PDF file - LPPM UBB - Universitas Bangka Belitung

advertisement
SUSUNAN EDITOR JURNAL EKOTONIA
PENANGGUNG JAWAB :
Henny Helmi, S.Si., M.Si (Ketua Jurusan Biologi)
KETUA REDAKSI :
Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si.
KETUA TIM EDITOR :
Dr. Yulian Fakhrurrozi, S.Pd., M.Si.
ANGGOTA TIM EDITOR :
Nur Annis Hidayati, S.Si., M.Sc.
Anggraini, S.Si., M.Si.
TIM TEKNIS :
Novi Handayani, A.Md.
Herbowo Dwi Warasto, A.Md.
Siti Aminah, S.Si.
ALAMAT REDAKSI :
JURUSAN BIOLOGI
GEDUNG TELADAN, KAMPUS TERPADU UNIVERSITAS BANGKA
BELITUNG, BALUNIJUK
HP. 081367155581; FAX. 0717-421303 LAMAN : http://journal.ubb.ac.id
EMAIL : [email protected]
DAFTAR ISI
Pemetaan Potensi Anura Pada Lingkungan Pasca Tambang
Budi afriyansyah, nur annis hidayati .............................................................................................. 1
Uji Efikasi Ekstrak Cair Dan Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin Dalam Menghambat
Pertumbuhan Cendawan colletotrichum capsici Pada Cabai Dan colletothrichum coccodes
Pada Tomat.
Essy cahyani, riwan kusmiadi, henny helmi ................................................................................... 8
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Belilik (brucea javanica) Terhadap Bakteri
Enteropatogen
Umajaya, henny helmi, idha susanti................................................................................................ 26
Uji Kualitas Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang (damiu) Di Kecamatan Rangkui,
Kota Pangkalpinang
Yulia sari, henny helmi , rosha kurnia fembriyanto ........................................................................ 37
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (brucea javanica (l) merr.)
Terhadap Bakteri Enteropatogen
Yuliana, henny helmi, idha susanti ................................................................................................. 48
Teknik Berburu Babi Hutan Oleh Orang Tionghoa Di Pulau Bangka
Budi afriyansyah, yulian fahrurrozi, dhonna frilano ....................................................................66
PEMETAAN POTENSI ANURA PADA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG
Budi Afriyansyah1), Nur Annis Hidayati2
Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1)
email: [email protected]
2
Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2)
email: [email protected]
1
Abstract
Anura is one of the Order of Amphibians. The specificity of Anura contained in his ability to
adapt to different habitats. Bangka Regency is part of Bangka Belitung Islands. Communities
in Bangka Regency focuses livelihood in mining, agriculture and plantations as well as
fishermen and employees. Community needs for a decent life has given the idea in the form of
land use for mining activities, agriculture and plantations. The idea of this utilization is
increasing in the current era, even more extensive areas of land use, thus diminishing forest
area, but increasingly critical lands. Anura able to live and have a tolerance to extreme
environments, including such critically land mined lands, farms and plantations. This study
aims to identify potential Anura and diversity in the post tambang.Metode Anura used in this
study is the method VES (Visual Encounter Survey) with Line Transect. Line Transect method
is a method of observation by walking slowly continuously and record all contacts on both sides
of the path along the wayThe number of Anura have been found in all study sites in the
District Merawang, District Pemali, Sungailiat and District Belinyu, Bangka as many as six
species consist Bufo melanostictus, Phrynoidis aspera, Rana erythreaea, Limnonectes finchi,
Ingerophrynus bipocartus and Fejervarya limnocharis. Bufo melanostictus was in former tin
mining land sites in four districts, but Ingerophrynus bipocartus only found in Sub Merawang
alone. Shannor diversity index calculation results - Wiener usually labeled H '. Diversity index
value on mined land in Bangka tin categorized as low as less than 1.5. Shannon index value more than 3.5 high Wienner being when the index value of 1.5 to 3.5 and low when less than
1.5. While the frog species evenness index on mined land in the high tin Pemali Sungailiat and
0.90 respectively, while the lowest in the District Belinyu 0.13. If the value of equity (e) close to
one, the more evenly spreading rate and vice versa if it is close to zero, the lower Evenness
Keywords: Anura, Bangka, Tin Manning Land
1. PENDAHULUAN
Pendahuluan Amfibi terdiri dari tiga
ordo
yaitu
Caudata
(salamander),
Gymnophiona (sesilia) dan Anura (katak dan
kodok). Ordo Caudata/sesilia merupakan satusatunya ordo yang tidak terdapat di hampir
seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Ordo kedua yang paling kecil, tetapi sangat
jarang ditemui adalah Sesilia/Gymnophiona,
bentuknya seperti cacing dengan kepala dan
mata yang tampak jelas. Ordo Anura
merupakan ordo terbanyak yang terdapat di
Indonesia (Hidayat 2009).
Keanekaragaman
Ordo
Anura
berdampak besar bagi ekosistem dan
keanekaragaman spesies lain yang hidup di
habitat
tersebut.
Selain
itu,
karena
pentingnya kedudukan Anura dalam rantai
makanan, maka pengurangan jumlah ordo ini
akan menyebabkan terganggunya dinamika
pertumbuhan dan kepunahan predator. Akan
tetapi yang lebih mengancam kehidupan Ordo
Anura yaitu kegiatan manusia yang merusak
habitat alami ordo ini, seperti penebangan liar,
pencemaran air dan pembangunan pemukiman
ataupun industri. Penggunaan pestisida seperti
organofosfat dan karbomat di lahan
persawahan
juga dapat mengganggu
perkembangan
telur,
berudu
serta
mengakibatkan kecacatan (Kusrini 2007).
Pemilihan lokasi di Kabupaten Bangka
karena Kabupaten Bangka merupakan salah
satu Kabupaten yang masih memiliki sisa hutan
tropis yang cukup luas. Luas kawasan hutan
menurut fungsinya di Kabupaten Bangka
seluas 100.514,60 ha yang terdiri dari hutan
1
produksi tetap seluas 65.091,56 ha, hutan
lindung seluas 18.097,20 ha, dan hutan
konservasi 17.325,84 ha (Dinas Kehutanan
2012). Sebagian besar asyarakat Bangka
banyak memanfaatkan hutan sebagai lahan
penambangan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Masyarakat merubah wilayah hutan
menjadi eskplorasi penambangan timah.
Perubahan kondisi habitat dan aktivitas
manusia seperti itu diperkirakan berpengaruh
terhadap kehidupan amfibi (Ordo Anura) yang
terdapat di dalamnya.
Pada tahun 2001-2005 laju kerusakan
hutan di Bangka Belitung mencapai 4,25%
pertahunnya. Sementara itu laju kerusakan
hutan secara nasional hanya sebesar 2%.
Aktivitas penambangan timah ilegal dan
perkebunan
diduga
menjadi
penyebab
tingginya laju kerusakan hutan tersebut
(Bangka Pos 2010). Penambangan dan
perkebunan akan mengakibatkan perubahan
ekosistem dengan terbentuknya
ekosistem
baru
serta
hilangnya
keanekaragaman
hayati
yang menyebabkan flora dan fauna
khas Bangka Belitung berada diambang
kepunahan (Bangka Pos 2012). Keberadaan
Anura sangat penting bagi manusia, salah
satunya Anura mempunyai potensi yang sangat
besar untuk membantu manusia menanggulangi
hama serangga, karena hampir seluruh jenis
Anura memakan serangga. Selain itu Ordo
Anura juga sudah lama dimanfaatkan dalam
dunia kedokteran dalam bidang tes kehamilan
(Mistar 2003).
Pendugaan awal di 4 (empat) Kecamatan
di Kabupaten Bangka yakni; Merawang,
Sungailiat, Pemalidan Belinyu diasumsikan
keberadaan Anura menempati lahan pasca
tambang timah.
Ditinjau dari habitat
lingkungannya, diperkirakan terdapat lebih dari
satu jenis spesies Anurayang hidup pada
lingkungan tersebut, sehingga terdapat nilainilai
ketertarikan dan kebaharuan untuk
memperoleh informasi/data ilmiah dengan
melakukan penelitian pemetaan potensi dan
keanekaragaman Anura pada lingkungan pasca
tambangtimah di Kabupaten Bangka.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan
Januari 2014 sampai Bulan Desember 2014.
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan bekas
penambangan timah di Kabupaten Bangka
yaitu:
Tabel 1. Lokasi Pengambilan Sampel
Titik Koordinat
No.
1
2
3
4
Lokasi
Desa Riding Panjang
Kec. Merawang
Desa Rambak Kec.
Sungailiat
Desa Pemali Kec.
Pemali
Dusun Babas Kec.
Belinyu
LS
LU
02°00’283
106°06’655
01°56’47
106°0641,6
01°33’226’
105°46,906’
01°33’226’
105°46,906’
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah meteran (50 m), kompas, GPS, tali
rafia, kantong plastik, sarung tangan kulit dan
karet, senter,headlamp, botol spesimen, spidol,
jam tangan,alat tulis, penggaris, buku panduan
identifikasi jenis amfibi, timbangan/neraca
pegas (5, 10, 100, 250 gr), jaring, kapas, alat
suntik, kertas label, alat bedah, thermometer,
higrometer, kertas pH, dan kamera. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
alkohol 70% dan formalin 4%.
Peta Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian masih dalam satu
kabupaten yang sama dimana kecamatan yang
diambil dibagi menjadi 4 kecamatan yaitu;
Merawang,
Sungailiat,
Pemali
dan
Belinyu(Gambar 2).
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode VES (Visual
Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual)
2
dengan Line Transect. Metode Line
Transectadalah metode pengamatan dengan
cara berjalan perlahan terus menerus dan
mencatat semua kontak di sepanjang kedua sisi
jalur perjalanannya.
Prosedur Penelitian
Pengambilan data dari penelitian ini
dilakukan dengan beberapa cara sebagai
berikut:
a. Survei pendahuluan, yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui kondisi
lingkungan penelitian.
b. Pembuatan jalur pengamatan dengan
dilakukan masing-masing lokasi diukur 50 x
100 m (Gambar 2).
c. Penangkapan dan pengumpulan sampel
dilakukan dengan mendatangi jalur
pengamatan pada malam hari dari pukul
19.00-22.00 WIB, selama 3 jam, dan
diamati 3 kali ulangan untuk setiap jalur.
d. Pengambilan data:
1) Data satwa Anura,
Data satwa Anura dilakukan dengan cara
pengambilan datayang meliputi: jenis,
jumlah individu tiap jenis, ukuran snoutvent length yaitu panjang tubuh dari
moncong hingga kloaka, perilaku, dan
posisi jenis di lingkungan habitatnya.
2) Data habitat
Data habitat berdasarkan checklist Heyer
et al. (1994), dilakukan dengan cara
pengambilan data yang meliputi: tanggal
pengambilan, nama lokasi, lingkungan
tempat ditemukan, tipe vegetasi dan
ketinggian, suhu udara, kelembaban
udara, pH air, dan pH tanah.
3) Data sekunder
Data sekunder yang diperlukan yaitu
informasi tentang Anura yang pernah
ditemukan dan studi literatur tentang
Anura pada habitatnya (Utama 2003).
e. Pengawetan spesimen Anura yang belum
teridentifikasi dilakukan dengan cara
pengambilan maksimal dua individu untuk
setiap jenis dan untuk jenis yang umum dan
sudah teridentifikasi hanya diambil
gambarnya secara menyeluruh.
f. Identifikasi
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan
buku Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998
diacu dalam Darmawan 2008). Spesimen
yang belum diketahui nama jenisnya dibawa
ke
Laboratorium
Biologi,
Fakultas
Pertanian,
Perikanan
dan
Biologi,
Universitas Bangka Belitung dan foto
spesimen dikirim ke bagian Ekologi dan
Manejemen Satwaliar IPB/Laboratorium
Herpetofauna Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) untuk identifikasi lebih
lanjut.
g. Penentuan peran Anura
Spesimen Anura yang diperoleh dibedakan
perannya dalam ekosistem. Peran tersebut
antara lain termasuk dalam kelompok
predator, beracun (toxin), herbivora dan
carbivora. Penentuan di dasarkan pada
struktur morfologi seperti; kelenjar racun,
tipe web (selaput kaki) dan pembedahan
lambung.
Analisis Data
1. Keanekaragaman Jenis Anura
Untuk mengetahui keanekaragaman
jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener
(Brower & Zar 1997 diacu dalam
Darmawan 2008). Nilai ini kemudian
digunakan
untuk
membandingkan
keanekaragaman
Anura
berdasarkan
habitatnya.
H’ = -∑(ni/N) log (ni/N)
Keterangan:
H’=
Nilai
Indeks
keanekaragaman
Shannon-Weiner
ni = Jumlah individu jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis.
2. Kemerataan Jenis Amfibi
Kemerataan jenis (Evenness) dihitung
untuk mengetahui derajat kemerataan jenis
pada lokasi penelitian.
E’ = H’/log S
Keterangan:
E’= Indeks kemerataan jenis
3
H’=Indeks
keanekaragaman ShannonWiener
S = Jumlah jenis yang ditemukan.
3. Indeks Kesamaan Tipe Habitat
Indeks kesamaan jenis digunakan
untuk mengetahui kesamaan antar lokasi
pengamatan berdasarkan jenis Anura yang
ditemukan.
Kesamaan
antar
lokasi
pengamatan
dianalisis
dengan
menggunakan rumus Indeks Similaritas.
S = 2 C/A+B
Keterangan:
A = Jumlah spesies dalam sampel A
B = Jumlah spesies dalam sampel B
C = Jumlah spesies yang ada di kedua
sampel.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian Jumlah jenis anura yang berhasil
ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di
Kecamatan Merawang, Kecamatan Pemali,
Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Belinyu,
Kabupaten Bangka yaitu sebanyak 6 jenis yang
terdiri Bufo melanostictus, Phrynoidis aspera,
Rana
erythreaea,
Limnonectes
finchi,
Ingerophrynus bipocartus dan Fejervarya
limnocharis. Bufo melanostictus berada di
lokasi lahan bekas penambangan timah di
empat kecamatan, namun Ingerophrynus
bipocartus hanya terdapat di Kecamatan
Merawang saja.
Tabel 2 Jenis Ordo Anura yang ditemukan di
lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka
Nama Spesies
I
II
III
IV
Jmh
Spesies
1
Bufo melanostictus
4
1
1
5
11
2
Phrynoidis aspera
4
0
0
4
8
3
Rana erythraea
1
5
4
0
10
4
Limnonectes finchi
Ingerophrynus
bipocartus
Fejervarya
limnocharis
0
5
5
0
10
1
0
0
0
1
0
3
6
0
9
Jumlah/kecamatan
10
14
16
9
No.
5
6
Keterangan: I (Kecamatan Merawang), II (Kecamatan
Sungailiat), III (Pemali) dan IV (Kecamatan Belinyu).
Dari penelitian ini, diketahui bahwa lahan
bekas tambang di Kabupaten Bangka (yang
meliputi wilayah Kecamatan Merawang,
Kecamatan Pemali dan Kecamatan Sungailiat,
Kecamatan Belinyu) memiliki 6 jenis Anura.
Angka
ini
menunjukkan
bahwa
keanekaragaman Anura di
Kecamatan
Merawang, Kecamatan Pemali dan Kecamatan
Belinyu, Kabupaten Bangka jauh lebih rendah
dari penelitian Mirza et al. (2012) di Kawasan
Hutan Konservasi Gunung.
Di Menumbing Kabupaten Bangka Barat
(14 jenis) dan Muhammad et al. (2003) di
sungai Ciapus Leutik Bogor, Jawa Barat 11
jenis. Akan tetapi, jumlah ini lebih rendah jika
dibandingkan dengan penelitian Darmawan &
Utama. Darmawan (2008) melaporkan 37 jenis
Anura diitemukan di kawasan Eks-HPH PT
Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo,
Provinsi Jambi, sementara Utama (2003)
menemukan 27 jenis di areal PT Intracawod
Manufacturing, Kalimantan Timur.
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman
Shannor – Wiener biasanya diberi tanda H’.
Nilai indeks keanekaragaman pada lahan bekas
tambang timah di Kabupaten Bangka
dikategorikan rendah karena kurang dari 1,5.
Maguran (1988) dalam Darmawan nilai Indeks
Shannon – Wienner lebih dari 3,5 digolong
sedang bila nilai indeks 1,5 sampai 3,5 serta
rendah bila kurang dari 1,5. Sedangkan indeks
kemerataan spesies katak pada lahan bekas
tambang timah tinggi di Kecamatan Sungailiat
dan Pemali masing-masing 0,90 sedangkan di
Kecamatan Belinyu paling rendah yakni 0,13.
Jika nilai kemerataan (e) mendekati satu maka
tingkat persebarannya semakin merata dan
sebaliknya jika mendekati nol maka
kemerataannya rendah (Odum 1971).
Indeks kesamaan jenis tertinggi terlihat
pada Kecamatan Sungailiat – Pemali (97,56%),
sedangkan terendah di Kecamatan Pemali –
Belinyu (8,13%). Suatu komunitas dikatakan
memiliki kesamaan, jika indeks similaritasnya
mendekati 100% (Odum 1971). Penyebaran
jenis Anura saat pengamatan sangat bervariasi.
Tidak jarang beberapa spesies hanya ditemukan
di satu lokasi saja, misalnya I. bipocartus
(Tabel 2). Spesies tersebut tidak menyukai ada
aktifitas manusia sehingga jumlah yang
ditemukan juga hanya sedikit saja. Iskandar
(1988) mengatakan bahwa spesies yang sulit
beradaptasi dengan aktivitas manusia sangat
sulit untuk ditemukan.
Spesies yang banyak ditemukan adalah
jenis L. finchi, individu jenis ini paling banyak
ditemukan di tiga habitat dan tersebar di dua
4
kecamatan. Spesies ini ditemukan di
perkebunan sawit, perkebunan karet dan
perkebunan padi. Spesies ini di temukan di
vegetasi semai. Akan tetapi L. finchi tidak
dijumpai pada hutan sekunder. Hal ini
disebabkan karena ketiga habitat lainnya
memiliki bukaan hutan lebih besar dari pada
hutan sekunder. Hutan sekunder memiliki
bukaan hutan sedikit saja, yang mungkin
menjadi penyebab tidak ditemukannya spesies
ini pada hutan sekunder. Jumlah individu yang
ditemukan untuk spesies ini sebanyak 43
individu (Tabel 2). Spesies ini menyukai tempat
berair dan lembab. Penyebaran spesies ini
tidak mempengaruhi ada atau tidaknya
aktifitas manusia, sehingga spesies ini bisa
ditemukan dimana saja (Sidik & Mulyadi
2011).
F. limnocharis memiliki ciri-ciri ukuran
kecil sampai sedang, kepala runcing dan jari
kaki setengah berselaput sampai pada ruas
terakhir. Tekstur kulit berkerut, tertutup oleh
bintil-bintil tipis yang biasanya memanjang,
pararel dengan sumbu tubuh. Warna kulit kotor
seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih
gelap yang kurang jelas tetapi simetris,
terkadang dengan warna merah kehijauan dan
sedikit semu kemerahan, pada bagian atas
punggungnya terdapat garis putih dari kloaka
sampai bagian mulutnya. Selama pengamatan
jenis ini ditemukan di perkebunan karet, sawit,
padi dan hutan sekunder. Hal ini disebabkan
karena di petak pengamatan hampir seluruhnya
terdapat kolam-kolam kecil yang berisikan air
rawa, struktur tanah yang lembab dan beberapa
jalan setapak yang biasa dilewati oleh manusia.
Inger (1966) mengatakan bahwa jenis ini
lebih sering ditemukan di darat seperti jalan
logging dan di atas tanah dari pada di perairan.
Jenis ini memiliki selaput yang tidak penuh,
berbeda dengan jenis F. cancrivora yang
biasa hidup di sawah. O. sumatrana merupakan
katak akuatik. Biasa ditemukan didalam danau
atau di genangan air. Iskandar (1998)
menemukan O. sumatrana di hutan areal bekas
tebangan dan kebun karet sama seperti yang
ditemukan di lokasi penelitian. Dalam
penelitian jenis ini ditemukan dilokasi
perkebunan sawit. Hal ini disebabkan karena
faktor cuaca dihutan sekunder dan perkebunan
sawit tidak jauh berbeda.
R. chalconota, R. erythraea dan R.
nicobariensis dari dari struktur tubuh memiliki
ciri-ciri yang hampir sama. Ciri khas yang
paling mudah dibedakan adalah dari struktur
tungkai dan selaputnya (Gambar 4). Selain itu
warna dan struktur tubuh juga dapat dibedakan.
Rahman (2009a) menyatakan, suhu udara
berpengaruh
secara
nyata
terhadap
perkembangan dan pertumbuhan Anura, serta
seringkali mengatur siklus perilaku dan
reproduksi. Sehingga Anura merupakan hewan
poikiloterm, tidak dapat mengatur suhu tubuh
sendiri sehingga suhu tubuhnya sangat
tergantung pada kondisi lingkungannya. Kulit
Anura merupakan salah satu organ respirasi
yang penting dan berhubungan dengan
kondisi eksternal tubuh, sehingga kelembaban
kulit dibutuhkan untuk menjaga fluktasi tubuh
yang akan berpengaruh terhadap proses-proses
tubuh selanjutnya.
Kelembaban yang diperoleh pada saat
pengamatan berkisar antara 89% sampai 98%,
dengan nilai rata-rata tertinggi dijumpai di
Kecamatan
Pemali
(93,25%)
diikuti
Kecamatan Puding Besar (92,58%) dan terkecil
di jumpai di Kecamatan Merawang (92.03%).
Sementara kondisi cuaca saat pengamatan pada
umumnya cerah. Hal ini diperkirakan bahwa
dalam cuaca, suhu dan kelembaban seperti itu
Anura masih dapat melakukan aktivitasnya.
Kisaran pH air antara 4,3 sampai 6,1.
Sementara itu hasil penelitian Yazid (2006)
memperoleh kisaran 6
4. KESIMPULAN
1. Telah di identifikasi 6 jenis katak
dilahan bekas timah di Kabupaten
Bangka, yaitu Bufo melanostictus,
Phrynoidis aspera, Rana erythreaea,
Limnonectes finchi, Ingerophrynus
bipocartus
dan
Fejervarya
limnocharis. Bufo melanostictus.
2. Indeks keanekaragaman di lahan bekas
tambang timah di Kabupaten Bangka
dikategorikan rendah.
3. Indeks kemerataan tertinggi di lahan
bekas tambang timah di Kecamatan
Sungailiat dan Pemali, sedangkan
terendah di Kecamatan Belinyu.
4. Indeks kesamaan katak tertinggi di
lahan bekas tambang di Kecamatan
Sungalit-Pemali dan terendah di
Kecamatan Pemali-Belinyu..
5
5. REFERENSI
Bangka Pos. 2012. KKN-PPM Universitas
Bangka
Belitung.
Wujudkan
Desa
Agriwisata.http:/Error! Hyperlink reference
not valid. read%25252F50185.html [09
Januari 2012]
[BAPEDA]
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah.
2013.
Peta
Administrasi Kabupaten Bangka. Sungailiat:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bangka.
Darmawan B. 2008. Keanekaragaman
Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus
di Eks-HPH Pt Rimba Karya Indah
Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. [Skripsi].
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
[DISHUT] Dinas Kehutanan. 2012.
Keputusan
Menteri
Kehutanan
SK.357/Menhut-11/2004 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan di Wilayah Kabupaten
Bangka seluas 100.514,60 hektar. Pangkal
Pinang.
Dumutu Y. 2010. Keanekaragaman
Herpetofauna
di
Sekitar
Kampung
Mandekman dan Rawahayu Kabupaten
Merauke. [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Papua Manokwari.
Fitri A, Kusrini M D & Priyono A. 2001.
Keanekaragaman Jenis Ampibi (Ordo Anura)
di Kebun Raya Bogor. Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Po box
168, bogor 1600, Indonesia.
Fitri
A.
2002.Keanekaragaman
JenisAmpibi(OrdoAnura) di Kebun Raya
Bogor
[Skripsi].
Jurusan
Konservasi
Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor.
Hidayat A. 2009. Persebaran Fauna
Indonesia.
http://www.andimanwno.wordpress.com/inde
x.php [04 februari 2013].
Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid
RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring
and
Monitoring Biological Diversity:
Standard
Methods
forAmphibians.
Washington: Smithsonian Institution Pr.
Inger RF. 1966. The Systematics and
Zoogeography of the Amphibia of Borneo.
Chicago:Field MuseumofNatural History.
Volume 52.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan
Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor:
Puslitbang LIPI.
Inonu I. 2010. Pengelolaan lahan pasca
tambang timah di Pulau Bangka: yang
sekarang dan yang akan datang. http://
www.ismedinonu.ubb.ac.id/.../Makalah bintek
pengelolaan lahan Babar. [20 November
2013]
Kurniati R. 2006. Perbandingan Tingkat
Kesamaan Jenis Katak Pada Beberapa Sungai
di Pulau Batanta dan Pulau Salawati
[Skripsi].
Jurusan
Biologi.
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Papua Manokwari.
Kusrini MD. 2007. Konservasi Amfibi di
Indonesia: Masalah Global dan Tantangan.
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekosiwata, Fakultas Kehutanan IPB,
Kampus Darmaga Po box 168 Bogor 16000,
Media Konservasi Vol. XII, No.2 Agustus
2007 : 89 – 95.
LubisIM.2008.PemodelanSpasial Habitat
Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus
boettger1893) Dengan Menggunakan Sistem
Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak
Jauh di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango Jawa Barat [Skripsi]. Depertemen
Konservasi
Sumberdaya
Hutan
dan
Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Muhammad ND, Priyono A & Kusrini
MD. 2003. Keanekaragaman Ampibi (Ordo
Anura) di Suangai Ciapus Leutik, Bogor,
Jawa Barat. Departememen Konservasi
Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Po box 168, Bogor
1600, Indonesia.
Mistar. 2003. Panduan Lapangan
Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor:
The
Gibbon Foundation & PILI-NGO
Movement.
Muths Eetal. 2006. The Amphibian
Research and Monitoring Initiative (ARMI):
5- Year Report. U.S. Geological Survey
Scientific Investigations Report 2006–5224,
6
77 p.
NingsihWD.2011.Struktur
Komunitas
Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa
Barat [Skripsi]. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan.Institut Pertanian Bogor.
PT. Timah tbk. 2003. Laporan akhir
identifikasi kolong eks penambangan timah di
wilayah Bangka Belitung. Bangka: PT. Timah.
QurniawanFT, AstiAH &Eprilurahman
R. 2010.StudiAwal Komunitas Ordo Anuradi
Kawasan Ekowisata Sawangan, Magelang,
JawaTengah.
Laboratorium
Taksonomi
Hewan,Fakultas Biologi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. SekipUtara,Yogyakarta
55281.
RahmanA.2008.Keanekaragaman
dan
Kemelimpahan Jenis Amfibi (OrdoAnura) di
Persawahan
Handil
Baras
Kuala
Kapuas.[Proposal Skripsi] Sekolah Tinggi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Persatuan
Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI)
Banjarmasin. Banjarbaru.
Radiansyah S. 2004. Keanekaragaman
Spesies Amfibi dan biologi Populasi
Limnonectes kuhlii di Sungai Cilember dalam
Kawasan Wana Wisata Curug Cilember,
Bogor-Jawa Barat [Skripsi]. Departemen
Konservasi
Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Rahman NL. 2009a. Pemanasan Global
dan Dampaknya Pada Amfibi di Dunia.
Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. IPB.
Sujitno S. 2007. Sejarah penambangan
timah di Indonesia abad 18-abad 19.
Pangkalpinang: PT. Timah tbk.
Utama H. 2003. Studi Keanekaragaman
Ampibi (Ordo Anura) di Areal PT Intraca
wood Manufacturing, Kalimantan Timur
[Skripsi].
Bogor:
JurusanKonservasi
Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Utomo AS. 2008. Realita degradasi area
hutan pasca penambangan timah di Pulau
Bangka (studi kasus PT. Timah tbk di Pulau
Bangka) (Perpustakaan Universitas Indinesia
– Tesis S2).
Yazid M. 2006. Perilaku Berbiak Katak
Pohon Hijau (Rhacophorus Reinwardtii Kuhl
& Van Hasselt, 1822) di Kampus IPB
Darmaga [Skripsi]. Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
7
Uji efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton daun merapin dalam menghambat
pertumbuhan
cendawan Colletotrichum capsici pada cabai dan Colletothrichum coccodes pada tomat.
Essy Cahyani, Riwan Kusmiadi, Henny Helmi
Anthracnose disease, one of post harvest disease. Caused by fungi, such as
Colletothrichum. one of biofungicide which assumed can Inhibit the growth of the fungi. This
study aim to ( 1 ) Study the effect of aqueous and crude extract of merapin leaves to inhibit the
growth of C.capsici and C.coccodes , ( 2 ) Study the concentration of aqueous and aseton crude
extract of merapin leaves which can inhibit against those fungi. The experiment was conducted at
the Laboratory of Biology, Faculty of Agriculture, Fisheries and Biology , University of the
Bangka Belitung from April 2013 to July 2013. This study used a completely randomized design
( CRD ) . The entire range of homogeneity between treatments were analyzed by analysis Of
Variance ( ANOVA ) and if there is an influence followed by Duncan 's Multiple Range Test Test
( DMRT ) at the level of 95% using the program Statistical Analysis System ( SAS ). The results
showed that ( 1 ) Merapin leaves aqueous and leaves aqueous can inhibit the growth of C.capsici
and C.cocodes cause anthracnose disease on chilies and tomato, ( 2 ) Concentration 35 % aqueous
merapin and Concentration of 35 mg / mL merapin leaves aseton crude extract gave the best
inhibition against C.capsici and C.coccodes .
Keywords : merapin leaf liquid extract , crude extract of leaf acetone merapin , Colletotrichum
capsici , Colletotrichum coccodes , anthracnose disease .
PENDAHULUAN
yang
Latar Belakang
Tanaman cabai (Capsicum sp.)
merupakan
salah
satu
komoditas
hortikultura
yang
banyak
digemari
masyarakat. Salah satu spesies cabai
yang banyak dibudidayakan adalah cabai
merah (Capsicum annuum L.). Selain
dapat dikonsumsi segar, cabai dapat
dikonsumsi
kering
sebagai
bumbu
masakan dan juga sebagai bahan baku
industri (Mujahidin 2012).
Tomat (Lycopersicum esculentum)
merupakan salah satu produk hortikultura
berpotensi,
menyehatkan
dan
mempunyai prospek pasar yang cukup
menjanjikan. Tomat, baik dalam bentuk
segar maupun olahan, memiliki komposisi
zat gizi yang cukup lengkap dan baik
(Maulinda dan Zulkarnaen 2010).
Penyakit merupakan salah satu
kendala
utama
produksi
tanaman
pertanian
termasuk
tanaman
di
berbagai
Indonesia,
pangan
dan
hortikultura, contohnya adalah penyakit
antraknosa.
Menurut
Putri
(2010)
penyakit antraknosa di Indonesia dapat
menurunkan hasil sampai 75%. Penyakit
8
yang
disebabkan
oleh
cendawan
Colletothricum
coccodes
dapat
Colletotrichum sp menyerang buah baik
digunakan pestisida botani, yang terbuat
yang baru terbentuk maupun yang sudah
dari bahan-bahan alami yang tidak
matang sehingga menimbulkan kerugian
berbahaya. Menurut Widiastuti (2006)
yang cukup besar. Gejala yang timbul
pestisida botani yaitu pestisida yang
akibat serangan antraknosa pada buah
bahan aktifnya dari tanaman bukan dari
adalah
senyawa kimia.
terdapatnya
bercak
coklat
kehitaman pada permukaan buah, yang
Salah satu tanaman yang diduga
selanjutnya menjadi busuk lunak. Pada
dapat digunakan sebagai pestisida botani
bagian tengah bercak terdapat kumpulan
untuk
titik-titik
cendawan
hitam
yang
terdiri
dari
menghambat
yaitu
pertumbuhan
tanaman
merapin
sekelompok seta dan konidium jamur.
(Rhodamnia cinerea Jack). Berdasarkan
Serangan yang berat dapat menyebabkan
hasil penelitian yang telah dilakukan
buah mengering dan keriput sehingga
Febriryansyah (2009) hasil uji fitokimia
buah yang seharusnya berwarna merah
menunjukan adanya senyawa tanin,
menjadi seperti jerami.
saponin dan flavonoid yang diduga dapat
Dalam upaya
mengendalikan
digunakan sebagai pestisida botani.
penyakit tersebut, biasanya para petani
Aseton merupakan pelarut organik
menggunakan pestisida sintetis, padahal
yang paling baik dalam melarutkan
pemakaian
yang
senyawa tanin yang terdapat dalam suatu
berlebihan dapat menyebabkan residu
sampel tumbuhan (Khairul et al, 2010).
pada
Pengujian
pestisida
tanaman
sintetis
sehingga
dapat
ekstrak
senyawa
daun
mengganggu kesehatan manusia dan
merapin dengan pelarut aseton belum
ternak
pernah
bila
dikonsumsi
dan
dilakukan,
sehingga
diduga
meningkatkan biaya produksi serta dapat
ekstraksi dengan pelarut aseton memiliki
mencemari lingkungan.
kemampuan yang lebih baik dalam
Salah satu upaya mencegah agar
tanaman hortikultura tersebut
tidak
menghambat pertumbuhan cendawan.
Namun tidak menutup kemungkinan
terserang penyakit yang disebabkan oleh
ekstrak
beberapa
memberikan
Colletotrichum
cendawan
capsici
seperti
cair
daun
efek
merapin
anti
juga
cendawan
dan
9
sehingga
lebih
praktis
dalam
penerapannya.
petri, jarum ose, elenmayer, gelas
ukur, pisau, hot plate, pipet plastik,
spatula,
Tujuan
1. Mempelajari pengaruh ekstrak cair
dan
ekstrak
merapin
kasar
aseton
terhadap
daun
pertumbuhan
C.capsici dan C.coccodes.
ekstrak
kasar
Autoklaf,
aseton
mortar,
saringan, laminar air flow, mistar dan
alat tulis.
Metode Penelitian
Penelitian
2. Mengetahui konsentrasi ekstrak cair
dan
pinset,
Rancangan
ini
Acak
menggunakan
Lengkap
(RAL).
daun
Penelitian ini dilakukan melalui 2
merapin yang paling baik dalam
kegiatan percobaan. Percobaan pertama
menghambat pertumbuhan C.capsici
adalah perlakuan ekstrak cair daun
dan C.coccodes.
merapin dengan 7 taraf konsentrasi (0%,
10%, 15%, 20%, 25%, 30%, dan 35%)
terhadap pertumbuhan C.capsici dan
BAHAN DAN METODE
C.coccodes. Percobaan kedua adalah
Bahan dan Alat
perlakuan ekstrak kasar aseton daun
Bahan yang digunakan dalam
merapin dengan 7 taraf konsentrasi (0
penelitian ini terdiri dari buah cabai yang
mg/mL, 10 mg/mL, 15 mg/mL, 20
terinfeksi cendawan C.capsici dan buah
mg/mL, 25mg/mL, 30 mg/mL, 35
tomat
yang
C.coccodes
antraknosa,
terinfeksi
cendawan
mg/mL)
penyebab
penyakit
C.capsici
daun
merapin,
terhadap
dan
pertumbuhan
C.coccodes
dengan
Aseton,
perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali.
akuades, Potato Dextrose Agar untuk
Rancangan acak lengkap penelitian
pembuatan media PDA.
dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai
Alat-alat yang digunakan dalam
berikut:
penelitian ini terdiri dari, bunsen, cawan
10
Tabel 1 Perlakuan ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton daun merapin terhadap pertumbuhan
diameter koloni cendawan.
Perlakuan
Keterangan
C0
PDA+kontrol
C1
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 10%
C2
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 15%
C3
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 20%
C4
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 25%
C5
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 30%
C6
PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 35%
K7
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 10 mg/mL
K8
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 15 mg/mL
K9
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 20 mg/mL
K10
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 25 mg/mL
K11
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 30 mg/mL
K12
PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 35 mg/mL
Cara Kerja
Pembuatan Ekstrak kasar Aseton Daun
Pembuatan Ekstrak Cair Daun Merapin
Pembuatan
ekstrak
cair
daun
merapin yang digunakan yaitu daun
merapin yang terlihat segar dan tidak
terlalu tua. Setelah itu daun dibersihkan
dengan air bersih lalu daun tersebut
ditumbuk halus dengan menggunakan
mortar, hasil tumbukan tersebut disaring
dengan menggunakan saringan untuk
mendapatkan ekstrak cair dari daun
Merapin
Pengekstrakan dilakukan dengan
metode maeserasi. Sebanyak 500 gram
daun merapin dihaluskan, selanjutnya
direndam kedalam aseton murni selama
24 jam lalu di saring. Pelarut diuapkan
dengan menggunakan vaccum rotari
evaporator
Laboratorium
(dilakukan
kimia
oleh
analitik
teknisi
Istitut
Pertanian Bogor).
merapin.
11
Uji Efikasi Ekstrak Cair dan Ekstrak
kasar Aseton Daun Merapin terhadap
Pertumbuhan Cendawan C.capsici dan
C.coccodes
Inokulum
isolat
cendawan
penyebab penyakit dari biakan murni
berumur 6 hari ditempatkan di tengah
uji F berpengaruh nyata maka dilakukan
uji lanjut DMRT (Duncan Multiple
Range Test) pada tingkat kepercayaan
5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
cawan petri yang berisi media PDA yang
mengandung
ekstrak
cair
dengan
konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, 30%,
35% dan ekstrak kasar aseton daun
merapin dengan konsentrasi 0 mg/mL,
10 mg/mL, 15 mg/mL, 20 mg/mL, 25
mg/mL,
30
mg/mL,
35
mg/mL.
Selanjutnya biakan diinkubasi sampai
koloni cendawan memenuhi cawan pada
0
suhu 30 C. Sebagai kontrol cendawan
ditumbuhkan pada media PDA tanpa
ekstrak.
merapin
pada
ekstrak
cair
daun
berbagai
konsentrasi
terhadap pertumbuhan C.capsici dapat
dilihat pada Gambar 12. Perlakuan
ekstrak cair daun merapin mampu
menghambat pertumbuhan C.capsici.
Gambar tersebut menunjukan bahwa
perlakuan
pertumbuhannya
Kontrol
lebih
(Ca0)
tinggi
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
cair daun merapin dengan konsentrasi
Analisa Data
Data hasil pengamatan dianalisis
menggunakan
tingkat
Pengaruh
analisis
kepercayaan
menggunakan
varian
95%
program
pada
dengan
Statistical
Analitic System (SAS) versi 6. Bila hasil
10% (Ca1), 15% (Ca2), 20% (Ca3), 25%
(Ca4), 30% (Ca5) dan 35% (Ca6).
Perlakuan ekstrak daun merapin dengan
konsentrasi 35% (Ca6) menunjukan
pertumbuhan cendawan paling lambat
dibandingkan dengan perlakuan lainnya
12
Ca0
Ca1
Ca6
Ca2
Ca3
Ca5
Ca4
Gambar 12 Uji efikasi ekstrak cair daun merapin dengan berbagai konsentrasi terhadap
pertumbuhan C.capsici pada cabai pada hari ke-10
Berdasarkan pengaruh ekstrak
yang paling tinggi dibandingkan dengan
kasar aseton daun merapin pada berbagai
perlakuan ekstrak kasar aseton daun
konsentrasi
pertumbuhan
merapin pada konsentrasi 10 mg/mL
C.capsici (Gambar 13), menunjukan
(Ca1), 15 mg/mL (Ca2), 20 mg/mL
bahwa
daun
(Ca3), 25 mg/mL (Ca4), 30 mg/mL
menghambat
(Ca5), dan 35 mg/mL (Ca6). Perlakuan
pertumbuhan C.capsici. Pertumbuhan
terbaik dalam menghambat pertumbuhan
cendawan
C.capsici yaitu pada konsentrasi 35
terhadap
ekstrak
merapin
kasar
mampu
perlakuan
aseton
kontrol
(Ca0)
memiliki diameter koloni cendawan
Ca0
Ca2
Ca1
Ca6
mg/mL (Ca6).
Ca5
Ca3
Ca4
13
Gambar 13 Uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin dengan berbagai konsentrasi
terhadap pertumbuhan C.capsici pada cabai pada hari ke-10
C.capsici
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
pada buah cabai dengan perlakuan
kasar aseton daun merapin dengan
ekstrak cair daun merapin dari hari ke-1
konsentrasi 15 mg/mL, 20 mg/mL, 25
hingga hari ke-10 sudah memenuhi
mg/mL, 30 mg/mL dan 35 mg/mL. Pada
cawan petri pada perlakuan kontrol.
perlakuan ekstrak kasar aseton daun
Berdasarkan grafik (Gambar 14) terlihat
merapin
bahwa perlakuan pada konsentrasi 10
menunjukan daya hambat yang paling
mg/mL menunjukan pertumbuhan yang
rendah dibandingkan dengan perlakuan
lebih
lain.
Pertumbuhan
lambat
koloni
dibandingkan
dengan
konsentrasi
35
mg/mL
Diameter Cendawan (mm)
perlakuan kontrol namun lebih cepat
Ca0
Ca25
90
Ca10
Ca30
Ca15
Ca35
Ca20
80
70
60
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hari setelah inkubasi (HSI)
Gambar 14 Pertumbuhan koloni C.capsici pada cabai dengan perlakuan ekstrak cair daun
merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10.
Pertumbuhan
koloni
C.capsici
aseton
daun
merapin
pertumbuhan
pada cabai dengan perlakuan ekstrak
koloni C.capsici
kasar aseton daun merapin pada media
Pertumbuhan
PDA dari hari ke-1 sampai hari ke-10
perlakuan ekstrak kasar aseton daun
dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar
merapin konsentrasi 35% menunjukan
15, terlihat bahwa seiring dengan
daya
peningkatan konsentrasi ekstrak kasar
dibandingkan dengan perlakuan lain.
hambat
semakin lambat.
C.capsici
yang
paling
dengan
rendah
14
Ca0
Ca25
90
Diameter Cendawan (mm)
80
Ca10
Ca30
Ca15
Ca35
Ca20
70
60
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hari ke-
Gambar 15 Pertumbuhan koloni C.capsici pada cabai dengan perlakuan ekstrak aseton daun
merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10.
Ringkasan sidik ragam perlakuan
yang menyebabkan penyakit antraknosa
ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton
pada buah cabai dapat dilihat di Tabel 2
daun merapin pada media PDA dalam
sebagai berikut:
menghambat pertumbuahan C.capsici
Tabel 2 Hasil sidik ragam uji efikasi ekstrak cair daun merapin (ECDM) dan ekstrak kasar
aseton daun merapin (EKADM) terhadap pertumbuhan C.capsici pada cabai dimedia
PDA.
Parameter yang diamati
Perlakuan
KK
Diameter Cendawan
Ekstrak Daun
(%)
Fhitung
P>F
Merapin
Cair
9.58*
0.0002
4.55
Kasar
7.82*
0.0011
5.55
Keterangan: * : berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil sidik ragam
diameter cendawan. Hal ini berarti uji
(Tabel 2) dapat dilihat bahwa perlakuan
efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar
ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton
aseton daun merapin pada media PDA
daun
berpengaruh
merapin
pada
media
PDA
pada
daya
hambat
pertumbuhan
C.capsici. Hasil uji lanjut DMRT
C.capsici. Perlakuan ekstrak cair dan
perlakuan ekstrak cair daun merapin
ekstrak kasar aseton daun merapin
dalam
berpengaruh
terhadap
menghambat
petumbuhan
berpengaruh nyata terhadap peubah
15
C.capsici yang ditumbuhkan pada media
PDA dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 3 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.capsici pada cabai
dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak cair daun merapin pada hari ke-10.
Perlakuan
Diameter
cendawan
(mm)
Ekstrak Cair Daun Merapin (ECDM)
Kontrol
83.257a
10 %
80.327ab
15 %
75.430bc
20 %
73.503cd
25 %
71.573de
30 %
68.900e
35 %
65.937e
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan uji lanjut DMRT pada
rata-rata
diameter
terendah yaitu 60.053 mm namun tidak
pertumbuhan
berbeda nyata dengan konsentrasi 25%
C.capsici pada Tabel 3, perlakuan
dan 30% dan pertumbuhan tertinggi
kontrol tidak berbeda nyata dengan
ditunjukan pada perlakuan kontrol atau
perlakuan yang menggunakan ekstrak
tanpa pemberian ekstrak cair daun
cair daun merapin konsentrasi 10%,
merapin sebesar 83.257 mm. Hasil uji
namun
dengan
lanjut DMRT perlakuan ekstrak kasar
konsentrasi 15%, 20%, 25%, 30% dan
aseton daun merapin dalam menghambat
35%. Perlakuan ekstrak cair daun
petumbuhan C.capsici pada cabai yang
merapin
ditumbuhkan pada media PDA dapat
berbeda
dengan
nyata
konsentrasi
35%
menunjukan pertumbuhan cendawan
dilihat di Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.capsici pada cabai
dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin pada hari ke10.
Perlakuan
Diameter
cendawan (mm)
Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin (EKADM)
Kontrol
84.377a
10 mg/mL
80.513ab
15 mg/mL
79.833ab
20 mg/mL
78.943ab
25 mg/mL
76.017bc
30 mg/mL
70.287cd
16
65.177d
35 mg/mL
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95%
Berdasarkan uji lanjut DMRT
(Co4), 30% (Co5) dan 35% (Co6).
rataan diameter pertumbuhan C.capsici,
Dilihat pada hari ke-10 perlakuan
setelah diberi perlakuan ekstrak kasar
ekstrak cair daun merapin konsentrasi
aseton daun merapin tampak terlihat
35% (Co6) menunjukan pertumbuhan
bahwa perlakuan kontrol tidak berbeda
yang
nyata
dengan perlakuan lain.
dengan
menggunakan
merapin
perlakuan
ekstrak
dengan
yang
aseton
daun
konsentrasi
10
mg/mL,15 mg/mL dan 20 mg/mL.
Perlakuan ekstrak aseton daun merapin
dengan
konsentrasi
35
mg/mL
menunjukan pertumbuhan cendawan
terendah
yaitu
65.177
mm
dan
pertumbuhan tertinggi ditunjukan pada
perlakuan kontrol sebesar 84.377 mm.
Pengaruh
merapin
pada
ekstrak
cair
daun
berbagai
konsentrasi
terhadap pertumbuhan C.coccodes dapat
dilihat pada Gambar 16. Gambar 16
menunjukan
bahwa
cendawan
pada
pemberian
ekstrak
pertumbuhannya
pertumbuhan
perlakuan
(Kontrol
paling
tanpa
Co0)
tinggi
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
cair daun merapin pada konsentrasi 10%
(Co1), 15% (Co2), 20% (Co3), 25%
paling
lambat
dibandingkan
Pada Gambar 17 pengaruh ekstrak
kasar aseton daun merapin pada berbagai
konsentrasi
terhadap
pertumbuhan
C.coccodes, terlihat bahwa perlakuan
tanpa
pemberian
pertumbuhannya
ekstrak
(Co0)
lebih
cepat
dibandingkan dengan perlakuan ekstrak
kasar aseton daun merapin dengan
konsentrasi 10 mg/mL (Co1), 15 mg/mL
(Co2), 20 mg/mL (Co3), 25 mg/mL
(Co4), 30 mg/mL (Co5) dan 35 mg/mL
(Co6).
Perlakuan
terbaik
dalam
menghambat pertumbuhan C.coccodes
yaitu pada konsentrasi 35 mg/mL.
Pertumbuhan koloni C.coccodes
pada media PDA dari hari ke-1 hingga
hari ke-10 dengan perlakuan ekstrak cair
daun merapin dapat dilihat pada Gambar
18
17
90
Diameter Cedawan (mm)
80
Co0
C10
Co15
Co25
Co30
Co35
Co20
70
60
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hari ke-
Gambar 18 Pertumbuhan koloni C.coccodes pada tomat dengan perlakuan ekstrak cair daun
merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10.
kasar aseton daun merapin dapat dilihat
Pertumbuhan koloni C.coccodes
pada Gambar 19.
pada Tomat dimedia PDA dari hari ke-1
hingga hari ke-10 dengan perlakuan
90
Diameter Cendawan (mm)
80
Co0
Co10
Co15
Co25
Co30
Co35
Co20
70
60
50
40
30
20
10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Hari setelah inkubasi (HSI)
Gambar 19 Pertumbuhan koloni C.cocodes pada tomat dengan perlakuan ekstrak kasar aseton
daun merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10.
18
Ringkasan sidik ragam perlakuan
yang menyebabkan penyakit antraknosa
ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton
pada buah cabai dapat dilihat di Tabel 5
daun merapin pada media PDA dalam
sebagai berikut:
menghambat pertumbuahan C.coccodes
Tabel 5 Hasil sidik ragam uji efikasi ekstrak cair daun merapin (ECDM) dan ekstrak kasar
aseton daun (EAKDM) terhadap pertumbuhan C.coccodes pada Tomat dimedia PDA
Parameter yang diamati
KK
Diameter Cendawan
Perlakuan
(%)
Fhitung
P>F
Ekstrak Daun
Merapin
Cair
38.60*
<.0001
3.65
Kasar
13.27*
<.0001
3.65
Keterangan: * : berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Berdasarkan hasil dari tabel sidik
aseton daun merapin pada media PDA
ragam pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa
berpengaruh
nilai perlakuan ekstrak cair dan ekstrak
C.coccodes. Hasil uji lanjut DMRT uji
kasar aseton daun merapin pada media
efikasi ekstrak cair daun merapin
PDA
terhadap daya hambat
berpengaruh
terhadap
pada
daya
hambat
petumbuhan
pertumbuhan C.coccodes. Hal ini berarti
C.coccodes
uji efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar
media PDA dapat dilihat di Tabel 6.
yang ditumbuhkan pada
Tabel 6 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.coccodes pada Tomat
dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak cair daun merapin pada hari ke-10.
Perlakuan
Diameter cendawan
(mm)
Ekstrak cair daun merapin (ECDM)
Kontrol
83.103a
10%
80.593a
15 %
73.970b
20 %
68.833c
25 %
64.963cd
30 %
60.813de
35 %
60.053e
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95%
19
Dilihat hasil uji lanjut DMRT
rataan
diameter
pertumbuhan
C.coccodes pada Tabel 6, perlakuan
terendah
yaitu
60.053
mm
dan
pertumbuhan tertinggi ditunjukan pada
perlakuan kontrol sebesar 83.103 mm.
kontrol dan 10% berbeda nyata dengan
Hasil uji lanjut DMRT perlakuan
perlakuan yang menggunakan ekstrak
ekstrak kasar aseton daun merapin dalam
cair daun merapin 15%, 20%, 25%, 30%
menghambat petumbuhan C.coccodes
dan 35%. Perlakuan ekstrak cair daun
yang ditumbuhkan pada media PDA
merapin
dapat dilihat di Tabel 7.
dengan
konsentrasi
35%
menunjukkan pertumbuhan cendawan
Tabel 7 Hasil uji lanjut DMRT ratan diameter petumbuhan koloni C.coccodes pada Tomat
dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin pada hari ke10.
Perlakuan
Ekstrak kasar aseton daun merapin (EKADM)
Kontrol
10 mg/mL
15 mg/mL
20 mg/mL
25 mg/mL
30 mg/mL
35 mg/mL
Diameter cendawan
(mm)
83.593a
81.197a
81.193a
79.690a
74.810a
71.160bc
68.537c
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf kepercayaan 95%
Pada Tabel 7, rataan pertumbuhan
68.537
mm
sedangkan
perlakuan
diameter koloni C.coccodes terlihat
tertinggi ditunjukan pada perlakuan
bahwa perlakuan kontrol tidak berbeda
kontrol yaitu 83.593 mm.
nyata dengan perlakuan ekstrak aseton
daun merapin dengan konsentrasi 10
mg/mL, 15 mg/mL,20 mg/mL dan 25
mg/mL, namun berbeda nyata dengan
konsentrasi 30 mg/mL dan 35 mg/mL.
Perlakuan ekstrak aseton daun merapin
dengan
konsentrasi
35
mg/mL
menunjukan pertumbuhan terendah yaitu
Berdasarkan
isolasi
dan
hasil
identifikasi
pengamatan
penyebab
penyakit antraknosa pada buah cabai dan
tomat
yaitu
Colletotrichum.
disebabkan
Penyakit
oleh
antraknosa
biasanya menyerang pada bagian buah
baik yang belum matang maupun sudah
20
matang.
Menurut
seiring
proses
Kusmiadi
(2011)
memiliki
pematangan
buah,
silendris.
pertumbuhan cendawan akan semakin
cepat, karena kolonisasi pada inang
tertunda akibat infeksi laten. Infeksi
laten adalah infeksi dimana patogen
dalam keadaan dorman atau tidak aktif di
dalam jaringan inang dan akan berubah
menjadi aktif jika kondisi telah sesuai
atau memungkinkan cendawan untuk
tumbuh. Ciri-ciri cabai yang terkena
penyakit antraknosa yang disebabkan
Colletotrichum capsici yaitu pada bagian
buah cabai tersebut terdapat bercak
coklat kehitaman yang lama kelamaan
akan menjadi busuk dan kehitaman.
C.capsici dilihat secara makrosopik pada
media PDA nampak misellium berwarna
putih bening, dilihat secara mikrosopik
C.capsici terdapat arsevulus dan seta.
Ciri-ciri tomat yang terserang penyakit
antraknosa
yang
disebabkan
oleh
Colletotrichum coccodes yaitu tampak
ada bercak kecil berair, bulat, dan
cekung.
Bercak
tersebut
makin
membesar, berwarna coklat, kelihatan
ada lingkaran-lingkaran sepusat dan
kemudian menjadi hitam, dilihat secara
makrosopik
C.coccodes
memiliki
miselium berwarana putih agak orange
dan jika dilihat secara mikrosopik
konidia
berbentuk
bulat
Hasil sidik ragam pada tabel 5
menunjukan
bahwa
ada
pengaruh
pemberian ekstrak kasar aseton daun
merapin
terhadap
C.capsici,
hal
ini
pertumbuhan
diduga
bahwa
pemberian ekstrak kasar aseton daun
merapin memberikan pengaruh terhadap
daya hambat pertumbuhan C.capsici
yang nyata pada taraf uji 95%. Hasil uji
lanjut
DMRT
pertumbuhan
rataan
diameter
C.capsici,
koloni
menunjukan bahwa perlakuan ekstrak
kasar aseton daun merapin konsentrasi
35 mg/mL menunjukan hasil yang paling
baik dalam menghambat pertumbuhan
C.capsici. Pada konsentrasi ini rataan
diameter pertumbuhan C.capsici lebih
kecil dibandingkan dengan perlakuan
lainnya. Undriani (1987) menyatakan
bahwa senyawa antimikroba seperti
tanin dan flavonoid dapat merusak
dinding sel cendawan yang tersusun atas
senyawa kitin hingga terjadi lisis,
mengubah
permeabilitas
sitoplasma
sehingga
membran
sel
bocor,
menyebabkan denaturasi protein sel
komponen dinding sel. Penghambatan
intraselluler zat-zat yag terkandung
mampu menghambat reaksi enzimatis,
21
merusak molekul protein, dan asam
formulasi maka semakin tinggi pula
nukleat serta menghambat sintesis asam
bahan aktif yang dikandung sehingga
nukleat
kemampuanya dalam menekan patogen
sehingga
cendawan
metabolisme
terganggu
sel
dan
akan lebih optimum.
perkembangbiaakan menjadi terhambat.
Berdasarkan hasil sidik ragam
Hal ini diperkuat oleh Chairul (2007)
pengaruh ekstrak kasar aseton daun
menyatakan bahwa senyawa flavonoid
merapin pada konsentrasi 10 mg/mL, 15
dan tanin mempunyai sifat sebagai
mg/mL, 20 mg/mL, 25 mg/mL, 30
antimikroba dan antivirus. Berdasarkan
mg/mL dan 35 mg/mL menunjukan hasil
hasil penelitian yang dilakukan oleh
yang nyata terhadap pertumbuhan koloni
Aminah (2013) hasil uji fitokimia secara
Colletotrichum coccodes. Jika dilihat
kualitatif
merapin
dari hasil uji lanjut DMRT perlakuan
menunjukkan adanya senyawa tanin,
ekstrak cair daun merapin dengan
saponin, fenolik, steroid, dan flavonoid.
kosentrasi 30 mg/mL dan 35 mg/mL
Berdasarkan hasil analisis sidik
memberikan hasil yang terbaik dalam
ragam pengaruh ekstrak cair daun
menghambat pertumbuhan C.coccodes
merapin bahwa pertumbuhan C.capsici
dibandingkan
dari hari pertama penanaman hingga hari
lainnya. Hal ini berarti konsentrasi 30
terakhir menunjukan bahwa perlakuan
mg/mL dan 35 mgmL memiliki efek
dengan menggunakan ekstrak cair daun
yang
merapin memberikan hasil yang nyata
C.coccodes dilihat dari pengamatan
dalam
diameter koloni C.coccodes selama 10
pada
daun
menghambat
pertumbuhan
C.capsici. Dilihat dari hasil pengamatan
sama
dengan
dalam
konsentrasi
menghambat
hari setelah inkubasi.
pertumbuhan C.capsici konsentrasi 35%
Analisis sidik ragam menunjukan
memberikan hasil yang terbaik dalam
bahwa perlakuan ekstrak cair daun
menghambat pertumbuhan C.capsici,
merapin berpengaruh nyata terhadap
hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi
peubah diameter C.coccodes. Ekstrak
ekstrak cair daun merapin maka daya
cair
hambatnya semakin tinggi pula. Menurut
menghambat pertumbuhan C.coccodes
Gunawan
pada media PDA yaitu pada konsentrasi
semakin
(2006)
tinggi
pada
umumnya
kosentrasi
suatu
daun
merapin
yang
mampu
15%, 20%, 25%, 30% dan 35%.
22
Perlakuan ekstrak cair daun merapin
memberikan daya hambat yang paling
dengan konsentrasi 35% menunjukan
baik
daya hambat yang paling baik, karena
C.capsici dan C.coccodes.
terhadap
pertumbuahan
secara rerata diameter pertumbuhan
C.coccodes lebih kecil dibandingkan
DAFTAR PUSTAKA
dengan perlakuan lainnya. Efek anti
cendawan pada ekstrak cair daun
merapin diduga oleh adaya senyawa
tanin. Senyawa tanin memiliki sifat
antara lain dapat larut dalam air atau
alkohol
karena
tanin
banyak
mengandung fenol yang memiliki gugus
OH, dapat mengikat logam berat, serta
adanya zat yang bersifat anti rayap dan
jamur
(Risnasari
2002).
Menurut
Jayanegara dan Sofyan (2005) tanin
dapat berikatan dengan dinding sel
mikroorganisme
menghambat
rumen
dan
dapat
pertumbuhan
mikroorganisme atau aktivitas enzim.
KESIMPULAN
1. Ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton
daun merapin mampu menghambat
pertumbuhan
C.coccodes
C.capsici
penyebab
dan
penyakit
antraknosa asal buah cabai dan buah
tomat.
2. Ekstrak cair daun merapin dengan
konsentrasi 35% dan ekstrak kasar
aseton daun merapin 35 mg/mL
Aminah S. 2013. Uji aktivitas antibakteri
ekstrak kasar aseton daun
merapin (Rhodamnia cinerea)
terhadap
bakteri
Enteropatogenik.
[Skripsi].
Bangka. Program studi Biologi
Fakultas Pertanian perikanan dan
Biologi Universitas Bangka
Belitung.
Baharudin. 2005. Uji Efektivitas Formulasi
Seed Coating berbahan aktif
Bakteri
Pseudomonas
fluorescens dan Bacillus subtilus
untuk pengendalian Penyakit
layu
Fusarium(Fusarium
Oxysporum)
pada tanaman
Tomat. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan. Fapertahut
UNHAS.
Byrne and Hammrschmidt. 1997. Conidial
germination appressorium of
Colletotrichum coccodes on
tomto foliage. Department of
Botany
and
Plant
PathologyMichigan
State
Universiti. East Lansing. Plant
Disease/Vol.81 No.7.
Efri. 2010. Pengaruh Ekstrak berbagai
bagian
tanaman
mengkudu(Morinda Citrifolia)
terhadap
perkembangan
penyakit
Antraknosa
pada
tanaman cab(Capsicum Annum
L). Lampng: Jurusan Proteksi
Tani
Fakultas
Pertanian.
23
Universitas Lampung.
Tropika 10:52-58.
Simpan Buah Salak Pondoh
Akibat Serangan Cendawan
[Skripsi]. Bogor :Pogrom Pasca
sarjana, Institut Pertanian Bogor.
J.HPT
Febririansyah RA. 2009. Uji Efek
Imunomodulator
Ekstrak
Metanol Daun dan Kulit Batang
Rhodamnia Cinerea jack melalui
pengukuran
aktivitas
dan
kapasitas
Fagositosis
sel
Magrofag Peritoneum Mencit
yang diinduksi Staphylococcus
epidermidis secara In-vitro.
[Skripsi]. Jakarta: Program Studi
Farmasi Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah.
Girsang W. 2010. Uji aplikasi ekstrak daun
sirih
untuk
mengendalikan
penyakit
antraknosa
pada
tanaman cabai (Capsicum annum
L). Imalungun Pematang Siantar.
J. Habonaran Dobona Edisi 3.
Istikorini Y. 2008. Potensi Cendawan Endofit
untuk Mengendalikan Penyakit
Antraknosa
pada
Cabai
(Capsicum
Annum
L).
[Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana InstitutPertanian
Bogor.
Jayanegara A dan Sofyan A. 2005.Penentuan
Aktivitas
Biologis
Tanin
Beberapa Hijauan secara in
Vitro Menggunakan ’Hohenheim
Gas Test’ dengan Polietilen
Glikol
Sebagai
Determinan.Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor
Kusmiadi R. 2011. Kajian Efikasi Rimpang
Jahe dan Kunyit sebagai Upaya
untuk Memperpanjang Umur
Latifah
Q. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak
kasar Senyawa Anti Bakteri pada
Buah
Belimbing
Wuluh
(Averrhoa bilmbi L) dengan
Variasi
Pelarut.
[Skripsi].
Malang: Jurusan Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi. Universitas
Islam Negri (UIN) Malang.
Maulinda D dan Zulkarnaen N. 2010. Ekstrak
Antioksidan (Likopen) dari Buah
Tomat dengan menggunakan
Solven
campuran,
nHeksana,Aseton dan Etanol.
[Skripsi]. Semarang: Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik.
Universitas
Diponegoro
Semarang.
Mujahidin
A.
2012.
Dasar-dasar
Perlindungan
Tanaman
Pengendalian
Hama
dan
Penyakit pada Tanaman Cabai
Merah.[Skripsi].
Malang:
Program Studi Agroteknologi
Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya Malang.
Manik Risjan. 2008. Uji Efektifitas Daun
Cengkeh dan Daun serai
Terhadap Penyakit Antraknosa
pada
Tanamn
Cabai
di
lapangan. [Skripsi]. Medan:
Departemen Ilmu Hama dan
Penyakit Ttumbuhan Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatra
Utara Medan.
Nawangsih A.2006. Seleksi dan Katerrisasi
Bakteri
Biokontrol
untuk
24
mengendalikan penyakit layu
Bakteri
(Ralstonia
Solanacearrum) pada Tomat.
[Disertasi]. Bogor: Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor.
Nurhayati.
2006.
Pertumbuhan
Clletotrichum capsisi Penyebab
Antraknosa Buah Cabai pada
berbagai
mediayang
mengandung ekstrak Tanaman.
Sriwijaya: Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian. Universitas Sriwijaya.
Jurnal Rafflesia 9:1411-2434.
Putri
2010. Keragaan beberapa
Genotipe Cabai (Capsicum
annun L) dan ketahanannya
terhadap Antraknosa, Hawar
Phytophthara, dan layu bakteri
serta parameter genetiknya.
[Skripsi]. Bogor: Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
EN.
Risnasari
I. 2002.Tanin.Sumatra Utara.
Program Studi Ilmu Kehutanan
Fakultas Pertanian, Universitas
Sumatra Utara.
Suryotomo B. 2006. ketahanan alami
beberapa
genotipe
cabai
(capsicum annum L) terhadap
penyakit Antraknosa.Universitas
Pekalongan. J. Sain dan
teknologi Indonesia 8:1-6.
Sitohang HJ. 2000. Uji daya hasil dan
ketahanan penyakit layu baktri
(Pseudomonas
Solanacearum
mill) sembilan galur tomat di
kebun percobaab tajur. [Skripsi].
Bogor:
Jurusan
Budidaya
Pertanian fakultas pertanian,
Insitut Pertanian Bogor.
Udriani K.1987. pengaruh bubuk jahe
(zingiber offcinale) terhadap
aktifitas
pertumbuhan
beberapamikroba
penyebab
kerusakan pangan. [Skripsi]
Bogor:Institut Pertanian Bogor
Wahyuni N. 2004. Respon Alternaria Solani
penyebab penyakit bercak coklat
terhadap Ekstrak Daun Cengkeh
dan pola secara in-vitro. [skripsi].
Bogor: Departemen hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Wahyuni S. 2006. Perkembangan Hama dan
penyakit kubis dan tomat pada
tiga sistem budidaya pertanian di
desa suka galaih kecamatan
megamendung kabupaten bogor.
[Skripsi].
Bogor.
Fakultas
program studi proteksi tanamnan
fakultas
pertanian,
institut
pertanian bogor.
Wijayani A dan Widodo W. 2005. Usaha
meningkatkan
kualitas
Bbeberapa Varietas Tomat
dengan
sistem
Budidaya
Hidroponik.Fakultas Pertanian
UPN “Veteran” Yogyakarta. J.
Ilmu Pertanian 12: 77-83.
Widiastuti AR.2006. Penggunaan Fungisida
Botani dan Kimia secara in-vitro
sebagai
upaya
Eradikasi
Cendawan penyebab Dampingoff pada tomat (lycopersicon
esculetum
Mill).
[Skripsi].
Bogor:
Program
Studi
Hortikultura Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.
25
AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KASAR BELILIK (Brucea javanica) TERHADAP
BAKTERI ENTEROPATOGEN
Umajaya, Henny Helmi, Idha Susanti
ABSTRAK
Tumbuhan belilik (Brucea javanica) merupakan tumbuhan obat tradisional yang banyak
digunakan oleh masyarakat, karena memiliki kemampuan sebagai obat. Tumbuhan ini mengandung
senyawa aktif yang digunakan sebagai antibakteri dimana tumbuhan ini mampu menghambat
pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian ini menggunakan ekstrak akar belilik. Ekstraksi dilakukan
dengan menggunakan metode soxhlet dan menghasilkan ekstrak kasar sebanyak 2,1 g. Ekstrak diuji daya
antibakterinya terhadap bakteri enteropatogenik (Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Shigella sp., dan EPEC) dengan menggunakan metode cakram. Sebagai pembanding digunakan
antibiotik kloramfenikol 50 mg/mL, kanamisin 40 mg/mL dan kanamisin 30 mg/mL. Hasil penelitian
menunjukan bahwa ekstrak kasar etanol akar belilik kurang memiliki kemampuan dalam menghambat
bakteri enteropatogenik. Ekstrak ini paling baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada
konsentrasi 90 mg/mL dengan zona hambat sebesar 5,43 mm. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka
semakin tinggi zona hambat yang dibentuk. Namun, bila dibanding dengan kontrol positif (antibiotik),
zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik lebih besar dari pada ekstrak kasar akar belilik. Pada
pengujian fitokimia, uji fitokimia pada ekstrak akar belilik menunjukkan adanya kelompok senyawa
alkaloid, saponin dan fenolik.
Kata Kunci: B. javanica, Antibakteri, Metode Cakram
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropis yang
tingkat keanekaragaman hayatinya sangat tinggi
sehingga merupakan sumber plasma nutfah yang
tidak ternilai (Mursito 2002). Salah satu sumber
plasma nutfah tersebut adalah tumbuhan yang
berkhasiat sebagai obat yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. PROSEA (1999), diacu
dalam Adelia (2010) mengungkapkan Indonesia
dianugrahi kekayaan keanekaragaman hayati,
yang memiliki 28.000 spesies tumbuhan dan
diperkirakan sekitar 1.000 spesies diantaranya
diketahui berkhasiat sebagai bahan obat yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Wilianti (2009), kelebihan
penggunaan tumbuhan obat tradisional adalah
mudah didapat dan cara pemakaiannya paling
cocok dan paling mudah. Selain itu, penggunaan
tumbuhan
herbal
memiliki
kelebihan
dibandingkan dengan obat kimia, karena obat
kimia dapat menimbulkan efek samping yang
tinggi dan mengakibatkan bakteri lebih kebal
sehingga adanya alternatif penggunaan
tumbuhan herbal dapat menjadi solusi atas
permasalahan resistensi bakteri, termasuk
bakteri enteropatogenik.
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang
memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan
sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat
modern maupun obat-obatan tradisional yang
berupa daun, batang, buah, bunga, dan akar yang
memiliki khasiat sebagai obat (Poeloengan et al.
2006). Penggunaan tumbuhan sebagai obat
tradisional sudah lama dikenal oleh masyarakat
karena memiliki khasiat sebagai obat yang dapat
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri (Oktora 2006). Tumbuhan obat sudah
dikenal mengandung berbagai golongan
senyawa aktif tertentu sebagai bahan obat yang
mempunyai efek fisiologis terhadap organisme
lain (Melki et al. 2011).
Masyarakat Bangka Belitung banyak
menggunakan ramuan atau tumbuhan sebagai
obat
tradisional
dalam
menyembuhkan
penyakit.Salah satu tumbuhan obat yang
memiliki senyawa aktif dan digunakan oleh
26
masyarakat Bangka Belitung yaitu belilik
(Brucea javenica (L) Merr). Tumbuhan ini
digunakan untuk mengobati disentri, malaria,
kudis, dan penawar racun lipan (Widayat &
Subositi 2009). Menurut Hendrian dan Hadiah
(1999), tumbuhan ini memiliki rasa pahit,
sifatnya dingin, dan beracun (toksik). Bagian
tumbuhan ini yang sering digunakan adalah
akar.Akar Brucea javenica juga dapat berkhasiat
sebagai obat malaria, demam, dan keracunan
makanan (Dalimarta 2001; Hendrian & Hadiah
1999).
Brucea javenica memiliki senyawa
kimia yaitu alkaloid, flavonoid, steroid,
terpenoid, seskuiterpenoid, diterpenoid, dan
saponin (Annaria 2009). Menurut Zamar (2011)
senyawa kimia tersebut dapat dijadikan sebagai
antibakteri, terutama bakteri patogen. Bakteri
patogen yang dapat menyebabkan penyakit
diantaranya Shigella sp., Staphylococcus aureus,
Pseudomonas
aeruginosa,
dan
EPEC
(Enteropatogenik E. coli). Keempat bakteri
tersebut dapat berpotensi menimbulkan penyakit
saluran pencernaan atau enteropatogenik.
Banyak penelitian sebelumnya yang
telah menguji senyawa kimia yang terkandung
di buah dan daun B. javanica ini. Namun, belum
ada ditemukan penelitian yang membahas
aktivitas senyawa kimia yang terdapat pada akar
B. javanica sebagai antibakteri. Untuk itu perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui senyawa
aktif dari akar B. Javanica sebagai antibakteri
serta aktivitasnya sebagai antibakteri. Senyawa
yang aktif sebagai antibakteri dapat ditentukan
dengan menghitung daya hambatnya terhadap
pertumbuhan bakteri dalam medium tertentu.
Rumusan Masalah
Sampai saat ini penyakit yang
disebabkan oleh bakteri patogen seperti disentri
dan diare (gastroentristis) masih banyak diderita
oleh masyarakat Bangka. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri enteropatogenik seperti
EPEC, Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa dan Shigella. Beberapa bakteri telah
resisten terhadap obat kimia atau antibiotik.
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah
resistensi tersebut dengan penggunaan obat
tradisional yang berasal dari tumbuhan obat.
Salah satu tumbuhan obat tersebut yang
digunakan oleh masyarakat Bangka Belitung
adalah akar belilik (Brucea javanica) karena
memiliki senyawa aktif yang efektif mengatasi
penyakit secara tradisional. Pengujian secara in
vitro membuktikan kelebihan dari kemampuan
akar Belilik dalam menghambat bakteri
enteropatogenik belum (pernah) dilakukan,
sehingga dibutuhkan penelitian yang mampu
membuktikan khasiat dari akar belilik terhadap
terapi pengobatan penyakit berdasarkan
pembentukan zona bening disekitar isolat uji.
Tujuan
1. Mengetahui kemampuan ekstrak kasar etanol
akar belilik dalam menghambat pertumbuhan
bakteri EPEC, P. aeruginosa, S. aureus dan
Shigella
sp.
berdasarkan
parameter
pembentukan zona bening
2. Mengetahui kandungan senyawa aktif yang
terdapat pada ekstrak akar belilik (B.
javanica) melalui uji kualitatif.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk
memberi informasi ilmiah bagi masyarakat
mengenai alternatif obat gastroenteritis dari
bahan alami (ekstrak akar belilik) dalam
menghambat pertumbuhan bakteri patogen
(EPEC, P. aeruginosa, S. aureus dan Shigella
sp.), dan acuan bagi penelitian lebih lanjut.
Selain itu, data yang diperoleh dapat
memberikan informasi potensi akar belilik
sebagai antibakteri terhadap bakteri patogen
sehingga dapat digunakan sebagai sumber obat
baru.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini berlangsung pada bulan
Februari hingga Juli 2013. Pengambilan sampel
dilakukan di Selindung Pangkalpinang.
Ekstraksi tumbuhan dilakukan di Laboratorium
Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor, uji
antibakteri dilakukan di Laboratorium Biologi
Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi di
Universitas Bangka Belitung dan uji fitokimia
27
dilakukan di Laboratorium MIPA Fakultas
Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas
Bangka Belitung.
Prosedur Penelitian
Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah autoklaf, cawan
petri, erlenmeyer, gelas beker, gelas
ukur, gunting, hotplate, inkubator,
jangka sorong digital, jarum ose,
Laminar Air Flow (LAF), mortar,
microwave, orbital shaker, pembakar
spiritus, pengaduk gelas, pinset, pipet
tetes, pipet mikro, spektofotometer (UVVIS 1800), tabung reaksi, timbangan
digital dan vortek.
2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah
alkohol 70%, akuades steril, asam sulfat,
asam asetat (CH3COOH) glacial, dietil
eter, reagen Dragendorff (campuran
Bi(NO3)2. Air (5H2O) dalam asam nitrat
dan larutan kalium iodida (KI)), ekstrak
belilik, etanol absolut, besi klorida
(FeCl3 1%), H2SO4 dan asam klorida
(HCL), kloroform-amoniak, media
Nutrien Agar (NA), Nutrien Broth (NB),
Magnesium (Mg), akar belilik dan isolat
bakteri Staphylococcus aureus, EPEC,
Pseudomonas aeruginosa dan Shigella
sp. (isolat berasal dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia).
Pengambilan Sampel
Akar belilik yang telah diambil
dimasukkan dalam kantong plastik. Akar yang
telah diambil akan dilakukan ekstraksi di
Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian
Bogor (dilakukan oleh teknisi Laboratorium
Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor).
Analisis Laboratorium
a. Ekstraksi Kasar Akar Belilik
Ekstraksi dilakukan dengan
metode soxhlet. Sebanyak 69,1021 gr
akar belilik dihaluskan, selanjutnya
direndam ke dalam etanol absolut dan
dipanaskan
dengan
menggunakan
soxhlet sampai larutan menjadi bening
dan terekstrak secara sempurna. Ekstrak
yang diperoleh dikeringkan dengan
menggunakan vaccum rotary evaporator
untuk
menghilangkan
pelarut.
Rendemen yang diperoleh sekitar 2,90 %
dengan bobot ekstrak 2,0041 gram
(dilakukan oleh teknisi Laboratorium
Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor).
b. Kurva
Pertumbuhan
Bakteri
(Cappucino & Sherman 1987)
Sebelum
melakukan
uji
efektivitas antibiotik terhadap bakteri
patogen, dibuat kurva pertumbuhan
bakteri terlebih dahulu untuk melihat
pertumbuhan
optimum
bakteri.
Penentuan kurva pertumbuhan bakteri
dilakukan dengan metode turbidimetri.
Sebanyak satu ose bakteri uji EPEC, P.
aeruginosa, Shigella sp. dan S. aureus
ditumbuhkan dalam 50 ml media NB.
Bakteri tersebut dikocok dengan shaker
selama 24 jam pada suhu 37 0C dengan
kecepatan 125 rpm. Sebanyak 1 mL
bakteri yang telah dikocok dengan
shaker selama 24 jam dipindahkan ke
dalam 50 ml media NB steril dan
diinkubasi pada suhu 37 0C dengan
kecepatan 125 rpm. Sebanyak 5 ml
sampel bakteri uji tersebut dimasukkan
ke dalam kuvet. Sebagai blanko
digunakan 5 mL media NB steril. Sampel
bakteri uji diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer pada
panjang gelombang 620 nm setiap 2 jam
sekali mulai jam ke-0 sampai jam ke-24.
Absorbansinya dibaca sampai mencapai
0.6-0.8 (setara dengan konsentrasi 106108 sel/ml). Bakteri dengan absorbansi
0.6-0.8 digunakan untuk uji selanjutnya
(uji antibakteri).
Dalam
kurva
pertumbuhan
dilakukan juga metode TPC (total plate
count).
Hasil
analisis
dengan
28
spektrofotometer dibandingkan dengan
metode TPC untuk menghasilkan kurva
pertumbuhan bakteri. TPC dilakukan
dengan 1 mL bakteri uji yang telah
dilakukan pengenceran dimasukan
kedalam
cawan
perti
dengan
menggunakan metode sebar. Selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24
jam.
c. Uji Aktivitas Antibakteri
Masing-masing sebanyak 1 mL
bakteri uji dengan pengenceran 10-8
dituang kedalam cawan petri, kemudian
ditambahkan 20 mL media NA dengan
suhu 40 0C lalu didinginkan. Selanjutnya
kertas cakram direndam dengan dengan
ekstrak belilik dengan konsentrasi 70
mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL
selama 30 menit. Selanjutnya kertas
cakram yang telah dicelupkan kedalam
ekstrak diletakkan dipermukaan agar
yang telah terisi bakteri uji. Kertas
cakram tersebut ditekan menggunakan
pinset steril supaya menempel sempurna
pada permukaan agar. Bakteri uji
selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C
selama 24 jam. Pengujian dilakukan
sebanyak 3 ulangan.
Sebagai
kontrol
positif
digunakan Antibiotik sintetik yaitu
kanamisin (30 mg/mL) untuk bakteri
EPEC, kanamisin (30 mg/mL) untuk
bakteri P. aeruginosa, kloramfenikol (50
mg/mL) untuk bakteri S. aureus dan
kanamisin (40 mg/mL) untuk bakteri
Shigella sp.. 1 ml bakteri uji dengan
pengenceran 10-8 dituang kedalam
cawan petri, kemudian ditambahkan 20
ml media NA dengan suhu 40 0C lalu
didinginkan. Kertas cakram direndam
dengan dengan antibiotik sintetik selama
30 menit. Kertas cakram yang telah
dicelupkan
kedalam
antibiotik
diletakkan dipermukaan agar yang telah
terisi bakteri uji. Bakteri uji selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24
jam.Pengujian dilakukan sebanyak 3
ulangan.
Sebagai
kontrol
negatif
dilakukan tanpa penambahan ekstrak
pada kertas cakram. 1 mL bakteri uji
dengan pengenceran 10-8 dituang
kedalam cawan petri. Selanjutnya
ditambahkan 20 mL media NA pada
suhu 40 0C. Selanjutnya diinkubasi pada
suhu 37 0C selama 24 jam. Pengujian
dilakukan 3 ulangan.
d. Pengukuran Diameter Pembentukan
Zona Bening
Zona bening yang terbentuk oleh
ekstrak
belilik
disekitar
isolat
uji.Pengukuran diameter zona hambat
dilakukan dengan jangka sorong digital.
Rumus Diameter Penghambatan = B-A
Keterangan :
A = Diameter kertas cakram
B = Diameter zona hambatan
Uji Fitokimia Akar Belilik
Analisis fitokimia yang dilakukan dalam
penelitian ini hanya dilakukan secara
kualitatif.Analisis
ini
dilakukan
untuk
mengetahui senyawa-senyawa aktif yang
terkadung dalam akar belilik.
a) Uji Alkaloid
30 mg ekstrak ditambah 10 mL
kloroform-amoniak, kemudian disaring
kedalam
tabung
reaksi.Filtrat
ditambahkan dengan 3-5 tetes asam
sulfat 2 M dan dikocok hingga terbentuk
2 lapisan. Lapisan asam (terdapat pada
bagian atas) dipipet dalam tabung reaksi
lain, lalu ditambahkan dengan 1 pipet
pereaksi
Dragendorff
(campuran
Bi(NO3)2. 5H2O dalam asam nitrat dan
larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukan
dengan terbentuknya endapan jingga
sampai merah coklat pada pereaksi
Dragendorff (Robinson (1995), diacu
dalam Kusuma 2011).
29
b) Uji Saponin
30 mg ekstrak diekstraksi dengan
5 mL dietil eter sehingga terbagi menjadi
2 fraksi yang larut dan yang tidak larut
dalam dietil eter. Fraksi yang tidak larut
dietil eter kemudian ditambahkan air
sebanyak 5 mL dalam tabung reaksi lalu
dikocok. Ekstrak dinyatakan positif
mengandung saponin apabila terdapat
busa dengan ketinggian 1-3 cm bertahan
selama 15 menit (Harborne 1996).
c) Uji Triterpenoid dan Steroid
Fraksi yang larut dalam dietil eter
dari saponin dipisahkan, kemudian
ditambahkan dengan CH3COOH glasial
sebanyak 10 tetes dan H2SO4 pekat
sebanyak 2 tetes.Larutan dikocok
perlahan dan dibiarkan beberapa menit.
Steroid memberikan warna biru atau
hijau, sedangkan untuk triterpenoid
memberikan warna merah atau ungu
(Harborne 1996).
d) Uji Flavanoid
30 mg ekstrak ditambahkan
dengan 100 mL air panas, didihkan
selama 5 menit, kemudian disaring.
Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05
mg serbuk Mg dan HCl pekat, kemudian
dikocok kuat-kuat. Uji positif ditunjukan
dengan terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga (Harborne 1996).
e) Uji Fenolik
30 mg ekstrak ditambahkan 10
tetes
FeCl3
1%.Ekstrak
positif
mengandung fenol apabila menghasilkan
warna hijau, merah, ungu atau hitam
pekat (Harborne 1996).
f) Uji Tanin
Sampel ditambah air panas dan
dididihkan selama 5 menit dan disaring
filtratnya dibagi 2 masing-masing
ditambahkan FeCl3 1% (adanya tannin
dan folifenol terbentuk warna biru hijau
dan ditambah gelatin (adanya tannin
ditandai dengan terbentuknya endapan
berwarna putih) (Harborne 1996).
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor
perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi
ekstrak akar belilik masing- masing dengan 3
taraf konsentrasi ekstrak akar belilik yaitu 70
mg/ml, 80 mg/ml dan 90 mg/ml. Faktor kedua
adalah jenis bakteri patogen yang terdiri dari 4
taraf yaitu EPEC, P. aeruginosa, S. aureus, dan
Shigella sp.. Penelitian dilaksanakan dengan 3
kali ulangan. Parameter yang diamati adalah
pembentukan zona bening. Data kuantitatif
dianalisis menggunakan ANOVA. Jika
berpengaruh nyata (α = 95 %) maka dilakukan
uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan
(Gomes 2007). Hasil uji fitokimia dianalisis
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan diartikan penambahan
teratur semua komponen sel suatu mikroba. Pada
jasad bersel satu, pertumbuhan dapat dilihat
dengan bertambahannya ukuran sel dan setelah
mencapai ukuran tertentu biasanya diikuti proses
pembelahan. Pengukuran pertumbuhan mikroba
secara kuantitatif biasanya disajikan dalam
bentuk kurva yang menunjukan hubungan antara
biomassa dengan waktu (Suharni et al. 2007).
Menurut
Pratiwi
(2008),
pertumbuhan
mikroorganisme terdiri dari 4 fase, yaitu fase
lag, fase log, fase stasioner, dan fase kematian.
Pengukuran untuk pembuatan kurva
pertumbuhan keempat bakteri (EPEC, P.
aeruginosa, Shigella sp. dan S. aureus)
dilakukan dengan metode turbidimetri. Hasil
pengukuran menunjukan bahwa hanya bakteri S.
aureus memiliki kurva pertumbuhan yang
berbeda. Bakteri ini mencapai absorbansi 0,854
pada jam ke-10 sedangkan ke 3 bakteri jam ke-6
sudah mencapai absorbansi 0,833 (P.
aeruginosa), 0,870 (Shigella sp.) dan 0.883
(EPEC).
Hadiwiyoto (1994) menyatakan bahwa
pertumbuhan bakteri mencapai fase log jika
sudah mencapai jumlah sel 107 atau 108 sel/mL
30
yang setara dengan absorbansi 0.7 atau 0.8.
Setiap mikroorganisme memiliki respon yang
berbeda-beda terhadap lingkugannya ternasuk
bakteri. Fardiaz (1992) mengatakan, pada fase
ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi
medium tempat tumbuhnya, seperti pH dan
kandungan nutrisi, juga kondisi lingkungan
termasuk suhu dan kelembaban.
Pengujian mengunakan analisis sidik
ragam dari ekstrak kasar etanol akar belilik
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
enteropatogenik menunjukan bahwa ekstrak
akar belilik tidak berpengaruh nyata terhadap
pembentukan zona bening (Tabel 1). Hal ini
mengindikasikan ekstrak akar belilik kurang
mampu dalam menghambat pertumbuhan
bakteri uji.
Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Kasar Akar Etanol Belilik
terhadap Pembentukan Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik.
Perlakuan
Parameter
Zona hambat
Konsentrasi
Bakteri
Interaksi
KK (%)
F hit
Pr > F
F hit
Pr > F
F hit
Pr > F
1,22tn
0,313
0,68tn
0,573
0,74tn
0,626
92,62 %
Keterangan: tn: Tidak berpengaruh nyata pada taraf 0,05
Pr > F: Nilai Probability
Berdasarkan tabel 1 konsentrasi ekstrak akar
belilik tidak berpengaruh nyata terhadap
pembentukan zona hambat bakteri uji.
Berdasarkan pengamatan ekstrak kasar akar
belilik kurang memiliki kemampuan dalam
menghambat bakteri uji, baik gram negatif
maupun gram positif, sehingga secara statistik
ekstrak kasar akar belilik tidak berpengaruh
nyata terhadap keempat bakteri uji. Hal ini
berarti bakteri uji relatif memberikan respon
yang sama terhadap terhadap ekstrak akar belilik
pada konsetrasi yang diperlakukan. Diameter
zona bening yang terbentuk semakin tinggi
seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak
akar belilik yang diperlakukan (Tabel 2).
Tabel 2. Pengukuran Rata-Rata Diameter Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik dengan
Perlakuan Ekstrak Kasar Etanol Akar Belilik.
konsentrasi ekstrak
Bakteri
70 mg/mL
80 mg/mL
90 mg/mL
(mm)
(mm)
(mm)
Staphylococcus aureus
Shigella sp.
Pseudomonas aeruginosa
Epec
0,913
0,845
1,65
1,51
S. aureus memiliki diameter hambat lebih besar
dibandingkan EPEC, Shigella sp. dan P.
aeruginosa. Hal tersebut menunjukan bahwa
diameter daya hambat yang dibentuk oleh
bakteri gram positif lebih besar dari pada bakteri
gram negatif. Staphylococcus aureus merupakan
5,4
2,407
2,627
2,76
5,43
2,563
2,816
2,846
bakteri gram positif dimana memiliki struktur
dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan
dengan dinding sel bakteri gram negatif
sehingga memudahkan senyawa antibakteri
masuk ke dalam sel bakteri (Jawetz et al. 1986).
Menurut Jawetz et al. (2001), perbedaan
31
kepekaan pada bakteri gram negatif dan gram
ekstrak kasar akar belilik. Siswandono (1995),
positif terhadap zat antibakteri kemungkinan
diacu dalam Ismunandar (2008), menambahkan
karena perbedaan struktur dinding sel, seperti
struktur dinding sel bakteri Gram negatif yang
jumlah peptidoglikan, jumlah lipid, ikatan silang
relatif kompleks tersebut menyebabkan senyawa
dan aktivitas enzim, yang menentukan penetrasi,
antibakteri lebih sukar masuk ke dalam sel dan
pengikat dan aktivitas antibakteri. Terjadinya
menemukan sasaran untuk bekerja.
kerusakan pada membran sel mengakibatkan
Diameter zona hambat bakteri yang
terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzimterbentuk dengan perlakuan ekstrak akar belilik
enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi
lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat
metabolisme (Naidu 2000, diacu dalam Yulianti
kontrol positif dengan menggunakan antibiotik.
2009). Menurut Dewi (2010) dan Radji (2011),
Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan
bakteri gram positif memiliki dinding sel dengan
antibakteri pada ekstrak masih lemah pada
peptidoglikan lebih banyak, sedikit lipid dan
konsentrasi yang diperlakukan, sehingga untuk
dinding sel mengandung polisakarida (asam
bakteri S. aureus, Shigella sp., P. aeruginosa
teikoat), sedangkan bakteri gram negatif lebih
dan EPEC dibutuhkan konsentrasi yang lebih
banyak mengandung lipid, sedikit peptidoglikan
tinggi. Ekstrak akar belilik tetap dianggap
dan membran luar berupa bilayer yang berfungsi
berpotensi sebagai antibakteri karena ekstrak
sebagai pertahanan selektif senyawa-senyawa
memberikan diameter zona hambat mulai dari
yang keluar atau masuk sel. Perbedaan membran
konsentrasi ekstrak 70 mg/mL, 80 mg/mL dan
antara kedua bakteri gram positif dan gram
90 mg/mL. Hasil analisis sidik ragam kontrol
negatif tersebut juga mengakibatkan respon
positif disajikan dalam tabel 3.
yang berbeda terhadap senyawa antibakteri dari
Tabel 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Antibiotik terhadap Pembentukan
Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik.
Perlakuan
Parameter
Zona hambat
Konsentrasi &
jenis antibiotik
Bakteri
Pr > F
Interaksi
F hit
Pr > F
F hit
F hit
5,71*
0,009
8,29* 0,0006 1,70tn
KK (%)
Pr > F
0,16
28,08%
Keterangan: *: Berbeda nyata pada taraf 0,05
Pr > F: Nilai Probability
Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan
kontrol positif yaitu (kloramfenikol 50 mg/mL,
kanamisin 30 mg/mL, dan kanamisin 40 mg/mL)
terhadap bakteri uji menunjukan bahwa
perlakuan perbedaan konsentrasi dan jenis
bakteri berpengaruh nyata terhadap zona
hambat.
Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Pengaruh Antibiotik Dalam Pembentukan Zona
Hambat terhadap Bakteri enteropatogenik
Bakteri
S. aureus
Antibiotik &
konsentrai (mg/mL)
kanamisin 30
Diameter (mm)
Standar Daya Hambat
22,703abcd
sangat kuat
32
kanamisin 40
25,227abc
sangat kuat
26,73ab
sangat kuat
kanamisin 30
21,400abcde
sangat kuat
kanamisin 40
29,403a
sangat kuat
kloramfenikol 50
27,577ab
sangat kuat
P.aeruginosa kanamisin 30
12,430de
Kuat
kanamisin 40
13,350de
Kuat
kloramfenikol 50
15,350cde
kuat
kanamisin 30
11,283e
Kuat
kanamisin 40
16,503bcde
kuat
30,793a
sangat kuat
kloramfenikol 50
Shigella sp.
EPEC
kloramfenikol 50
Keterangan: Angka yang diikiti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada Uji Duncan
Bold Hitam (antibiotik yang memiliki diameter zona hambat paling besar
Berdasarkan
tabel
4
Kontrol
positif
menunjukkan perbedaan yang nyata dalam uji
Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diameter zona hambat yang dibentuk oleh
antibiotik lebih besar pada bakteri gram negatif
EPEC yaitu 30,793 mm dibandingkan bakteri
gram positif S. aureus yaitu 26,73 mm.
Uji Duncan terhadap diameter zona
hambat bakteri S. aureus untuk kanamisin 30
mg/mL (22,703 mm), kanamisin 40 mg/mL
(25,227 mm) dan kloramfenikol 50 mg/mL
(26,73 mm) menunjukkan perbedaan nyata
terhadap antibiotik yang digunakan. Hal ini
berarti antibiotik yang digunakan telah
menunjukkan efek yang berbeda dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus.
Uji Duncan terhadap diameter zona
hambat bakteri EPEC untuk untuk kanamisin 30
mg/mL (11,283), kanamisin 40 mg/mL (16,503
mm) dan kloramfenikol 50 mg/mL (30,793 mm)
menunjukkan perbedaan nyata terhadap
antibiotik yang digunakan. Hal ini berarti
antibiotik yang digunakan telah menunjukkan
efek yang berbeda dalam menghambat
pertumbuhan bakteri EPEC.
Uji Duncan terhadap diameter zona
hambat bakteri P. aeruginosa untuk untuk
kanamisin 30 mg/mL (12,430 mm) dan
kanamisin
40
mg/mL
(13,350
mm)
menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini berarti
antibiotik (kanamisin 30 mg/mL dan kanamisin
40 mg/mL) yang digunakan memberi efek yang
sama dalam menghambat pertumbuhan bakteri
P. aeruginosa. Namun, pada antibiotik
kloramfenikol 50 mg/mL (15,350 mm)
menunjukkan perbedaan nyata terhadap
kanamisin 30 mg/mL dan kanamisin 40 mg/mL.
Hal ini berarti kloramfenikol 50 mg/mL yang
digunakan telah menunjukkan efek yang
berbeda dalam menghambat pertumbuhan
bakteri P. aeruginosa, dibandingkan kanamisin
30 mg/mL dan kanamisin 40 mg/mL.
Uji Duncan terhadap diameter zona
hambat bakteri Shigella sp untuk untuk
kanamisin 30 mg/mL (21,400), kanamisin 40
mg/mL (29,403 mm) dan kloramfenikol 50
mg/mL (27,577 mm) menunjukkan perbedaan
nyata terhadap antibiotik yang digunakan. Hal
ini berarti antibiotik yang digunakan telah
menunjukkan efek yang berbeda dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Shigella sp..
33
Berdasarkan pembentukan zona hambat,
perlakuan
yang
paling
menghambat
pertumbuhan 3 bakteri uji (S. aureus, P.
aeruginosa dan EPEC) adalah antibiotik
kloramfenikol 50 mg/mL. Kloramfenikol
bekerja menghambat sintesis protein pada sel
bakteri. Kloramfenikol akan berikatan secara
reversibel dengan unit ribosom 50 S, sehingga
mencegah ikatan antara asam amino dengan
ribosom (Kusuma 2011).
Pembentukan zona hambat paling tinggi
bakteri Shigella sp. yaitu antibiotik kanamisin 40
mg/mL. Menurut Jawetz et al. (2001), kanamisin
merupakan antibiotik golongan aminoglikosida
yang bersifat bakteriosida pada bakteri gram
negatif. Mekanisme kerja antibiotik golongan
aminoglikosida yaitu melalui hambatan sintesis
protein. Zona hambat ditunjukkan oleh adanya
daerah bening di sekitar kertas cakram yang
dikarenakan pada daerah tersebut tidak
ditumbuhi bakteri.
Menurut Davis and Stout (1971), kriteria
kekuatan daya antibakteri sebagai berikut:
diameter zona hambat 5 mm atau kurang
dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm
dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm
dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau
lebih dikategorikan sangat kuat. Berdasarkan
kriteria tersebut, maka daya antibakteri ekstrak
akar belilik pada bakteri Staphylococcus aureus,
Shigella sp., P. aeruginosa dan EPEC
dikatagorikan lemah. Namun ekstrak akar belilik
masih potensial dalam menghambat bakteri.
Ekstrak mampu menghambat bakteri secara
efektif jika konsentrasi ekstrak yang digunakan
lebih tinggi.
Dalam pengujian terhadap kontrol
negatif yaitu tanpa penambahan ekstrak dan
antibiotik (akuades) tidak membentuk zona
hambat terhadap bakteri uji. Hal ini menunjukan
bahwa kontrol negatif tidak berpengaruh
terhadap pertumbuhan bakteri. Menurut
Sukandar et al (2010), akuades tersebut tidak
memiliki kemampuan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri uji.
Ektrak kasar akar belilik dalam
penelitian ini tidak begitu berpengaruh dalam
menghambat bakteri enteropatogenik. Padahal
didalam akar belilik berdasarkan pengujian
fitokimia terkandung senyawa antibakteri
seperti alkaloid, saponin, dan fenol. Hal ini
kemungkinan karena kandungan zat aktif yang
terdapat pada akar tidak cukup kuat
menghasilkan zona hambat. Hasil uji kualitatif
fitokimia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kasar Etanol Akar Belilik
Uji Fitokimia
Hasil Uji
Keterangan
Uji Saponin
+
Terbentuk busa
Uji Triterpenoid dan Steroid
-
Berwarna bening
Uji Flavonoid
-
Berwarna bening
Uji Alkaloid
+
Terbentuk endapan
Uji Fenolik
+
Terbentuk warna hijau
Uji Tanin
-
Berwarna bening
Keterangan: + (mengandung senyawa aktif)
- (tidak mengandung senyawa aktif)
Pada pengujian fenolik, pada ekstrak
akar belilik yang ditambah dengan senyawa
kimia FeCl3 terbentuk warna hijau dan merah
bata. Hal ini menunjukan adanya senyawa
fenolik pada akar belilik. Senyawa ini bisa
dijadikan sebagai antibakteri. Menurut Yulianti
(2009), senyawa fenol mampu memutuskan
ikatan peptidoglikan saat menerobos dinding sel.
Ikatan peptidoglikan ini secara mekanis
memberi kekuatan pada sel bakteri. Naidu
(2000), diacu dalam Yulianti (2009),
menyatakan bahwa mekanisme senyawa fenol
34
sebagai zat antibakteri adalah dengan cara
meracuni protoplasma, merusak dan menembus
dinding sel, serta mengendapkan protein sel
mikroba.
Naidu (2000), diacu dalam Yulianti
(2009), menambahkan setelah menerobos
dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan
kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatanikatan pada komponen membran sel (seperti
protein dan fosfolipida) sehingga meningkatkan
permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan
pada membran sel mengakibatkan terhambatnya
aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik
yang diperlukan dalam reaksi metabolisme.
Akar belilik positif mengandung
senyawa saponin. Saponin merupakan glikosida
triterpenoid dan sterol (Robinson 1995). Busa
yang ditimbulkan saponin terjadi karena adanya
kombinasi struktur senyawa penyusunnya yaitu
rantai sapogenin nonpolar dan rantai samping
polar yang larut dalam air (Oleszek 2002, diacu
dalam Faradisa 2008). Saponin termasuk dalam
fitokimia yang memiliki spektrum aktivitas
sebagai antijamur dan antimikroba. Menurut
Robinson (1995), mekanisme kerja saponin
sebagai antibakteri adalah menurunkan tegangan
permukaan sehingga mengakibatkan naiknya
permeabilitas atau kebocoran sel dan
mengakibatkan komponen intraseluler akan
keluar.
Pengujian
alkaloid
dengan
menambahkan
kloroform-amoniak
yang
menyebabkan terbentuk 2 lapisan asam,
selanjutnya ditetesin dengan asam sulfat. Pada
bagian atas lapisan asam ditetesin dengan
Dragendroff menunjukan hasil terbentuk
endapan dan berwarna kuning. Menurut
Harborne (1996), hasil positif pada uji alkaloid
dengan menggunakan pereaksi Dragendorff
ditandai dengan terbentuknya endapan jingga
hingga merah coklat sampai kuning. Endapan
tersebut adalah kalium alkaloid dan dengan
adanya penambahan HCl bertujuan karena
alkaloid bersifat basa sehingga biasanya
diekstrak dengan pelarut yang mengandung
asam.
Alkaloid juga memiliki sifat antibakteri,
karena memiliki kemampuan menginterkalasi
DNA (Murphy 1999, diacu dalam Ismunandar
2008). Menurut Robinson (1995), mekanisme
yang diduga adalah dengan cara mengganggu
komponen penyusun peptidoglikan pada sel
bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan
kematian sel.
KESIMPULAN
1. Ekstrak akar belilik kurang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri uji,
namun memberi efek paling baik
terhadap bakteri S. aureus pada
konsentrasi 90 mg/mL.
2. Senyawa aktif yang terdapat pada
ekstrak akar belilik yaitu saponin,
alkaloid dan fenolik.
DAFTAR PUSTAKA
Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional
Tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh
Masyarakat Suku Lom di Dusun Air Abik
desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu
Bangka [skripsi]. Balunijuk: Program Studi
Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan
Biologi Universitas Bangka Belitung.
Annaria S. 2009. Identifikasi Senyawa Organik
Bahan
Alam
Pada
Daun
Melur
(Brucea
javanica
(L.)
Merr).http:www.tarmiziblog.blogspot.com/2
009/02/40.html. [5 Februari 2013].
Cappuccino
JG,
Sherman
N.
1987.
Microbiology: A Laboratory Manual.
California:
The
Benjamin/Cummings
Publishing Company.
Dalimarta S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia.Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Hlm: 28- 33
Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Etanol Buah Mengkudu(Morinda citrifolia,
Linnaeus) terhadap Bakteri Pembusuk
Daging Segar. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
35
Gomes G. 2007. Prosedur Statistik untuk
Penelitian Pertanian. Jakarta: Universitas
Indonesia. Edisi kedua.
Hadiwiyoto S. 1994. Teori Dan Prosedur Mutu
Susu & Hasil Olahannya.Yogyakarta:
Liberty.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun
Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Bantung: Institut Teknik Bandung.
Hendrian&Hadiah JT. 1999. Koleksi Tumbuhan
Obat Kebun Raya Bogor. Bogor: UPT Balai
Pengembangan Kebun Raya Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Ismunandar W. 2008. Potensi Antibakteri Kulit
Kayu Dan Daun Tanaman Akway (Drymis
sp) Dari Papua. [skripsi]. Tidak diterbitkan.
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Pertanian Bogor Bogor.
Jawetz,
Melnick,
Adelberg’s.
2001.
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba
Medika.
Kusuma R. 2011. Uji Fitokimia Ekstrak Umbut
Rotan Sega (Calamus caesius Blume.).
http://www.fmipa.unmul.ac.id/pdf/158.
[5
Februari 2013].
Melki, Ayu WEP, Kurniati. 2011. Uji
Antibakteri Ekstrak Gracilaria sp (Rumput
Laut) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan
Staphylococcus
aureus.http://eprints.unsri.ac.id/1257/2/Melk
iujiantibak
teriEkstrakGrasilariasp.pdf [07 Februari
2013].
Mursito B. 2002. Ramuan Tradisional untuk
Penyakit Malaria. Jakarta: Penebar Swadaya.
Oktora. L. 2006. Pemanfataan Obat Tradisional
dengan
Pertimbangan
Manfaat
dan
Keamanannya.
http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/
2006/v03n01/lusia0301.pdf[03
November
2012].
Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi.
Jakarta: Erlangga
Poeloengan M, Chairul, Komala I, Salmah S,
Susan MN. 2006. Aktivitas Antimikroba dan
Fitokimia
dari
Beberapa
Tanaman
Obat.Seminar
Nasional
Teknologi
Peternakan dan Vateriner 2006.
Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Buku Kedokteran
ECG, Jakarta.
Robinson, T., 1995, Kandungan Organik
Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh
Kosasih, P., Edisi Keenam, 72, 157, 198, ITB,
Bandung.
Salmah. 2010. Isolasi dan Identifikasi Cendawan
Endofit yang Berasal dari Tanaman Obat Di
Kecamatn Koba, Lubuk Besar dan Pangkalan
Baru, Kabupaten Bangka Tengah. [skripsi].
Balunijuk: Program Studi Biologi Fakultas
Pertanian, Perikanan, dan Biologi Universitas
Bangka Belitung.
Suharni TA, Juni NS, Sutariningsih SAE. 2007.
Mikrobiologi
Umum.
Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya
A. 2010. Karakterisasi Senyawa Aktif Anti
Bakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang
(Etlingera elatior) Sebagai Bahan Pangan
Fungsional. Valensi. 2 (1): 333-339.
Widayat T, Subositi D. 2009. Kekerabatan
Filogenetik Buah Makassar (Brucea javanica)
Berdasarkan Gen Ribulosa-1,5-bifosfat
Karboksilase/Oksigenase.
http://herbalnet.healthrepository.org/bitstrea
m
/123456789/2592/1/Makalah%20POKJANA
S.pdf Hlm: 1-8. [5 Februari 2013].
Wilianti NP. 2009. Rasionalitas Penggunaan
Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran
Kemih Pada Bangsal Penyakit Dalam Di
Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Yulianti, O.N., 2009. Kajian Aktivitas
Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak Biji,
Kulit Buah, Batang, dan Daun Tanaman Jarak
Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi S1
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Zamar F. 2011. Isolasi Alkaloid Fraksi Aktif
Ekstrak Buah Melur (Brucea javanica (L)
Merr.) Sebagai Antibakteri. [skripsi] Padang:
Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas.
36
UJI KUALITAS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI
KECAMATAN RANGKUI, KOTA PANGKALPINANG 1)
Yulia Sari, Henny Helmi 2), Rosha Kurnia Fembriyanto 3)
Abstract
The drinking water is water have been processed or without processing that meets the health
requirements. Drinking water needs can be met with refill drinking water obtained from drinking water
refill depot. The purpose of this research is to know the water quality (raw and drinking water) based on
physical parameters (smell, taste and TDS), chemical (pH, Mn and Al) and biology (coliform and
Escherichia coli) and to observe hygiene and sanitation drinking water refill depot (DAMIU) in District
Rangkui, Pangkalpinang. The research method consisted of three stages; the determination of the number
of samples, data collection and analysis of drinking water refill. The results showed the water quality
(raw and drinking water) based on physical parameters (smell, taste, TDS), chemical (pH, Al, Mn), and
biology (Coliform, E. coli) has been qualified for the Decree of the Minister of Health Regulation No.
416 of 1990 about raw water and Minister of Health Regulation No: 492/PER/IV/2010 about the quality
of drinking water has been qualified except pH (raw water ranged from 4.02 to 5.21, drinking water
ranged from 3.82 to 5.94) and Al (0,23-0,307 mg/L). Based on category hygiene and sanitation of 12.
DAMIU in Rangkui is allqualify.
Keywords: Drinking Water, DAMIU, Quality, Rangkui.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air minum merupakan kebutuhan dasar
dalam kehidupan. Air minum adalah air yang
melalui proses pengolahan atau tanpa proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan
dan dapat langsung diminum (Permenkes RI No.
492/ MENKES/PER/ IV/2010). Masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan air minum lebih
memilih cara yang lebih praktis serta ekonomis.
Salah satu alternatif yaitu air minum isi ulang
(Pracoyo 2006 dalam Simbolon et al. 2012).
Air minum isi ulang (AMIU) merupakan
sumber air minum yang digunakan oleh
masyarakat termasuk di Kecamatan Rangkui.
Rangkui merupakan sebuah kecamatan di Kota
Pangkalpinang yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak di antara kecamatan yang lain di kota
tersebut (BPS 2014). Berdasarkan data Dinas
Kesehatan kota Pangkalpinang (2014), jumlah
air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui
Pangkalpinang sebanyak 23 depot air minum.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010,
persyaratan kualitas air minum untuk seluruh
penyelenggara air minum wajib memenuhi
persyaratan fisika, kimia, dan biologi. Oleh
karena itu, semua air minum harus memenuhi
persyaratan yang telah ditetapkan supaya tidak
menggangu kesehatan. Usaha air minum isi
ulang kebanyakan masih berskala kecil
terkadang dari segi pengetahuan dan saranaprasarana masih kurang jika dibandingkan
dengan standar kesehatan, sehingga kualitas air
minum tersebut masih diragukan karena dapat
mempengaruhi kualitas air yang dihasilkan
(Pradana & Marsono 2013). Hal itu didukung
dari hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kota
Pangkalpinang (2014), menyatakan bahwa dari
8 depot yang diperiksa di Kecamatan Rangkui
terdapat 7 depot yang tidak memenuhi syarat.
Parameter yang tidak memenuhi syarat yaitu
pH, mangan dan coliform. Berdasarkan hal
tersebut, maka kualitas air minum masih perlu
diuji untuk memenuhi persyaratan kesehatan
sehingga penelitian tentang uji kualitas air
minum isi ulang khususnya di Kecamatan
Rangkui
Pangkalpinang
penting
untuk
dilakukan.
.
Tujuan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
yaitu:
1. Mengetahui kualitas air minum pada DAMIU
di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang
berdasarkan parameter fisik (bau, rasa, dan
TDS), kimia (pH, mangan, dan aluminium),
dan biologi (Coliform dan E.coli).
2. Melakukan observasi higiene sanitasi
DAMIU di Kecamatan Rangkui, Kota
Pangkalpinang.
37
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada
bulan Januari-Agustus 2015. Pengujian
parameter fisika, kimia dan biologi akan
dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi
Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi
Universitas Bangka Belitung dan Pengujian
cemaran logam Al dan Mn akan dilaksanakan di
Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
Metode Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian ini terdiri
dari penentuan lokasi pengambilan sampel,
pengambilan sampel dan pengumpulan data,
serta analisis laboratorium.
a. Penentuan jumlah sampel
Jumlah sampel yang diambil dalam
penelitian ini adalah sebanyak 12 depot dari 23
depot
di
Kecamatan
Rangkui,
Kota
Pangkalpinang.
Pengambilan
sampel
menggunakan metode simple random sampling
(Riduwan 2004).
b. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan bersamaan
dengan pengambilan sampel. Pengambilan data
dilakukan dengan mengisi kuesioner dan
mengisi lembar observasi secara langsung
(Marpaung dan Marsono 2013).
c. Analisis air minum isi ulang
Analisis dilakukan pada air baku dan air
minum hasil olahan depot. Analisis sampel
dilakukan pada beberapa parameter (Marpaung
dan Marsono 2013). Batasan parameter yang
digunakan pada analisis ini adalah sebagai
berikut:
1. Parameter fisika, terdiri dari: bau, rasa dan
total padatan terlarut (TDS)
2. Parameter kimia, terdiri dari: pH, cemaran
logam Al dan Mn
3. Parameter biologi, terdiri dari: cemaran
coliform dan Escherichia coli
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah akuades, Alkaline-Cyanida Reagent,
alkohol 70%, Ascorbic Acid Powder Pilows,
larutan alfa-naftol, larutan Penyangga pH 7,
larutan KOH 40%, media Lactose Broth, media
Brilliant Green Lactose Broth (BGLB), media
Eosine Methylene Blue Agar (EMBA), media
MR-VP, media Nutrient Agar (NA), media
Simmon’s Citrate Medium (SCA), media
Trypton Broth (TB), PAN Indicator Solution
0,1%, reagen Al-1, reagen Al-2, reagen Al-3,
pereaksi indol, pereaksi merah metil dan sampel
air minum yang didapatkan dari depot AMIU
yang ada di Kecamatan Rangkui Pangkalpinang
beserta air bakunya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah autoklaf listrik, bunsen, cool box,
erlenmeyer, inkubator, jarum ose, Laminar Air
Flow (LAF), mikropipet, pH meter, pipet
volumetrik, Spektrofotometer, tabung Durham,
tabung Nessler, tabung reaksi, TDS meter,
timbangan analitik dan vortex
Prosedur Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan dengan
cara sampel diambil dari kran masing- masing
sebanyak 500 mL (air baku dan air hasil olahan
depot) secara aseptis. Menurut Gandjar (1992
diacu dalam Sapan 2007) menyatakan bahwa
pengambilan sampel dilakukan dengan cara
membuka kran dan dibiarkan air mengalir
selama 2-3 menit lalu kran ditutup kembali.
Mulut kran dan botol sampel dibersihkan
menggunakan alkohol 70 %. Kemudian kran
dibuka dan biarkan air mengalir selama 1 menit,
lalu masukan air kedalam botol sampel. Mulut
botol sampel dilewatkan pada Bunsen dan botol
sampel ditutup. Botol sampel dimasukan dalam
cool box untuk segera di uji.
a. Parameter fisik
Parameter fisik yang diuji adalah jumlah
zat terlarut (TDS), bau dan rasa. Bau dan rasa
diuji secara organoleptik mengacu pada metode
SNI-01-3553-2006 dengan 3 kali ulangan
menggunakan 3 orang responden. Pengujian
TDS mengacu pada Setiari (2012). Pengujiaan
zat terlarut dilakukan dengan cara elektroda
TDS meter dimasukkan dalam sampel dan
ditunggu hingga nilai yang tertera pada TDS
meter stabil. Nilai yang tertera pada alat
merupakan nilai TDS yang terkandung di dalam
sampel yang diukur. Setelah selesai pengukuran
eletroda TDS meter dikeluarkan dari sampel dan
37
dibersihkan dengan akuades yang berada dalam
botol pembersih lalu dikeringkan dengan tisu.
b. Parameter kimia
Parameter kimia yang diuji adalah pH
mengacu pada Alfian (2004), cemaran logam Al
dan Mn mengacu pada metode spektrofotometri.
Pengukuran pH dilakukan dengan cara pH
meter
dikalibrasi/distandarisasi
dengan
memasukan elektroda pH meter ke dalam
larutan buffer (penyangga) pH 7 sehingga
pembacaan menunjukan pH 7. Elektroda pH
meter dikeluarkan dari larutan penyangga,
kemudian dibersihkan dengan akuades yang
berada dalam botol pembersih. Setelah bersih
elektroda tersebut dimasukan ke dalam sampel
yang akan dianalisis. Pembacaan pada pH meter
menyatakan pH. Analisis dilakukan secara tiga
kali ulangan.
Pengujian logam Al dilakukan dengan
cara sampel sebanyak 5 mL dimasukan ke dalam
tabung nessler dan reagen Al-1 ditambahkan
sebanyak 0,18 gr sambil diaduk. Selanjutnya
reagen Al-2 ditambahkan sebanyak 1,2 mL.
Setelah itu tambahkan reagen Al-3 sebanyak
0,25 mL. Setiap penambahan reagen selalu
diaduk. Kemudian biarkan selama 2 menit dan
baca di spektrofotometer dengan panjang
gelombang 522 nm.
Pengujian logam Mn dilakukan dengan
dengan cara sampel sebanyak 25 mL dimasukan
ke dalam tabung nessler. Selanjutnya satu
bungkus ascorbic acid powder pillows ditambah
dan diaduk. Kemudian tambahkan 1 mL
Alkaline-cyanide reagen sambil diaduk. Setelah
itu, PAN indicator solution 0,1 % ditambahkan
serta diaduk dan serapan warna yang terjadi di
ukur dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang 560 nm.
c. Parameter biologi
Parameter biologi yang diuji adalah
Coliform dan Escherichia coli mengacu pada
Radji et. al (2008). Analisis cemaran coliform
dilakukan dengan satu kali ulangan dan analisis
E. coli dilakukan dengan 2 kali ulangan.
Pengujian Coliform dilakukan dengan
metode Angka Paling Mungkin (APM).
Pengujian APM dilakukan dengan dua tahap
yaitu, Uji Praduga dan Uji Konfirmasi.
1. Uji Praduga
Uji ini dilakukan dengan cara sampel
dikocok homogen dan dipipet sebanyak 1 mL
ke dalam tabung reaksi steril yang berisi 9
mL akuades steril dan dikocok sampai
homogen.
Selanjutnya
dilakukan
pengenceran
secara
serial
sehingga
didapatkan pengenceran 10-2 dan 10-3.
Setelah itu, sampel pengenceran 10-1 dipipet
sebanyak 1 mL ke dalam masing-masing 3
tabung reaksi yang berisi 5 mL medium
Lactose Broth yang di dalamnya terdapat
tabung Durham terbalik (Seri A). Begitu pula
terhadap pengenceran 10-2 pada 3 deret
tabung kedua (Seri B) dan pengenceran 10-3
pada 3 deret tabung ketiga (Seri C). Seluruh
tabung diinkubasi pada suhu 370 C selama
24–48 jam. Setelah 24 jam catat jumlah
tabung yang membentuk gas pada masingmasing pengenceran dan inkubasi kembali
tabung yang tidak membentuk gas selama 24
jam. Kemudian catat jumlah tabung yang
membentuk gas.
2. Uji konfirmasi
Uji konfirmasi dilakukan dengan cara
memindahkan sebanyak 1 ose dari tiap
tabung yang membentuk gas pada media
Lactose Broth ke dalam tabung yang berisi 10
mL Brilliant Green Lactose Bile 2%.
Inkubasikan semua tabung pada suhu 370 C
selama 24 - 48 jam.
Pengujian Escherichia coli dilakukan
dengan cara masing-masing biakan positif pada
uji konfirmasi bakteri coliform, diambil satu ose
dan diinokulasikan pada media Eosin Methylene
Blue Agar (EMBA) dan diinkubasi pada suhu 37
0
C selama 24 jam. Koloni warna hijau dengan
kilap logam dan bintik biru kehijauan dipilih
dari media EMBA dan digoreskan pada media
Nutrient Agar. Setelah diinkubasi pada suhu 37
0
C selama 24 jam dilakukan identifikasi
Escherichia coli dengan uji IMViC (Indol, Metil
merah, Voges Praskauer dan Sitrat).
Menurut Irianto (2006 diacu dalam Nuria
2009) menyebutkan tahapan uji IMViC yaitu
sebagai berikut:
1.
Uji Indol dilakukan dengan cara
menginokulasikan satu ose biakan NA miring
pada media TB dan diinkubasi pada suhu 3537oC selama 24-48 jam. Biakan tersebut
38
ditambahkan beberapa tetes pereaksi Indol
dan dikocok, didiamkan selama 10 menit.
Jika terbentuk cincin berwarna merah cherry
di permukaan biakan menunjukkan reaksi
indol positif.
2. Uji Merah Metil dilakukan dengan
menginokulasikan satu ose biakan NA miring
pada media MR-VP dan diinkubasi pada 3537oC selama 24-48 jam. Biakan tersebut
ditambahkan 5 tetes larutan merah metil dan
dikocok. Biakan yang kemudian berwarna
merah menunjukkan reaksi positif.
3. Uji Voges Proskauer dilakukan dengan cara
menginokulasikan satu ose biakan NA miring
pada media MR-VP kemudian diinkubasi
pada 35-37oC selama 24-48 jam. Biakan
tersebut ditambahkan 0,6 mL larutan alfanaftol dan 0,2 mL larutan KOH 40%, dikocok
dan dibiarkan beberapa menit. Biakan yang
berwarna merah muda hingga merah menyala
menunjukkan reaksi positif.
4.
Uji
Sitrat
dilakukan
dengan
menginokulasikan satu ose biakan NA miring
diinokulasikan pada media SCA dan
diinkubasi pada 35-37oC selama 24-48 jam.
Perubahan warna biakan menunjukkan hasil
positif, bila biakan tetap hijau berarti negatif.
Analisis data
Hasil observasi higiene sanitasi yang
diperoleh dibandingkan dengan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Republik Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004
tentang Persyaratan Teknis Depot dan
Perdagangannya, sedangkan hasil pengujian air
baku dibandingkan dengan Keputusan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990
tentang persyaratan kualitas air dan air minum
dibandingkan dengan Peraturan Menteri
Kesehatan
Nomor:
492/MENKES/PER/IV/2010 untuk masingmasing parameter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Air Baku dan Air Minum
Pengujian kualitas air baku depot air minum
isi ulang di Kecamatan Rangkui, Kota
Pangkalpinang dilakukan pemeriksaan secara fisika,
kimia dan biologi yang mengacu pada Keputusan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun
1990 tentang persyaratan kualitas air, sedangkan
analisis kualitas air minum mengacu pada Keputusan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010, sebagai standar untuk
mengetahui kualitas air minum isi ulang yang
memenuhi syarat kesehatan. Hasil pengujian air
baku dan air minum berdasarkan parameter fisika
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Parameter fisika pada air baku dan air minum.
Kode Sampel
Bau
A
−
B
−
C
−
D
−
E
−
F
−
G
−
H
−
I
−
J
−
K
−
L
−
Air Baku
TDS
Rasa
(mg/L)*
23
−
62
−
38
−
48
−
95
−
272
−
31
−
24
−
61
−
33
−
38
−
40
−
Ket.
Bau
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
MS
−
Air Minum
TDS
Rasa
(mg/L)*
23
−
64
−
39
−
49
−
106
−
258
−
32
−
27
−
62
−
38
−
34
−
39
−
Ket : MS= Memenuhi Syarat, (*) = Total Padatan Terlarut, (-) = Tidak ada
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa
hasil pemeriksaan bau pada air baku semua depot
Ket.
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
MS
memenuhi syarat. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990, air bersih harus
39
tidak berbau. Hal ini diduga sumber air yang
digunakan berasal dari sumber yang baik dan
berkualitas. Berdasarkan hasil observasi sumber air
yang digunakan pada depot air minum berasal dari
air bor dan air sumur. Depot yang menggunakan
sumber air bor sebanyak 9 depot (75%) dan air
sumur sebanyak 3 depot (25%). Menurut Hakim
(2014), kualitas air tanah dangkal sebagai sumur air
minum cukup baik, tetapi kuantitasnya kurang, dan
tergantung pada musim. Air dengan cara
pengeboran, umumnya bebas dari kotoran
mikrobiologi
dan secara langsung dapat
dipergunakan sebagai air minum (Suryana 2013).
Pemeriksaan rasa pada air baku masih
memenuhi syarat. Uji rasa dilakukan secara
organoleptik yang mengacu pada prosedur yang
ditentukan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 416 Tahun 1990, air bersih harus tidak berasa.
Menurut Yusuf (2012) menyatakan penyebab air
berasa berhubungan dengan bau pada air. Air yang
berbau memiliki rasa kurang enak. Selain itu, bau
dan rasa dapat disebabkan oleh bahan organik
maupun anorganik yang terdapat di dalam air.
Pada Tabel 2 semua sampel air minum
berdasarkan pengujian bau dan rasa yang diperiksa
memenuhi syarat sebagai air minum. Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
No.
492/MENKES/PER/IV/2010 menyebutkan syarat
air minum diantaranya adalah tidak berbau dan tidak
berasa. Pemeriksaan air tidak berasa diduga lidah
responden sudah terbiasa minum air yang digunakan
meskipun pH air rendah. Selain itu, pengujian bau
dan rasa menunjukkan bahwa sistem carbon filter
yang terdapat pada depot air minum isi ulang di
Kecamatan Rangkui masih berfungsi dengan baik
dalam menyaring seluruh senyawa organik yang
dapat membusuk atau berasa dan senyawa lain
termasuk senyawa anorganik yang dapat
mempengaruhi kualitas air. Fungsi carbon filter
adalah sebagai penyerap bau, rasa, warna dan bahan
organik (Asfawi 2004).
Pengukuran TDS (Total Dissolved Solid atau
Jumlah Padatan Terlarut) pada semua depot
memenuhi syarat. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990, pada air bersih
nilai TDS maksimum 1500 mg/L. Berdasarkan
pemeriksaan nilai TDS pada semua depot memenuhi
syarat sehingga aman digunakan. Nilai TDS pada air
minum masih dibawah ambang batas yang telah
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan No. 492 Tahun
2010. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.
492/MENKES/PER/IV/2010 menyebutkan air
minum yang memenuhi syarat adalah nilai TDS ≤
500 mg/L. Konsentrasi zat terlarut yang tinggi dapat
mempengaruhi kejernihan, warna dan rasa (Mukti
2008).
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa depot F
mempunyai nilai TDS tertinggi dari depot lainnya.
Hal ini diduga karena sumber air baku berada pada
lingkungan yang tidak dijaga kebersihan sehingga
bahan organik/anorganik mudah terserap dalam air
baku tetapi depot F air bakunya masih memenuhi
syarat meskipun pada saat di lapangan tampak
terlihat tumpukan sampah yang dapat mencemari air
baku. Pada sampel B, C, D E, G, H I dan J terlihat
nilai TDS air minum lebih tinggi dari nilai TDS air
baku. Hal ini diduga karena pada saat air baku
melewati microfilter yang belum diganti terjadi
akumulasi dari zat organik/anorganik sehingga
proses penyaringan tidak berlangsung secara
efektif/sempurna. Proses penyaringan yang tidak
sempurna membuat laju air terhambat. Penggantian
microfilter sebaiknya dilakukan secara berkala yaitu
2-3 bulan sekali (Inviro 2015). Menurut Suprihatin
dan Andriyani (2008) menyebutkan kerja filter dapat
dipengaruhi oleh kejernihan, semakin keruh air baku
semakin berat kerja filter sehingga proses
penyaringan kurang optimal.
Tabel 3 Hasil ANOVA pengaruh alat terhadap parameter TDS dan pH.
Parameter
Jenis air
Fhit
p-value
F tabel
TDS
Air baku
36187,9
7,8
2,21
Air olahan
16372,9
1,07
2,21
Air baku
60,3
9,65
2,21
Air olahan
16,27
1,5
2,21
pH
Berdasarkan analisis keragaman (ANOVA)
(Tabel 3) nilai TDS air baku, terlihat bahwa p-value
lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa
perbedaan higiene sanitasi pada masing-masing
depot tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan
antar nilai TDS. Pada air minum menunjukkan
40
bahwa perbedaan spesifikasi alat tidak
berpengaruh nyata pada nilai TDS antara satu
dengan yang lainnya.
Tabel 4 Parameter kimia air baku dan air minum
Kode Sampel
Air Baku
Air Minum
A
pH
4,2*
Al (mg/L)
0
Mn (mg/L)
0,3
pH
5,9*
Al (mg/L)
0
Mn (mg/L)
0,2
B
4,2*
0,34
0,1
4,0*
0
0,2
C
4,7*
0
0,1
6,5
0
0,2
D
4,4*
0
0,11
4,6*
0
0,112
E
4,0*
0
0,115
3,8*
0,23*
0,2
F
4,0*
0,207
0,2
4,1*
0,307*
0,128
G
4.8*
0
0,1
4,9*
0
0,1
H
4,3*
0
0,1
4,4*
0
0,1
I
5,2*
0
0,2
5,7*
0
0,1
J
4,6*
0
0,1
5,7*
0
0,1
K
4,3*
0
0,1
4,4*
0
0,1
4,3*
0
0,1
4,5*
0
0,1
L
Ket: *) = Tidak Memenuhi Syarat
Pengukuran pH pada air baku menunjukkan
masih rendah dengan rata-rata 4,4 (Tabel 4).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota
Pangkalpinang (2014) menyatakan pH merupakan
masalah yang selalu ditemukan dalam menganalisis
air minum. Henny (2011) menyebutkan bahwa
sebagian besar air di Bangka Belitung bersifat asam
yaitu pHnya 5 ke bawah. Hal ini diperkuat oleh
POKJA AMPL (2004) menyatakan keberadaan
batuan induk yang ada di bawah lapisan permukaan
pulau Bangka berdampak terhadap kualitas air tanah
yang ada sehingga diperkirakan pH air < 6. Menurut
Gupta et al. (2009 dalam Putra 2013) menyebutkan
pH air menentukan sifat korosi, semakin rendah pH
maka sifat korosinya semakin tinggi. Hal ini senada
dengan Said et al. (2008) menyatakan air sebaiknya
netral karena dapat mencegah terjadinya pelarutan
logam dan perkaratan pada perpipaan.
Pada uji pH air minum sebanyak 11 sampel
tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hal ini
menunjukan bahwa pH air di Bangka Belitung asam.
Menurut Peraturan Menkes No. 492/MENKES/
PER/IV/2010, pH untuk air minum berkisar antara
6,5-8,0. pH setiap depot air minum (Tabel 4) tidak
berbeda nyata pada pH depot lainnya. Berdasarkan
uji ANOVA (Tabel 3) nilai pH air baku, terlihat
bahwa p-value lebih besar dari 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa perbedaan higiene sanitasi pada
masing-masing depot tidak menyebabkan perbedaan
yang signifikan antar nilai pH. Pada air minum
menunjukkan bahwa perbedaan spesifikasi alat tidak
berpengaruh nyata pada nilai pH antara satu dengan
yang lainnya, sehingga nilainya seragam.
Pada observasi yang dilakukan sebanyak 2
depot (Depot A dan J) sudah menggunakan bahan
tertentu untuk menetralkan pH yaitu corosek.
Corosek berbentuk butiran agak halus dan berwarna
putih. Cara penggunaanya dengan di letakkan di
dalam filter pertama yang berhubungan dengan air
baku. Menurut Orientalwater (2015) menyebutkan
corosek digunakan untuk menetralkan (menaikkan)
pH air (pH 6 - 6.9). Keunggulan penggunaan corosek
di antaranya mudah larut dalam air, tidak
membutuhkan perlakuan khusus, aman untuk air
minum dan bisa digunakan untuk kolam atau
aquarium.
Berdasarkan pemeriksaan Kadar Al pada air
baku menunjukkan semua depot memenuhi syarat
yang telah ditentukan. Hasil pemeriksaan
menunjukkan 2 depot yaitu B dan F yang terdeteksi
adanya cemaran logam, tetapi nilai tersebut masih di
bawah ambang batas. Berdasarkan Tabel 4 hasil
pemeriksaan Al pada air minum/air olahan ada 2
41
depot yaitu E dan F yang tidak memenuhi syarat
yang telah ditetapkan Pemerintah. Berdasarkan
Peraturan
Menkes
No.
492/MENKES/
PER/IV/2010, batas cemaran logam air minum
adalah 0,2 mg/L. Pada depot E dan F cemaran
logamnya berturut-turut adalah 0,23 mg/L dan 0,307
mg/L. Hal ini diduga karena penggantian filter yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil observasi pada depot tersebut
sistem penggantian filternya tidak dilakukan secara
berkala. Penggantian dilakukan apabila filter sudah
terlihat kotor (berwarna kuning/hijau). Penggantian
filter yang tidak menentu (tanpa jadwal) dapat
mempengaruhi kualitas air. Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 43/MENKES/PER/2014)
menyebutkan filter yang memenuhi syarat adalah
filter yang masih layak pakai (tidak kadaluarsa).
Menurut Inviro (2015), penggantian filter (filter
sedimen) sebaiknya dilakukan sekitar 2-3 bulan
sekali. Menurut Widowati et al. (2008), aluminium
akan bersifat toksik jika pH air bersifat asam.
Aluminium yang tinggi dalam tubuh dapat
menyebabkan penyakit Alzheimer dan pikun
(Ahmad 2004 dalam Damayanti 2014).
Pada pemeriksaan Mn Tabel 4 menunjukkan
kadar logam tersebut masih dibawah ambang batas
yang ditentukan oleh Pemerintah. Batas pencemaran
logam Mn adalah 0,5 mg/L. Penghilangan senyawa
mangan dalam air dapat dilakukan dengan
mengalirkan air ke suatu filter dengan media mangan
zeolit. Filter mangan zeolit berfungsi untuk
menghilangkan zat besi atau mangan dalam air (Said
et al. 2008). Berdasarkan observasi yang dilakukan
depot sudah menggunakan tabung yang berisi
mangan zeolit dan karbon aktif. Penggantian filter
media dilakukan 1 kali dalam setahun (Inviro 2015).
Pada kadar tertentu Mn dalam air minum akan
mengakibatkan pengkaratan pipa penyalur air dan
terjadi presipitasi yang hitam sebagai tempat
perkembangbiakan bakteri sehingga air lebih keruh,
berwarna dan perubahan rasa (Damayanti 2014).
Parameter biologi yang diuji adalah bakteri
Coliform dan E. coli. Pemeriksaan dilakukan dengan
metode MPN, apabila terbentuk gas/keruh pada uji
MPN kemudian dilanjutkan dengan uji IMVIC.
Hasil pemeriksaan biologi tersaji pada tabel 5.
Tabel 5 Parameter Biologi air baku dan air minum pada depot air minum
isi ulang di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang.
Kode Sampel
Air Baku
Coliform
E. coli
Ket.
Air Minum
Coliform
E. coli
Ket.
A
0
0
MS
0
0
MS
B
0
0
MS
0
0
MS
C
0
0
MS
0
0
MS
D
0
0
MS
0
0
MS
E
0
0
MS
0
0
MS
F
0
0
MS
0
0
MS
G
0
0
MS
0
0
MS
H
0
0
MS
0
0
MS
I
0
0
MS
0
0
MS
J
0
0
MS
0
0
MS
K
0
0
MS
0
0
MS
L
0
Ket: MS = Memenuhi Syarat
0
MS
0
0
MS
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas air,
untuk air baku atau air bersih yang aman dan layak
untuk digunakan maka harus terhindar dari
kemungkinan kontaminasi total bakteri Coliform
dengan standar 50 MPN/100 mL air (bukan air
perpipaan) dan 10 MPN/100 mL air (air perpipaan).
Pada pemeriksaan yang dilakukan semua sampel
tidak terkandung bakteri Coliform dan E. coli. Hal
ini diduga karena air baku berasal dari sumber yang
baik dan penyimpanan air baku tandon sudah
memenuhi syarat. Berdasarkan observasi tandon
penyimpanan air baku yang dipakai semua depot
barasal dari bahan tara pangan, terlindung dari
matahari, dan sering dilakukan pengurasan sehingga
bebas mikroorganisme. Tandon yang digunakan
untuk mengisi air baku berukuran 1-2 ton, rata-rata
produksi air baku tersebut habis dalam sehari
sehingga penyimpanan air baku tidak terlalu lama di
dalam tandon. Menurut Athena et al. (2004)
42
menyebutkan penyimpanan air baku yang terlalu
lama (lebih dari 3 hari) dapat mempengaruhi kualitas
air minum yaitu memicu timbulnya mikroorganisme.
Hal ini diperkuat oleh Fitri (2010) menyatakan
bahwa penyimpanan air baku yang terlalu lama dapat
berpengaruh terhadap kualitas air minum salah
satunya yaitu semakin banyaknya bakteri yang akan
tumbuh.
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa semua
sampel memenuhi syarat batas maksimal bakteri
Coliform dan E. coli yang ditetapkan Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
492/MENKES/PER/IV/2010. Hal ini menunjukan
bahwa pemakaian desinfeksi yang digunakan masih
berfungsi dengan baik. Hasil observasi menunjukkan
pemakaian sistem desinfeksi pada depot adalah
Ultraviolet (UV) sebanyak 6 depot (50%), ozon +
UV sebanyak 5 depot (41,7%), dan Reverse Osmosis
(RO) sebanyak 1 depot (8,3%). Desinfeksi bertujuan
membunuh mikroorganisme dalam air minum, hal
ini dapat terlihat dari hasil pemeriksaan sampel air
minum isi ulang yang tidak mengandung bakteri
total Coliform dan E.coli, sehingga semua depot air
minum isi ulang di Kecamatan Rangkui memenuhi
syarat.
Air minum yang terkontaminasi bakteri
coliform kemungkinan adanya mikroba yang bersifat
patogenik yang berbahaya bagi kesehatan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
492/MENKES/PER/IV/2010, total bakteri Coliform
dan E. coli harus 0/100 ml air. Bakteri Coliform
merupakan indikator tingkat awal sebagai tingkat
sanitasi higiene air minum. Sedangkan, bakteri E.
coli adalah indikator pelengkap dalam air. Apabila
dalam pemeriksaan menunjukan hasil positif, berarti
air tersebut telah tercemar sehingga tidak layak
untuk diminum.
Kelengkapan Higiene Sanitasi Depot Air
Minum
Kelengkapan higiene sanitasi yang
diamati dalam penelitian ini adalah sebagai data
pelengkap dalam usaha depot air minum. Hasil
observasi data kelengkapan depot di Kecamatan
Rangkui, Kota Pangkalpinang pada 12 depot
adalah sebagai berikut (Tabel 6).
Tabel 6 Kelengkapan depot di Kecamatan Rangkui, Pangkalpinang
Higiene Sanitasi
Ya
Tidak
Jumlah
Pernah Mengikuti Kursus Higiene
3
9
12
Memiliki Surat Keterangan Layak Higiene
11
1
12
Memiliki Surat Izin Usaha
11
1
12
Memiliki Laporan Hasil Uji Laboratorium
12
0
12
Memiliki Surat Labelisasi halal
0
12
12
Berdasarkan Tabel 6 terlihat sebanyak 9
penjamah yang tidak pernah mengikuti kursus
higiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa
penjamah kurang berpartisipasi dalam kursus
higiene sanitasi pada pengolahan air minum isi
ulang. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI No. 43/MENKES/PER/2014 menyatakan
penjamah depot sebaiknya memiliki sertifikat
kursus penjamah depot air minum. Depot yang
memiliki surat keterangan laik higiene sebanyak
11 depot dan 1 yang tidak memiliki surat
tersebut. Surat izin usaha juga dimiliki oleh 11
depot dan 1 depot yang tidak memiliki surat
tersebut. Depot yang tidak memiliki surat
keterangan laik higiene dan surat izin usaha
dikarenakan pemilik depot tersebut tidak bisa
menunjukkan surat tersebut. Depot yang sudah
memiliki perizinan maka usaha tersebut sudah
berbadan hukum, masyarakat dan konsumen
tentunya akan lebih percaya dengan pelaku
usaha yang memiliki kapasitas di mata hukum
(Abdilanov et al. 2012). Menurut Wartawarga
(2011 dalam Abdilanov et al. 2012),
menyebutkan pada umumnya ada 3 pihak yang
memperoleh manfaat dari daftar perusaahan
yaitu; pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat
umum atau konsumen.
Laporan hasil pengujian laboratorium
dimiliki oleh semua depot. Hal ini menunjukkan
bahwa pemeriksaan yang dilakukan dinas terkait
sudah baik dalam memantau usaha air minum isi
ulang. Berdasarkan observasi semua depot tidak
memiliki surat labelisasi halal. Menurut
Peraturan Pemerintah RI No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen pasal 8 ayat 1h
menyebutkan
pelaku
usaha
dilarang
43
memproduksi barang/jasa yang tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, pernyataan ‘
halal’ dicantumkan dalam label barang/jasa
yang diproduksi. Surat labelisasi harus dimiliki
hal ini bertujuan supaya produk yang dihasilkan
lebih terjamin kualitasnya.
Kondisi higiene sanitasi pada 12 DAMIU
di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang
menunjukkan dari observasi higiene sanitasi
yang dilakukan berdasarkan 10 kategori
menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
No:
14
12
Jumlah depot
10
12
10
10
12
12
12
12
11
9
8
Memenuhi syarat
6
4
2
2
2
0
I
I
II
III
IV
V
Tidak memenuhi syarat
3
0
Ket:
12
651/MPP/Kep/10/2004 tentang persyaratan
teknis depot dan perdagangannya bagian
pedoman cara reproduksi yang baik pada depot
air minum sudah memenuhi syarat. Kategori
higiene sanitasi yang diamati meliputi: lokasi,
bangunan, akses terhadap fasilitas sanitasi,
sarana pengolahan air minum, air baku,
penampungan air baku, desinfeksi, pelayanan
konsumen,
penjamah
dan
pekarangan.
Observasi dilakukan secara subyektif peneliti
dan hasilnya tersaji pada Gambar 2.
II
III
IV
0
V
: Lokasi
: Bangunan
: Fasilitas Sanitasi
: Sarana Pengolahan Air Minum
: Air Baku
0
0
0
0
VI
VII
VIII
IX
VI
VII
VIII
IX
X
1
X
: Penampungan Air Baku
: Desinfeksi
: Pelayanan Konsumen
: Penjamah
: Pekarangan
Gambar 2 Kondisi higiene sanitasi fisik di Kecamatan Rangkui KotaPangkalpinang
Berdasarkan data pada Gambar 2 dapat
dilihat bahwa dari 10 kategori observasi higiene
sanitasi, 6 kategori yaitu sarana pengolahan air
minum, air baku, penampungan air baku,
desinfeksi, pelayanan konsumen, dan penjamah
semua depot sudah memenuhi syarat
berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia No:
651/MPP/Kep/10/2004 dan ada 4 kategori yang
tidak memenuhi syarat tetapi dalam jumlah yang
kecil yaitu kategori lokasi dan bangunan
masing-masing 2 depot yang tidak memenuhi
syarat, kategori fasilitas sanitasi terdapat 3 depot
yang tidak memenuhi syarat dan kategori
pekarangan sebanyak 1 depot yang tidak
memenuhi syarat. Hal ini menunjukkan kondisi
higiene sanitasi depot air minum cukup baik.
Menurut Jamaludin (2007 dalam Simbolon
2012), kualitas air yang dihasilkan depot air
minum dapat dipengaruhi oleh higiene sanitasi
diantaranya
kualitas air baku, alat yang
digunakan, proses pengolahan maupun perilaku
pekerja.
Lokasi depot berdasarkan observasi
terdapat 10 depot yang memenuhi syarat dan 2
depot yang tidak memenuhi syarat. Hal ini
dikarenakan 2 depot tersebut di antaranya dekat
dengan adanya tempat buangan sampah dan
sistem pembuangan yang kurang baik, serta
berdebu.
Menurut
Keputusan
Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004, lokasi
DAMIU seharusnya berada di daerah yang
bebas dari pencemaran lingkungan dan
penularan penyakit.
44
Berdasarkan (Gambar 2) bangunan pada
depot air minum sebanyak 10 depot yang
memenuhi syarat dan 2 depot yang tidak
memenuhi syarat. Penilaian kategori bangunan
terdiri dari: tata ruang, konstruksi bangunan,
lantai, dinding, atap/langit-langit, pintu,
pencahayaan dan ventilasi. Depot yang tidak
memenuhi syarat dikarenakan bangunan depot
tersebut di antaranya lantainya kotor, tata ruang
yang berantakan, atap/langit-langit yang tidak
menutup rata dan bergelombang.
Depot yang memiliki akses terhadap
fasilitas sanitasi sebanyak 9 depot yang
memenuhi syarat dan 3 depot yang tidak
memenuhi syarat. Depot yang tidak akses
terhadap fasilitas sanitasi dikarenakan tidak
tersedianya tempat pencucian tangan dan dekat
dengan tempat pembuangan sampah. Tempat
pencucian tangan pada setiap depot sebaiknya
disediakan karena perlu melakukan pencucian
tangan sebelum melayani konsumen agar
terhindar dari pencemar yang berasal dari tangan
operator
(Permenkes
RI
No.
43/MENKES/PER/2014).
Pelaksanaan higiene sanitasi yang paling
penting diantara kategori tersebut adalah sarana
pengolahan air minum yang memenuhi syarat.
Sarana pengolahan meliputi alat dan
perlengkapan dalam mengolah air baku menjadi
air minum. Berdasarkan observasi semua depot
sudah menggunakan alat yang terbuat dari bahan
tara pangan, tahan korosi, tidak bereaksi dengan
bahan kimia. Peralatan sangat berperan dalam
mengolah air baku menjadi air minum. Peralatan
yang memenuhi syarat diharapkan dapat
menghasilkan air minum yang berkualitas
(Asfawi 2004).
Air baku yang digunakan pada depot air
minum sudah memenuhi syarat. Air baku
berasal dari air sumur dan air bor. Penampungan
air baku pada depot semuanya memenuhi syarat.
Penampungan air baku terbuat dari bahan tara
pangan, khusus digunakan untuk air minum,
mudah dibersihkan dan pengisian/pengeluaran
melalui kran.
Cara desinfeksi yang dilakukan oleh depot
air minum isi ulang seluruhnya sudah memenuhi
syarat. Desinfeksi pada DAMIU menggunakan
desinfeksi
dengan sinar ultra violet,
ultraviolet+ozon, dan reverse osmosis. Unit
pengolahan air di perusahaan air minum isi
ulang biasanya memiliki alat desinfeksi seperti
ozon dan lampu UV, sedangkan reverse osmosis
sering digunakan pada perusahaan AMDK.
Tindakan desinfeksi selain menggunakan ozon,
dapat ditambahkan cara lain yang efektif seperti
penyinaran Ultra Violet (Disperindag RI 2004).
Pelayanan
konsumen
semua
depot
menggunakan wadah dalam keadaan bersih,
menyediakan fasilitas pencucian botol, serta
wadah yang sudah diisi ditutup dengan
penutup wadah yang bersih dan diserahkan
langsung kepada pelanggan.
Berdasarkan hasil observasi dengan
menggunakan lembar kuesioner pada depot air
minum, pelaksanaan higiene sanitasi penjamah
semua penjamah depot melakukan higiene
sanitasi sesuai pedoman yang ditentukan
berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia No:
651/MPP/Kep/10/2004. Tujuan dilakukan
observasi higiene sanitasi pada penjamah adalah
untuk mengurangi tingkat pencemaran dari
penjamah tersebut.
Berdasarkan (Gambar 2) kategori
pekarangan pada DAMIU terdapat 1 depot yang
tidak memenuhi syarat sedangkan 11 depot
memenuhi syarat. Pekarangan yang memenuhi
syarat adalah kebersihannya dijaga dan bebas
dari
pencemaran
(Disperindag
No.
651/MPP/kep/10/2004). Pekarangan yang tidak
memenuhi syarat dikarenakan depot tersebut
tidak dijaga kebersihannya seperti limbah
selokan yang kurang mengalir dan juga dekat
tong sampah umum.
Kategori yang tidak memenuhi syarat seperti
lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi dan
pekarangan menunjukkan tidak berpengaruh
besar pada kualitas air. Hasil ini terlihat dari uji
keragaman statistika (ANOVA) yang
45
menunjukkan bahwa higiene sanitasi setiap
depot tidak mempengaruhi kualitas air.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kualitas air (air baku maupun air minum)
berdasarkan parameter fisika (bau, rasa,
TDS), kimia (pH, Al, Mn), dan biologi
(Coliform, E. coli) sudah memenuhi syarat
berdasarkan Keputusan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang
persyaratan kualitas air bersih dan Peraturan
Menteri
Kesehatan
No:
492/MENKES/PER/IV/2010
tentang
kualitas air minum sudah memenuhi syarat
kecuali pH (air baku berkisar 4.02-5.21, air
minum berkisar 3.82-5.94) dan Al (0,230,307 mg/L).
2. Higiene sanitasi depot air minum isi ulang di
Kecamatan Rangkui berdasarkan kategori
higiene sanitasi (lokasi, bangunan, fasilitas
sanitasi, sarana pengolahan, air baku,
penampungan air baku, desinfeksi, pelayanan
konsumen, penjamah dan pekarangan) semua
DAMIU sudah memenuhi syarat.
.
DAFTAR PUSTAKA
Adi C, Sari SP, Umroh. 2014. Efektifitas Filter
Bahan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air
Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir
Kabupaten Bangka. Jurnal Sumber Daya
Perairan Vol 8 (2): 36-37
Alfian Z. 2004. Analisis pH dan Kesadahan
Total pada Air Umpan Boiler Pabrik Kelapa
Sawit PTP Nusantara II Padang Barahrang.
Jurnal Sains Kimia. Vol 8(2):53-55.
Anonim. 2014. Cara Membersihkan Back
Washing/ Tabung Filter yang Benar. http://
www. Airminum
isiulang.com/news/91/Cara-membersihkanback-wash-tabung-filter-air-yang-benar [ 20
Mei 2015]
Athena, Sukar, Hendro M, Anwar MM. 2005.
Pengaruh Pengolahan Air di Depot Air
Minum Isi Ulang dalam Menormalkan
derajat pH. Media Litbang Kesehatan Vol
15 (2): 20-23
BPS. 2014. Kecamatan Rangkui dalam Angka.
Pangkalpinang: Badan Pusat Statistik
Damayanti D. 2014. Penentuan Kadar
Aluminium (Al) dan Mangan (Mn) pada Air
Reservoir Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Instalasi Pengolahan Air Tirtanadi
Limau Manis Secara Spektrofotometri Sinar
Tampak [skripsi]. Medan: Program studi
Diploma III Analis Farmasi dan Makanan,
Fakultas Farmasi, Universitas sumatera Utara
Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan
Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2014
tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum
Dinas Kesehatan Pangkalpinang. 2014. Jadwal
Pengambilan Sampel Air Minum Depot Air
Minum (DAM): Kota Pangkalpinang
Djuhariningrum T. 2005. Penetuan Total Zat
Padat Terlarut dalam Memprediksi Kualitas
Air Tanah dari Berbagai Contoh Air. Pusat
Pengembangan Geologi Nuklir- BATAN
Fitri S. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan
Terhadap Kualitas Air Minum Isi Ulang di
Beberapa Depot di Daerah Pasar Baru
Padang
[skripsi].
Padang:
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Andalas
Henny C, 2011. Pengaruh Perubahan Iklim
Terhadap Kualitas Air Danau Galian
Tambang
di
Pulau
Bangka.
http://www12_Pengaruh_perubahan_iklim_t
erhadap_kualitas_air_danau_Cynthia%20(1)
. Pdf [ 2 Mei 2015]
Marpaung MDO, Marsono BD. 2013. Uji
Kualitas Air Minum Isi Ulang di Kecamatan
Sukolilo, Surabaya Ditinjau dari Perilaku dan
Pemeliharaan Alat. Jurnal Teknik Pomits.
Vol 2(2): 2337-3539
Mukti AM 2008. Penggunaan Tanaman Eceng
Gondok (Eichornia crassipes) sebagai PreTreatmen Pengolahan Air Minum pada Air
Selokan Mataram [Skripsi]. Yogyakarta:
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Universitas Islam Indonesia
Nuria MC, Rosyid A, Sumantri. 2009. Uji
Kandungan Bakteri Escherichia coli pada
Depot Air Minum Isi Ulang dari Depot Air
Minum Isi Ulang di Kabupaten Rembang.
Mediagro. Vol 5(1): 27-35
Oriental Water. 2014. Katrid Penaik pH Air (
Alkali ) Grosir Murah. http://orientalwater.
blogspot.com/2014/03/katrid-penaik-ph-airalkali-grosir-murah.html [ 19 Mei 2015]
Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2010.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun
46
2010 tentang Persyaratan Kualitas Air
Minum
Peraturan Menteri Kesehatan RI. 1990.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun
1990 tentang Persyaratan Kualitas Air
Putra IDGNK, Nocianti KA, Sandi PA. 2013.
Analisis Mutu Air Minum Isi Ulang di Kecamatan
Kuta Selatan Kabupaten Badung
Bali.
http://download.portalgaruda.org/article.phpartic
le=162673&val=948&titl
e
=ANALISIS%20MUTU%20AIR%20MINUM
%20ISI%20ULANG%20DI%20KECAMATAN
%20KUTA%20SELATAN,%20KABUPATEN
%20BADUNG,%20BALI [ 2 Mei 2015]
Pradana YA, Marsono BD. 2013. Uji Kualitas
Air Minum Isi Ulang di Kecamatan
Sukobondo, Sidoarjo Ditinjau dari Perilaku
dan Pemeliharaan Alat. Jurnal Teknik
Pomits. Vol 2(2): 2337-3539
Radji M, Oktavia H, Suryadi H. 2008.
Pemeriksaan Bakteriologis Air Minum Isi
Ulang di Beberapa Depo Air Minum Isi
Ulang di Daerah Lenteng Agung dan
Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Majalah
Ilmu Kefarmasian. Vol 5(2): 101-109
Riduwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian
Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula.
Jakarta: Alfabeta
Said NI. 2008. Desinfeksi untuk Pengolahan air
Minum. Jurnal of ASTM International 3(1): 2227
Sapan I. 2007. Uji Kualitas Air Galon yang
Beredar di Kabupaten Manokwari secara
Bakteriologis [skripsi]. Manokwari: Jurusan
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Negeri
Papua
Setiari NM. 2012. Identifikasi Sumber
Pencemar dan Analisis Air Tukad Yeh Sungi
di Kabupaten Tabanan dengan Metode
Indeks
Pencemaran
[tesis].
http://www.pps.unud.ac.id/
thesis/pdf_thesis/unud-41501876903488tesia.pdf [ 5 Desember 2014]
Simbolon VA, Santi DN, Ashar T. 2012.
Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Depot Dan
Pemeriksaan
Kandungan
Bakteri
Escherichia Coli Pada Air Minum Isi Ulang
Di Kecamatan Tanjungpinang Barat Tahun
2012.
http//:jurnal.usu.ac.id/index.php/
lkk/article/download/336/242 [25 Oktober
2014]
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3553-2006
tentang Air Minum Dalam Kemasan: Badan
Standardisasi Nasional
Suprihatin B, Adriyani R. 2008. Higiene
Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di
Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau
Kalimantan
Timur.
http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/JKL/a
rticle/view/ 622 [13 Juni 2015]
Suryana F. 2013. Analisis Kualitas Air Tanah
Dangkal di Kecamatan Biringkanayya Kota
Makasar [Skripsi]. Makasar: Jurusan Sipil
Fakultas Teknik, Universitas Hasanudin
Widowati W, Sastion A, Jusuf R. Efek Toksis
Logam ( Pencegahan dan Pengulangan
Pencemaran). Yogyakarta: ANDI
Wijaya AA. 2010. Prinsip Kerja Reverse
Osmosis.
http://www.profil.Water
indonesia.com/main/wpcontent/uploads/201
0/06/PRINSIP-KERJA
REVERSEOSMOSIS.pdf [ 13 November 2014]
Waluyo, Lud. 2009. Mikrobiologi Lingkungan.
Malang: Universitas Muhamadiyah Malang
Yusuf Y. 2012. Teknologi Pengolahan Air
Tanah Sebagai Sumber Air Minum pada
Skala Rumah Tangga. SIGMA Jurnal. 2 (4):
64 – 66
47
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (Brucea javanica (L) Merr.)
terhadap Bakteri Enteropatogen
Antibacterial Activity Test of Belilik (Brucea javanica (L) Merr.) Fruit Ethanol Crude Extract
Againts The Enterophatogenic Bacteria.
Yuliana, Henny Helmi, Idha Susanti
ABSTRACT
Belilik fruit (Brucea javanica (L) Merr.) is used by Indonesian, especially
byBangkaneseto treat various kinds of disease, one of them is gastroenteritis.The aims of this
research to examine the antibacterial activity of belilik fruit crude extract against
enterophatogenic bacteria and to determineits active compounds.The extraction was done by
soxhlet method with etanol as solvent. The yield of crude extract from this extraction was 8,3%.
Antibacterial activity test was conducted by disc method, with three different concentrations (70
mg/mL, 80 mg/mL, and 90 mg/mL). Antibiotics were used as positive control (kanamisin 30
mg/mL, kanamisin 40 mg/mL, and chloramphenicol50 mg/mL), and a negative control (without
additional of crude extract of belilik fruit and antibiotics). Phytochemical test was done
qualitatively. The results showed that,ethanol crude extract of belilik fruit has the ability to
inhibit the growth of enterophatogenic bacteria. The formation of zone inhibition by crude
extract of belilik fruit was smaller diameter than positivecontrol. Phytochemical test showed
thatcrude extract of belilik fruitcontained some active compound such as alkaloid, tannin, and
phenol.
Keywords: Brucea javanica,antibacterial, disc method.
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia kaya akan sumber bahan
obat alam dan obat tradisional yang secara
turun temurun telah digunakan sebagai
ramuan obat tradisional (Rahayu et al.
2009). Pengobatan tradisional merupakan
akumulasi dari pengetahuan, keterampilan,
dan praktek yang didasarkan pada berbagai
teori, kepercayaan, dan pengalaman yang
dikembangkan oleh berbagai kebudayaan
(Rosita et al. 2006). Pengobatan tradisional,
menggunakan bahan seperti tumbuhan obat
dapat dimanfaatkan dalam pembangunan
kesehatan masyarakat (Rahayu et al. 2009).
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang
memiliki
khasiat
sebagai
obat
dan
48
digunakan sebagai bahan mentah dalam
sulit diatasi dengan menggunakan antibiotik
pembuatan obat modern maupun obat-obat
(Republika
tradisional yang berupa daun, batang, buah,
penyakit ini seringkali menjadi masalah
bunga, dan akar yang memiliki khasiat
terutama pada anak-anak. Dimana pada
sebagai obat (Poeloengan et al. 2006).
tahun 2011 untuk penderita diare yang
. Bangka adalah wilayah Indonesia
2009).
Di
Bangka
sendiri
berkunjung ke puskesmas berjumlah 1.496
yang masih banyak menggunakan tumbuhan
penderita
obat
Pangkalpinang
2012).
menyembuhkan berbagai penyakit. Salah
mikroorganisme
yang
satu tumbuhan obat yang memiliki potensi
penyakit ini adalah bakteri enteropatogen
sebagai obat tradisionaldan telah dipelajari
seperti Enteropatogenik Escherichia Coli
sebarannya di Bangka di antaranya adalah
(EPEC),
tumbuhan
Staphylococcus aureus, dan Shigella sp.
sebagai
obat
tradisional
belilik
Merr.)(Adelia
dalam
(Bruceajavanica(L)
Kesehatan
Beberapa
menyebabkan
Pseudomonas
aeruginosa,
Tumbuhan belilik memiliki komponen
Maysaroh 2010; Sitompul 2010). Tumbuhan
senyawa kimia yang memilikikemampuan
belilik (B.javanica(L) Merr.) merupakan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri
tumbuhan
enteropatogen.
yang
Simaroubaceae.
Haryani
(Dinas
2010;
biasanya
2010;
(41,31%)
berasal
dari
Dimanatumbuhan
digunakan
ini
Bagian
dimanfaatkandiantaranya
yang
adalah
bisa
bagian
masyarakat
buah. Menurut Hutapea (1993), diacu dalam
pedalaman sebagai obat diare, malaria,
Rahayu et al. (2009) pada bagian buah
demam, obat batuk, rematik, dan keracunan
belilik terkandung senyawa aktif saponindan
makanan (Hendrian & Hadiah 1999).
tanin,
Penyakit
oleh
famili
yang
dimana
senyawa
ini
memiliki
seringkali
kemampuan sebagai antibakteri, sehingga
menyebabkan angka kesakitan dan angka
dimungkinkan mampu menghambat bakteri
kematian khususnya di Indonesia adalah
enteropatogen pada saluran pencernaan.
penyakit gastroenteritis (Agnesa 2010). Saat
Penelitian awal terhadap ekstrak buah
ini untuk angka kematian pasien akibat
belilik sebagai antibakteri telah dilakukan
infeksi bakteri patogen yang resisten sudah
oleh Rahayu et al.
mencapai lebih dari 1,5 juta setiap tahunnya.
membuktikan
Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa
belilikmampu
bakteri enteropatogen yang saat ini semakin
bakteriShigella dysentriae pada konsentrasi
(2009),dan berhasil
potensi
ekstrak
menghambat
buah
aktivitas
49
30% mampu membentuk diameter18,5 mm,
2. Menguji kandungan senyawa aktif yang
pada konsentrasi 60% mampu membentuk
terdapat
diameter20,7 mm, dan pada konsentrasi
(B.javanica) melalui uji kualitatif.
90%
mampu
membentuk
pada
ekstrak
buah
belilik
diameter23,2
mm.Penelitian tersebut belum dilakukan
pada bakteri enteropatogenlainnya seperti
EPEC,
P.
aeruginosa,
aureussehingga
dan
diperlukan
penelitian
lanjutan mengenai aktivitas ekstrak buah
belilik dengan ragam konsentrasi dalam
menghambat
pertumbuhan
bakteri
enteropatogen.
Pemanfataan
tumbuhan
herbal dapat menjadi alternatif pengobatan
atau sebagai solusi atas kurang efektifnya
pengobatan secara kimiawi akibat resistensi
bakteri enteropatogen.
Informasi
mengenai
sifat
biologi,
fitokimia, dan kemampuan buah belilik
sebagai penghambat bakteri enteropatogen
belum
banyak
dilakukan,
sehingga
penelitian ini penting untuk dilakukan dan
diharapkanmampu
tumbuhan
membuktikan
belilik
khasiat
sebagai
obat
gastroenteritis.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
autoklaf,
cawan
petri,
erlenmeyer,gelas beker, gelas ukur, gunting,
hotplate, inkubator, jangka sorong digital,
jarum ose,Laminar Air Flow (LAF), mortar,
microwave,
orbital
shaker,
pembakar
spiritus, pengaduk gelas, pinset, pipet tetes,
pipet mikro, spektrofotometer (UV-VIS
1800), tabung reaksi, timbangan digital,
danvortex.
Bahan yang digunakan adalah air panas,
akuades steril, alkohol 70%, amoniak, asam
sulfat,buah belilik, CH3COOH glacial,dietil
eter, ekstrak buah belilik,etanol absolut,
H2SO4 pekat, isolat bakteri (EPEC, P.
aeruginosa,S. aureus, dan Shigella sp.),
media Nutrien Agar (NA), media Nutrien
Tujuan
1. Menguji daya hambat dari ekstrak kasar
etanol buah belilik terhadap pertumbuhan
bakteri
METODE PENELITIAN
S.
EPEC,
aureus,dan
P.
Shigella
aeruginosa,
sp.
Broth (NB),pereaksi Dragendorff, plastik
wrap, serbuk Mg, dan HCl pekat.
S.
berdasarkan
parameter pembentukan zona bening
50
Cara Kerja
cakram direndam dengan ekstrak buah
Pengambilan Sampel
belilik
Buah
belilik
yang
berbagai
variasi
diambil
konsentrasi70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90
dimasukkan dalam kantong plastik. Buah
mg/mL selama 30 menit. Selanjutnya kertas
yang telah diambil, dilakukan ekstraksi di
cakram yang telah dicelupkan kedalam
Laboratorium
Institut
ekstrak diletakkan dipermukaan agar yang
Pertanian Bogor (dilakukan oleh teknisi
telah terisi bakteri uji. Kertas cakram
Laboratorium
tersebut ditekan menggunakan pinset steril
Kimia
telah
dengan
Analitik
Kimia
Analitik
Institut
Pertanian Bogor).
supaya
menempel
sempurna
pada
permukaan agar. Bakteri uji selanjutnya
Analisis Laboratorium
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
A. Ekstraksi Kasar Buah Belilik.
Pengujian dilakukan sebanyak3 ulangan.
Ekstraksi dilakukan dengan metode
soxhletasi.
Sebanyak
145,50gram
buah
Sebagai kontrol positif digunakan
antibiotik sintetik yaitu kanamisin
belilik dihaluskan, selanjutnya direndam ke
mg/mL,kanamisin
dalam etanol absolut dan dipanaskan dengan
kloramfenikol 50 mg/mL. Sebanyak 1 mL
menggunakan soxhlet sampai warna larutan
bakteri uji dengan konsentrasi pengenceran
menjadi
secara
10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian
diperoleh
ditambahkan 20 mL media NA dengan suhu
dikeringkan dengan menggunakan vaccum
40oC lalu didinginkan. Kertas cakram
rotary
direndam
bening
sempurna.
dan
terekstrak
Ekstrak
evaporatoruntuk
yang
menghilangkan
40
30
dengan
mg/mL,dan
antibiotik
sintetik
pelarut. Rendemen yang diperoleh sekitar
selama30 menit. Kertas cakram yang telah
8,3% dengan bobot ekstrak
dicelupkan
12,21 gram
kedalam
antibiotik
sintetik
(dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia
diletakkan dipermukaan agar yang telah
Analitik Institut Pertanian Bogor).
berisi bakteri uji. Bakteri uji selanjutnya
B. Uji Aktivitas Antibakteri
Masing-masing sebanyak1 mL bakteri
uji dengan konsentrasi pengenceran 10-8
dituang kedalam cawan petri, kemudian
ditambahkan 20 mL media NA dengan suhu
40oC lalu didinginkan. Selanjutnya kertas
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam.
Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan.
Kontrol
negatif
dengan
menggunakan
akuades steril tanpa penambahan ekstrak
denganmenggunakan bakteri uji. Sebanyak 1
mL
bakteri
uji
dengan
51
10-8
konsentrasipengenceran
kedalam
cawan
petri,
dituang
asam (terdapat pada bagian atas) dipipet
selanjutnya
dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan
ditambahkan 20 mL media NA pada suhu
dengan
40oC. Kertas cakram yang sudah direndam
Adanya
dalam
diatas
terbentuknya endapan jingga sampai merah
permukaan agar yang telah diinokulasi
coklat pada pereaksi Dragendorff (Robinson
dengan bakteri uji, kemudian diinkubasi
1995).
pada suhu 37oC selama 24 jam. Pengujian
2. Uji Saponin
akuades
steril
diletakan
dilakukan 3 ulangan.
C. Pengukuran Diameter Zona Bening
Zona bening akan terbentuk karena
aktivitas ekstrak buah belilik disekitar isolat
uji. Pengukuran diameter zona bening
dilakukan dengan jangka sorong digital.
Rumus Diameter Penghambatan = B-A
Keterangan :
1
pipet
pereaksi
alkaloid
Dragendorff.
ditunjukan
dengan
Sebanyak 30 mg ekstrak diekstraksi
dengan 5 mL dietil eter, sehingga terbagi
menjadi 2 fraksi yaitu yang larut dan yang
tidak larut dalam dietil eter. Fraksi yang
tidak larut dalam dietil eter kemudian
ditambahkan air sebanyak 5 mL dalam
tabung
reaksi
lalu
dikocok.
Ekstrak
dinyatakan positif mengandung saponin
apabila terdapat busa dengan ketinggian 1-3
A = Diameter kertas cakram
B = Diameter zona hambatan
D. Uji Fitokimia BuahBelilik
cm bertahan selama 15 menit (Harborne
1996).
3. Uji Triterpenoid dan Steroid
Analisis fitokimia yang dilakukan
Fraksi yang larut dalam dietil eter dari
dalam penelitian ini hanya dilakukan secara
saponin dipisahkan, kemudian ditambahkan
kualitatif. Analisis ini dilakukan untuk
dengan CH3COOH glasial sebanyak 10 tetes
mengetahui senyawa-senyawa aktif yang
dan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan
terdapat dalam buah belilik.
dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa
1. Uji Alkaloid
menit. Steroid memberikan warna biru atau
Sebanyak 30 mg ekstrak ditambah 10
hijau,
sedangkan
mL kloroform-amoniak, kemudian disaring
memberikan
warna
kedalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan
(Harborne 1996).
untuk
triterpenoid
merah
atau
ungu
dengan 3-5tetes asam sulfat 2 M dan
dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan
52
taraf yaitu 70 mg/mL, 80 mg/mL, 90
4. Uji Flavonoid
Sebanyak 30 mg ekstrak ditambahkan
mg/mL. Faktor kedua adalah jenis bakteri
dengan 100 mL air panas, dididihkan selama
enteropatogen yang terdiri dari 4 taraf yaitu
5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak
EPEC, P.aeruginosa, S.aureus, dan Shigella
5 mL ditambahkan 0,05 mg serbuk Mg dan
sp..data yang diamati adalah diameter zona
HCl pekat, kemudian dikocok kuat-kuat.
bening
Hasil
dengan 3 kali ulangan.
positif
ditunjukan
dengan
(mm).
Penelitian
dilaksanakan
terbentuknya warna merah, kuning atau
jingga (Harborne 1996).
HASIL DAN PEMBAHASAN
5. Uji Fenol
Sebanyak 30 mg ekstrak ditambahkan
10
tetes
FeCl3
1%.
Ekstrak
positif
mengandung fenol apabila menghasilkan
warna hijau, merah, ungu atau hitam pekat
(Harborne 1996).
ditambah
air
panas
dan
dididihkan selama 5 menit dan disaring
filtratnya
dibagi
2
masing-masing
ditambahkan FeCl3 1% (adanya tanin dan
folifenol terbentuk warna biru, hijau, dan
ditambah gelatin (adanya tanin ditandai
dengan terbentuknya endapan berwarna
putih)) (Harborne 1996).
Data
Rancangan
Acak
Ekstraksi buah belilik dilakukan
dengan menggunakan pelarut etanol dan
ini
disebut juga etil alkohol yang merupakan
senyawa
organik
denganrumus
kimia
C2H5OH yang apabila dalam kondisikamar,
etanol
berwujud
menguap,
mudah
cairan
terbakar,
yangmudah
dan
tidak
berwarna. Alasan menggunakan pelarut
etanol
dalam
proses
ekstraksi
adalah
sifatnya yang dapat melarutkan seluruh
bahan aktif yang terkandung dalam suatu
E. Rancangan Percobaan dan Analisis
Penelitian
javanica)
diperoleh rendemen sebanyak 8,3%. Etanol
6. Uji Tanin
Sampel
Rendemen Ekstraksi Buah Belilik (B.
menggunakan
Lengkap
Faktorial
dengan2 faktor. Faktor pertama adalah
konsentrasi ekstrak buah belilik dengan 3
bahan alami, baik bahan aktif yang bersifat
polar,
semipolar,
maupun
nonpolar
(Munawaroh & Astuti 2010). Senyawasenyawa polar yang terdapat dalam sampel
buah belilik diharapkan akan terekstrak
dalam
pelarut
etanol.
53
Diameter zona bening (mm)
14
12
10
8
70 mg/mL
6
80 mg/mL
90 mg/mL
4
2
0
S. aureus
Shigella sp
P. aeruginosa
EPEC
Jenis bakteri
antibakteri dibagi menjadi duabagian yaitu
Uji Antibakteri
Pengujian
efektifitas
antibakteri
antibakteri
yang
bersifat
bakterisida
ekstrak buah belilik (B. javanica) dilakukan
(membunuh)
pada jam ke-6 setelah waktu inkubasi untuk
(menghambat
bakteri P. aeruginosa, EPEC, dan Shigella
Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan
sp. serta jam ke-10 untuk bakteri S. aureus
cara menghambat perbanyakan populasi
dengan menggunakan metode cakram, yang
bakteri dan tidakmematikan, sedangkan
ditandai dengan adanya zona bening di
bakterisida
sekitar cakram berarti menunjukkan adanya
bakteri.Bakteriostatik
aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas
sebagai bakterisida dalam konsentrasi yang
antibakteri dilakukan dengan menggunakan
tinggi. Sifat selektif zat antibakteri berarti
ekstrak buah belilik dengan berbagai tingkat
senyawa berbahaya bagi suatu bakteri tetapi
konsentrasi (70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90
tidak berbahaya bagi inangnya.
mg/mL) yang bertujuan untuk mengetahui
apakah
kenaikan
konsentrasi
akan
meningkatkan aktivitas antibakterinya.
Menurut
berdasarkan
Ismunandar
dari
sifat
(2008),
toksisitasnya,
dan
bakteriostatik
pertumbuhan
bekerja
dapat
bakteri).
membunuh
bertindak
Berdasarkan analisis ragam (ANOVA)
diameter zona bening membuktikan bahwa
ekstrak buah belilik dengan konsentrasi 70
mg/mL, 80 mg/mL, dan
90 mg/mL
yang digunakan berpengaruh nyata terhadap
54
pembentukan zona bening. Namun hasil
dilapisan peptidoglikan yangtipis (1-3nm)
sidik ragam perlakuan jenis bakteri dan
(Ismunandar 2008). Selain itu, bakteri Gram
interaksi
negatif
keduanya
(ekstrak
dan
jenis
tidak
mengandung
bakteri) menunjukkan hasil tidak berbeda
teikoat(Lathifah
nyata terhadap aktivitas antimikroba
komponen penyusun dinding sel tersebut,
Ekstrak
kemampuan
buah
belilik
dalam
memiliki
menghambat
2008).
asam
Berdasarkan
bakteri S. aureus merupakan kelompok
bakteri
Gram
positif
pertumbuhan bakteri enteropatogen, hal
aeruginosa,
tersebut dilihat dari hasil pembentukan zona
danEPECmerupakan
bening yang dihasilkan dari ekstrak buah
Gram negatif.
belilik tersebut Dari setiap zona bening yang
sedangkanP.
Shigella
Pembentukan
sp.,
kelompok
zona
bakteri
bening
yang
terbentuk, konsentrasi 90 mg/mL memiliki
dihasilkan oleh antibiotik yang digunakan
daya hambat paling tinggi (Gambar 2).
sebagai kontrol positif menunjukkan hasil
Pelczar dan Chan (1986) menyatakan bahwa
yang berbeda dengan pembentukan zona
semakin
bening menggunakan ekstrak buah belilik.
tinggi
konsentrasi
suatu
zat
antimikroba yang digunakan maka semakin
Hasil
sidik
ragam
tinggi aktivitas antimikrobanya, yang berarti
konsentrasi
bakteri akan lebih cepat terbunuh bila
digunakan yaitu kanamisin 30 mg/mL,
konsentrasi zat tersebut lebih tinggi.
kanamisin 40 mg/mL, dan kloramfenikol 50
dan
(ANOVA)
jenis
untuk
antibiotik
yang
Menurut Pelczar dan Chan (1988)
mg/mL terhadap bakteri uji menunjukkan
untuk dapat menghambat atau bahkan
bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi atau
membunuh mikroorganisme, bahan uji harus
jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap
masuk ke dalam sel melalui dinding sel.
aktivitas antibakteri. Namun tidak ada
Berdasarkan struktur
pengaruh
penyusun dinding
selnya, bakteri dikelompokkan menjadi
interaksi
keduanya
terhadap
aktivitas antibakteri
bakteri Gram negatif dan bakteri Gram
Hasil pengujian aktivitas antibakteri
positif. Bakteri Gram positif memiliki
untuk kontrol positif dengan menggunakan
membran tunggal dengan kadar lipid yang
antibiotik
rendah dan dilapisipeptidoglikan yang tebal
enteropatogenmenunjukkan
(25-50nm), sedangkan bakteri Gram negatif
tersebut
memiliki kadar lipid yang tinggi dan
menghambat pertumbuhan bakteri uji baik
kanamisin
memiliki
terhadap
bakteri
antibiotik
kemampuan
dalam
55
yang bersifat Gram positif maupun bersifat
ribosom dan menghalangi aktivitas enzim
Gram negatif. Antibiotik tersebut bersifat
peptidyl transferase. Enzim ini berfungsi
spektrum luas, hal ini dibuktikan dengan
untuk membentuk ikatan peptida antara asam
diameter pembentukan zona bening yang
amino baru yang masih melekat pada tRNA
terbentuk (Gambar 3). Kanamisin adalah
dengan asam amino terakhir yang sedang
antibiotik golongan aminoglikosida yang
berkembang,
bersifat bakterisida terutama pada bakteri
Gram negatif. Mekanisme kerja antibiotik
golongan aminoglikosida sebagai antibakteri
yaitu melalui hambatan sintesis protein
(Jawetz et al. 2001). Antibiotik ini berikatan
pada subunit 30S ribosom bakteri (beberapa
terikat juga pada subunit 50S ribosom) dan
menghambat translokasi peptidil-tRNA dari
situs A ke situs P dan menyebabkan
kesalahan
pembacaan
mengakibatkan
mensintetis
bakteri
protein
mRNA
yang
tidak
mampu
vital
untuk
pertumbuhannya (Pratiwi 2008).
Penggunaan antibiotik kloramfenikol
juga mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Gram positif dan bakteri Gram
negatif karena antibiotik ini juga bersifat
spektrum luas. Hal tersebut terlihat pada
diameter pembentukan zona bening yang
terbentuk dari konsentrasi kloramfenikol
yang digunakan.Kloramfenikol merupakan
penghambat yang kuat terhadap sintesis
protein
padamikroorganisme.
Menurut
Pratiwi (2008), kloramfenikol memberikan
efek dengan cara bereaksi pada sub unit 50S
protein
sebagai
bakteri
akan
akibatnya
sintesis
terhenti
seketika.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan
bakteri bisa tumbuh lagi jika pengaruh obat
dihilangkan.
Mikroorganisme
resisten
terhadap kloramfenikol menghasilkan enzim
Cloramfenikol
asetyltransferase
yang
merusak aktivitas obat. Produksi enzim ini
biasanya dibawah kontrol plasmid.
Kosentrasi dan jenis antibiotik yang
digunakan mampu membentuk zona bening
pada bakteri uji dengan diameter yang
berbeda-beda dikarenakan jenis bakteri yang
diuji memiliki sistem pertahanan yang
berbeda.
Berdasarkan Dharma (2001), EPEC
memiliki
faktor virulensi berupa adesin,
intimin, protein-protein sekresi, dan bundleforming fili. EPEC tidak menghasilkan
toksin seperti yang dihasilkan oleh virotip
lainnya. Bakteri ini memiliki fili, fimbriae,
dan flagel peritrikus (Narotama 2012).Bakteri
Shigella sp. tidak memiliki flagel sehingga
bakteri ini tidak bisa bergerak, namun
bakteri ini menghasilkan enterotoksin yang
bersifat tahan panas yaitu shigatoksin.
56
Bakteri ini memiliki susunan antigen O
dengan zat virulennya yaitu fimbriae (fili n-
berupa lipolisakarida (Rahayu et al. 2009).
metil-penilalanin),
Bakteri
P. aeruginosa memiliki pertahan
kapsul
polisakarida
(glikokaliks), alginat (biofilm), sedangkan
bakteri
invasi zat virulennya berupa elastase, alkalin
inimempunyai antiginetik berupa liposakarida
protease, hemolisis (fosfolipase dan lestinase),
yang
sifat
sitotoksin (leukosidin), pigmen pycocyanin.
endotoksin (eksoenzim S dan eksoenzim A)
Pergerakan virulennya berupa flagel monotrik
(Jawetz et al. 2001). Bakteri ini memiliki
(flagel tunggal pada kutub) (Sulistianingsih
terhadap
antimikroba
bertanggung
karena
jawab
terhadap
virulensi
berupa adesi
Diameter zona bening (mm)
2010).
faktor
40
Kanamisin 30 mg/mL
Kanamisin 40 mg/mL
20
Kloramfenikol 50 mg/mL
0
Jenis bakteri
Gambar 3 Zona bening yang terbentuk dari jenis dan konsentrasi antibiotik terhadap bakteri
uji.
Perbandingan
zona
dari perlakuan tidak terlalu efektif dan
bening antara ekstrak buah belilik dan
jumlahnya (konsentrasi) kurang banyak
antibiotik
sehingga
dapat
pembentukan
dilihat
berdasarkan
menyebabkan
kemampuannya
pembentukan zona bening yang dihasilkan.
dalam menghambat pertumbuhan bakteri
Zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak
lebih kecil dibandingkan dengan kontrol
tidak memiliki diameter yang lebih besar
positif (antibiotik). Zona bening yang lebih
jika dibandingkan dengan kontrol positif.
besar dari kontrol positif dapat dihasilkan
Hal ini diduga karena jenis senyawa yang
apabila konsentrasi ekstrak buah belilik
berpotensi sebagai antibakteri pada ekstrak
dinaikkan. Lathifah (2008) menyatakan
57
bahwa apabila diameter zona bening ekstrak
lebih
besar
dibandingkan
Uji Fitokimia
diameterzona
Zona bening yang dihasilkan pada
bening kontrol positif, maka ekstrak sangat
semua konsentrasi disebabkan karena zat
efektif sebagai antibakteri, namun apabila
antibakteri yang berasal dari senyawa aktif
zona
kecil
yang terkandung dalam buah belilik (B.
dibandingkan diameter zonabening kontrol
javanica) antara lain alkaloid, tanin, dan
positif, maka ekstrak masih kurang efektif
fenol. Hasil uji fitokimia ekstrak buah
sebagai antibakteri,sehingga dimungkinkan
belilik secara kualitatif disajikan pada Tabel
dengan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi
1.
bening
ekstrak
lebih
ekstrak akan memiliki kemampuan yang
efektif seperti kontrol positif.
Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar etanol buah belilik secara kualitatif
Uji Fitokimia
Uji Saponin
Uji Triterpenoid dan Steroid
Uji Flavonoid
Uji Alkaloid
Uji Fenol
Uji Tanin dan Polifenol
Hasil Uji
+
+
+
Keterangan
Tidak terbentuk busa sama sekali
Berwarna bening
Berwarna bening
Terbentuk endapan merah bata
Terbentuk warna hitam pekat
Terbentuk warna biru setelah
penambahan FeCl3 dan gelatin
terbentuk endapan putih
Keterangan: + : Mengandung senyawa aktif
- : Tidak mengandung senyawa aktif
Berdasarkan hasil analisa kualitatif di
ekstrak etanol buah belilik (B. javanica)
atas untuk komposisi senyawa aktif pada
mengandung senyawa aktif berupa tanin dan
buah belilik yang sudah dilakukan oleh para
saponin.
peneliti-peneliti sebelumnya berbeda dengan
membuktikan
komposisi senyawa aktif yang diperoleh dari
mengandung senyawa quassinoid, alkaloid
jenis bagian tumbuhan yang sama yang
(brucamarine,
berasal
(brucealin,
dari
Bangka.
hasil
pengujian
Utami
(2008)
bahwa
juga
berhasil
buah
belilik
yatanine),
yatanoside
A
glikosida
dan
B,
fitokimia yang dilakukan Rahayu et al.
kosamine),phenol (brucenol, bruceolic acid),
(2009) berhasil membuktikan bahwa pada
dan tanin.
58
Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak
sebagai antibakteri adalah dengan cara
buah B. javanica mengandung senyawa aktif
menghambat enzimreverse transkriptase dan
berupa alkaloid, fenol, dan tanin.Alkaloid
DNA topoisomerase sehingga sel bakteri
memiliki sifatantibakteri, karena memiliki
tidak dapat terbentuk. Tanin merupakan
kemampuanmenginterkalasi DNA (Murphy
salah satu senyawa kimiawi yang termasuk
1999,
dalam golongan fenol dan mempunyai rasa
diacu
dalam
2008).Mekanisme
Ismunandar
adalah
sepat yang diduga dapat mengikat salah satu
komponen
protein yang dimiliki oleh bakteri yaitu
penyusun peptidoglikan pada selbakteri,
adhesin dan apabila hal ini terjadi maka
sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk
dapat merusak ketersediaan reseptor pada
secara utuh dan menyebabkankematian sel
permukaan
(Norhamdani et al.2000). Senyawa alkaloid
dibuktikan dapat membentuk kompleks
umumnya mencakup senyawa bersifat basa
senyawa yang irreversibel dengan prolin,
yang mengandung satu atau lebih atom
suatu asam amino, yang mana ikatan ini
nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik
mempunyai efek penghambatan sintesis
(Harborne 1996). Senyawa alkaloid juga
protein untuk pembentukan dinding sel.
dengan
cara
yangdiduga
mengganggu
sel
bakteri.
Tanin
telah
memiliki efek antimikroba terutama efek
Mekanisme senyawa fenol sebagai zat
antidiare yang kemungkinan disebabkan
antimikroba adalah dengan carameracuni
oleh efek pada usus kecil (Poeloengan et al.
protoplasma,
2007). Menurut Rahayu et al. (2009), jenis
dinding sel, serta mengendapkanprotein sel
senyawa alkaloid pada buah belilik yaitu
mikroba.
brucamarine dan yatanine.
mendenaturasi
Rahayu et al. (2009) menyatakan
jawab
merusak
Komponen
enzim
terhadap
dan
fenol
juga
dapat
yangbertanggung
germinasi
spora
atau
asamamino
yang
bahwa senyawa aktif yang memiliki sifat
berpengaruh
sebagai antibakteripada buah belilik adalah
terlibat dalam proses germinasi. Senyawa
tanin. Senyawa tanin diduga memiliki
fenol
sifatantimikroba
kemampuannya
menonaktifkan enzim esensial di dalam sel
dalam menonaktifkan protein enzim dan
mikroba meskipun padakonsentrasi yang
protein transport (Murphy 1999, diacu
sangat
dalam
Menurut
1988).Sebagai contoh yaitubakteri uji Gram
Robinson (1995), mekanisme kerja tanin
negatif, secara morfologi, bakteri Gram
karena
Ismunandar
2008).
terhadap
menembus
bermolekul
rendah
(Pelczar
besarmampu
&
Chan
59
negatif
memiliki
dinding
sel
KESIMPULAN
dengan
peptidoglikan yang sedikit sekali dan berada
diantara selaput luar dan selaput dalam
dinding sel. Dinding sel bakteri Gram
negatif
mengandung
fosfolipid,
lipopolisakarida, dan lipoprotein. Setelah
menerobos dinding sel, senyawa fenol akan
menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara
merusak
ikatan-ikatan
membran
sel
fosfolipida)
permeabilitas
pada
(seperti
komponen
protein
sehingga
dan
meningkatkan
membran.
Terjadinya
kerusakan pada membran sel mengakibatkan
terhambatnya
aktivitas
dan
biosintesis
enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam
reaksi
metabolisme
(Naidu
2000,diacu
dalam Yulianti 2009). Sedangkan untuk
contoh lainnya adalah pada bakteri uji Gram
positif dimana memiliki struktur dinding sel
yang lebih sederhana dibandingkan dengan
dinding sel bakteri Gram negatif sehingga
memudahkan senyawa antibakteri mudah
masuk
ke
dalam
sel
bakteri
(Naidu
2000,diacu dalam Yulianti 2009).
Menurut Harborne (1996), senyawa
fenol meliputi berbagai senyawa yang
berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri
yang sama yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua gugus hidroksil.
Suradikusumah (1989), diacu dalam Nuraini
(2007), menambahkan fenol dan).
1. Ekstrak buah belilik (B. javanica) pada
konsentrasi 70 mgmL, 80 mg/mL, dan 90
mg/mL
mampu
pertumbuhan bakteri
menghambat
uji
S. aureus,
Shigella sp., P. aeruginosa, dan EPEC.
2. Senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak
etanol buah belilik yaitu alkaloid, tanin,
dan fenol.
DAFTARPUSTAKA
Abrar M, Wibawan IWT, Priosoeryanto BP,
Soedarwanto M, Pasaribu Fh. 2012.
Isolasi
Dan
Karakterisasi
Hemaglutinin Staphylococcus aureus
Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi
Perah. Kedokteran Hewan 6 (1): 1621.
Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional
Tentang Pemanfataan Tumbuhan Obat
oleh Masyarakat Suku Lom Di Dusun
Air Abik Desa Gunung Muda
Kecamatan Belinyu-Bangka[skripsi].
Bangka: Program Studi Biologi
Fakultas Pertanian, Perikanan, dan
Biologi, Universitas Bangka Belitung.
Agnesa A. 2010. Makalah Gastroenteritis
Akut
(Epidemiologi
Penyakit
Menular)http://www.kesmasunsoed.info/2010/10/makalahgastroenteritis-akuta.html [15 Februari
2013].
Ambarwati.
2007.
Efektivitas
Zat
Antibakteri Biji Mimba (Azadirachta
indica)
untuk
Menghambat
Pertumbuhan Salmonella thyposa dan
60
Staphylococcus aureus. Biodiversitas
8 (3) : 320-325.
Aisyah D, Laksmi LI, Husnaa U. 2010.
Potensi Tumbuhan Indonesia sebagai
Bahan Obat Tradisional dengan
Pendekatan
Teknik
Pengolahan
Traditional Chinese Medicine (TCM).
Malang: Universitas Negeri Malang.
Aliem MI. 2013. Buah Makassar (Brucea
javanica
[L.]
Merr).http://www.ksdasulsel.org/fauna
/154-buah-makassar-brucea-javanical-merr[06Februari 2013].
Azam K. 2012. Prinsip Kerja Ekstraktor
Soxhlet.
http://khoirulazam89.blogspot.com/20
12/01/prinsip-kerja-ekstraktorsoxhlet.html [05 September 2013].
Bachtiar TSP. 2010. Potensi Ekstrak Buah
Makasar (Brucea javanica[L.] Merr)
sebagai Antihipertensi. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Cappuccino JG, Sherman N. 1987.
Microbiology: A Laboratory Manual.
California: The Benjamin/Cummings
Publishing Company.
Collington GK, Booth IW, Donnenberg MS,
Kaper
JB,
KnuttonS.
1998.
Enteropathogenic Escherichia coli
Virulence Genes Encoding Secreted
Signalling Proteins are Essential for
Modulation of Caco-2 Cell Electrolyte
Transport. Infection and Immunity6
(12): 6049-6053.
Dalimartha S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat
Indonesia. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Damayanti E. 2001. Karakterisasi Biofilm
pada Escherichia coli Enteropatogen.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Damayanti EK, Zuhud, Harini MS,
Tyasning P. 2009. Pemanfataan
Dokumentasi Pengetahuan Lokal
Tumbuhan Obat untuk Mewujudkan
Masyarakat
Mandiri
Kesehatan.
Prossiding
Seminar
Nasional
Etnobotani IV: Cibinong 18 Mei 2009.
Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Hlm 239-244.
Davis WW, Stout TR. 1971. Disc Plate
Method of Microbiological Antibiotic
Essay. Microbiology22 (4): 659-665.
Dharma K. 2001. Aktivitas Enzim Protease
Ekstraseluler
Escherichia
coli
Enteropatogenik (EPEC) K 1.1 pada
Substrat Lisozim. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Diansari N. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak
Etanol
Kayu
Secang
(Caesalpinia sappan L) terhadap
Staphylococcus aureus dan Shigella
dysentriae
serta
Bioautografinya
[skripsi].
Surakarta:
Universitas
Muhammadiyah.
Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang. 2012.
Kota
Pangkalpinang:
ANAL.
http:www.google.comgwt/x?hl=id&u=
http://dinaskesehatankotapangkalpinan
g.blogspot.com [25 Mei 2013].
Dwijoseputro D. 2005. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Malang: Djambatan.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan
Parasitologi
untuk
Akademi
Keperawatan dan Sekolah Tenaga
Kesehatan yang Sederajat. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gomez G. 2007. Prosedur Statistik untuk
Penelitian
Pertanian.
Jakarta:
Universitas Indonesia. Edisi kedua.
Hadiwiyoto S. 1994. Teori dan Prosedur
Mutu Susu dan Hasil Olahannya.
Yogyakarta: Liberty.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia,
diterjemahkan
oleh
Kokasih
Padmawinata dan Iwang Soediro,
61
Cetakan ke-2, hal. 47, 69-72, 155,
Bandung: Institut Teknologi Bandung
Press.
Haryani D. 2010. Inventarisasi Tumbuhan
Obat
di
Kecamatan
Toboali,
Kecamatan
Tukak
sadai
dan
Kecamatan Pulau Besar Kabupaten
Bangka Selatan [skripsi]. Bangka:
Program Studi Biologi Fakultas
Pertanian, Perikanan, dan Biologi,
Universitas Bangka Belitung.
Hendrian, Hadiah JT. 1999. Koleksi
Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor.
Bogor: UPT Balai Pengembangan
Kebun
Raya
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna
Indonesia Jilid II. Jakarta: Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Hidayat. 2006. Pertumbuhan Bakteri dan
Fermentasi.
Jakarta:
Universitas
Indonesia.
Hiswani. 2003. Diare Merupakan Salah Satu
Masalah
Kesehatan
Masyarakat
yangKejadiannya Sangat Erat dengan
Keadaan
Sanitasi
Lingkungan.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/12
3456789/3693/1/fkm-hiswani7.pdf [15
Februari 2013].
Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT,
Williams ST. 1994. Bergey’s Manual
of Determinative Bacteriology. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
Ismunandar W. 2008. Potensi Antibakteri
Kulit Kayu dan Daun Tanaman Akway
(Drymis sp) Dari Papua. Bogor:
Program Studi BiokimiaFakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
AlamInstitut Pertanian Bogor.
Jawetz,
Melnick,
Adelberg’s. 2001.
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika.
Katno, Pramono S. 2002. Tingkat Manfaat
dan Keamanaan Tanaman Obat dan
Obat
Tradisional.
http://cintaialam.tripod.com/keamanan
_obat%20tradisional.pdf [15 Februari
2013].
Knutton S, Lloyd DR, McneishAS. 1987.
Adhesion
of
Enteropathogenic
Escherichia coli to Human Intestinal
Enterocytes and Cultured Human
Intestinal Mucosa. Infection and
Immunity 55 (1): 69-77.
Kusmala D. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik
yang Dihasilkan Cendawan Endofit
dengan Beberapa Jenis Antibiotik
Sintetik
dalam
Menghambat
Pertumbuhan BakteriEnteropatogenik
Esherichia
colidanPseudomonas
aeruginosa [skripsi]. Bangka: Program
Studi Biologi Fakultas Pertanian,
Perikanan dan Biologi, Universitas
Bangka Belitung.
Lathifah QA. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak
Kasar Senyawa Antibakteri pada Buah
Belimbing
Wuluh
(Averrhoa
bilimbiL.) dengan Variasi Pelarut
[skripsi]. Malang:
Jurusan Kimia
Fakultas
Sains
dan
TeknologiUniversitas Islam Negeri
(UIN) Malang.
Lenny S. 2006.Isolasi dan Uji Bioaktifitas
Kandungan Kimia Utama Puding
Merah dengan Metoda Uji Brine
Shrimp. Medan: Fakultas MIPA,
UniversitasSumatera Utara.
Maisyaroh. 2010. Inventarisasi Tumbuhan
Obat Di Kecamatan Koba, Kecamatan
Lubuk
Besar
dan
Kecamatan
Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka
Tengah. [skripsi]. Bangka: Program
Studi Biologi Fakultas Pertanian,
Perikanan dan Biologi, Universitas
Bangka Belitung.
62
Mayasari E. 2005. Pseudomonas aeruginosa;
Karakteristik, infeksi dan penanganan.
Medan: Universitas Sumatra Utara.
Bangka: Program Studi Biologi
Fakultas Pertanian, Perikanan dan
Biologi, Universitas Bangka Belitung.
Munawaroh S, Astutu PH. 2010. Ekstraksi
Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus
hystrix D.C) dengan Pelarut Etanol
dan N-Heksana. Kompetisi Tekhnik 2
(1): 73-78.
Nuraini AD. 2007. Ekstraksi Komponen
Antibakteri dan Antioksidan Dari Biji
Teratai(Nymphaea pubescens Willd)
[skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan
Teknologi PanganFakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Melki, Ayu WEP, Kurniati. 2011. Uji
Antibakteri Ekstrak Gracilariasp
(Rumput Laut) Terhadap Bakteri
Escherichia colidan Staphylococcus
aureus.
http://eprints.unsri.ac.id/1257/2/Melki
ujiantibakteriekstrakGracilariasp.pdf
[07 Februari 2013].
Narotama. 2012. Profil Imunohistokimia
Antioksidan Superoksida Dismutase
SOD pada Usus Halus Tikus yang
Diberi probiotik dan Enteropathogenic
E.coliEPEC.
http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/
uploads/2012/03/Profilimunohistokimia-antioksidansuperoksida-dismutase-SOD-padausus-halus-tikus-yang-diberiprobiotik-dan-enteropathogenic-e.coli-EPEC.pdf
[12 Agustus 2013].
Norhamdani, Khotimah H, Yudhaningtyas
IM. 2000. Uji Efektivitas Ekstrak
Metanol Daun Pare (Momordica
Charantia L.) sebagai Antimikroba
terhadap Bakteri Shigella flexneri
secara
In
Vitro.http://fk.ub.ac.id/artikel/id/filedo
wnload/kedokteran/majalah%20ira%2
0maya.pdf[25 Juni 2013].
Noveria I. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik
yang Dihasilkan Cendawan Endofit
dengan Beberapa Jenis Antibiotik
Sintetik
dalam
Menghambat
Pertumbuhan BakteriStaphylococcus
aureusdanShigellasp.
[skripsi].
Oktora L. 2006. Pemanfataan Obat
Tradisional dengan Pertimbangan
Manfaat dan Keamanannya.Majalah
Ilmu Kefarmasian 3 (1) : 1-7.
Praptiwi, Chairul, MindartiH. 2007. Uji
Efektivitas Ekstrak Etanol Buah
Makasar (Brucea javanica (L.)Merr.)
terhadap Plasmodium bergheipada
Mencit.Majalah
Obat
Tradisional11(41):3-6.
Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi.
Jakarta: Erlangga.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar
MikribiologiJilid 1. Jakarta: UI Press.
Pelczar MJ. Chan ESC. 1988. Dasar-Dasar
Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta : Ui
Press.
Poeloengan M, Chairul, Komala I, Salmah
S, Susan MN. 2006. Aktivitas
Antimikroba dan Fitokimia dari
Beberapa
Tanaman
obat.
http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/en
g/attachments/247_46.pdf [23 Agustus
2013]
Poeloengan M, Andriani, Susan MN,
Komala I, Hasnita M. 2007. Uji Daya
Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit
Batang Bungur (Largestomia speciosa
Pers) terhadap Staphylococcus aureus
dan Escherichia coli Secara In Vitro.
http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/in
d/attachments/217_29.pdf [23 Agustus
2013].
63
Rahayu M, Sunarti S, Sulistiarini D,
Prawiroatmodjo S. 2006. Pemanfaatan
Tumbuhan Obat secara Tradisional
oleh Masyarakat Lokal di Pulau
Wawonii,
Sulawesi
Tenggara.Biodiversitas 7 (3) : 245250.
Rahayu MK, Wiryosoendjoyo K, Prasetyo
A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri
Ekstrak Soxhletasi dan Maserasi Buah
Makasar (Brucea javanica (L) Merr)
Terhadap Bakteri Shigella dysentriae
ATCC 9361 Secara In Vitro.
Biomedika. 2 (1): 40-46.
Republika
2009.
Resisten.
http://www.google.com/search?clien=
mssamsungnchanenenel=mm&ie=ISO88
59=republika=2009=resisten&btng=te
lusuri [10 Februari 2013].
Robinson T. 1995. Kandungan Organik
Tumbuhan
Tingkat
Tinggi,
diterjemahkan oleh Kosasih, P., Edisi
Keenam, 72, 157, 198, Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Rosita K, Kusharto CM, Sekiyama M,
Ohtsuka R. 2006. Penggunaan
Tanaman
Obat
oleh
Pengobat
Tradisional Di Desa Sukajadi Wilayah
Hutan Wisata Curug Nangka, Bogor.
Media Gizi & Keluarga 30 (1): 77-87.
Sampurno. 2007. Obat Herbal dalam
Prespektif
Medik
dan
Bisnis.
http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/13O
BAT%20HERBAL_Sampurno.pdf [03
November 2012].
Santhyami,
Sulistyawati
E.
2009.
Etnobotani Tumbuhan Obat oleh
Masyarakat Adat Kampung Dukuh,
Garut, Jawa Barat. Bogor: LIPI Press.
Sitompul S. 2010. Inventarisasi Tumbuhan
Obat
di
Kecamatan
Namang,
Kecamatan Simpang Katis, dan
Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten
Bangka Tengah [skripsi]. Bangka:
Program Studi Biologi Fakultas
Pertanian, Perikanan dan Biologi,
Universitas Bangka Belitung.
Sjachri M. 1992. Kimia Bahan Alam Hayati.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Suharni TT, Nastiti SJ, Soetarto AES. 2007.
Mikrobiologi Umum. Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I,
Hudaya A. 2010. Karakterisasi
Senyawa Aktif Antibakteri Ekstrak
Air Bunga Kecombrang(Etlingera
elatior) sebagai Bahan Pangan
Fungsional. Valensi 2 (1): 333-339.
Sulistianingsih. 2010. Uji Kepekaan
beberapa Sediaan Antiseptik terhadap
BakteriPseudomonas
aeruginosadanPseudomonas
aeruginosa
Multiresisten(PAMR).
[Laporan
Penelitian
Mandiri].
Jatinangor:
Fakultas
Farmasi,
Universitas Padjajaran.
Sumarsih S. 2003. Mikrobiologi Dasar.
Yogyakarta:
Universitas
Pembangunan Nasional Veteran.
Taofik M, Yulianti E, Barizi A, Hayati EK.
2010.
Isolasi
dan
Identtifikasi
Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun
Paitan (Thitonia diversifolia) sebagai
Bahan Insektisida Hama Tungau
Eriophydae. Alchemy 2 (1): 104-157.
Utami NW. 2008. Fekunditas Brucea
javanica (L) Merr. di Kawasan Wisata
Ilmiah Cimanggu, Bogor.Majalah
Obat Tradisional 13 (45): 101-106.
Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar
dalam Mikrobiologi. Malang: UPT
Universitas Muhammadiyah.
Wilianti
NP.
2009.
Rasionalitas
Penggunaan Antibiotik pada Pasien
Infeksi Saluran Kemih pada Bangsal
64
Penyakit Dalam Di RSUP Dr.Kariadi
Semarang Tahun 2008. Semarang:
Universitas Diponegoro.
YuliantiON.
2009.
Kajian
AktivitasAntioksidan
dan
AntimikrobaEkstrak
Biji,
Kulit
Buah,Batang, dan Daun TanamanJarak
Pagar(Jatropha
curcasL.)[skripsi].Bogor:
Fakultas
TeknologiPertanian,
Institut
PertanianBogor.
Zoetmulder
V.
2011.
Klasifikasi
Pseudomonas
aeruginosa.
http://ventyshi.wordpress.com/2011/1
2/28/klasifikasi-pseudomonasaeruginosa [10 Februari 2013].
65
TEKNIK BERBURU BABI HUTAN OLEH ORANG TIONGHOA
DI PULAU BANGKA
Budi Afriyansyah1), Yulian Fahrurrozi2), Dhonna Frilano3)
Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1)
email: [email protected]
2
Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2)
email: [email protected]
3
Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 3)
email: [email protected]
1
Abstract
Ethnic of Tionghoa is the one of ethnic inhabiting Bangka Island who hunting. They hunt
wild boars. The hunt was predicted existed since very long time ago and still existing till now. It was
predicted has a different method. It can be a part of local wisdom from Ethnic of Tionghoa in
Bangka Island. Verification of their local wisdom about their hunting technique of wild boars was
have to revealed because there is no similar research previously yet. This research is also necessary
for all farmers as an effort in controlling pest (wild boars). Aim of this research was to revealed the
hunting technique of wild boars by Ethnic of Tionghoa in Bangka Island. This research had been
done on March 2012 to July 2012 in Petaling Village and Kace Village. The activity was divided in
two ways (field and non-field). Information and data was collected by using three kinds of technique
(interview, observation and discussion). Information and data was analysed by descriptivequalitative approach, included analysis of content, analysis of comparability, analysis of
reconstructive and analysis of chronological. Result of this research showed that the hunting
technique using lapun and asu’ was represent the original technique from Ethnic of Tionghoa in
Bangka Island. The hunting technique was found about 1970’s. There are four hunting technique
used by them. The techniques are hole trap, fence trap, string trap (sling) and hunting technique
with lapun and asu’. Hunting technique with lapun and asu’ is still existing and using by them. In
Ethnic of Tionghoa opinion, the advantages from hunting are to consumption, to earn more money,
sport, sharing the information facility and to eliminate tired during working.
Keywords: local wisdom, hunting technique, Ethnic of Tionghoa, Bangka Island
1. PENDAHULUAN
Keanekaragaman hayati adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan
berbagai macam bentuk kehidupan di bumi,
interaksi di antara berbagai makhluk hidup
serta antara mereka dengan lingkungannya
(Meridzam et al. 2004). Hal ini mencakup
semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai
dari makhluk sederhana (mikroba) hingga
makhluk yang lebih kompleks, termasuk
manusia. Keanekaragaman hayati merujuk
pada aspek keseluruhan dari sistem penopang
kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial,
ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem
pengetahuan dan etika dan kaitan di antara
berbagai aspek tersebut. Keberagaman sistem
pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga
terkait erat dengan keanekaragaman hayati
(Meridzam et al. 2004).
Indonesia merupakan salah satu negara
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hal ini didukung oleh letak geografis Indonesia
yang berada dalam wilayah tropik sehingga
keanekaragaman hayati yang dimiliki lebih
tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik
(iklim sedang) dan kutub (iklim kutub).
Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia
terlihat dari berbagai macam ekosistem yang
ada di Indonesia, seperti: ekosistem hutan,
ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem hutan
kerangas dan bioma padang, ekosistem padang
rumput, ekosistem savana, ekosistem hutan
bakau, ekosistem air tawar, ekosistem pantai,
ekosistem air laut dan lain-lain. Masing-masing
ekosistem ini memiliki keanekaragaman hayati
tersendiri yang meliputi hewan, tumbuhan dan
mikroorganisme.
66
Manfaat dari keanekaragaman hayati telah
nyata dirasakan oleh setiap individu yang
hidup, termasuk manusia. Manusia mampu
mempertahankan hidup melalui interaksi
dengan alam. Pengambilan energi dilakukan
manusia dari alam, baik melalui hewan,
tumbuhan maupun mikroorganisme. Selain itu,
masih ada fakta manfaat dari keanekaragaman
hayati yang berhubungan dengan ekosistem,
yaitu sebagai sumber pengetahuan maupun
teknologi, fasilitas pengembangan sosial
budaya umat manusia dan memberikan nilai
estetika bagi kehidupan yang merefleksikan
penciptanya.
Di samping itu, keberagaman makhluk
hidup
pada
suatu
ekosistem
dapat
mendatangkan dampak buruk bagi kehidupan
manusia apabila terjadi ketidakseimbangan
pada alam. Hal tersebut tidak terlepas dari
peran manusia terhadap lingkungan. Perubahan
bentang alam melalui konversi hutan menjadi
lahan pertanian dan perkebunan yang
dilakukan
oleh
manusia
menyebabkan
ketidakseimbangan alam. Dampaknya terlihat
dari sebaran populasi hewan. Banyak hewan
yang menempati habitat baru. Keterbatasan
sumber daya alam di habitatnya yang baru
mengakibatkan hewan kesulitan untuk mencari
sumber makanan, akibatnya hewan tersebut
memasuki wilayah pertanian atau perkebunan.
Kondisi seperti ini yang menjadikan hewan
mendapatkan predikat sebagai hama.
Babi hutan merupakan hewan yang dapat
diklasifikasi ke dalam hama. Hewan ini
mengganggu dan merusak lahan pertanian dan
perkebunan. Keberadaan babi hutan yang tidak
terkendali mampu memberikan ancaman bagi
lingkungan, khususnya bagi para manusia yang
memanfaatkan lahan untuk bertani dan
berkebun. Bahkan, menurut Lucchini et. al.
(2005) keanekaragaman babi hutan di Asia
Tenggara merupakan yang tertinggi di dunia.
Hama yang muncul dapat dikendalikan
dengan berbagai cara. Salah satunya adalah
dengan melakukan perburuan. Perburuan
dilakukan untuk menekan pertumbuhan
populasi hewan (hama) yang tidak terkendali.
Pada awalnya, perburuan hanya dilakukan
sebagai salah satu teknik untuk memperoleh
makanan.
Namun,
sepanjang
perkembangannya perburuan telah mengalami
peningkatan nilai pada beberapa aspek
kehidupan, yaitu perdagangan, sosial-budaya
dan ilmu pengetahuan bahkan teknologi. Di
Indonesia, ada beberapa daerah yang
masyarakatnya melakukan kegiatan perburuan,
salah satunya adalah Kepulauan Bangka
Belitung.
Kepulauan Bangka Belitung merupakan
daerah yang kaya akan sumber daya alam,
khususnya Pulau Bangka. Selain itu, pulau ini
juga memiliki keragaman dan kekhasan budaya
yang dihasilkan oleh beragam etnik yang
menjadi penghuninya. Pada sekitar tahun 1700,
ada empat etnik yang tinggal di Pulau Bangka
yaitu orang Cina, Melayu, Hill People (orang
gunung atau orang darat) dan Sea Dwellers
(orang laut atau orang pesisir) (Elvian 2009).
Selanjutnya, hingga satu dekade terakhir pulau
ini dihuni oleh berbagai etnik, antara lain
Melayu, Jawa, Bugis, Banten, Banjar, Madura,
Palembang, Minang, Aceh, Flores, Maluku,
Manado dan Tionghoa (Cina), namun
didominasi oleh orang Melayu dan orang
Tionghoa (Anonim 2010; Elvian 2011).
Masing-masing etnik tadi memiliki cara
berbeda
dalam
memperlakukan
alam.
Kebiasaan masyarakat tradisional/lokal dalam
menjaga dan mengelola sumber daya alamnya
selama ini menjadi salah satu kunci
keberlangsungan ekosistem.
Masing-masing etnik memiliki cara
tersendiri dalam berinteraksi dengan alam.
Salah satunya adalah Orang Tionghoa yang
melakukan perburuan babi hutan. Perburuan
tersebut diasumsikan sudah berlangsung sejak
dahulu dan masih bertahan sampai sekarang.
Selain itu, diduga teknik berburu mereka
memiliki kekhasan. Hal ini dapat menjadi salah
satu bagian dari kearifan lokal orang Tionghoa
di Pulau Bangka.
Pengungkapan kearifan lokal Orang
Tionghoa di Pulau Bangka tentang teknik
perburuan babi hutan perlu dilakukan karena
sebelumnya belum ada kajian tentang hal ini.
Selain itu, penelitian ini juga penting bagi para
petani sebagai upaya dalam pengendalian hama
babi hutan. Pengetahuan masyarakat tentang
teknik perburuan babi hutan diharapkan dapat
menjadi solusi efektif bagi pengendalian hama
babi hutan. Penelitian ini memiliki tujuan
mengungkap teknik-teknik berburu babi hutan
oleh orang Tionghoa di Pulau Bangka.
67
2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Maret 2012 sampai dengan bulan Juli 2012 di
Desa Petaling dan Desa Kace Kecamatan
Mendo Barat Kabupaten Bangka. Kegiatan
berburu babi hutan oleh orang Tionghoa
merupakan fokus penelitian. Aktivitasnya
dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan lapangan
dan non-lapangan. Tempat kegiatan lapangan
adalah lokasi berburu, sedangkan tempat
kegiatan non-lapangan adalah kediaman
pemburu.
Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini
dilakukan
melalui
pendekatan
interdisiplin
(ekologi
dan
antropologi) dengan tujuan mengungkap
kearifan tradisional atau kearifan lokal yang
dianut etnik Tionghoa dalam aktivitas
perburuan babi hutan. Pengamatan difokuskan
pada kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat, atau dengan kata lain dengan
menggunakan metode etnografi dengan melihat
tingkah laku yang terwujud dengan
mengabstraksikan kenyataan dan fakta ke
dalam kategorisasi untuk mendapatkan
pengetahuan budaya yang mendasari tingkah
laku yang bersangkutan (Elvian 2009). Model
ini dilakukan dengan bantuan pengamatan serta
keterlibatan peneliti di masyarakat.
Prosedur Penelitian
Pengumpulan informasi dan data
menggunakan tiga macam teknik, yaitu
wawancara, pengamatan dan diskusi. Teknik
pemilihan informan dan penentuan objek
pengamatan dengan pendekatan purposif,
berarti responden dan lokasi ditentukan lebih
dulu secara sengaja dengan pelbagai
pertimbangan, prinsip keterwakilan (umum),
informasi sebelumnya ataupun perkembangan
situasi dan kondisi faktual dan aktual di
lapangan.
Wawancara bersifat tidak terstruktur
(terbuka-mendalam
atau
open-ended,
individual dan kolektif), baik di lokasi berburu
atau kediaman pemburu. Pengamatan lapangan
dilakukan secara langsung dan partisipatif,
meliputi pengamatan di lokasi berburu dan
kediaman masyarakat. Pengamatan di lokasi
berburu dilakukan saat kegiatan perburuan
berlangsung, targetnya adalah kegiatan berburu
dan perilaku hewan buruan. Pengamatan di
kediaman masyarakat dilakukan di rumah dan
halaman/pekarangan, targetnya kegiatan seharihari terkait pemanfaatan hewan buruan.
Kegiatan
pengamatan
lapangan
dilakukan secara terpisah atau bersama dengan
wawancara. Pelaksanaannya mengarah kepada
teknik pengamatan terlibat. Peneliti lebih
banyak
ikut-serta
menjalani
aktivitas
kehidupan masyarakat sehari-hari untuk
diamati. Proses pengamatan didokumentasikan
menggunakan kamera foto/video, lalu hasilnya
dicatat.
Diskusi dilakukan dalam rangka
konfirmasi informasi dan data yang diperoleh
dari pengamatan dan wawancara, dari catatan
ataupun
rekaman
foto
dan
video.
Pelaksanaannya mirip diskusi kelompok
terfokus, antara peneliti dan seorang
(individual) serta beberapa informan (kolektif).
Ini bertujuan untuk verifikasi data dan
informasi. Verifikasi tersebut dilakukan untuk
memperjelas, menyamakan dan mencegah
kekeliruan pemahaman (persepsi), serta
mempermudah rekonstruksi konsep lokal.
Informasi dan data yang tertinggal dan belum
tergali dapat dijaring, dikoreksi dan diungkap
lagi melalui diskusi konfirmasi ini. Diskusi ini
sekaligus sebagai kegiatan pra-analisis (analisis
partisipatif) yang dilakukan di lapangan
melibatkan informan, dengan prinsip bahwa
kelompok pemburu pun ikut terkondisi sebagai
subjek penelitian, bukan sekedar objek.
Pengolahan dan Analisis Data
Kumpulan informasi dan data dari
lapangan bersifat primer, baik kualitatif
maupun kuantitatif. Data emik (dari
pengetahuan lokal) berupa informasi hasil
wawancara dan pengamatan langsung kegiatan
masyarakat di lapangan dikumpulkan dan
dibuat uraiannya. Pada pendekatan kualitatif,
data dibuatkan tabel dan matriks dengan
penandaan khusus yang perlu (Rahman 1999
dalam Fakhrurrozi 2011), skema/bagan, peta
dan sketsa rekonstruktif, serta penjelasannya
(uraian deskriptif).
Analisis informasi dan data umumnya
dengan
pendekatan
deskriptif-kualitatif,
meliputi analisis konten, analisis komparatif,
analisis rekonstruktif dan analisis kronologis
(Fakhrurrozi 2011).
68
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sepanjang Orang Tionghoa melakukan
perburuan, mereka hanya mendapati 2 (dua)
macam babi hutan, yaitu apa yang mereka
sebut dengan babi kecakal (Ai Kiok) dan babi
rimba’ (Cin Cu). Menurut Damayanti (2007)
hanya ada satu kelompok jenis babi hutan yang
ada di pulau bangka yaitu sub-spesies dari
bearded pig (Sus barbatus oi). Kemungkinan
dua macam babi hutan tersebut merupakan sub
spesies atau variasi yang dihasilkan oleh
perbedaan habitat lingkungan. Selain itu diduga
bahwa pembagian dua macam babi hutan oleh
Orang Tionghoa tersebut merupakan taksonomi
lokal dan merupakan bagian dari kearifan lokal
mereka. Dari penjelasan para pemburu,
didapatkan indikasi mengenai kedua macam
babi hutan pada Tabel 1.
Persepsi Orang Tionghoa Bangka Tentang
Berburu Babi Hutan
Bagi Orang Tionghoa yang telah lama
tinggal dan menetap di Pulau Bangka,
khususnya para pemburu yang berperan
sebagai informan kunci, berburu merupakan
sarana dalam upaya pengalihan dari berbagai
rutinitas sehari-sehari selama berkerja dan
aktivitas lainnya. Menurut para pemburu,
berburu babi hutan dapat dimanfaatkan untuk
konsumsi, sarana olahraga, berkumpul dengan
kerabat dan keluarga bahkan berburu dapat
dijadikan obat untuk menghilangkan penat
(tekanan/stress) selama beraktivitas di rumah
dan tempat bekerja.
Tabel 1 Macam babi hutan berdasarkan pengakuan Orang Tionghoa
Nama Pemberian
Babi Kecakal
(Ai Kiok)
Babi Rimba’
(Cin Cu)
Ciri Khas
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Warna tubuh dominan gelap; rambut pada tubuh berwarna hitam.
Ukuran tubuh relatif lebih kecil.
Bobot tubuh relatif lebih ringan (< 200 kg pada saat dewasa).
Gerakannya lebih gesit.
Tidak dapat mengenali habitat/ lingkungan (arah pergi-pulang).
Frekuensi perjumpaan tinggi.
Warna tubuh dominan terang; rambut pada tubuh berwarna putih sedikit
kehitam-coklatan.
Ukuran tubuh relatif lebih besar.
Bobot tubuh relatif lebih berat (rata-rata >200 kg pada saat dewasa).
Gerakannya lebih lamban.
Dapat mengenali habitat/lingkungan (arah pergi-pulang).
Frekuensi perjumpaan rendah.
Keanekaragaman babi hutan di Asia
Tenggara merupakan yang tertinggi di dunia
(Lucchini et al. 2005). Penentuan sistematika
babi hutan di Asia Tenggara telah diupayakan
melalui studi-studi terkait walaupun jumlah
spesiesnya masih belum diketahui dengan jelas
(MacDonald 1993; Groves & Grubb 1993;
Oliver et al. 1993 dalam Damayanti 2007).
Groves (2001) dalam Damayanti (2007)
membagi babi hutan Asia Tenggara ke dalam
tiga kelompok, yaitu S. scrofa, S. verrucosus
dan S. philippensis. Seluruh babi dalam
kelompok S. scrofa ini dimasukkan ke dalam
satu spesies yang disebut Eurasian Wild Pig (S.
scrofa) kecuali Pigmy Hog (S. salvanius).
Menurut Damayanti (2007), kelompok S.
verrucosus terdiri dari Warty Pig (S.
verrucosus) yang ditemukan di Jawa, Madura
dan Bawean, Indochinese Pig (S. bucculentus)
yang hanya ditemukan di Laos, Palawan Pig
(S. ahoenobarbus) yang ditemukan di Palawan
dan Calamianes, Sulawesi Warty Pig (S.
celebensis) dari Sulawesi dan pulau-pulau kecil
di sekitarnya, Visayan Pig (S. cebifrons) dari
Negros, Panay, Masbate dan Cebu, Bearded
Pig (S. barbatus) dari Kalimantan, Sumatera,
Bangka, Kepulauan Riau dan Semenanjung
Malaya. S. barbatus memiliki dua sub-spesies,
yaitu S. b. barbatus dari Kalimantan dan S. b.
oi dari Sumatera, Bangka, Kepulauan Riau dan
Semenanjung Malaya.
69
Tubuh babi hutan berwarna abu-abu
kehitaman dan terdapat garis putih pada sekitar
bagian bawah tubuhnya (tubuh bagian sekitar
perut, kaki dan dekat ekor). Hewan ini
memiliki ukuran tubuh yang sedang-besar
(ungulata besar). Babi hutan dianggap dewasa
ketika sudah mencapai bobot tubuh minimum
30 kg (betina) dan 30-35 kg (jantan). Babi
hutan yang sudah dewasa akan membentuk
kelompok mereka sendiri (Andersson 2010).
Tubuh babi hutan ditumbuhi rambut jarang.
Hewan ini memiliki kaki yang pendek.
Babi hutan
merupakan satwa yang
sanggup bertahan hidup pada berbagai macam
kondisi habitat dan juga dapat bertahan hidup
dalam kondisi kekurangan sumber pakan.
Namun, hewan ini lebih menyukai habitat yang
eksklusif dan tenang meskipun telah banyak
kasus yang menyebutkan bahwa hewan ini
sering muncul dekat daerah perkebunan dan
pemukiman warga. Mereka sering dijumpai
hidup berkelompok dalam jumlah antara 20
sampai 30 ekor. Pencarian makan biasanya
dilakukan pada sore hingga larut malam,
bahkan hingga subuh hari. Azhima (2001)
menyebutkan bahwa aktivitas harian babi hutan
sebagian besar digunakan untuk mencari
makan yaitu 67,5% dari seluruh aktivitas
harian. Sebagai informasi, pada saat mereka
merasa terancam, hewan ini akan sangat agresif
dan akan mencari perlindungan tanpa
memperhatikan wilayah sekitarnya.
Babi
hutan
dapat
melakukan
perkembangbiakan setelah mencapai bobot 3050 kg atau lebih. Peningkatan populasi akan
mengalami peningkatan yang sangat signifikan
pada saat musim hujan (Fernandez-Llario &
Mateos-Quesada
2005).
Hal
tersebut
dimungkinkan
karena
melimpahnya
ketersediaan makanan bagi babi hutan,
khususnya
babi
hutan
betina
yang
membutuhkan nutrisi lebih bagi anak-anaknya.
Fernandez-Llario & Mateos-Quesada (2005)
juga mengatakan bahwa ada hubungan yang
erat antara kondisi lingkungan dengan jumlah
babi
hutan
betina
yang
mengalami
kebuntingan.
Tabel 2 Frekuensi perjumpaan pemburu dengan babi hutan
Bulan
Frekuensi perjumpaan
Babi hutan kecakal
Babi hutan rimba’
(Ai Kiok)
(Cin Cu)
Juli
8
1
Agustus
9
-
September
7
1
Oktober
10
-
November
12
-
Desember
15
-
Januari
19
1
Februari
12
-
Maret
8
-
April
22
1
Mei
14
-
Juni
6
-
(Tahun 2013-2014)
70
Frekuensi perjumpaan para pemburu
dengan babi hutan kecakal (Ai Kiok) lebih
tinggi dibandingkan dengan babi hutan rimba’
(Cin Cu) (Tabel 2). Ada kemungkinan bahwa
keberadaan babi hutan kecakal (Ai Kiok) lebih
banyak dibandingkan dengan babi hutan
rimba’ (Cin Cu). Namun, belum ada penelitian
terkait jumlah populasi babi hutan yang ada di
Pulau Bangka.
Ada
sebagian
pemburu
yang
memanfaatkan hasil buruannya untuk dijual.
Hal ini akan membantu menambah pendapatan.
Kisaran harga babi hutan di pasar adalah Rp.
35-40 ribu. Harga ini lebih rendah
dibandingkan dengan harga babi peliharaan
(ternak). Harga babi peliharaan (ternak) di
pasar berkisar Rp. 90 ribu. Menurut informan,
perbedaan ini dikarenakan hanya babi
peliharaan (ternak) yang dapat dikonsumsi
pada
ritual
peribadatan
kepercayaan
(sembahyang). Babi hutan dianggap kotor dan
memiliki kehidupan yang teratur sehingga
tidak pantas dihadapkan pada hal-hal yang
bersifat suci. Babi hutan dan babi peliharaan
dapat dibedakan secara morfologi (Tabel 3).
Tabel 3 Perbandingan antara babi hutan dan babi peliharaan (ternak)
Pembanding
Jenis Babi
Babi hutan
Babi peliharaan (ternak)
Lama pemeliharaan
6-7 bulan
+ 3 bulan
Bobot pencapaian
40-50 kg
40-50 kg
Bentuk tubuh
Padat berisi dan terlihat ramping
Gempal dan terlihat lebih berlemak
Warna tubuh
Hitam
Belang; hitam kecoklatan dengan warna
putih kemerahan yang dominan
Sejarah Perkembangan Teknik Berburu
Menurut Orang Tionghoa
Awal kemunculan teknik berburu
menggunakan lapun dan asu’ yang sampai
sekarang masih diadopsi oleh Orang Tionghoa
ini tidak diketahui secara pasti. Namun,
informan kunci menyebutkan bahwa teknik ini
mulai berkembang dan digunakan sekitar tahun
1970-an. Pelopor teknik ini adalah Orang
Tionghoa atau biasa disebut singkek.
Sebelumnya Orang Tionghoa melakukan
berbagai upaya modifikasi terhadap teknik
berburu.
Berikut berbagai macam teknik berburu
telah dikembangkan oleh Orang Tionghoa
Pulau Bangka sejak awal hingga menemukan
teknik berburu yang digunakan sampai
sekarang, yaitu teknik berburu dengan
menggunakan lapun dan asu’. Menurut
informan kunci, teknik berburu terdahulu ada 3
(tiga), yaitu:
1. Jebakan Lubang (Cu Ham)
Teknik yang dilakukan secara pasif
ini memanfaatkan lubang yang dibuat sedalam
+ 2 meter dan pada permukaan bawah lubang
tersebut diletakkan tombak. Pada permukaan
atas dilapisi dengan ranting pohon untuk
mengelabuhi hewan yang menjadi target (babi
hutan).
Berdasarkan
pengalaman
para
pemburu, teknik ini kurang memberikan hasil
nyata
karena tidak dapat
dipastikan
keberhasilannya. Alat yang digunakan adalah
cangkul, parang/golok dan linggis. Bahan yang
digunakan adalah bambu/batang kayu (keras),
ranting pohon, daun-daun yang telah gugur,
dan umpan (jika diinginkan).
71
b.
c.
d.
Gambar 4 Ilustrasi jebakan lubang
Berikut adalah langkah-langkah kerja pada
teknik berburu menggunakan jebakan lubang.
a. Lokasi yang akan dibuat lubang jebakan
(biasanya ditentukan secara acak)
ditentukan
lalu
dibuatkan
lubang
berbentuk persegi panjang dengan ukuran
panjang, lebar dan tinggi berturut-turut
adalah 1,5 m, 1 m dan 2 m.
b. Tombak dibuat dengan ukuran panjang +
1 meter dan ditancapkan di dalam lubang
(disusun secara simetris dengan posisi
tombak mengikuti bentuk lubang).
c. Lubang ditutupi dengan ranting-ranting
pohon dan daun-daun.
d. Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi
jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang
di sekitar lubang jika diinginkan.
e. Jebakan dibiarkan selama 1-2 hari lalu
dilakukan pengamatan.
2. Jebakan Pagar (Serok)
Teknik lanjutan ini mengusung jebakan
yang lebih meyakinkan. Penentuan lokasi
sangat diperhatikan untuk keberhasilan teknik
ini. Setelah itu dipasang pagar berbentuk
persegi atau sesuai kondisi lapangan dan
dibuatkan satu pintu masuk satu arah sehingga
ketika target buruan telah masuk dan
terperangkap, maka sudah dapat dipastikan
tidak dapat keluar. Di dalam jebakan tersebut
disediakan umpan yang menjadi penarik
perhatian bagi target buruan.
Alat yang digunakan adalah parang/golok,
cangkul, linggis, palu, paku, gergaji, dan tali
nilon. Bahan yang digunakan adalah batang
kayu (ukuran besar & kuat). Berikut adalah
langkah-langkah kerja pada teknik berburu
menggunakan jebakan pagar.
a. Batang kayu dicari yang berukuran
diameter >10 cm dan dipotong dengan
panjang + 2,5 m (jumlah menyesuaikan).
e.
f.
Ditambah dua batang kayu dengan ukuran
+ 4,5 m (penyanggah pintu jebak).
Batang kayu disusun sehingga terbentuk
seperti pagar dengan ukuran 4 x 2 m
dengan satu pintu. Pintu dibuat pada sisi
yang memiliki panjang 2 m.
Pagar yang telah berdiri ditambahkan
palang kayu pada masing-masing sisi lalu
dipaku agar lebih kuat.
Pintu diikatkan pada kayu panyanggah
yang telah dipasang dengan menggunakan
tali nilon (kuat/banyak serat) dan pada
ujung tali dipasangkan pada pelepas pintu
pagar. Pelepas dibuat sedemikian rupa
sehingga
akan
terlepas
ketika
tersenggol/terinjak oleh babi hutan.
Pelepas diletakkan pada pojok sisi yang
berlawanan dengan pintu atau pada pojok
sisi yang memiliki panjang 4 m.
Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi
jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang
di dalam jebakan pagar untuk menarik
perhatian babi hutan. Umpan diletakkan di
tengah jebakan pagar.
Jebakan dibiarkan selama 2-3 hari atau 3-4
hari lalu dilakukan pengamatan.
Gambar 5 Ilustrasi jebakan pagar
3.
Jebakan Tali/Sling (Jiret)
Berdasarkan dua teknik sebelumnya, para
pemburu berupaya agar teknik yang mereka
gunakan dalam perburuan menjadi lebih efisien
dan efektif dalam menghadirkan hasil yang
diinginkan. Tali (sling) diikatkan pada batang
pohon yang dapat diregangkan dan dikaitkan
pada pelontar yang di atasnya diberikan
umpan. Teknik ini dapat diaplikasikan di
berbagai titik lokasi yang diprediksi menjadi
tempat berkeliaran atau lalu-lalang hewan
buruan.
72
Alat yang digunakan adalah linggis dan
parang/golok. Bahan yang digunakan adalah
batang kayu (samak, merapin, pelawan atau
kayu keras lain), tali/sling (tali nilon dengan
serat yang tebal juga diperbolehkan), kabel besi
dan daun-daun yang telah gugur. Berikut
adalah langkah-langkah kerja pada teknik
berburu menggunakan jebakan tali/sling.
a. Batang kayu (samak, merapin, pelawan
atau kayu keras lain) dicari dan dipotong
dengan ukuran diameter 5-10 cm dan
panjang + 2,5 m lalu dibersihkan ranting
dan dahannya tetapi disisakan ranting
yang berada di ujung batang sebagai
penahan tali yang akan diikat.
b. Tali/sling (tali nilon dengan serat yang
tebal
juga
diperbolehkan)
dipasangkan/diikatkan pada ujung batang
kayu yang telah disiapkan.
c. Simpul dibuat pada kabel besi dan
diikatkan dengan ujung tali yang telah
diikatkan pada batang kayu.
d. Batang kayu ditancapkan ke dalam tanah
dengan kedalaman + 70 cm.
e. Lubang berbentuk persegi panjang digali
dengan panjang, lebar dan tinggi berturutturut adalah 20 cm, 15 cm, dan 10-20 cm.
f. Penahan tali (pelepas) dipersiapkan dan
diletakkan penahan tali (pelepas) diatas
lubang yang telah disiapkan.
g. Lubang dan jebakan tali tersebut ditutup
dengan daun yang telah disiapkan sebagai
bentuk kamuflase.
h. Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi
jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang
di sekitar lubang jika diinginkan.
i. Jebakan dibiarkan selama 1-2 hari lalu
dilakukan pengamatan.
Gambar 6 Ilustrasi jebakan tali/sling
Perkembangan ini diperkirakan terjadi
sejak tahun 1960-an dan selanjutnya
ditemukanlah teknik berburu yang dianggap
paling mutakhir, efisien dan efektif pada tahun
1970-an. Teknik tersebut adalah kolaborasi
antara belapun dan berasu’. Teknik ini masih
dipertahankan oleh Orang Tionghoa di Pulau
Bangka. Ini menjadi bukti bahwa teknik ini
mempunyai kelebihan bagi para pemburu jika
dibandingkan
dengan
teknik-teknik
sebelumnya.
Menurut pengakuan informan kunci,
sebelum ditemukan teknik berburu ini,
perburuan
masih
dilakukan
secara
serampangan karena hanya mengandalkan
pengalaman dan ilmu turun-temurun yang
sifatnya terbatas. Berbeda dari teknik yang ada
sebelumnya, teknik yang diklaim terbaik ini
terdapat proses pengamatan awal (observasi)
dengan memperhatikan variabel keberadaan
target hewan buruan. Proses ini mereka sebut
dengan menapak. Proses ini jugalah yang
menjadi pembeda signifikan terhadap teknikteknik
terdahulu.
Selain
itu,
dalam
penerapannya, teknik ini bisa mengetahui
waktu dan lokasi yang tepat sehingga harapan
tidak jauh dari hasil yang didapatkan.
Teknik berburu dengan lapun dan asu’
masih digunakan hingga sekarang. Hal ini
karena adanya komunikasi yang baik dari
setiap Orang Tionghoa yang ada di Pulau
Bangka. Meskipun demikian teknik inipun
digunakan oleh Orang Melayu, baik
dimanfaatkan untuk berburu rusa/pelanduk
maupun babi hutan, seperti halnya yang
ditargetkan oleh Orang Tionghoa.
Teknik berburu babi hutan yang masih dan
tetap dipertahankan oleh Orang Tionghoa
hingga saat ini adalah teknik berburu dengan
lapun dan asu’ (Tabel 3). Dugaan awal
mengenai hal tersebut adalah teknik tersebut
lebih efisien (tidak memerlukan penentuan
waktu terlebih dengan waktu yang lama) dan
lebih efektif (tepat sasaran karena pemburu
dapat melakukan estimasi akurat terhadap hasil
buruan). Dugaan tersebut tidak bertentangan
dengan apa yang disampaikan oleh para
pemburu. Menurut para pemburu teknik yang
masih bertahan ini lebih memberikan hasil
yang memuaskan (kuantitas) daripada tiga
teknik sebelumnya.
Ada beberapa kekurangan yang terdapat
pada tiga teknik berburu sebelumnya. Jebakan
lubang memerlukan kerja ekstra karena harus
melakukan penggalian terlebih dahulu dan
memiliki dampak ekologis karena biasanya
mereka membiarkan lubang yang telah dibuat
73
meskipun tombak yang ada di dalam lubang
sudah ditiadakan. Selain itu, ada kemungkinan
bahwa hewan lain yang bukan menjadi target
buruan dapat terjebak.
Jebakan pagar juga memerlukan kerja
ekstra karena harus membuat pagar terlebih
dahulu dan harus mempersiapkan umpan yang
diletakkan di dalamnya. Jebakan ini juga
memiliki dampak ekologis yaitu ada
kemungkinan bahwa hewan lain yang bukan
menjadi target buruan dapat terjebak. Jebakan
tali/sling tidak memerlukan kerja ekstra, namun
jebakan ini juga memiliki dampak ekologis
yaitu ada kemungkinan bahwa hewan lain yang
bukan menjadi target buruan dapat terjebak.
Terkahir, mereka menciptakan teknik berburu
dengan lapun dan asu’ yang bertahan hingga
kini.
Tabel 4 Perbandingan dari empat teknik berburu oleh Orang Tionghoa
No.
Jenis Teknik
Berlanjut
Dampak
ekologis
Keterangan
1
Jebakan lubang
Tidak
Ada
Pembiaran lubang, salah sasaran/target buruan
2
Jebakan pagar
Tidak
Ada
Salah sasaran/target buruan
3
Jebakan tali/sling
Tidak
Ada
Salah sasaran/target buruan
4
Belapun dengan asu’
Masih
-
-
Berburu Babi Hutan Ala Orang Tionghoa
Bangka
Teknik berburu babi hutan yang sampai
saat ini digunakan atau diadopsi oleh Orang
Tionghoa di Pulau Bangka adalah belapun
dengan asu’. Hal penting dalam teknik berburu
mereka adalah penggunaan alat dan cara yang
khas, yaitu dengan menggunakan lapun atau
disebut jaring dan memanfaatkan asu’ atau
anjing berburu yang terlatih.
Gambar 7 Skema teknik berburu belapun oleh Orang Tionghoa Bangka
Teknik berburu menggunakan lapun dan
asu’ dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan
(Gambar 7). Tidak ada pantangan di dalam
perburuan babi hutan bagi Orang Tionghoa di
Pulau Bangka. Bagi pemburu yang lapun-nya
secara berturut-turut dan dalam jangka waktu
yang lama belum juga mendapatkan babi hutan
maka lapun ini disebut lapun basa. Hal ini
dapat diantisipasi dengan penabar lapun (asal
kata tabar) atau disyarat. Prosesi tabar ini telah
dilakukan dan selalu memberikan pengaruh
yang nyata terhadap hasil tangkapan babi
74
hutan. Langkah kerja dari penabar lapun ini
sebagai berikut.
1. Disiapkan alat (lapun) dan bahan (buah
nangka atau potongan batang pisang)
2. Disusun dua samapai lima buah lapun
seakan melakukan perburuan yang
sebenarnya.
3. Disiapkan dua orang yang diposisikan
pada kiri dan kanan lapun yang telah
dipasang.
4. Satu orang membawa bahan yang telah
disiapkan lalu dari jarak 5-10 meter
memperagakan penggiring babi hutan.
5. Dilemparkan bahan ke dalam lapun
seakan-akan bahan tersebut adalah babi
hutan. Lalu ditanyakan kepada kedua
penjaga “jantan atau betina”. Salah satu
penjaga harus menjawab dengan jawaban
yang bebas.
6. Dilakukan perburuan yang sebenarnya.
Gambar 9
Posisi strategis dalam teknik
berburu Orang Tionghoa; a. Bentang
perangkap, b. Penjaga, c. Komandan pembawa
asu’, d. Target buruan
Para pemburu menetapkan posisi strategis
pada teknik berburu dengan lapun dan asu’
(Gambar 9). Posisi strategis ini membutuhkan
pelaku berburu minimal sebanyak 3 (tiga)
orang (poin b & c). Meski demikian, teknik ini
juga dapat dieksekusi oleh 1 (satu) orang
dengan bantuan alat tambahan berupa kain
putih panjang (biasanya digunakan pada siang
hari) dan lilin (biasanya digunakan pada malam
hari). Kegunaan alat tambahan ini adalah
sebagai penggiring babi hutan menuju lapun
yang telah disiapkan. Alat tambahan ini
digunakan sebagai pengganti penjaga sisi kiri
dan kanan lapun (poin b). Alat tambahan ini
dipasang pada ujung sisi kiri dan kanan lapun.
Pemasangannya mengarah pada orang yang
membawa asu’ (penggiring).
Hubungan antara Berburu dengan Lingkungan
Gambar 8 Bentuk asli (kiri) dan ilustrasi
model lapun/jaring (kanan); a. Kawat pengait,
b. Tali pengikat
Teknik berburu ini erat kaitannya dengan
lapun dan asu’. Lapun merupakan alat tangkap
yang menyerupai dome (kubah) berjaring
dengan lubang pada kedua ujungnya (Gambar
8). Alat ini dibuat dengan bahan kawat logam.
Sedangkan asu’ merupakan alat bantu untuk
menggiring babi hutan ke arah perangkap
lapun yang telah dipasang pada lokasi tertentu.
Menurut informan kunci, asu’ yang dapat
dilatih atau mampu membantu para pemburu
yaitu yang telah berusia minimal 1 (satu) tahun.
Namun dalam praktiknya, para pemburu sering
memberikan pelatihan terhadap asu’ yang baru
menginjak usia 7 sampai <12 bulan.
Perburuan satwa merupakan bagian
tradisional dari aspek ekonomi dan budaya
lokal di wilayah tropis dan oleh karena itu
perburuan dianggap lestari. Perburuan satwa di
daerah tropis sangat berbeda dengan daerah
temperate karena umumnya dilakukan untuk
kebutuhan subsistens dan komersial (Robinson
& Bodmer 1999). Selain merupakan budaya
tradisional turun temurun dan dapat
meningkatkan ekonomi masyarakat di daerah
pedesaan, perburuan satwa di hutan-hutan
tropis merupakan kebutuhan yang mendasar
bagi
masyarakat
tradisional
untuk
mempertahankan hidup (De Vos 1973;
Eltringham 1984; Redford & Robinson 1987).
Ketika
aktivitas
perburuan
mampu
menyediakan produk yang bernilai bagi
konsumen, satwa kemudian dipertimbangkan
sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga
(Hart 1978; Bodmer et al., 1990; Pattiselanno
2003).
Saat ini, hasil dari berbagai studi
menunjukkan bahwa perburuan satwa tidak
lagi lestari dan fenomena ini digambarkan
sebagai “the empty forest” (Redford 1992).
Ancaman terhadap kelestarian satwa ini antara
lain
disebabkan
karena
sudah
tidak
dipraktekkannya lagi sejumlah aturan budaya
turun temurun yang tidak mendukung
75
perburuan lestari sebagai akibat dari semakin
terbukanya isolasi di daerah tertentu. Di sisi
lain, hasil kajian yang dilakukan menunjukkan
bahwa kearifan lokal yang dimiliki Orang
Tionghoa di Pulau Bangka merupakan aturan
setempat yang dapat digunakan sebagai
pengontrol pemanfaatan sumberdaya alam
yang tidak terkendali termasuk perburuan
satwa.
Kearifan lokal (traditional/local wisdom)
adalah sistem sosial, politik, budaya, ekonomi
dan lingkungan dalam lingkup komunitas lokal.
Sifatnya dinamis, berkelanjutan dan dapat
diterima. Pattinama (2009) menjelaskan bahwa
kearifan lokal mengandung norma dan nilai
sosial yang mengatur bagaimana seharusnya
membangun keseimbangan antara daya dukung
lingkungan alam dengan gaya hidup dan
kebutuhan manusia. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa kearifan tradisional lahir dari learning
by experience yang tetap dipertahankan dan
diturunkan dari generasi ke generasi. Kearifan
tradisional digunakan untuk menciptakan
keteraturan
dan
keseimbangan
antara
kehidupan sosial, budaya dan kelestarian
sumberdaya alam. Dalam penerapannya,
kearifan lokal bisa dalam bentuk hukum,
pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial
dan etika yang hidup dan berkembang dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Selama ini hasil dari berbagai studi di
beberapa negara menunjukkan bahwa praktek
kearifan lokal masih berlaku dalam kehidupan
masyarakat lokal diantaranya penggunaan alat
buru, lokasi perburuan, praktek tabu yang
dipercayai masyarakat setempat, jenis hewan
yang diburu serta aturan yang berlaku dalam
masyarakat (Hart 1978; Kwapena 1984;
Redford 1992; Madhusudan & Karanth 2002).
Namun, untuk kondisi di Pulau Bangka hal
yang dianggap sebagai bagian dari kearifan
lokal Orang Tionghoa dalam melakukan
aktivitas perburuan, yaitu teknik-teknik
berburu yang khas. Dalam interaksi antara
manusia dan satwa liar, pemanfaatan satwa
oleh manusia merupakan bagian dari siklus
alami yang ikut mengatur kondisi populasi
satwa di alam. Dalam konteks aktivitas
perburuan hubungan ini juga menggambarkan
praktik etika konservasi yang dianut
masyarakat setempat sebagai bagian dari
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada
(Pattiselanno 2008).
4. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini, maka dapat
disimpulkan beberapa hal penting, yaitu teknik
berburu menggunakan lapun dan asu’ merupakan
teknik asli Orang Tionghoa di Pulau Bangka.
Teknik berburu ini ditemukan pada sekitar tahun
1970-an. Ada empat teknik berburu yang
digunakan, yaitu jebakan lubang (Cu Ham),
jebakan pagar (Serok), jebakan tali/sling (Jiret),
dan berburu dengan lapun dan asu’. Teknik yang
masih bertahan dan tetap digunakan hingga
sekarang adalah berburu dengan lapun dan asu’.
Perburuan dimanfaatkan oleh Orang Tionghoa
untuk konsumsi, menambah pendapatan,
olahraga, sarana berbagi informasi dan
menghilangkan penat selama bekerja.
Lapun
Asu’
Belapun
Berasu’
DAFTAR ISTILAH
: jaring yang digunakan untuk
berburu babi hutan oleh
Orang Tionghoa. Terbuat dari
anyaman kawat baja.
: hewan
(anjing)
yang
dijadikan alat bantu berburu
babi hutan oleh Orang
Tionghoa.
: kegiatan berburu babi hutan
menggunakan lapun.
: kegiatan berburu babi hutan
memanfaatkan bantuan asu’
(anjing).
5. REFERENSI
Andersson A. 2010. Maternal Behaviour,
Infanticide and welfare in enclosed
European wild boars (Sus scrofa)
[Thesis]. Swedia: Linköping University,
SE-581 83 Linköping, Sweden.
Anonim. 2010. Profil Daerah Provinsi
Kepulauan
Bangka
Belitung.
http://www.depdagri.go.id/pages/profildaerah/provin
si/detail/19/kepulauan-bangka-belitung.
[8 Desember 2011]
Bodmer RE, Bendayan ANY, Moya IL, &
Fang TG. 1990. Manejo de ungulados en
la Amazonia Peruana: Analisis de su
caza y commercializacion. Boletin de
Lima, 70, 49-56.
Damayanti CS. 2007. Analisa Keragaman
Genetik dan Struktur Populasi Babi
Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di
Semenanjung Utara dan Tenggara
76
Pulau Sulawesi [Tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
De Vos A. 1973. Wildlife production in Africa.
In Reid, R.L. (Ed.). Proceedings of the
3rd World Conference on Animal
Production, Melbourne, Autralia.
Eltringham SK. 1984. Wildlife resources and
economic
development.
United
Kingdom: John Wiley & Sons.
Elvian A. 2009. Organisasi Sosial Suku
Bangsa
Melayu
Bangka.
[Tidak
Dipublikasikan]
Elvian A. 2011. Kotakapur Dalam Lintasan
Sejarah Bahari. Pangkalpinang: Dinas
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan
Olahraga Kota Pangkalpinang.
Fakhrurrozi Y. 2011. Studi Etnobiologi,
Etnoekologi dan Pemanfaatan Kekuak
(Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di
Kepulauan Bangka Belitung [Disertasi].
Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Fernandez-Llario P & Mateos-Quesada P.
2005. Influence of rainfall on the
breeding biology of Wild boar (Sus
scrofa) in a Mediterranean ecosystem.
Folia Zool. – 54(3): 240–248 (2005).
Hart JA. 1978. From subsitence to market: A
case study of the Mbuti net hunters.
Human Ecology, 6, 325-353.
Kwapena N. 1984. Traditional conservation
and utilization of wildlife in Papua New
Guinea, The Environmentalist, 4, 22-26.
Madhusudan MD & Karanth KU. 2002. Local
hunting and the conservation of large
mammals in India. Ambio, 3, 49-54.
Medrizam et al. 2004. Wilayah Kritis
Keanekaragaman Hayati di Indonesia:
Instrumen penilaian dan pemindaian
indikatif/cepat
bagi
pengambil
kebijakan. Jakarta: Deputi Bidang
Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup.
Direktorat
Pengendalian
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hidup BAPPENAS.
Nichols
et
al.
2007.
Pengelolaan
Keanekaragaman
Hayati:
Praktek
Unggulan
Program
Pembangunan
Berkelanjutan
Untuk
Industri
Pertambangan.
Canberra:
Commonwealth
Copyright
Administration, Intellectual Property
Branch, Department of Communications,
Information Technology and the Arts.
Pattinama MJ. 2009. Pengentasan kemiskinan
dengan kearifan lokal (Studi kasus di
Pulau Buru - Maluku dan Surade - Jawa
Barat). Makara Seri Sosial Humaniora,
13, 1-12.
Pattiselanno F. 2003. The wildlife value:
example from West Papua, Indonesia.
Tiger Paper, 30, 27-29.
Pattiselanno F. 2008. Man-wildlife interaction:
Undertstanding
the
concept
of
conservation ethics in Papa. Tiger Paper,
35, 10-12.
Redford KH. 1992. The empty forest.
Bioscience, 42, 412-422.
Redford KH & Robinson JG. 1987. The game
of choice: patterns of Indian and colonist
hunting in the Neotropics. American
Anthropologist, 89, 412-422.
Robinson JG, Bodmer RE. 1999. Towards
wildlife management in tropical forest.
Journal of Wildlife Management, 63, 113.
Rusnaini. 2006. Kehidupan Sosial Budaya
Etnis Cina Di Pulau Bangka: Studi
Kasus
di
Kecamatan
Sungailiat
Kabupaten Bangka [Skripsi]. Universitas
Negeri Sebelas Maret: Program Studi
PKN, FKIP.
77
TATA CARA PENULISAN ARTIKEL JURNAL EKOTONIA
1. PEDOMAN UMUM
a. Naskah merupakan ringkasan hasil penelitian.
b. Naskah sudah ditulis dalam bentuk format PDF yang sudah jadi dan siap cetak sesuai
dengan template yang disediakan. Template tentang tata cara penulisan artikel dapat diunduh
di laman biologi.ubb.ac.id.
c. Ukuran file PDF naskah maksimal 5MB.
d. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf Time New Roman
font 11. Panjang naskah sekitar 8–15 halaman dan diketik 1 spasi.
e. Naskah dalam format pdf diserahkan ke Redaksi Jurnal Ekotonia.
f. Seting halaman adalah 2 kolom dengan equal with coloumn dan jarak antar kolom 5 mm,
sedangkan Judul, Identitas Penulis, dan Abstract ditulis dalam 1 kolom.
g. Ukuran kertas adalah A4 dengan lebar batas-batas tepi (margin) adalah 3,5 cm untuk batas
atas, bawah dan kiri, sedang kanan adalah 2,0 cm.
2. SISTIMATIKA PENULISAN
a. Bagian awal
: judul, nama penulis, abstraksi.
b. Bagian utama : berisi pendahuluan, Kajian literature dan pengembangan hipotesis (jika
ada), cara/metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan
kesimpulan dan saran (jika ada).
c. Bagian akhir : ucapan terima kasih (jika ada), keterangan simbol (jika ada), dan daftar
pustaka.
3. JUDUL DAN NAMA PENULIS
a. Judul dicetak dengan huruf besar/kapital, dicetak tebal (bold) dengan jenis huruf Times New
Roman font 12, spasi tunggal dengan jumlah kata maksimum 15.
b. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa gelar, tidak boleh disingkat, diawali dengan huruf
kapital, tanpa diawali dengan kata ”oleh”, urutan penulis adalah penulis pertama diikuti oleh
penulis kedua, ketiga dan seterusnya.
c. Nama perguruan tinggi dan alamat surel (email) semua penulis ditulis di bawah nama penulis
dengan huruf Times New Roman font 10.
4. ABSTRACT
a. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris, berisi tentang inti permasalahan/latar belakang
penelitian, cara penelitian/pemecahan masalah, dan hasil yang diperoleh. Kata abstract dicetak
tebal (bold).
b. Jumlah kata dalam abstract tidak lebih dari 250 kata dan diketik 1 spasi.
c. Jenis huruf abstract adalah Times New Roman font 11, disajikan dengan rata kiri dan rata
kanan, disajikan dalam satu paragraph, dan ditulis tanpa menjorok (indent) pada awal kalimat.
d. Abstract dilengkapi dengan Keywords yang terdiri atas 3-5 kata yang menjadi inti dari uraian
abstraksi. Kata Keywords dicetak tebal (bold).
5. ATURAN UMUM PENULISAN NASKAH
a. Setiap sub judul ditulis dengan huruf Times New Roman font 11 dan dicetak tebal (bold).
b. Alinea baru ditulis menjorok dengan indent-first line 0,75 cm, antar alinea tidak diberi spasi.
c. Kata asing ditulis dengan huruf miring.
d. Semua bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat dan bilangan bulat yang
kurang dari sepuluh harus dieja.
e. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas, dan diberi nomor urut.
6. REFERENSI
Penulisan pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua yang tertera
dalam daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran referensi sangat diutamakan.
A. Buku
[1] Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul
Buku cetak miring. Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi.
Contoh:
O’Brien, J.A. dan. J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10.
McGraw-Hill. New York-USA.
B. Artikel Jurnal
[2] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun
publikasi. Judul artikel. Nama Jurnal Cetak Miring. Vol. Nomor. Rentang Halaman.
Contoh:
Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The
Journal of Artistic and Creative Education. 6 (1): 94-111.
C. Prosiding Seminar/Konferensi
[3] Penulis 1, Penulis 2 dst, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi.
Judul artikel. Nama Konferensi. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara. Halaman.
Contoh:
Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management.
Proceeding on Tenth International Conference on Wirt-schafts Informatik. 16-18
February 2011, Zurich, Swis. Hal. 776-786.
D. Tesis atau Disertasi
[4] Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis,
atau Disertasi. Universitas.
Contoh:
Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur.
Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya.
E. Sumber Rujukan dari Website
[5] Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator (URL). Tanggal Diakses.
Contoh:
Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new
world?. http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf.
Diakses
tanggal 18 Juni 2013.
7. ATURAN TAMBAHAN
7.1 Penulisan Rumus
Rumus matematika ditulis secara jelas dengan Microsoft Equation atau aplikasi lain yang sejenis
dan diberi nomor seperti contoh berikut.
 
1
 5
N


log n  (rX n )
(1)
n 1
7.2 Penulisan Tabel
Tabel diberi nomor sesuai urutan penyajian (Tabel 1, dst.), tanpa garis batas kanan atau kiri. Judul
tabel ditulis di bagian atas tabel dengan posisi rata tengah (center justified) seperti contoh berikut.
Tabel 1. Perbandingan Acid dan Ensimatis
Hidrolisat
Acid
Ensimatis
Total sugar (g)
5,5
3,9
Rhamnose
2,5
1,3
Fucose
2,0
1,2
Manose
0,5
1,0
7.3 Gambar
Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian (Gambar.1, dst.). Judul gambar diletakkan di bawah
gambar dengan posisi tengah (center justified) seperti contoh berikut.
Gambar 1. Mikroskopi isolat VTM1, VTM5, VTM6, VTM9 dan VT 12.
Template Artikel Jurnal Ekotonia
JUDUL DITULIS DENGAN
FONT TIMES NEW ROMAN 12 CETAK TEBAL
(MAKSIMUM 12 KATA)
Penulis11), Penulis22) dst. [Font Times New Roman 10 Cetak Tebal dan NamaTidak Boleh Disingkat]
1
Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 1)
email: penulis [email protected]
2
Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 2)
email: penulis [email protected]
Abstract [Times New Roman 11 Cetak Tebal dan Miring]
Abstract ditulis dalam bahasa Inggris yang berisikan isu-isu pokok, tujuan penelitian,
metoda/pendekatan dan hasil penelitian. Abstract ditulis dalam satu alenia, tidak lebih dari 200 kata.
(Times New Roman 11, spasi tunggal, dan cetak miring).
Keywords: Maksimum 5 kata kunci dipisahkan dengan tanda koma. [Font Times New Roman 11
spasi tunggal, dan cetak miring]
1. PENDAHULUAN [Times New Roman
11 bold]
Pendahuluan mencakup latar belakang
atas isu atau permasalahan serta urgensi dan
rasionalisasi
kegiatan (penelitian atau
pengabdian). Tujuan kegiatan dan rencana
pemecahan masalah disajikan dalam bagian
ini. Tinjauan pustaka yang relevan dan
pengembangan
hipotesis
(jika
ada)
dimasukkan dalam bagian ini. [Times New
Roman, 11, normal].
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian menjelaskan rancangan
kegiatan, ruang lingkup atau objek, bahan dan
alat utama, tempat, teknik pengumpulan data,
definisi operasional variabel penelitian, dan
teknik analisis. [Times New Roman, 11,
normal].
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian ini menyajikan hasil penelitian.
Hasil penelitian dapat dilengkapi dengan tabel,
grafik (gambar), dan/atau bagan. Bagian
pembahasan memaparkan hasil pengolahan
data, menginterpretasikan penemuan secara
logis, mengaitkan dengan sumber rujukan
yang relevan. [Times New Roman, 11,
normal].
4. KESIMPULAN
Kesimpulan berisi rangkuman singkat atas
hasil penelitian dan pembahasan. [Times New
Roman, 11, normal].
5. REFERENSI
Penulisan naskah dan sitasi yang diacu
dalam naskah ini disarankan menggunakan
aplikasi referensi (reference manager) seperti
Mendeley, Zotero, Reffwork, Endnote dan
lain-lain. [Times New Roman, 11, normal].
Pemetaan Potensi Anura Pada Lingkungan Pasca Tambang
Budi afriyansyah, nur annis hidayati .............................................................................................. 1
Uji Efikasi Ekstrak Cair Dan Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin Dalam Menghambat
Pertumbuhan Cendawan colletotrichum capsici Pada Cabai Dan colletothrichum coccodes
Pada Tomat.
Essy cahyani, riwan kusmiadi, henny helmi ................................................................................... 8
Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Belilik (brucea javanica) Terhadap Bakteri
Enteropatogen
Umajaya, henny helmi, idha susanti................................................................................................ 26
Uji Kualitas Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang (damiu) Di Kecamatan Rangkui,
Kota Pangkalpinang
Yulia sari, henny helmi , rosha kurnia fembriyanto ........................................................................ 37
Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (brucea javanica (l) merr.)
Terhadap Bakteri Enteropatogen
Yuliana, henny helmi, idha susanti ................................................................................................. 48
Teknik Berburu Babi Hutan Oleh Orang Tionghoa Di Pulau Bangka
Budi afriyansyah, yulian fahrurrozi, dhonna frilano ....................................................................66
Download