SUSUNAN EDITOR JURNAL EKOTONIA PENANGGUNG JAWAB : Henny Helmi, S.Si., M.Si (Ketua Jurusan Biologi) KETUA REDAKSI : Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si. KETUA TIM EDITOR : Dr. Yulian Fakhrurrozi, S.Pd., M.Si. ANGGOTA TIM EDITOR : Nur Annis Hidayati, S.Si., M.Sc. Anggraini, S.Si., M.Si. TIM TEKNIS : Novi Handayani, A.Md. Herbowo Dwi Warasto, A.Md. Siti Aminah, S.Si. ALAMAT REDAKSI : JURUSAN BIOLOGI GEDUNG TELADAN, KAMPUS TERPADU UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG, BALUNIJUK HP. 081367155581; FAX. 0717-421303 LAMAN : http://journal.ubb.ac.id EMAIL : [email protected] DAFTAR ISI Pemetaan Potensi Anura Pada Lingkungan Pasca Tambang Budi afriyansyah, nur annis hidayati .............................................................................................. 1 Uji Efikasi Ekstrak Cair Dan Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin Dalam Menghambat Pertumbuhan Cendawan colletotrichum capsici Pada Cabai Dan colletothrichum coccodes Pada Tomat. Essy cahyani, riwan kusmiadi, henny helmi ................................................................................... 8 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Belilik (brucea javanica) Terhadap Bakteri Enteropatogen Umajaya, henny helmi, idha susanti................................................................................................ 26 Uji Kualitas Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang (damiu) Di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang Yulia sari, henny helmi , rosha kurnia fembriyanto ........................................................................ 37 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (brucea javanica (l) merr.) Terhadap Bakteri Enteropatogen Yuliana, henny helmi, idha susanti ................................................................................................. 48 Teknik Berburu Babi Hutan Oleh Orang Tionghoa Di Pulau Bangka Budi afriyansyah, yulian fahrurrozi, dhonna frilano ....................................................................66 PEMETAAN POTENSI ANURA PADA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG Budi Afriyansyah1), Nur Annis Hidayati2 Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1) email: [email protected] 2 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2) email: [email protected] 1 Abstract Anura is one of the Order of Amphibians. The specificity of Anura contained in his ability to adapt to different habitats. Bangka Regency is part of Bangka Belitung Islands. Communities in Bangka Regency focuses livelihood in mining, agriculture and plantations as well as fishermen and employees. Community needs for a decent life has given the idea in the form of land use for mining activities, agriculture and plantations. The idea of this utilization is increasing in the current era, even more extensive areas of land use, thus diminishing forest area, but increasingly critical lands. Anura able to live and have a tolerance to extreme environments, including such critically land mined lands, farms and plantations. This study aims to identify potential Anura and diversity in the post tambang.Metode Anura used in this study is the method VES (Visual Encounter Survey) with Line Transect. Line Transect method is a method of observation by walking slowly continuously and record all contacts on both sides of the path along the wayThe number of Anura have been found in all study sites in the District Merawang, District Pemali, Sungailiat and District Belinyu, Bangka as many as six species consist Bufo melanostictus, Phrynoidis aspera, Rana erythreaea, Limnonectes finchi, Ingerophrynus bipocartus and Fejervarya limnocharis. Bufo melanostictus was in former tin mining land sites in four districts, but Ingerophrynus bipocartus only found in Sub Merawang alone. Shannor diversity index calculation results - Wiener usually labeled H '. Diversity index value on mined land in Bangka tin categorized as low as less than 1.5. Shannon index value more than 3.5 high Wienner being when the index value of 1.5 to 3.5 and low when less than 1.5. While the frog species evenness index on mined land in the high tin Pemali Sungailiat and 0.90 respectively, while the lowest in the District Belinyu 0.13. If the value of equity (e) close to one, the more evenly spreading rate and vice versa if it is close to zero, the lower Evenness Keywords: Anura, Bangka, Tin Manning Land 1. PENDAHULUAN Pendahuluan Amfibi terdiri dari tiga ordo yaitu Caudata (salamander), Gymnophiona (sesilia) dan Anura (katak dan kodok). Ordo Caudata/sesilia merupakan satusatunya ordo yang tidak terdapat di hampir seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ordo kedua yang paling kecil, tetapi sangat jarang ditemui adalah Sesilia/Gymnophiona, bentuknya seperti cacing dengan kepala dan mata yang tampak jelas. Ordo Anura merupakan ordo terbanyak yang terdapat di Indonesia (Hidayat 2009). Keanekaragaman Ordo Anura berdampak besar bagi ekosistem dan keanekaragaman spesies lain yang hidup di habitat tersebut. Selain itu, karena pentingnya kedudukan Anura dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah ordo ini akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan dan kepunahan predator. Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan Ordo Anura yaitu kegiatan manusia yang merusak habitat alami ordo ini, seperti penebangan liar, pencemaran air dan pembangunan pemukiman ataupun industri. Penggunaan pestisida seperti organofosfat dan karbomat di lahan persawahan juga dapat mengganggu perkembangan telur, berudu serta mengakibatkan kecacatan (Kusrini 2007). Pemilihan lokasi di Kabupaten Bangka karena Kabupaten Bangka merupakan salah satu Kabupaten yang masih memiliki sisa hutan tropis yang cukup luas. Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Kabupaten Bangka seluas 100.514,60 ha yang terdiri dari hutan 1 produksi tetap seluas 65.091,56 ha, hutan lindung seluas 18.097,20 ha, dan hutan konservasi 17.325,84 ha (Dinas Kehutanan 2012). Sebagian besar asyarakat Bangka banyak memanfaatkan hutan sebagai lahan penambangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat merubah wilayah hutan menjadi eskplorasi penambangan timah. Perubahan kondisi habitat dan aktivitas manusia seperti itu diperkirakan berpengaruh terhadap kehidupan amfibi (Ordo Anura) yang terdapat di dalamnya. Pada tahun 2001-2005 laju kerusakan hutan di Bangka Belitung mencapai 4,25% pertahunnya. Sementara itu laju kerusakan hutan secara nasional hanya sebesar 2%. Aktivitas penambangan timah ilegal dan perkebunan diduga menjadi penyebab tingginya laju kerusakan hutan tersebut (Bangka Pos 2010). Penambangan dan perkebunan akan mengakibatkan perubahan ekosistem dengan terbentuknya ekosistem baru serta hilangnya keanekaragaman hayati yang menyebabkan flora dan fauna khas Bangka Belitung berada diambang kepunahan (Bangka Pos 2012). Keberadaan Anura sangat penting bagi manusia, salah satunya Anura mempunyai potensi yang sangat besar untuk membantu manusia menanggulangi hama serangga, karena hampir seluruh jenis Anura memakan serangga. Selain itu Ordo Anura juga sudah lama dimanfaatkan dalam dunia kedokteran dalam bidang tes kehamilan (Mistar 2003). Pendugaan awal di 4 (empat) Kecamatan di Kabupaten Bangka yakni; Merawang, Sungailiat, Pemalidan Belinyu diasumsikan keberadaan Anura menempati lahan pasca tambang timah. Ditinjau dari habitat lingkungannya, diperkirakan terdapat lebih dari satu jenis spesies Anurayang hidup pada lingkungan tersebut, sehingga terdapat nilainilai ketertarikan dan kebaharuan untuk memperoleh informasi/data ilmiah dengan melakukan penelitian pemetaan potensi dan keanekaragaman Anura pada lingkungan pasca tambangtimah di Kabupaten Bangka. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari 2014 sampai Bulan Desember 2014. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan bekas penambangan timah di Kabupaten Bangka yaitu: Tabel 1. Lokasi Pengambilan Sampel Titik Koordinat No. 1 2 3 4 Lokasi Desa Riding Panjang Kec. Merawang Desa Rambak Kec. Sungailiat Desa Pemali Kec. Pemali Dusun Babas Kec. Belinyu LS LU 02°00’283 106°06’655 01°56’47 106°0641,6 01°33’226’ 105°46,906’ 01°33’226’ 105°46,906’ Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran (50 m), kompas, GPS, tali rafia, kantong plastik, sarung tangan kulit dan karet, senter,headlamp, botol spesimen, spidol, jam tangan,alat tulis, penggaris, buku panduan identifikasi jenis amfibi, timbangan/neraca pegas (5, 10, 100, 250 gr), jaring, kapas, alat suntik, kertas label, alat bedah, thermometer, higrometer, kertas pH, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% dan formalin 4%. Peta Lokasi Penelitian Lokasi penelitian masih dalam satu kabupaten yang sama dimana kecamatan yang diambil dibagi menjadi 4 kecamatan yaitu; Merawang, Sungailiat, Pemali dan Belinyu(Gambar 2). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VES (Visual Encounter Survey/Survei Perjumpaan Visual) 2 dengan Line Transect. Metode Line Transectadalah metode pengamatan dengan cara berjalan perlahan terus menerus dan mencatat semua kontak di sepanjang kedua sisi jalur perjalanannya. Prosedur Penelitian Pengambilan data dari penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: a. Survei pendahuluan, yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan penelitian. b. Pembuatan jalur pengamatan dengan dilakukan masing-masing lokasi diukur 50 x 100 m (Gambar 2). c. Penangkapan dan pengumpulan sampel dilakukan dengan mendatangi jalur pengamatan pada malam hari dari pukul 19.00-22.00 WIB, selama 3 jam, dan diamati 3 kali ulangan untuk setiap jalur. d. Pengambilan data: 1) Data satwa Anura, Data satwa Anura dilakukan dengan cara pengambilan datayang meliputi: jenis, jumlah individu tiap jenis, ukuran snoutvent length yaitu panjang tubuh dari moncong hingga kloaka, perilaku, dan posisi jenis di lingkungan habitatnya. 2) Data habitat Data habitat berdasarkan checklist Heyer et al. (1994), dilakukan dengan cara pengambilan data yang meliputi: tanggal pengambilan, nama lokasi, lingkungan tempat ditemukan, tipe vegetasi dan ketinggian, suhu udara, kelembaban udara, pH air, dan pH tanah. 3) Data sekunder Data sekunder yang diperlukan yaitu informasi tentang Anura yang pernah ditemukan dan studi literatur tentang Anura pada habitatnya (Utama 2003). e. Pengawetan spesimen Anura yang belum teridentifikasi dilakukan dengan cara pengambilan maksimal dua individu untuk setiap jenis dan untuk jenis yang umum dan sudah teridentifikasi hanya diambil gambarnya secara menyeluruh. f. Identifikasi Identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku Amfibi Jawa dan Bali (Iskandar 1998 diacu dalam Darmawan 2008). Spesimen yang belum diketahui nama jenisnya dibawa ke Laboratorium Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung dan foto spesimen dikirim ke bagian Ekologi dan Manejemen Satwaliar IPB/Laboratorium Herpetofauna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk identifikasi lebih lanjut. g. Penentuan peran Anura Spesimen Anura yang diperoleh dibedakan perannya dalam ekosistem. Peran tersebut antara lain termasuk dalam kelompok predator, beracun (toxin), herbivora dan carbivora. Penentuan di dasarkan pada struktur morfologi seperti; kelenjar racun, tipe web (selaput kaki) dan pembedahan lambung. Analisis Data 1. Keanekaragaman Jenis Anura Untuk mengetahui keanekaragaman jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener (Brower & Zar 1997 diacu dalam Darmawan 2008). Nilai ini kemudian digunakan untuk membandingkan keanekaragaman Anura berdasarkan habitatnya. H’ = -∑(ni/N) log (ni/N) Keterangan: H’= Nilai Indeks keanekaragaman Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis N = Jumlah individu seluruh jenis. 2. Kemerataan Jenis Amfibi Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian. E’ = H’/log S Keterangan: E’= Indeks kemerataan jenis 3 H’=Indeks keanekaragaman ShannonWiener S = Jumlah jenis yang ditemukan. 3. Indeks Kesamaan Tipe Habitat Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar lokasi pengamatan berdasarkan jenis Anura yang ditemukan. Kesamaan antar lokasi pengamatan dianalisis dengan menggunakan rumus Indeks Similaritas. S = 2 C/A+B Keterangan: A = Jumlah spesies dalam sampel A B = Jumlah spesies dalam sampel B C = Jumlah spesies yang ada di kedua sampel. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian Jumlah jenis anura yang berhasil ditemukan pada seluruh lokasi penelitian di Kecamatan Merawang, Kecamatan Pemali, Kecamatan Sungailiat dan Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka yaitu sebanyak 6 jenis yang terdiri Bufo melanostictus, Phrynoidis aspera, Rana erythreaea, Limnonectes finchi, Ingerophrynus bipocartus dan Fejervarya limnocharis. Bufo melanostictus berada di lokasi lahan bekas penambangan timah di empat kecamatan, namun Ingerophrynus bipocartus hanya terdapat di Kecamatan Merawang saja. Tabel 2 Jenis Ordo Anura yang ditemukan di lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka Nama Spesies I II III IV Jmh Spesies 1 Bufo melanostictus 4 1 1 5 11 2 Phrynoidis aspera 4 0 0 4 8 3 Rana erythraea 1 5 4 0 10 4 Limnonectes finchi Ingerophrynus bipocartus Fejervarya limnocharis 0 5 5 0 10 1 0 0 0 1 0 3 6 0 9 Jumlah/kecamatan 10 14 16 9 No. 5 6 Keterangan: I (Kecamatan Merawang), II (Kecamatan Sungailiat), III (Pemali) dan IV (Kecamatan Belinyu). Dari penelitian ini, diketahui bahwa lahan bekas tambang di Kabupaten Bangka (yang meliputi wilayah Kecamatan Merawang, Kecamatan Pemali dan Kecamatan Sungailiat, Kecamatan Belinyu) memiliki 6 jenis Anura. Angka ini menunjukkan bahwa keanekaragaman Anura di Kecamatan Merawang, Kecamatan Pemali dan Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka jauh lebih rendah dari penelitian Mirza et al. (2012) di Kawasan Hutan Konservasi Gunung. Di Menumbing Kabupaten Bangka Barat (14 jenis) dan Muhammad et al. (2003) di sungai Ciapus Leutik Bogor, Jawa Barat 11 jenis. Akan tetapi, jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian Darmawan & Utama. Darmawan (2008) melaporkan 37 jenis Anura diitemukan di kawasan Eks-HPH PT Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, sementara Utama (2003) menemukan 27 jenis di areal PT Intracawod Manufacturing, Kalimantan Timur. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannor – Wiener biasanya diberi tanda H’. Nilai indeks keanekaragaman pada lahan bekas tambang timah di Kabupaten Bangka dikategorikan rendah karena kurang dari 1,5. Maguran (1988) dalam Darmawan nilai Indeks Shannon – Wienner lebih dari 3,5 digolong sedang bila nilai indeks 1,5 sampai 3,5 serta rendah bila kurang dari 1,5. Sedangkan indeks kemerataan spesies katak pada lahan bekas tambang timah tinggi di Kecamatan Sungailiat dan Pemali masing-masing 0,90 sedangkan di Kecamatan Belinyu paling rendah yakni 0,13. Jika nilai kemerataan (e) mendekati satu maka tingkat persebarannya semakin merata dan sebaliknya jika mendekati nol maka kemerataannya rendah (Odum 1971). Indeks kesamaan jenis tertinggi terlihat pada Kecamatan Sungailiat – Pemali (97,56%), sedangkan terendah di Kecamatan Pemali – Belinyu (8,13%). Suatu komunitas dikatakan memiliki kesamaan, jika indeks similaritasnya mendekati 100% (Odum 1971). Penyebaran jenis Anura saat pengamatan sangat bervariasi. Tidak jarang beberapa spesies hanya ditemukan di satu lokasi saja, misalnya I. bipocartus (Tabel 2). Spesies tersebut tidak menyukai ada aktifitas manusia sehingga jumlah yang ditemukan juga hanya sedikit saja. Iskandar (1988) mengatakan bahwa spesies yang sulit beradaptasi dengan aktivitas manusia sangat sulit untuk ditemukan. Spesies yang banyak ditemukan adalah jenis L. finchi, individu jenis ini paling banyak ditemukan di tiga habitat dan tersebar di dua 4 kecamatan. Spesies ini ditemukan di perkebunan sawit, perkebunan karet dan perkebunan padi. Spesies ini di temukan di vegetasi semai. Akan tetapi L. finchi tidak dijumpai pada hutan sekunder. Hal ini disebabkan karena ketiga habitat lainnya memiliki bukaan hutan lebih besar dari pada hutan sekunder. Hutan sekunder memiliki bukaan hutan sedikit saja, yang mungkin menjadi penyebab tidak ditemukannya spesies ini pada hutan sekunder. Jumlah individu yang ditemukan untuk spesies ini sebanyak 43 individu (Tabel 2). Spesies ini menyukai tempat berair dan lembab. Penyebaran spesies ini tidak mempengaruhi ada atau tidaknya aktifitas manusia, sehingga spesies ini bisa ditemukan dimana saja (Sidik & Mulyadi 2011). F. limnocharis memiliki ciri-ciri ukuran kecil sampai sedang, kepala runcing dan jari kaki setengah berselaput sampai pada ruas terakhir. Tekstur kulit berkerut, tertutup oleh bintil-bintil tipis yang biasanya memanjang, pararel dengan sumbu tubuh. Warna kulit kotor seperti lumpur dengan bercak-bercak yang lebih gelap yang kurang jelas tetapi simetris, terkadang dengan warna merah kehijauan dan sedikit semu kemerahan, pada bagian atas punggungnya terdapat garis putih dari kloaka sampai bagian mulutnya. Selama pengamatan jenis ini ditemukan di perkebunan karet, sawit, padi dan hutan sekunder. Hal ini disebabkan karena di petak pengamatan hampir seluruhnya terdapat kolam-kolam kecil yang berisikan air rawa, struktur tanah yang lembab dan beberapa jalan setapak yang biasa dilewati oleh manusia. Inger (1966) mengatakan bahwa jenis ini lebih sering ditemukan di darat seperti jalan logging dan di atas tanah dari pada di perairan. Jenis ini memiliki selaput yang tidak penuh, berbeda dengan jenis F. cancrivora yang biasa hidup di sawah. O. sumatrana merupakan katak akuatik. Biasa ditemukan didalam danau atau di genangan air. Iskandar (1998) menemukan O. sumatrana di hutan areal bekas tebangan dan kebun karet sama seperti yang ditemukan di lokasi penelitian. Dalam penelitian jenis ini ditemukan dilokasi perkebunan sawit. Hal ini disebabkan karena faktor cuaca dihutan sekunder dan perkebunan sawit tidak jauh berbeda. R. chalconota, R. erythraea dan R. nicobariensis dari dari struktur tubuh memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Ciri khas yang paling mudah dibedakan adalah dari struktur tungkai dan selaputnya (Gambar 4). Selain itu warna dan struktur tubuh juga dapat dibedakan. Rahman (2009a) menyatakan, suhu udara berpengaruh secara nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan Anura, serta seringkali mengatur siklus perilaku dan reproduksi. Sehingga Anura merupakan hewan poikiloterm, tidak dapat mengatur suhu tubuh sendiri sehingga suhu tubuhnya sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Kulit Anura merupakan salah satu organ respirasi yang penting dan berhubungan dengan kondisi eksternal tubuh, sehingga kelembaban kulit dibutuhkan untuk menjaga fluktasi tubuh yang akan berpengaruh terhadap proses-proses tubuh selanjutnya. Kelembaban yang diperoleh pada saat pengamatan berkisar antara 89% sampai 98%, dengan nilai rata-rata tertinggi dijumpai di Kecamatan Pemali (93,25%) diikuti Kecamatan Puding Besar (92,58%) dan terkecil di jumpai di Kecamatan Merawang (92.03%). Sementara kondisi cuaca saat pengamatan pada umumnya cerah. Hal ini diperkirakan bahwa dalam cuaca, suhu dan kelembaban seperti itu Anura masih dapat melakukan aktivitasnya. Kisaran pH air antara 4,3 sampai 6,1. Sementara itu hasil penelitian Yazid (2006) memperoleh kisaran 6 4. KESIMPULAN 1. Telah di identifikasi 6 jenis katak dilahan bekas timah di Kabupaten Bangka, yaitu Bufo melanostictus, Phrynoidis aspera, Rana erythreaea, Limnonectes finchi, Ingerophrynus bipocartus dan Fejervarya limnocharis. Bufo melanostictus. 2. Indeks keanekaragaman di lahan bekas tambang timah di Kabupaten Bangka dikategorikan rendah. 3. Indeks kemerataan tertinggi di lahan bekas tambang timah di Kecamatan Sungailiat dan Pemali, sedangkan terendah di Kecamatan Belinyu. 4. Indeks kesamaan katak tertinggi di lahan bekas tambang di Kecamatan Sungalit-Pemali dan terendah di Kecamatan Pemali-Belinyu.. 5 5. REFERENSI Bangka Pos. 2012. KKN-PPM Universitas Bangka Belitung. Wujudkan Desa Agriwisata.http:/Error! Hyperlink reference not valid. read%25252F50185.html [09 Januari 2012] [BAPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2013. Peta Administrasi Kabupaten Bangka. Sungailiat: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bangka. Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH Pt Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [DISHUT] Dinas Kehutanan. 2012. Keputusan Menteri Kehutanan SK.357/Menhut-11/2004 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Kabupaten Bangka seluas 100.514,60 hektar. Pangkal Pinang. Dumutu Y. 2010. Keanekaragaman Herpetofauna di Sekitar Kampung Mandekman dan Rawahayu Kabupaten Merauke. [Skripsi]. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Papua Manokwari. Fitri A, Kusrini M D & Priyono A. 2001. Keanekaragaman Jenis Ampibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Po box 168, bogor 1600, Indonesia. Fitri A. 2002.Keanekaragaman JenisAmpibi(OrdoAnura) di Kebun Raya Bogor [Skripsi]. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Hidayat A. 2009. Persebaran Fauna Indonesia. http://www.andimanwno.wordpress.com/inde x.php [04 februari 2013]. Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard Methods forAmphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr. Inger RF. 1966. The Systematics and Zoogeography of the Amphibia of Borneo. Chicago:Field MuseumofNatural History. Volume 52. Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI. Inonu I. 2010. Pengelolaan lahan pasca tambang timah di Pulau Bangka: yang sekarang dan yang akan datang. http:// www.ismedinonu.ubb.ac.id/.../Makalah bintek pengelolaan lahan Babar. [20 November 2013] Kurniati R. 2006. Perbandingan Tingkat Kesamaan Jenis Katak Pada Beberapa Sungai di Pulau Batanta dan Pulau Salawati [Skripsi]. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Papua Manokwari. Kusrini MD. 2007. Konservasi Amfibi di Indonesia: Masalah Global dan Tantangan. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekosiwata, Fakultas Kehutanan IPB, Kampus Darmaga Po box 168 Bogor 16000, Media Konservasi Vol. XII, No.2 Agustus 2007 : 89 – 95. LubisIM.2008.PemodelanSpasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus boettger1893) Dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [Skripsi]. Depertemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Muhammad ND, Priyono A & Kusrini MD. 2003. Keanekaragaman Ampibi (Ordo Anura) di Suangai Ciapus Leutik, Bogor, Jawa Barat. Departememen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Po box 168, Bogor 1600, Indonesia. Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation & PILI-NGO Movement. Muths Eetal. 2006. The Amphibian Research and Monitoring Initiative (ARMI): 5- Year Report. U.S. Geological Survey Scientific Investigations Report 2006–5224, 6 77 p. NingsihWD.2011.Struktur Komunitas Berudu Anura di Sungai Cibeureum Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan.Institut Pertanian Bogor. PT. Timah tbk. 2003. Laporan akhir identifikasi kolong eks penambangan timah di wilayah Bangka Belitung. Bangka: PT. Timah. QurniawanFT, AstiAH &Eprilurahman R. 2010.StudiAwal Komunitas Ordo Anuradi Kawasan Ekowisata Sawangan, Magelang, JawaTengah. Laboratorium Taksonomi Hewan,Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. SekipUtara,Yogyakarta 55281. RahmanA.2008.Keanekaragaman dan Kemelimpahan Jenis Amfibi (OrdoAnura) di Persawahan Handil Baras Kuala Kapuas.[Proposal Skripsi] Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Persatuan Guru Republik Indonesia (STKIP PGRI) Banjarmasin. Banjarbaru. Radiansyah S. 2004. Keanekaragaman Spesies Amfibi dan biologi Populasi Limnonectes kuhlii di Sungai Cilember dalam Kawasan Wana Wisata Curug Cilember, Bogor-Jawa Barat [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Rahman NL. 2009a. Pemanasan Global dan Dampaknya Pada Amfibi di Dunia. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. IPB. Sujitno S. 2007. Sejarah penambangan timah di Indonesia abad 18-abad 19. Pangkalpinang: PT. Timah tbk. Utama H. 2003. Studi Keanekaragaman Ampibi (Ordo Anura) di Areal PT Intraca wood Manufacturing, Kalimantan Timur [Skripsi]. Bogor: JurusanKonservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Utomo AS. 2008. Realita degradasi area hutan pasca penambangan timah di Pulau Bangka (studi kasus PT. Timah tbk di Pulau Bangka) (Perpustakaan Universitas Indinesia – Tesis S2). Yazid M. 2006. Perilaku Berbiak Katak Pohon Hijau (Rhacophorus Reinwardtii Kuhl & Van Hasselt, 1822) di Kampus IPB Darmaga [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. 7 Uji efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton daun merapin dalam menghambat pertumbuhan cendawan Colletotrichum capsici pada cabai dan Colletothrichum coccodes pada tomat. Essy Cahyani, Riwan Kusmiadi, Henny Helmi Anthracnose disease, one of post harvest disease. Caused by fungi, such as Colletothrichum. one of biofungicide which assumed can Inhibit the growth of the fungi. This study aim to ( 1 ) Study the effect of aqueous and crude extract of merapin leaves to inhibit the growth of C.capsici and C.coccodes , ( 2 ) Study the concentration of aqueous and aseton crude extract of merapin leaves which can inhibit against those fungi. The experiment was conducted at the Laboratory of Biology, Faculty of Agriculture, Fisheries and Biology , University of the Bangka Belitung from April 2013 to July 2013. This study used a completely randomized design ( CRD ) . The entire range of homogeneity between treatments were analyzed by analysis Of Variance ( ANOVA ) and if there is an influence followed by Duncan 's Multiple Range Test Test ( DMRT ) at the level of 95% using the program Statistical Analysis System ( SAS ). The results showed that ( 1 ) Merapin leaves aqueous and leaves aqueous can inhibit the growth of C.capsici and C.cocodes cause anthracnose disease on chilies and tomato, ( 2 ) Concentration 35 % aqueous merapin and Concentration of 35 mg / mL merapin leaves aseton crude extract gave the best inhibition against C.capsici and C.coccodes . Keywords : merapin leaf liquid extract , crude extract of leaf acetone merapin , Colletotrichum capsici , Colletotrichum coccodes , anthracnose disease . PENDAHULUAN yang Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak digemari masyarakat. Salah satu spesies cabai yang banyak dibudidayakan adalah cabai merah (Capsicum annuum L.). Selain dapat dikonsumsi segar, cabai dapat dikonsumsi kering sebagai bumbu masakan dan juga sebagai bahan baku industri (Mujahidin 2012). Tomat (Lycopersicum esculentum) merupakan salah satu produk hortikultura berpotensi, menyehatkan dan mempunyai prospek pasar yang cukup menjanjikan. Tomat, baik dalam bentuk segar maupun olahan, memiliki komposisi zat gizi yang cukup lengkap dan baik (Maulinda dan Zulkarnaen 2010). Penyakit merupakan salah satu kendala utama produksi tanaman pertanian termasuk tanaman di berbagai Indonesia, pangan dan hortikultura, contohnya adalah penyakit antraknosa. Menurut Putri (2010) penyakit antraknosa di Indonesia dapat menurunkan hasil sampai 75%. Penyakit 8 yang disebabkan oleh cendawan Colletothricum coccodes dapat Colletotrichum sp menyerang buah baik digunakan pestisida botani, yang terbuat yang baru terbentuk maupun yang sudah dari bahan-bahan alami yang tidak matang sehingga menimbulkan kerugian berbahaya. Menurut Widiastuti (2006) yang cukup besar. Gejala yang timbul pestisida botani yaitu pestisida yang akibat serangan antraknosa pada buah bahan aktifnya dari tanaman bukan dari adalah senyawa kimia. terdapatnya bercak coklat kehitaman pada permukaan buah, yang Salah satu tanaman yang diduga selanjutnya menjadi busuk lunak. Pada dapat digunakan sebagai pestisida botani bagian tengah bercak terdapat kumpulan untuk titik-titik cendawan hitam yang terdiri dari menghambat yaitu pertumbuhan tanaman merapin sekelompok seta dan konidium jamur. (Rhodamnia cinerea Jack). Berdasarkan Serangan yang berat dapat menyebabkan hasil penelitian yang telah dilakukan buah mengering dan keriput sehingga Febriryansyah (2009) hasil uji fitokimia buah yang seharusnya berwarna merah menunjukan adanya senyawa tanin, menjadi seperti jerami. saponin dan flavonoid yang diduga dapat Dalam upaya mengendalikan digunakan sebagai pestisida botani. penyakit tersebut, biasanya para petani Aseton merupakan pelarut organik menggunakan pestisida sintetis, padahal yang paling baik dalam melarutkan pemakaian yang senyawa tanin yang terdapat dalam suatu berlebihan dapat menyebabkan residu sampel tumbuhan (Khairul et al, 2010). pada Pengujian pestisida tanaman sintetis sehingga dapat ekstrak senyawa daun mengganggu kesehatan manusia dan merapin dengan pelarut aseton belum ternak pernah bila dikonsumsi dan dilakukan, sehingga diduga meningkatkan biaya produksi serta dapat ekstraksi dengan pelarut aseton memiliki mencemari lingkungan. kemampuan yang lebih baik dalam Salah satu upaya mencegah agar tanaman hortikultura tersebut tidak menghambat pertumbuhan cendawan. Namun tidak menutup kemungkinan terserang penyakit yang disebabkan oleh ekstrak beberapa memberikan Colletotrichum cendawan capsici seperti cair daun efek merapin anti juga cendawan dan 9 sehingga lebih praktis dalam penerapannya. petri, jarum ose, elenmayer, gelas ukur, pisau, hot plate, pipet plastik, spatula, Tujuan 1. Mempelajari pengaruh ekstrak cair dan ekstrak merapin kasar aseton terhadap daun pertumbuhan C.capsici dan C.coccodes. ekstrak kasar Autoklaf, aseton mortar, saringan, laminar air flow, mistar dan alat tulis. Metode Penelitian Penelitian 2. Mengetahui konsentrasi ekstrak cair dan pinset, Rancangan ini Acak menggunakan Lengkap (RAL). daun Penelitian ini dilakukan melalui 2 merapin yang paling baik dalam kegiatan percobaan. Percobaan pertama menghambat pertumbuhan C.capsici adalah perlakuan ekstrak cair daun dan C.coccodes. merapin dengan 7 taraf konsentrasi (0%, 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, dan 35%) terhadap pertumbuhan C.capsici dan BAHAN DAN METODE C.coccodes. Percobaan kedua adalah Bahan dan Alat perlakuan ekstrak kasar aseton daun Bahan yang digunakan dalam merapin dengan 7 taraf konsentrasi (0 penelitian ini terdiri dari buah cabai yang mg/mL, 10 mg/mL, 15 mg/mL, 20 terinfeksi cendawan C.capsici dan buah mg/mL, 25mg/mL, 30 mg/mL, 35 tomat yang C.coccodes antraknosa, terinfeksi cendawan mg/mL) penyebab penyakit C.capsici daun merapin, terhadap dan pertumbuhan C.coccodes dengan Aseton, perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali. akuades, Potato Dextrose Agar untuk Rancangan acak lengkap penelitian pembuatan media PDA. dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai Alat-alat yang digunakan dalam berikut: penelitian ini terdiri dari, bunsen, cawan 10 Tabel 1 Perlakuan ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton daun merapin terhadap pertumbuhan diameter koloni cendawan. Perlakuan Keterangan C0 PDA+kontrol C1 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 10% C2 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 15% C3 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 20% C4 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 25% C5 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 30% C6 PDA+Ekstrak Cair Daun Merapin 35% K7 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 10 mg/mL K8 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 15 mg/mL K9 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 20 mg/mL K10 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 25 mg/mL K11 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 30 mg/mL K12 PDA+Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin 35 mg/mL Cara Kerja Pembuatan Ekstrak kasar Aseton Daun Pembuatan Ekstrak Cair Daun Merapin Pembuatan ekstrak cair daun merapin yang digunakan yaitu daun merapin yang terlihat segar dan tidak terlalu tua. Setelah itu daun dibersihkan dengan air bersih lalu daun tersebut ditumbuk halus dengan menggunakan mortar, hasil tumbukan tersebut disaring dengan menggunakan saringan untuk mendapatkan ekstrak cair dari daun Merapin Pengekstrakan dilakukan dengan metode maeserasi. Sebanyak 500 gram daun merapin dihaluskan, selanjutnya direndam kedalam aseton murni selama 24 jam lalu di saring. Pelarut diuapkan dengan menggunakan vaccum rotari evaporator Laboratorium (dilakukan kimia oleh analitik teknisi Istitut Pertanian Bogor). merapin. 11 Uji Efikasi Ekstrak Cair dan Ekstrak kasar Aseton Daun Merapin terhadap Pertumbuhan Cendawan C.capsici dan C.coccodes Inokulum isolat cendawan penyebab penyakit dari biakan murni berumur 6 hari ditempatkan di tengah uji F berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada tingkat kepercayaan 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN cawan petri yang berisi media PDA yang mengandung ekstrak cair dengan konsentrasi 10%, 15%, 20%, 25%, 30%, 35% dan ekstrak kasar aseton daun merapin dengan konsentrasi 0 mg/mL, 10 mg/mL, 15 mg/mL, 20 mg/mL, 25 mg/mL, 30 mg/mL, 35 mg/mL. Selanjutnya biakan diinkubasi sampai koloni cendawan memenuhi cawan pada 0 suhu 30 C. Sebagai kontrol cendawan ditumbuhkan pada media PDA tanpa ekstrak. merapin pada ekstrak cair daun berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C.capsici dapat dilihat pada Gambar 12. Perlakuan ekstrak cair daun merapin mampu menghambat pertumbuhan C.capsici. Gambar tersebut menunjukan bahwa perlakuan pertumbuhannya Kontrol lebih (Ca0) tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak cair daun merapin dengan konsentrasi Analisa Data Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan tingkat Pengaruh analisis kepercayaan menggunakan varian 95% program pada dengan Statistical Analitic System (SAS) versi 6. Bila hasil 10% (Ca1), 15% (Ca2), 20% (Ca3), 25% (Ca4), 30% (Ca5) dan 35% (Ca6). Perlakuan ekstrak daun merapin dengan konsentrasi 35% (Ca6) menunjukan pertumbuhan cendawan paling lambat dibandingkan dengan perlakuan lainnya 12 Ca0 Ca1 Ca6 Ca2 Ca3 Ca5 Ca4 Gambar 12 Uji efikasi ekstrak cair daun merapin dengan berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C.capsici pada cabai pada hari ke-10 Berdasarkan pengaruh ekstrak yang paling tinggi dibandingkan dengan kasar aseton daun merapin pada berbagai perlakuan ekstrak kasar aseton daun konsentrasi pertumbuhan merapin pada konsentrasi 10 mg/mL C.capsici (Gambar 13), menunjukan (Ca1), 15 mg/mL (Ca2), 20 mg/mL bahwa daun (Ca3), 25 mg/mL (Ca4), 30 mg/mL menghambat (Ca5), dan 35 mg/mL (Ca6). Perlakuan pertumbuhan C.capsici. Pertumbuhan terbaik dalam menghambat pertumbuhan cendawan C.capsici yaitu pada konsentrasi 35 terhadap ekstrak merapin kasar mampu perlakuan aseton kontrol (Ca0) memiliki diameter koloni cendawan Ca0 Ca2 Ca1 Ca6 mg/mL (Ca6). Ca5 Ca3 Ca4 13 Gambar 13 Uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin dengan berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C.capsici pada cabai pada hari ke-10 C.capsici dibandingkan dengan perlakuan ekstrak pada buah cabai dengan perlakuan kasar aseton daun merapin dengan ekstrak cair daun merapin dari hari ke-1 konsentrasi 15 mg/mL, 20 mg/mL, 25 hingga hari ke-10 sudah memenuhi mg/mL, 30 mg/mL dan 35 mg/mL. Pada cawan petri pada perlakuan kontrol. perlakuan ekstrak kasar aseton daun Berdasarkan grafik (Gambar 14) terlihat merapin bahwa perlakuan pada konsentrasi 10 menunjukan daya hambat yang paling mg/mL menunjukan pertumbuhan yang rendah dibandingkan dengan perlakuan lebih lain. Pertumbuhan lambat koloni dibandingkan dengan konsentrasi 35 mg/mL Diameter Cendawan (mm) perlakuan kontrol namun lebih cepat Ca0 Ca25 90 Ca10 Ca30 Ca15 Ca35 Ca20 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari setelah inkubasi (HSI) Gambar 14 Pertumbuhan koloni C.capsici pada cabai dengan perlakuan ekstrak cair daun merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10. Pertumbuhan koloni C.capsici aseton daun merapin pertumbuhan pada cabai dengan perlakuan ekstrak koloni C.capsici kasar aseton daun merapin pada media Pertumbuhan PDA dari hari ke-1 sampai hari ke-10 perlakuan ekstrak kasar aseton daun dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar merapin konsentrasi 35% menunjukan 15, terlihat bahwa seiring dengan daya peningkatan konsentrasi ekstrak kasar dibandingkan dengan perlakuan lain. hambat semakin lambat. C.capsici yang paling dengan rendah 14 Ca0 Ca25 90 Diameter Cendawan (mm) 80 Ca10 Ca30 Ca15 Ca35 Ca20 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari ke- Gambar 15 Pertumbuhan koloni C.capsici pada cabai dengan perlakuan ekstrak aseton daun merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10. Ringkasan sidik ragam perlakuan yang menyebabkan penyakit antraknosa ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton pada buah cabai dapat dilihat di Tabel 2 daun merapin pada media PDA dalam sebagai berikut: menghambat pertumbuahan C.capsici Tabel 2 Hasil sidik ragam uji efikasi ekstrak cair daun merapin (ECDM) dan ekstrak kasar aseton daun merapin (EKADM) terhadap pertumbuhan C.capsici pada cabai dimedia PDA. Parameter yang diamati Perlakuan KK Diameter Cendawan Ekstrak Daun (%) Fhitung P>F Merapin Cair 9.58* 0.0002 4.55 Kasar 7.82* 0.0011 5.55 Keterangan: * : berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil sidik ragam diameter cendawan. Hal ini berarti uji (Tabel 2) dapat dilihat bahwa perlakuan efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton aseton daun merapin pada media PDA daun berpengaruh merapin pada media PDA pada daya hambat pertumbuhan C.capsici. Hasil uji lanjut DMRT C.capsici. Perlakuan ekstrak cair dan perlakuan ekstrak cair daun merapin ekstrak kasar aseton daun merapin dalam berpengaruh terhadap menghambat petumbuhan berpengaruh nyata terhadap peubah 15 C.capsici yang ditumbuhkan pada media PDA dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.capsici pada cabai dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak cair daun merapin pada hari ke-10. Perlakuan Diameter cendawan (mm) Ekstrak Cair Daun Merapin (ECDM) Kontrol 83.257a 10 % 80.327ab 15 % 75.430bc 20 % 73.503cd 25 % 71.573de 30 % 68.900e 35 % 65.937e Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan uji lanjut DMRT pada rata-rata diameter terendah yaitu 60.053 mm namun tidak pertumbuhan berbeda nyata dengan konsentrasi 25% C.capsici pada Tabel 3, perlakuan dan 30% dan pertumbuhan tertinggi kontrol tidak berbeda nyata dengan ditunjukan pada perlakuan kontrol atau perlakuan yang menggunakan ekstrak tanpa pemberian ekstrak cair daun cair daun merapin konsentrasi 10%, merapin sebesar 83.257 mm. Hasil uji namun dengan lanjut DMRT perlakuan ekstrak kasar konsentrasi 15%, 20%, 25%, 30% dan aseton daun merapin dalam menghambat 35%. Perlakuan ekstrak cair daun petumbuhan C.capsici pada cabai yang merapin ditumbuhkan pada media PDA dapat berbeda dengan nyata konsentrasi 35% menunjukan pertumbuhan cendawan dilihat di Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.capsici pada cabai dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin pada hari ke10. Perlakuan Diameter cendawan (mm) Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin (EKADM) Kontrol 84.377a 10 mg/mL 80.513ab 15 mg/mL 79.833ab 20 mg/mL 78.943ab 25 mg/mL 76.017bc 30 mg/mL 70.287cd 16 65.177d 35 mg/mL Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Berdasarkan uji lanjut DMRT (Co4), 30% (Co5) dan 35% (Co6). rataan diameter pertumbuhan C.capsici, Dilihat pada hari ke-10 perlakuan setelah diberi perlakuan ekstrak kasar ekstrak cair daun merapin konsentrasi aseton daun merapin tampak terlihat 35% (Co6) menunjukan pertumbuhan bahwa perlakuan kontrol tidak berbeda yang nyata dengan perlakuan lain. dengan menggunakan merapin perlakuan ekstrak dengan yang aseton daun konsentrasi 10 mg/mL,15 mg/mL dan 20 mg/mL. Perlakuan ekstrak aseton daun merapin dengan konsentrasi 35 mg/mL menunjukan pertumbuhan cendawan terendah yaitu 65.177 mm dan pertumbuhan tertinggi ditunjukan pada perlakuan kontrol sebesar 84.377 mm. Pengaruh merapin pada ekstrak cair daun berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C.coccodes dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukan bahwa cendawan pada pemberian ekstrak pertumbuhannya pertumbuhan perlakuan (Kontrol paling tanpa Co0) tinggi dibandingkan dengan perlakuan ekstrak cair daun merapin pada konsentrasi 10% (Co1), 15% (Co2), 20% (Co3), 25% paling lambat dibandingkan Pada Gambar 17 pengaruh ekstrak kasar aseton daun merapin pada berbagai konsentrasi terhadap pertumbuhan C.coccodes, terlihat bahwa perlakuan tanpa pemberian pertumbuhannya ekstrak (Co0) lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan ekstrak kasar aseton daun merapin dengan konsentrasi 10 mg/mL (Co1), 15 mg/mL (Co2), 20 mg/mL (Co3), 25 mg/mL (Co4), 30 mg/mL (Co5) dan 35 mg/mL (Co6). Perlakuan terbaik dalam menghambat pertumbuhan C.coccodes yaitu pada konsentrasi 35 mg/mL. Pertumbuhan koloni C.coccodes pada media PDA dari hari ke-1 hingga hari ke-10 dengan perlakuan ekstrak cair daun merapin dapat dilihat pada Gambar 18 17 90 Diameter Cedawan (mm) 80 Co0 C10 Co15 Co25 Co30 Co35 Co20 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari ke- Gambar 18 Pertumbuhan koloni C.coccodes pada tomat dengan perlakuan ekstrak cair daun merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10. kasar aseton daun merapin dapat dilihat Pertumbuhan koloni C.coccodes pada Gambar 19. pada Tomat dimedia PDA dari hari ke-1 hingga hari ke-10 dengan perlakuan 90 Diameter Cendawan (mm) 80 Co0 Co10 Co15 Co25 Co30 Co35 Co20 70 60 50 40 30 20 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Hari setelah inkubasi (HSI) Gambar 19 Pertumbuhan koloni C.cocodes pada tomat dengan perlakuan ekstrak kasar aseton daun merapin dari hari ke-1 sampai hari ke-10. 18 Ringkasan sidik ragam perlakuan yang menyebabkan penyakit antraknosa ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton pada buah cabai dapat dilihat di Tabel 5 daun merapin pada media PDA dalam sebagai berikut: menghambat pertumbuahan C.coccodes Tabel 5 Hasil sidik ragam uji efikasi ekstrak cair daun merapin (ECDM) dan ekstrak kasar aseton daun (EAKDM) terhadap pertumbuhan C.coccodes pada Tomat dimedia PDA Parameter yang diamati KK Diameter Cendawan Perlakuan (%) Fhitung P>F Ekstrak Daun Merapin Cair 38.60* <.0001 3.65 Kasar 13.27* <.0001 3.65 Keterangan: * : berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil dari tabel sidik aseton daun merapin pada media PDA ragam pada Tabel 5, dapat dilihat bahwa berpengaruh nilai perlakuan ekstrak cair dan ekstrak C.coccodes. Hasil uji lanjut DMRT uji kasar aseton daun merapin pada media efikasi ekstrak cair daun merapin PDA terhadap daya hambat berpengaruh terhadap pada daya hambat petumbuhan pertumbuhan C.coccodes. Hal ini berarti C.coccodes uji efikasi ekstrak cair dan ekstrak kasar media PDA dapat dilihat di Tabel 6. yang ditumbuhkan pada Tabel 6 Hasil uji lanjut DMRT rataan diameter petumbuhan koloni C.coccodes pada Tomat dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak cair daun merapin pada hari ke-10. Perlakuan Diameter cendawan (mm) Ekstrak cair daun merapin (ECDM) Kontrol 83.103a 10% 80.593a 15 % 73.970b 20 % 68.833c 25 % 64.963cd 30 % 60.813de 35 % 60.053e Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% 19 Dilihat hasil uji lanjut DMRT rataan diameter pertumbuhan C.coccodes pada Tabel 6, perlakuan terendah yaitu 60.053 mm dan pertumbuhan tertinggi ditunjukan pada perlakuan kontrol sebesar 83.103 mm. kontrol dan 10% berbeda nyata dengan Hasil uji lanjut DMRT perlakuan perlakuan yang menggunakan ekstrak ekstrak kasar aseton daun merapin dalam cair daun merapin 15%, 20%, 25%, 30% menghambat petumbuhan C.coccodes dan 35%. Perlakuan ekstrak cair daun yang ditumbuhkan pada media PDA merapin dapat dilihat di Tabel 7. dengan konsentrasi 35% menunjukkan pertumbuhan cendawan Tabel 7 Hasil uji lanjut DMRT ratan diameter petumbuhan koloni C.coccodes pada Tomat dimedia PDA terhadap uji efikasi ekstrak kasar aseton daun merapin pada hari ke10. Perlakuan Ekstrak kasar aseton daun merapin (EKADM) Kontrol 10 mg/mL 15 mg/mL 20 mg/mL 25 mg/mL 30 mg/mL 35 mg/mL Diameter cendawan (mm) 83.593a 81.197a 81.193a 79.690a 74.810a 71.160bc 68.537c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% Pada Tabel 7, rataan pertumbuhan 68.537 mm sedangkan perlakuan diameter koloni C.coccodes terlihat tertinggi ditunjukan pada perlakuan bahwa perlakuan kontrol tidak berbeda kontrol yaitu 83.593 mm. nyata dengan perlakuan ekstrak aseton daun merapin dengan konsentrasi 10 mg/mL, 15 mg/mL,20 mg/mL dan 25 mg/mL, namun berbeda nyata dengan konsentrasi 30 mg/mL dan 35 mg/mL. Perlakuan ekstrak aseton daun merapin dengan konsentrasi 35 mg/mL menunjukan pertumbuhan terendah yaitu Berdasarkan isolasi dan hasil identifikasi pengamatan penyebab penyakit antraknosa pada buah cabai dan tomat yaitu Colletotrichum. disebabkan Penyakit oleh antraknosa biasanya menyerang pada bagian buah baik yang belum matang maupun sudah 20 matang. Menurut seiring proses Kusmiadi (2011) memiliki pematangan buah, silendris. pertumbuhan cendawan akan semakin cepat, karena kolonisasi pada inang tertunda akibat infeksi laten. Infeksi laten adalah infeksi dimana patogen dalam keadaan dorman atau tidak aktif di dalam jaringan inang dan akan berubah menjadi aktif jika kondisi telah sesuai atau memungkinkan cendawan untuk tumbuh. Ciri-ciri cabai yang terkena penyakit antraknosa yang disebabkan Colletotrichum capsici yaitu pada bagian buah cabai tersebut terdapat bercak coklat kehitaman yang lama kelamaan akan menjadi busuk dan kehitaman. C.capsici dilihat secara makrosopik pada media PDA nampak misellium berwarna putih bening, dilihat secara mikrosopik C.capsici terdapat arsevulus dan seta. Ciri-ciri tomat yang terserang penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum coccodes yaitu tampak ada bercak kecil berair, bulat, dan cekung. Bercak tersebut makin membesar, berwarna coklat, kelihatan ada lingkaran-lingkaran sepusat dan kemudian menjadi hitam, dilihat secara makrosopik C.coccodes memiliki miselium berwarana putih agak orange dan jika dilihat secara mikrosopik konidia berbentuk bulat Hasil sidik ragam pada tabel 5 menunjukan bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak kasar aseton daun merapin terhadap C.capsici, hal ini pertumbuhan diduga bahwa pemberian ekstrak kasar aseton daun merapin memberikan pengaruh terhadap daya hambat pertumbuhan C.capsici yang nyata pada taraf uji 95%. Hasil uji lanjut DMRT pertumbuhan rataan diameter C.capsici, koloni menunjukan bahwa perlakuan ekstrak kasar aseton daun merapin konsentrasi 35 mg/mL menunjukan hasil yang paling baik dalam menghambat pertumbuhan C.capsici. Pada konsentrasi ini rataan diameter pertumbuhan C.capsici lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Undriani (1987) menyatakan bahwa senyawa antimikroba seperti tanin dan flavonoid dapat merusak dinding sel cendawan yang tersusun atas senyawa kitin hingga terjadi lisis, mengubah permeabilitas sitoplasma sehingga membran sel bocor, menyebabkan denaturasi protein sel komponen dinding sel. Penghambatan intraselluler zat-zat yag terkandung mampu menghambat reaksi enzimatis, 21 merusak molekul protein, dan asam formulasi maka semakin tinggi pula nukleat serta menghambat sintesis asam bahan aktif yang dikandung sehingga nukleat kemampuanya dalam menekan patogen sehingga cendawan metabolisme terganggu sel dan akan lebih optimum. perkembangbiaakan menjadi terhambat. Berdasarkan hasil sidik ragam Hal ini diperkuat oleh Chairul (2007) pengaruh ekstrak kasar aseton daun menyatakan bahwa senyawa flavonoid merapin pada konsentrasi 10 mg/mL, 15 dan tanin mempunyai sifat sebagai mg/mL, 20 mg/mL, 25 mg/mL, 30 antimikroba dan antivirus. Berdasarkan mg/mL dan 35 mg/mL menunjukan hasil hasil penelitian yang dilakukan oleh yang nyata terhadap pertumbuhan koloni Aminah (2013) hasil uji fitokimia secara Colletotrichum coccodes. Jika dilihat kualitatif merapin dari hasil uji lanjut DMRT perlakuan menunjukkan adanya senyawa tanin, ekstrak cair daun merapin dengan saponin, fenolik, steroid, dan flavonoid. kosentrasi 30 mg/mL dan 35 mg/mL Berdasarkan hasil analisis sidik memberikan hasil yang terbaik dalam ragam pengaruh ekstrak cair daun menghambat pertumbuhan C.coccodes merapin bahwa pertumbuhan C.capsici dibandingkan dari hari pertama penanaman hingga hari lainnya. Hal ini berarti konsentrasi 30 terakhir menunjukan bahwa perlakuan mg/mL dan 35 mgmL memiliki efek dengan menggunakan ekstrak cair daun yang merapin memberikan hasil yang nyata C.coccodes dilihat dari pengamatan dalam diameter koloni C.coccodes selama 10 pada daun menghambat pertumbuhan C.capsici. Dilihat dari hasil pengamatan sama dengan dalam konsentrasi menghambat hari setelah inkubasi. pertumbuhan C.capsici konsentrasi 35% Analisis sidik ragam menunjukan memberikan hasil yang terbaik dalam bahwa perlakuan ekstrak cair daun menghambat pertumbuhan C.capsici, merapin berpengaruh nyata terhadap hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi peubah diameter C.coccodes. Ekstrak ekstrak cair daun merapin maka daya cair hambatnya semakin tinggi pula. Menurut menghambat pertumbuhan C.coccodes Gunawan pada media PDA yaitu pada konsentrasi semakin (2006) tinggi pada umumnya kosentrasi suatu daun merapin yang mampu 15%, 20%, 25%, 30% dan 35%. 22 Perlakuan ekstrak cair daun merapin memberikan daya hambat yang paling dengan konsentrasi 35% menunjukan baik daya hambat yang paling baik, karena C.capsici dan C.coccodes. terhadap pertumbuahan secara rerata diameter pertumbuhan C.coccodes lebih kecil dibandingkan DAFTAR PUSTAKA dengan perlakuan lainnya. Efek anti cendawan pada ekstrak cair daun merapin diduga oleh adaya senyawa tanin. Senyawa tanin memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat anti rayap dan jamur (Risnasari 2002). Menurut Jayanegara dan Sofyan (2005) tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme menghambat rumen dan dapat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim. KESIMPULAN 1. Ekstrak cair dan ekstrak kasar aseton daun merapin mampu menghambat pertumbuhan C.coccodes C.capsici penyebab dan penyakit antraknosa asal buah cabai dan buah tomat. 2. Ekstrak cair daun merapin dengan konsentrasi 35% dan ekstrak kasar aseton daun merapin 35 mg/mL Aminah S. 2013. Uji aktivitas antibakteri ekstrak kasar aseton daun merapin (Rhodamnia cinerea) terhadap bakteri Enteropatogenik. [Skripsi]. Bangka. Program studi Biologi Fakultas Pertanian perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Baharudin. 2005. Uji Efektivitas Formulasi Seed Coating berbahan aktif Bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilus untuk pengendalian Penyakit layu Fusarium(Fusarium Oxysporum) pada tanaman Tomat. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fapertahut UNHAS. Byrne and Hammrschmidt. 1997. Conidial germination appressorium of Colletotrichum coccodes on tomto foliage. Department of Botany and Plant PathologyMichigan State Universiti. East Lansing. Plant Disease/Vol.81 No.7. Efri. 2010. Pengaruh Ekstrak berbagai bagian tanaman mengkudu(Morinda Citrifolia) terhadap perkembangan penyakit Antraknosa pada tanaman cab(Capsicum Annum L). Lampng: Jurusan Proteksi Tani Fakultas Pertanian. 23 Universitas Lampung. Tropika 10:52-58. Simpan Buah Salak Pondoh Akibat Serangan Cendawan [Skripsi]. Bogor :Pogrom Pasca sarjana, Institut Pertanian Bogor. J.HPT Febririansyah RA. 2009. Uji Efek Imunomodulator Ekstrak Metanol Daun dan Kulit Batang Rhodamnia Cinerea jack melalui pengukuran aktivitas dan kapasitas Fagositosis sel Magrofag Peritoneum Mencit yang diinduksi Staphylococcus epidermidis secara In-vitro. [Skripsi]. Jakarta: Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah. Girsang W. 2010. Uji aplikasi ekstrak daun sirih untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman cabai (Capsicum annum L). Imalungun Pematang Siantar. J. Habonaran Dobona Edisi 3. Istikorini Y. 2008. Potensi Cendawan Endofit untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa pada Cabai (Capsicum Annum L). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana InstitutPertanian Bogor. Jayanegara A dan Sofyan A. 2005.Penentuan Aktivitas Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in Vitro Menggunakan ’Hohenheim Gas Test’ dengan Polietilen Glikol Sebagai Determinan.Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Kusmiadi R. 2011. Kajian Efikasi Rimpang Jahe dan Kunyit sebagai Upaya untuk Memperpanjang Umur Latifah Q. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak kasar Senyawa Anti Bakteri pada Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilmbi L) dengan Variasi Pelarut. [Skripsi]. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negri (UIN) Malang. Maulinda D dan Zulkarnaen N. 2010. Ekstrak Antioksidan (Likopen) dari Buah Tomat dengan menggunakan Solven campuran, nHeksana,Aseton dan Etanol. [Skripsi]. Semarang: Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro Semarang. Mujahidin A. 2012. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman Pengendalian Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai Merah.[Skripsi]. Malang: Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Manik Risjan. 2008. Uji Efektifitas Daun Cengkeh dan Daun serai Terhadap Penyakit Antraknosa pada Tanamn Cabai di lapangan. [Skripsi]. Medan: Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Ttumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara Medan. Nawangsih A.2006. Seleksi dan Katerrisasi Bakteri Biokontrol untuk 24 mengendalikan penyakit layu Bakteri (Ralstonia Solanacearrum) pada Tomat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Nurhayati. 2006. Pertumbuhan Clletotrichum capsisi Penyebab Antraknosa Buah Cabai pada berbagai mediayang mengandung ekstrak Tanaman. Sriwijaya: Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Jurnal Rafflesia 9:1411-2434. Putri 2010. Keragaan beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annun L) dan ketahanannya terhadap Antraknosa, Hawar Phytophthara, dan layu bakteri serta parameter genetiknya. [Skripsi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. EN. Risnasari I. 2002.Tanin.Sumatra Utara. Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara. Suryotomo B. 2006. ketahanan alami beberapa genotipe cabai (capsicum annum L) terhadap penyakit Antraknosa.Universitas Pekalongan. J. Sain dan teknologi Indonesia 8:1-6. Sitohang HJ. 2000. Uji daya hasil dan ketahanan penyakit layu baktri (Pseudomonas Solanacearum mill) sembilan galur tomat di kebun percobaab tajur. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian fakultas pertanian, Insitut Pertanian Bogor. Udriani K.1987. pengaruh bubuk jahe (zingiber offcinale) terhadap aktifitas pertumbuhan beberapamikroba penyebab kerusakan pangan. [Skripsi] Bogor:Institut Pertanian Bogor Wahyuni N. 2004. Respon Alternaria Solani penyebab penyakit bercak coklat terhadap Ekstrak Daun Cengkeh dan pola secara in-vitro. [skripsi]. Bogor: Departemen hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wahyuni S. 2006. Perkembangan Hama dan penyakit kubis dan tomat pada tiga sistem budidaya pertanian di desa suka galaih kecamatan megamendung kabupaten bogor. [Skripsi]. Bogor. Fakultas program studi proteksi tanamnan fakultas pertanian, institut pertanian bogor. Wijayani A dan Widodo W. 2005. Usaha meningkatkan kualitas Bbeberapa Varietas Tomat dengan sistem Budidaya Hidroponik.Fakultas Pertanian UPN “Veteran” Yogyakarta. J. Ilmu Pertanian 12: 77-83. Widiastuti AR.2006. Penggunaan Fungisida Botani dan Kimia secara in-vitro sebagai upaya Eradikasi Cendawan penyebab Dampingoff pada tomat (lycopersicon esculetum Mill). [Skripsi]. Bogor: Program Studi Hortikultura Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 25 AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KASAR BELILIK (Brucea javanica) TERHADAP BAKTERI ENTEROPATOGEN Umajaya, Henny Helmi, Idha Susanti ABSTRAK Tumbuhan belilik (Brucea javanica) merupakan tumbuhan obat tradisional yang banyak digunakan oleh masyarakat, karena memiliki kemampuan sebagai obat. Tumbuhan ini mengandung senyawa aktif yang digunakan sebagai antibakteri dimana tumbuhan ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Penelitian ini menggunakan ekstrak akar belilik. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet dan menghasilkan ekstrak kasar sebanyak 2,1 g. Ekstrak diuji daya antibakterinya terhadap bakteri enteropatogenik (Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Shigella sp., dan EPEC) dengan menggunakan metode cakram. Sebagai pembanding digunakan antibiotik kloramfenikol 50 mg/mL, kanamisin 40 mg/mL dan kanamisin 30 mg/mL. Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak kasar etanol akar belilik kurang memiliki kemampuan dalam menghambat bakteri enteropatogenik. Ekstrak ini paling baik dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 90 mg/mL dengan zona hambat sebesar 5,43 mm. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka semakin tinggi zona hambat yang dibentuk. Namun, bila dibanding dengan kontrol positif (antibiotik), zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik lebih besar dari pada ekstrak kasar akar belilik. Pada pengujian fitokimia, uji fitokimia pada ekstrak akar belilik menunjukkan adanya kelompok senyawa alkaloid, saponin dan fenolik. Kata Kunci: B. javanica, Antibakteri, Metode Cakram PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang tingkat keanekaragaman hayatinya sangat tinggi sehingga merupakan sumber plasma nutfah yang tidak ternilai (Mursito 2002). Salah satu sumber plasma nutfah tersebut adalah tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. PROSEA (1999), diacu dalam Adelia (2010) mengungkapkan Indonesia dianugrahi kekayaan keanekaragaman hayati, yang memiliki 28.000 spesies tumbuhan dan diperkirakan sekitar 1.000 spesies diantaranya diketahui berkhasiat sebagai bahan obat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Wilianti (2009), kelebihan penggunaan tumbuhan obat tradisional adalah mudah didapat dan cara pemakaiannya paling cocok dan paling mudah. Selain itu, penggunaan tumbuhan herbal memiliki kelebihan dibandingkan dengan obat kimia, karena obat kimia dapat menimbulkan efek samping yang tinggi dan mengakibatkan bakteri lebih kebal sehingga adanya alternatif penggunaan tumbuhan herbal dapat menjadi solusi atas permasalahan resistensi bakteri, termasuk bakteri enteropatogenik. Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat dan digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional yang berupa daun, batang, buah, bunga, dan akar yang memiliki khasiat sebagai obat (Poeloengan et al. 2006). Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional sudah lama dikenal oleh masyarakat karena memiliki khasiat sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Oktora 2006). Tumbuhan obat sudah dikenal mengandung berbagai golongan senyawa aktif tertentu sebagai bahan obat yang mempunyai efek fisiologis terhadap organisme lain (Melki et al. 2011). Masyarakat Bangka Belitung banyak menggunakan ramuan atau tumbuhan sebagai obat tradisional dalam menyembuhkan penyakit.Salah satu tumbuhan obat yang memiliki senyawa aktif dan digunakan oleh 26 masyarakat Bangka Belitung yaitu belilik (Brucea javenica (L) Merr). Tumbuhan ini digunakan untuk mengobati disentri, malaria, kudis, dan penawar racun lipan (Widayat & Subositi 2009). Menurut Hendrian dan Hadiah (1999), tumbuhan ini memiliki rasa pahit, sifatnya dingin, dan beracun (toksik). Bagian tumbuhan ini yang sering digunakan adalah akar.Akar Brucea javenica juga dapat berkhasiat sebagai obat malaria, demam, dan keracunan makanan (Dalimarta 2001; Hendrian & Hadiah 1999). Brucea javenica memiliki senyawa kimia yaitu alkaloid, flavonoid, steroid, terpenoid, seskuiterpenoid, diterpenoid, dan saponin (Annaria 2009). Menurut Zamar (2011) senyawa kimia tersebut dapat dijadikan sebagai antibakteri, terutama bakteri patogen. Bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit diantaranya Shigella sp., Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan EPEC (Enteropatogenik E. coli). Keempat bakteri tersebut dapat berpotensi menimbulkan penyakit saluran pencernaan atau enteropatogenik. Banyak penelitian sebelumnya yang telah menguji senyawa kimia yang terkandung di buah dan daun B. javanica ini. Namun, belum ada ditemukan penelitian yang membahas aktivitas senyawa kimia yang terdapat pada akar B. javanica sebagai antibakteri. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui senyawa aktif dari akar B. Javanica sebagai antibakteri serta aktivitasnya sebagai antibakteri. Senyawa yang aktif sebagai antibakteri dapat ditentukan dengan menghitung daya hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri dalam medium tertentu. Rumusan Masalah Sampai saat ini penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti disentri dan diare (gastroentristis) masih banyak diderita oleh masyarakat Bangka. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri enteropatogenik seperti EPEC, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Shigella. Beberapa bakteri telah resisten terhadap obat kimia atau antibiotik. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah resistensi tersebut dengan penggunaan obat tradisional yang berasal dari tumbuhan obat. Salah satu tumbuhan obat tersebut yang digunakan oleh masyarakat Bangka Belitung adalah akar belilik (Brucea javanica) karena memiliki senyawa aktif yang efektif mengatasi penyakit secara tradisional. Pengujian secara in vitro membuktikan kelebihan dari kemampuan akar Belilik dalam menghambat bakteri enteropatogenik belum (pernah) dilakukan, sehingga dibutuhkan penelitian yang mampu membuktikan khasiat dari akar belilik terhadap terapi pengobatan penyakit berdasarkan pembentukan zona bening disekitar isolat uji. Tujuan 1. Mengetahui kemampuan ekstrak kasar etanol akar belilik dalam menghambat pertumbuhan bakteri EPEC, P. aeruginosa, S. aureus dan Shigella sp. berdasarkan parameter pembentukan zona bening 2. Mengetahui kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak akar belilik (B. javanica) melalui uji kualitatif. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberi informasi ilmiah bagi masyarakat mengenai alternatif obat gastroenteritis dari bahan alami (ekstrak akar belilik) dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen (EPEC, P. aeruginosa, S. aureus dan Shigella sp.), dan acuan bagi penelitian lebih lanjut. Selain itu, data yang diperoleh dapat memberikan informasi potensi akar belilik sebagai antibakteri terhadap bakteri patogen sehingga dapat digunakan sebagai sumber obat baru. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung pada bulan Februari hingga Juli 2013. Pengambilan sampel dilakukan di Selindung Pangkalpinang. Ekstraksi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor, uji antibakteri dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi di Universitas Bangka Belitung dan uji fitokimia 27 dilakukan di Laboratorium MIPA Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Prosedur Penelitian Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, cawan petri, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, gunting, hotplate, inkubator, jangka sorong digital, jarum ose, Laminar Air Flow (LAF), mortar, microwave, orbital shaker, pembakar spiritus, pengaduk gelas, pinset, pipet tetes, pipet mikro, spektofotometer (UVVIS 1800), tabung reaksi, timbangan digital dan vortek. 2. Bahan Bahan yang digunakan adalah alkohol 70%, akuades steril, asam sulfat, asam asetat (CH3COOH) glacial, dietil eter, reagen Dragendorff (campuran Bi(NO3)2. Air (5H2O) dalam asam nitrat dan larutan kalium iodida (KI)), ekstrak belilik, etanol absolut, besi klorida (FeCl3 1%), H2SO4 dan asam klorida (HCL), kloroform-amoniak, media Nutrien Agar (NA), Nutrien Broth (NB), Magnesium (Mg), akar belilik dan isolat bakteri Staphylococcus aureus, EPEC, Pseudomonas aeruginosa dan Shigella sp. (isolat berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia). Pengambilan Sampel Akar belilik yang telah diambil dimasukkan dalam kantong plastik. Akar yang telah diambil akan dilakukan ekstraksi di Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor (dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor). Analisis Laboratorium a. Ekstraksi Kasar Akar Belilik Ekstraksi dilakukan dengan metode soxhlet. Sebanyak 69,1021 gr akar belilik dihaluskan, selanjutnya direndam ke dalam etanol absolut dan dipanaskan dengan menggunakan soxhlet sampai larutan menjadi bening dan terekstrak secara sempurna. Ekstrak yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan vaccum rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut. Rendemen yang diperoleh sekitar 2,90 % dengan bobot ekstrak 2,0041 gram (dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor). b. Kurva Pertumbuhan Bakteri (Cappucino & Sherman 1987) Sebelum melakukan uji efektivitas antibiotik terhadap bakteri patogen, dibuat kurva pertumbuhan bakteri terlebih dahulu untuk melihat pertumbuhan optimum bakteri. Penentuan kurva pertumbuhan bakteri dilakukan dengan metode turbidimetri. Sebanyak satu ose bakteri uji EPEC, P. aeruginosa, Shigella sp. dan S. aureus ditumbuhkan dalam 50 ml media NB. Bakteri tersebut dikocok dengan shaker selama 24 jam pada suhu 37 0C dengan kecepatan 125 rpm. Sebanyak 1 mL bakteri yang telah dikocok dengan shaker selama 24 jam dipindahkan ke dalam 50 ml media NB steril dan diinkubasi pada suhu 37 0C dengan kecepatan 125 rpm. Sebanyak 5 ml sampel bakteri uji tersebut dimasukkan ke dalam kuvet. Sebagai blanko digunakan 5 mL media NB steril. Sampel bakteri uji diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm setiap 2 jam sekali mulai jam ke-0 sampai jam ke-24. Absorbansinya dibaca sampai mencapai 0.6-0.8 (setara dengan konsentrasi 106108 sel/ml). Bakteri dengan absorbansi 0.6-0.8 digunakan untuk uji selanjutnya (uji antibakteri). Dalam kurva pertumbuhan dilakukan juga metode TPC (total plate count). Hasil analisis dengan 28 spektrofotometer dibandingkan dengan metode TPC untuk menghasilkan kurva pertumbuhan bakteri. TPC dilakukan dengan 1 mL bakteri uji yang telah dilakukan pengenceran dimasukan kedalam cawan perti dengan menggunakan metode sebar. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. c. Uji Aktivitas Antibakteri Masing-masing sebanyak 1 mL bakteri uji dengan pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan 20 mL media NA dengan suhu 40 0C lalu didinginkan. Selanjutnya kertas cakram direndam dengan dengan ekstrak belilik dengan konsentrasi 70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL selama 30 menit. Selanjutnya kertas cakram yang telah dicelupkan kedalam ekstrak diletakkan dipermukaan agar yang telah terisi bakteri uji. Kertas cakram tersebut ditekan menggunakan pinset steril supaya menempel sempurna pada permukaan agar. Bakteri uji selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan. Sebagai kontrol positif digunakan Antibiotik sintetik yaitu kanamisin (30 mg/mL) untuk bakteri EPEC, kanamisin (30 mg/mL) untuk bakteri P. aeruginosa, kloramfenikol (50 mg/mL) untuk bakteri S. aureus dan kanamisin (40 mg/mL) untuk bakteri Shigella sp.. 1 ml bakteri uji dengan pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan 20 ml media NA dengan suhu 40 0C lalu didinginkan. Kertas cakram direndam dengan dengan antibiotik sintetik selama 30 menit. Kertas cakram yang telah dicelupkan kedalam antibiotik diletakkan dipermukaan agar yang telah terisi bakteri uji. Bakteri uji selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam.Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan. Sebagai kontrol negatif dilakukan tanpa penambahan ekstrak pada kertas cakram. 1 mL bakteri uji dengan pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri. Selanjutnya ditambahkan 20 mL media NA pada suhu 40 0C. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 24 jam. Pengujian dilakukan 3 ulangan. d. Pengukuran Diameter Pembentukan Zona Bening Zona bening yang terbentuk oleh ekstrak belilik disekitar isolat uji.Pengukuran diameter zona hambat dilakukan dengan jangka sorong digital. Rumus Diameter Penghambatan = B-A Keterangan : A = Diameter kertas cakram B = Diameter zona hambatan Uji Fitokimia Akar Belilik Analisis fitokimia yang dilakukan dalam penelitian ini hanya dilakukan secara kualitatif.Analisis ini dilakukan untuk mengetahui senyawa-senyawa aktif yang terkadung dalam akar belilik. a) Uji Alkaloid 30 mg ekstrak ditambah 10 mL kloroform-amoniak, kemudian disaring kedalam tabung reaksi.Filtrat ditambahkan dengan 3-5 tetes asam sulfat 2 M dan dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam (terdapat pada bagian atas) dipipet dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan dengan 1 pipet pereaksi Dragendorff (campuran Bi(NO3)2. 5H2O dalam asam nitrat dan larutan KI). Adanya alkaloid ditunjukan dengan terbentuknya endapan jingga sampai merah coklat pada pereaksi Dragendorff (Robinson (1995), diacu dalam Kusuma 2011). 29 b) Uji Saponin 30 mg ekstrak diekstraksi dengan 5 mL dietil eter sehingga terbagi menjadi 2 fraksi yang larut dan yang tidak larut dalam dietil eter. Fraksi yang tidak larut dietil eter kemudian ditambahkan air sebanyak 5 mL dalam tabung reaksi lalu dikocok. Ekstrak dinyatakan positif mengandung saponin apabila terdapat busa dengan ketinggian 1-3 cm bertahan selama 15 menit (Harborne 1996). c) Uji Triterpenoid dan Steroid Fraksi yang larut dalam dietil eter dari saponin dipisahkan, kemudian ditambahkan dengan CH3COOH glasial sebanyak 10 tetes dan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes.Larutan dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa menit. Steroid memberikan warna biru atau hijau, sedangkan untuk triterpenoid memberikan warna merah atau ungu (Harborne 1996). d) Uji Flavanoid 30 mg ekstrak ditambahkan dengan 100 mL air panas, didihkan selama 5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak 5 mL ditambahkan 0,05 mg serbuk Mg dan HCl pekat, kemudian dikocok kuat-kuat. Uji positif ditunjukan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga (Harborne 1996). e) Uji Fenolik 30 mg ekstrak ditambahkan 10 tetes FeCl3 1%.Ekstrak positif mengandung fenol apabila menghasilkan warna hijau, merah, ungu atau hitam pekat (Harborne 1996). f) Uji Tanin Sampel ditambah air panas dan dididihkan selama 5 menit dan disaring filtratnya dibagi 2 masing-masing ditambahkan FeCl3 1% (adanya tannin dan folifenol terbentuk warna biru hijau dan ditambah gelatin (adanya tannin ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih) (Harborne 1996). Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor perlakuan. Faktor pertama adalah konsentrasi ekstrak akar belilik masing- masing dengan 3 taraf konsentrasi ekstrak akar belilik yaitu 70 mg/ml, 80 mg/ml dan 90 mg/ml. Faktor kedua adalah jenis bakteri patogen yang terdiri dari 4 taraf yaitu EPEC, P. aeruginosa, S. aureus, dan Shigella sp.. Penelitian dilaksanakan dengan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah pembentukan zona bening. Data kuantitatif dianalisis menggunakan ANOVA. Jika berpengaruh nyata (α = 95 %) maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (Gomes 2007). Hasil uji fitokimia dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan diartikan penambahan teratur semua komponen sel suatu mikroba. Pada jasad bersel satu, pertumbuhan dapat dilihat dengan bertambahannya ukuran sel dan setelah mencapai ukuran tertentu biasanya diikuti proses pembelahan. Pengukuran pertumbuhan mikroba secara kuantitatif biasanya disajikan dalam bentuk kurva yang menunjukan hubungan antara biomassa dengan waktu (Suharni et al. 2007). Menurut Pratiwi (2008), pertumbuhan mikroorganisme terdiri dari 4 fase, yaitu fase lag, fase log, fase stasioner, dan fase kematian. Pengukuran untuk pembuatan kurva pertumbuhan keempat bakteri (EPEC, P. aeruginosa, Shigella sp. dan S. aureus) dilakukan dengan metode turbidimetri. Hasil pengukuran menunjukan bahwa hanya bakteri S. aureus memiliki kurva pertumbuhan yang berbeda. Bakteri ini mencapai absorbansi 0,854 pada jam ke-10 sedangkan ke 3 bakteri jam ke-6 sudah mencapai absorbansi 0,833 (P. aeruginosa), 0,870 (Shigella sp.) dan 0.883 (EPEC). Hadiwiyoto (1994) menyatakan bahwa pertumbuhan bakteri mencapai fase log jika sudah mencapai jumlah sel 107 atau 108 sel/mL 30 yang setara dengan absorbansi 0.7 atau 0.8. Setiap mikroorganisme memiliki respon yang berbeda-beda terhadap lingkugannya ternasuk bakteri. Fardiaz (1992) mengatakan, pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi medium tempat tumbuhnya, seperti pH dan kandungan nutrisi, juga kondisi lingkungan termasuk suhu dan kelembaban. Pengujian mengunakan analisis sidik ragam dari ekstrak kasar etanol akar belilik dalam menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik menunjukan bahwa ekstrak akar belilik tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan zona bening (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan ekstrak akar belilik kurang mampu dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Tabel 1. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Ekstrak Kasar Akar Etanol Belilik terhadap Pembentukan Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik. Perlakuan Parameter Zona hambat Konsentrasi Bakteri Interaksi KK (%) F hit Pr > F F hit Pr > F F hit Pr > F 1,22tn 0,313 0,68tn 0,573 0,74tn 0,626 92,62 % Keterangan: tn: Tidak berpengaruh nyata pada taraf 0,05 Pr > F: Nilai Probability Berdasarkan tabel 1 konsentrasi ekstrak akar belilik tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan zona hambat bakteri uji. Berdasarkan pengamatan ekstrak kasar akar belilik kurang memiliki kemampuan dalam menghambat bakteri uji, baik gram negatif maupun gram positif, sehingga secara statistik ekstrak kasar akar belilik tidak berpengaruh nyata terhadap keempat bakteri uji. Hal ini berarti bakteri uji relatif memberikan respon yang sama terhadap terhadap ekstrak akar belilik pada konsetrasi yang diperlakukan. Diameter zona bening yang terbentuk semakin tinggi seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak akar belilik yang diperlakukan (Tabel 2). Tabel 2. Pengukuran Rata-Rata Diameter Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik dengan Perlakuan Ekstrak Kasar Etanol Akar Belilik. konsentrasi ekstrak Bakteri 70 mg/mL 80 mg/mL 90 mg/mL (mm) (mm) (mm) Staphylococcus aureus Shigella sp. Pseudomonas aeruginosa Epec 0,913 0,845 1,65 1,51 S. aureus memiliki diameter hambat lebih besar dibandingkan EPEC, Shigella sp. dan P. aeruginosa. Hal tersebut menunjukan bahwa diameter daya hambat yang dibentuk oleh bakteri gram positif lebih besar dari pada bakteri gram negatif. Staphylococcus aureus merupakan 5,4 2,407 2,627 2,76 5,43 2,563 2,816 2,846 bakteri gram positif dimana memiliki struktur dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan dengan dinding sel bakteri gram negatif sehingga memudahkan senyawa antibakteri masuk ke dalam sel bakteri (Jawetz et al. 1986). Menurut Jawetz et al. (2001), perbedaan 31 kepekaan pada bakteri gram negatif dan gram ekstrak kasar akar belilik. Siswandono (1995), positif terhadap zat antibakteri kemungkinan diacu dalam Ismunandar (2008), menambahkan karena perbedaan struktur dinding sel, seperti struktur dinding sel bakteri Gram negatif yang jumlah peptidoglikan, jumlah lipid, ikatan silang relatif kompleks tersebut menyebabkan senyawa dan aktivitas enzim, yang menentukan penetrasi, antibakteri lebih sukar masuk ke dalam sel dan pengikat dan aktivitas antibakteri. Terjadinya menemukan sasaran untuk bekerja. kerusakan pada membran sel mengakibatkan Diameter zona hambat bakteri yang terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzimterbentuk dengan perlakuan ekstrak akar belilik enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi lebih kecil dibandingkan dengan zona hambat metabolisme (Naidu 2000, diacu dalam Yulianti kontrol positif dengan menggunakan antibiotik. 2009). Menurut Dewi (2010) dan Radji (2011), Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan bakteri gram positif memiliki dinding sel dengan antibakteri pada ekstrak masih lemah pada peptidoglikan lebih banyak, sedikit lipid dan konsentrasi yang diperlakukan, sehingga untuk dinding sel mengandung polisakarida (asam bakteri S. aureus, Shigella sp., P. aeruginosa teikoat), sedangkan bakteri gram negatif lebih dan EPEC dibutuhkan konsentrasi yang lebih banyak mengandung lipid, sedikit peptidoglikan tinggi. Ekstrak akar belilik tetap dianggap dan membran luar berupa bilayer yang berfungsi berpotensi sebagai antibakteri karena ekstrak sebagai pertahanan selektif senyawa-senyawa memberikan diameter zona hambat mulai dari yang keluar atau masuk sel. Perbedaan membran konsentrasi ekstrak 70 mg/mL, 80 mg/mL dan antara kedua bakteri gram positif dan gram 90 mg/mL. Hasil analisis sidik ragam kontrol negatif tersebut juga mengakibatkan respon positif disajikan dalam tabel 3. yang berbeda terhadap senyawa antibakteri dari Tabel 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Antibiotik terhadap Pembentukan Zona Hambat Bakteri Enteropatogenik. Perlakuan Parameter Zona hambat Konsentrasi & jenis antibiotik Bakteri Pr > F Interaksi F hit Pr > F F hit F hit 5,71* 0,009 8,29* 0,0006 1,70tn KK (%) Pr > F 0,16 28,08% Keterangan: *: Berbeda nyata pada taraf 0,05 Pr > F: Nilai Probability Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan kontrol positif yaitu (kloramfenikol 50 mg/mL, kanamisin 30 mg/mL, dan kanamisin 40 mg/mL) terhadap bakteri uji menunjukan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi dan jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap zona hambat. Tabel 4. Hasil Uji Lanjut Pengaruh Antibiotik Dalam Pembentukan Zona Hambat terhadap Bakteri enteropatogenik Bakteri S. aureus Antibiotik & konsentrai (mg/mL) kanamisin 30 Diameter (mm) Standar Daya Hambat 22,703abcd sangat kuat 32 kanamisin 40 25,227abc sangat kuat 26,73ab sangat kuat kanamisin 30 21,400abcde sangat kuat kanamisin 40 29,403a sangat kuat kloramfenikol 50 27,577ab sangat kuat P.aeruginosa kanamisin 30 12,430de Kuat kanamisin 40 13,350de Kuat kloramfenikol 50 15,350cde kuat kanamisin 30 11,283e Kuat kanamisin 40 16,503bcde kuat 30,793a sangat kuat kloramfenikol 50 Shigella sp. EPEC kloramfenikol 50 Keterangan: Angka yang diikiti dengan huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata pada Uji Duncan Bold Hitam (antibiotik yang memiliki diameter zona hambat paling besar Berdasarkan tabel 4 Kontrol positif menunjukkan perbedaan yang nyata dalam uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diameter zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik lebih besar pada bakteri gram negatif EPEC yaitu 30,793 mm dibandingkan bakteri gram positif S. aureus yaitu 26,73 mm. Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri S. aureus untuk kanamisin 30 mg/mL (22,703 mm), kanamisin 40 mg/mL (25,227 mm) dan kloramfenikol 50 mg/mL (26,73 mm) menunjukkan perbedaan nyata terhadap antibiotik yang digunakan. Hal ini berarti antibiotik yang digunakan telah menunjukkan efek yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri EPEC untuk untuk kanamisin 30 mg/mL (11,283), kanamisin 40 mg/mL (16,503 mm) dan kloramfenikol 50 mg/mL (30,793 mm) menunjukkan perbedaan nyata terhadap antibiotik yang digunakan. Hal ini berarti antibiotik yang digunakan telah menunjukkan efek yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan bakteri EPEC. Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri P. aeruginosa untuk untuk kanamisin 30 mg/mL (12,430 mm) dan kanamisin 40 mg/mL (13,350 mm) menunjukkan tidak berbeda nyata. Hal ini berarti antibiotik (kanamisin 30 mg/mL dan kanamisin 40 mg/mL) yang digunakan memberi efek yang sama dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa. Namun, pada antibiotik kloramfenikol 50 mg/mL (15,350 mm) menunjukkan perbedaan nyata terhadap kanamisin 30 mg/mL dan kanamisin 40 mg/mL. Hal ini berarti kloramfenikol 50 mg/mL yang digunakan telah menunjukkan efek yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa, dibandingkan kanamisin 30 mg/mL dan kanamisin 40 mg/mL. Uji Duncan terhadap diameter zona hambat bakteri Shigella sp untuk untuk kanamisin 30 mg/mL (21,400), kanamisin 40 mg/mL (29,403 mm) dan kloramfenikol 50 mg/mL (27,577 mm) menunjukkan perbedaan nyata terhadap antibiotik yang digunakan. Hal ini berarti antibiotik yang digunakan telah menunjukkan efek yang berbeda dalam menghambat pertumbuhan bakteri Shigella sp.. 33 Berdasarkan pembentukan zona hambat, perlakuan yang paling menghambat pertumbuhan 3 bakteri uji (S. aureus, P. aeruginosa dan EPEC) adalah antibiotik kloramfenikol 50 mg/mL. Kloramfenikol bekerja menghambat sintesis protein pada sel bakteri. Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50 S, sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom (Kusuma 2011). Pembentukan zona hambat paling tinggi bakteri Shigella sp. yaitu antibiotik kanamisin 40 mg/mL. Menurut Jawetz et al. (2001), kanamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang bersifat bakteriosida pada bakteri gram negatif. Mekanisme kerja antibiotik golongan aminoglikosida yaitu melalui hambatan sintesis protein. Zona hambat ditunjukkan oleh adanya daerah bening di sekitar kertas cakram yang dikarenakan pada daerah tersebut tidak ditumbuhi bakteri. Menurut Davis and Stout (1971), kriteria kekuatan daya antibakteri sebagai berikut: diameter zona hambat 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona hambat 5-10 mm dikategorikan sedang, zona hambat 10-20 mm dikategorikan kuat dan zona hambat 20 mm atau lebih dikategorikan sangat kuat. Berdasarkan kriteria tersebut, maka daya antibakteri ekstrak akar belilik pada bakteri Staphylococcus aureus, Shigella sp., P. aeruginosa dan EPEC dikatagorikan lemah. Namun ekstrak akar belilik masih potensial dalam menghambat bakteri. Ekstrak mampu menghambat bakteri secara efektif jika konsentrasi ekstrak yang digunakan lebih tinggi. Dalam pengujian terhadap kontrol negatif yaitu tanpa penambahan ekstrak dan antibiotik (akuades) tidak membentuk zona hambat terhadap bakteri uji. Hal ini menunjukan bahwa kontrol negatif tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri. Menurut Sukandar et al (2010), akuades tersebut tidak memiliki kemampuan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji. Ektrak kasar akar belilik dalam penelitian ini tidak begitu berpengaruh dalam menghambat bakteri enteropatogenik. Padahal didalam akar belilik berdasarkan pengujian fitokimia terkandung senyawa antibakteri seperti alkaloid, saponin, dan fenol. Hal ini kemungkinan karena kandungan zat aktif yang terdapat pada akar tidak cukup kuat menghasilkan zona hambat. Hasil uji kualitatif fitokimia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kasar Etanol Akar Belilik Uji Fitokimia Hasil Uji Keterangan Uji Saponin + Terbentuk busa Uji Triterpenoid dan Steroid - Berwarna bening Uji Flavonoid - Berwarna bening Uji Alkaloid + Terbentuk endapan Uji Fenolik + Terbentuk warna hijau Uji Tanin - Berwarna bening Keterangan: + (mengandung senyawa aktif) - (tidak mengandung senyawa aktif) Pada pengujian fenolik, pada ekstrak akar belilik yang ditambah dengan senyawa kimia FeCl3 terbentuk warna hijau dan merah bata. Hal ini menunjukan adanya senyawa fenolik pada akar belilik. Senyawa ini bisa dijadikan sebagai antibakteri. Menurut Yulianti (2009), senyawa fenol mampu memutuskan ikatan peptidoglikan saat menerobos dinding sel. Ikatan peptidoglikan ini secara mekanis memberi kekuatan pada sel bakteri. Naidu (2000), diacu dalam Yulianti (2009), menyatakan bahwa mekanisme senyawa fenol 34 sebagai zat antibakteri adalah dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Naidu (2000), diacu dalam Yulianti (2009), menambahkan setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatanikatan pada komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) sehingga meningkatkan permeabilitas membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme. Akar belilik positif mengandung senyawa saponin. Saponin merupakan glikosida triterpenoid dan sterol (Robinson 1995). Busa yang ditimbulkan saponin terjadi karena adanya kombinasi struktur senyawa penyusunnya yaitu rantai sapogenin nonpolar dan rantai samping polar yang larut dalam air (Oleszek 2002, diacu dalam Faradisa 2008). Saponin termasuk dalam fitokimia yang memiliki spektrum aktivitas sebagai antijamur dan antimikroba. Menurut Robinson (1995), mekanisme kerja saponin sebagai antibakteri adalah menurunkan tegangan permukaan sehingga mengakibatkan naiknya permeabilitas atau kebocoran sel dan mengakibatkan komponen intraseluler akan keluar. Pengujian alkaloid dengan menambahkan kloroform-amoniak yang menyebabkan terbentuk 2 lapisan asam, selanjutnya ditetesin dengan asam sulfat. Pada bagian atas lapisan asam ditetesin dengan Dragendroff menunjukan hasil terbentuk endapan dan berwarna kuning. Menurut Harborne (1996), hasil positif pada uji alkaloid dengan menggunakan pereaksi Dragendorff ditandai dengan terbentuknya endapan jingga hingga merah coklat sampai kuning. Endapan tersebut adalah kalium alkaloid dan dengan adanya penambahan HCl bertujuan karena alkaloid bersifat basa sehingga biasanya diekstrak dengan pelarut yang mengandung asam. Alkaloid juga memiliki sifat antibakteri, karena memiliki kemampuan menginterkalasi DNA (Murphy 1999, diacu dalam Ismunandar 2008). Menurut Robinson (1995), mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel. KESIMPULAN 1. Ekstrak akar belilik kurang mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji, namun memberi efek paling baik terhadap bakteri S. aureus pada konsentrasi 90 mg/mL. 2. Senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak akar belilik yaitu saponin, alkaloid dan fenolik. DAFTAR PUSTAKA Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional Tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Suku Lom di Dusun Air Abik desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu Bangka [skripsi]. Balunijuk: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Annaria S. 2009. Identifikasi Senyawa Organik Bahan Alam Pada Daun Melur (Brucea javanica (L.) Merr).http:www.tarmiziblog.blogspot.com/2 009/02/40.html. [5 Februari 2013]. Cappuccino JG, Sherman N. 1987. Microbiology: A Laboratory Manual. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company. Dalimarta S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia.Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hlm: 28- 33 Dewi, F.K. 2010. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Buah Mengkudu(Morinda citrifolia, Linnaeus) terhadap Bakteri Pembusuk Daging Segar. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 35 Gomes G. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia. Edisi kedua. Hadiwiyoto S. 1994. Teori Dan Prosedur Mutu Susu & Hasil Olahannya.Yogyakarta: Liberty. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bantung: Institut Teknik Bandung. Hendrian&Hadiah JT. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. Bogor: UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ismunandar W. 2008. Potensi Antibakteri Kulit Kayu Dan Daun Tanaman Akway (Drymis sp) Dari Papua. [skripsi]. Tidak diterbitkan. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Bogor. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Kusuma R. 2011. Uji Fitokimia Ekstrak Umbut Rotan Sega (Calamus caesius Blume.). http://www.fmipa.unmul.ac.id/pdf/158. [5 Februari 2013]. Melki, Ayu WEP, Kurniati. 2011. Uji Antibakteri Ekstrak Gracilaria sp (Rumput Laut) Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.http://eprints.unsri.ac.id/1257/2/Melk iujiantibak teriEkstrakGrasilariasp.pdf [07 Februari 2013]. Mursito B. 2002. Ramuan Tradisional untuk Penyakit Malaria. Jakarta: Penebar Swadaya. Oktora. L. 2006. Pemanfataan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/ 2006/v03n01/lusia0301.pdf[03 November 2012]. Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga Poeloengan M, Chairul, Komala I, Salmah S, Susan MN. 2006. Aktivitas Antimikroba dan Fitokimia dari Beberapa Tanaman Obat.Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Vateriner 2006. Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Buku Kedokteran ECG, Jakarta. Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, diterjemahkan oleh Kosasih, P., Edisi Keenam, 72, 157, 198, ITB, Bandung. Salmah. 2010. Isolasi dan Identifikasi Cendawan Endofit yang Berasal dari Tanaman Obat Di Kecamatn Koba, Lubuk Besar dan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. [skripsi]. Balunijuk: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi Universitas Bangka Belitung. Suharni TA, Juni NS, Sutariningsih SAE. 2007. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya A. 2010. Karakterisasi Senyawa Aktif Anti Bakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Valensi. 2 (1): 333-339. Widayat T, Subositi D. 2009. Kekerabatan Filogenetik Buah Makassar (Brucea javanica) Berdasarkan Gen Ribulosa-1,5-bifosfat Karboksilase/Oksigenase. http://herbalnet.healthrepository.org/bitstrea m /123456789/2592/1/Makalah%20POKJANA S.pdf Hlm: 1-8. [5 Februari 2013]. Wilianti NP. 2009. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang: Universitas Diponegoro. Yulianti, O.N., 2009. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak Biji, Kulit Buah, Batang, dan Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Skripsi S1 Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Zamar F. 2011. Isolasi Alkaloid Fraksi Aktif Ekstrak Buah Melur (Brucea javanica (L) Merr.) Sebagai Antibakteri. [skripsi] Padang: Jurusan Kimia Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. 36 UJI KUALITAS AIR MINUM PADA DEPOT AIR MINUM ISI ULANG (DAMIU) DI KECAMATAN RANGKUI, KOTA PANGKALPINANG 1) Yulia Sari, Henny Helmi 2), Rosha Kurnia Fembriyanto 3) Abstract The drinking water is water have been processed or without processing that meets the health requirements. Drinking water needs can be met with refill drinking water obtained from drinking water refill depot. The purpose of this research is to know the water quality (raw and drinking water) based on physical parameters (smell, taste and TDS), chemical (pH, Mn and Al) and biology (coliform and Escherichia coli) and to observe hygiene and sanitation drinking water refill depot (DAMIU) in District Rangkui, Pangkalpinang. The research method consisted of three stages; the determination of the number of samples, data collection and analysis of drinking water refill. The results showed the water quality (raw and drinking water) based on physical parameters (smell, taste, TDS), chemical (pH, Al, Mn), and biology (Coliform, E. coli) has been qualified for the Decree of the Minister of Health Regulation No. 416 of 1990 about raw water and Minister of Health Regulation No: 492/PER/IV/2010 about the quality of drinking water has been qualified except pH (raw water ranged from 4.02 to 5.21, drinking water ranged from 3.82 to 5.94) and Al (0,23-0,307 mg/L). Based on category hygiene and sanitation of 12. DAMIU in Rangkui is allqualify. Keywords: Drinking Water, DAMIU, Quality, Rangkui. PENDAHULUAN Latar Belakang Air minum merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan. Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum (Permenkes RI No. 492/ MENKES/PER/ IV/2010). Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan air minum lebih memilih cara yang lebih praktis serta ekonomis. Salah satu alternatif yaitu air minum isi ulang (Pracoyo 2006 dalam Simbolon et al. 2012). Air minum isi ulang (AMIU) merupakan sumber air minum yang digunakan oleh masyarakat termasuk di Kecamatan Rangkui. Rangkui merupakan sebuah kecamatan di Kota Pangkalpinang yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara kecamatan yang lain di kota tersebut (BPS 2014). Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Pangkalpinang (2014), jumlah air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui Pangkalpinang sebanyak 23 depot air minum. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010, persyaratan kualitas air minum untuk seluruh penyelenggara air minum wajib memenuhi persyaratan fisika, kimia, dan biologi. Oleh karena itu, semua air minum harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan supaya tidak menggangu kesehatan. Usaha air minum isi ulang kebanyakan masih berskala kecil terkadang dari segi pengetahuan dan saranaprasarana masih kurang jika dibandingkan dengan standar kesehatan, sehingga kualitas air minum tersebut masih diragukan karena dapat mempengaruhi kualitas air yang dihasilkan (Pradana & Marsono 2013). Hal itu didukung dari hasil pemeriksaan Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang (2014), menyatakan bahwa dari 8 depot yang diperiksa di Kecamatan Rangkui terdapat 7 depot yang tidak memenuhi syarat. Parameter yang tidak memenuhi syarat yaitu pH, mangan dan coliform. Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas air minum masih perlu diuji untuk memenuhi persyaratan kesehatan sehingga penelitian tentang uji kualitas air minum isi ulang khususnya di Kecamatan Rangkui Pangkalpinang penting untuk dilakukan. . Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yaitu: 1. Mengetahui kualitas air minum pada DAMIU di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang berdasarkan parameter fisik (bau, rasa, dan TDS), kimia (pH, mangan, dan aluminium), dan biologi (Coliform dan E.coli). 2. Melakukan observasi higiene sanitasi DAMIU di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang. 37 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari-Agustus 2015. Pengujian parameter fisika, kimia dan biologi akan dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung dan Pengujian cemaran logam Al dan Mn akan dilaksanakan di Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Metode Penelitian Tahapan pelaksanaan penelitian ini terdiri dari penentuan lokasi pengambilan sampel, pengambilan sampel dan pengumpulan data, serta analisis laboratorium. a. Penentuan jumlah sampel Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 12 depot dari 23 depot di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang. Pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling (Riduwan 2004). b. Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel. Pengambilan data dilakukan dengan mengisi kuesioner dan mengisi lembar observasi secara langsung (Marpaung dan Marsono 2013). c. Analisis air minum isi ulang Analisis dilakukan pada air baku dan air minum hasil olahan depot. Analisis sampel dilakukan pada beberapa parameter (Marpaung dan Marsono 2013). Batasan parameter yang digunakan pada analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Parameter fisika, terdiri dari: bau, rasa dan total padatan terlarut (TDS) 2. Parameter kimia, terdiri dari: pH, cemaran logam Al dan Mn 3. Parameter biologi, terdiri dari: cemaran coliform dan Escherichia coli Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah akuades, Alkaline-Cyanida Reagent, alkohol 70%, Ascorbic Acid Powder Pilows, larutan alfa-naftol, larutan Penyangga pH 7, larutan KOH 40%, media Lactose Broth, media Brilliant Green Lactose Broth (BGLB), media Eosine Methylene Blue Agar (EMBA), media MR-VP, media Nutrient Agar (NA), media Simmon’s Citrate Medium (SCA), media Trypton Broth (TB), PAN Indicator Solution 0,1%, reagen Al-1, reagen Al-2, reagen Al-3, pereaksi indol, pereaksi merah metil dan sampel air minum yang didapatkan dari depot AMIU yang ada di Kecamatan Rangkui Pangkalpinang beserta air bakunya. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf listrik, bunsen, cool box, erlenmeyer, inkubator, jarum ose, Laminar Air Flow (LAF), mikropipet, pH meter, pipet volumetrik, Spektrofotometer, tabung Durham, tabung Nessler, tabung reaksi, TDS meter, timbangan analitik dan vortex Prosedur Penelitian Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sampel diambil dari kran masing- masing sebanyak 500 mL (air baku dan air hasil olahan depot) secara aseptis. Menurut Gandjar (1992 diacu dalam Sapan 2007) menyatakan bahwa pengambilan sampel dilakukan dengan cara membuka kran dan dibiarkan air mengalir selama 2-3 menit lalu kran ditutup kembali. Mulut kran dan botol sampel dibersihkan menggunakan alkohol 70 %. Kemudian kran dibuka dan biarkan air mengalir selama 1 menit, lalu masukan air kedalam botol sampel. Mulut botol sampel dilewatkan pada Bunsen dan botol sampel ditutup. Botol sampel dimasukan dalam cool box untuk segera di uji. a. Parameter fisik Parameter fisik yang diuji adalah jumlah zat terlarut (TDS), bau dan rasa. Bau dan rasa diuji secara organoleptik mengacu pada metode SNI-01-3553-2006 dengan 3 kali ulangan menggunakan 3 orang responden. Pengujian TDS mengacu pada Setiari (2012). Pengujiaan zat terlarut dilakukan dengan cara elektroda TDS meter dimasukkan dalam sampel dan ditunggu hingga nilai yang tertera pada TDS meter stabil. Nilai yang tertera pada alat merupakan nilai TDS yang terkandung di dalam sampel yang diukur. Setelah selesai pengukuran eletroda TDS meter dikeluarkan dari sampel dan 37 dibersihkan dengan akuades yang berada dalam botol pembersih lalu dikeringkan dengan tisu. b. Parameter kimia Parameter kimia yang diuji adalah pH mengacu pada Alfian (2004), cemaran logam Al dan Mn mengacu pada metode spektrofotometri. Pengukuran pH dilakukan dengan cara pH meter dikalibrasi/distandarisasi dengan memasukan elektroda pH meter ke dalam larutan buffer (penyangga) pH 7 sehingga pembacaan menunjukan pH 7. Elektroda pH meter dikeluarkan dari larutan penyangga, kemudian dibersihkan dengan akuades yang berada dalam botol pembersih. Setelah bersih elektroda tersebut dimasukan ke dalam sampel yang akan dianalisis. Pembacaan pada pH meter menyatakan pH. Analisis dilakukan secara tiga kali ulangan. Pengujian logam Al dilakukan dengan cara sampel sebanyak 5 mL dimasukan ke dalam tabung nessler dan reagen Al-1 ditambahkan sebanyak 0,18 gr sambil diaduk. Selanjutnya reagen Al-2 ditambahkan sebanyak 1,2 mL. Setelah itu tambahkan reagen Al-3 sebanyak 0,25 mL. Setiap penambahan reagen selalu diaduk. Kemudian biarkan selama 2 menit dan baca di spektrofotometer dengan panjang gelombang 522 nm. Pengujian logam Mn dilakukan dengan dengan cara sampel sebanyak 25 mL dimasukan ke dalam tabung nessler. Selanjutnya satu bungkus ascorbic acid powder pillows ditambah dan diaduk. Kemudian tambahkan 1 mL Alkaline-cyanide reagen sambil diaduk. Setelah itu, PAN indicator solution 0,1 % ditambahkan serta diaduk dan serapan warna yang terjadi di ukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 560 nm. c. Parameter biologi Parameter biologi yang diuji adalah Coliform dan Escherichia coli mengacu pada Radji et. al (2008). Analisis cemaran coliform dilakukan dengan satu kali ulangan dan analisis E. coli dilakukan dengan 2 kali ulangan. Pengujian Coliform dilakukan dengan metode Angka Paling Mungkin (APM). Pengujian APM dilakukan dengan dua tahap yaitu, Uji Praduga dan Uji Konfirmasi. 1. Uji Praduga Uji ini dilakukan dengan cara sampel dikocok homogen dan dipipet sebanyak 1 mL ke dalam tabung reaksi steril yang berisi 9 mL akuades steril dan dikocok sampai homogen. Selanjutnya dilakukan pengenceran secara serial sehingga didapatkan pengenceran 10-2 dan 10-3. Setelah itu, sampel pengenceran 10-1 dipipet sebanyak 1 mL ke dalam masing-masing 3 tabung reaksi yang berisi 5 mL medium Lactose Broth yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik (Seri A). Begitu pula terhadap pengenceran 10-2 pada 3 deret tabung kedua (Seri B) dan pengenceran 10-3 pada 3 deret tabung ketiga (Seri C). Seluruh tabung diinkubasi pada suhu 370 C selama 24–48 jam. Setelah 24 jam catat jumlah tabung yang membentuk gas pada masingmasing pengenceran dan inkubasi kembali tabung yang tidak membentuk gas selama 24 jam. Kemudian catat jumlah tabung yang membentuk gas. 2. Uji konfirmasi Uji konfirmasi dilakukan dengan cara memindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media Lactose Broth ke dalam tabung yang berisi 10 mL Brilliant Green Lactose Bile 2%. Inkubasikan semua tabung pada suhu 370 C selama 24 - 48 jam. Pengujian Escherichia coli dilakukan dengan cara masing-masing biakan positif pada uji konfirmasi bakteri coliform, diambil satu ose dan diinokulasikan pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) dan diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 24 jam. Koloni warna hijau dengan kilap logam dan bintik biru kehijauan dipilih dari media EMBA dan digoreskan pada media Nutrient Agar. Setelah diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 24 jam dilakukan identifikasi Escherichia coli dengan uji IMViC (Indol, Metil merah, Voges Praskauer dan Sitrat). Menurut Irianto (2006 diacu dalam Nuria 2009) menyebutkan tahapan uji IMViC yaitu sebagai berikut: 1. Uji Indol dilakukan dengan cara menginokulasikan satu ose biakan NA miring pada media TB dan diinkubasi pada suhu 3537oC selama 24-48 jam. Biakan tersebut 38 ditambahkan beberapa tetes pereaksi Indol dan dikocok, didiamkan selama 10 menit. Jika terbentuk cincin berwarna merah cherry di permukaan biakan menunjukkan reaksi indol positif. 2. Uji Merah Metil dilakukan dengan menginokulasikan satu ose biakan NA miring pada media MR-VP dan diinkubasi pada 3537oC selama 24-48 jam. Biakan tersebut ditambahkan 5 tetes larutan merah metil dan dikocok. Biakan yang kemudian berwarna merah menunjukkan reaksi positif. 3. Uji Voges Proskauer dilakukan dengan cara menginokulasikan satu ose biakan NA miring pada media MR-VP kemudian diinkubasi pada 35-37oC selama 24-48 jam. Biakan tersebut ditambahkan 0,6 mL larutan alfanaftol dan 0,2 mL larutan KOH 40%, dikocok dan dibiarkan beberapa menit. Biakan yang berwarna merah muda hingga merah menyala menunjukkan reaksi positif. 4. Uji Sitrat dilakukan dengan menginokulasikan satu ose biakan NA miring diinokulasikan pada media SCA dan diinkubasi pada 35-37oC selama 24-48 jam. Perubahan warna biakan menunjukkan hasil positif, bila biakan tetap hijau berarti negatif. Analisis data Hasil observasi higiene sanitasi yang diperoleh dibandingkan dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot dan Perdagangannya, sedangkan hasil pengujian air baku dibandingkan dengan Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas air dan air minum dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 492/MENKES/PER/IV/2010 untuk masingmasing parameter. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Air Baku dan Air Minum Pengujian kualitas air baku depot air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang dilakukan pemeriksaan secara fisika, kimia dan biologi yang mengacu pada Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas air, sedangkan analisis kualitas air minum mengacu pada Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010, sebagai standar untuk mengetahui kualitas air minum isi ulang yang memenuhi syarat kesehatan. Hasil pengujian air baku dan air minum berdasarkan parameter fisika disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter fisika pada air baku dan air minum. Kode Sampel Bau A − B − C − D − E − F − G − H − I − J − K − L − Air Baku TDS Rasa (mg/L)* 23 − 62 − 38 − 48 − 95 − 272 − 31 − 24 − 61 − 33 − 38 − 40 − Ket. Bau MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − MS − Air Minum TDS Rasa (mg/L)* 23 − 64 − 39 − 49 − 106 − 258 − 32 − 27 − 62 − 38 − 34 − 39 − Ket : MS= Memenuhi Syarat, (*) = Total Padatan Terlarut, (-) = Tidak ada Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan bau pada air baku semua depot Ket. MS MS MS MS MS MS MS MS MS MS MS MS memenuhi syarat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990, air bersih harus 39 tidak berbau. Hal ini diduga sumber air yang digunakan berasal dari sumber yang baik dan berkualitas. Berdasarkan hasil observasi sumber air yang digunakan pada depot air minum berasal dari air bor dan air sumur. Depot yang menggunakan sumber air bor sebanyak 9 depot (75%) dan air sumur sebanyak 3 depot (25%). Menurut Hakim (2014), kualitas air tanah dangkal sebagai sumur air minum cukup baik, tetapi kuantitasnya kurang, dan tergantung pada musim. Air dengan cara pengeboran, umumnya bebas dari kotoran mikrobiologi dan secara langsung dapat dipergunakan sebagai air minum (Suryana 2013). Pemeriksaan rasa pada air baku masih memenuhi syarat. Uji rasa dilakukan secara organoleptik yang mengacu pada prosedur yang ditentukan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990, air bersih harus tidak berasa. Menurut Yusuf (2012) menyatakan penyebab air berasa berhubungan dengan bau pada air. Air yang berbau memiliki rasa kurang enak. Selain itu, bau dan rasa dapat disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik yang terdapat di dalam air. Pada Tabel 2 semua sampel air minum berdasarkan pengujian bau dan rasa yang diperiksa memenuhi syarat sebagai air minum. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010 menyebutkan syarat air minum diantaranya adalah tidak berbau dan tidak berasa. Pemeriksaan air tidak berasa diduga lidah responden sudah terbiasa minum air yang digunakan meskipun pH air rendah. Selain itu, pengujian bau dan rasa menunjukkan bahwa sistem carbon filter yang terdapat pada depot air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui masih berfungsi dengan baik dalam menyaring seluruh senyawa organik yang dapat membusuk atau berasa dan senyawa lain termasuk senyawa anorganik yang dapat mempengaruhi kualitas air. Fungsi carbon filter adalah sebagai penyerap bau, rasa, warna dan bahan organik (Asfawi 2004). Pengukuran TDS (Total Dissolved Solid atau Jumlah Padatan Terlarut) pada semua depot memenuhi syarat. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990, pada air bersih nilai TDS maksimum 1500 mg/L. Berdasarkan pemeriksaan nilai TDS pada semua depot memenuhi syarat sehingga aman digunakan. Nilai TDS pada air minum masih dibawah ambang batas yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 2010. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010 menyebutkan air minum yang memenuhi syarat adalah nilai TDS ≤ 500 mg/L. Konsentrasi zat terlarut yang tinggi dapat mempengaruhi kejernihan, warna dan rasa (Mukti 2008). Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa depot F mempunyai nilai TDS tertinggi dari depot lainnya. Hal ini diduga karena sumber air baku berada pada lingkungan yang tidak dijaga kebersihan sehingga bahan organik/anorganik mudah terserap dalam air baku tetapi depot F air bakunya masih memenuhi syarat meskipun pada saat di lapangan tampak terlihat tumpukan sampah yang dapat mencemari air baku. Pada sampel B, C, D E, G, H I dan J terlihat nilai TDS air minum lebih tinggi dari nilai TDS air baku. Hal ini diduga karena pada saat air baku melewati microfilter yang belum diganti terjadi akumulasi dari zat organik/anorganik sehingga proses penyaringan tidak berlangsung secara efektif/sempurna. Proses penyaringan yang tidak sempurna membuat laju air terhambat. Penggantian microfilter sebaiknya dilakukan secara berkala yaitu 2-3 bulan sekali (Inviro 2015). Menurut Suprihatin dan Andriyani (2008) menyebutkan kerja filter dapat dipengaruhi oleh kejernihan, semakin keruh air baku semakin berat kerja filter sehingga proses penyaringan kurang optimal. Tabel 3 Hasil ANOVA pengaruh alat terhadap parameter TDS dan pH. Parameter Jenis air Fhit p-value F tabel TDS Air baku 36187,9 7,8 2,21 Air olahan 16372,9 1,07 2,21 Air baku 60,3 9,65 2,21 Air olahan 16,27 1,5 2,21 pH Berdasarkan analisis keragaman (ANOVA) (Tabel 3) nilai TDS air baku, terlihat bahwa p-value lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan higiene sanitasi pada masing-masing depot tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan antar nilai TDS. Pada air minum menunjukkan 40 bahwa perbedaan spesifikasi alat tidak berpengaruh nyata pada nilai TDS antara satu dengan yang lainnya. Tabel 4 Parameter kimia air baku dan air minum Kode Sampel Air Baku Air Minum A pH 4,2* Al (mg/L) 0 Mn (mg/L) 0,3 pH 5,9* Al (mg/L) 0 Mn (mg/L) 0,2 B 4,2* 0,34 0,1 4,0* 0 0,2 C 4,7* 0 0,1 6,5 0 0,2 D 4,4* 0 0,11 4,6* 0 0,112 E 4,0* 0 0,115 3,8* 0,23* 0,2 F 4,0* 0,207 0,2 4,1* 0,307* 0,128 G 4.8* 0 0,1 4,9* 0 0,1 H 4,3* 0 0,1 4,4* 0 0,1 I 5,2* 0 0,2 5,7* 0 0,1 J 4,6* 0 0,1 5,7* 0 0,1 K 4,3* 0 0,1 4,4* 0 0,1 4,3* 0 0,1 4,5* 0 0,1 L Ket: *) = Tidak Memenuhi Syarat Pengukuran pH pada air baku menunjukkan masih rendah dengan rata-rata 4,4 (Tabel 4). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang (2014) menyatakan pH merupakan masalah yang selalu ditemukan dalam menganalisis air minum. Henny (2011) menyebutkan bahwa sebagian besar air di Bangka Belitung bersifat asam yaitu pHnya 5 ke bawah. Hal ini diperkuat oleh POKJA AMPL (2004) menyatakan keberadaan batuan induk yang ada di bawah lapisan permukaan pulau Bangka berdampak terhadap kualitas air tanah yang ada sehingga diperkirakan pH air < 6. Menurut Gupta et al. (2009 dalam Putra 2013) menyebutkan pH air menentukan sifat korosi, semakin rendah pH maka sifat korosinya semakin tinggi. Hal ini senada dengan Said et al. (2008) menyatakan air sebaiknya netral karena dapat mencegah terjadinya pelarutan logam dan perkaratan pada perpipaan. Pada uji pH air minum sebanyak 11 sampel tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan. Hal ini menunjukan bahwa pH air di Bangka Belitung asam. Menurut Peraturan Menkes No. 492/MENKES/ PER/IV/2010, pH untuk air minum berkisar antara 6,5-8,0. pH setiap depot air minum (Tabel 4) tidak berbeda nyata pada pH depot lainnya. Berdasarkan uji ANOVA (Tabel 3) nilai pH air baku, terlihat bahwa p-value lebih besar dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan higiene sanitasi pada masing-masing depot tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan antar nilai pH. Pada air minum menunjukkan bahwa perbedaan spesifikasi alat tidak berpengaruh nyata pada nilai pH antara satu dengan yang lainnya, sehingga nilainya seragam. Pada observasi yang dilakukan sebanyak 2 depot (Depot A dan J) sudah menggunakan bahan tertentu untuk menetralkan pH yaitu corosek. Corosek berbentuk butiran agak halus dan berwarna putih. Cara penggunaanya dengan di letakkan di dalam filter pertama yang berhubungan dengan air baku. Menurut Orientalwater (2015) menyebutkan corosek digunakan untuk menetralkan (menaikkan) pH air (pH 6 - 6.9). Keunggulan penggunaan corosek di antaranya mudah larut dalam air, tidak membutuhkan perlakuan khusus, aman untuk air minum dan bisa digunakan untuk kolam atau aquarium. Berdasarkan pemeriksaan Kadar Al pada air baku menunjukkan semua depot memenuhi syarat yang telah ditentukan. Hasil pemeriksaan menunjukkan 2 depot yaitu B dan F yang terdeteksi adanya cemaran logam, tetapi nilai tersebut masih di bawah ambang batas. Berdasarkan Tabel 4 hasil pemeriksaan Al pada air minum/air olahan ada 2 41 depot yaitu E dan F yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menkes No. 492/MENKES/ PER/IV/2010, batas cemaran logam air minum adalah 0,2 mg/L. Pada depot E dan F cemaran logamnya berturut-turut adalah 0,23 mg/L dan 0,307 mg/L. Hal ini diduga karena penggantian filter yang tidak sesuai dengan ketentuan yang dilakukan. Berdasarkan hasil observasi pada depot tersebut sistem penggantian filternya tidak dilakukan secara berkala. Penggantian dilakukan apabila filter sudah terlihat kotor (berwarna kuning/hijau). Penggantian filter yang tidak menentu (tanpa jadwal) dapat mempengaruhi kualitas air. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 43/MENKES/PER/2014) menyebutkan filter yang memenuhi syarat adalah filter yang masih layak pakai (tidak kadaluarsa). Menurut Inviro (2015), penggantian filter (filter sedimen) sebaiknya dilakukan sekitar 2-3 bulan sekali. Menurut Widowati et al. (2008), aluminium akan bersifat toksik jika pH air bersifat asam. Aluminium yang tinggi dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit Alzheimer dan pikun (Ahmad 2004 dalam Damayanti 2014). Pada pemeriksaan Mn Tabel 4 menunjukkan kadar logam tersebut masih dibawah ambang batas yang ditentukan oleh Pemerintah. Batas pencemaran logam Mn adalah 0,5 mg/L. Penghilangan senyawa mangan dalam air dapat dilakukan dengan mengalirkan air ke suatu filter dengan media mangan zeolit. Filter mangan zeolit berfungsi untuk menghilangkan zat besi atau mangan dalam air (Said et al. 2008). Berdasarkan observasi yang dilakukan depot sudah menggunakan tabung yang berisi mangan zeolit dan karbon aktif. Penggantian filter media dilakukan 1 kali dalam setahun (Inviro 2015). Pada kadar tertentu Mn dalam air minum akan mengakibatkan pengkaratan pipa penyalur air dan terjadi presipitasi yang hitam sebagai tempat perkembangbiakan bakteri sehingga air lebih keruh, berwarna dan perubahan rasa (Damayanti 2014). Parameter biologi yang diuji adalah bakteri Coliform dan E. coli. Pemeriksaan dilakukan dengan metode MPN, apabila terbentuk gas/keruh pada uji MPN kemudian dilanjutkan dengan uji IMVIC. Hasil pemeriksaan biologi tersaji pada tabel 5. Tabel 5 Parameter Biologi air baku dan air minum pada depot air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang. Kode Sampel Air Baku Coliform E. coli Ket. Air Minum Coliform E. coli Ket. A 0 0 MS 0 0 MS B 0 0 MS 0 0 MS C 0 0 MS 0 0 MS D 0 0 MS 0 0 MS E 0 0 MS 0 0 MS F 0 0 MS 0 0 MS G 0 0 MS 0 0 MS H 0 0 MS 0 0 MS I 0 0 MS 0 0 MS J 0 0 MS 0 0 MS K 0 0 MS 0 0 MS L 0 Ket: MS = Memenuhi Syarat 0 MS 0 0 MS Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas air, untuk air baku atau air bersih yang aman dan layak untuk digunakan maka harus terhindar dari kemungkinan kontaminasi total bakteri Coliform dengan standar 50 MPN/100 mL air (bukan air perpipaan) dan 10 MPN/100 mL air (air perpipaan). Pada pemeriksaan yang dilakukan semua sampel tidak terkandung bakteri Coliform dan E. coli. Hal ini diduga karena air baku berasal dari sumber yang baik dan penyimpanan air baku tandon sudah memenuhi syarat. Berdasarkan observasi tandon penyimpanan air baku yang dipakai semua depot barasal dari bahan tara pangan, terlindung dari matahari, dan sering dilakukan pengurasan sehingga bebas mikroorganisme. Tandon yang digunakan untuk mengisi air baku berukuran 1-2 ton, rata-rata produksi air baku tersebut habis dalam sehari sehingga penyimpanan air baku tidak terlalu lama di dalam tandon. Menurut Athena et al. (2004) 42 menyebutkan penyimpanan air baku yang terlalu lama (lebih dari 3 hari) dapat mempengaruhi kualitas air minum yaitu memicu timbulnya mikroorganisme. Hal ini diperkuat oleh Fitri (2010) menyatakan bahwa penyimpanan air baku yang terlalu lama dapat berpengaruh terhadap kualitas air minum salah satunya yaitu semakin banyaknya bakteri yang akan tumbuh. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa semua sampel memenuhi syarat batas maksimal bakteri Coliform dan E. coli yang ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010. Hal ini menunjukan bahwa pemakaian desinfeksi yang digunakan masih berfungsi dengan baik. Hasil observasi menunjukkan pemakaian sistem desinfeksi pada depot adalah Ultraviolet (UV) sebanyak 6 depot (50%), ozon + UV sebanyak 5 depot (41,7%), dan Reverse Osmosis (RO) sebanyak 1 depot (8,3%). Desinfeksi bertujuan membunuh mikroorganisme dalam air minum, hal ini dapat terlihat dari hasil pemeriksaan sampel air minum isi ulang yang tidak mengandung bakteri total Coliform dan E.coli, sehingga semua depot air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui memenuhi syarat. Air minum yang terkontaminasi bakteri coliform kemungkinan adanya mikroba yang bersifat patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/IV/2010, total bakteri Coliform dan E. coli harus 0/100 ml air. Bakteri Coliform merupakan indikator tingkat awal sebagai tingkat sanitasi higiene air minum. Sedangkan, bakteri E. coli adalah indikator pelengkap dalam air. Apabila dalam pemeriksaan menunjukan hasil positif, berarti air tersebut telah tercemar sehingga tidak layak untuk diminum. Kelengkapan Higiene Sanitasi Depot Air Minum Kelengkapan higiene sanitasi yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai data pelengkap dalam usaha depot air minum. Hasil observasi data kelengkapan depot di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang pada 12 depot adalah sebagai berikut (Tabel 6). Tabel 6 Kelengkapan depot di Kecamatan Rangkui, Pangkalpinang Higiene Sanitasi Ya Tidak Jumlah Pernah Mengikuti Kursus Higiene 3 9 12 Memiliki Surat Keterangan Layak Higiene 11 1 12 Memiliki Surat Izin Usaha 11 1 12 Memiliki Laporan Hasil Uji Laboratorium 12 0 12 Memiliki Surat Labelisasi halal 0 12 12 Berdasarkan Tabel 6 terlihat sebanyak 9 penjamah yang tidak pernah mengikuti kursus higiene sanitasi. Hal ini menunjukkan bahwa penjamah kurang berpartisipasi dalam kursus higiene sanitasi pada pengolahan air minum isi ulang. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 43/MENKES/PER/2014 menyatakan penjamah depot sebaiknya memiliki sertifikat kursus penjamah depot air minum. Depot yang memiliki surat keterangan laik higiene sebanyak 11 depot dan 1 yang tidak memiliki surat tersebut. Surat izin usaha juga dimiliki oleh 11 depot dan 1 depot yang tidak memiliki surat tersebut. Depot yang tidak memiliki surat keterangan laik higiene dan surat izin usaha dikarenakan pemilik depot tersebut tidak bisa menunjukkan surat tersebut. Depot yang sudah memiliki perizinan maka usaha tersebut sudah berbadan hukum, masyarakat dan konsumen tentunya akan lebih percaya dengan pelaku usaha yang memiliki kapasitas di mata hukum (Abdilanov et al. 2012). Menurut Wartawarga (2011 dalam Abdilanov et al. 2012), menyebutkan pada umumnya ada 3 pihak yang memperoleh manfaat dari daftar perusaahan yaitu; pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat umum atau konsumen. Laporan hasil pengujian laboratorium dimiliki oleh semua depot. Hal ini menunjukkan bahwa pemeriksaan yang dilakukan dinas terkait sudah baik dalam memantau usaha air minum isi ulang. Berdasarkan observasi semua depot tidak memiliki surat labelisasi halal. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 8 ayat 1h menyebutkan pelaku usaha dilarang 43 memproduksi barang/jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, pernyataan ‘ halal’ dicantumkan dalam label barang/jasa yang diproduksi. Surat labelisasi harus dimiliki hal ini bertujuan supaya produk yang dihasilkan lebih terjamin kualitasnya. Kondisi higiene sanitasi pada 12 DAMIU di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang menunjukkan dari observasi higiene sanitasi yang dilakukan berdasarkan 10 kategori menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No: 14 12 Jumlah depot 10 12 10 10 12 12 12 12 11 9 8 Memenuhi syarat 6 4 2 2 2 0 I I II III IV V Tidak memenuhi syarat 3 0 Ket: 12 651/MPP/Kep/10/2004 tentang persyaratan teknis depot dan perdagangannya bagian pedoman cara reproduksi yang baik pada depot air minum sudah memenuhi syarat. Kategori higiene sanitasi yang diamati meliputi: lokasi, bangunan, akses terhadap fasilitas sanitasi, sarana pengolahan air minum, air baku, penampungan air baku, desinfeksi, pelayanan konsumen, penjamah dan pekarangan. Observasi dilakukan secara subyektif peneliti dan hasilnya tersaji pada Gambar 2. II III IV 0 V : Lokasi : Bangunan : Fasilitas Sanitasi : Sarana Pengolahan Air Minum : Air Baku 0 0 0 0 VI VII VIII IX VI VII VIII IX X 1 X : Penampungan Air Baku : Desinfeksi : Pelayanan Konsumen : Penjamah : Pekarangan Gambar 2 Kondisi higiene sanitasi fisik di Kecamatan Rangkui KotaPangkalpinang Berdasarkan data pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa dari 10 kategori observasi higiene sanitasi, 6 kategori yaitu sarana pengolahan air minum, air baku, penampungan air baku, desinfeksi, pelayanan konsumen, dan penjamah semua depot sudah memenuhi syarat berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004 dan ada 4 kategori yang tidak memenuhi syarat tetapi dalam jumlah yang kecil yaitu kategori lokasi dan bangunan masing-masing 2 depot yang tidak memenuhi syarat, kategori fasilitas sanitasi terdapat 3 depot yang tidak memenuhi syarat dan kategori pekarangan sebanyak 1 depot yang tidak memenuhi syarat. Hal ini menunjukkan kondisi higiene sanitasi depot air minum cukup baik. Menurut Jamaludin (2007 dalam Simbolon 2012), kualitas air yang dihasilkan depot air minum dapat dipengaruhi oleh higiene sanitasi diantaranya kualitas air baku, alat yang digunakan, proses pengolahan maupun perilaku pekerja. Lokasi depot berdasarkan observasi terdapat 10 depot yang memenuhi syarat dan 2 depot yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan 2 depot tersebut di antaranya dekat dengan adanya tempat buangan sampah dan sistem pembuangan yang kurang baik, serta berdebu. Menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004, lokasi DAMIU seharusnya berada di daerah yang bebas dari pencemaran lingkungan dan penularan penyakit. 44 Berdasarkan (Gambar 2) bangunan pada depot air minum sebanyak 10 depot yang memenuhi syarat dan 2 depot yang tidak memenuhi syarat. Penilaian kategori bangunan terdiri dari: tata ruang, konstruksi bangunan, lantai, dinding, atap/langit-langit, pintu, pencahayaan dan ventilasi. Depot yang tidak memenuhi syarat dikarenakan bangunan depot tersebut di antaranya lantainya kotor, tata ruang yang berantakan, atap/langit-langit yang tidak menutup rata dan bergelombang. Depot yang memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi sebanyak 9 depot yang memenuhi syarat dan 3 depot yang tidak memenuhi syarat. Depot yang tidak akses terhadap fasilitas sanitasi dikarenakan tidak tersedianya tempat pencucian tangan dan dekat dengan tempat pembuangan sampah. Tempat pencucian tangan pada setiap depot sebaiknya disediakan karena perlu melakukan pencucian tangan sebelum melayani konsumen agar terhindar dari pencemar yang berasal dari tangan operator (Permenkes RI No. 43/MENKES/PER/2014). Pelaksanaan higiene sanitasi yang paling penting diantara kategori tersebut adalah sarana pengolahan air minum yang memenuhi syarat. Sarana pengolahan meliputi alat dan perlengkapan dalam mengolah air baku menjadi air minum. Berdasarkan observasi semua depot sudah menggunakan alat yang terbuat dari bahan tara pangan, tahan korosi, tidak bereaksi dengan bahan kimia. Peralatan sangat berperan dalam mengolah air baku menjadi air minum. Peralatan yang memenuhi syarat diharapkan dapat menghasilkan air minum yang berkualitas (Asfawi 2004). Air baku yang digunakan pada depot air minum sudah memenuhi syarat. Air baku berasal dari air sumur dan air bor. Penampungan air baku pada depot semuanya memenuhi syarat. Penampungan air baku terbuat dari bahan tara pangan, khusus digunakan untuk air minum, mudah dibersihkan dan pengisian/pengeluaran melalui kran. Cara desinfeksi yang dilakukan oleh depot air minum isi ulang seluruhnya sudah memenuhi syarat. Desinfeksi pada DAMIU menggunakan desinfeksi dengan sinar ultra violet, ultraviolet+ozon, dan reverse osmosis. Unit pengolahan air di perusahaan air minum isi ulang biasanya memiliki alat desinfeksi seperti ozon dan lampu UV, sedangkan reverse osmosis sering digunakan pada perusahaan AMDK. Tindakan desinfeksi selain menggunakan ozon, dapat ditambahkan cara lain yang efektif seperti penyinaran Ultra Violet (Disperindag RI 2004). Pelayanan konsumen semua depot menggunakan wadah dalam keadaan bersih, menyediakan fasilitas pencucian botol, serta wadah yang sudah diisi ditutup dengan penutup wadah yang bersih dan diserahkan langsung kepada pelanggan. Berdasarkan hasil observasi dengan menggunakan lembar kuesioner pada depot air minum, pelaksanaan higiene sanitasi penjamah semua penjamah depot melakukan higiene sanitasi sesuai pedoman yang ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No: 651/MPP/Kep/10/2004. Tujuan dilakukan observasi higiene sanitasi pada penjamah adalah untuk mengurangi tingkat pencemaran dari penjamah tersebut. Berdasarkan (Gambar 2) kategori pekarangan pada DAMIU terdapat 1 depot yang tidak memenuhi syarat sedangkan 11 depot memenuhi syarat. Pekarangan yang memenuhi syarat adalah kebersihannya dijaga dan bebas dari pencemaran (Disperindag No. 651/MPP/kep/10/2004). Pekarangan yang tidak memenuhi syarat dikarenakan depot tersebut tidak dijaga kebersihannya seperti limbah selokan yang kurang mengalir dan juga dekat tong sampah umum. Kategori yang tidak memenuhi syarat seperti lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi dan pekarangan menunjukkan tidak berpengaruh besar pada kualitas air. Hasil ini terlihat dari uji keragaman statistika (ANOVA) yang 45 menunjukkan bahwa higiene sanitasi setiap depot tidak mempengaruhi kualitas air. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kualitas air (air baku maupun air minum) berdasarkan parameter fisika (bau, rasa, TDS), kimia (pH, Al, Mn), dan biologi (Coliform, E. coli) sudah memenuhi syarat berdasarkan Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 416 Tahun 1990 tentang persyaratan kualitas air bersih dan Peraturan Menteri Kesehatan No: 492/MENKES/PER/IV/2010 tentang kualitas air minum sudah memenuhi syarat kecuali pH (air baku berkisar 4.02-5.21, air minum berkisar 3.82-5.94) dan Al (0,230,307 mg/L). 2. Higiene sanitasi depot air minum isi ulang di Kecamatan Rangkui berdasarkan kategori higiene sanitasi (lokasi, bangunan, fasilitas sanitasi, sarana pengolahan, air baku, penampungan air baku, desinfeksi, pelayanan konsumen, penjamah dan pekarangan) semua DAMIU sudah memenuhi syarat. . DAFTAR PUSTAKA Adi C, Sari SP, Umroh. 2014. Efektifitas Filter Bahan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air Masyarakat Nelayan Wilayah Pesisir Kabupaten Bangka. Jurnal Sumber Daya Perairan Vol 8 (2): 36-37 Alfian Z. 2004. Analisis pH dan Kesadahan Total pada Air Umpan Boiler Pabrik Kelapa Sawit PTP Nusantara II Padang Barahrang. Jurnal Sains Kimia. Vol 8(2):53-55. Anonim. 2014. Cara Membersihkan Back Washing/ Tabung Filter yang Benar. http:// www. Airminum isiulang.com/news/91/Cara-membersihkanback-wash-tabung-filter-air-yang-benar [ 20 Mei 2015] Athena, Sukar, Hendro M, Anwar MM. 2005. Pengaruh Pengolahan Air di Depot Air Minum Isi Ulang dalam Menormalkan derajat pH. Media Litbang Kesehatan Vol 15 (2): 20-23 BPS. 2014. Kecamatan Rangkui dalam Angka. Pangkalpinang: Badan Pusat Statistik Damayanti D. 2014. Penentuan Kadar Aluminium (Al) dan Mangan (Mn) pada Air Reservoir Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Instalasi Pengolahan Air Tirtanadi Limau Manis Secara Spektrofotometri Sinar Tampak [skripsi]. Medan: Program studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan, Fakultas Farmasi, Universitas sumatera Utara Departemen Kesehatan RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum Dinas Kesehatan Pangkalpinang. 2014. Jadwal Pengambilan Sampel Air Minum Depot Air Minum (DAM): Kota Pangkalpinang Djuhariningrum T. 2005. Penetuan Total Zat Padat Terlarut dalam Memprediksi Kualitas Air Tanah dari Berbagai Contoh Air. Pusat Pengembangan Geologi Nuklir- BATAN Fitri S. 2010. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Air Minum Isi Ulang di Beberapa Depot di Daerah Pasar Baru Padang [skripsi]. Padang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Henny C, 2011. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Kualitas Air Danau Galian Tambang di Pulau Bangka. http://www12_Pengaruh_perubahan_iklim_t erhadap_kualitas_air_danau_Cynthia%20(1) . Pdf [ 2 Mei 2015] Marpaung MDO, Marsono BD. 2013. Uji Kualitas Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Sukolilo, Surabaya Ditinjau dari Perilaku dan Pemeliharaan Alat. Jurnal Teknik Pomits. Vol 2(2): 2337-3539 Mukti AM 2008. Penggunaan Tanaman Eceng Gondok (Eichornia crassipes) sebagai PreTreatmen Pengolahan Air Minum pada Air Selokan Mataram [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia Nuria MC, Rosyid A, Sumantri. 2009. Uji Kandungan Bakteri Escherichia coli pada Depot Air Minum Isi Ulang dari Depot Air Minum Isi Ulang di Kabupaten Rembang. Mediagro. Vol 5(1): 27-35 Oriental Water. 2014. Katrid Penaik pH Air ( Alkali ) Grosir Murah. http://orientalwater. blogspot.com/2014/03/katrid-penaik-ph-airalkali-grosir-murah.html [ 19 Mei 2015] Peraturan Menteri Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 Tahun 46 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum Peraturan Menteri Kesehatan RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 tentang Persyaratan Kualitas Air Putra IDGNK, Nocianti KA, Sandi PA. 2013. Analisis Mutu Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung Bali. http://download.portalgaruda.org/article.phpartic le=162673&val=948&titl e =ANALISIS%20MUTU%20AIR%20MINUM %20ISI%20ULANG%20DI%20KECAMATAN %20KUTA%20SELATAN,%20KABUPATEN %20BADUNG,%20BALI [ 2 Mei 2015] Pradana YA, Marsono BD. 2013. Uji Kualitas Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Sukobondo, Sidoarjo Ditinjau dari Perilaku dan Pemeliharaan Alat. Jurnal Teknik Pomits. Vol 2(2): 2337-3539 Radji M, Oktavia H, Suryadi H. 2008. Pemeriksaan Bakteriologis Air Minum Isi Ulang di Beberapa Depo Air Minum Isi Ulang di Daerah Lenteng Agung dan Srengseng Sawah Jakarta Selatan. Majalah Ilmu Kefarmasian. Vol 5(2): 101-109 Riduwan. 2004. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Jakarta: Alfabeta Said NI. 2008. Desinfeksi untuk Pengolahan air Minum. Jurnal of ASTM International 3(1): 2227 Sapan I. 2007. Uji Kualitas Air Galon yang Beredar di Kabupaten Manokwari secara Bakteriologis [skripsi]. Manokwari: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Papua Setiari NM. 2012. Identifikasi Sumber Pencemar dan Analisis Air Tukad Yeh Sungi di Kabupaten Tabanan dengan Metode Indeks Pencemaran [tesis]. http://www.pps.unud.ac.id/ thesis/pdf_thesis/unud-41501876903488tesia.pdf [ 5 Desember 2014] Simbolon VA, Santi DN, Ashar T. 2012. Pelaksanaan Hygiene Sanitasi Depot Dan Pemeriksaan Kandungan Bakteri Escherichia Coli Pada Air Minum Isi Ulang Di Kecamatan Tanjungpinang Barat Tahun 2012. http//:jurnal.usu.ac.id/index.php/ lkk/article/download/336/242 [25 Oktober 2014] Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3553-2006 tentang Air Minum Dalam Kemasan: Badan Standardisasi Nasional Suprihatin B, Adriyani R. 2008. Higiene Sanitasi Depot Air Minum Isi Ulang di Kecamatan Tanjung Redep Kabupaten Berau Kalimantan Timur. http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/JKL/a rticle/view/ 622 [13 Juni 2015] Suryana F. 2013. Analisis Kualitas Air Tanah Dangkal di Kecamatan Biringkanayya Kota Makasar [Skripsi]. Makasar: Jurusan Sipil Fakultas Teknik, Universitas Hasanudin Widowati W, Sastion A, Jusuf R. Efek Toksis Logam ( Pencegahan dan Pengulangan Pencemaran). Yogyakarta: ANDI Wijaya AA. 2010. Prinsip Kerja Reverse Osmosis. http://www.profil.Water indonesia.com/main/wpcontent/uploads/201 0/06/PRINSIP-KERJA REVERSEOSMOSIS.pdf [ 13 November 2014] Waluyo, Lud. 2009. Mikrobiologi Lingkungan. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang Yusuf Y. 2012. Teknologi Pengolahan Air Tanah Sebagai Sumber Air Minum pada Skala Rumah Tangga. SIGMA Jurnal. 2 (4): 64 – 66 47 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (Brucea javanica (L) Merr.) terhadap Bakteri Enteropatogen Antibacterial Activity Test of Belilik (Brucea javanica (L) Merr.) Fruit Ethanol Crude Extract Againts The Enterophatogenic Bacteria. Yuliana, Henny Helmi, Idha Susanti ABSTRACT Belilik fruit (Brucea javanica (L) Merr.) is used by Indonesian, especially byBangkaneseto treat various kinds of disease, one of them is gastroenteritis.The aims of this research to examine the antibacterial activity of belilik fruit crude extract against enterophatogenic bacteria and to determineits active compounds.The extraction was done by soxhlet method with etanol as solvent. The yield of crude extract from this extraction was 8,3%. Antibacterial activity test was conducted by disc method, with three different concentrations (70 mg/mL, 80 mg/mL, and 90 mg/mL). Antibiotics were used as positive control (kanamisin 30 mg/mL, kanamisin 40 mg/mL, and chloramphenicol50 mg/mL), and a negative control (without additional of crude extract of belilik fruit and antibiotics). Phytochemical test was done qualitatively. The results showed that,ethanol crude extract of belilik fruit has the ability to inhibit the growth of enterophatogenic bacteria. The formation of zone inhibition by crude extract of belilik fruit was smaller diameter than positivecontrol. Phytochemical test showed thatcrude extract of belilik fruitcontained some active compound such as alkaloid, tannin, and phenol. Keywords: Brucea javanica,antibacterial, disc method. PENDAHULUAN PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional (Rahayu et al. 2009). Pengobatan tradisional merupakan akumulasi dari pengetahuan, keterampilan, dan praktek yang didasarkan pada berbagai teori, kepercayaan, dan pengalaman yang dikembangkan oleh berbagai kebudayaan (Rosita et al. 2006). Pengobatan tradisional, menggunakan bahan seperti tumbuhan obat dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kesehatan masyarakat (Rahayu et al. 2009). Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat dan 48 digunakan sebagai bahan mentah dalam sulit diatasi dengan menggunakan antibiotik pembuatan obat modern maupun obat-obat (Republika tradisional yang berupa daun, batang, buah, penyakit ini seringkali menjadi masalah bunga, dan akar yang memiliki khasiat terutama pada anak-anak. Dimana pada sebagai obat (Poeloengan et al. 2006). tahun 2011 untuk penderita diare yang . Bangka adalah wilayah Indonesia 2009). Di Bangka sendiri berkunjung ke puskesmas berjumlah 1.496 yang masih banyak menggunakan tumbuhan penderita obat Pangkalpinang 2012). menyembuhkan berbagai penyakit. Salah mikroorganisme yang satu tumbuhan obat yang memiliki potensi penyakit ini adalah bakteri enteropatogen sebagai obat tradisionaldan telah dipelajari seperti Enteropatogenik Escherichia Coli sebarannya di Bangka di antaranya adalah (EPEC), tumbuhan Staphylococcus aureus, dan Shigella sp. sebagai obat tradisional belilik Merr.)(Adelia dalam (Bruceajavanica(L) Kesehatan Beberapa menyebabkan Pseudomonas aeruginosa, Tumbuhan belilik memiliki komponen Maysaroh 2010; Sitompul 2010). Tumbuhan senyawa kimia yang memilikikemampuan belilik (B.javanica(L) Merr.) merupakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri tumbuhan enteropatogen. yang Simaroubaceae. Haryani (Dinas 2010; biasanya 2010; (41,31%) berasal dari Dimanatumbuhan digunakan ini Bagian dimanfaatkandiantaranya yang adalah bisa bagian masyarakat buah. Menurut Hutapea (1993), diacu dalam pedalaman sebagai obat diare, malaria, Rahayu et al. (2009) pada bagian buah demam, obat batuk, rematik, dan keracunan belilik terkandung senyawa aktif saponindan makanan (Hendrian & Hadiah 1999). tanin, Penyakit oleh famili yang dimana senyawa ini memiliki seringkali kemampuan sebagai antibakteri, sehingga menyebabkan angka kesakitan dan angka dimungkinkan mampu menghambat bakteri kematian khususnya di Indonesia adalah enteropatogen pada saluran pencernaan. penyakit gastroenteritis (Agnesa 2010). Saat Penelitian awal terhadap ekstrak buah ini untuk angka kematian pasien akibat belilik sebagai antibakteri telah dilakukan infeksi bakteri patogen yang resisten sudah oleh Rahayu et al. mencapai lebih dari 1,5 juta setiap tahunnya. membuktikan Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa belilikmampu bakteri enteropatogen yang saat ini semakin bakteriShigella dysentriae pada konsentrasi (2009),dan berhasil potensi ekstrak menghambat buah aktivitas 49 30% mampu membentuk diameter18,5 mm, 2. Menguji kandungan senyawa aktif yang pada konsentrasi 60% mampu membentuk terdapat diameter20,7 mm, dan pada konsentrasi (B.javanica) melalui uji kualitatif. 90% mampu membentuk pada ekstrak buah belilik diameter23,2 mm.Penelitian tersebut belum dilakukan pada bakteri enteropatogenlainnya seperti EPEC, P. aeruginosa, aureussehingga dan diperlukan penelitian lanjutan mengenai aktivitas ekstrak buah belilik dengan ragam konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogen. Pemanfataan tumbuhan herbal dapat menjadi alternatif pengobatan atau sebagai solusi atas kurang efektifnya pengobatan secara kimiawi akibat resistensi bakteri enteropatogen. Informasi mengenai sifat biologi, fitokimia, dan kemampuan buah belilik sebagai penghambat bakteri enteropatogen belum banyak dilakukan, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan dan diharapkanmampu tumbuhan membuktikan belilik khasiat sebagai obat gastroenteritis. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, cawan petri, erlenmeyer,gelas beker, gelas ukur, gunting, hotplate, inkubator, jangka sorong digital, jarum ose,Laminar Air Flow (LAF), mortar, microwave, orbital shaker, pembakar spiritus, pengaduk gelas, pinset, pipet tetes, pipet mikro, spektrofotometer (UV-VIS 1800), tabung reaksi, timbangan digital, danvortex. Bahan yang digunakan adalah air panas, akuades steril, alkohol 70%, amoniak, asam sulfat,buah belilik, CH3COOH glacial,dietil eter, ekstrak buah belilik,etanol absolut, H2SO4 pekat, isolat bakteri (EPEC, P. aeruginosa,S. aureus, dan Shigella sp.), media Nutrien Agar (NA), media Nutrien Tujuan 1. Menguji daya hambat dari ekstrak kasar etanol buah belilik terhadap pertumbuhan bakteri METODE PENELITIAN S. EPEC, aureus,dan P. Shigella aeruginosa, sp. Broth (NB),pereaksi Dragendorff, plastik wrap, serbuk Mg, dan HCl pekat. S. berdasarkan parameter pembentukan zona bening 50 Cara Kerja cakram direndam dengan ekstrak buah Pengambilan Sampel belilik Buah belilik yang berbagai variasi diambil konsentrasi70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 dimasukkan dalam kantong plastik. Buah mg/mL selama 30 menit. Selanjutnya kertas yang telah diambil, dilakukan ekstraksi di cakram yang telah dicelupkan kedalam Laboratorium Institut ekstrak diletakkan dipermukaan agar yang Pertanian Bogor (dilakukan oleh teknisi telah terisi bakteri uji. Kertas cakram Laboratorium tersebut ditekan menggunakan pinset steril Kimia telah dengan Analitik Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor). supaya menempel sempurna pada permukaan agar. Bakteri uji selanjutnya Analisis Laboratorium diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. A. Ekstraksi Kasar Buah Belilik. Pengujian dilakukan sebanyak3 ulangan. Ekstraksi dilakukan dengan metode soxhletasi. Sebanyak 145,50gram buah Sebagai kontrol positif digunakan antibiotik sintetik yaitu kanamisin belilik dihaluskan, selanjutnya direndam ke mg/mL,kanamisin dalam etanol absolut dan dipanaskan dengan kloramfenikol 50 mg/mL. Sebanyak 1 mL menggunakan soxhlet sampai warna larutan bakteri uji dengan konsentrasi pengenceran menjadi secara 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian diperoleh ditambahkan 20 mL media NA dengan suhu dikeringkan dengan menggunakan vaccum 40oC lalu didinginkan. Kertas cakram rotary direndam bening sempurna. dan terekstrak Ekstrak evaporatoruntuk yang menghilangkan 40 30 dengan mg/mL,dan antibiotik sintetik pelarut. Rendemen yang diperoleh sekitar selama30 menit. Kertas cakram yang telah 8,3% dengan bobot ekstrak dicelupkan 12,21 gram kedalam antibiotik sintetik (dilakukan oleh teknisi Laboratorium Kimia diletakkan dipermukaan agar yang telah Analitik Institut Pertanian Bogor). berisi bakteri uji. Bakteri uji selanjutnya B. Uji Aktivitas Antibakteri Masing-masing sebanyak1 mL bakteri uji dengan konsentrasi pengenceran 10-8 dituang kedalam cawan petri, kemudian ditambahkan 20 mL media NA dengan suhu 40oC lalu didinginkan. Selanjutnya kertas diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan. Kontrol negatif dengan menggunakan akuades steril tanpa penambahan ekstrak denganmenggunakan bakteri uji. Sebanyak 1 mL bakteri uji dengan 51 10-8 konsentrasipengenceran kedalam cawan petri, dituang asam (terdapat pada bagian atas) dipipet selanjutnya dalam tabung reaksi lain, lalu ditambahkan ditambahkan 20 mL media NA pada suhu dengan 40oC. Kertas cakram yang sudah direndam Adanya dalam diatas terbentuknya endapan jingga sampai merah permukaan agar yang telah diinokulasi coklat pada pereaksi Dragendorff (Robinson dengan bakteri uji, kemudian diinkubasi 1995). pada suhu 37oC selama 24 jam. Pengujian 2. Uji Saponin akuades steril diletakan dilakukan 3 ulangan. C. Pengukuran Diameter Zona Bening Zona bening akan terbentuk karena aktivitas ekstrak buah belilik disekitar isolat uji. Pengukuran diameter zona bening dilakukan dengan jangka sorong digital. Rumus Diameter Penghambatan = B-A Keterangan : 1 pipet pereaksi alkaloid Dragendorff. ditunjukan dengan Sebanyak 30 mg ekstrak diekstraksi dengan 5 mL dietil eter, sehingga terbagi menjadi 2 fraksi yaitu yang larut dan yang tidak larut dalam dietil eter. Fraksi yang tidak larut dalam dietil eter kemudian ditambahkan air sebanyak 5 mL dalam tabung reaksi lalu dikocok. Ekstrak dinyatakan positif mengandung saponin apabila terdapat busa dengan ketinggian 1-3 A = Diameter kertas cakram B = Diameter zona hambatan D. Uji Fitokimia BuahBelilik cm bertahan selama 15 menit (Harborne 1996). 3. Uji Triterpenoid dan Steroid Analisis fitokimia yang dilakukan Fraksi yang larut dalam dietil eter dari dalam penelitian ini hanya dilakukan secara saponin dipisahkan, kemudian ditambahkan kualitatif. Analisis ini dilakukan untuk dengan CH3COOH glasial sebanyak 10 tetes mengetahui senyawa-senyawa aktif yang dan H2SO4 pekat sebanyak 2 tetes. Larutan terdapat dalam buah belilik. dikocok perlahan dan dibiarkan beberapa 1. Uji Alkaloid menit. Steroid memberikan warna biru atau Sebanyak 30 mg ekstrak ditambah 10 hijau, sedangkan mL kloroform-amoniak, kemudian disaring memberikan warna kedalam tabung reaksi. Filtrat ditambahkan (Harborne 1996). untuk triterpenoid merah atau ungu dengan 3-5tetes asam sulfat 2 M dan dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan 52 taraf yaitu 70 mg/mL, 80 mg/mL, 90 4. Uji Flavonoid Sebanyak 30 mg ekstrak ditambahkan mg/mL. Faktor kedua adalah jenis bakteri dengan 100 mL air panas, dididihkan selama enteropatogen yang terdiri dari 4 taraf yaitu 5 menit, kemudian disaring. Filtrat sebanyak EPEC, P.aeruginosa, S.aureus, dan Shigella 5 mL ditambahkan 0,05 mg serbuk Mg dan sp..data yang diamati adalah diameter zona HCl pekat, kemudian dikocok kuat-kuat. bening Hasil dengan 3 kali ulangan. positif ditunjukan dengan (mm). Penelitian dilaksanakan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga (Harborne 1996). HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Uji Fenol Sebanyak 30 mg ekstrak ditambahkan 10 tetes FeCl3 1%. Ekstrak positif mengandung fenol apabila menghasilkan warna hijau, merah, ungu atau hitam pekat (Harborne 1996). ditambah air panas dan dididihkan selama 5 menit dan disaring filtratnya dibagi 2 masing-masing ditambahkan FeCl3 1% (adanya tanin dan folifenol terbentuk warna biru, hijau, dan ditambah gelatin (adanya tanin ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna putih)) (Harborne 1996). Data Rancangan Acak Ekstraksi buah belilik dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol dan ini disebut juga etil alkohol yang merupakan senyawa organik denganrumus kimia C2H5OH yang apabila dalam kondisikamar, etanol berwujud menguap, mudah cairan terbakar, yangmudah dan tidak berwarna. Alasan menggunakan pelarut etanol dalam proses ekstraksi adalah sifatnya yang dapat melarutkan seluruh bahan aktif yang terkandung dalam suatu E. Rancangan Percobaan dan Analisis Penelitian javanica) diperoleh rendemen sebanyak 8,3%. Etanol 6. Uji Tanin Sampel Rendemen Ekstraksi Buah Belilik (B. menggunakan Lengkap Faktorial dengan2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi ekstrak buah belilik dengan 3 bahan alami, baik bahan aktif yang bersifat polar, semipolar, maupun nonpolar (Munawaroh & Astuti 2010). Senyawasenyawa polar yang terdapat dalam sampel buah belilik diharapkan akan terekstrak dalam pelarut etanol. 53 Diameter zona bening (mm) 14 12 10 8 70 mg/mL 6 80 mg/mL 90 mg/mL 4 2 0 S. aureus Shigella sp P. aeruginosa EPEC Jenis bakteri antibakteri dibagi menjadi duabagian yaitu Uji Antibakteri Pengujian efektifitas antibakteri antibakteri yang bersifat bakterisida ekstrak buah belilik (B. javanica) dilakukan (membunuh) pada jam ke-6 setelah waktu inkubasi untuk (menghambat bakteri P. aeruginosa, EPEC, dan Shigella Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan sp. serta jam ke-10 untuk bakteri S. aureus cara menghambat perbanyakan populasi dengan menggunakan metode cakram, yang bakteri dan tidakmematikan, sedangkan ditandai dengan adanya zona bening di bakterisida sekitar cakram berarti menunjukkan adanya bakteri.Bakteriostatik aktivitas antibakteri. Pengujian aktivitas sebagai bakterisida dalam konsentrasi yang antibakteri dilakukan dengan menggunakan tinggi. Sifat selektif zat antibakteri berarti ekstrak buah belilik dengan berbagai tingkat senyawa berbahaya bagi suatu bakteri tetapi konsentrasi (70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 tidak berbahaya bagi inangnya. mg/mL) yang bertujuan untuk mengetahui apakah kenaikan konsentrasi akan meningkatkan aktivitas antibakterinya. Menurut berdasarkan Ismunandar dari sifat (2008), toksisitasnya, dan bakteriostatik pertumbuhan bekerja dapat bakteri). membunuh bertindak Berdasarkan analisis ragam (ANOVA) diameter zona bening membuktikan bahwa ekstrak buah belilik dengan konsentrasi 70 mg/mL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL yang digunakan berpengaruh nyata terhadap 54 pembentukan zona bening. Namun hasil dilapisan peptidoglikan yangtipis (1-3nm) sidik ragam perlakuan jenis bakteri dan (Ismunandar 2008). Selain itu, bakteri Gram interaksi negatif keduanya (ekstrak dan jenis tidak mengandung bakteri) menunjukkan hasil tidak berbeda teikoat(Lathifah nyata terhadap aktivitas antimikroba komponen penyusun dinding sel tersebut, Ekstrak kemampuan buah belilik dalam memiliki menghambat 2008). asam Berdasarkan bakteri S. aureus merupakan kelompok bakteri Gram positif pertumbuhan bakteri enteropatogen, hal aeruginosa, tersebut dilihat dari hasil pembentukan zona danEPECmerupakan bening yang dihasilkan dari ekstrak buah Gram negatif. belilik tersebut Dari setiap zona bening yang sedangkanP. Shigella Pembentukan sp., kelompok zona bakteri bening yang terbentuk, konsentrasi 90 mg/mL memiliki dihasilkan oleh antibiotik yang digunakan daya hambat paling tinggi (Gambar 2). sebagai kontrol positif menunjukkan hasil Pelczar dan Chan (1986) menyatakan bahwa yang berbeda dengan pembentukan zona semakin bening menggunakan ekstrak buah belilik. tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba yang digunakan maka semakin Hasil sidik ragam tinggi aktivitas antimikrobanya, yang berarti konsentrasi bakteri akan lebih cepat terbunuh bila digunakan yaitu kanamisin 30 mg/mL, konsentrasi zat tersebut lebih tinggi. kanamisin 40 mg/mL, dan kloramfenikol 50 dan (ANOVA) jenis untuk antibiotik yang Menurut Pelczar dan Chan (1988) mg/mL terhadap bakteri uji menunjukkan untuk dapat menghambat atau bahkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi atau membunuh mikroorganisme, bahan uji harus jenis bakteri berpengaruh nyata terhadap masuk ke dalam sel melalui dinding sel. aktivitas antibakteri. Namun tidak ada Berdasarkan struktur pengaruh penyusun dinding selnya, bakteri dikelompokkan menjadi interaksi keduanya terhadap aktivitas antibakteri bakteri Gram negatif dan bakteri Gram Hasil pengujian aktivitas antibakteri positif. Bakteri Gram positif memiliki untuk kontrol positif dengan menggunakan membran tunggal dengan kadar lipid yang antibiotik rendah dan dilapisipeptidoglikan yang tebal enteropatogenmenunjukkan (25-50nm), sedangkan bakteri Gram negatif tersebut memiliki kadar lipid yang tinggi dan menghambat pertumbuhan bakteri uji baik kanamisin memiliki terhadap bakteri antibiotik kemampuan dalam 55 yang bersifat Gram positif maupun bersifat ribosom dan menghalangi aktivitas enzim Gram negatif. Antibiotik tersebut bersifat peptidyl transferase. Enzim ini berfungsi spektrum luas, hal ini dibuktikan dengan untuk membentuk ikatan peptida antara asam diameter pembentukan zona bening yang amino baru yang masih melekat pada tRNA terbentuk (Gambar 3). Kanamisin adalah dengan asam amino terakhir yang sedang antibiotik golongan aminoglikosida yang berkembang, bersifat bakterisida terutama pada bakteri Gram negatif. Mekanisme kerja antibiotik golongan aminoglikosida sebagai antibakteri yaitu melalui hambatan sintesis protein (Jawetz et al. 2001). Antibiotik ini berikatan pada subunit 30S ribosom bakteri (beberapa terikat juga pada subunit 50S ribosom) dan menghambat translokasi peptidil-tRNA dari situs A ke situs P dan menyebabkan kesalahan pembacaan mengakibatkan mensintetis bakteri protein mRNA yang tidak mampu vital untuk pertumbuhannya (Pratiwi 2008). Penggunaan antibiotik kloramfenikol juga mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif karena antibiotik ini juga bersifat spektrum luas. Hal tersebut terlihat pada diameter pembentukan zona bening yang terbentuk dari konsentrasi kloramfenikol yang digunakan.Kloramfenikol merupakan penghambat yang kuat terhadap sintesis protein padamikroorganisme. Menurut Pratiwi (2008), kloramfenikol memberikan efek dengan cara bereaksi pada sub unit 50S protein sebagai bakteri akan akibatnya sintesis terhenti seketika. Kloramfenikol bersifat bakteriostatik dan bakteri bisa tumbuh lagi jika pengaruh obat dihilangkan. Mikroorganisme resisten terhadap kloramfenikol menghasilkan enzim Cloramfenikol asetyltransferase yang merusak aktivitas obat. Produksi enzim ini biasanya dibawah kontrol plasmid. Kosentrasi dan jenis antibiotik yang digunakan mampu membentuk zona bening pada bakteri uji dengan diameter yang berbeda-beda dikarenakan jenis bakteri yang diuji memiliki sistem pertahanan yang berbeda. Berdasarkan Dharma (2001), EPEC memiliki faktor virulensi berupa adesin, intimin, protein-protein sekresi, dan bundleforming fili. EPEC tidak menghasilkan toksin seperti yang dihasilkan oleh virotip lainnya. Bakteri ini memiliki fili, fimbriae, dan flagel peritrikus (Narotama 2012).Bakteri Shigella sp. tidak memiliki flagel sehingga bakteri ini tidak bisa bergerak, namun bakteri ini menghasilkan enterotoksin yang bersifat tahan panas yaitu shigatoksin. 56 Bakteri ini memiliki susunan antigen O dengan zat virulennya yaitu fimbriae (fili n- berupa lipolisakarida (Rahayu et al. 2009). metil-penilalanin), Bakteri P. aeruginosa memiliki pertahan kapsul polisakarida (glikokaliks), alginat (biofilm), sedangkan bakteri invasi zat virulennya berupa elastase, alkalin inimempunyai antiginetik berupa liposakarida protease, hemolisis (fosfolipase dan lestinase), yang sifat sitotoksin (leukosidin), pigmen pycocyanin. endotoksin (eksoenzim S dan eksoenzim A) Pergerakan virulennya berupa flagel monotrik (Jawetz et al. 2001). Bakteri ini memiliki (flagel tunggal pada kutub) (Sulistianingsih terhadap antimikroba bertanggung karena jawab terhadap virulensi berupa adesi Diameter zona bening (mm) 2010). faktor 40 Kanamisin 30 mg/mL Kanamisin 40 mg/mL 20 Kloramfenikol 50 mg/mL 0 Jenis bakteri Gambar 3 Zona bening yang terbentuk dari jenis dan konsentrasi antibiotik terhadap bakteri uji. Perbandingan zona dari perlakuan tidak terlalu efektif dan bening antara ekstrak buah belilik dan jumlahnya (konsentrasi) kurang banyak antibiotik sehingga dapat pembentukan dilihat berdasarkan menyebabkan kemampuannya pembentukan zona bening yang dihasilkan. dalam menghambat pertumbuhan bakteri Zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak lebih kecil dibandingkan dengan kontrol tidak memiliki diameter yang lebih besar positif (antibiotik). Zona bening yang lebih jika dibandingkan dengan kontrol positif. besar dari kontrol positif dapat dihasilkan Hal ini diduga karena jenis senyawa yang apabila konsentrasi ekstrak buah belilik berpotensi sebagai antibakteri pada ekstrak dinaikkan. Lathifah (2008) menyatakan 57 bahwa apabila diameter zona bening ekstrak lebih besar dibandingkan Uji Fitokimia diameterzona Zona bening yang dihasilkan pada bening kontrol positif, maka ekstrak sangat semua konsentrasi disebabkan karena zat efektif sebagai antibakteri, namun apabila antibakteri yang berasal dari senyawa aktif zona kecil yang terkandung dalam buah belilik (B. dibandingkan diameter zonabening kontrol javanica) antara lain alkaloid, tanin, dan positif, maka ekstrak masih kurang efektif fenol. Hasil uji fitokimia ekstrak buah sebagai antibakteri,sehingga dimungkinkan belilik secara kualitatif disajikan pada Tabel dengan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi 1. bening ekstrak lebih ekstrak akan memiliki kemampuan yang efektif seperti kontrol positif. Tabel 1 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar etanol buah belilik secara kualitatif Uji Fitokimia Uji Saponin Uji Triterpenoid dan Steroid Uji Flavonoid Uji Alkaloid Uji Fenol Uji Tanin dan Polifenol Hasil Uji + + + Keterangan Tidak terbentuk busa sama sekali Berwarna bening Berwarna bening Terbentuk endapan merah bata Terbentuk warna hitam pekat Terbentuk warna biru setelah penambahan FeCl3 dan gelatin terbentuk endapan putih Keterangan: + : Mengandung senyawa aktif - : Tidak mengandung senyawa aktif Berdasarkan hasil analisa kualitatif di ekstrak etanol buah belilik (B. javanica) atas untuk komposisi senyawa aktif pada mengandung senyawa aktif berupa tanin dan buah belilik yang sudah dilakukan oleh para saponin. peneliti-peneliti sebelumnya berbeda dengan membuktikan komposisi senyawa aktif yang diperoleh dari mengandung senyawa quassinoid, alkaloid jenis bagian tumbuhan yang sama yang (brucamarine, berasal (brucealin, dari Bangka. hasil pengujian Utami (2008) bahwa juga berhasil buah belilik yatanine), yatanoside A glikosida dan B, fitokimia yang dilakukan Rahayu et al. kosamine),phenol (brucenol, bruceolic acid), (2009) berhasil membuktikan bahwa pada dan tanin. 58 Tabel 1 menunjukkan bahwa ekstrak sebagai antibakteri adalah dengan cara buah B. javanica mengandung senyawa aktif menghambat enzimreverse transkriptase dan berupa alkaloid, fenol, dan tanin.Alkaloid DNA topoisomerase sehingga sel bakteri memiliki sifatantibakteri, karena memiliki tidak dapat terbentuk. Tanin merupakan kemampuanmenginterkalasi DNA (Murphy salah satu senyawa kimiawi yang termasuk 1999, dalam golongan fenol dan mempunyai rasa diacu dalam 2008).Mekanisme Ismunandar adalah sepat yang diduga dapat mengikat salah satu komponen protein yang dimiliki oleh bakteri yaitu penyusun peptidoglikan pada selbakteri, adhesin dan apabila hal ini terjadi maka sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk dapat merusak ketersediaan reseptor pada secara utuh dan menyebabkankematian sel permukaan (Norhamdani et al.2000). Senyawa alkaloid dibuktikan dapat membentuk kompleks umumnya mencakup senyawa bersifat basa senyawa yang irreversibel dengan prolin, yang mengandung satu atau lebih atom suatu asam amino, yang mana ikatan ini nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik mempunyai efek penghambatan sintesis (Harborne 1996). Senyawa alkaloid juga protein untuk pembentukan dinding sel. dengan cara yangdiduga mengganggu sel bakteri. Tanin telah memiliki efek antimikroba terutama efek Mekanisme senyawa fenol sebagai zat antidiare yang kemungkinan disebabkan antimikroba adalah dengan carameracuni oleh efek pada usus kecil (Poeloengan et al. protoplasma, 2007). Menurut Rahayu et al. (2009), jenis dinding sel, serta mengendapkanprotein sel senyawa alkaloid pada buah belilik yaitu mikroba. brucamarine dan yatanine. mendenaturasi Rahayu et al. (2009) menyatakan jawab merusak Komponen enzim terhadap dan fenol juga dapat yangbertanggung germinasi spora atau asamamino yang bahwa senyawa aktif yang memiliki sifat berpengaruh sebagai antibakteripada buah belilik adalah terlibat dalam proses germinasi. Senyawa tanin. Senyawa tanin diduga memiliki fenol sifatantimikroba kemampuannya menonaktifkan enzim esensial di dalam sel dalam menonaktifkan protein enzim dan mikroba meskipun padakonsentrasi yang protein transport (Murphy 1999, diacu sangat dalam Menurut 1988).Sebagai contoh yaitubakteri uji Gram Robinson (1995), mekanisme kerja tanin negatif, secara morfologi, bakteri Gram karena Ismunandar 2008). terhadap menembus bermolekul rendah (Pelczar besarmampu & Chan 59 negatif memiliki dinding sel KESIMPULAN dengan peptidoglikan yang sedikit sekali dan berada diantara selaput luar dan selaput dalam dinding sel. Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung fosfolipid, lipopolisakarida, dan lipoprotein. Setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan-ikatan membran sel fosfolipida) permeabilitas pada (seperti komponen protein sehingga dan meningkatkan membran. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme (Naidu 2000,diacu dalam Yulianti 2009). Sedangkan untuk contoh lainnya adalah pada bakteri uji Gram positif dimana memiliki struktur dinding sel yang lebih sederhana dibandingkan dengan dinding sel bakteri Gram negatif sehingga memudahkan senyawa antibakteri mudah masuk ke dalam sel bakteri (Naidu 2000,diacu dalam Yulianti 2009). Menurut Harborne (1996), senyawa fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Suradikusumah (1989), diacu dalam Nuraini (2007), menambahkan fenol dan). 1. Ekstrak buah belilik (B. javanica) pada konsentrasi 70 mgmL, 80 mg/mL, dan 90 mg/mL mampu pertumbuhan bakteri menghambat uji S. aureus, Shigella sp., P. aeruginosa, dan EPEC. 2. Senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak etanol buah belilik yaitu alkaloid, tanin, dan fenol. DAFTARPUSTAKA Abrar M, Wibawan IWT, Priosoeryanto BP, Soedarwanto M, Pasaribu Fh. 2012. Isolasi Dan Karakterisasi Hemaglutinin Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah. Kedokteran Hewan 6 (1): 1621. Adelia N. 2010. Pengetahuan Tradisional Tentang Pemanfataan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Suku Lom Di Dusun Air Abik Desa Gunung Muda Kecamatan Belinyu-Bangka[skripsi]. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Agnesa A. 2010. Makalah Gastroenteritis Akut (Epidemiologi Penyakit Menular)http://www.kesmasunsoed.info/2010/10/makalahgastroenteritis-akuta.html [15 Februari 2013]. Ambarwati. 2007. Efektivitas Zat Antibakteri Biji Mimba (Azadirachta indica) untuk Menghambat Pertumbuhan Salmonella thyposa dan 60 Staphylococcus aureus. Biodiversitas 8 (3) : 320-325. Aisyah D, Laksmi LI, Husnaa U. 2010. Potensi Tumbuhan Indonesia sebagai Bahan Obat Tradisional dengan Pendekatan Teknik Pengolahan Traditional Chinese Medicine (TCM). Malang: Universitas Negeri Malang. Aliem MI. 2013. Buah Makassar (Brucea javanica [L.] Merr).http://www.ksdasulsel.org/fauna /154-buah-makassar-brucea-javanical-merr[06Februari 2013]. Azam K. 2012. Prinsip Kerja Ekstraktor Soxhlet. http://khoirulazam89.blogspot.com/20 12/01/prinsip-kerja-ekstraktorsoxhlet.html [05 September 2013]. Bachtiar TSP. 2010. Potensi Ekstrak Buah Makasar (Brucea javanica[L.] Merr) sebagai Antihipertensi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Cappuccino JG, Sherman N. 1987. Microbiology: A Laboratory Manual. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company. Collington GK, Booth IW, Donnenberg MS, Kaper JB, KnuttonS. 1998. Enteropathogenic Escherichia coli Virulence Genes Encoding Secreted Signalling Proteins are Essential for Modulation of Caco-2 Cell Electrolyte Transport. Infection and Immunity6 (12): 6049-6053. Dalimartha S. 2001. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta: Trubus Agriwidya. Damayanti E. 2001. Karakterisasi Biofilm pada Escherichia coli Enteropatogen. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Damayanti EK, Zuhud, Harini MS, Tyasning P. 2009. Pemanfataan Dokumentasi Pengetahuan Lokal Tumbuhan Obat untuk Mewujudkan Masyarakat Mandiri Kesehatan. Prossiding Seminar Nasional Etnobotani IV: Cibinong 18 Mei 2009. Bogor: Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Hlm 239-244. Davis WW, Stout TR. 1971. Disc Plate Method of Microbiological Antibiotic Essay. Microbiology22 (4): 659-665. Dharma K. 2001. Aktivitas Enzim Protease Ekstraseluler Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) K 1.1 pada Substrat Lisozim. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Diansari N. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kayu Secang (Caesalpinia sappan L) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae serta Bioautografinya [skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah. Dinas Kesehatan Kota Pangkalpinang. 2012. Kota Pangkalpinang: ANAL. http:www.google.comgwt/x?hl=id&u= http://dinaskesehatankotapangkalpinan g.blogspot.com [25 Mei 2013]. Dwijoseputro D. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Malang: Djambatan. Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gomez G. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia. Edisi kedua. Hadiwiyoto S. 1994. Teori dan Prosedur Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta: Liberty. Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia, diterjemahkan oleh Kokasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 61 Cetakan ke-2, hal. 47, 69-72, 155, Bandung: Institut Teknologi Bandung Press. Haryani D. 2010. Inventarisasi Tumbuhan Obat di Kecamatan Toboali, Kecamatan Tukak sadai dan Kecamatan Pulau Besar Kabupaten Bangka Selatan [skripsi]. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Hendrian, Hadiah JT. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. Bogor: UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Hidayat. 2006. Pertumbuhan Bakteri dan Fermentasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Hiswani. 2003. Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat yangKejadiannya Sangat Erat dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/3693/1/fkm-hiswani7.pdf [15 Februari 2013]. Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. USA: Lippincott Williams & Wilkins. Ismunandar W. 2008. Potensi Antibakteri Kulit Kayu dan Daun Tanaman Akway (Drymis sp) Dari Papua. Bogor: Program Studi BiokimiaFakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan AlamInstitut Pertanian Bogor. Jawetz, Melnick, Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika. Katno, Pramono S. 2002. Tingkat Manfaat dan Keamanaan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. http://cintaialam.tripod.com/keamanan _obat%20tradisional.pdf [15 Februari 2013]. Knutton S, Lloyd DR, McneishAS. 1987. Adhesion of Enteropathogenic Escherichia coli to Human Intestinal Enterocytes and Cultured Human Intestinal Mucosa. Infection and Immunity 55 (1): 69-77. Kusmala D. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit dengan Beberapa Jenis Antibiotik Sintetik dalam Menghambat Pertumbuhan BakteriEnteropatogenik Esherichia colidanPseudomonas aeruginosa [skripsi]. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Lathifah QA. 2008. Uji Efektifitas Ekstrak Kasar Senyawa Antibakteri pada Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbiL.) dengan Variasi Pelarut [skripsi]. Malang: Jurusan Kimia Fakultas Sains dan TeknologiUniversitas Islam Negeri (UIN) Malang. Lenny S. 2006.Isolasi dan Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metoda Uji Brine Shrimp. Medan: Fakultas MIPA, UniversitasSumatera Utara. Maisyaroh. 2010. Inventarisasi Tumbuhan Obat Di Kecamatan Koba, Kecamatan Lubuk Besar dan Kecamatan Pangkalan Baru, Kabupaten Bangka Tengah. [skripsi]. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. 62 Mayasari E. 2005. Pseudomonas aeruginosa; Karakteristik, infeksi dan penanganan. Medan: Universitas Sumatra Utara. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Munawaroh S, Astutu PH. 2010. Ekstraksi Minyak Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix D.C) dengan Pelarut Etanol dan N-Heksana. Kompetisi Tekhnik 2 (1): 73-78. Nuraini AD. 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri dan Antioksidan Dari Biji Teratai(Nymphaea pubescens Willd) [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi PanganFakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Melki, Ayu WEP, Kurniati. 2011. Uji Antibakteri Ekstrak Gracilariasp (Rumput Laut) Terhadap Bakteri Escherichia colidan Staphylococcus aureus. http://eprints.unsri.ac.id/1257/2/Melki ujiantibakteriekstrakGracilariasp.pdf [07 Februari 2013]. Narotama. 2012. Profil Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutase SOD pada Usus Halus Tikus yang Diberi probiotik dan Enteropathogenic E.coliEPEC. http://dosen.narotama.ac.id/wpcontent/ uploads/2012/03/Profilimunohistokimia-antioksidansuperoksida-dismutase-SOD-padausus-halus-tikus-yang-diberiprobiotik-dan-enteropathogenic-e.coli-EPEC.pdf [12 Agustus 2013]. Norhamdani, Khotimah H, Yudhaningtyas IM. 2000. Uji Efektivitas Ekstrak Metanol Daun Pare (Momordica Charantia L.) sebagai Antimikroba terhadap Bakteri Shigella flexneri secara In Vitro.http://fk.ub.ac.id/artikel/id/filedo wnload/kedokteran/majalah%20ira%2 0maya.pdf[25 Juni 2013]. Noveria I. 2012. Uji Efektivitas Antibiotik yang Dihasilkan Cendawan Endofit dengan Beberapa Jenis Antibiotik Sintetik dalam Menghambat Pertumbuhan BakteriStaphylococcus aureusdanShigellasp. [skripsi]. Oktora L. 2006. Pemanfataan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya.Majalah Ilmu Kefarmasian 3 (1) : 1-7. Praptiwi, Chairul, MindartiH. 2007. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Makasar (Brucea javanica (L.)Merr.) terhadap Plasmodium bergheipada Mencit.Majalah Obat Tradisional11(41):3-6. Pratiwi ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga. Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar MikribiologiJilid 1. Jakarta: UI Press. Pelczar MJ. Chan ESC. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta : Ui Press. Poeloengan M, Chairul, Komala I, Salmah S, Susan MN. 2006. Aktivitas Antimikroba dan Fitokimia dari Beberapa Tanaman obat. http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/en g/attachments/247_46.pdf [23 Agustus 2013] Poeloengan M, Andriani, Susan MN, Komala I, Hasnita M. 2007. Uji Daya Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Batang Bungur (Largestomia speciosa Pers) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli Secara In Vitro. http://bbalitvet.litbang.deptan.go.id/in d/attachments/217_29.pdf [23 Agustus 2013]. 63 Rahayu M, Sunarti S, Sulistiarini D, Prawiroatmodjo S. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional oleh Masyarakat Lokal di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.Biodiversitas 7 (3) : 245250. Rahayu MK, Wiryosoendjoyo K, Prasetyo A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Soxhletasi dan Maserasi Buah Makasar (Brucea javanica (L) Merr) Terhadap Bakteri Shigella dysentriae ATCC 9361 Secara In Vitro. Biomedika. 2 (1): 40-46. Republika 2009. Resisten. http://www.google.com/search?clien= mssamsungnchanenenel=mm&ie=ISO88 59=republika=2009=resisten&btng=te lusuri [10 Februari 2013]. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, diterjemahkan oleh Kosasih, P., Edisi Keenam, 72, 157, 198, Bandung: Institut Teknologi Bandung. Rosita K, Kusharto CM, Sekiyama M, Ohtsuka R. 2006. Penggunaan Tanaman Obat oleh Pengobat Tradisional Di Desa Sukajadi Wilayah Hutan Wisata Curug Nangka, Bogor. Media Gizi & Keluarga 30 (1): 77-87. Sampurno. 2007. Obat Herbal dalam Prespektif Medik dan Bisnis. http://mot.farmasi.ugm.ac.id/files/13O BAT%20HERBAL_Sampurno.pdf [03 November 2012]. Santhyami, Sulistyawati E. 2009. Etnobotani Tumbuhan Obat oleh Masyarakat Adat Kampung Dukuh, Garut, Jawa Barat. Bogor: LIPI Press. Sitompul S. 2010. Inventarisasi Tumbuhan Obat di Kecamatan Namang, Kecamatan Simpang Katis, dan Kecamatan Sungai Selan, Kabupaten Bangka Tengah [skripsi]. Bangka: Program Studi Biologi Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Sjachri M. 1992. Kimia Bahan Alam Hayati. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suharni TT, Nastiti SJ, Soetarto AES. 2007. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sukandar D, Radiastuti N, Jayanegara I, Hudaya A. 2010. Karakterisasi Senyawa Aktif Antibakteri Ekstrak Air Bunga Kecombrang(Etlingera elatior) sebagai Bahan Pangan Fungsional. Valensi 2 (1): 333-339. Sulistianingsih. 2010. Uji Kepekaan beberapa Sediaan Antiseptik terhadap BakteriPseudomonas aeruginosadanPseudomonas aeruginosa Multiresisten(PAMR). [Laporan Penelitian Mandiri]. Jatinangor: Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran. Sumarsih S. 2003. Mikrobiologi Dasar. Yogyakarta: Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Taofik M, Yulianti E, Barizi A, Hayati EK. 2010. Isolasi dan Identtifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) sebagai Bahan Insektisida Hama Tungau Eriophydae. Alchemy 2 (1): 104-157. Utami NW. 2008. Fekunditas Brucea javanica (L) Merr. di Kawasan Wisata Ilmiah Cimanggu, Bogor.Majalah Obat Tradisional 13 (45): 101-106. Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Malang: UPT Universitas Muhammadiyah. Wilianti NP. 2009. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Infeksi Saluran Kemih pada Bangsal 64 Penyakit Dalam Di RSUP Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008. Semarang: Universitas Diponegoro. YuliantiON. 2009. Kajian AktivitasAntioksidan dan AntimikrobaEkstrak Biji, Kulit Buah,Batang, dan Daun TanamanJarak Pagar(Jatropha curcasL.)[skripsi].Bogor: Fakultas TeknologiPertanian, Institut PertanianBogor. Zoetmulder V. 2011. Klasifikasi Pseudomonas aeruginosa. http://ventyshi.wordpress.com/2011/1 2/28/klasifikasi-pseudomonasaeruginosa [10 Februari 2013]. 65 TEKNIK BERBURU BABI HUTAN OLEH ORANG TIONGHOA DI PULAU BANGKA Budi Afriyansyah1), Yulian Fahrurrozi2), Dhonna Frilano3) Fakultas Petanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 1) email: [email protected] 2 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 2) email: [email protected] 3 Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung (penulis 3) email: [email protected] 1 Abstract Ethnic of Tionghoa is the one of ethnic inhabiting Bangka Island who hunting. They hunt wild boars. The hunt was predicted existed since very long time ago and still existing till now. It was predicted has a different method. It can be a part of local wisdom from Ethnic of Tionghoa in Bangka Island. Verification of their local wisdom about their hunting technique of wild boars was have to revealed because there is no similar research previously yet. This research is also necessary for all farmers as an effort in controlling pest (wild boars). Aim of this research was to revealed the hunting technique of wild boars by Ethnic of Tionghoa in Bangka Island. This research had been done on March 2012 to July 2012 in Petaling Village and Kace Village. The activity was divided in two ways (field and non-field). Information and data was collected by using three kinds of technique (interview, observation and discussion). Information and data was analysed by descriptivequalitative approach, included analysis of content, analysis of comparability, analysis of reconstructive and analysis of chronological. Result of this research showed that the hunting technique using lapun and asu’ was represent the original technique from Ethnic of Tionghoa in Bangka Island. The hunting technique was found about 1970’s. There are four hunting technique used by them. The techniques are hole trap, fence trap, string trap (sling) and hunting technique with lapun and asu’. Hunting technique with lapun and asu’ is still existing and using by them. In Ethnic of Tionghoa opinion, the advantages from hunting are to consumption, to earn more money, sport, sharing the information facility and to eliminate tired during working. Keywords: local wisdom, hunting technique, Ethnic of Tionghoa, Bangka Island 1. PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai macam bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup serta antara mereka dengan lingkungannya (Meridzam et al. 2004). Hal ini mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai dari makhluk sederhana (mikroba) hingga makhluk yang lebih kompleks, termasuk manusia. Keanekaragaman hayati merujuk pada aspek keseluruhan dari sistem penopang kehidupan, yaitu mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek sistem pengetahuan dan etika dan kaitan di antara berbagai aspek tersebut. Keberagaman sistem pengetahuan dan kebudayaan masyarakat juga terkait erat dengan keanekaragaman hayati (Meridzam et al. 2004). Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini didukung oleh letak geografis Indonesia yang berada dalam wilayah tropik sehingga keanekaragaman hayati yang dimiliki lebih tinggi dibandingkan dengan daerah subtropik (iklim sedang) dan kutub (iklim kutub). Tingginya keanekaragaman hayati di Indonesia terlihat dari berbagai macam ekosistem yang ada di Indonesia, seperti: ekosistem hutan, ekosistem hutan hujan tropis, ekosistem hutan kerangas dan bioma padang, ekosistem padang rumput, ekosistem savana, ekosistem hutan bakau, ekosistem air tawar, ekosistem pantai, ekosistem air laut dan lain-lain. Masing-masing ekosistem ini memiliki keanekaragaman hayati tersendiri yang meliputi hewan, tumbuhan dan mikroorganisme. 66 Manfaat dari keanekaragaman hayati telah nyata dirasakan oleh setiap individu yang hidup, termasuk manusia. Manusia mampu mempertahankan hidup melalui interaksi dengan alam. Pengambilan energi dilakukan manusia dari alam, baik melalui hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme. Selain itu, masih ada fakta manfaat dari keanekaragaman hayati yang berhubungan dengan ekosistem, yaitu sebagai sumber pengetahuan maupun teknologi, fasilitas pengembangan sosial budaya umat manusia dan memberikan nilai estetika bagi kehidupan yang merefleksikan penciptanya. Di samping itu, keberagaman makhluk hidup pada suatu ekosistem dapat mendatangkan dampak buruk bagi kehidupan manusia apabila terjadi ketidakseimbangan pada alam. Hal tersebut tidak terlepas dari peran manusia terhadap lingkungan. Perubahan bentang alam melalui konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang dilakukan oleh manusia menyebabkan ketidakseimbangan alam. Dampaknya terlihat dari sebaran populasi hewan. Banyak hewan yang menempati habitat baru. Keterbatasan sumber daya alam di habitatnya yang baru mengakibatkan hewan kesulitan untuk mencari sumber makanan, akibatnya hewan tersebut memasuki wilayah pertanian atau perkebunan. Kondisi seperti ini yang menjadikan hewan mendapatkan predikat sebagai hama. Babi hutan merupakan hewan yang dapat diklasifikasi ke dalam hama. Hewan ini mengganggu dan merusak lahan pertanian dan perkebunan. Keberadaan babi hutan yang tidak terkendali mampu memberikan ancaman bagi lingkungan, khususnya bagi para manusia yang memanfaatkan lahan untuk bertani dan berkebun. Bahkan, menurut Lucchini et. al. (2005) keanekaragaman babi hutan di Asia Tenggara merupakan yang tertinggi di dunia. Hama yang muncul dapat dikendalikan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan melakukan perburuan. Perburuan dilakukan untuk menekan pertumbuhan populasi hewan (hama) yang tidak terkendali. Pada awalnya, perburuan hanya dilakukan sebagai salah satu teknik untuk memperoleh makanan. Namun, sepanjang perkembangannya perburuan telah mengalami peningkatan nilai pada beberapa aspek kehidupan, yaitu perdagangan, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan bahkan teknologi. Di Indonesia, ada beberapa daerah yang masyarakatnya melakukan kegiatan perburuan, salah satunya adalah Kepulauan Bangka Belitung. Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, khususnya Pulau Bangka. Selain itu, pulau ini juga memiliki keragaman dan kekhasan budaya yang dihasilkan oleh beragam etnik yang menjadi penghuninya. Pada sekitar tahun 1700, ada empat etnik yang tinggal di Pulau Bangka yaitu orang Cina, Melayu, Hill People (orang gunung atau orang darat) dan Sea Dwellers (orang laut atau orang pesisir) (Elvian 2009). Selanjutnya, hingga satu dekade terakhir pulau ini dihuni oleh berbagai etnik, antara lain Melayu, Jawa, Bugis, Banten, Banjar, Madura, Palembang, Minang, Aceh, Flores, Maluku, Manado dan Tionghoa (Cina), namun didominasi oleh orang Melayu dan orang Tionghoa (Anonim 2010; Elvian 2011). Masing-masing etnik tadi memiliki cara berbeda dalam memperlakukan alam. Kebiasaan masyarakat tradisional/lokal dalam menjaga dan mengelola sumber daya alamnya selama ini menjadi salah satu kunci keberlangsungan ekosistem. Masing-masing etnik memiliki cara tersendiri dalam berinteraksi dengan alam. Salah satunya adalah Orang Tionghoa yang melakukan perburuan babi hutan. Perburuan tersebut diasumsikan sudah berlangsung sejak dahulu dan masih bertahan sampai sekarang. Selain itu, diduga teknik berburu mereka memiliki kekhasan. Hal ini dapat menjadi salah satu bagian dari kearifan lokal orang Tionghoa di Pulau Bangka. Pengungkapan kearifan lokal Orang Tionghoa di Pulau Bangka tentang teknik perburuan babi hutan perlu dilakukan karena sebelumnya belum ada kajian tentang hal ini. Selain itu, penelitian ini juga penting bagi para petani sebagai upaya dalam pengendalian hama babi hutan. Pengetahuan masyarakat tentang teknik perburuan babi hutan diharapkan dapat menjadi solusi efektif bagi pengendalian hama babi hutan. Penelitian ini memiliki tujuan mengungkap teknik-teknik berburu babi hutan oleh orang Tionghoa di Pulau Bangka. 67 2. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Juli 2012 di Desa Petaling dan Desa Kace Kecamatan Mendo Barat Kabupaten Bangka. Kegiatan berburu babi hutan oleh orang Tionghoa merupakan fokus penelitian. Aktivitasnya dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan lapangan dan non-lapangan. Tempat kegiatan lapangan adalah lokasi berburu, sedangkan tempat kegiatan non-lapangan adalah kediaman pemburu. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan interdisiplin (ekologi dan antropologi) dengan tujuan mengungkap kearifan tradisional atau kearifan lokal yang dianut etnik Tionghoa dalam aktivitas perburuan babi hutan. Pengamatan difokuskan pada kebiasaan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat, atau dengan kata lain dengan menggunakan metode etnografi dengan melihat tingkah laku yang terwujud dengan mengabstraksikan kenyataan dan fakta ke dalam kategorisasi untuk mendapatkan pengetahuan budaya yang mendasari tingkah laku yang bersangkutan (Elvian 2009). Model ini dilakukan dengan bantuan pengamatan serta keterlibatan peneliti di masyarakat. Prosedur Penelitian Pengumpulan informasi dan data menggunakan tiga macam teknik, yaitu wawancara, pengamatan dan diskusi. Teknik pemilihan informan dan penentuan objek pengamatan dengan pendekatan purposif, berarti responden dan lokasi ditentukan lebih dulu secara sengaja dengan pelbagai pertimbangan, prinsip keterwakilan (umum), informasi sebelumnya ataupun perkembangan situasi dan kondisi faktual dan aktual di lapangan. Wawancara bersifat tidak terstruktur (terbuka-mendalam atau open-ended, individual dan kolektif), baik di lokasi berburu atau kediaman pemburu. Pengamatan lapangan dilakukan secara langsung dan partisipatif, meliputi pengamatan di lokasi berburu dan kediaman masyarakat. Pengamatan di lokasi berburu dilakukan saat kegiatan perburuan berlangsung, targetnya adalah kegiatan berburu dan perilaku hewan buruan. Pengamatan di kediaman masyarakat dilakukan di rumah dan halaman/pekarangan, targetnya kegiatan seharihari terkait pemanfaatan hewan buruan. Kegiatan pengamatan lapangan dilakukan secara terpisah atau bersama dengan wawancara. Pelaksanaannya mengarah kepada teknik pengamatan terlibat. Peneliti lebih banyak ikut-serta menjalani aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari untuk diamati. Proses pengamatan didokumentasikan menggunakan kamera foto/video, lalu hasilnya dicatat. Diskusi dilakukan dalam rangka konfirmasi informasi dan data yang diperoleh dari pengamatan dan wawancara, dari catatan ataupun rekaman foto dan video. Pelaksanaannya mirip diskusi kelompok terfokus, antara peneliti dan seorang (individual) serta beberapa informan (kolektif). Ini bertujuan untuk verifikasi data dan informasi. Verifikasi tersebut dilakukan untuk memperjelas, menyamakan dan mencegah kekeliruan pemahaman (persepsi), serta mempermudah rekonstruksi konsep lokal. Informasi dan data yang tertinggal dan belum tergali dapat dijaring, dikoreksi dan diungkap lagi melalui diskusi konfirmasi ini. Diskusi ini sekaligus sebagai kegiatan pra-analisis (analisis partisipatif) yang dilakukan di lapangan melibatkan informan, dengan prinsip bahwa kelompok pemburu pun ikut terkondisi sebagai subjek penelitian, bukan sekedar objek. Pengolahan dan Analisis Data Kumpulan informasi dan data dari lapangan bersifat primer, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data emik (dari pengetahuan lokal) berupa informasi hasil wawancara dan pengamatan langsung kegiatan masyarakat di lapangan dikumpulkan dan dibuat uraiannya. Pada pendekatan kualitatif, data dibuatkan tabel dan matriks dengan penandaan khusus yang perlu (Rahman 1999 dalam Fakhrurrozi 2011), skema/bagan, peta dan sketsa rekonstruktif, serta penjelasannya (uraian deskriptif). Analisis informasi dan data umumnya dengan pendekatan deskriptif-kualitatif, meliputi analisis konten, analisis komparatif, analisis rekonstruktif dan analisis kronologis (Fakhrurrozi 2011). 68 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sepanjang Orang Tionghoa melakukan perburuan, mereka hanya mendapati 2 (dua) macam babi hutan, yaitu apa yang mereka sebut dengan babi kecakal (Ai Kiok) dan babi rimba’ (Cin Cu). Menurut Damayanti (2007) hanya ada satu kelompok jenis babi hutan yang ada di pulau bangka yaitu sub-spesies dari bearded pig (Sus barbatus oi). Kemungkinan dua macam babi hutan tersebut merupakan sub spesies atau variasi yang dihasilkan oleh perbedaan habitat lingkungan. Selain itu diduga bahwa pembagian dua macam babi hutan oleh Orang Tionghoa tersebut merupakan taksonomi lokal dan merupakan bagian dari kearifan lokal mereka. Dari penjelasan para pemburu, didapatkan indikasi mengenai kedua macam babi hutan pada Tabel 1. Persepsi Orang Tionghoa Bangka Tentang Berburu Babi Hutan Bagi Orang Tionghoa yang telah lama tinggal dan menetap di Pulau Bangka, khususnya para pemburu yang berperan sebagai informan kunci, berburu merupakan sarana dalam upaya pengalihan dari berbagai rutinitas sehari-sehari selama berkerja dan aktivitas lainnya. Menurut para pemburu, berburu babi hutan dapat dimanfaatkan untuk konsumsi, sarana olahraga, berkumpul dengan kerabat dan keluarga bahkan berburu dapat dijadikan obat untuk menghilangkan penat (tekanan/stress) selama beraktivitas di rumah dan tempat bekerja. Tabel 1 Macam babi hutan berdasarkan pengakuan Orang Tionghoa Nama Pemberian Babi Kecakal (Ai Kiok) Babi Rimba’ (Cin Cu) Ciri Khas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Warna tubuh dominan gelap; rambut pada tubuh berwarna hitam. Ukuran tubuh relatif lebih kecil. Bobot tubuh relatif lebih ringan (< 200 kg pada saat dewasa). Gerakannya lebih gesit. Tidak dapat mengenali habitat/ lingkungan (arah pergi-pulang). Frekuensi perjumpaan tinggi. Warna tubuh dominan terang; rambut pada tubuh berwarna putih sedikit kehitam-coklatan. Ukuran tubuh relatif lebih besar. Bobot tubuh relatif lebih berat (rata-rata >200 kg pada saat dewasa). Gerakannya lebih lamban. Dapat mengenali habitat/lingkungan (arah pergi-pulang). Frekuensi perjumpaan rendah. Keanekaragaman babi hutan di Asia Tenggara merupakan yang tertinggi di dunia (Lucchini et al. 2005). Penentuan sistematika babi hutan di Asia Tenggara telah diupayakan melalui studi-studi terkait walaupun jumlah spesiesnya masih belum diketahui dengan jelas (MacDonald 1993; Groves & Grubb 1993; Oliver et al. 1993 dalam Damayanti 2007). Groves (2001) dalam Damayanti (2007) membagi babi hutan Asia Tenggara ke dalam tiga kelompok, yaitu S. scrofa, S. verrucosus dan S. philippensis. Seluruh babi dalam kelompok S. scrofa ini dimasukkan ke dalam satu spesies yang disebut Eurasian Wild Pig (S. scrofa) kecuali Pigmy Hog (S. salvanius). Menurut Damayanti (2007), kelompok S. verrucosus terdiri dari Warty Pig (S. verrucosus) yang ditemukan di Jawa, Madura dan Bawean, Indochinese Pig (S. bucculentus) yang hanya ditemukan di Laos, Palawan Pig (S. ahoenobarbus) yang ditemukan di Palawan dan Calamianes, Sulawesi Warty Pig (S. celebensis) dari Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, Visayan Pig (S. cebifrons) dari Negros, Panay, Masbate dan Cebu, Bearded Pig (S. barbatus) dari Kalimantan, Sumatera, Bangka, Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya. S. barbatus memiliki dua sub-spesies, yaitu S. b. barbatus dari Kalimantan dan S. b. oi dari Sumatera, Bangka, Kepulauan Riau dan Semenanjung Malaya. 69 Tubuh babi hutan berwarna abu-abu kehitaman dan terdapat garis putih pada sekitar bagian bawah tubuhnya (tubuh bagian sekitar perut, kaki dan dekat ekor). Hewan ini memiliki ukuran tubuh yang sedang-besar (ungulata besar). Babi hutan dianggap dewasa ketika sudah mencapai bobot tubuh minimum 30 kg (betina) dan 30-35 kg (jantan). Babi hutan yang sudah dewasa akan membentuk kelompok mereka sendiri (Andersson 2010). Tubuh babi hutan ditumbuhi rambut jarang. Hewan ini memiliki kaki yang pendek. Babi hutan merupakan satwa yang sanggup bertahan hidup pada berbagai macam kondisi habitat dan juga dapat bertahan hidup dalam kondisi kekurangan sumber pakan. Namun, hewan ini lebih menyukai habitat yang eksklusif dan tenang meskipun telah banyak kasus yang menyebutkan bahwa hewan ini sering muncul dekat daerah perkebunan dan pemukiman warga. Mereka sering dijumpai hidup berkelompok dalam jumlah antara 20 sampai 30 ekor. Pencarian makan biasanya dilakukan pada sore hingga larut malam, bahkan hingga subuh hari. Azhima (2001) menyebutkan bahwa aktivitas harian babi hutan sebagian besar digunakan untuk mencari makan yaitu 67,5% dari seluruh aktivitas harian. Sebagai informasi, pada saat mereka merasa terancam, hewan ini akan sangat agresif dan akan mencari perlindungan tanpa memperhatikan wilayah sekitarnya. Babi hutan dapat melakukan perkembangbiakan setelah mencapai bobot 3050 kg atau lebih. Peningkatan populasi akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada saat musim hujan (Fernandez-Llario & Mateos-Quesada 2005). Hal tersebut dimungkinkan karena melimpahnya ketersediaan makanan bagi babi hutan, khususnya babi hutan betina yang membutuhkan nutrisi lebih bagi anak-anaknya. Fernandez-Llario & Mateos-Quesada (2005) juga mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara kondisi lingkungan dengan jumlah babi hutan betina yang mengalami kebuntingan. Tabel 2 Frekuensi perjumpaan pemburu dengan babi hutan Bulan Frekuensi perjumpaan Babi hutan kecakal Babi hutan rimba’ (Ai Kiok) (Cin Cu) Juli 8 1 Agustus 9 - September 7 1 Oktober 10 - November 12 - Desember 15 - Januari 19 1 Februari 12 - Maret 8 - April 22 1 Mei 14 - Juni 6 - (Tahun 2013-2014) 70 Frekuensi perjumpaan para pemburu dengan babi hutan kecakal (Ai Kiok) lebih tinggi dibandingkan dengan babi hutan rimba’ (Cin Cu) (Tabel 2). Ada kemungkinan bahwa keberadaan babi hutan kecakal (Ai Kiok) lebih banyak dibandingkan dengan babi hutan rimba’ (Cin Cu). Namun, belum ada penelitian terkait jumlah populasi babi hutan yang ada di Pulau Bangka. Ada sebagian pemburu yang memanfaatkan hasil buruannya untuk dijual. Hal ini akan membantu menambah pendapatan. Kisaran harga babi hutan di pasar adalah Rp. 35-40 ribu. Harga ini lebih rendah dibandingkan dengan harga babi peliharaan (ternak). Harga babi peliharaan (ternak) di pasar berkisar Rp. 90 ribu. Menurut informan, perbedaan ini dikarenakan hanya babi peliharaan (ternak) yang dapat dikonsumsi pada ritual peribadatan kepercayaan (sembahyang). Babi hutan dianggap kotor dan memiliki kehidupan yang teratur sehingga tidak pantas dihadapkan pada hal-hal yang bersifat suci. Babi hutan dan babi peliharaan dapat dibedakan secara morfologi (Tabel 3). Tabel 3 Perbandingan antara babi hutan dan babi peliharaan (ternak) Pembanding Jenis Babi Babi hutan Babi peliharaan (ternak) Lama pemeliharaan 6-7 bulan + 3 bulan Bobot pencapaian 40-50 kg 40-50 kg Bentuk tubuh Padat berisi dan terlihat ramping Gempal dan terlihat lebih berlemak Warna tubuh Hitam Belang; hitam kecoklatan dengan warna putih kemerahan yang dominan Sejarah Perkembangan Teknik Berburu Menurut Orang Tionghoa Awal kemunculan teknik berburu menggunakan lapun dan asu’ yang sampai sekarang masih diadopsi oleh Orang Tionghoa ini tidak diketahui secara pasti. Namun, informan kunci menyebutkan bahwa teknik ini mulai berkembang dan digunakan sekitar tahun 1970-an. Pelopor teknik ini adalah Orang Tionghoa atau biasa disebut singkek. Sebelumnya Orang Tionghoa melakukan berbagai upaya modifikasi terhadap teknik berburu. Berikut berbagai macam teknik berburu telah dikembangkan oleh Orang Tionghoa Pulau Bangka sejak awal hingga menemukan teknik berburu yang digunakan sampai sekarang, yaitu teknik berburu dengan menggunakan lapun dan asu’. Menurut informan kunci, teknik berburu terdahulu ada 3 (tiga), yaitu: 1. Jebakan Lubang (Cu Ham) Teknik yang dilakukan secara pasif ini memanfaatkan lubang yang dibuat sedalam + 2 meter dan pada permukaan bawah lubang tersebut diletakkan tombak. Pada permukaan atas dilapisi dengan ranting pohon untuk mengelabuhi hewan yang menjadi target (babi hutan). Berdasarkan pengalaman para pemburu, teknik ini kurang memberikan hasil nyata karena tidak dapat dipastikan keberhasilannya. Alat yang digunakan adalah cangkul, parang/golok dan linggis. Bahan yang digunakan adalah bambu/batang kayu (keras), ranting pohon, daun-daun yang telah gugur, dan umpan (jika diinginkan). 71 b. c. d. Gambar 4 Ilustrasi jebakan lubang Berikut adalah langkah-langkah kerja pada teknik berburu menggunakan jebakan lubang. a. Lokasi yang akan dibuat lubang jebakan (biasanya ditentukan secara acak) ditentukan lalu dibuatkan lubang berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi berturut-turut adalah 1,5 m, 1 m dan 2 m. b. Tombak dibuat dengan ukuran panjang + 1 meter dan ditancapkan di dalam lubang (disusun secara simetris dengan posisi tombak mengikuti bentuk lubang). c. Lubang ditutupi dengan ranting-ranting pohon dan daun-daun. d. Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang di sekitar lubang jika diinginkan. e. Jebakan dibiarkan selama 1-2 hari lalu dilakukan pengamatan. 2. Jebakan Pagar (Serok) Teknik lanjutan ini mengusung jebakan yang lebih meyakinkan. Penentuan lokasi sangat diperhatikan untuk keberhasilan teknik ini. Setelah itu dipasang pagar berbentuk persegi atau sesuai kondisi lapangan dan dibuatkan satu pintu masuk satu arah sehingga ketika target buruan telah masuk dan terperangkap, maka sudah dapat dipastikan tidak dapat keluar. Di dalam jebakan tersebut disediakan umpan yang menjadi penarik perhatian bagi target buruan. Alat yang digunakan adalah parang/golok, cangkul, linggis, palu, paku, gergaji, dan tali nilon. Bahan yang digunakan adalah batang kayu (ukuran besar & kuat). Berikut adalah langkah-langkah kerja pada teknik berburu menggunakan jebakan pagar. a. Batang kayu dicari yang berukuran diameter >10 cm dan dipotong dengan panjang + 2,5 m (jumlah menyesuaikan). e. f. Ditambah dua batang kayu dengan ukuran + 4,5 m (penyanggah pintu jebak). Batang kayu disusun sehingga terbentuk seperti pagar dengan ukuran 4 x 2 m dengan satu pintu. Pintu dibuat pada sisi yang memiliki panjang 2 m. Pagar yang telah berdiri ditambahkan palang kayu pada masing-masing sisi lalu dipaku agar lebih kuat. Pintu diikatkan pada kayu panyanggah yang telah dipasang dengan menggunakan tali nilon (kuat/banyak serat) dan pada ujung tali dipasangkan pada pelepas pintu pagar. Pelepas dibuat sedemikian rupa sehingga akan terlepas ketika tersenggol/terinjak oleh babi hutan. Pelepas diletakkan pada pojok sisi yang berlawanan dengan pintu atau pada pojok sisi yang memiliki panjang 4 m. Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang di dalam jebakan pagar untuk menarik perhatian babi hutan. Umpan diletakkan di tengah jebakan pagar. Jebakan dibiarkan selama 2-3 hari atau 3-4 hari lalu dilakukan pengamatan. Gambar 5 Ilustrasi jebakan pagar 3. Jebakan Tali/Sling (Jiret) Berdasarkan dua teknik sebelumnya, para pemburu berupaya agar teknik yang mereka gunakan dalam perburuan menjadi lebih efisien dan efektif dalam menghadirkan hasil yang diinginkan. Tali (sling) diikatkan pada batang pohon yang dapat diregangkan dan dikaitkan pada pelontar yang di atasnya diberikan umpan. Teknik ini dapat diaplikasikan di berbagai titik lokasi yang diprediksi menjadi tempat berkeliaran atau lalu-lalang hewan buruan. 72 Alat yang digunakan adalah linggis dan parang/golok. Bahan yang digunakan adalah batang kayu (samak, merapin, pelawan atau kayu keras lain), tali/sling (tali nilon dengan serat yang tebal juga diperbolehkan), kabel besi dan daun-daun yang telah gugur. Berikut adalah langkah-langkah kerja pada teknik berburu menggunakan jebakan tali/sling. a. Batang kayu (samak, merapin, pelawan atau kayu keras lain) dicari dan dipotong dengan ukuran diameter 5-10 cm dan panjang + 2,5 m lalu dibersihkan ranting dan dahannya tetapi disisakan ranting yang berada di ujung batang sebagai penahan tali yang akan diikat. b. Tali/sling (tali nilon dengan serat yang tebal juga diperbolehkan) dipasangkan/diikatkan pada ujung batang kayu yang telah disiapkan. c. Simpul dibuat pada kabel besi dan diikatkan dengan ujung tali yang telah diikatkan pada batang kayu. d. Batang kayu ditancapkan ke dalam tanah dengan kedalaman + 70 cm. e. Lubang berbentuk persegi panjang digali dengan panjang, lebar dan tinggi berturutturut adalah 20 cm, 15 cm, dan 10-20 cm. f. Penahan tali (pelepas) dipersiapkan dan diletakkan penahan tali (pelepas) diatas lubang yang telah disiapkan. g. Lubang dan jebakan tali tersebut ditutup dengan daun yang telah disiapkan sebagai bentuk kamuflase. h. Umpan (ubi singkong, batang nanas, ubi jalar atau batang sagu orot-orot) dipasang di sekitar lubang jika diinginkan. i. Jebakan dibiarkan selama 1-2 hari lalu dilakukan pengamatan. Gambar 6 Ilustrasi jebakan tali/sling Perkembangan ini diperkirakan terjadi sejak tahun 1960-an dan selanjutnya ditemukanlah teknik berburu yang dianggap paling mutakhir, efisien dan efektif pada tahun 1970-an. Teknik tersebut adalah kolaborasi antara belapun dan berasu’. Teknik ini masih dipertahankan oleh Orang Tionghoa di Pulau Bangka. Ini menjadi bukti bahwa teknik ini mempunyai kelebihan bagi para pemburu jika dibandingkan dengan teknik-teknik sebelumnya. Menurut pengakuan informan kunci, sebelum ditemukan teknik berburu ini, perburuan masih dilakukan secara serampangan karena hanya mengandalkan pengalaman dan ilmu turun-temurun yang sifatnya terbatas. Berbeda dari teknik yang ada sebelumnya, teknik yang diklaim terbaik ini terdapat proses pengamatan awal (observasi) dengan memperhatikan variabel keberadaan target hewan buruan. Proses ini mereka sebut dengan menapak. Proses ini jugalah yang menjadi pembeda signifikan terhadap teknikteknik terdahulu. Selain itu, dalam penerapannya, teknik ini bisa mengetahui waktu dan lokasi yang tepat sehingga harapan tidak jauh dari hasil yang didapatkan. Teknik berburu dengan lapun dan asu’ masih digunakan hingga sekarang. Hal ini karena adanya komunikasi yang baik dari setiap Orang Tionghoa yang ada di Pulau Bangka. Meskipun demikian teknik inipun digunakan oleh Orang Melayu, baik dimanfaatkan untuk berburu rusa/pelanduk maupun babi hutan, seperti halnya yang ditargetkan oleh Orang Tionghoa. Teknik berburu babi hutan yang masih dan tetap dipertahankan oleh Orang Tionghoa hingga saat ini adalah teknik berburu dengan lapun dan asu’ (Tabel 3). Dugaan awal mengenai hal tersebut adalah teknik tersebut lebih efisien (tidak memerlukan penentuan waktu terlebih dengan waktu yang lama) dan lebih efektif (tepat sasaran karena pemburu dapat melakukan estimasi akurat terhadap hasil buruan). Dugaan tersebut tidak bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh para pemburu. Menurut para pemburu teknik yang masih bertahan ini lebih memberikan hasil yang memuaskan (kuantitas) daripada tiga teknik sebelumnya. Ada beberapa kekurangan yang terdapat pada tiga teknik berburu sebelumnya. Jebakan lubang memerlukan kerja ekstra karena harus melakukan penggalian terlebih dahulu dan memiliki dampak ekologis karena biasanya mereka membiarkan lubang yang telah dibuat 73 meskipun tombak yang ada di dalam lubang sudah ditiadakan. Selain itu, ada kemungkinan bahwa hewan lain yang bukan menjadi target buruan dapat terjebak. Jebakan pagar juga memerlukan kerja ekstra karena harus membuat pagar terlebih dahulu dan harus mempersiapkan umpan yang diletakkan di dalamnya. Jebakan ini juga memiliki dampak ekologis yaitu ada kemungkinan bahwa hewan lain yang bukan menjadi target buruan dapat terjebak. Jebakan tali/sling tidak memerlukan kerja ekstra, namun jebakan ini juga memiliki dampak ekologis yaitu ada kemungkinan bahwa hewan lain yang bukan menjadi target buruan dapat terjebak. Terkahir, mereka menciptakan teknik berburu dengan lapun dan asu’ yang bertahan hingga kini. Tabel 4 Perbandingan dari empat teknik berburu oleh Orang Tionghoa No. Jenis Teknik Berlanjut Dampak ekologis Keterangan 1 Jebakan lubang Tidak Ada Pembiaran lubang, salah sasaran/target buruan 2 Jebakan pagar Tidak Ada Salah sasaran/target buruan 3 Jebakan tali/sling Tidak Ada Salah sasaran/target buruan 4 Belapun dengan asu’ Masih - - Berburu Babi Hutan Ala Orang Tionghoa Bangka Teknik berburu babi hutan yang sampai saat ini digunakan atau diadopsi oleh Orang Tionghoa di Pulau Bangka adalah belapun dengan asu’. Hal penting dalam teknik berburu mereka adalah penggunaan alat dan cara yang khas, yaitu dengan menggunakan lapun atau disebut jaring dan memanfaatkan asu’ atau anjing berburu yang terlatih. Gambar 7 Skema teknik berburu belapun oleh Orang Tionghoa Bangka Teknik berburu menggunakan lapun dan asu’ dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan (Gambar 7). Tidak ada pantangan di dalam perburuan babi hutan bagi Orang Tionghoa di Pulau Bangka. Bagi pemburu yang lapun-nya secara berturut-turut dan dalam jangka waktu yang lama belum juga mendapatkan babi hutan maka lapun ini disebut lapun basa. Hal ini dapat diantisipasi dengan penabar lapun (asal kata tabar) atau disyarat. Prosesi tabar ini telah dilakukan dan selalu memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil tangkapan babi 74 hutan. Langkah kerja dari penabar lapun ini sebagai berikut. 1. Disiapkan alat (lapun) dan bahan (buah nangka atau potongan batang pisang) 2. Disusun dua samapai lima buah lapun seakan melakukan perburuan yang sebenarnya. 3. Disiapkan dua orang yang diposisikan pada kiri dan kanan lapun yang telah dipasang. 4. Satu orang membawa bahan yang telah disiapkan lalu dari jarak 5-10 meter memperagakan penggiring babi hutan. 5. Dilemparkan bahan ke dalam lapun seakan-akan bahan tersebut adalah babi hutan. Lalu ditanyakan kepada kedua penjaga “jantan atau betina”. Salah satu penjaga harus menjawab dengan jawaban yang bebas. 6. Dilakukan perburuan yang sebenarnya. Gambar 9 Posisi strategis dalam teknik berburu Orang Tionghoa; a. Bentang perangkap, b. Penjaga, c. Komandan pembawa asu’, d. Target buruan Para pemburu menetapkan posisi strategis pada teknik berburu dengan lapun dan asu’ (Gambar 9). Posisi strategis ini membutuhkan pelaku berburu minimal sebanyak 3 (tiga) orang (poin b & c). Meski demikian, teknik ini juga dapat dieksekusi oleh 1 (satu) orang dengan bantuan alat tambahan berupa kain putih panjang (biasanya digunakan pada siang hari) dan lilin (biasanya digunakan pada malam hari). Kegunaan alat tambahan ini adalah sebagai penggiring babi hutan menuju lapun yang telah disiapkan. Alat tambahan ini digunakan sebagai pengganti penjaga sisi kiri dan kanan lapun (poin b). Alat tambahan ini dipasang pada ujung sisi kiri dan kanan lapun. Pemasangannya mengarah pada orang yang membawa asu’ (penggiring). Hubungan antara Berburu dengan Lingkungan Gambar 8 Bentuk asli (kiri) dan ilustrasi model lapun/jaring (kanan); a. Kawat pengait, b. Tali pengikat Teknik berburu ini erat kaitannya dengan lapun dan asu’. Lapun merupakan alat tangkap yang menyerupai dome (kubah) berjaring dengan lubang pada kedua ujungnya (Gambar 8). Alat ini dibuat dengan bahan kawat logam. Sedangkan asu’ merupakan alat bantu untuk menggiring babi hutan ke arah perangkap lapun yang telah dipasang pada lokasi tertentu. Menurut informan kunci, asu’ yang dapat dilatih atau mampu membantu para pemburu yaitu yang telah berusia minimal 1 (satu) tahun. Namun dalam praktiknya, para pemburu sering memberikan pelatihan terhadap asu’ yang baru menginjak usia 7 sampai <12 bulan. Perburuan satwa merupakan bagian tradisional dari aspek ekonomi dan budaya lokal di wilayah tropis dan oleh karena itu perburuan dianggap lestari. Perburuan satwa di daerah tropis sangat berbeda dengan daerah temperate karena umumnya dilakukan untuk kebutuhan subsistens dan komersial (Robinson & Bodmer 1999). Selain merupakan budaya tradisional turun temurun dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat di daerah pedesaan, perburuan satwa di hutan-hutan tropis merupakan kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat tradisional untuk mempertahankan hidup (De Vos 1973; Eltringham 1984; Redford & Robinson 1987). Ketika aktivitas perburuan mampu menyediakan produk yang bernilai bagi konsumen, satwa kemudian dipertimbangkan sebagai salah satu sumber pendapatan keluarga (Hart 1978; Bodmer et al., 1990; Pattiselanno 2003). Saat ini, hasil dari berbagai studi menunjukkan bahwa perburuan satwa tidak lagi lestari dan fenomena ini digambarkan sebagai “the empty forest” (Redford 1992). Ancaman terhadap kelestarian satwa ini antara lain disebabkan karena sudah tidak dipraktekkannya lagi sejumlah aturan budaya turun temurun yang tidak mendukung 75 perburuan lestari sebagai akibat dari semakin terbukanya isolasi di daerah tertentu. Di sisi lain, hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa kearifan lokal yang dimiliki Orang Tionghoa di Pulau Bangka merupakan aturan setempat yang dapat digunakan sebagai pengontrol pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali termasuk perburuan satwa. Kearifan lokal (traditional/local wisdom) adalah sistem sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan dalam lingkup komunitas lokal. Sifatnya dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima. Pattinama (2009) menjelaskan bahwa kearifan lokal mengandung norma dan nilai sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kearifan tradisional lahir dari learning by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kearifan tradisional digunakan untuk menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya dan kelestarian sumberdaya alam. Dalam penerapannya, kearifan lokal bisa dalam bentuk hukum, pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Selama ini hasil dari berbagai studi di beberapa negara menunjukkan bahwa praktek kearifan lokal masih berlaku dalam kehidupan masyarakat lokal diantaranya penggunaan alat buru, lokasi perburuan, praktek tabu yang dipercayai masyarakat setempat, jenis hewan yang diburu serta aturan yang berlaku dalam masyarakat (Hart 1978; Kwapena 1984; Redford 1992; Madhusudan & Karanth 2002). Namun, untuk kondisi di Pulau Bangka hal yang dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal Orang Tionghoa dalam melakukan aktivitas perburuan, yaitu teknik-teknik berburu yang khas. Dalam interaksi antara manusia dan satwa liar, pemanfaatan satwa oleh manusia merupakan bagian dari siklus alami yang ikut mengatur kondisi populasi satwa di alam. Dalam konteks aktivitas perburuan hubungan ini juga menggambarkan praktik etika konservasi yang dianut masyarakat setempat sebagai bagian dari pemanfaatan sumberdaya alam yang ada (Pattiselanno 2008). 4. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal penting, yaitu teknik berburu menggunakan lapun dan asu’ merupakan teknik asli Orang Tionghoa di Pulau Bangka. Teknik berburu ini ditemukan pada sekitar tahun 1970-an. Ada empat teknik berburu yang digunakan, yaitu jebakan lubang (Cu Ham), jebakan pagar (Serok), jebakan tali/sling (Jiret), dan berburu dengan lapun dan asu’. Teknik yang masih bertahan dan tetap digunakan hingga sekarang adalah berburu dengan lapun dan asu’. Perburuan dimanfaatkan oleh Orang Tionghoa untuk konsumsi, menambah pendapatan, olahraga, sarana berbagi informasi dan menghilangkan penat selama bekerja. Lapun Asu’ Belapun Berasu’ DAFTAR ISTILAH : jaring yang digunakan untuk berburu babi hutan oleh Orang Tionghoa. Terbuat dari anyaman kawat baja. : hewan (anjing) yang dijadikan alat bantu berburu babi hutan oleh Orang Tionghoa. : kegiatan berburu babi hutan menggunakan lapun. : kegiatan berburu babi hutan memanfaatkan bantuan asu’ (anjing). 5. REFERENSI Andersson A. 2010. Maternal Behaviour, Infanticide and welfare in enclosed European wild boars (Sus scrofa) [Thesis]. Swedia: Linköping University, SE-581 83 Linköping, Sweden. Anonim. 2010. Profil Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. http://www.depdagri.go.id/pages/profildaerah/provin si/detail/19/kepulauan-bangka-belitung. [8 Desember 2011] Bodmer RE, Bendayan ANY, Moya IL, & Fang TG. 1990. Manejo de ungulados en la Amazonia Peruana: Analisis de su caza y commercializacion. Boletin de Lima, 70, 49-56. Damayanti CS. 2007. Analisa Keragaman Genetik dan Struktur Populasi Babi Hutan Sulawesi (Sus celebensis) di Semenanjung Utara dan Tenggara 76 Pulau Sulawesi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. De Vos A. 1973. Wildlife production in Africa. In Reid, R.L. (Ed.). Proceedings of the 3rd World Conference on Animal Production, Melbourne, Autralia. Eltringham SK. 1984. Wildlife resources and economic development. United Kingdom: John Wiley & Sons. Elvian A. 2009. Organisasi Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka. [Tidak Dipublikasikan] Elvian A. 2011. Kotakapur Dalam Lintasan Sejarah Bahari. Pangkalpinang: Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkalpinang. Fakhrurrozi Y. 2011. Studi Etnobiologi, Etnoekologi dan Pemanfaatan Kekuak (Xenosiphon sp.) oleh Masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fernandez-Llario P & Mateos-Quesada P. 2005. Influence of rainfall on the breeding biology of Wild boar (Sus scrofa) in a Mediterranean ecosystem. Folia Zool. – 54(3): 240–248 (2005). Hart JA. 1978. From subsitence to market: A case study of the Mbuti net hunters. Human Ecology, 6, 325-353. Kwapena N. 1984. Traditional conservation and utilization of wildlife in Papua New Guinea, The Environmentalist, 4, 22-26. Madhusudan MD & Karanth KU. 2002. Local hunting and the conservation of large mammals in India. Ambio, 3, 49-54. Medrizam et al. 2004. Wilayah Kritis Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Instrumen penilaian dan pemindaian indikatif/cepat bagi pengambil kebijakan. Jakarta: Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Direktorat Pengendalian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup BAPPENAS. Nichols et al. 2007. Pengelolaan Keanekaragaman Hayati: Praktek Unggulan Program Pembangunan Berkelanjutan Untuk Industri Pertambangan. Canberra: Commonwealth Copyright Administration, Intellectual Property Branch, Department of Communications, Information Technology and the Arts. Pattinama MJ. 2009. Pengentasan kemiskinan dengan kearifan lokal (Studi kasus di Pulau Buru - Maluku dan Surade - Jawa Barat). Makara Seri Sosial Humaniora, 13, 1-12. Pattiselanno F. 2003. The wildlife value: example from West Papua, Indonesia. Tiger Paper, 30, 27-29. Pattiselanno F. 2008. Man-wildlife interaction: Undertstanding the concept of conservation ethics in Papa. Tiger Paper, 35, 10-12. Redford KH. 1992. The empty forest. Bioscience, 42, 412-422. Redford KH & Robinson JG. 1987. The game of choice: patterns of Indian and colonist hunting in the Neotropics. American Anthropologist, 89, 412-422. Robinson JG, Bodmer RE. 1999. Towards wildlife management in tropical forest. Journal of Wildlife Management, 63, 113. Rusnaini. 2006. Kehidupan Sosial Budaya Etnis Cina Di Pulau Bangka: Studi Kasus di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka [Skripsi]. Universitas Negeri Sebelas Maret: Program Studi PKN, FKIP. 77 TATA CARA PENULISAN ARTIKEL JURNAL EKOTONIA 1. PEDOMAN UMUM a. Naskah merupakan ringkasan hasil penelitian. b. Naskah sudah ditulis dalam bentuk format PDF yang sudah jadi dan siap cetak sesuai dengan template yang disediakan. Template tentang tata cara penulisan artikel dapat diunduh di laman biologi.ubb.ac.id. c. Ukuran file PDF naskah maksimal 5MB. d. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan huruf Time New Roman font 11. Panjang naskah sekitar 8–15 halaman dan diketik 1 spasi. e. Naskah dalam format pdf diserahkan ke Redaksi Jurnal Ekotonia. f. Seting halaman adalah 2 kolom dengan equal with coloumn dan jarak antar kolom 5 mm, sedangkan Judul, Identitas Penulis, dan Abstract ditulis dalam 1 kolom. g. Ukuran kertas adalah A4 dengan lebar batas-batas tepi (margin) adalah 3,5 cm untuk batas atas, bawah dan kiri, sedang kanan adalah 2,0 cm. 2. SISTIMATIKA PENULISAN a. Bagian awal : judul, nama penulis, abstraksi. b. Bagian utama : berisi pendahuluan, Kajian literature dan pengembangan hipotesis (jika ada), cara/metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan kesimpulan dan saran (jika ada). c. Bagian akhir : ucapan terima kasih (jika ada), keterangan simbol (jika ada), dan daftar pustaka. 3. JUDUL DAN NAMA PENULIS a. Judul dicetak dengan huruf besar/kapital, dicetak tebal (bold) dengan jenis huruf Times New Roman font 12, spasi tunggal dengan jumlah kata maksimum 15. b. Nama penulis ditulis di bawah judul tanpa gelar, tidak boleh disingkat, diawali dengan huruf kapital, tanpa diawali dengan kata ”oleh”, urutan penulis adalah penulis pertama diikuti oleh penulis kedua, ketiga dan seterusnya. c. Nama perguruan tinggi dan alamat surel (email) semua penulis ditulis di bawah nama penulis dengan huruf Times New Roman font 10. 4. ABSTRACT a. Abstract ditulis dalam bahasa Inggris, berisi tentang inti permasalahan/latar belakang penelitian, cara penelitian/pemecahan masalah, dan hasil yang diperoleh. Kata abstract dicetak tebal (bold). b. Jumlah kata dalam abstract tidak lebih dari 250 kata dan diketik 1 spasi. c. Jenis huruf abstract adalah Times New Roman font 11, disajikan dengan rata kiri dan rata kanan, disajikan dalam satu paragraph, dan ditulis tanpa menjorok (indent) pada awal kalimat. d. Abstract dilengkapi dengan Keywords yang terdiri atas 3-5 kata yang menjadi inti dari uraian abstraksi. Kata Keywords dicetak tebal (bold). 5. ATURAN UMUM PENULISAN NASKAH a. Setiap sub judul ditulis dengan huruf Times New Roman font 11 dan dicetak tebal (bold). b. Alinea baru ditulis menjorok dengan indent-first line 0,75 cm, antar alinea tidak diberi spasi. c. Kata asing ditulis dengan huruf miring. d. Semua bilangan ditulis dengan angka, kecuali pada awal kalimat dan bilangan bulat yang kurang dari sepuluh harus dieja. e. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas, dan diberi nomor urut. 6. REFERENSI Penulisan pustaka menggunakan sistem Harvard Referencing Standard. Semua yang tertera dalam daftar pustaka harus dirujuk di dalam naskah. Kemutakhiran referensi sangat diutamakan. A. Buku [1] Penulis 1, Penulis 2 dst. (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul Buku cetak miring. Edisi, Penerbit. Tempat Publikasi. Contoh: O’Brien, J.A. dan. J.M. Marakas. 2011. Management Information Systems. Edisi 10. McGraw-Hill. New York-USA. B. Artikel Jurnal [2] Penulis 1, Penulis 2 dan seterusnya, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Jurnal Cetak Miring. Vol. Nomor. Rentang Halaman. Contoh: Cartlidge, J. 2012. Crossing boundaries: Using fact and fiction in adult learning. The Journal of Artistic and Creative Education. 6 (1): 94-111. C. Prosiding Seminar/Konferensi [3] Penulis 1, Penulis 2 dst, (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul artikel. Nama Konferensi. Tanggal, Bulan dan Tahun, Kota, Negara. Halaman. Contoh: Michael, R. 2011. Integrating innovation into enterprise architecture management. Proceeding on Tenth International Conference on Wirt-schafts Informatik. 16-18 February 2011, Zurich, Swis. Hal. 776-786. D. Tesis atau Disertasi [4] Penulis (Nama belakang, nama depan disingkat). Tahun publikasi. Judul. Skripsi, Tesis, atau Disertasi. Universitas. Contoh: Soegandhi. 2009. Aplikasi model kebangkrutan pada perusahaan daerah di Jawa Timur. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Joyonegoro, Surabaya. E. Sumber Rujukan dari Website [5] Penulis. Tahun. Judul. Alamat Uniform Resources Locator (URL). Tanggal Diakses. Contoh: Ahmed, S. dan A. Zlate. Capital flows to emerging market economies: A brave new world?. http://www.federalreserve.gov/pubs/ifdp/2013/1081/ifdp1081.pdf. Diakses tanggal 18 Juni 2013. 7. ATURAN TAMBAHAN 7.1 Penulisan Rumus Rumus matematika ditulis secara jelas dengan Microsoft Equation atau aplikasi lain yang sejenis dan diberi nomor seperti contoh berikut. 1 5 N log n (rX n ) (1) n 1 7.2 Penulisan Tabel Tabel diberi nomor sesuai urutan penyajian (Tabel 1, dst.), tanpa garis batas kanan atau kiri. Judul tabel ditulis di bagian atas tabel dengan posisi rata tengah (center justified) seperti contoh berikut. Tabel 1. Perbandingan Acid dan Ensimatis Hidrolisat Acid Ensimatis Total sugar (g) 5,5 3,9 Rhamnose 2,5 1,3 Fucose 2,0 1,2 Manose 0,5 1,0 7.3 Gambar Gambar diberi nomor sesuai urutan penyajian (Gambar.1, dst.). Judul gambar diletakkan di bawah gambar dengan posisi tengah (center justified) seperti contoh berikut. Gambar 1. Mikroskopi isolat VTM1, VTM5, VTM6, VTM9 dan VT 12. Template Artikel Jurnal Ekotonia JUDUL DITULIS DENGAN FONT TIMES NEW ROMAN 12 CETAK TEBAL (MAKSIMUM 12 KATA) Penulis11), Penulis22) dst. [Font Times New Roman 10 Cetak Tebal dan NamaTidak Boleh Disingkat] 1 Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 1) email: penulis [email protected] 2 Nama Fakultas, nama Perguruan Tinggi (penulis 2) email: penulis [email protected] Abstract [Times New Roman 11 Cetak Tebal dan Miring] Abstract ditulis dalam bahasa Inggris yang berisikan isu-isu pokok, tujuan penelitian, metoda/pendekatan dan hasil penelitian. Abstract ditulis dalam satu alenia, tidak lebih dari 200 kata. (Times New Roman 11, spasi tunggal, dan cetak miring). Keywords: Maksimum 5 kata kunci dipisahkan dengan tanda koma. [Font Times New Roman 11 spasi tunggal, dan cetak miring] 1. PENDAHULUAN [Times New Roman 11 bold] Pendahuluan mencakup latar belakang atas isu atau permasalahan serta urgensi dan rasionalisasi kegiatan (penelitian atau pengabdian). Tujuan kegiatan dan rencana pemecahan masalah disajikan dalam bagian ini. Tinjauan pustaka yang relevan dan pengembangan hipotesis (jika ada) dimasukkan dalam bagian ini. [Times New Roman, 11, normal]. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian menjelaskan rancangan kegiatan, ruang lingkup atau objek, bahan dan alat utama, tempat, teknik pengumpulan data, definisi operasional variabel penelitian, dan teknik analisis. [Times New Roman, 11, normal]. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini menyajikan hasil penelitian. Hasil penelitian dapat dilengkapi dengan tabel, grafik (gambar), dan/atau bagan. Bagian pembahasan memaparkan hasil pengolahan data, menginterpretasikan penemuan secara logis, mengaitkan dengan sumber rujukan yang relevan. [Times New Roman, 11, normal]. 4. KESIMPULAN Kesimpulan berisi rangkuman singkat atas hasil penelitian dan pembahasan. [Times New Roman, 11, normal]. 5. REFERENSI Penulisan naskah dan sitasi yang diacu dalam naskah ini disarankan menggunakan aplikasi referensi (reference manager) seperti Mendeley, Zotero, Reffwork, Endnote dan lain-lain. [Times New Roman, 11, normal]. Pemetaan Potensi Anura Pada Lingkungan Pasca Tambang Budi afriyansyah, nur annis hidayati .............................................................................................. 1 Uji Efikasi Ekstrak Cair Dan Ekstrak Kasar Aseton Daun Merapin Dalam Menghambat Pertumbuhan Cendawan colletotrichum capsici Pada Cabai Dan colletothrichum coccodes Pada Tomat. Essy cahyani, riwan kusmiadi, henny helmi ................................................................................... 8 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Belilik (brucea javanica) Terhadap Bakteri Enteropatogen Umajaya, henny helmi, idha susanti................................................................................................ 26 Uji Kualitas Air Minum Pada Depot Air Minum Isi Ulang (damiu) Di Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang Yulia sari, henny helmi , rosha kurnia fembriyanto ........................................................................ 37 Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar Etanol Buah Belilik (brucea javanica (l) merr.) Terhadap Bakteri Enteropatogen Yuliana, henny helmi, idha susanti ................................................................................................. 48 Teknik Berburu Babi Hutan Oleh Orang Tionghoa Di Pulau Bangka Budi afriyansyah, yulian fahrurrozi, dhonna frilano ....................................................................66