BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Kualitas Hidup Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL) (1996), kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, dimana individu hidup dan hubungannya dengan harapan, tujuan, standar yang ditetapkan dan perhatian dari individu. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan lingkungan dimana mereka berada. Kualitas hidup juga merupakan kriteria yang sangat penting dalam penilaian hasil medis dari pengobatan penyakit kronis. Persepsi individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan dan keterbatasannya menjadi penting sebagai evaluasi akhir terhadap pengobatan (Reis, 2013). Menurut gagasan ilmiah secara umum, kualitas hidup adalah multidimensi yang tidak bisa langsung diukur tetapi hanya dapat ditampilkan dalam komponen tunggal (Augustin, 2012). Kualitas hidup meliputi bagaimana individu mempersepsikan kebaikan dari beberapa aspek kehidupan mereka. Kualitas hidup dalam mempertahankan individu yang lebih luas merupakan faktor yang penting dalam memastikan bahwa orang 10 11 tersebut dapat hidup dengan baik dengan perawatan dan dukungan hingga datangnya kematian (Bowling, 2014). Diener, dkk (Theofilou, 2013) menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan konsep yang luas meliputi bagaimana individu mengukur kebaikan dari beberapa aspek kehidupan yang meliputi reaksi emosional individu dalam peristiwa kehidupan, disposisi, kepuasan hidup, kepuasan dengan pekerjaan dan hubungan pribadi. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai defisini kualitas hidup, mengacu pada teori dari WHOQOL bahwa kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kondisi di dalam hidupnya yang sesuai dengan budaya ataupun norma-norma yang dianut di lingkungan tempat tinggalnya terkait kebaikan di dalam kehidupannya. 2. Penyakit Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi dimana individu memiliki gula darah (glukosa) yang tinggi, baik karena tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup, atau karena sel-sel tubuh tidak mampu merespon insulin yang dihasilkan. Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di pankreas, sebuah kelenjar yang terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa menjadi glikogen yang disimpan didalam hati dan otot. WHO mendefinisikan diabetes mellitus sebagai gangguan metabolisme beberapa etiologi yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan karbohidrat, lemak dan metabolisme protein yang dihasilkan dari cacat pada sekresi insulin, tindakan insulin, atau keduanya (Mwangi & Gitonga, 2014). 12 Pengetahuan umum tentang diabetes mellitus kepada masyarakat dapat membantu dalam deteksi dini penyakit tersebut dan mengurangi timbulnya komplikasi. Kegemukan, obesitas, diet yang tidak sehat, mengkonsumsi tembakau, mengkonsumsi alkohol, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan kurangnya aktivitas fisik telah digambarkan sebagai faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular termasuk diabetes mellitus (Ruhembe, 2014). Soegondo menyatakan bahwa terapi yang dilakukan oleh penderita diabetes mellitus yaitu dengan menggunakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan Insulin. Obat golongan ini sudah dipakai pada pengelolaan diabetes sejak tahun 1957. Berbagai macam obat golongan umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya. Terutama mengenai efek farmakologis pada pemakaian jangka panjang dan pemakaian secara kombinasi dengan insulin (Safitri, dkk, 2014). Menurut Mwangi & Gitonga (2014) ada beberapa jenis diabetes mellitus, namun yang paling umum di masyarakat adalah: a. Diabetes Tipe 1 Diabetes tipe 1 dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Hal ini ditandai dengan kerusakan pada sel beta dalam memproduksi insulin karena proses autoimun berupa serangan antibodi terhadap sel beta pankreas. Pada diabetes tipe 1, penderita akan kekurangan insulin sehingga memerlukan pengobatan mengembalikan insulin agar gula darah kembali normal. untuk 13 b. Diabetes Tipe 2 Diabetes Tipe 2 dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Hal ini ditandai dengan penurunan sensitivitas pada insulin atau yang lebih dikenal dengan resistensi insulin yang dapat dikombinasikan dengan sekresi insulin yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dan sering membuat pasien mengalami obesitas dan insulin resisten, tetapi tidak hanya faktor-faktor tersebut saja yang menjadi penyebab utama munculnya diabetes tipe 2, bisa dengan adanya gangguan pada fungsi sel beta. Faktor penyebab munculnya diabetes tipe 2 juga bisa karena faktor genetika dan faktor lingkungan seperti gaya hidup dan kekurangan gizi. 3. Kualitas Hidup Pada Penderita Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang belum ada obatnya dan tidak dapat disembuhkan secara keseluruhan. Pengobatan untuk penyakit diabetes mellitus itu sendiri memerlukan waktu yang lama yaitu seumur hidup dan tidak hanya pengobatan saja yang harus dilakukan oleh penderitanya, namun juga gaya hidup yang harus dikontrol membuat penderita diabetes mellitus terkadang mengalami putus asa dan dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Kualitas hidup merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan individu. Kualitas hidup yang buruk akan semakin memperburuk kondisi suatu penyakit, begitu pula sebaliknya, suatu penyakit dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup individu, terutama penyakit-penyakit kronis yang sangat sulit 14 disembuhkan salah satunya seperti diabetes mellitus. Kualitas hidup sangat dibutuhkan untuk individu yang menderita diabetes mellitus dalam proses pengobatan, agar individu tersebut lebih memperhatikan bagaimana meningkatkan kualitas hidupnya untuk dapat mencapai kondisi fisik yang lebih baik lagi dan menurunkan tingkat keparahan dari penyakit yang dideritanya tersebut. 4. Aspek-aspek Kualitas Hidup Menurut WHOQOLBREF (1996) aspek-aspek yang dapat dilihat dari kualitas hidup, seperti: a. Kesehatan fisik Kesehatan fisik, seperti nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan beristirahat, tingkat energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari, kapasitasdalam bekerja, dan ketergantungan pada obat dan perawatan medis. Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan pengalaman-pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke tahap selanjutnya. b. Kesehatan Psikologis Kesehatan psikologis, seperti, berfikir; belajar; mengingat; dan konsentrasi, harga diri, penampilan dan citra tubuh, perasaan negatif, perasaan positif serta spiritualitas. Aspek psikologis terkait dengan keadaan mental individu. Keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan 15 perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. c. Hubungan sosial Hubungan sosial, seperti hubungan pribadi, aktivitas seksual dan dukungan sosial. Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua individu atau lebih dimana tingkah laku individu tersebut akan saling mempengaruhi. Mengingat manusia adalah mahluk sosial maka dalam hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan kehidupan serta dapat berkembang menjadi manusia seutuhnya. d. Lingkungan Lingkungan, seperti kebebasan; keselamatan fisik dan keamanan, lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial, peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi. Aspek lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya keadaan, ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas kehidupan, termasuk didalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat menunjang kehidupan. SF 36 (Short Form 36) mengukur efek dari kondisi mental dan fisik sehari-hari yang bisa digunakan untuk menjadi indikator kualitas hidup. Menurut Health Outcomes Assesment Unit (2007) terdapat 8 dimensi dari kualitas hidup, yaitu : 16 a. Fungsi Fisik (Physical Functioning) Berhubungan dengan seberapa banyak batasan dari kesehatan fisik yang dapat dilakukan setiap hari, seperti berjalan dan menaiki anak tangga. b. Peran Fisik (Role Physical) Berhubungan dengan tingkat kesulitan yang dialami individu ketika melakukan aktifitas sehari-hari di rumah dan ketika jauh dari rumah dalam ruang lingkup kesehatan fisik. c. Tubuh Nyeri (Bodiliy Pain) Berhubungan dengan seberapa parah sakit yang dialami oleh tubuh pada masing-masing individu terkait penyakit yang dideritanya. d. Kesehatan Umum (General Health) Sebuah penilaian secara menyeluruh mengenai kesehatan yang dimiliki oleh masing-masing individu. e. Vitality (Vitality) Berhubungan dengan jumlah dari energi dan rasa lelah yang dimiliki oleh masing-masing individu. f. Fungsi Sosial (Social Functioning) Berhubungan dengan seberapa jauh kesehatan fisik dan masalah emosional membatasi interaksi dan aktifitas sosial yang biasa dilakukan. g. Peran Emosional (Role Emotional) Berhubungan dengan seberapa banyak masalah pribadi atau emosional yang dialami berdampak pada pekerjaan sehari-hari di rumah maupun jauh dari rumah. 17 h. Kesehatan Mental (Mental Health) Berhubungan dengan sejauh mana keadaan responden dipengaruhi oleh masalah emosional seperti rasa cemas, depresi atau mudah tersinggung. Berdasarkan beberapa aspek-aspek yang telah dijelaskan, mengacu pada teori dari WHO untuk mengukur kualitas hidup mencakup empat aspek yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Hal tersebut dikarenakan skala WHOQOL-BREF lebih sesuai digunakan untuk penderita diabetes mellitus dan jumlah aitemnya pun tidak terlalu banyak ketika diberikan kepada subjek yang notabennya adalah individu yang memiliki penyakit kronis. 5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Menurut Kumar, dkk (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah: a. Usia Usia sangat mempengaruhi kualitas hidup individu, karena individu yang semakin tua akan semakin turun kualitas hidupnya. Semakin bertambahnya usia, munculnya rasa putus asa akan terjadinya hal-hal yang lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah dijelaskan pada penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasamadya. b. Pendidikan Pendidikan juga merupakan faktor kualitas hidup, hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004) 18 menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Hal tersebut terjadi karena individu yang memiliki pendidikan yang rendah akan merasa tidakpercaya diri dan merasa bahwa dirinya tidak berguna. c. Status Pernikahan Individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah. Karena pasangan yang menikah akan merasa lebih bahagia dengan adanya pasangan yang selalu ada menemaninya. Glenn dan Weaver melakukan penelitian di Amerika bahwa secara umum individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi dari pada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda atau duda akibat pasangan meninggal (Veenhoven, 1989). d. Keluarga Keluarga juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Individu yang memiliki keluarga yang utuh dan harmonis akan lebih tinggi kualitas hidupnya. Dikarenakan keluarga dapat memberikan dukungan dan kasih sayang untuk meningkatkan kualitas hidup. e. Finansial Pada penelitian yang dilakukan oleh Hultman, dkk (2006) menunjukkan bahwa aspek finansial merupakan salah satu aspek yang berperan penting mempengaruhi kualitas hidup individu yang tidak bekerja. Finansial yang baik akan membuat individu semakin tinggi kualitas hidupnya. 19 Sedangkan faktor-faktor kualitas hidup menurut Pukeliene & Starkauskiene (2011) sebagai berikut: a. Kesejahteraan Fisik (Psysical Well-beng) Kesejahteraan fisik meliputi faktor-faktor seperti kondisi kesehatan, kemandirian (kemampuan untuk bergerak dan bekerja), keamanan pribadi, kondisi fisik (sakit dan sensasi menyenangkan, energi dan kelelahan, tidur dan istirahat) dan kondisi fungsional (kapasitas fisik individu, kemampuan komunikasi, kondisi emosional). b. Kesejahteraan Materi (Material Well-being) Dari sudut pandang ekonomi, kesejahteraan materi sangat mempengaruhi kualitas hidup individu. Di sisi lain, pada tingkat kualitas hidup individu, kesejahteraan materi meliputi situasi keuangan (pendapatan dan akumulasi kekayaan), hidup/kondisi perumahan, dan lapangan kerja. c. Kesejahteraan Sosial (Social Well-being) Kesejahteraan sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor sosial kesejahteraan, membawa keluarga, kehidupan sosial, dan hubungan sosial. Berdasarkan beberapa faktor yang telah dijelaskan bahwa kualitas hidup individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah usia, pendidikan, keluarga, status pernikahan, dan finansial. 20 B. Optimisme 1. Pengertian Optimisme Menurut Scheier & Carver (1985) optimisme dapat didefinisikan sebagai ciri kepribadian yang stabil terkait dengan ekspektasi positif mengenai kejadian di masa depan. Optimis adalah individu yang mengharapkan bahwa hal-hal yang baik akan terjadi pada mereka, sementara pesimis mengharapkan hal-hal buruk yang akan terjadi. Optimisme juga didefinisikan sebagai memiliki harapan dan keyakinan tentang keberhasilan di masa depan. Hal ini berarti individu mengharapkan hasil yang terbaik dari situasi buruk (Singh & Mishra, 2012). Optimisme dikaitkan dengan fisik yang lebih baik dan kesejahteraan mental, penurunan keparahan penyakit yang diderita, baik kemampuan fungsional dan emosional yang lebih baik (Vilhena, dkk, 2014). Optimisme didefinisikan sebagai harapan umum yang baik sebagai lawan hasil buruk akan umumnya terjadi ketika dihadapkan dengan masalah dalam situasi hidup atau keadaan (Gautam & Passi, 2014). Sedangkan menurut Seligman (Icekson, dkk, 2014) optimisme adalah suatu pandangan individu dalam menjelaskan peristiwa buruk di masa lalu. Peristiwa buruk tersebut disebabkan oleh faktor eksternal dan spesifik. Individu yang optimis mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada kegagalan dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai definisi optimisme, maka dapat disimpulkan bahwa optimisme adalah pandangan atau 21 harapan individu terhadap kebaikan-kebaikan yang akan terjadi di dalam hidupnya serta keberhasilan yang akan dicapai di masa yang akan datang dengan tidak takut pada kegagalan dan mau terus berusaha. 2. Aspek-aspek Optimisme Menurut Scheier & Carver (1985), optimisme disposisional merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan, sebagai sebuah pengukuran optimisme yang unidimensional. Konsep optimisme disposisional mengembangkan alat ukur untuk mengukur keyakinan umum berdasarkan hasil yang diinginkan oleh individu. Alat ukur tesebut disebut sebagai Life Orientation Test (LOT). Scheier dan Carver mengidentifikasi dua aspek pada Life Orientation Test (LOT), satu aspek merupakan aspek positif yang berisi aitem bernada positif, dan aspek lainnya merupakan aspek negatif yang berisi aitem bernada negatif. Walaupun dua aspek tersebut telah diukur, Scheier dan Carver mengarahkan LOT sebagai alat ukur yang dimensional, artinya bahwa kemungkinan dua aspek tersebut merefleksikan kalimat positif dan negatif yang merupakan pembeda pada kalimat aitem dari isi aitem alat ukur LOT (Scheier & Carver, 1985). Sedangkan menurut Seligman (2008) optimisme memiliki tiga aspek, yaitu: a. Permanensi Permanensi yaitu ketetapan suatu peristiwa yang berhubungan dengan waktu. Penjelasan individu optimis terhadap kejadian baik berbeda dengan kejadian buruk. Individu optimis menjelaskan kejadian 22 baik pada dirinya sendiri tentang penyebab yang permanen seperti karakter, kemampuan, dan keinginan yang harus selalu tercapai. Individu akan berusaha lebih keras setelah mencapai suatu keberhasilan. Individu yang optimis dalam menanggapi peristiwa buruk akan mempercayai bahwa peristiwa buruk berlangsung sementara. b. Pervasiveness Pervasiveness yaitu gambaran keleluasaan suatu peristiwa yang berkaitan dengan berbagai hal spesifik dan global. Individu optimis percaya bahwa kejadian baik akan memperbaiki segala sesuatu yang dikerjakan sehingga lebih bersifat global dan kejadian buruk memiliki penyebab-penyebab yang spesifik. c. Personalisasi Personalisasi merupakan sumber terjadinya suatu peristiwa, baik secara internal maupun eksternal. Gaya penjelasan optimis menjelaskan kejadian-kejadian baik lebih bersifat internal dan kejadian buruk bersifat eksternal. Individu yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak kehilangan rasa penghargaan terhadap diri sendiri saat kejadian buruk menimpa. Berdasarkan beberapa aspek yang telah dijelaskan, mengacu pada teori dari Scheier dan Carver yang digunakan untuk mengukur optimisme, maka dapat disimpulkan bahwa optimisme memiliki dimensi yang terdiri dua hal, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Hal tersebut dikarenakan skala dari Scheier dan Carver yaitu LOT-R lebih sesuai digunakan untuk penderita 23 diabetes mellitus dan jumlah aitemnya pun tidak terlalu banyak ketika diberikan kepada subjek yang notabennya adalah individu yang memiliki penyakit kronis. C. Hubungan Antara Optimisme dan Kualitas Hidup Pada Penderita Diabetes Mellitus Penyakit diabetes mellitus adalah kondisi dimana tubuh memiliki kadar gula (glukosa) yang tinggi, dikarenakan tubuh tidak dapat memproduksi insulin yang cukup. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan total, tetapi dapat diatasi dengan melakukan pengobatan seumur hidupnya secara rutin. Pengobatan tersebut yang membuat penderita diabetes mellitus merasa putus asa dan mengalami kejenuhan yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup yang dimiliki penderita diabetes mellitus. Kualitas hidup itu sendiri merupakan persepsi individu terhadap tujuan, harapan, dan standar kehidupan yang ada di masyarakat sesuai dengan konteks budaya dan sistem nilai yang ada. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup adalah faktor kepribadian yaitu optimisme. Individu yang memiliki optimisme akan berpikir positif dan mampu beradaptasi dalam keadaan yang buruk dibandingkan orang yang pesimis. Individu yang optimis juga dapat menerima realita dan kondisi hidupnya dan mencoba untuk melihat sisi positif dari kondisi buruk yang sedang dialaminya. Sikap mau menerima realitas pada penderita diabetes mellitus akan membuat individu tersebut mau menerima 24 penyakit yang dideritanya dan mau melakukan pengobatan untuk mencapai kondisi yang lebih baik. Pada individu yang memiliki sikap optimisme, akan menganggap bahwa penyebab kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya seperti penyakit diabetes mellitus yang dideritanya hanya bersifat sementara, sedangkan penyebab kondisi yang menyenangkan itu bersifat menetap atau selamanya. Sesuai dengan pendapat Icekson, dkk, (2014) yang mengatakan bahwa individu yang optimis percaya bahwa mereka dapat mengatasi hambatan dan menganggap tugas sulit sebagai tantangan bukan ancaman. Berdasarkan hal tersebut, penderita diabetes mellitus yang memiliki sikap optimisme percaya bahwa penyakit yang dideritanya ini akan sembuh dengan melakukan pengobatan yang rutin dan kualitas hidupnya dapat menjadi meningkat karena menganggap dirinya akan sembuh dari penyakit diabetes mellitus. Individu tersebut pun akan rutin dan patuh dalam melakukan pengobatan untuk mencapai kesembuhannya. Individu dengan optimisme juga akan melihat kondisi yang tidak menyenangkan secara khusus, sedangkan dalam melihat kondisi yang menyenangkan secara keseluruhan. Pada penderita diabetes mellitus yang memiliki sikap optimisme, tidak akan merasa malu atau minder dengan memiliki penyakit tersebut. Sebaliknya, individu tersebut menganggap penyakit diabetes mellitus yang dideritanya hanya penyakit biasa yang sudah biasa dialami oleh individu lain. berdasarkan hal tersebut kualitas hidupnya pun dapat meningkat karena individu percaya bahwa penyakit diabetes mellitus bukan penyakit yang menakutkan dan tidak perlu dipikirkan secara menyeluruh ataupun harus 25 memikirkan dampaknya dimasa yang akan datang tetapi bagaimana untuk mencapai kesembuhan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Scheier dan Carver (Kusumadewi, 2011) bahwa pada individu yang optimisme akan menginterpretasikan stresor lebih sedikit, mengabaikan perasaan negatif dan berupaya mengendalikan stresor serta berfokus pada cara mengatasi masalah. Pada individu yang memiliki optimisme, akan menganggap kondisi yang tidak menyenangkan berasal dari luar dirinya dan kondisi yang menyenangkan berasal dari dalam dirinya sendiri. Penderita diabetes mellitus akan menganggap bahwa penyakitnya tersebut bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan sebagai cobaan atau takdir yang diberikan Tuhan kepadanya. Individu tersebut dapat menerima kondisinya dengan ikhlas tanpa rasa bersalah atau menyalahkan diri sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Wrosch dan Scheier (2003) menemukan bahwa pada individu yang optimis lebih sedikit menyalahkan diri sendiri dan lari dari masalah serta tidak fokus pada aspek negatif permasalahan. Berdasarkan hal tersebut kualitas hidup yang dimilikinya akan meningkat karena individu tersebut percaya bahwa penyakit diabetes mellitus yang dideritanya terjadi bukan sematamata karena kesalahannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan adanya sikap optimisme yang dimiliki oleh individu yang menderita penyakit diabetes mellitus, diharapkan penderita diabetes mellitus mampu melakukan pengendalian glukosa darah dengan rutin terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin, pada penyandang diabetes juga perlu ditekankan pentingnya 26 keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, serta olahraga ringan yang membuat tubuh bergerak (Fatimah, 2015). D. Hipotesis Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara optimisme dan kualitas hidup pada penderita diabetes mellitus. Semakin tinggi optimisme yang dimiliki, maka semakin tinggi juga kualitas hidup yang dimiliki individu.