10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Hidup
1. Pengertian Kualitas Hidup
Menurut World Health Organization Quality of Life (WHOQOL)
(1996), kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu
dalam hidup sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, dimana
individu hidup dan hubungannya dengan harapan, tujuan, standar yang
ditetapkan dan perhatian dari individu. Masalah yang mencakup kualitas
hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status
psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan lingkungan dimana
mereka berada. Kualitas hidup juga merupakan kriteria yang sangat penting
dalam penilaian hasil medis dari pengobatan penyakit kronis. Persepsi
individu tentang dampak dan kepuasan tentang derajat kesehatan dan
keterbatasannya menjadi penting sebagai evaluasi akhir terhadap pengobatan
(Reis, 2013).
Menurut gagasan ilmiah secara umum, kualitas hidup adalah
multidimensi yang tidak bisa langsung diukur tetapi hanya dapat ditampilkan
dalam komponen tunggal (Augustin, 2012). Kualitas hidup meliputi
bagaimana individu mempersepsikan kebaikan dari beberapa aspek
kehidupan mereka. Kualitas hidup dalam mempertahankan individu yang
lebih luas merupakan faktor yang penting dalam memastikan bahwa orang
10
11
tersebut dapat hidup dengan baik dengan perawatan dan dukungan hingga
datangnya kematian (Bowling, 2014). Diener, dkk (Theofilou, 2013)
menjelaskan bahwa kualitas hidup merupakan konsep yang luas meliputi
bagaimana individu mengukur kebaikan dari beberapa aspek kehidupan yang
meliputi reaksi emosional individu dalam peristiwa kehidupan, disposisi,
kepuasan hidup, kepuasan dengan pekerjaan dan hubungan pribadi.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai defisini kualitas
hidup, mengacu pada teori dari WHOQOL bahwa kualitas hidup adalah
persepsi individu terhadap kondisi di dalam hidupnya yang sesuai dengan
budaya ataupun norma-norma yang dianut di lingkungan tempat tinggalnya
terkait kebaikan di dalam kehidupannya.
2.
Penyakit Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah suatu kondisi dimana individu memiliki gula
darah (glukosa) yang tinggi, baik karena tubuh tidak memproduksi insulin
yang cukup, atau karena sel-sel tubuh tidak mampu merespon insulin yang
dihasilkan. Insulin adalah hormon yang diproduksi sel beta di pankreas,
sebuah kelenjar yang terletak di belakang lambung, yang berfungsi mengatur
metabolisme glukosa menjadi energi serta mengubah kelebihan glukosa
menjadi glikogen yang disimpan didalam hati dan otot. WHO mendefinisikan
diabetes mellitus sebagai gangguan metabolisme beberapa etiologi yang
ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan karbohidrat, lemak
dan metabolisme protein yang dihasilkan dari cacat pada sekresi insulin,
tindakan insulin, atau keduanya (Mwangi & Gitonga, 2014).
12
Pengetahuan umum tentang diabetes mellitus kepada masyarakat
dapat membantu dalam deteksi dini penyakit tersebut dan mengurangi
timbulnya komplikasi. Kegemukan, obesitas, diet yang tidak sehat,
mengkonsumsi tembakau, mengkonsumsi alkohol, tekanan darah tinggi,
kadar kolesterol tinggi, dan kurangnya aktivitas fisik telah digambarkan
sebagai faktor risiko utama untuk penyakit tidak menular termasuk diabetes
mellitus (Ruhembe, 2014).
Soegondo menyatakan bahwa terapi yang dilakukan oleh penderita
diabetes mellitus yaitu dengan menggunakan Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
dan Insulin. Obat golongan ini sudah dipakai pada pengelolaan diabetes sejak
tahun 1957. Berbagai macam obat golongan umumnya mempunyai sifat
farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme
kerjanya. Terutama mengenai efek farmakologis pada pemakaian jangka
panjang dan pemakaian secara kombinasi dengan insulin (Safitri, dkk, 2014).
Menurut Mwangi & Gitonga (2014) ada beberapa jenis diabetes
mellitus, namun yang paling umum di masyarakat adalah:
a.
Diabetes Tipe 1
Diabetes tipe 1 dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM). Hal ini ditandai dengan kerusakan pada sel beta dalam
memproduksi insulin karena proses autoimun berupa serangan antibodi
terhadap sel beta pankreas. Pada diabetes tipe 1, penderita akan
kekurangan
insulin
sehingga
memerlukan
pengobatan
mengembalikan insulin agar gula darah kembali normal.
untuk
13
b.
Diabetes Tipe 2
Diabetes Tipe 2 dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM). Hal ini ditandai dengan penurunan sensitivitas pada
insulin atau yang lebih dikenal dengan resistensi insulin yang dapat
dikombinasikan dengan sekresi insulin yang mengakibatkan penurunan
produksi insulin. Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dan
sering membuat pasien mengalami obesitas dan insulin resisten, tetapi
tidak hanya faktor-faktor tersebut saja yang menjadi penyebab utama
munculnya diabetes tipe 2, bisa dengan adanya gangguan pada fungsi sel
beta. Faktor penyebab munculnya diabetes tipe 2 juga bisa karena faktor
genetika dan faktor lingkungan seperti gaya hidup dan kekurangan gizi.
3. Kualitas Hidup Pada Penderita Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang belum ada obatnya
dan tidak dapat disembuhkan secara keseluruhan. Pengobatan untuk penyakit
diabetes mellitus itu sendiri memerlukan waktu yang lama yaitu seumur
hidup dan tidak hanya pengobatan saja yang harus dilakukan oleh
penderitanya, namun juga gaya hidup yang harus dikontrol membuat
penderita diabetes mellitus terkadang mengalami putus asa dan dapat
mempengaruhi kualitas hidupnya. Kualitas hidup merupakan salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan individu. Kualitas hidup
yang buruk akan semakin memperburuk kondisi suatu penyakit, begitu pula
sebaliknya, suatu penyakit dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
hidup individu, terutama penyakit-penyakit kronis yang sangat sulit
14
disembuhkan salah satunya seperti diabetes mellitus. Kualitas hidup sangat
dibutuhkan untuk individu yang menderita diabetes mellitus dalam proses
pengobatan, agar individu tersebut lebih memperhatikan bagaimana
meningkatkan kualitas hidupnya untuk dapat mencapai kondisi fisik yang
lebih baik lagi dan menurunkan tingkat keparahan dari penyakit yang
dideritanya tersebut.
4. Aspek-aspek Kualitas Hidup
Menurut WHOQOLBREF (1996) aspek-aspek yang dapat dilihat dari
kualitas hidup, seperti:
a. Kesehatan fisik
Kesehatan fisik, seperti nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan
beristirahat, tingkat energi dan kelelahan, mobilitas, aktivitas sehari-hari,
kapasitasdalam bekerja, dan ketergantungan pada obat dan perawatan
medis. Kesehatan fisik dapat mempengaruhi kemampuan individu untuk
melakukan aktivitas. Aktivitas yang dilakukan individu akan memberikan
pengalaman-pengalaman baru yang merupakan modal perkembangan ke
tahap selanjutnya.
b. Kesehatan Psikologis
Kesehatan psikologis, seperti, berfikir; belajar; mengingat; dan
konsentrasi, harga diri, penampilan dan citra tubuh, perasaan negatif,
perasaan positif serta spiritualitas. Aspek psikologis terkait dengan
keadaan mental individu. Keadaan mental mengarah pada mampu atau
tidaknya
individu
menyesuaikan diri
terhadap berbagai
tuntutan
15
perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan dari dalam
diri maupun dari luar dirinya.
c. Hubungan sosial
Hubungan sosial, seperti hubungan pribadi, aktivitas seksual dan
dukungan sosial. Aspek hubungan sosial yaitu hubungan antara dua
individu atau lebih dimana tingkah laku individu tersebut akan saling
mempengaruhi. Mengingat manusia adalah mahluk sosial maka dalam
hubungan sosial ini, manusia dapat merealisasikan kehidupan serta dapat
berkembang menjadi manusia seutuhnya.
d. Lingkungan
Lingkungan, seperti kebebasan; keselamatan fisik dan keamanan,
lingkungan rumah, sumber keuangan, kesehatan dan kepedulian sosial,
peluang untuk memperoleh keterampilan dan informasi baru, keikutsertaan
dan peluang untuk berekreasi, aktivitas di lingkungan, transportasi. Aspek
lingkungan yaitu tempat tinggal individu, termasuk di dalamnya keadaan,
ketersediaan tempat tinggal untuk melakukan segala aktivitas kehidupan,
termasuk didalamnya adalah saran dan prasarana yang dapat menunjang
kehidupan.
SF 36 (Short Form 36) mengukur efek dari kondisi mental dan fisik
sehari-hari yang bisa digunakan untuk menjadi indikator kualitas hidup.
Menurut Health Outcomes Assesment Unit (2007) terdapat 8 dimensi dari
kualitas hidup, yaitu :
16
a. Fungsi Fisik (Physical Functioning)
Berhubungan dengan seberapa banyak batasan dari kesehatan fisik yang
dapat dilakukan setiap hari, seperti berjalan dan menaiki anak tangga.
b. Peran Fisik (Role Physical)
Berhubungan dengan tingkat kesulitan yang dialami individu ketika
melakukan aktifitas sehari-hari di rumah dan ketika jauh dari rumah dalam
ruang lingkup kesehatan fisik.
c. Tubuh Nyeri (Bodiliy Pain)
Berhubungan dengan seberapa parah sakit yang dialami oleh tubuh pada
masing-masing individu terkait penyakit yang dideritanya.
d. Kesehatan Umum (General Health)
Sebuah penilaian secara menyeluruh mengenai kesehatan yang dimiliki
oleh masing-masing individu.
e. Vitality (Vitality)
Berhubungan dengan jumlah dari energi dan rasa lelah yang dimiliki oleh
masing-masing individu.
f. Fungsi Sosial (Social Functioning)
Berhubungan dengan seberapa jauh kesehatan fisik dan masalah emosional
membatasi interaksi dan aktifitas sosial yang biasa dilakukan.
g. Peran Emosional (Role Emotional)
Berhubungan dengan seberapa banyak masalah pribadi atau emosional
yang dialami berdampak pada pekerjaan sehari-hari di rumah maupun jauh
dari rumah.
17
h. Kesehatan Mental (Mental Health)
Berhubungan dengan sejauh mana keadaan responden dipengaruhi oleh
masalah emosional seperti rasa cemas, depresi atau mudah tersinggung.
Berdasarkan beberapa aspek-aspek yang telah dijelaskan, mengacu
pada teori dari WHO untuk mengukur kualitas hidup mencakup empat aspek
yaitu kesehatan fisik, kesehatan psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan.
Hal tersebut dikarenakan skala WHOQOL-BREF lebih sesuai digunakan
untuk penderita diabetes mellitus dan jumlah aitemnya pun tidak terlalu
banyak ketika diberikan kepada subjek yang notabennya adalah individu yang
memiliki penyakit kronis.
5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Menurut Kumar, dkk (2014) faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup adalah:
a. Usia
Usia sangat mempengaruhi kualitas hidup individu, karena
individu yang semakin tua akan semakin turun kualitas hidupnya. Semakin
bertambahnya usia, munculnya rasa putus asa akan terjadinya hal-hal yang
lebih baik dimasa yang akan datang. Seperti yang telah dijelaskan pada
penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1998) individu dewasa
mengekspresikan kesejahteraan yang lebih tinggi pada usia dewasamadya.
b. Pendidikan
Pendidikan juga merupakan faktor kualitas hidup, hal tersebut
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahl, dkk (2004)
18
menemukan bahwa kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih
tingginya tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Hal tersebut
terjadi karena individu yang memiliki pendidikan yang rendah akan
merasa tidakpercaya diri dan merasa bahwa dirinya tidak berguna.
c. Status Pernikahan
Individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi
daripada individu yang tidak menikah. Karena pasangan yang menikah
akan merasa lebih bahagia dengan adanya pasangan yang selalu ada
menemaninya. Glenn dan Weaver melakukan penelitian di Amerika
bahwa secara umum individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang
lebih tinggi dari pada individu yang tidak menikah, bercerai, ataupun janda
atau duda akibat pasangan meninggal (Veenhoven, 1989).
d. Keluarga
Keluarga juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup. Individu yang memiliki keluarga yang utuh dan harmonis akan
lebih tinggi kualitas hidupnya. Dikarenakan keluarga dapat memberikan
dukungan dan kasih sayang untuk meningkatkan kualitas hidup.
e. Finansial
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hultman, dkk (2006)
menunjukkan bahwa aspek finansial merupakan salah satu aspek yang
berperan penting mempengaruhi kualitas hidup individu yang tidak
bekerja. Finansial yang baik akan membuat individu semakin tinggi
kualitas hidupnya.
19
Sedangkan faktor-faktor kualitas hidup
menurut
Pukeliene &
Starkauskiene (2011) sebagai berikut:
a. Kesejahteraan Fisik (Psysical Well-beng)
Kesejahteraan
fisik
meliputi
faktor-faktor
seperti
kondisi
kesehatan, kemandirian (kemampuan untuk bergerak dan bekerja),
keamanan pribadi, kondisi fisik (sakit dan sensasi menyenangkan, energi
dan kelelahan, tidur dan istirahat) dan kondisi fungsional (kapasitas fisik
individu, kemampuan komunikasi, kondisi emosional).
b. Kesejahteraan Materi (Material Well-being)
Dari sudut pandang ekonomi, kesejahteraan materi sangat
mempengaruhi kualitas hidup individu. Di sisi lain, pada tingkat kualitas
hidup
individu,
kesejahteraan
materi
meliputi
situasi
keuangan
(pendapatan dan akumulasi kekayaan), hidup/kondisi perumahan, dan
lapangan kerja.
c. Kesejahteraan Sosial (Social Well-being)
Kesejahteraan sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kualitas hidup. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor sosial kesejahteraan,
membawa keluarga, kehidupan sosial, dan hubungan sosial.
Berdasarkan beberapa faktor yang telah dijelaskan bahwa kualitas
hidup individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah usia,
pendidikan, keluarga, status pernikahan, dan finansial.
20
B. Optimisme
1. Pengertian Optimisme
Menurut Scheier & Carver (1985) optimisme dapat didefinisikan
sebagai ciri kepribadian yang stabil terkait dengan ekspektasi positif
mengenai kejadian di masa depan. Optimis adalah individu yang
mengharapkan bahwa hal-hal yang baik akan terjadi pada mereka, sementara
pesimis mengharapkan hal-hal buruk yang akan terjadi. Optimisme juga
didefinisikan sebagai memiliki harapan dan keyakinan tentang keberhasilan
di masa depan. Hal ini berarti individu mengharapkan hasil yang terbaik dari
situasi buruk (Singh & Mishra, 2012).
Optimisme dikaitkan dengan fisik yang lebih baik dan kesejahteraan
mental, penurunan keparahan penyakit yang diderita, baik kemampuan
fungsional dan emosional yang lebih baik (Vilhena, dkk, 2014). Optimisme
didefinisikan sebagai harapan umum yang baik sebagai lawan hasil buruk
akan umumnya terjadi ketika dihadapkan dengan masalah dalam situasi hidup
atau keadaan (Gautam & Passi, 2014). Sedangkan menurut Seligman
(Icekson, dkk, 2014) optimisme adalah suatu pandangan individu dalam
menjelaskan peristiwa buruk di masa lalu. Peristiwa buruk tersebut
disebabkan oleh faktor eksternal dan spesifik. Individu yang optimis mampu
menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari yang telah lalu, tidak takut pada
kegagalan dan berusaha untuk tetap bangkit mencoba kembali bila gagal.
Berdasarkan
beberapa
pendapat
para ahli
mengenai
definisi
optimisme, maka dapat disimpulkan bahwa optimisme adalah pandangan atau
21
harapan individu terhadap kebaikan-kebaikan yang akan terjadi di dalam
hidupnya serta keberhasilan yang akan dicapai di masa yang akan datang
dengan tidak takut pada kegagalan dan mau terus berusaha.
2. Aspek-aspek Optimisme
Menurut
Scheier
&
Carver
(1985),
optimisme
disposisional
merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan, sebagai sebuah
pengukuran
optimisme
yang
unidimensional.
Konsep
optimisme
disposisional mengembangkan alat ukur untuk mengukur keyakinan umum
berdasarkan hasil yang diinginkan oleh individu. Alat ukur tesebut disebut
sebagai Life Orientation Test (LOT). Scheier dan Carver mengidentifikasi
dua aspek pada Life Orientation Test (LOT), satu aspek merupakan aspek
positif yang berisi aitem bernada positif, dan aspek lainnya merupakan aspek
negatif yang berisi aitem bernada negatif. Walaupun dua aspek tersebut telah
diukur, Scheier dan Carver mengarahkan LOT sebagai alat ukur yang
dimensional, artinya bahwa kemungkinan dua aspek tersebut merefleksikan
kalimat positif dan negatif yang merupakan pembeda pada kalimat aitem dari
isi aitem alat ukur LOT (Scheier & Carver, 1985).
Sedangkan menurut Seligman (2008) optimisme memiliki tiga aspek,
yaitu:
a.
Permanensi
Permanensi yaitu ketetapan suatu peristiwa yang berhubungan
dengan waktu. Penjelasan individu optimis terhadap kejadian baik
berbeda dengan kejadian buruk. Individu optimis menjelaskan kejadian
22
baik pada dirinya sendiri tentang penyebab yang permanen seperti
karakter, kemampuan, dan keinginan yang harus selalu tercapai. Individu
akan berusaha lebih keras setelah mencapai suatu keberhasilan. Individu
yang optimis dalam menanggapi peristiwa buruk akan mempercayai
bahwa peristiwa buruk berlangsung sementara.
b.
Pervasiveness
Pervasiveness yaitu gambaran keleluasaan suatu peristiwa yang
berkaitan dengan berbagai hal spesifik dan global. Individu optimis
percaya bahwa kejadian baik akan memperbaiki segala sesuatu yang
dikerjakan sehingga lebih bersifat global dan kejadian buruk memiliki
penyebab-penyebab yang spesifik.
c.
Personalisasi
Personalisasi merupakan sumber terjadinya suatu peristiwa, baik
secara internal maupun eksternal. Gaya penjelasan optimis menjelaskan
kejadian-kejadian baik lebih bersifat internal dan kejadian buruk bersifat
eksternal. Individu yang menyalahkan kejadian-kejadian eksternal tidak
kehilangan rasa penghargaan terhadap diri sendiri saat kejadian buruk
menimpa.
Berdasarkan beberapa aspek yang telah dijelaskan, mengacu pada
teori dari Scheier dan Carver yang digunakan untuk mengukur optimisme,
maka dapat disimpulkan bahwa optimisme memiliki dimensi yang terdiri dua
hal, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Hal tersebut dikarenakan skala dari
Scheier dan Carver yaitu LOT-R lebih sesuai digunakan untuk penderita
23
diabetes mellitus dan jumlah aitemnya pun tidak terlalu banyak ketika
diberikan kepada subjek yang notabennya adalah individu yang memiliki
penyakit kronis.
C. Hubungan Antara Optimisme dan Kualitas Hidup Pada Penderita
Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes mellitus adalah kondisi dimana tubuh memiliki kadar
gula (glukosa) yang tinggi, dikarenakan tubuh tidak dapat memproduksi insulin
yang cukup. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan
dengan total, tetapi dapat diatasi dengan melakukan pengobatan seumur hidupnya
secara rutin. Pengobatan tersebut yang membuat penderita diabetes mellitus
merasa putus asa dan mengalami kejenuhan yang pada akhirnya dapat
menurunkan kualitas hidup yang dimiliki penderita diabetes mellitus.
Kualitas hidup itu sendiri merupakan persepsi individu terhadap tujuan,
harapan, dan standar kehidupan yang ada di masyarakat sesuai dengan konteks
budaya dan sistem nilai yang ada. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup adalah faktor kepribadian yaitu optimisme. Individu yang memiliki
optimisme akan berpikir positif dan mampu beradaptasi dalam keadaan yang
buruk dibandingkan orang yang pesimis. Individu yang optimis juga dapat
menerima realita dan kondisi hidupnya dan mencoba untuk melihat sisi positif
dari kondisi buruk yang sedang dialaminya. Sikap mau menerima realitas pada
penderita diabetes mellitus akan membuat individu tersebut mau menerima
24
penyakit yang dideritanya dan mau melakukan pengobatan untuk mencapai
kondisi yang lebih baik.
Pada individu yang memiliki sikap optimisme, akan menganggap bahwa
penyebab kondisi yang tidak menyenangkan dalam hidupnya seperti penyakit
diabetes mellitus yang dideritanya hanya bersifat sementara, sedangkan penyebab
kondisi yang menyenangkan itu bersifat menetap atau selamanya. Sesuai dengan
pendapat Icekson, dkk, (2014) yang mengatakan bahwa individu yang optimis
percaya bahwa mereka dapat mengatasi hambatan dan menganggap tugas sulit
sebagai tantangan bukan ancaman. Berdasarkan hal tersebut, penderita diabetes
mellitus yang memiliki sikap optimisme percaya bahwa penyakit yang dideritanya
ini akan sembuh dengan melakukan pengobatan yang rutin dan kualitas hidupnya
dapat menjadi meningkat karena menganggap dirinya akan sembuh dari penyakit
diabetes mellitus. Individu tersebut pun akan rutin dan patuh dalam melakukan
pengobatan untuk mencapai kesembuhannya.
Individu dengan optimisme juga akan melihat kondisi yang tidak
menyenangkan secara khusus, sedangkan dalam melihat kondisi
yang
menyenangkan secara keseluruhan. Pada penderita diabetes mellitus yang
memiliki sikap optimisme, tidak akan merasa malu atau minder dengan memiliki
penyakit tersebut. Sebaliknya, individu tersebut menganggap penyakit diabetes
mellitus yang dideritanya hanya penyakit biasa yang sudah biasa dialami oleh
individu lain. berdasarkan hal tersebut kualitas hidupnya pun dapat meningkat
karena individu percaya bahwa penyakit diabetes mellitus bukan penyakit yang
menakutkan dan tidak perlu dipikirkan secara menyeluruh ataupun harus
25
memikirkan dampaknya dimasa yang akan datang tetapi bagaimana untuk
mencapai kesembuhan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Scheier dan
Carver (Kusumadewi, 2011) bahwa pada individu yang optimisme akan
menginterpretasikan stresor lebih sedikit, mengabaikan perasaan negatif dan
berupaya mengendalikan stresor serta berfokus pada cara mengatasi masalah.
Pada individu yang memiliki optimisme, akan menganggap kondisi yang
tidak menyenangkan berasal dari luar dirinya dan kondisi yang menyenangkan
berasal dari dalam dirinya sendiri. Penderita diabetes mellitus akan menganggap
bahwa penyakitnya tersebut bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan sebagai
cobaan atau takdir yang diberikan Tuhan kepadanya. Individu tersebut dapat
menerima kondisinya dengan ikhlas tanpa rasa bersalah atau menyalahkan diri
sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Wrosch dan Scheier (2003) menemukan
bahwa pada individu yang optimis lebih sedikit menyalahkan diri sendiri dan lari
dari masalah serta tidak fokus pada aspek negatif permasalahan. Berdasarkan hal
tersebut kualitas hidup yang dimilikinya akan meningkat karena individu tersebut
percaya bahwa penyakit diabetes mellitus yang dideritanya terjadi bukan sematamata karena kesalahannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan adanya sikap optimisme
yang dimiliki oleh individu yang menderita penyakit diabetes mellitus, diharapkan
penderita diabetes mellitus mampu melakukan pengendalian glukosa darah
dengan rutin terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin, pada penyandang diabetes juga perlu ditekankan pentingnya
26
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, serta
olahraga ringan yang membuat tubuh bergerak (Fatimah, 2015).
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara optimisme dan kualitas
hidup pada penderita diabetes mellitus. Semakin tinggi optimisme yang dimiliki,
maka semakin tinggi juga kualitas hidup yang dimiliki individu.
Download