuk proses ekstraksi dalam isolasi EPMS dari rimpang kencur agar menghasilkan persen isolat tertinggi? 2. Pada suhu berapa proses isolasi EPMS dengan pelarut terpilih yang menghasilkan persen isolat tertinggi? IV. Solusi A. Dasar Teori Kencur (Kaempferia galanga) termasuk suku tumbuhan Zingiberaceae dan digolongkan sebagai tanaman jenis empon-empon yang mempunyai daging buah paling lunak dan tidak berserat. Kencur merupakan tanaman kecil yang tumbuh subur di daerah dataran rendah atau pegunungan yang tanahnya gembur dan tidak terlalu banyak air. Daging buah kencur berwarna putih dan kulit luarnya berwarna coklat. Jumlah daun kencur tidak lebih dari 2-3 lembar dengan susunan berhadapan. Tanaman ini banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional (jamu), fitofarmaka, industri kosmetika, penyedap makanan dan minuman, rempah, serta bahan campuran saus rokok pada industri rokok kretek. Rimpang kencur mempunyai aroma yang spesifik. Di dalam rimpang kencur terdapat banyak zat yang dapat dimanfaatkan, salah satunya adalah kandungan minyak atsiri sebesar 24% yang terdiri dari etil sinamat, etil p-metoksisinamat, p-metoksi stirena, n-pentadekana, borneol, kamfen, 3,7,7-trimetil bisiklo [4,1,0] hept-3-ena. Etil p-metoksisinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur (Kaempferia Galanga) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung kulit dari sengatan sinar matahari. EPMS mengandung senyawa aktif yang ditambahkan pada lotion kulit ataupun pada bedak setelah mengalami sedikit modifikasi yaitu perpanjangan rantai dimana etil dari ester ini digantikan oleh oktil, etil heksil, atau heptil melalui transesterifikasi maupun esterifikasi bertahap. Modifikasi yang dilakukan diharapkan mengurangi kepolaran EPMS sehingga kelarutannya dalam air berkurang dan hal itu merupakan salah satu syarat senyawa sebagai tabir surya. Selain untuk mengurangi tingkat bahaya terhadap kulit, EPMS (bila terhidrolisa) akan melepaskan etanol yang bersifat karsinogenik terhadap kulit sedangkan hasil modifikasinya akan melepaskan alkohol dengan rantai lebih panjang yang tidak berbahaya. EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat, metanol, air, dan heksana. Kelarutan suatu zat padat dan zat cair pada suatu pelarut akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu bila proses pelarutannya adalah endoterm, sedangkan untuk proses pelarutan yang bersifat eksoterm pemanasan justru menurunkan harga kelarutan zat. Fenomena yang kedua ini jarang dijumpai di alam yang umum adalah proses pelarutan yang bersifat endoterm yaitu memerlukan kalor. Beberapa zat dalam larutan akan rusak atau terurai dam menguap dengan pemanasan sehingga suhu ekstraksi harus diperhatikan agar senyawa yang diharapkan tidak rusak. Dalam ekstraksi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus memiliki kepolaran yang sama atau mendekati sama. EPMS adalah suatu ester yang mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat non polar dan mengandung gugus karbonil yang mengikat etil yang bersifat agak polar menyebabkan senyawa ini mampu larut dalam beberapa pelarut dengan kepolaran bervariasi, dimana dalam eksperimen ini dicoba heksana, etil asetat, alkohol dan air dalam pencarian pelarut yang tepat. Selain pelarut, suhu juga ikut berpengaruh terhadap proses ekstraksi suatu bahan, dimana hampir semua zat padat dan zat cair kelarutannya dalam pelarut akan meningkat dengan kenaikan suhu. Beberapa senyawa akan rusak atau terurai dengan kenaikan suhu sehingga tidak mungkin suhu dinaikkan terus selama proses ekstraksi karena itu perlu diketahui suhu optimum untuk proses ekstraksi EPMS ini dengan pelarut yang sesuai yaitu pelarut yang diperoleh dari optimasi pelarut sebelumnya. Tabir surya adalah suatu senyawa yang digunakan untuk menyerap secara efektif sinar matahari terutama daerah emisi gelombang UV sehingga dapat mencegah gangguan pada kulit akibat pancaran secara langsung sinar UV tersebut (Kreps,1972). Secara alamiah kulit manusia telah mempunyai sistem perlindungan terhadap sinar UV yaitu penebalan stratum corneum, pembentukan melanin, dan juga pengeluaran keringat. Namun pada penyinaran yang berlebihan sistem pertahanan alamiah ini tidak mencukupi lagi sehingga menyebabkan beberapa gangguan pada kulit, karena itu diperlukanlah senyawa tabir surya untuk melindungi kulit dari radiasi UV secara langsung. Sinar matahari yang membahayakan kulit adalah radiasi ultraviolet dimana sinar ini dibedakan menjadi tiga, yaitu sinar ultraviolet A (UV-A), UV-B dan UV-C yang ketiganya mempunyai panjang gelombang dan efek radiasi yang berbeda. Sinar UV-A dengan panjang gelombang 320-400 nm mempunyai efek penyinaran, dimana timbul pigmentasi yang menyebabkan kulit berwarna coklat kemerahan. Sinar UV-B dengan panjang gelombang 290320nm memiliki efek penyinaran, dimana dapat mengakibatkan kanker kulit bila terlalu lama terkena radiasi. Sedangkan Sinar UV-C dengan panjang gelombang 200-290nm yang tertahan pada lapisan atmosfer paling atas dari bumi dan tidak sempat masuk ke bumi karena adanya lapisan ozon, efek penyinarannya paling kuat karena energi radiasinya paling tinggi diantara ketiganya yaitu dapat menyebabkan kanker kulit dengan penyinaran yang tidak lama (Hery, 1982). Senyawa tabir surya ada dua macam yaitu senyawa yang melindungi secara fisik dan senyawa yang menyerap secara kimia. Adapun senyawa yang melindungi secara fisik contohnya adalah senyawa titanium oksida, petroleum merah, dan seng oksida, sedangkan senyawa yang menyerap secara kimia contohnya adalah turunan asam p-aminobenzoat, turunan ester pmetoksisinamat, dan oksibenzena. Ciri senyawa tabir surya yang menyerap secara kimia adalah mempunyai inti benzena yang tersubstitusi pada posisi orto maupun para yang terkonjugasi dengan gugus karbonil. Senyawa-senyawa demikian diantaranya adalah turunan asam para amino benzoat (PABA), turunan salisilat, turunan antranilat, turunan benzofenon, turunan kamfer dan senyawa-senyawa turunan sinamat. Senyawa turunan sinamat yang telah digunakan sebagai tabir surya antara lain adalah oktil sinamat, etil4-isopropil sinamat, dietanolamin p-metoksisinamat, dan isoamil pmetoksisinamat. Selain itu sebagai senyawa tabir surya juga masih harus memenuhi persyaratan yaitu senyawa tersebut tidak atau sukar larut dalam air. Beberapa turunan sinamat yang memenuhi persyaratan ini diantaranya oktil p-metoksisinamat, isoamil p-metoksisinamat, sikloheksil p-metoksisinamat, 2-etoksi etil p-metoksisinamat, dietanolamin p-metoksisinamat dan turunan-turunan lain dari sinamat yang mempunyai rantai panjang dan sistem ikatan rangkap terkonjugasi yang akan mengalami resonansi selama terkena pancaran sinar UV. B. Prosedur Cara yang digunakan untuk menentukan suhu yang dapat menghasilkan isolasi senyawa etil p-metoksi sinamat ( EPMS ) yang optimal dari rimpang kencur antara lain maeserasi yang diikuti dengan perkolasi. Setelah didapatkan perkolat selanjutnya dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator, selanjutnya dikristalkan dan direkristalisasi. Untuk lebih memperjelas prosedur yang digunakan, cara di atas kami uraikan sebagai berikut. Rimpang kencur dicuci dengan air hingga bersih, ditiriskan lalu diiris-iris tipis agar mudah kering. Selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari tidak langsung, setelah kering dihaluskan menjadi serbuk dan direndam dalam perkolator dengan pelarut selama 24 jam. Cairan perkolat ditampung dalam erlenmeyer dan residu direndam lagi sampai beberapa kali hingga diperoleh perkolat yang warnanya kuning pucat dengan total perkolat 5 liter tiap kg serbuk. Perkolat selanjutnya dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh larutan pekat yang selanjutnya didinginkan dalam penangas es hingga terbentuk kristal. Kristal yang didapat masih kotor dan dicuci dengan pelarut sedikit saja lalu direkristalisasi dengan metanol hingga didapat kristal jarum yang tidak berwarna. Isolasi dengan proses ekstraksi di atas dilakukan menggunakan beberapa pelarut yaitu etanol, etil asetat, air dan hexana untuk mendapatkan pelarut paling sesuai yaitu pelarut yang mampu mengekstrak EPMS terbanyak dalam berat bahan yang sama dan volume pelarut sama. Setelah diperoleh pelarut yang sesuai selanjutnya dilakukan isolasi dengan ekstraksi menggunakan pelarut tersebut pada berbagai suhu yaitu suhu kamar (30 oC), 50 oC, 70 oC, dan 90 oC. Untuk mempertahankan suhu digunakan waterbath dan agar rendaman tidak kehilangan pelarut maka diusahakan tutup yang memungkinkan pelarut yang menguap akan masuk dalam rendaman kembali. Instrumen penelitian melipuli peralatan isolasi yaitu seperangkat alat perkolasi berupa peralatan gelas, alat pemekat berupa Rotary Vacum Evaporator, peralatan gelas untuk kristalisasi dan rekristalisasi, instrumen pengukur Titik leleh dan dilanjutkan dengan instrumen analisis yaitu UV-Vis, GC-MS, IR dan NMR. Data Instrumen senyawa hasil isolasi dibuat tabel dan dibandingkan dengan data instrumen senyawa EPMS murni sebagai pembanding. Data pada optimasi jenis pelarut berupa massa hasil isolasi yang diperoleh untuk tiap jenis pelarut dihitung persentasenya dengan rumus. Hasil persentase tertinggi menunjukkan proses ekstraksi untuk senyawa EPMS paling sesuai artinya pelarut tersebut mengekstrak EPMS paling sempurna karena mempunyai kepolaran yang paling mendekati kepolaran EPMS itu sendiri. Hasil dari optimasi ini didapatkan pelarut optimum dan selanjutnya digunakan untuk optimasi suhu. Data pada optimasi suhu dengan menggunakan pelarut terpilih berupa massa hasil isolasi juga dihitung persentasenya dengan rumus. Hasil persentase tertinggi menunjukkan bahwa pada suhu tersebut senyawa EPMS terekstrak dengan sempurna, senyawa tidak terurai dan tidak rusak pada suhu tersebut. Hasil dari optimasi ini diperoleh suhu optimum proses ekstraksi EPMS dengan pelarut terpilih. Untuk menafsirkan data instrumen EPMS senyawa hasil isolasi dibandingkan dengan senyawa EPMS murni. Data titik leleh senyawa dikatakan identik bila range titik leleh keduanya sama atau berbeda 0,5-1 oC. Data IR senyawa dikatakan identik bila serapan-serapan pada wilayah panjang gelombang yang sama terhadap sinar infra merah. Data NMR suatu senyawa dikatakan identik bila menghasilkan spektogram yang sama. Data MS suatu senyawa dikatakan identik bila pola fragmentasi keduanya sama. Data UV-Vis senyawa dikatakan identik bila keduanya mempunyai serapan pada wilayah panjang gelombang yang sama. V. Daftar Pustaka AfriastinI, JJ. 1990. Bertanam Kencur. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Ahira, Anne. _____. Manfaat Kencur untuk Obat, (Online), (http:/www.AsianBrain.com, diakses 7 November 2009). Maghfiroh, Yuliatul. 2009. Kencur Kaya Manfaat, (Online), (http://www.google.com, diakses 7 November 2009). Rostiana, dkk. 2005. Budidaya Tanaman Kencur, (Online), (http://www.balittro.go.id, diakses 7 November 2009). Sumari. 2003. Petunjuk Praktikum Kimia Fisika. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang. Taufikurohmah, Titik. 2008. Pemilihan Pelarut dan Optimasi Suhu pada Isolasi Senyawa Etil Para Metoksi Sinamat (EPMS) dari Rimpang Kencur sebagai Bahan Tabir Surya pada Industri Kosmetik, (Online), (http://www.google.com, diakses 7 November 2009). TEKNOLOGI KOSMETIK PHARMDR. JOSHITA.D, MS, PHD DRA JUHEINI, MSi I. PENDAHULUAN • • • • • • Pengertian dan Tujuan Anatomi dan fungsi Kulit, Rambut, Kuku Klasifikasi Umum Karakteristik dan jaminan mutu Proses pengembangan Latar belakang sains, teknologi dan masa depan kosmetika PENGERTIAN KOSMETIKA • PENGERTIAN : Sediaan/paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir &organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut untuk : membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit (SK MENKES no 140/1991) TUJUAN KOSMETIKA • DAHULU : 1.Melindungi tubuh dari alam (panas – sinar matahari – terbakar, dingin – kekeringan, iritasi – gigitan nyamuk). 2. Tujuan Religius : Bau dari kayu tertentu – cendana – mengusir mahluk halus • SEKARANG : Personal hygiene, meningkatkan daya tarik-make up, meningkatkan kepercayaan diri&ketenangan,melindungi kulit-rambut- dari uv yg merusak, polutan dan faktor lingkungan lain, menghindari penuaan • Secara umum : membantu manusia untuk menikmati hidup yang lebih bermanfaat ANATOMI DAN FUNGSI KULIT, RAMBUT, KUKU • Anatomi kulit • Keratinisasi • Sel sebaceous, sebum, keringat, penguapan • Fungsi kulit,warna,kelainan kulit • Acne, aging, proses pigmentasi KLASIFIKASI KOSMETIK: KULIT • • • • • • • • • • • • • • SKIN CARE COSMETICS Kosmetik pembersih: krim dan busa pembersih muka Kosmetika konditioner : lotion, krim masage Kosmetika pelindung: krim dan lotion pelembab MAKE UP COSMETICS Kosmetika dasar: foundation, bedak Make up : lipstik, blusher, eyeshadow, eyeliner Perawatan kuku : cat kuku, pembersih cat kuku BODY COSMETICS Sabun mandi padat-cair, perlengkapan mandi Suncares dan suntan:krim sunscreen, sun oil Antiperspirant & deodoran:deodorant spray-stick-roll on Bleaching,Depilatory Insect repellent KOSMETIKA PERAWATAN RAMBUT, KULIT KEPALA, MULUT, FRAGRANS • • • • • • • • • Pembersih rambut Perawatan rambut Hair styling Pengeriting rambut Pewarna rambut Penumbuh rambut, Tonik Perawatan kulit kepala Pasta gigi, mouth wash Perfume, eau de cologne KARAKTERISTIK MUTU KOSMETIK:mencapai kepuasan konsumen yang terdiri dari design, manufaktur,sales. Persyaratan kualitas dasar meliputi safety,stability,efficacy,usability • Safety:tdk ada iritasi kulit,sensitivitas kulit,toksisitas oral,bercampur dgn bahan lain,tidak berbahaya • Stability:stabil thd perubahan mutu,warna,bau,kontaminasi bakteri • Efficacy:efek melembabkan,melindungi thd uv,membersihkan,mewarnai • Usability:feeling (sensibility,moisturizing, smoothness), kemudahan menggunakan (bentuk,ukuran,bobot,komposisi, penampilan, portability), preference(bau,warna,design) Jaminan mutu kosmetika: jaminan mutu produk untuk mencapai kepercayaan dan kepuasan konsumen (mutu mencapai longterm usage): jaminan safety,stability, efficacy, usability • Safety:uji keamanan,patch test,uji racun logam berat • Stability:uji kestabilan warna, fotoresisten, bau,uji thd panas dan lembab, pengawetan, kestabilan zat aktif,kestabilan fisiko-kimia • Usability:Uji kebergunaan (Sensory test), pengukuran fisikokimia(reologi) • Efficacy:uji efikasi untuk setiap produk JAMINAN MUTU KEMASAN KOSMETIKA • Jaminan perlindungan isi (uji perlindungan thd cahaya, permeabilitas, perlindungan bau) • Jaminan kecocokan bahan (uji ketahanan kimia, thd matahari, uji anti korosi) • Jaminan keamanan bahan (bahan yang memerlukan perhatian:formalin,standar keamanan:Depkes,uji konfirmasi keamana • Jaminan fungsi(thd manusia,fungsi fisik) • Keamanan penggunaan (lingkungan,metode) • Jaminan Disposability (mudah dibuang,aman dimusnahkan) BAHAN PEMBANTU DAN PENGEMAS DALAM KOSMETIK • Bahan Minyak/lemak • Surfaktan : emulgator, suspending agent, stabilizer • Humektan • Polimer • UV absorben • Antioksidan • Sequestering agent dll • Bahan pewarna • Pengemas primer dan sekunder BAHAN MINYAK/LEMAK • • • • • • • • Komponen utama : Trigliserida asam lemak dan gliserin Minyak dan lemak:olive,camellia,macademia,castor oils Wax ester: carnauba,candelilla,jojoba,bees,lanolin Hidrokarbon:paraf.liq,paraf.solid,petrolatum,ceresin,mikr okristalin wax,squalane Asam lemak tinggi : asam laurat, miristat, palmitat, stearat,isostearat Alkohol bermatabat tinggi:cetyl,stearyl,isostearyl,octyl Ester:isopropilmiristat,2-octyldodecylmiristat,cetyl2etilheksanoat,diisostearilmaleat Silikon:dimetilpolisiloksan,metilfenilpolisiloksan, SURFACE ACTIVE AGENT • Anionik:sabun,alkilsulfat,polioksietilenalkile tersulfat,acyl-N-metiltaurat, alkileterfosfat, garam asam N-acylamino • Kationik:alkiltrimetilamoniumklorid,dialkilm etilamoniumklorid,benzalkoniumklorid • Amfoterik • Nonionik HUMEKTAN • • • • • • • • Gliserin Propilenglikol Butilenglikol Polietilenglikol Sorbitol Sodium laktat Sodiumpirolidonkarboksilat Sodium hialuronat POLIMER – bahan yang dapat meningkatkan viskositas fase air – thickening agent, film former, resinous powder • Penstabil emulsi o/w– meningkatkan viskosita fase luar – membentuk suspensi koloidal dalam air – membentuk koloid pelindung di sekitar globul – meningkatkan kestabilan • Self emulsifiers : metilselulosa, sodium alginate, gum arab • Stokes : v = 2gr2(ρ-ρo) / 9η Kelompoknya • Vegetable mucins : gum tragakan, gum karaya, gum arab (akasia), quince mucilago, marsh mallow, Xanthan gum • Alginate :sodium alginate – less sticky dp tragakan dan gum.Ditambah garam Ca pd pH 4-5 lebih mengentalkan.Carrageenan dan agar2 masuk kelompok ini, agar2 hampir tidak digunakan di kosmetik tetapi di industri makanan • Turunan selulose dan senyawa sejenis : metil selulose, CMC, Na CMC.Sifat fisik dan kimianya tetap, dapat dibuat dalam air dingin, tdk menjadi terfermentasi, dan hanya sedikit mmenjadi media pertumbuhan bakteri dan jamur. Reaksinya netral. Berbagai grade ≈ BM≈viskosita lanjutan • Protein dan produk degradasi : gelatin.Viskositas bergantung pada suhu dan pH • Gel anorganik:koloidal alumunium silikat, bentonit, veegum ≈ struktur kristal • Film Formers. Bahan polimer sintetik : PVA, PVP, poliakrilat,reaksi netral, tidak mengiritasi kulit.Etilen oksid BM tinggi:Polyox resin 1%. Carbopol 934 1%/polikarboksimetilen viskositasnya = 4% gum tragakan = 2,5% CMC high grade • Water soluble film former : polietilenglikol BM tinggi,dapat digunakan juga dalam emulsi o/w, ttp lebih banyak digunakan dalam sediaan non lemak UV ABSORBENT • • • • • Turunan Benzophenon Turunan P-aminobenzoate Turunan Methoxycinnamat Turunan Asam Salisilat Lain-lain ANTIOXIDANT • Terutama untuk mencegah ketengikan – ada 2 tipe tengik : oksidatif dan keton • Keton : terjadi pd asam lemak dgn C , 14, hasil kerja molds aspergilum dan penisilium dgn adanya lembab dan bahan nitrogen membentuk keton, baunya khas dan mudah dideteksi secara kimia.Dpt dicegah dengan pengawet lanjutan • Ketengikan oksidatif : asam lemak tdk jenuh menyebabkan molekul asam lemak splitting pada titik double linkage.Hasilnya aldehid yang baunya tidak enak dan iritasi pada kulit krn lemak tengik. Proses oksidatif disebabkan oksigen atmosfer – kontak lemak dengan udara Faktor yang mempercepat terjadinya ketengikan • adanya logam berat spt Fe, Cu, Co, Mn, Sn, Ni – semua yang dapat mengkatalis oksidasi • Pengaruh cahaya • Adanya sejumlah kecil lemak tengik • Adanya asam lemak bebas • Adanya air dan enzim tertentu yang menghidrolisis gliserida • Disimpan di tempat panas Menghindarkan • Cegah faktor tsb di atas • Gunakan antioksidan :NDGA, etilgalat, BHA,BHT,dihidroquercetin, diisoeugenol, amina2, tokoferol, dihidrochroman SEQUESTERING AGENTS • • • • • • • • Sodium edetat (EDTA) Phosphoric acid Citric acid Ascorbic acid Succinic acid Gluconic acid Sodium polyphosphate Sodium metaphosphate BAHAN LAIN • Bahan Pewarna • Bahan Pengemas: primer, sekunder KERUSAKAN DAN STABILITAS PRODUK • Jenis kerusakan sediaan kosmetika • Uji stabilita KOSMETIKA MEDIK DAN BAHAN AKTIF KOSMETIKA • • • • • • • • Vitamin Hormon Zat pemutih Tabir matahari Anti ageing Antioksidan Radical scavenger Serum protein:protein, pepton, peptide, asam amino • Bahan-bahan lain:deodorant, antiperspirant, antiinflamasi, astringens, refrigeran, antihistamin Vitamin • Lihat OHP HORMON • Folicle Hormone (Estrogen) dalam dosis tinggi sebagai anti jerawat : Estradiol dan esternya spt estron, etinil estradiol • Adreno Cortical Hormone (ACH) memperbaiki kulit usia >40 thn berfungsi sebagai antiinflamasi, pemutih kulit : Cortisone, hidrokortison, dan esternya spt prednison, prednisolon TABIR MATAHARI-UV ABSORBENT • Sinar UV 290-400 nm • Digunakan untuk mengabsorb sinar UV pd panjang gelombang 290-400 nm untuk menghindari kerusakan kulit termasuk erythema, sunburn,suntan,premature aging juga kerusakan preparat kosmetika itu sendiri dan wadah • Non toksik, mengabsorbsi UV dalam range luas,tidak rusak krn UV dan panas, bercampur dengan bahan lain • Lihat tabel Zat Pemutih • Lihat OHP PROSES MANUFAKTUR DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI KOSMETIKA • Formulasi : konsep, kajian pustaka dan input market, trial laboratorium • Uji stabilita awal dan uji aplikasi • Identifikasi peralatan yang diperlukan • Scale up • Riset pengembangan produk RISET PENGEMBANGAN PRODUK • Pengembangan formula • Pengembangan bahan aktif baru, bahan pembantu baru • Pengembangan bentuk sediaan baru • Pengembangan proses manufaktur FORMULASI • Mengingat bahan-bahan baku dan peralatan yang ada, serta keterbatasan waktu, sedangkan suatu produksi kosmetika harus segera diproduksi untuk mengejar musim, tren, fesyen dan lainlain, maka kita harus pandai memilih formulasi agar kosmetika itu dapat segera diproduksi dan dapat memenuhi maksudmaksud tertentu. TAHAPAN FORMULASI • Input konsep,kajian pustaka,permintaan pasar,percobaan di lab • Uji klinis sederhana/uji aplikasi • Uji keamanan formula dan bahan baku (iritasi formula/bahan baku) • Uji stabilita skala lab UJI STABILITA AWAL, UJI APLIKASI, UJI EFIKASI • Uji stabilita awal dari formula yang dibuat (skala lab) • Uji aplikasi (uji klinik sederhana): perabaan/feeling (sensibility, moisturizing, smoothness), kemudahan digunakan (bentuk, ukuran, bobot, komposisi, penampilan), preferensi (bau, warna, design) • Uji efikasi: efek melembabkan, efek melindungi terhadap sinar uv, efek membersihkan, efek pewarnaan IDENTIFIKASI PERALATAN YANG DIPERLUKAN • • • • Mixing / Emulsification Tanks. Dispersing / Grinding Mills. Homogenizers. Filling Equipment. SCALE UP • Pembesaran produksi dari laboratory size batches ( ±5 kg) atau clinical batches (sampai 25 kg), ke pilot plant batches (25-200 kg) umumnya disebut sebagai scale-up formulasi atau produksi. • Untuk produksi kosmetika yang masih baru, scale-up dapat dirampungkan dalam dua fase : • Pembuatan Clinical Batches • Pembuatan Pilot Plant Batches CLINICAL BATCH: 25 KG • Pengalaman pertama dengan batches ukuran agak besar umumnya ditemui disini. Maka disarankan agar formulator dari produk itu hadir menyaksikan pembuatan clinical batch tersebut untuk menghindari terjadinya sesuatu problema yang mungkin timbul akibat tidak tersedianya metoda pembuatan yang kurang terinci. • Setelah beberapa clinical batches berhasil dengan sukses dibuat, maka suatu metoda pembuatan umumnya sudah bisa dituliskan di dalam suatu format tertulis yang dapat dengan mudah dilanjutkan ke produksi Pilot Plant Batches. PILOT PLANT BATCH:25-200 KG • • • • • • • • • • Umumnya disarankan unutk melanjutkan pembuatan batches ke dalam fase pilot plant batches sebelum mulai dilakukannya test keamanan klinis fase III untuk menjamin agar test klinis iu dijalankan dengan produk hasil metode pembuatan pilihan terakhir/NDA. Kebutuhan produksi untuk tes klinis fase III demikian umumnya membutuhkan batches ukuran agak besar (200 kg). Penelitian terhadap produksi Pilot Plant juga disebut sebagai penelitian perkembangan proses (process development) yang diadakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok berikut dan untuk mengidentifikasi langkahlangkah inti dalam proses pembuatan yang perlu disahkan atau sebaliknya ditolak : Sudah dapatkah formulasi itu direproduksi membesar (scale-up)? Apakah metoda produksi itu sesuai untuk kemampuan produksi yang diharapkan dan dengan peralatan yang ada? Apakah diperlukan peralatan baru atau pabrik pembuat yang ketiga? Apakah langkah-langkah pokok proses pembuatan telah teridentifikasi? Apakah studi untuk validasi telah didesain dengan baik? Penelitian terhadap produksi pilot plant perlu diarahkan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara memuaskan. Jika timbul pertanyaan, ya atau tidak produk itu fleksibel untuk diproduksi, maka sebaiknya diproduksi saja dengan menggunakan perlatan dan ukuran batch yang akan dipakai secara rutin jika produk itu nantinya dipasarkan. Kulminasi dari kegiatan scale-up biasanya berupa produksi yang memuaskan dari formulasi dimaksud dalam bentuk suatu “Production Demonstration Batch” yang kemudian digunakan untuk mengisi kebutuhan suatu “Packaging Demontration Run”, yang berakhir pada produk akhir beserta pengemasannya. Studi validasi biasanya dijalankan selama pembuatan “Production Demonstratioin Batch” dan “Packaging Demonstration Run”. PRODUCTION BATCH: 500-5000 KG Alat2 yang digunakan Mixing/Emulsification Tanks. • Tangki-tangki pencampur atau pengemulsi ini berkisar dari tangki-tangki simple open jacketed dengan kemampuan mencampur sampai ke tangki-tangki yang lebih rumit yang dapat menyediakan kemampuan hight speed and sweep paddle, counter moving paddles, homogenizing heads, kemampuan penghampaan, dan jika perlu, tutup rapat buat memberi tempat kepada gas murni. lanjutan Dispersing/Grinding Mills. • Alat-alat pendispersi atau penggiling ini berkisar mulai dari colloid mills dan blender type homogenizer yang sederhana untuk membentuk lapisan tipis bahan-bahan baku tertentu sampai ke alat hight suction/shear equipment yang digunakan untuk mendispersikan gums dan gelling agent lainnya ke dalam suatu batch. Peralatanperalatan ini menjamin terbentuknya lapisan bahan baku yang seragam, sehingga dapat dihasilkan produk yang homogen, bebas dari gumpalan-gumpalan. lanjutan Homogenizer. • • • Umumnya diperlukan jika pembentukan suatu emulsi memerlukan alat pengaduk mekanis berkecepatan tinggi untuk memperoleh pengurangan ukuran gelembung-gelembung udara yang memadai dengan hasil akhir berupa perbaikan profil dalam estetika produk atau stabilitas produk. Homogenizers hanya memiliki satu emulsifying head atau dilengkapi dengan two-stage emulsification head, head yang pertama menghasilkan emulsi yang kasar, sedangkan head yang kedua diperlukan untuk menghasilkan emulsi yang halus. Homogenizers dapat juga digunakan untuk formulasiformulasi nonemulsi. lanjutan Filling Equipment. • Setelah diproduksi, maka produk harus bisa dipompa dari kawasan produksi ke kawasan pengisian, jika perlu. Peralatan pengisian dapat berkisar mulai dari mesin-mesin yang sederhana dan dijalankan dengan tangan, yang hanya bisa mengisi suatu jumlah yang diinginkan, sampai ke mesin-mesin otomatis berkecepatan tinggi yang dapat mengisi, melipat dan menjepit tutup serta menerakkan cap yang diperlukan PROSES DAN TUJUANNYA 1. Pencampuran (Mixing) • Walaupun pencampuran dua bahan sepintas lalu nampak sebagai hal sederhana saja, tetapi tidak demikian dalam kenyataannya, yang sering sangat kompleks atau rumit. • Menurut Lin (1964), mencampur bahan-bahan di dalam satu batch sesungguhnya untuk mencapai banyak tujuan, misalnya untuk suatu emulsi, tujuantujuan dari pencampuran itu antara lain : • 1. Mencampur cairan-cairan yang sulit tercampur. • Mempercepat pemanasan bahan-bahan di dalam ketel. • Pelarutan lemak-lemak dan bahan-bahan lainnya. • Emulsifikasi atau dispersi. • Pendahuluan pendinginan. lanjutan 2. Pemompaan (Pumping) Ada dua jenis pompa yang digunakan di dalam produksi kometika, yaitu : • Positive displacement pump. • Centrifugal pumps. • Positive displacement pump bekerja dengan menarik cairan ke dalam suatu rongga, kemudian mendesaknya keluar pada sisi yang lain. Contoh yang paling umum adalah diaphragma pumps, gear pumps dan mono pumps. • Pompa sentrifugal (centrifugal pumps) berbeda dari tipe positive displacement pumps ialah bahwa pompa sentrifugal bersandar pada konversi suatu kekuatan sentrifugal dan bukannya pada kekuatan linear, menjadi suatu tekanan. Pada pompa sentrifugal, cairan dimasukkan di titik pusat dari suatu propeler yang berputar cepat. • Dalam memompa cairan kosmetika, perlu diketahui sifat-sifat cairan tersebut, sebab pompa yang terlalu sempit atau terlalu cepat dapat merubah emulsi, memperangkap udara, dll. Kecepatan jangan sampai melewati titik perubahan dari arus laminar menjadi arus turbulensi. lanjutan 3. Pemindahan Panas (Heat Transfer) • Dalam banyak proses pembuatan kosmetika, bahan baku sering harus dipanaskan sampai ke suhu 7080oC, dicampur, dan kemudian didinginkan sampai sekitar 30-40oC sebelum produk akhir dapat dipompa dan disimpan. Karenanya, di dalam pabrik kosmetika, efisiensi pemindahan panas merupakan suatu faktor yang sangat penting yang harus diperhitungkan dalam design. • Walaupun kebanyakan produk dipanaskan dan didinginkan di dalam tanki besar (vat) dengan diberi uap panas atau jacket air panas disekelilingnya, di mana efisiensi sangat tergantung pada pencampuran bahan, namun ada sejumlah pemisah khusus yang bisa digunakan di dalam proses pembuatan kosmetika, misalnya yang paling umum yang dinamakan sebagai Votator lanjutan 4. Filtrasi • Umumnya, filtrasi di dalam produksi kosmetika hanya diperlukan dalam memurnikan air leiding dan untuk penjernihan lotion seperti lotion untuk cukur, hair tonic, dll. Di mana bahan-bahan baku untuk produkproduk ini sering berisikan sejumlah kecil kontaminan yang akan mengganggu penampilan produk akhir jika tidak dihilangkan. • Alat filter yang paling sering digunakan adalah filter press yang didesain khusus untuk memfiltrasi cairan yang mengandung sedikit bahan-bahan padat yang perlu dipisahkan. Betapapun untuk proses penjernihan, yaitu jika kandungan bahan kontaminan yang harus dihilangkan sedikit sekali, digunakan sejenis “candle filter” setelah penambahan sejumlah kecil filter acid. lanjutan 5. Pengisian (Filling). • Cairan. Kosmetika dalam bentuk cairan dapat diisikan ke kemasan dengan cara sederhana menggunakan daya tarik bumi (gravitasi). Cara ini sederhana dan sering dianjurkan, terutama untuk shampo dan deterjen yang akan berbusa jika dengan tekanan.Tetapi cara pengisian yang lebih cepat dan lebih rapi ialah dengan menggunakan sistem vakum pada botol-botol yang berderet-deret. • Creams. Pengisian dalam keadaan dingin ialah memakai “filteram type”, di mana cream dimasukkan ke dalam tube silindris dengan bantuan suatu “plunger”. Bentuk harus bulat agar tidak ada udara terjebak. Pengisian dalam keadaan dingin adalah murah dan bersih. Pengisian dalam keadaan panas lebih rumit, tetapi pada esensianya mirip pengisian dengan cairan, baik yang sistem gravitasi atau sistem vakum. Pembuatan Produk-Produk Khusus 1. Cairan • • • • • • Pembuatan produk kosmetika cair mencakup pelarutan atau dispersi yang baik, serta penjernihan. Lotion dalam alkohol-air dapat dibuat dengan dua cara, yaitu : Dengan mengaduk bahan-bahan di dalam campuran air dan alkohol dengan konsentrasi yang sama seperi dimaksudkan dalam produk akhir sampai larutan dimaksud terbentuk. Dengan melarutkan bahan-bahan di dalam alkohol konsentrasi tinggi, kemudian larutan ini diencerkan dengan air sambil diaduk sampai konsentrasi yang dimaksud. Cara yang manapun yang digunakan, pengadukan dapat dijalankan entah dengan memakai propeller yang digerakkan listrik yang dapat ditempelkan di sisi tanki, atau memakai pengaduk permanen jika produksi itu besar-besaran. Agar pencampuran maksimal efisiensinya, tanki sebaiknya bundar dan terbuat dari nikel murni, aluminium, Monel atau stainless steel. Untuk sejumlah produk kosmetika cair, pelarutan terlebih dulu parfum atau bahan yang berminyak di dalam pelarut yang cocok, mungkin diperlukan. Ini umumnya terjadi dalam pembuatan shampoo. Karena kejernihan suatu lotion sangat, maka penting bahwa kemasannya juga harus jernih. Untuk itu perlu pencucian dengan udara bertekanan atau dengan air panas yang diikuti dengan pembilasan dan pengeringan lanjutan 2. Gel • Produk kosmetika dalam bentuk gel dapat berkisar mulai dari lotion yang kental seperti misalnya roll-ball antiperspirant sampai ke gel thixotropik yang sangat kental dan tidak bisa mengalir, yang dapat digunakan sebagai kosmetika hairdressing dan hair setting. • Lotion kental lebih mudah dibuatnya, yaitu dengan menambahkan sedikit demi sedikit gellant padat ke dalam fase cair yang diaduk terus menerus dengan cepat memakai propeller yang digerakkan turbin. • Gel kental yang tidak bisa mengalir cara pembuatannya lebih sulit, karena pada produk akhirnya udara tidak bisa melarikan diri dari dalamnya seperti pada lotion kental. Gel kental harus dibuat dalam ruang tanpa udara atau perlu diadakan proses pembuangan udara yang rumit. Pemakaian carboxyvinyl polymers (misalnya karbopol) mempermudah pengeluaran udara dari dalam gel. lanjutan 3. Micro-emulsi. • Karena mikroemulsi terbentuk melalui sistem yang spontan, pembuatannya cukup dengan alat pencampur yang sederhana, tidak memerlukan alat pencampur rumit yang berkecepatan tinggi. • Merupakan praktek umum dalam pembuatan mikroemulsi untuk menambahkan sedikit demi sedikit fase minyak dengan suhu sekitar 80OC ke dalam fase air dalam suhu serupa, di bawah pengadukan yang pelan. Untuk sementara produk dipertahankan pada suhu di atas “setting point” nya agar udara naik dan keluar. Ini berarti bahwa pipa-pipa dan alat pengisi perlu dipanaskan dengan air panas atau uap bercampur air. • Hendaknya hati-hati dalam memilih peralatan untuk membuat mikroemulsi, karena kotoran halus, seperti misalnya ion-ion logam, dapat mengeruhkan penampilan produk. lanjutan 4. Emulsi. • Karena begitu banyak jenis produk emulsi di pasaran, baik dalam kosmetika maupun tolietries, maka tidak mungkin akan merinci pembuatannya masing-masing. Tetapi mengingat perlunya menentukan sifat-sifat produk akhir dari emulsi, maka perlu dibicarakan faktor-faktornya yang terpenting. Biasanya selalu tercakup tiga proses dalam pembuatannya yaitu : • Emulsifikasi awal. • Pendinginan. • Homogenisasi. Lanjutan Emulsi a. Emulsifikasi awal. • Ada sejumlah faktor penting di dalam emulsifikasi awal, yaitu temperatur, intensitas dan lama pencampuran, serta keteraturan dan kecepatan penambahan fase-fase. • Emulsifikasi awal biasanya dijalankan pada suhu yang lebih tinggi untuk menjamin bahwa kedua fase serta hasil emulsi cukup mobil geraknya sewaktu diaduk. Intensitas dan lama pengadukan tergantung pada efisiensi dispersi dari emulsifator. • Secara umum, ada dua cara penambahan bahan-bahan. Yang pertama, penambahan fase-fase yang dalam bentuk dispersi ke dalam fase yang dalam bentuk homogen. Yang kedua adalah kebalikannya. Yang pertama nampak lebih alamiah, tetapi yang kedua, dimana ada infersi fase, memberikan keuntungan yang lebih besar jika tidak tersedia alat pengaduk yang memadai. • Untuk emulsi O/W yang lebih kental, seperti misalnya vanishing cream, sebaiknya jangka waktu pengadukan dengan kecepatan tinggi singkat saja untuk mencegah masuknya udara. Setelah emulsi awal terbentuk, kecepatan pengadukan diturunkan, dan suhu diturunkan sampai sekitar 50OC dan waktu itu parfum ditambahkan. Emulsi W/O dikerjakan dengan cara yang sama, hanya larutan dalam air dimasukkan ke dalam fase lemak sedikit demi sedikit. • Mungkin cara pembuatan emulsi terbaik ialah dengan menuangkan serentak proporsi yang sama kedua fase pada setiap waktu ke dalam mixer yang berputar terus, sehingga terus menerus terbentuk Lanjutan Emulsi b. Pendinginan • Mendinginkan emulsi merupakan suatu proses yang sangat penting, terutama dalam produk yang berisikan bahan-bahan mirip lillin (“wax-like”) yang berharga. Selama pendinginan biasanya emulsi diaduk terus untuk mengurangi lamanya proses serta untuk menghasilkan produk yang homogen. c. Homogenisasi. • Pada suhu yang tinggi kebanyakan emulsi tidak stabil dan selama pendinginan dalam batch terbentuk butiran-butiran emulsi. Atau pada produk yang memiliki fase minyak dengan titik leleh tinggi, pada pendinginan terjadi pengerasan produk. Karenanya diperlukan pencampuran (mixing) tambahan untuk memperoleh produk seperti yang diinginkan. • Pencampuran tambahan ini dapat bervariasi mulai dari pelewatan produk melalui pompa bergir berputar dengan tekanan rendah dari belakang, misalnya 50 psig, atau penghancuran agregat-agregat kristal lilin, atau pelewatan katub homogenizer dengan tekanan tinggi 5000 psig. Proses ini diberi nama homogenisasi lanjutan 5. Pasta. • • • Pasta, terutama pasta gigi, umumnya dapat dibuat dengan menambahkan komponen-komponen padat yang mungkin sudah dicampur sebelumnya, ke dalam komponenkomponen cair, di mana mungkin termasuk bahan-bahan yang larut dalam air. Pencampuran dapat di dalam mixer terbuka atau mixer vakum. Mixing dalam keadaan panas, diikuti dengan pendinginan memakai alat Votator atau metoda serupa lainnya juga dapat dilakukan. Suatu metoda alternatif penyiapan pasta yang terbuat dari powder padat di dalam suatu cairan ialah melalui pencampuran awal yang kasar dan melewatkan campuran ini melalui suatu “triple roller mill”, kemudian di dalam mixer seperti itu mengalami berbagai penekanan dan pemutaran sampai terbentuk pasta yang diinginkan. Triple roller mill sering digunakan di dalam pembuatan preparat make-up dimana pigmen warna perlu didispersikan di dalam campuran wax atau minyak. lanjutan 6. Stik • • • • • • Lipstik. Pada umumnya pembuatan lipstik meliputi 3 tahap : Penyiapan campuran komponen, yaitu campuran minyakminyak, campuran zat-zat warna dan campuran wax. Pencampuran semua itu untuk membentuk massa lipstik. Pencetakan massa lipstik menjadi batangan-batangan lipstik. Itulah dasar dari pembuatan lipstik, yang rinciannya akan terlalu berkepanjangan untuk diuraikan di sini. Deodorant stik. Agak berbeda cara pembuatannya daripada lipstik karena merupakan gel sabun dan pembuatannya mirip dengan pembuatan emulsi, suatu fase minyak (fatty acid) diadukkan ke dalam suatu fase larutan dalam air pada suhu sekitar 70OC. Gel panas yang terbentuk diisikan ke dalam cetakan pada suhu sekitar 60-65OC dan dibiarkan memadat. lanjutan 7. Powder • Pencampuran powder biasanya dijalankan di dalam suatu wadah semi bundar yang dilengkapi dengan suatu pengaduk spiral yang padanya dua pita menyebabkan campuran itu bergerak dalam dua rah yang berbeda sehingga terjadi tubrukan-tubrukan. • Mixer tipe ini sangat baik untuk garam mandi dan bahan-bahan kristal lainnya dan sangat luas digunakan untuk pembuatan face powder. • Betapapun, pengalaman menunjukan bahwa dispersi yang lebih baik dengan resiko pelukaan kulit yang lebih kecil akibat kasarnya butiran-butiran dapat dicapai jika campuran bubuk itu akhirnya dipulverisasi dan digiling di dalam suatu ball mill atau diperbaiki dengan cara lainnya. lanjutan 8. Pomade dan Brilliantin Padat. • Produk dari tipe ini mudah dibuat hanya dengan mencampur bahan-bahan di dalam suatu wadah pelebur di suhu tertentu, bahan-bahan yang titik lelehnya tinggi, seperti lilin mungkin memerlukan pelelehan pendahuluan pada suhu yang lebih tinggi di dalam pot elektris. • Proses pengisian malah lebih rumit karena mula-mula perlu didinginkan sebelum penutupan permukaan pomade dengan plastik penutup (lidding) dan perhatian yang hati-hati diperlukan baik terhadap suhu ketika pengisian, maupun kecepatan pendinginan jika ingin dihindari terjadinya rongga-rongga berisi udara. KONTROL KUALITAS (QUALITY CONTROL) Fungsi utama dari kontrol kualitas (Quality Control atau Quality Assurance) adalah menjamin agar perusahaan memenuhi standar tertinggi dalam setiap fase dari produksinya. Faktor-faktor yang tercakup dalam kontrol kualitas adalah : • Personalia. • Fasilitas. • Spesifikasi Produk. Fungsi kontrol kualitas, antara lain : • Kontrol di dalam prosesing (In Process Control). • Testing spesifikasi bahan baku (Raw Material Specification Testing). • Testing spesifikasi produk (Product Specification Testing). • Pengawasan Fasilitas Penyimpanan dan Distribusi (Storage and Distribution Facilities Control) • Pengawasan tempat yang mungkin sebagai produsen pihak ketiga yang potensial (Site Inspection of Potential Third Party Manufacture). • Pengawasan terhadap kontaminasi mikrobiologis (Microbiological Surveillance). • Kemungkinan memperpanjang tanggal kadaluwarsa produk (Product Expiration Dating Extension). Tentang quality control ini lebih spesifik dibicarakan dalam Cara Pembuatan Kosmetika Yang Baik (CPKB). Teh Hitam dan Antioksidan Dadan ROHDIANA Peneliti Muda di Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung Mobile: +628170232473 E-mail:[email protected] Satu dari sekian banyak hasil riset kesehatan yang paling menarik sekarang ini adalah bidang nutrien antioksidan. Meski antioksidan merupakan topik yang sedang hangat dibicarakan, pemahaman akan apa sesungguhnya antioksidan itu dinilai masih sangat rendah. Berdasarkan survey yang dilakukan melalui telepon, lebih dari setengah orang Amerika pernah mendengar istilah antioksidan. Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak paham benar mengenai berbagai zat gizi yang termasuk antioksidan. Radikal Bebas Sebagai Sumber Masalah Berbagai perbincangan mengenai antioksidan mau tidak mau harus menyertakan penjelasan mengenai oksidan termasuk didalamnya adalah radikal bebas. Radikal bebas acapkali dijumpai dalam bentuk oksigen yang reaktif. Molekul yang sangat reaktif ini, jika tidak kendalikan dapat merusak tubuh dan berperan terhadap timbulnya berbagai penyakit. Radikal bebas akan mengambil elektron dari molekul lain. Hal ini dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas yang baru yang akan mencuri elektron dari molekul lainnya. Akibatnya, reaksi berantai ini akan terus berlanjut layaknya bola salju yang terus bergulir. Beberapa radikal bebas dapat bereaksi dengan struktur sel. Bila reaksi ini terus berlanjut berpotensi mengakibatkan kerusakan langsung atau kerusakan jangka panjang. Berdasarkan sumbernya, radikal bebas dapat berasal dari tubuh, lingkungan, dan radikal bebas lainnya. Sejatinya, tubuh menghasilkan radikal bebas sebagai hasil proses metabolisme. Olah raga, penyakit, dan pengobatan tertentu berpeluang meningkatkan jumlah radikal bebas dalam tubuh. Adakalanya tubuh dengan sengaja menghasilkan radikal bebas sebagai akibat dari respon sistem kekebalan tubuh. Serbuan bakteri dan mikroorganisme infeksius lainnya akan dihambat oleh sel darah putih khusus menggunakan radikal bebas yang berasal dari oksigen untuk membunuh senyawa potensial penyebab infeksi. Pada kasus isolasi ini tubuh harus berterimakasih pada si ”musuh”, radikal bebas yang telah berjasa melindungi tubuh dari musuh yang lain. Akan tetapi, jika radikal bebasnya terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan sistem keseimbangan dalam tubuh, maka radikal bebas akan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Radikal bebas ini akan mendorong menurunnya akreditas kesehatan tubuh. Lingkungan merupakan salah satu sumber radikal bebas. Racun yang berasal dari lingkungan, baik itu alami maupun buatan, kerapkali berpeluang menjadi radikal bebas atau cikal bakal lahirnya radikal bebas. Polusi udara, sampah beracun, dan pestisida berperan menghantarkan radikal bebas seperti nitrogen dioksida ke dalam tubuh. Tidak sedikit orang memasukan radikal bebas ke dalam tubuh melalui kebiasaannya. Setiap isapan rokok dan tegukan alkohol mengandung jutaan bahkan mungkin milyaran radikal bebas. Diluar tubuh dan lingkungannya, radikal bebas dapat dibentuk dari radikal bebas lainnya sebagai akibat reaksi berantai yang tidak terkendali. Untuk kembali menstabilkan elektronnya, radikal bebas bereaksi dengan molekul yang terdekat dengannya di dalam tubuh. Setelah reaksi ini, kedua molekul diatas menjadi tidak seimbang. Karena salah satu elektronnya telah diambil, maka terbentuklah radikal bebas yang baru, dan akan berinteraksi dengan molekul lainnya agar muatannya stabil, begitu seterusnya. Reaksi berantai radikal bebas ini berlangsung demikian cepat dalam hitungan detik. Bila hal ini terus berlanjut tanpa ada upaya untuk mengendalikannya, maka kerusakan molekul sel tubuh menjadi demikian sulit terhindarkan. Berikutnya, radikal bebas akan merusak tubuh yang mengarah kepada lusinan penyakit dan proses penuaan dini. Kasus yang umum terjadi, radikal bebas akan membentuk LDL kolesterol sebagai tahapan awal pada penyakit jantung. Perusakan DNA yang disebabkan oleh radikal bebas dapat mendorong terjadinya kanker. Protein pada kulit yang rusak oleh radikal bebas akan terlihat berkerut atau keriput. Diantara sekian banyak, radikal bebas yang paling berbahaya adalah ion superoksida, yang terbentuk dari oksigen, dan radikal ion hidroksil, yang terbentuk dari hidrogen peroksida. Disamping superoksida dan hidroksil, oksigen tunggal atau atom oksigen yang tidak berikatan dengan molekul oksigen diatomik merupakan radikal bebas perusak yang tidak boleh dipandang lemah. Teh Hitam dan Antioksidan Secara sederhana antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang mampu menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi. Antioksidan memiliki kemampuan dalam memberikan elektron, mengikat dan mengakhiri reaksi berantai radikal bebas yang mematikan. Antioksidan yang dipakai kemudian didaur ulang oleh antioksidan lain untuk mencegahnya menjadi radikal bebas (bagi dirinya sendiri) atau tetap dalam bentuk tersebut tetapi dengan struktur yang tidak dapat merusak molekul lainnya. Salah satu antioksidan yang kini tengah mendapat perhatian yang sangat luas dalam berbagai penelitian adalah theaflavin teh hitam. Meski tidak sepopuler nenek moyangnya (katekin), theaflavin yang terdapat dalam teh hitam sudah banyak dipelajari oleh sejumlah peneliti. Beberapa hasil riset menyatakan bahwa aktivitas antioksidan theaflavin setara bahkan tidak sedikit yang menyatakan bahwa theaflavin lebih potensial daripada katekin. Hasil-hasil penelitan tersebut tidaklah mengerankan mengingat secara struktur theaflavin lebih menjanjikan dari pada katekin. Hal ini bisa dilihat dari seberapa banyak gugus hidroksi (OH) yang dimilikinya. Gugus hidroksi ini dapat berfungsi sebagai antiradikal bebas atau antioksidan. Semakin banyak gugus hidroksi suatu senyawa, maka kemampuannya sebagai senyawa antioksidan semakin baik. Theaflavin merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Kemampuannya sebagai penangkap radikal bebas sudah tidak dapat dipungkiri lagi kesahihannya. Efektivitas theaflavin meningkat melalui proses esterifikasi dengan gallate dan ester digallate. Theaflavin mempunyai tetapan laju penangkapan radikal superoksida lebih tinggi dibandingkan dengan dengan EGCG (Epigallo catechin gallate) yang selama ini seakan dianggap sebagai rajanya polifenol teh. Tetapan laju theaflavin adalah 1 x 107/MS sedangkan tetapan laju EGCG adalah 1 x 105/MS. Theaflavin juga mampu mencegah terjadinya oksidasi lipid atau memotong reaksi berantai oksidasi lipid lebih efektif dari pada EGCG. Disamping itu, theaflavin dapat meningkatkan antioksidan alami yang terdapat dalam tubuh seperti glutathione-S-transferase (GST), glutanthione peroksidase (GPX), dismutase superoksida (SOD) dan catalase (CAT) yang yang disertai dengan menurunnya tingkat oksidasi lipid. Publikasi lain menytakan bahwa aktivitas antioksidan theaflavin adalah lebih kuat daripada N-tocopherol (vitamin E) dan propil galat (PG) di dalam sistim eritrosit kelinci. Lebih lanjut publikasi tersebut menerangkan bahwa aktivitas theaflavins lebih efektif dibanding glutation (GSH), L(+)-ascorbic Acid (AsA), dl-N-tocopherol, butyl hidroksitoluena (BHT), dan butyl hydroxyanisole (BHA) pada percobaan peroksidasi hati tikus yang diinduksi oleh tert-butyl hidroperoksida (BHP). Kemampuan theaflavin sebagai antioksidan ternyata tidak cukup sampai disitu. Aktivitasnya sebagai antioksidan dalam menghambat oksidasi LDL (Low Density Lipoprotein)pun ternyata menunjukkan hal yang menakjubkan. Wang and Li dalam reviewnya yang berjudul Research progress on property and application of theaflavin yang dimuat dalam African Journal of Biotech tahun 2006 menyatakan bahwa kemampuan penghambatan oksidasi LDL dari TF3> EGCG > EGC > Asam Galik. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang dikemukakan oleh Sun dkk dalam sebuah makalah berjudul Green tea, black tea and colorectal cancer risk: a meta analysis of epidemiologic studies yang diterbitkan oleh salah satu jurnal papan atas dunia, Carcinogenesis pada tahun 2006 lalu. Dalam penelitian tersebut dikemukakan bahwa TF3 > ECG > EGCG > TF2B > TF2A > TF1 EC > EGC dalam menghambat terjadinya okidasi LDL pada manusia. Mengingat theaflavin merupakan senyawa kimia yang sangat potensial, sejumlah perusahaan teh dunia telah mulai menjadikan theaflavin sebagai salah satu produk andalannya serta telah mempatenkannya. Salah satu paten terkini yang berisi proses pembuatan theaflavin adalah Paten US No 7,157,493 B2 yang diterbitkan oleh USPTO pada tanggal 2 Januari 2007. Tulisan ini tentunya tidak mungkin cukup untuk mengisert semua kehebatan theaflavin. Setidaknya data-data hasil penelitian yang tertera diatas dipandang cukup untuk menambah keyakinan kita akan manfaat yang diterbitkan oleh theaflavin dan teh hitam. Pandangan masyarakat yang menilai theaflavin dan teh hitam sebagai minuman inferior harus mulai diluruskan. Kenyataan yang menerangkan bahwa theaflavin merupakan polifenol teh hitam yang patut diunggulkan bukan sekedar isapan jempol belaka. ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Kandungan Teh Hitam Daun teh hitam unggulan mengandung senyawa bioaktif polyfenol yang mengandung senyawa flavonoid, tannin, kafein dan asam fenalat. Teh hitam juga mengandung vitamin B1, B2, C, E dan K serta kaya mineral fluor, mangan, kalsium, potassium dan kalium. Senyawa katekin yang berada dalam senyawa flavonoid mengandung : Epikatekin (EC), Epikatekin Galat (ECG), Epigalo Katekin (EGC), Epigalo Katekin Galat (EGCG) dan Quercetin (Soraya, Noni.2007). Secara spesifik komposisi teh hitam sebagai berikut : No 1 Komposisi % Berat Kering Kafein 7,56 2 Theobromin 0,69 3 Theofilin 0,25 4 (-) Epicatechin 1,21 5 (-) Epicatechin gallat 3,86 6 (-) Epigallocatechin 1,09 7 (-) Epigallocatechin gallat 4,63 8 Glikosida Flavonol Masih Diteliti 9 Bisflavonol Masih Diteliti 10 Asam Theaflavat 11 Theaflavin Masih Diteliti page 1 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ 12 Thearubigen 2,62 13 Asam 35,90 Gallat (Soraya, Noni.2007). 14 Asam Klorogenat 1,15 15 Gula 0,21 16 Pektin 6,85 17 Polisakarida 0,16 18 Asam Oksalat 4,17 19 Asam Malonat 1,50 20 Asam Suksinat 0,02 21 Asam Malat 0,09 22 Asam Akonitat 0,31 23 Asam Sitrat 0,01 24 Lipid 25 Kalium 26 Mineral Lain 4,83 27 Peptida 4,70 0,84 (Potassium) 4,79 page 2 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ 28 Theanin 5,99 29 Asam 3,57 Amino Lain Fungsi dari komposisi teh hitam diatas : 30 Aroma 3,03 0,01 - Katekin (polifenol) page 3 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Teh sebagian besar mengandung ikatan biokimia yang disebut polifenol, termasuk di dalamnya adalah flavonoid. Flavonoid merupakan suatu kelompok antioksidan yang secara alamiah terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan minuman, seperti teh dan anggur. Pada tanaman, flavonoid memberikan perlindungan terhadap adanya stress lingkungan, sinar ultra violet, serangga, page 4 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ jamur, virus, dan bakteri, disamping sebagai pengendali hormon dan enzim inhibitor (penghambat) (Soraya, Noni.2007). page 5 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Epigalokatekin galat dan kuersetin merupakan antioksidan kuat dengan kekuatan 100 kali dan 25 kali lebih tinggi daripada vitamin C dan vitamin E. Polifenol bermanfaat untuk mencegah radikal bebas yang dapat merusak DNA dan menghentikan perkembangbiakan sel-sel liar (kanker). Pada teh hitam dan teh oolong, katekin diubah menjadi theaflavin dan thearubigins (Soraya, page 6 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Noni.2007). page 7 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Selain itu katekin memiliki fungsi untuk menghambat aktivitas lipolisis dari lipase gastrik dan lipase pankreas sehingga pencernaan lemak dihambat, dan tidak dapat diserap oleh usus halus, sehingga zat tersebut dikeluarkan bersama feses (Anonim, 2009). page 8 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ - Flavonol page 9 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Flavonol pada teh meliputi mono, di, dan triglokosid yang terdiri dari glikon, kaemferol, kuersetin, dan mirisertin (Soraya, Noni.2007). Flavonoid mempunyai sifat sebagai antioksidan sehingga dapat melindungi kerusakan sel-sel pankreas dari radikal bebas (Agrawal). page 10 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ - · Theaflavin page 11 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ Theaflavin adalah senyawa yang mampu melawan penyakit degeneratif. Theaflavin berfungsi sebagai antioksidan, antikanker, antimutagenik, antidiabetes, dan anti penyakit lainya (Soraya, Noni.2007). Theaflavin merupakan antioksidan alami yang sangat potensial. Selain itu, jumlah senyawa theaflavin dalam teh hitam cukup berarti (Soraya, Noni.2007). Theaflavin page 12 / 13 ilmu kedokteran adalah sumber inspirasi | Kandungan Teh Hitam Copyright Resha Ardianto [email protected] http://reshaardianto.student.umm.ac.id/2010/02/04/kandungan-teh-hitam/ merupakan hasil oksidasi katekin akibat proses oksimatis pada pengolahan teh hitam. Dengan kata lain, theaflavin hanya terdapat dalam teh hitam atau teh yang telah mengalami oksimatis. Kekuatan theaflavin setara dengan katekin, bahkan beberapa publikasi terkini menyatakan bahwa theaflavin lebih potensial dari katekin (Soraya, Noni.2007). page 13 / 13