BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki batas maritim dengan 10 negara, yaitu: Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, Timor Leste, India, Vietnam dan Thailand. Sampai saat ini belum semua segmen batas maritim antara Indonesia dengan 10 negara tetangga tersebut disepakati. Salah satu diantara batas maritim yang belum disepakati adalah batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka. Pada wilayah tersebut Indonesia dan Malaysia belum menyepakati batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Meskipun batas ZEE belum ditetapkan, batas landas kontinen dan laut teritorial di Selat Malaka sudah disepakati. Batas landas kontinen dan laut teritorial antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka disepakati sebelum ZEE diakui sebagai zona maritim dalam United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS) pada tahun 1982. Batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia disepakati dengan perjanjian tanggal 27 Oktober 1969 yang diratifikasi oleh Indonesia dengan Keppres no. 89 Tahun 1969, sedangkan batas laut teritorial disepakati dengan perjanjian tanggal 17 Maret 1970 dan diratifikasi oleh Indonesia dalam UU no.2/1971 (Patmasari dkk, 2006). Batas laut teritorial antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka disepakati dalam 8 titik seperti disajikan dalam Gambar I.1. Garis batas landas kontinen yang disepakati Indonesia dan Malaysia berupa 25 titik terdiri atas 10 titik di Selat Malaka dan 15 titik di perairan Laut China Selatan (pantai Timur Malaka). Peta garis batas landas kontinen disajikan pada Gambar I.2. Indonesia, Malaysia dan Thailand menyepakati perjanjian trilateral untuk common point batas landas kontinen di Selat Malaka pada 21 Desember 1971 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden no.20/1972 (Oegroseno, 2009). Ilustrasi common point antara Indonesia, Malaysia dan Thailand disajikan pada Gambar I.3. 1 2 Gambar I.1. Batas laut teritorial antara Indonesia dan Malaysia berdasarkan perjanjian 27 Oktober 1969 (Forbes, 2014) Gambar I.2. Batas landas kontinen Indonesia dan Malaysia no.1-10 di Selat Malaka berdasarkan perjanjian 17 Maret 1970 (The-Geographer, 1970) 3 Gambar I.3. Common point batas landas kontinen Indonesia, Malaysia dan Thailand berdasarkan perjanjian 21 Desember 1971 (The-Geographer, 1978) Belum disepakatinya batas ZEE di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia menjadikan kedua negara masing-masing memiliki klaim unilateral untuk batas ZEE. Berdasarkan Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diterbitkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), Indonesia memiliki klaim ZEE yang berbeda dengan Malaysia. Forward position Indonesia untuk batas ZEE antara kedua negara tidak berimpit dengan garis landas kontinen lebih ke utara dari batas landas kontinen yang disepakati sebelumnya. Klaim ZEE Indonesia dapat dilihat pada Gambar I.4. Gambar I.4. Batas ZEE di Selat Malaka menurut Peta NKRI (BIG, 2012) Malaysia mengklaim batas ZEE yang berimpit dengan batas landas kontinen dengan Indonesia yang sudah disepakati sebelumnya. Klaim unilateral Malaysia, 4 sebagai forward position batas ZEE Malaysia tersebut ditampilkan pada Peta Baru Malaysia yang diterbitkan tahun 1979 dan disajikan pada Gambar I.5. Gambar I.5. Peta Baru Malaysia 1979 Belum disepakatinya ZEE antara Indonesia dan Malaysia memberi dampak yang kurang baik pada hubungan kedua negara, antara lain ditandai dengan terjadinya insiden-insiden di wilayah perbatasan. Pada tanggal 7 April 2011 terjadi insiden yang melibatkan kapal berbendera Malaysia, Kapal Hiu 001 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia, dan tiga helikopter Malaysia yang terdiri dari dua helikopter Maritim Malaysia dan satu buah helikopter tempur Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM) Malaysia yang bersenjata lengkap (Vivanews, 2011). Pada insiden tersebut patroli Indonesia menangkap kapal Malaysia yang dianggap memasuki perairan ZEE Indonesia secara ilegal. Setelah penangkapan nelayan oleh petugas KKP, tiga helikopter Malaysia muncul dan meminta kapal Malaysia tersebut dilepaskan. Petugas KKP Indonesia menolak dan kapal tetap dibawa ke Pelabuhan Belawan. Dengan belum disepakatinya batas ZEE antara 5 Indonesia dan Malaysia berpotensi terus menimbulkan insiden-insiden di kemudian hari. Setelah perjanjian landas kontinen dan laut teritorial tahun 1970an, perundingan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia baru dimulai lagi tahun 2005. Saat ini pemerintah Indonesia dan Malaysia masih terus melakukan negosiasi perundingan batas maritim antara kedua negara. Pada perundingan yang dilakukan, aspek teknis merupakan bagian tidak terpisahkan karena bertujuan untuk memberikan kejelasan faktual melalui data yang lengkap untuk dilampirkan dalam dokumen negosiasi (Sutisna, 2006). I.2. Perumusan Masalah Sampai saat ini Indonesia dan Malaysia belum menyepakati batas ZEE di Selat Malaka. Dengan demikian delimitasi batas ZEE harus diselesaikan untuk memberikan solusi permanen dan kepastian hukum. Rangkaian negosiasi sudah dilakukan dalam bentuk perundingan batas namun belum menghasilkan kesepakatan kedua negara. Pada delimitasi batas ZEE yang diatur dalam UNCLOS, tidak diatur metode yang dapat digunakan untuk delimitasi ZEE namun hanya menyebutkan solusi yang adil (equitable solution). Dalam hal ini diperlukan beberapa opsi delimitasi ZEE untuk bahan perundingan dalam rangka memperoleh solusi yang adil. Dalam proses delimitasi batas maritim tersebut, terdapat pekerjaan teknis yang membutuhkan keterlibatan aspek-aspek geospasial sesuai dengan yang diatur dalam UNCLOS. I.3. Pertanyaan Penelitian Bertolak dari permasalahan tersebut beberapa pertanyaan penelitian dapat disusun sebagai berikut: 1. Bagaimana delimitasi batas ZEE di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia dilakukan berdasarkan UNCLOS untuk menghasilkan opsi garis batas ZEE?. 2. Apa peran pulau terluar, titik pangkal, dan garis pangkal masing-masing negara dalam proses delimitasi batas ZEE di Selat Malaka tersebut?. 6 3. Apa peran faktor relevan (relevant circumstances) dalam proses delimitasi batas ZEE di Selat Malaka?. I.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan opsi-opsi delimitasi batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka berdasar pendekatan geospasial. Secara khusus penelitian ini mengkaji aspek teknis dalam menghasilkan opsi-opsi garis batas ZEE yang meliputi pembahasan pulau terluar, titik pangkal, konfigurasi garis pangkal, fitur maritim lain yang digunakan dalam proses delimitasi. I.5. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan diharapkan manfaat antara lain: 1. Diperoleh opsi garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka yang digambarkan sesuai dengan aturan UNCLOS. 2. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dan peran masing-masing dalam delimitasi batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka. I.6. Ruang Lingkup Lingkup penelitian ini adalah melakukan kajian berbagai opsi delimitasi batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka sesuai dengan hukum laut internasional. Kajian ini menyertakan pembahasan tentang status klaim maritim dan perjanjian batas yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam memperoleh opsi-opsi batas ZEE, beberapa kasus delimitasi ZEE dan landas kontinen yang terjadi di dunia digunakan sebagai yurisprudensi khususnya pada metode delimitasi dan parameterparameter yang mempengaruhi proses delimitasi. Pembahasan juga termasuk tentang aspek geospasial dalam delimitasi batas maritim meliputi: pulau terluar, titik pangkal, garis pangkal, dan metode-metode delimitasi. Selain itu juga dibahas penggunaan perangkat lunak yang digunakan untuk pekerjaan teknis delimitasi yaitu CARIS LOTS, termasuk di dalamnya peta dan data yang digunakan. 7 I.7 Tinjauan Pustaka I.7.1. Klaim ZEE di dunia Zona maritim ZEE secara resmi diakui dalam UNCLOS pada tahun 1982 dengan diatur pada bagian V pasal 55-75. Pengakuan atas zona maritim ZEE secara resmi di UNCLOS merupakan inovasi yang signifikan, yang dimulai sejak tahun 1945 (Beckman & Davenport, 2012). Kehadiran ZEE dalam hukum laut internasional menjadikan penguasaan negara-negara di dunia atas laut meningkat drastis. Schofield (2012) menyebutkan luas ZEE mencapai 43 juta mil laut persegi atau melingkupi 43% dari luas seluruh laut di dunia, atau 29% dari seluruh permukaan bumi. Dengan lebar maksimal mencapai 200 mil laut, potensi tumpang tindih klaim ZEE antarnegara di dunia meningkat. Beberapa sengketa batas maritim antarnegara terjadi di dunia karena klaim ZEE tersebut. Gambar I.6 menunjukkan penguasaan negara di dunia atas laut sampai dengan 200 mil laut. Gambar I.6. Batas 200 mil laut dan batas maritim di dunia (Carleton & Schofield, 2002) UNCLOS mengatur beberapa hal penting terkait ZEE, misalnya tentang lebar maksimal ZEE yang dapat diklaim oleh sebuah negara, yaitu tidak melebihi 200 mil 8 laut sesuai pasal 57. Pasal 74 ayat (1) mengatur tentang delimitasi batas ZEE. Namun demikian dari 21 pasal yang ada pada Bab V UNCLOS tidak disebutkan secara khusus metode yang digunakan untuk delimitasi ZEE. Pasal 74 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa delimitasi dilakukan untuk mencapai solusi yang adil (equitable solution). Sebagai catatan, solusi yang adil selain diterapkan pada delimitasi ZEE, juga digunakan pada proses delimitasi landas kontinen. Menurut Carleton dan Schofield (2002) solusi adil secara umum dapat dipengaruhi sangat banyak faktor misalnya faktor politik, strategis, sejarah, hukum, ekonomi, lingkungan, geografis, titik pangkal, garis pangkal, geomorfologi, proporsionalitas, dan faktor lain. Dengan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi tersebut, maka proses dan hasil delimitasi sangat berbeda jika dibandingkan dengan dengan metode median line. Metode ini hanya dipengaruhi oleh pertimbangan geografis pantai dan titik-titik yang relevan untuk dilibatkan dalam delimitasi batas. Namun demikian dari banyak faktor yang mempengaruhi delimitasi untuk solusi yang adil, yurispudensi selama 30 tahun terakhir menunjukkan faktor geografis menjadi yang terpenting dalam delimitasi zona maritim sampai dengan 200 mil laut, salah satu contohnya pada keputusan Mahkamah Internasional untuk kasus Malta/Libya tahun 1985 untuk delimitasi batas sampai dengan 200 mil laut faktor geologis dan geomorfologi tidak berperan. Namun demikian, faktor geologis dan geomorfologis berperan dalam delimitasi landas kontinen di luar 200 mil laut. UNCLOS, khususnya pasal 76 mengatur tentang definisi landas kontinen dan jarak terjauh landas kontinen sebuah negara dengan syarat-syarat tertentu. Pasal 83 UNCLOS lebih lanjut mengatur delimitasi landas kontinen, dalam pasal tersebut tidak disebutkan metode tertentu yang digunakan namun hanya disebutkan delimitasi landas kontinen harus mencapai solusi adil. I.7.2. Yurisprudensi delimitasi batas ZEE ZEE dengan lebar maksimal mencapai 200 mil laut, sebagaimana diatur dalam pasal 57 UNCLOS, memberikan banyaknya potensi tumpang tindih klaim antarnegara. Hingga saat ini tercatat terjadinya beberapa sengketa batas maritim antarnegara berkaitan dengan batas ZEE yang melibatkan beberapa negara di dunia. 9 Sengketa yang terjadi tersebut dapat diselesaikan secara diplomatik dengan proses perundingan antar negara yang terlibat. Selain itu, sengketa dapat juga diselesaikan menggunakan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaian sengketa batas maritim. Dalam BAB VX UNCLOS diatur mengenai sengketa batas maritim antarnegara dapat diselesaikan dengan prosedur secara damai melalui (Agoes, 2006): a. Mahkamah Internasional Hukum Laut (The International Tribunal for the Law of the Sea/ITLOS); b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ); c. Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal), atau d. Mahkamah Arbitrase Khusus (Special Arbitral Tribunal) Dari empat mahkamah tersebut, tercatat beberapa negara melakukan pengajuan penyelesaian sengketa batas maritim kepada Mahkamah Internasional, ITLOS dan Mahkamah Arbitrase. Beberapa sengketa batas antarnegara sudah diputuskan penyelesaiannya dengan prosedur secara damai. Pada keputusan-keputusan penyelesaian yang dilakukan, terdapat penjelasan jelas dan terperinci mengenai penyelesaian sengketa. Dalam keputusan-keputusan tersebut disampaikan proses awal sampai dengan akhir yang dilalui, termasuk didalamnya posisi masing-masing negara yang meliputi penjelasan teknis, yuridis, historis dan pandangan serta keputusan yang dibuat hakim. Secara umum aspek teknis yang disampaikan pada keputusan mahkamah terdapat penjelasan disertai peta lampiran sebagai ilustrasi hasil delimitasi antara pihak yang bersengketa. Terkait dengan delimitasi ZEE, terdapat beberapa penyelesian sengketa yang sudah dilakukan oleh Mahkamah Internasional. Pada tahun 2009, Mahkamah Internasional memberikan keputusan pada sengketa batas yang melibatkan Ukraina dan Rumania. Pada keputusan tersebut, Mahkamah Internasional menggunakan metode Three Stage Approach (metode pendekatan tiga tahap) dalam delimitasi ZEE dan landas kontinen. Metode tersebut lebih lanjut digunakan pada penyelesaian sengketa batas maritim antarnegara yang lain sesudahnya. Metode Three Stage Approach misalnya digunakan pada penyelesaian sengketa antara Myanmar dan Bangladesh tahun 2012 yang diselesaikan melalui ITLOS dan penyelesaian sengketa 10 antara Chile dan Peru tahun 2014 oleh Mahkamah Internasional. Metode Three Stage Approach yang digunakan pada keputusan Mahkamah Internasional dan ITLOS termasuk dalam yurisprudensi dan digunakan sebagai metode delimitasi dalam penelitian ini. I.7.2.1. Penyelesaian sengketa batas maritim antara Rumania dan Ukraina. Mahkamah Internasional memberikan keputusan penyelesaian sengketa batas maritim antara Rumania dan Ukraina di Laut Hitam pada tanggal 3 Februari 2009. Dalam keputusan tersebut, sengketa diselesaikan dengan delimitasi satu garis (single line) untuk delimitasi ZEE dan landas kontinen (ICJ, 2009). Dalam keputusan tersebut beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam proses delimitasi batas maritim antara Rumania dan Ukraina diantaranya: pantai relevan, area relevan, konstruksi garis ekuidistan, faktor pengaruh yang relevan, dan uji disproporsionalitas. Pada keputusan tersebut, disebutkan penentuan pantai relevan berkaitan dengan dua hal dalam delimitasi ZEE dan landas kontinen. Pertama, pantai relevan merupakan faktor penting untuk mengidentifikasi kasus apa saja yang termasuk dalam tumpang tindih klaim. Kedua, pantai relevan digunakan dalam tahapan ketiga metode delimitasi ZEE dan landas kontinen yaitu uji disproporsionalitas, dimana diantaranya membandingkan pantai relevan masingmasing negara yang digunakan delimitasi yang dilakukan. Berdasarkan pantai relevan, kemudian dapat ditentukan area relevan. Berdasarkan area relevan tersebut dapat diketahui luas wilayah maritim yang terlibat dalam proses delimitasi, dan area yang tidak termasuk dalam delimitasi. Area relevan juga digunakan dalam tahapan ketiga para proses delimitasi batas maritim metode Three Stage Approach, uji disproporsionalitas, untuk mengetahui perbandingan luas area maritim yang diperoleh masing-masing negara hasil delimitasi. Gambar I.7 menunjukkan area relevan dari kasus sengketa batas antara Rumania dan Ukraina menurut Mahkamah Internasional. Pada sengketa di Laut Hitam tersebut, terdapat sebuah pulau kecil bernama Pulau Serpent yang dimiliki Rumania, berjarak 20 mil laut dari pantai Ukraina. Dalam proses delimitasi batas maritim, Mahkamah Internasional memutuskan Pulau 11 Serpent tidak berkontribusi sebagai titik pangkal Rumania dengan alasan dengan melibatkan Pulau Serpent sebagai titik pangkal mengubah konfigurasi titik pangkal dari konfigurasi umum garis pantai Rumania. Namun demikian, Pulau Serpent tetap diperhitungkan dalam proses delimitasi, yaitu dengan berkontribusi sejauh busur 12 mil laut, namun tidak diperhitungkan dalam penentuan garis ekudistan untuk segmen selanjutnya. Gambar I.7. Area relevan sengketa antara Rumania dan Ukraina (ICJ, 2009) Secara umum, dapat dilihat bahwa keputusan Mahkamah Internasional pada sengketa batas maritim antara Ukraina dan Rumania menggunakan metode dan tahapan baru untuk delimitasi batas ZEE dan landas kontinen bernama metode Three Stage Approach. Proses delimitasi dilakukan dalam tiga tahapan utama, yang 12 pertama adalah rekonstruksi garis ekudisitan sementara dengan mempertimbangkan area maritim. Langkah kedua adalah menentukan faktor yang berpengaruh yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap garis ekuidistan sementara. Langkah ketiga adalah memastikan bahwa garis batas yang dihasilkan tidak memberikan hasil yang tidak adil dan disproporsional terhadap perbandingan panjang pantai dan area relevan untuk sengketa batas maritim tersebut. Terdapat fitur maritim, yaitu Pulau Serpent yang berkontribusi pada delimitasi yang dilakukan dan ilustrasi ditampilkan pada Gambar I.8. Gambar I.8. Batas maritim di Pulau Serpent (ICJ, 2009) Pada uji disproporsionalitas yang dilakukan, Mahkamah Internasional menyampaikan perbandingan panjang pantai antara Rumania dan Ukraina adalah 1:2,8. Untuk perbandingan area relevan antara Rumania dan Ukraina adalah 1:2,1. Mahkamah Internasional memutuskan berdasarkan hasil uji disproporsionalitas tersebut, tidak terjadi perubahan pada garis ekuidistan. I.7.2.2. Penyelesaian sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar. Kasus sengketa batas maritim lain yang diselesaikan melalui pihak ketiga adalah kasus sengketa batas ZEE dan landas kontinen antara Myanmar dan Bangladesh di 13 Teluk Benggala. Sengketa tersebut dibawa ke ITLOS pada tanggal 14 Desember 2009 dan mendapatkan keputusan pada tanggal 14 Maret 2012 (ITLOS, 2012). Pada keputusan tersebut, terdapat satu fitur maritim yang dipertimbangkan dalam proses delimitasi yaitu Pulau St. Martin yang dimiliki Bangladesh. Pada keputusannya, ITLOS tidak menjadikan Pulau St. Martin sebagai titik pangkal untuk Bangladesh namun diperhitungkan pada delimitasi batas laut teritorial. Untuk delimitasi ZEE, Pulau St. Martin diputuskan tidak termasuk dalam faktor yang digunakan dalam proses delimitasi. Secara umum pada keputusan ITLOS tersebut, terdapat pembahasan beberapa hal yang berkaitan dengan delimitasi batas ZEE dan landas kontinen meliputi: satu garis batas untuk ZEE dan landas kontinen, aturan hukum-hukum relevan, pantai relevan, metode delimitasi, garis ekuidistan sementara, faktor relevan, penyesuaian garis ekuidistan, dan uji disproporsionalitas. ITLOS mengacu pada keputusan Mahkamah Internasional untuk sengketa batas maritim antara Rumania dan Ukraina dimana Mahkamah Internasional menggunakan Three Stage Approach untuk delimitasi batas ZEE dan landas kontinen antara kedua negara. ITLOS memutuskan menggunakan metode Three Stage Approach untuk delimitasi ZEE dan landas kontinen sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar dengan pertimbangan merupakan metode yang terkini yang digunakan Mahkamah Internasional. Pada kasus Bangladesh dan Myamnar, untuk pertimbangan pantai yang relevan, ITLOS memutuskan pantai yang relevan untuk Bangladesh sepanjang 413 km dan untuk Myanmar sepanjang 587 km. Perbandingan panjang pantai antara Bangladesh dan Myanmar adalah 1:1,42. Gambar I.9 menyajikan perbandingan panjang pantai relevan antara Bangladesh dan Myanmar. Dalam menentukan area relevan dalam kasus Myanmar dan Bangladesh, dari garis ekuidistan yang dihasilkan, perhitungan yang dilakukan ITLOS memberikan luas area relevan sekitar 111.631 km2 untuk Bangladesh dan 171.832 km2 untuk Myanmar. Perbandingan area relevan antara Bangladesh dan Myanmar adalah 1:1,54. Gambar I.9 menyajikan cakupan area relevan dalam delimitasi batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar. 14 Gambar I.9. Pantai relevan kasus sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala (ITLOS, 2012) Gambar I.10. Area relevan sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar (ITLOS, 2012) 15 Berdasarkan uji disproporsionalitas yang dilakukan, ITLOS memutuskan bahwa perbandingan panjang pantai dan luas area relevan antara Bangladesh dan Myanmar tidak memberikan perubahan atas garis ekuidistan yang dihasilkan. I.7.2.3. Penyelesaian sengketa batas maritim antara Peru dan Chile. Pada tanggal 27 Januari 2014 Mahkamah Internasional memberikan keputusan untuk sengketa batas maritim antara Peru dan Chile. Dalam keputusan tersebut, batas ZEE dan landas kontinen kedua negara menggunakan satu garis. Peta hasil keputusan Mahkamah Internasional ditampilkan pada Gambar I.11. Gambar I.11. Keputusan Mahkamah Internasional untuk sengketa batas maritim antara Chile dan Peru (ICJ, 2014) Pada keputusan ini, Mahkamah Internasional memperhitungkan titik A, sebagai bagian dari perjanjian batas yang sudah disepakati sebelumnya, sebagai titik awal batas maritim. Titik A merupakan titik akhir dari perjanjian maritim kedua negara yang sudah disepakati sebelumnya. Garis batas yang dihasilkan adalah satu garis untuk ZEE dan landas kontinen sampai dengan 200 mil laut. Makhamah Internasional memutuskan bahwa arah garis batas maritim adalah ke barat daya dengan penentuan lokasi titik pangkal di Peru dihitung menggunakan lingkaran dengan titik A sebagai pusat sejauh 80 mil laut (jarak A ke garis batas di darat). Titik 16 awal pembentukan garis ekuidistan sementara adalah titik batas di darat dan satu titik pangkal di Peru. Pada tahapan penetapan batas ZEE dan landas kontinen, Mahkamah Internasional menggunakan metode Three Stage Approach seperti yang digunakan pada keputusan Mahkamah Internasional untuk sengketa antara Rumania dan Ukraina. Namun demikian, dalam keputusan tersebut Mahkamah Internasional tidak memberikan ilustrasi gambar pantai relevan dan areal relevan untuk kasus Sengketa Chile dan Peru, dan memberikan perhitungan perbandingan kedua parameter tersebut. Pada keputusan penyelesaian sengketa antara Peru dan Chile, Mahkamah Internasional tidak memberikan hasil uji disproporsionalitas karena kondisi yang tidak biasa, yaitu sudah terdapat garis batas yang sudah disepakati sebelumnya sehingga sulit untuk menentukan pantai relevan dan area relevan. I.7.2.4. Metode delimitasi Three Stage Approach. Berdasarkan tiga keputusan penyelesaian sengketa batas antarnegara di atas, metode delimitasi ZEE dan landas kontinen yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dan ITLOS saat ini adalah Three Stage Approach, yang digunakan pertama kali pada penyelesian sengketa antara Rumania dan Ukriana. Hasil uji disproporsionalitas pada ketiga penyelesaian sengketa batas maritm, kesemuanya tidak memberikan perubahan pada garis ekuidistan yang dihasilkan. I.7.3. ZEE dan Landas Kontinen yang tidak berimpit Keputusan Mahkamah Internasional dan ITLOS sebagai yurisprudensi penyelesaian sengketa batas ZEE yang dibahas pada bab I.7.2 kesemuanya memberikan keputusan garis batas ZEE dan landas kontinen segaris (single line). Keputusan dimana dihasilkan single line untuk garis batas ZEE dan landas kontinen dapat terjadi pada kondisi dimana batas maritim pada wilayah tersebut belum disepakati sama sekali, baik untuk batas ZEE maupun landas kontinen antara negaranegara yang bersengketa. Kondisi yang berbeda terjadi di Selat Malaka, dimana pada wilayah perairan tersebut sudah disepakati beberapa perjanjian batas maritim. 17 Di Selat Malaka, seperti dijelaskan sebelumnya batas laut teritorial dan landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia sudah disepakati, sehingga kedua negara hanya berkepentingan untuk menyepakati batas ZEE. Dari klaim unilateral masingmasing negara, terdapat perbedaan garis ZEE yang diinginkan. Dalam Peta NKRI, batas ZEE Unilateral Indonesia di Selat Malaka tidak berimpit dengan batas landas kontinen. Selain dengan Malaysia, Indonesia juga berbatasan maritim dengan Thailand, dan seperti ditampilkan pada Peta NKRI batas ZEE antara Indonesia dan Thailand juga tidak berimpit dengan batas landas kontinen yang sudah disepakati antara kedua negara tahun 1971. Garis batas ZEE dan landas kontinen yang tidak berimpit jarang dijumpai pada perjanjian batas maritim di dunia. Ketiga keputusan Mahkamah Internasional dan ITLOS yang dilakukan dalam kurun waktu 2009-2014 selalu memberikan satu garis (single line) untuk delimitasi dua zona maritim tersebut karena delimitasi dilakukan bersamaan. Potensi batas ZEE dan landas kontinen yang tidak berimpit dapat terjadi jika salah satu batas disepakati lebih dahulu, misalnya seperti yang terjadi dengan batas maritim antara Indonesia dengan Australia. Batas ZEE dan landas kontinen antara Indonesia dan Australia di Laut Timor, yang disepakati oleh kedua negara tidak bersamaan dan tidak berimpit. Pada tanggal 14 Maret 1997 Indonesia dan Australia menyepakati Persetujuan tentang penetapan batas ZEE dan batas-batas dasar laut tertentu. Hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut. Perjanjian ZEE yang dilakukan pada tahun 1997 merupakan kelanjutan dari perjanjian tentang batas maritim antara Indonesia dan Australia yang dilaksanakan tahun 1971, 1972 dan 1973. Perjanjianperjanjian tersebut sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keppres no.42/1971 untuk perjanjian tahun 1971, Keppres no.66/1972 untuk perjanjian tahun 1972 dan UU no.6/1973 untuk perjanjian tahun 1973 (Kemlu, 2013). Secara umum garis dasar laut (landas kontinen) yang disepakati pada tahun 1970an tidak berimpit dengan garis batas ZEE yang disepakati tahun 1997. Ilustrasi garis batas ZEE dan landas kontinen antara Indonesia dan Australia dapat dilihat pada peta NKRI yang disajikan pada Gambar I.12. 18 Herriman dan Tsamenyi (1998) menyampaikan bahwa kondisi tumpang tindih yurisdiksi antara landas kontinen dan ZEE di batas maritim antara Indonesia dan Australia tidak diantisipasi dalam UNCLOS dan menimbulkan situasi yang kompleks. Perjanjian tahun 1997 dapat berarti Indonesia memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan memanajemen sumberdaya laut pada tubuh air di area yang tumpang tindih. Sumaryo dan Arsana (2011) menyampaikan bahwa dalam kondisi tubuh air dan dasar laut dimiliki oleh negara yang berbeda, masalah yang dapat muncul adalah kurangnya pemahaman nelayan terkait definisi spesies sedenter yang menjadi bagian dari sumberdaya dasar laut, bukan sumber daya kolom air, sehingga seharusnya tidak boleh ditangkap/dieksploitasi dalam kegiatan penangkapan ikan, misalnya timun laut. Gambar I.12. Garis batas Indonesia dan Austalia di Laut Timor (BIG, 2012) Pada perjanjian tahun 1997 yang mengatur penetapan batas ZEE dan batasbatas dasar laut tertentu disepakati beberapa hal terkait dengan penguasaan negara pada zona maritim masing-masing. Pasal 7 perjanjian tersebut mengatur yurisdiksi pada wilayah yang tumpang tindih, dimana berisi beberapa aturan kegiatan dan hakhak masing-masing negara untuk zona maritim yang dimiliki. Beberapa hal yang diatur diantaranya terkait dengan hak mengelola ZEE dan landas kontinen sesuai dengan UNCLOS. Hak eksplorasi dan eksploitasi masing-masing negara harus dengan pemberitahuan ke pihak lain tiga bulan sebelumnya. Pembuatan pulau buatan harus disepakati kedua negara. Beberapa hal lain yang diatur diantaranya mengenai kegiatan riset, polusi, pemasangan fish aggregating device (FAD). 19 I.7.4. Batas ZEE di Selat Malaka Indonesia dan Malaysia sudah memiliki perjanjian batas untuk laut teritorial dan landas kontinen, sehingga yang harus didelimitasi adalah batas ZEE di Selat Malaka. Pada wilayah perairan Selat Malaka terdapat potensi tumpang tindih klaim antara Indonesia dan Malaysia karena jarak antara kedua negara kurang dari 200 mil laut (Sumaryo & Arsana, 2011). Indonesia dan Malaysia sudah melakukan perjanjian batas laut teritorial di tahun 1969 dan batas landas kontinen tahun 1973. Kedua perjanjian disepakati sebelum UNCLOS lahir dan memperkenalkan zona maritim ZEE tahun 1982. Saat ini baik Indonesia maupun Malaysia sudah meratifikasi UNCLOS, Indonesia meratifikasi melalui UU no.17/1985 tanggal 31 Desember 1985, Malaysia sudah meratifikasi UNCLOS tanggal 14 Oktober 1996. Dengan belum disepakatinya ZEE oleh Indonesia dan Malaysia, masing-masing negara melakukan klaim batas ZEE unilateral di Selat Malaka, yang ternyata terjadi tumpang tindih klaim. Klaim unilateral batas ZEE yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka menghasilkan tumpang tindih klaim karena kedua negara menggunakan forward position, yaitu mengklaim sejauh mungkin dari garis pangkal untuk memperoleh wilayah yang lebih luas. Secara umum klaim Indonesia untuk batas ZEE yaitu tidak berimpit dengan garis landas kontinen, seperti ditampilkan pada Peta NKRI. sedangkan Malaysia menginginkan garis ZEE yang berimpit dengan garis landas kontinen yang sudah disepakati sebelumnya. Delimitasi batas ZEE yang harus dilakukan Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka tidak terlepas dari perjanjian yang sudah dilakukan kedua negara khususnya perjanjian landas kontinen tahun 1969. Berdasarkan garis batas landas kontinen pada perjanjian tersebut, dapat dilihat kemungkinan dimana Malaysia menggunakan dua pulau, Pulau Jarak dan Pulau Perak yang berlokasi di Selat Malaka sebagai bagian dari garis pangkal yang menghasilkan garis batas landas kontinen. Dalam perjanjian landas kontinen yang dibuat kedua negara tidak disebutkan metode delimitasi yang digunakan (Lokita, 2010). Berdasarkan Peta Baru yang dibuat Malaysia, walaupun tidak memperlihatkan konfigurasi garis pangkal yang digunakan, dapat diperkirakan Malaysia menggunakan Pulau Perak dan Pulau Jarak yang berjarak 80 mil laut dan 68 mil laut dari Semenanjung Malaka untuk garis pangkal lurus (Sumaryo & Arsana, 20 2011). Namun demikian Pemerintah Indonesia menolak karena bertentangan dengan hukum internasional yang berlaku, walaupun pada tahun 1969 pernah menerima posisi Pulau Jarak di tengah-tengah Selat Malaka untuk titik pangkal (Djalal, 2006). Valencia (2003) secara khusus meneliti validitas garis pangkal Malaysia dalam kasus tenggelamnya kapal “Sun Vista” tahun 1999 dan menyimpulkan beberapa hal tentang garis pangkal Malaysia. Secara umum garis pangkal Malaysia dianggap tidak valid karena lima alasan utama. Alasan yang pertama Malaysia tidak melakukan publikasi atas garis pangkal yang digunakan, sehingga tidak sesuai dengan pasal 4.6 Konvensi Genewa 1958. Alasan kedua Malaysia juga menggunakan garis pangkal yang tidak sesuai dengan aturan pada pasal 7 UNCLOS. Alasan selanjutnya adalah Garis pangkal Malaysia mendapat protes dari beberapa negara, misalnya Amerika dan Indonesia. Alasan keempat, garis pangkal Malaysia melanggar konvensi Genewa 1958 dan Pasal 8 UNCLOS. Dan yang alasan terakhir adalah garis pangkal Malaysia menunjukkan inkonsistensi dari posisi Malaysia terhadap wilayah maritimnya. Dengan terjadinya perbedaan klaim garis batas ZEE di Selat Malaka antara Indonesia dan Malaysia, dapat dilihat bahwa perbedaan garis pangkal yang digunakan menjadi faktor penting dalam delimitasi batas maritim. Ketidaksepakatan penggunaan jenis garis pangkal memang lazim menjadi satu isu yang penting dalam permasalahan batas maritim (Schofield, 2012). Indonesia memiliki peraturan terkait wilayah maritim dari sejak tahun 1960. Indonesia mengatur garis pangkal dalam UU no.4 prp/1960 tentang perairan Indonesia yang disusun berdasarkan deklarasi Djuanda (Oegroseno, 2009). Indonesia juga kemudian menerbitkan UU no.5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. UU no.4/1960 kemudian diperbarui melalui Peraturan Pemerintah (PP) no.38/2002 setelah dilakukan survei terhadap titik-titik pangkal Indonesia. Indonesia melalui PP no.37/2008 sebagai perubahan atas PP no.38/2002 tentang daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan menyampaikan kepada PBB deskripsi 195 titik pangkal yang digunakan dalam garis pangkal kepulauan Indonesia (UN, 2012b). Deposit daftar titik pangkal kepulauan Indonesia kepada PBB dilakukan pada tanggal 11 Maret 2009 (UN, 2012c). Dengan didepositnya garis pangkal kepulauan 21 Indonesia kepada PBB tercatat untuk pertama kalinya Indonesia sudah memiliki satu sistem garis pangkal yang komplit dan tertutup (Schofield & Arsana, 2009). Indonesia juga menyampaikan peta ilustrasi titik-titik pangkal tersebut dan konfigurasi garis pangkal kepulauan Indonesia (UN, 2012a). Di Selat Malaka, Indonesia memiliki beberapa titik pangkal, yaitu dari TD.181 sampai dengan TD.189, dengan peta ilustrasi titik pangkal dan garis pangkal kepulauan Indonesia disajikan dalam Gambar I.13. Gambar I.13. Peta ilustrasi garis pangkal kepulauan Indonesia di Selat Malaka (UN, 2012a) Permasalahan penggunaan titik pangkal menjadi isu penting dalam delimitasi batas ZEE di Selat Malaka. Pemilihan titik pangkal yang digunakan pada garis pangkal dapat memberikan perbedaan garis batas ZEE yang signifikan. Malaysia berpotensi mendapatkan wilayah ZEE yang lebih luas jika menggunakan Pulau Perak dan Pulau Jarak sebagai titik pangkal dibandingkan jika Malaysia menggunakan garis pangkal normal. I.7.5. Data geospasial dalam delimitasi batas ZEE Delimitasi batas maritim melalui negosiasi membutuhkan kajian-kajian teknis untuk menghasilkan garis batas yang sesuai aspek teknis hukum laut. Hal ini dikarenakan, delimitasi batas maritim dilakukan dengan kartometrik. Pada pelaksanaannya, beberapa hal penting yang termasuk dalam proses kajian teknis adalah penggunaan peta laut, ketersediaan peta skala besar, pendefinisian datum 22 horisontal dan vertikal pada peta yang digunakan. Hal-hal tersebut penting karena memberikan peran dalam pendefinisian titik pangkal dan garis pangkal yang digunakan dalam proses delimitasi. Pada perjaanjian batas maritim yang sudah disepakati antara Indonesia dan beberapa negara, beberapa diantaranya tidak menyebutkan datum geodesi yang digunakan. Salah satu contohnya adalah perjanjian laut teritorial antara Indonesia dan Singapura tahun 1973 yang tidak mencantumkan datum yang digunakan dalam peta lampiran, dimana hal tersebut dapat menjadi permasalahan di kemudian hari (Abidin dkk, 2005). Aspek teknis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses perundingan. Aspek teknis dapat memberikan kejelasan faktual melalui data yang lengkap untuk dilampirkan dalam dokumen negosiasi (Sutisna, 2006). Pada proses pekerjaan teknis, kelengkapan data geospasial dapat membuat kekuatan dalam argumentasi perundingan. Contoh terkait dengan hal tersebut misalnya penentuan penggunaan peta yang digunakan dalam proses perundingan. Penentuan garis pangkal, batas maritim yang disepakati harus dilakukan pada akurasi sebaik, sehingga harus digunakan peta dengan skala memadai dan menampilkan fitur-fitur maritim yang penting (Beazley, 1994). Indonesia dan Malaysia memproduksi peta laut untuk kepentingan masingmasing negara, sehingga dalam pembuatan peta tersebut kedua negara mengedepankan penggunaan untuk kepentingan negara masing-masing. Pada proses perundingan dan negosiasi antarnegara, seringkali peta yang dibuat oleh masingmasing negara tidak digunakan. Dalam hal ini, peta-peta laut yang dibuat oleh lembaga hidrografi yang diakui secara internasional, seperti British Admiralty Chart (BAC) yang dibuat oleh Inggris, sering digunakan sebagai peta utama dalam proses delimitasi. Di Selat Malaka, diproduksi beberapa Peta BAC dengan beragam skala yang mencakup sebagian besar perairan Selat Malaka. Pada penelitian ini digunakan peta BAC yang mencakup Selat Malaka yaitu BAC no.830, no.1358, dan no.1353. Indeks BAC di Selat Malaka disajikan pada Gambar I.14. 23 Gambar I.14. Indeks BAC (MDNautical, 2011) Untuk mengolah peta dan melakukan delimitasi batas maritim digunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG). Salah satu perangkat lunak yang didesain untuk pekerjaan delimitasi batas maritim adalah CARIS Law Of The Sea (CARIS LOTS) yang dibuat oleh perusahaan asal Kanada, CARIS. CARIS LOTS digunakan dalam banyak penelitian delimitasi batas maritim karena fitur dan fasilitas yang didukung sudah disesuaikan dengan hukum laut internasional (Arsana, 2006). Beberapa fitur yang dimiliki oleh CARIS LOTS diantaranya pendefinisian garis pangkal, titik pangkal, klaim berbobot, georeferensi peta dan beberapa pekerjaan teknis batas maritim lainnya (CARIS, 2014). I.8. Landasan Teori I.8.1 Klaim atas wilayah maritim UNCLOS sebagai konstitusi atas laut mengatur dan memberi kerangka yang lengkap untuk penguasaan atas laut yang meliputi: hak navigasi, pelestarian lingkungan laut, eksploitasi sumber daya, yurisdiksi ekonomi, dan isu maritim lain (Antunes, 2002). Salah satu aspek yang diatur dalam UNCLOS adalah batas maritim. Sebuah negara pantai, bisa melakukan klaim atas wilayah maritim dengan ketentuan- 24 ketentuan yang sudah diatur dalam UNCLOS. Selanjutnya suatu negara kepulauan, berhak mengklaim zona wilayah maritim yang diukur dari garis pangkal kepulauan. Dalam hal ini, UNCLOS, dengan ilustrasi ditampilkan dalam Gambar I.15, membagi zona wilayah maritim menjadi beberapa zona, yaitu: 1. Laut teritorial didefinisikan sebagai wilayah laut yang berjarak 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Laut teritorial diatur dalam Pasal 2 dan 3 UNCLOS. 2. Zona tambahan yaitu wilayah laut yang berjarak 24 mil laut diukur dari garis pangkal. Pada wilayah ini, sesuai UNCLOS pasal 33, sebuah negara berhak menyelenggarakan: a. Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang bea cukai, fiskal, imigrasi atau kesehatan (saniter) di dalam wilayah atau laut teritorialnya. b. Menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan tersebut yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorialnya. 3. ZEE yaitu wilayah laut yang berjarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Pada wilayah ini suatu negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya dari dasar laut sampai permukaan laut serta tanah di bawahnya sesuai dengan Pasal 55-75 UNCLOS. Pasal 56 UNCLOS mengatur tentang hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam ZEE, yaitu: a. Dalam ZEE, negara pantai mempunyai: i. hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin ii. Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan konvensi ini berkenaan dengan: 25 (i). pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii). Riset ilmiah kelautan; (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup; iii. Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini b. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini. c. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI. 4. Landas kontinen yaitu wilayah laut yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dan daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Menurut Pasal 76 UNCLOS, pada wilayah ini negara memiliki hak untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam pada dasar laut serta tanah di bawahnya. Landas kontinen diatur dalam pasal 76-85 UNCLOS. Hak-hak negara dalam landas kontinen diatur dalam pasal 77, yaitu: 1. Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan mengeksplorasinya dan mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya. 2. Hak yang tersebut dalam ayat 1 di atas adalah eksklusif dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak mengeksplorasi landas kontinen atau mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan tegas negara pantai. 26 3. Hak suatu negara pantai atas landas kontinen tidak bergantung pada pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap (notional), atau pada proklamasi secara jelas apapun. 4. Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di bawahnya, bersama dengan organisme hidup yang tergolong jenis sedenter, yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak kecuali jika berada dalam kontak fisik tetap dengan dasar laut atau tanah di bawahnya. Pada landas kontinen sebuah negara, pasal 79 UNCLOS mengatur bahwa semua negara berhak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen. Lebih lanjut diatur penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut demikian di atas landas kontinen harus mendapat persetujuan negara pantai. Gambar I.15. Zona maritim berdasarkan UNCLOS (Arsana & Sumaryo, 2010) 27 Sebagai negara pantai, Indonesia bisa melakukan klaim atas wilayah maritim dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam UNCLOS. Indonesia juga merupakan negara kepulauan, yang berhak mengklaim zona wilayah maritim yang diukur dari garis pangkal kepulauan. Untuk zona-zona wilayah maritim tersebut, Indonesia dapat menetapkan batas maritimnya sampai dengan jarak terjauh yang dapat diklaim tanpa melibatkan dengan negara lain, jika sampai dengan jarak tersebut tidak terdapat negara tetangga. Kondisi tersebut sering dikenal istilah maritime limit. Contoh maritime limit misalnya batas ZEE dan landas kontinen Indonesia di selatan Pulau Jawa, pada wilayah tersebut Indonesia tidak memiliki negara tetangga, sehingga klaim maritim dapat dilakukan sampai dengan 200 mil laut. Namun demikian, Indonesia harus melakukan delimitasi batas maritim dengan negara lain jika, dalam proses klaim zona wilayah maritim, jarak antara dua negara tidak lebih jauh dari dua kali jarak maksimal klaim maritim yang bisa dilakukan. Kondisi ini misalnya dapat dilihat pada Selat Malaka yang jarak antara Indonesia dan Malaysia kurang dari 400 mil laut. Pada wilayah perairan tersebut, Indonesia dan Malaysia sama-sama berhak melakukan klaim ZEE namun jika dilakukan klaim sampai dengan 200 mil laut terjadi tumpang tindih klaim, sehingga Indonesia dan Malaysia harus melakukan proses delimitasi batas. Garis batas hasil delimitasi ini sering disebut dengan maritime boundary. Ilustrasi maritime limit, maritime boundary, tumpang tindih klaim disajikan pada Gambar I.16. Klaim wilayah maritim atas zona maritim yang diatur UNCLOS terkait erat dengan zona maritim dan kewenangan yang menyertainya. Kewenangan yang melekat pada klaim zona maritim dibedakan menjadi: 1. Kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan merupakan kewenangan penuh/absolut sebuah negara untuk menjalankan kekuasaan terhadap suatu wilayah atau masyarakat. Dalam hal kedaulatan, sebuah negara tidak perlu meminta ijin/persetujuan dari negara lain untuk melaksanakan/menjalankan kehendaknya. Adapun zona maritim yang 28 termasuk dalam kedaulatan adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters), dan laut teritorial (territorial sea). 2. Hak Berdaulat (sovereign right). Hak berdaulat merupakan kewenangan suatu negara terhadap wilayah tertentu yang dalam pelaksanaannya harus tunduk pada aturan hukum yang dianut oleh masyarakat internasional. Hak berdaulat umumnya adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada kawasan tertentu yang diatur termasuk dalam kewenangan hak berdaulat. Adapun zona maritim yang temasuk dalam hak berdaulat adalah zona tambahan (contigous zone), ZEE dan landas kontinen. Gambar I.16. Zona maritim, maritime limit, dan maritime boundary (Carleton & Schofield, 2001) 29 I.8.2 Delimitasi batas maritim Delimitasi batas maritim antara dua negara atau lebih harus dilakukan jika terjadi tumpang tindih klaim maritim. Delimitasi batas maritim diatur oleh aturanaturan hukum internasional. UNCLOS merupakan aturan hukum internasional bagi sebuah negara pantai untuk melakukan delimitasi batas maritim dengan negara yang berbatasan. Delimitasi batas maritim memberikan kejelasan status kedaulatan dan hak berdaulat wilayah maritim yang bersangkutan. Dalam delimitasi batas maritim, ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk menentukan garis batas zona maritim, metode-metode tersebut antara lain (Prescott & Schofield, 2005): 1. Equidistance line/median line (garis ekuidistan). Garis ekuidistan merupakan metode penentuan batas maritim menggunakan dua garis yang memiliki jarak sama dari garis pangkal dari masing-masing negara. Metode ini terbagi menjadi: a. Strict equidistance (ekuidistan murni) Garis ekuidistan murni dihasilkan dengan menarik garis dari titik pangkal terdekat antar kedua negara, kemudian membaginya sama panjang, dan dilakukan sepanjang bentuk geometri negara. Ilustrasi ekudistan murni ditampilkan dalam Gambar I.17. b. Simplified equidistance (ekuidistan disederhanakan) Garis ekuidistan disederhanakan dihasilkan dari mengurangi jumlah titik belok dari garis ekuidistan. Titik belok dapat berjumlah sangat banyak sesuai dengan jumlah titik pangkal yang digunakan, yang berakibat semakin banyaknya titik belok pada garis batas. Ilustrasi ekuidistan yang disederhanakan disajikan pada Gambar I.18. 30 Gambar I.17. Ekuidistan murni (IHO, 2006) c. Modified equidistances (ekuidistan dimodifikasi) Karena suatu hal khusus, maka batas yang ditentukan melalui ekuidistan murni digeser berdasarkan kesepakatan antara kedua negara. Modifikasi dilakukan misalnya karena terdapat fitur maritim yang berada dekat dengan garis ekuidistan. Visualisasi ekuidistan dimodifikasi ditampilkan pada Gambar 1.19. Gambar I.18. Ekuidistan disederhanakan (IHO, 2006) 31 Gambar I.19. Ekuidistan yang dimodifikasi (IHO, 2006) Faktor geografis dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam perubahan garis ekuidistan dalam delimitasi maritim, misalnya terdapat fitur maritim yang berada dekat dengan garis ekuidistan. Sehingga fitur maritim tersebut diperhitungkan untuk perubahan garis ekuidistan. Gambar I.20 menunjukkan bobot nol (nil effect), bobot setengah (half effect), dan bobot penuh (full effect) dari sebuah fitur maritim dan perubahan yang dihasilkan. Gambar I.20. Efek parsial (IHO, 2014) 32 d. Enclaving (enklaf) Pada kasus dua negara yang berhadapan dan diantaranya terdapat sebuah pulau yang keberadaannya jauh dari pulau utama sebuah negara tetapi lebih dekat dengan negara lain, maka hak wilayah maritim pulau tersebut jauh berkurang. Gambar I.21 menunjukkan contoh kondisi enklaf. Gambar I.21. Enclave (enklaf) (IHO, 2006) 2. Lines of bearing (garis perwakilan) Pada metode garis perwakilan garis batas maritim tidak ditentukan oleh bentuk pantai, tetapi disederhanakan dengan beberapa pertimbangan, terbagi kedalam (Carleton & Schofield, 2002) : a. Perpendicular (Tegak lurus) Metode ini digunakan pada dua negara yang bersebelahan dan memiliki bentuk bibir pantai yang sangat komplek. Garis pangkal ini tidak memakai garis pangkal normal maupun garis pangkal lurus, tetapi diwakilan menjadi garis lurus searah garis pantai secara umum (general), kemudian penentuan batas wilayah maritim ditentukan tegak lurus garis perwakilan. 33 b. Paralel dan meridian Batas antara kedua negara ditentukan dengan menggunakan garis paralel atau bisa juga dengan garis meridian. Metode ini juga bisa diterapkan pada wilayah yang terdapat banyak pulau dan bebatuan. 3. Natural prolongation (perpanjangan daratan) Batas pada kondisi ini ditentukan secara alamiah bentukan bumi. Ketika batas daratan diteruskan sampai ke dasar laut maka dijumpai sisi dari perpanjangan daratan yang turun secara signifikan, yang menandakan bahwa pada tempat tersebut merupakan batas suatu negara di laut. Dengan metode ini, sebuah negara yang diapit oleh laut dalam luas wilayah maritim yang dimiliki sangat sempit dan sebaliknya jika negara itu diapit oleh laut dangkal, maka luasan wilayah maritim sangat luas. 4. Three stage approach (pendekatan tiga tahap) Beberapa hal dilakukan sebelum penggunaan metode Three Stage Approach, dimana secara umum proses delimitasi diawali dengan penentuan pantai relevan dan area relevan. Pantai relevan digunakan untuk menentukan titik-titik pangkal yang tepat untuk kemudian digunakan dalam garis pangkal yang digunakan dalam pembentukan garis ekuidistan. Area relevan ditentukan setelah diketahui pantai relevan, untuk mengetahui wilayah yang menjadi area delimitasi batas maritim. Lebih lanjut, penentuan pantai relevan dan area relevan digunakan dalam uji disproporsional pada tahap akhir delimitasi batas maritim. Metode delimitasi Three Stage Approach meliputi tiga tahapan, yaitu: 1. Konstruksi garis ekuidistan. Penentuan garis ekuidistan dilakukan dengan metode bisektor sehingga didapat garis ekuidistan sementara dengan mempertimbangkan titik pangkal masing-masing negara. 34 2. Faktor pengaruh relevan (relevant circumstances) Pada keputusan Mahkamah Internasional yang sudah ditetapkan untuk beberapa kasus sengketa batas maritim, faktor relevan yang berpengaruh dapat berupa keberadaan fitur maritim seperti pulau, panjang pantai dari masing-masing negara. Kondisi-kondisi tersebut kemudian dikaji untuk mengetahui potensi perubahan pada hasil garis ekuidistan sementara yang dihasilkan sebelumnya. Perubahan dapat dilakukan pada garis tersebut jika dirasa faktor-faktor tersebut relevan. 3. Uji disproposionalitas Uji disproposionalitas digunakan untuk memastikan bahwa garis ekudistan yang dihasilkan pada tahap-tahap sebelumnya adil dan tidak melanggar asas proporsionalitas, terutama pada perbandingan pantai relevan dan area hasil delimitasi. I.8.3 Aspek geospasial dalam delimitasi batas maritim Dalam proses delimitasi batas maritim, terdapat aspek geospasial yang berperan dalam demilitasi batas yang dilakukan. Pembahasan aspek-aspek geospasial yang berperan dalam delimitasi batas maritim seperti berikut ini. 1. Pulau Pulau memiliki peran penting dalam delimitasi karena klaim sebuah negara atas zona maritim dimulai dari pulau, khususnya pulau terluar. Dari pulau terluar, sebuah negara pantai yang ingin menggunakan garis pangkal lurus atau garis pangkal kepulauan mendefinisikan titik pangkal yang kemudian digunakan untuk komponen pembentukan garis pangkal sebuah negara pantai. Berdasarkan garis pangkal tersebut, klaim atas zona maritim dapat dilakukan. Dalam UNCLOS diatur ketentuan tentang Pulau pada Pasal 121. Terdapat empat kriteria sebuah fitur maritim dapat didefinisikan sebagai pulau, keempat kriteria tersebut yaitu berupa daratan, terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air, dan berada di atas permukaan air laut saat pasang. Pulau juga dapat didefinisikan sebagai batu yang dapat mendukung kehidupan manusia atau kehidupan ekonomi dari makhluk hidup. Jika sebuah fitur 35 maritim tidak dapat memenuhi dua faktor tersebut, maka pulau tersebut tidak memiliki ZEE dan landas kontinen. 2. Elevasi pasang terendah /low tide elevation (LTE) Elevasi pasang terendah yang didefinisikan sebagai daratan yang nampak pada saat pasang terendah tetapi tenggelam pada saat pasang tertinggi dapat berperan dalam delimitasi batas maritim sebuah negara pantai untuk zona laut teritorial. Elevasi pasang terendah dapat dijadikan sebagai titik pangkal jika berada di dalam laut teritorial sebuah negara dan digunakan untuk klaim laut teritorial. Namun jika elevasi pasang terendah tersebut terletak di luar dari luasan laut teritorial, maka tidak bisa digunakan sebagai bagian dari garis pangkal, kecuali telah dibangun mercusuar atau instalasi lain yang dibangun di atas air secara permanen di atasnya sesuai dengan Pasal 13 UNCLOS. 3. Titik pangkal (basepoint) dan garis pangkal (baseline) Titik pangkal adalah titik yang telah diukur pada muka laut terendah dan diketahui koordinatnya, dan digunakan sebagai acuan dalam menentukan garis pangkal. Garis pangkal adalah garis yang disusun oleh titik-titik pangkal sepanjang muka laut terendah, yang menjadi acuan dalam menentukan klaim maritim suatu negara. Atau dengan kata lain, garis pangkal adalah garis referensi pengukuran batas teluar laut wilayah dan zona yurisdiksi maritim lain sebuah negara pantai (IHO, 2006). Jenis-jenis garis pangkal dengan visualisasi ditampilkan pada Gambar I.22. Jenis garis pangkal antara lain sebagai berikut (UN, 1982): 1. Garis pangkal normal (normal baseline) Garis pangkal sepanjang muka laut terendah yang mengikuti bentuk alami pantai di sekeliling benua, pulau, batas terluar dari pelabuhan permanen, atau batu karang yang muncul dan terumbu karang sekitar pulau, Garis pangkal normal ini ditetapkan pada peta laut skala besar yang ditetapkan pada negara pantai. Ketentuan tentang garis pangkal normal dapat dilihat pada (Pasal 5 UNCLOS) 36 Gambar I.22. Tipe garis pangkal (Arsana, 2007) 2. Garis pangkal lurus (straight baselines) Garis pangkal berupa garis lurus yang menghubungkan titik-titik pangkal sepanjang pantai yang telah memenuhi syarat (Pasal 7 UNCLOS): 1. Di tempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. 2. Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut tetap berlaku sampai diubah oleh Negara pantai sesuai dengan Konvensi ini. 37 3. Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak di dalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. 4. Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut terendah kecuali jika di atasnya didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen ada di atas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal lurus ke dan dari elevasi demikian telat memperoleh pengakuan umum internasional 5. Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan ayat 1, maka di dalam menetapkan garis pangkal tertentu, dapat ikut diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang telah berlangsung lama. 6. Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara denganc ara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. 3. Garis pangkal penutup sungai (mouth of rivers) Garis pangkal yang menutup mulut sungai, jika aliran sungai tepat menuju laut, garis pangkal bisa memotong garis lurus muara sungai antara titik pada garis air rendah (Pasal 9 UNCLOS). 4. Garis pangkal penutup teluk (bay) Suatu lekukan pantai dianggap sebagai teluk, jika luas lekukan tersebut sama atau lebih luas dari setengah lingkaran yang diameternya melintasi mulut lekukan tersebut. Garis pangkal dibuat dengan menarik garis lurus antara titik-titik pada garis air rendah di pintu masuk alamiah (mulut) 38 suatu teluk yang panjangnya tidak lebih dari 24 mil laut. Apabila melebihi 24 mil laut, maka suatu garis lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik sehingga menutup suatu daerah perairan yang maksimal dicapai oleh garis tersebut (Pasal 10 UNCLOS). 5. Garis pangkal kepulauan (archipelagic baselines) Garis pangkal ini, yang hanya bisa dimiliki oleh negara kepulauan, dibuat dengan menghubungkan titik titik pulau terluar suatu negara dan karang kepulauan dengan jarak maksimal tiap segmen garis 100 mil laut kecuali 3 % dari total segmen garis pangkal kepulauan yang panjangnya dapat mencapai 125 mil laut. Tidak terdapat batasan jumlah segmen garis pangkal yang bisa digunakan. Jika panjang suatu segmen garis pangkal lebih dari 100 mil laut maka harus diputuskan untuk mengurangi panjang garis pangkal dengan menambah titik pangkal baru sehingga panjang segmen garis pangkal kurang dari 100 mil laut (Pasal 47 UNCLOS). I.8.4 Perangkat Lunak CARIS LOTS Dalam delimitasi batas maritim, penggunaan perangkat lunak berbasis SIG semakin penting, karena untuk mendukung kemudahan dalam pekerjaan-pekerjaan teknis yang dilakukan. Salah satu perangkat lunak yang dikeembangkan khusus untuk kepentingan delimitasi batas maritim yang disebut CARIS LOTS (CARIS Law of The Sea) yang dibuat oleh perusahaan CARIS asal Kanada. CARIS LOTS secara umum memfasilitasi perhitungan-perhitungan teknis dan tools analisis untuk data batimetri. (Levesque & Cardenas, 2011). CARIS LOTS memfasilitasi 5 kategori fungsi (CARIS, 2014) : 1. Pasal 76 UNCLOS Pada kategori ini, CARIS LOTS dapat digunakan untuk dekstop study klaim landas kotinen esktensi yang dilakukan sebuah negara. Selain itu CARIS LOTS memfasilitasi perhitungan foot of continental slope dan perhitungan teknis pasal 76 UNCLOS diantaranya garis 2500 m plus 100 m, garis batas konstrain, garis formula jarak, garis formula gardiner dan fungsi lainnya. 39 2. Aplikasi batas maritim negara pantai Beberapa aplikasi terkait dengan batas maritim negara adalah aplikasi negosiasi batas maritim yang lengkap, meliputi pembuatan, analisis, dan menghasilkan solusi untuk permasalahan batas. Selain itu CARIS LOTS dapat juga memberikan fasilitas managemen batas maritim yang komplit. 3. Global digital data CARIS LOTS dilengkapi dengan data global berformat digital yang dapat digunakan pada aplikasi hukum laut. 4. Aplikasi hukum laut Untuk pekerjaan terkait aplikasi hukum laut, CARIS LOTS dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan pemetaan dari proses editing sampai dengan pencetakan, juga transformasi geometrik dan ekspor data. 5. Aplikasi khusus lainnya Beberapa aplikasi khusus yang didukung oleh CARIS LOTS adalah analisis data seismik, tools perencanaan survei, managemen garis pangkal laut teritorial.