PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA

advertisement
1
PERBANDINGAN EFEK ANALGESIA PASCABEDAH ANTARA
PEMBERIAN KETAMIN 0,15 mg/kgBB IV PRAINSISI DAN PASCABEDAH
PADA PASIEN OPERASI ORTOPEDI EKSTREMITAS BAWAH
COMPARISON OF POSTOPERATIVE ANALGESIC EFFECT BETWEEN
PREINCISIONAL AND POSTOPERATIVE ADMINISTRATION OF
INTRAVENOUS KETAMINE 0.15 mg/kg IN PATIENTS UNDERWENT
LOWER LIMB ORTHOPEDIC SURGERY
Asyikun Nasyid Room1, Syafri Kamsul Arif,1Andi Husni Tanra1,
Ilhamjaya Patellongi2, Muhammad Ramli Ahmad1
Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri, Fakultas
Kedokteran,Universitas Hasanuddin, Makassar
2
Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
1
Alamat korespondensi:
dr. Asyikun Nasyid Room
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP: 0811462620
E-mail: [email protected]
2
Abstrak
Peran ketamin sebagai komponen analgesia perioperatif masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan
membandingkan efek pemberian ketamin prainsisi, selama operasi dan 24 jam pascabedah dengan pemberian
ketamin selama 24 jam pascabedah terhadap kebutuhan morfin pascabedah. Penelitian dilakukan pada 50 pasien
ASA PS I dan II yang akan menjalani operasi ortopedi ekstremitas bawah dengan anestesi spinal. Subyek
penelitian dibagi secara acak dalam dua kelompok: Pra, mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV prainsisi + 0,1
mg/kg/jam selama operasi dan 24 jam pascabedah (n=23); dan Pasca, mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV
pascabedah + 0,1 mg/kg/jam selama 24 jam pascabedah (n=23). Empat subyek dikeluarkan karena operasi
memanjang (>2 jam). Kedua kelompok mendapatkan analgesia pascabedah morfin via patient-controlled
analgesia dengan loading dose 2 mg, bolus dose 1 mg dan lockout interval 7 menit. Jangka waktu pemberian
morfin pertama dihitung dari akhir operasi hingga saat pemberian morfin loading dose atas permintaan pasien;
konsumsi morfin pascabedah dihitung dalam 24 jam. Data dianalisis menggunakan Mann-Whitney U test dan
independent samples t-test, dengan tingkat kepercayaan 95% dan kemaknaan p<0,05. Tidak ada perbedaan yang
bermakna di antara kedua kelompok baik dalam waktu pemberian analgesik pertama (p=0,054) maupun
konsumsi morfin dalam 24 jam (p=0,351). Penelitian ini menyimpulkan bahwa waktu pemberian morfin pertama
dan konsumsi morfin pascabedah pada kelompok Pra tidak berbeda secara bermakna dibandingkan dengan
kelompok Pasca.
Kata kunci : ketamin, analgesia, pascabedah, morfin.
Abstract
The role of ketamine as a component of perioperative analgesia is still unclear. This study aimed to compare
effect of ketamine administration during preincisional, intraoperative, and 24 hours postoperative period with
ketamine administration during 24 hours postoperative period to postoperative morphine requirements. The
study was performed to 50 ASA PS class I and II patients underwent lower limb orthopedic surgery with spinal
anesthesia. The subjects was randomized into two groups: Pra, which get preincisional IV ketamine 0.15 mg/kg
+ 0.1 mg/kgBW during surgery and 24 hrs postoperatively (n=23); and Pasca, which get postoperative IV
ketamine 0.15 mg/kg + 0.1 mg/kgBW 24 hrs postoperatively (n=23). Four subjects were excluded due to
prolonged surgery (> 2 hrs). Both groups got morphine as postoperative analgesia via patient-controlled
analgesia device with 2 mg loading dose, 1 mg bolus dose, and 7 minutes lockout interval. Time to first
morphine administration was measured from the end of surgery to the time of morphine loading dose
administration on patient’s demand; postoperative morphine consumption was counted within 24 hours. The
data was analyzed using Mann-Whitney U test and independent samples t-test, with 95% CI and significancy
p<0.05. Neither time to first analgesic administration (p=0.054) nor morphine consumption within 24 hours
(p=0.351) were significantly different between two groups. The study concludes that time to first morphine
administration and postoperative morphine consumption in the Pra group (which get preventive administration
of ketamine) is not significantly different compared with the Pasca group.
Keywords : ketamine, analgesia, postoperative, morphine.
3
PENDAHULUAN
Meskipun pengetahuan tentang mekanisme nyeri pascabedah sudah mengalami
banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri pascabedah belum optimal dan masih sering
terabaikan. Diperkirakan nyeri tidak ditangani secara adekuat pada setengah dari semua
prosedur pembedahan. Sekitar 80% pasien yang menjalani pembedahan mengalami nyeri akut
pascabedah (Apfelbaum dkk., 2003). Empat puluh persen pasien mengalami nyeri sedang
hingga berat selama 24 jam pertama pascabedah (Beauregard dkk.,1998). Penelitian lainnya
melaporkan prevalensi nyeri pascabedah 41% mengalami nyeri sedang dan berat pada hari 14. Prevalensi nyeri sedang dan berat adalah 30-55% (Sommer dkk., 2008).
Berbagai modalitas telah dimanfaatkan dalam penatalaksanaan nyeri pascabedah;
salah satunya adalah ketamin. Pertama kali disintesis pada tahun 1963, ketamin telah lama
dikenal sebagai anestetik intravena. Efek antagonis ketamin pada reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA) menjadikan ketamin sebagai agen yang menarik minat para peneliti. Namun,
meskipun telah banyak bukti mutakhir seputar peran penting reseptor NMDA, penelitian
klinis seputar penggunaan ketamin dalam pengobatan nyeri pascabedah masih belum lengkap
(Hocking dkk., 2007).
Metaanalisis oleh Ong dkk. (2005) menyimpulkan bahwa pemberian preemtif
antagonis NMDA sistemik tidak terbukti memberikan efek menguntungkan yang bermakna.
Meskipun demikian hasil metaanalisis ini tetap meragukan. Tinjauan sistematik oleh Elia dkk.
(2005) mendapatkan tidak ada efek klinis pemberian ketamin yang bermakna terhadap skor
nyeri hingga 48 jam setelah pembedahan, tetapi ada efek pengurangan opioid yang bermakna
(30%). Tinjauan ini menyimpulkan bahwa meskipun telah banyak uji acak yang telah
dipublikasikan, peran ketamin sebagai komponen analgesia perioperatif masih belum jelas.
Penggunaan ketamin dosis tunggal sebagai analgesia ‘preemtif’ tidak akan
menghasilkan analgesia yang berlangsung lama hingga periode pascabedah, mengingat masa
kerja ketamin yang singkat. Karena itu beberapa pakar menganjurkan pemberian infus
ketamin setelah bolus dosis tunggal untuk adjuvan analgesia; di antaranya kombinasi
analgesia/anestesia epidural dan ketamin dosis rendah intravena untuk analgesia preemtif,
dengan pemberian yang berkesinambungan sejak sebelum insisi hingga setelah penutupan
kulit. Aida (2005) merekomendasikan kombinasi analgesia/anestesia epidural dan ketamin
dosis rendah intravena untuk analgesia preemtif, dengan pemberian yang berkesinambungan
sejak sebelum insisi hingga setelah penutupan kulit. Dosis ketamin yang direkomendasikan
adalah 1 mg/kg (dosis inisial) dan 0,5 mg/kg/jam (dosis kontinyu). Himmelseher dkk. (2005)
mengusulkan penjadwalan dosis ketamin sebagai analgesia tambahan untuk anestesia umum
4
dan PCA; dengan dosis 0,5 mg/kg sebelum insisi, 500 µg/kg/jam selama pembedahan, dan
120 µg/kg/jam selama 24 jam pascabedah.
Penelitian ini mencoba membandingkan efek pemberian ketamin 0,15 mg/kg prainsisi
(dilanjutkan dengan infus ketamin 0,1 mg/kg/jam selama operasi) dengan pemberian ketamin
0,15 mg/kg pascabedah terhadap kebutuhan morfin pascabedah. Kedua jenis perlakuan ini
dikombinasikan dengan infus ketamin 0,1 mg/kg/jam selama 24 jam pascabedah. Ini berbeda
dengan studi-studi yang telah dipublikasikan mengenai pengaruh ketamin terhadap kebutuhan
opioid yang membandingkan pemberian bolus ketamin prainsisi + infus ketamin vs plasebo
(Yamauchi dkk., 2008); bolus ketamin pascabedah + infus ketamin vs plasebo (Guillou dkk.,
2003), atau pemberian bolus ketamin prainsisi vs pascabedah (Kwok dkk., 2004). Penelitian
ini dipandang perlu mengingat ketamin sebagai agen anestesi klasik yang ada di hampir
semua rumah sakit, termasuk di rumah sakit dengan sumber daya terbatas, ternyata memiliki
potensi untuk dimanfaatkan sebagai modalitas penatalaksanaan nyeri pascabedah. Penelitian
ini membandingkan efektifitas ketamin dosis 0,15 mg/kg IV antara pemberian prainsisi dan
pascabedah dalam mengurangi kebutuhan analgesik morfin; dari perbandingan ini diharapkan
dapat diketahui penentuan waktu yang tepat untuk memberikan ketamin sebagai adjuvan
analgesia pascabedah.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, dari bulan April 2013 sampai dengan bulan
Juni 2013 di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Penelitian ini merupakan uji klinis
acak tersamar ganda (randomized double blind clinical trial).
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pasien yang akan menjalani pembedahan elektif
ekstremitas bawah dengan prosedur anestesi spinal di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo
Makassar selama masa penelitian. Sampel penelitian sebanyak 50 orang yang memenuhi
kriteria inklusi, yaitu pasien yang akan menjalani pembedahan elektif ekstremitas bawah
dengan prosedur anestesi spinal, ASA PS kelas 1 atau 2, usia 20-64 tahun, indeks massa tubuh
18-25 kg/m2, tinggi badan di atas 150 cm, tidak ada riwayat asma, tidak ada riwayat alergi
terhadap obat-obatan yang digunakan dalam penelitian ini, setuju ikut serta dalam penelitian
dan menandatangani surat persetujuan penelitian, dan mampu memahami penjelasan tentang
penggunaan patient-controlled analgesia (PCA). Sampel dibagi secara acak dalam dua
kelompok: kelompok Pra, yaitu kelompok yang mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV
5
bolus sebelum insisi (prainsisi) + 0,1 mg/kg/jam selama operasi dan 24 jam pascabedah; dan
kelompok Pasca, yaitu kelompok yang mendapatkan ketamin 0,15 mg/kgBB IV bolus setelah
operasi selesai (pascabedah) + 0,1 mg/kg/jam selama 24 jam pascabedah.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah sebelumnya mendapatkan rekomendasi
persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan FK UNHAS. Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti dibantu oleh peserta PPDS Anestesiologi FK-UNHAS. Pengukuran
jangka waktu pemberian morfin pertama pascabedah dihitung mulai dari akhir operasi
(ditandai dengan selesainya jahitan kulit terakhir) hingga saat pemberian morfin loading dose
2 mg atas permintaan pasien; konsumsi morfin pascabedah dihitung dengan menggunakan
alat PCA (Perfusor® Space, B.Braun AG Melsungen). Data pasien mengenai jangka waktu
pemberian analgesik pertama, konsumsi analgesik morfin dalam 24 jam pascabedah, serta
tekanan arteri rerata, laju jantung, laju napas, efek samping, dan skor nyeri, dicatat di dalam
lembar pengamatan.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program SPSS 17 for Windows.
Hasil pengolahan data ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. Karakteristik sampel
(umur, tinggi badan, IMT, lama operasi, dan ketinggian blok), dan konsumsi analgesik morfin
dalam 24 jam pascabedah dianalisis dengan menggunakan independent samples t-test; status
fisik, jenis kelamin dan kejadian efek samping dianalisis dengan menggunakan chi-square
test; jangka waktu pemberian analgesik pertama dan skor nyeri dianalisis dengan MannWhitney U test. Tingkat kemaknaan yang digunakan adalah 5%, artinya bila p<0,05 maka
perbedaan tersebut dinyatakan bermakna secara statistik, dengan interval kepercayaan 95%.
HASIL
Karakteristik Sampel
Dari 50 pasien yang diikutkan dalam penelitian ini sebanyak 4 pasien dikeluarkan
(drop-out) dari penelitian ini karena lama operasi lebih dari 2 jam; sehingga total ada 46
pasien yang menjalani prosedur penelitian ini, 23 pasien pada kelompok Pra dan 23 pasien
pada kelompok Pasca. Dari Tabel 1 dan 2 dapat dilihat bahwa tidak didapatkan perbedaan
bermakna dari data karakteristik sampel pada kedua kelompok penelitian.
Kebutuhan Analgesik Morfin Pascabedah
Hasil analisis statistik dapat dilihat pada Tabel 3 serta Grafik 1 dan 2. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa jangka waktu pemberian morfin pertama (yang identik dengan
6
waktu rescue analgesik) lebih panjang pada kelompok Pasca dibandingkan dengan kelompok
Pra, tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik. Sedangkan konsumsi analgesik
morfin dalam 24 jam pascabedah pada kelompok Pasca lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok Pra, tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Hemodinamik dan Laju Napas
Hasil pengamatan variasi TAR menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan TAR yang
bermakna secara statistik di antara kedua kelompok pada setiap waktu pengamatan. Pada
pengamatan variasi laju jantung ditemukan perbedaan yang bermakna secara statistik di antara
kedua kelompok pada waktu T2 (1 menit setelah pemberian bolus plasebo NaCl 0,9% pada
kelompok Pra dan ketamin 0,15 mg/kg pada kelompok Pasca setelah operasi selesai;
p=0,037) dan T1P (1 jam setelah operasi selesai; p=0,025) di mana pada kedua waktu tersebut
kelompok Pasca lebih tinggi daripada kelompok Pra. Hasil pengamatan variasi laju napas
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan laju napas yang bermakna secara statistik di antara
kedua kelompok pada setiap waktu pengamatan.
Efek Samping dan Skor Nyeri
Pada penelitian ini diamati pula timbulnya efek samping yang dapat ditimbulkan pada
penggunaan ketamin dan atau morfin (berupa PONV dan delirium) serta skor nyeri (NRS)
pada akhir pengamatan (24 jam pascabedah). Delirium teramati hanya pada satu sampel yang
masuk dalam kelompok Pasca, dan teramati pada satu kali pengamatan (12 jam pascabedah).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kejadian PONV di setiap waktu
pengamatan dan skor nyeri pada 24 jam pascabedah yang bermakna secara statistik di antara
kedua kelompok.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna secara
statistik baik pada waktu pemberian analgesik pertama maupun kebutuhan analgesik morfin
pascabedah pada kedua kelompok. Hasil ini mendukung hasil dari penelitian-penelitian
sebelumnya, termasuk tinjauan sistematik oleh Laskowski dkk. (2011) mengenai manfaat
penambahan ketamin intravena perioperatif untuk analgesia pascabedah. Tinjauan sistematik
ini menyimpulkan bahwa ketamin IV adalah tambahan yang efektif untuk analgesia
pascabedah, tetapi efek analgesia ketamin tidak tergantung pada jenis opioid yang digunakan
intraoperatif, waktu pemberian ketamin, dan dosis ketamin. Akan tetapi, hasil penelitian ini
berlawanan dengan tinjauan sistematik oleh Katz dkk. (2008) yang menyimpulkan bahwa
ketamin memiliki efek analgesia preventif pada periode pascabedah dini.
7
Penelitian ini menilai adanya efek analgesia preemtif (atau preventif) ketamin. Istilah
“analgesia preemtif” (“preemptive analgesia”) pertama kali dipublikasikan oleh Wall pada
tahun 1988, didefinisikan sebagai intervensi sebelum operasi untuk tujuan mencegah atau
mengurangi rasa sakit pascabedah dengan mencegah sensitisasi sentral (Aida, 2005). Kissin
(2000) mendefinisikan analgesia preemtif sebagai suatu penanganan antinosiseptif yang
mencegah terbentuknya perubahan proses input aferen yang meningkatkan nyeri pascabedah.
Jenis penatalaksanaan ini secara farmakologis menginduksi keadaan analgesia yang efektif
sebelum trauma pembedahan. Ini dapat mencakup infiltrasi pada luka dengan anestetik lokal,
blokade neural sentral, atau pemberian dosis efektif opioid, NSAID, atau ketamin. Bukti-bukti
eksperimental memberi kesan bahwa analgesia preemtif dapat secara efektif melemahkan
sensitisasi perifer dan sentral terhadap nyeri. Meskipun beberapa studi telah gagal
mendemonstrasikan analgesia preemtif pada manusia, studi-studi yang lain telah melaporkan
reduksi signifikan dalam kebutuhan analgesik pascabedah pada pasien yang mendapatkan
analgesia preemtif (Morgan dkk, 2006).
Efektifitas analgesia preemtif baik dengan menggunakan obat-obat analgesik utama
(seperti golongan opioid, NSAID) maupun obat-obat yang bersifat adjuvan (termasuk
antagonis reseptor NMDA seperti ketamin) hingga saat ini masih merupakan kontroversi.
Berbagai penelitian maupun tinjauan sistematik (metaanalisis) seputar efektifitas analgesia
preemtif memberikan hasil yang berlawanan. Di antaranya adalah metaanalisis oleh Ong dkk.
(2005) yang mencakup 66 RCT (3261 pasien) yang menyimpulkan bahwa pemberiaan
preemtif antagonis NMDA (dan opioid) sistemik tidak terbukti memberikan efek
menguntungkan yang bermakna. Meskipun demikian hasil metaanalisis ini tetap meragukan.
Sebelumnya Møiniche dkk. (2002) melakukan tinjauan sistematik terhadap 80 RCT mengenai
rejimen analgesik prainsisi vs pascainsisi untuk kontrol nyeri pascabedah. Tinjauan sistematik
ini menyimpulkan tidak ada perbaikan kontrol nyeri pascabedah yang diamati pada
penggunaan ketamin sistemik preemtif. Namun tinjauan sistematik yang lain menyimpulkan
bahwa dosis kecil ketamin merupakan adjuvan yang berguna untuk analgesia opioid
(Subramaniam dkk., 2004).
Ada dua faktor yang mungkin dapat menjelaskan hasil negatif pada studi-studi
tersebut. Pertama, efek menguntungkan dari ketamin mungkin tertutupi ketika obat ini
digunakan dengan dosis kecil (<0,15 mg/kg) dan dengan latar belakang analgesia multimodal
atau epidural. Kedua, jadwal dosisnya mungkin tidak adekuat. Studi-studi tersebut
membandingkan efek pemberian ketamin sebelum pembedahan dengan pemberian ketamin
setelah pembedahan untuk menguji sifat analgesia “preemtif”nya. Akan tetapi, sinyal
8
nosiseptif dan inflamasi dihasilkan sepanjang pembedahan dan setelah prosedur. Karenanya
injeksi tunggal obat kerja-pendek seperti ketamin baik sebelum atau setelah insisi tidak akan
menghasilkan analgesia yang berlangsung lama hingga periode pascaoperatif. Untuk
mencegah nyeri patologis, ketamin perlu diberikan setidaknya sepanjang operasi dan
sebaiknya untuk jangka waktu tertentu dalam fase pascaoperatif, sebagai upaya untuk
mengurangi sensitisasi jalur nyeri sentral dan perifer (Himmelseher dkk., 2005).
Atas
dasar
pemikiran
ini
Aida
(2005)
merekomendasikan
kombinasi
analgesia/anestesia epidural (sebagai analgesia spinal yang bekerja segmental) dan ketamin
dosis rendah intravena (sebagai analgesia supraspinal yang bekerja heterosegmental) untuk
analgesia preemtif, dengan pemberian yang berkesinambungan sejak sebelum insisi hingga
setelah penutupan kulit. Dosis ketamin yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg (dosis inisial)
dan 0,5 mg/kg/jam (dosis kontinyu). Himmelseher dkk. (2005) juga mengusulkan
penjadwalan dosis ketamin sebagai analgesia tambahan untuk anestesi umum dan PCA.
Penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya efek analgesia preventif dari ketamin;
hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perbedaan yang bermakna di antara kedua kelompok
dalam waktu pemberian analgesik pertama dan konsumsi analgesik morfin pascabedah.
Namun seperti halnya beberapa penelitian sebelumnya, tampaknya sulit untuk membuktikan
adanya efek analgesia preventif ketamin pada keadaan di mana efek potensial ketamin
tertutupi oleh analgesia multimodal atau epidural (pada penelitian ini, analgesia spinal). Kanal
ion reseptor NMDA harus terbuka atau “aktif” sebelum ketamin dapat berikatan dengan atau
berdisosiasi dari tempat berikatannya di dalam kanal (Hocking dkk., 2007); secara teoritis, hal
ini bisa menjelaskan mengapa pada analgesia (anestesi) spinal efek analgesia preventif
ketamin sulit untuk dibuktikan.
Penelitian ini tidak membandingkan antara kedua kelompok dengan kelompok kontrol
(kelompok yang tidak diberikan ketamin). Peneliti tidak membandingkan dengan kelompok
kontrol mengingat telah banyak studi-studi sebelumnya (baik uji klinis maupun tinjauan
sistematik/metaanalisis) yang menyimpulkan adanya efek opioid sparing dari penggunaan
ketamin untuk nyeri pascabedah. Bagaimanapun, ketiadaan kelompok kontrol menyebabkan
sulitnya membandingkan reduksi kebutuhan opioid antara kelompok yang mendapatkan
analgesia preventif ketamin dan kelompok yang hanya mendapatkan ketamin pascabedah; hal
ini menjadi salah satu kelemahan dari penelitian ini.
Penelitian ini juga mengamati hemodinamika pada kedua kelompok dan menemukan
adanya perbedaan laju jantung yang bermakna secara statistik pada waktu T2 (1 menit setelah
pemberian bolus plasebo NaCl 0,9% pada kelompok Pra dan ketamin 0,15 mg/kg pada
9
kelompok Pasca setelah operasi selesai) dan T1P (1 jam setelah operasi selesai) dimana
kelompok Pasca lebih tinggi daripada kelompok Pra. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat
bahwa pada kelompok Pasca pemberian bolus ketamin (yang secara teoritis dapat
menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis) dilakukan pada T2 (setelah operasi selesai),
keadaan di mana efek anestesi spinal telah mengalami regresi, sehingga efek stimulasi sistem
saraf simpatis berupa peningkatan laju jantung akan lebih nyata dibandingkan saat onset
anestesi spinal (yang diketahui menyebabkan blokade sistem saraf simpatis) baru saja tercapai
(T1). Namun peningkatan ini tidak bermakna secara klinis, karena nilai rerata laju jantung
pada kelompok Pasca masih dalam batas normal (79,4 ± 14,11 pada T2 dan 77,0 ± 12,61 pada
T1P).
Penelitian ini juga tidak menemukan adanya perbedaan yang bermakna dalam kejadian
PONV dan skor nyeri di antara kedua kelompok. Di samping itu delirium ditemukan hanya
pada satu pasien pada satu waktu pengamatan, dan tidak ditemukan timbulnya efek samping
penggunaan opioid morfin berupa depresi napas (laju napas < 10 x/menit). Pada tinjauan
sistematik oleh Bell dkk. (2006) disimpulkan bahwa di samping reduksi konsumsi opioid,
pemberian ketamin subanestetik perioperatif dapat menurunkan kejadian PONV, dengan efek
samping yang ringan atau bahkan tidak ada. Studi oleh Yamauchi dkk. (2008) menemukan
bahwa infus pascabedah ketamin 83 µg/kg/jam selama 24 jam menurunkan skor nyeri dan
kebutuhan analgesik secara bermakna, dengan skor PONV yang lebih rendah. Penurunan
kejadian PONV pada penggunaan ketamin dapat dihubungkan dengan berkurangnya
penggunaan analgesik opioid, sehingga mengurangi efek samping opioid.
KESIMPULAN DAN SARAN
Jangka waktu pemberian morfin pertama pascabedah dan konsumsi morfin
pascabedah pada kelompok ketamin 0,15 mg/kgBB intravena prainsisi + 0,1 mg/kgBB/jam
selama operasi dan 24 jam pascabedah tidak berbeda secara bermakna dibandingkan dengan
kelompok ketamin 0,15 mg/kgBB intravena pascabedah + 0,1 mg/kgBB/jam selama 24 jam
pascabedah. Perlu penelitian lebih lanjut pada penggunaan ketamin sebagai background
infusion bersama dengan PCA berbasis opioid pada pasien yang menjalani anestesi umum,
dan dengan menilai indikator-indikator yang lebih objektif, misalnya petanda-petanda
inflamasi dan respon stres. Peneliti menyarankan penggunaan ketamin 0,15 mg/kgBB
intravena pascabedah + 0,1 mg/kgBB/jam selama 24 jam pascabedah sebagai analgesia
adjuvan bersama PCA berbasis opioid pada pasien yang menjalani operasi ekstremitas bawah
dengan anestesi spinal.
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terlaksananya penelitian ini; khususnya kepada dr.Wahyudi, SpAn.-KAP, dr.A.M.Takdir
Musba, SpAn.-KMN, dan teman-teman sejawat peserta PPDS Anestesiologi FK-UNHAS.
11
DAFTAR PUSTAKA
Aida S. (2005). The challenge of preemptive analgesia. Pain:clinical updates (IASP), 13(2):
1-4.
Apfelbaum J.L., Chen C., Mehta S.S. & Gan T.J. (2003). Postoperative pain experience:
results from a national survey suggest postoperative pain continues to be
undermanaged. Anesthesia Analgesia, 97:534-540.
Beauregard L., Pomp A. & Choiniere M. (1998). Severity and impact of pain after daysurgery. Canadian Journal of Anesthesia, 65(4):304-311.
Bell R.F., Dahl J.B., Moore R.A. & Kalso E.A. (2006). Perioperative ketamine for acute
postoperative pain. Cochrane database of systematic reviews, 1, doi:
10.1002/14651858.CD004603.pub2.
Elia N. & Tramer M.R. (2005). Ketamine and postoperative pain—a quantitative systematic
review of randomised trials. Pain, 113(1-2):61–70.
Guillou N., Tanguy M., Seguin P., Branger B., Campion J.P. & Malledant Y. (2003). The
effects of small-dose ketamine on morphine consumption in surgical intensive
care unit patients after major abdominal surgery. Anesthesia Analgesia, 97:843–
847.
Himmelseher S. & Durieux M.E. (2005). Ketamine for perioperative pain management.
Anesthesiology, 102:211–220.
Hocking G., Visser E.J. & Schug S.A. (2007). Ketamine:does life begin at 40? Pain:clinical
updates (IASP), 15(3):1–6.
Katz J. & Clarke K. (2008). Preventive analgesia and beyond: current status, evidence and
future directions. In: Clinical Pain Management: Acute Pain edn. Macintyre PE,
Walher SM and Rowbotham D, J. (eds). London, Hodder Arnold.
Kissin I. (2000). Preemptive analgesia. Anesthesiology, 93:1138–1143.
Kwok R.F.K., Lim J., Chan M.T.V., Gin T. & Chiu W.K.Y. (2004). Preoperative ketamine
improves postoperative analgesia after gynecologic laparoscopic surgery.
Anesthesia Analgesia, 98:1044–1049.
Laskowski K., Stirling A., McKay W.P. & Lim H.J. (2011). A systematic review of
intravenous ketamine for postoperative analgesia. Canadian Journal of
Anesthesia; 58:911–923
Møiniche S., Kehlet H. & Dahl J.B. (2002). A qualitative and quantitative systematic review
of preemptive analgesia for postoperative pain relief—the role of timing of
analgesia. Anesthesiology; 96:725
Morgan G.E., Mikhail M.S. & Murray M.J. (2006). Pain management. Clinical
anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill
Companies.
Ong C.K., Lirk P., Seymour R.A. & Jenkins B.J. (2005). The efficacy of preemptive analgesia
for acute postoperative pain management: a meta-analysis. Anesthesia Analgesia,
100(3):757–773
Sommer M., de Rijke J.M., van Kleef M., Kessels A.G.H., Peters M.L., Geurts J.W., et al.
(2008). The prevalence of postoperative pain in a sample of 1490 surgical
inpatients. European Journal of Anaesthesiology [abstract]. [cited 2012 Sep 28],
25(4):267-274. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18053314
Subramaniam K., Subramaniam B. & Steinbrook R.A. (2004). Ketamine as adjuvant
analgesic to opioids: a quantitative and qualitative systematic review. Anesthesia
Analgesia, 99:482–495.
Yamauchi M., Asano M., Watanabe M., Iwasaki S., Furuse S. & Namiki, A. (2008).
Continuous low-dose ketamine improves the analgesic effects of fentanyl patient-
12
controlled analgesia after cervical spine surgery. Anesthesia Analgesia,
107(3):1041–1044.
13
LAMPIRAN
Tabel 1 Karakteristik sampel
Variabel
Kelompok Pra (n=23)
Kelompok Pasca (n=23)
p
Umur (tahun)
37,1 ± 14,01
36,9 ± 15,37
0,960
Tinggi badan (cm)
160,7 ± 5,27
159,4 ± 7,31
0,506
IMT (kg/m2)
22,45 ± 2,290
22,02 ± 2,756
0,569
Lama operasi (menit)
97,2 ± 22,06
89,2 ± 20,38
0,208
Ketinggian blok (Th)
6,0 ± 1,04
5,6 ± 1,30
0,323
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata (mean) ± simpang baku (standart deviation); probabilitas (nilai p) diuji
dengan independent sample t-test, p<0,05 dinyatakan bermakna.
Tabel 2 Karakteristik status fisik dan jenis kelamin
Variabel
ASA PS
PS 1
PS 2
Total
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Kelompok
Pra
6
17
23
18
5
23
Pasca
7
16
23
19
4
23
p
Total
13
33
46
37
9
46
0,743
0,710
Probabilitas (nilai p) diuji dengan chi-square test; p<0,05 dinyatakan bermakna
Tabel 3 Kebutuhan analgesik morfin pascabedah
Variabel
Jangka waktu pemberian morfin pertama
(menit)
Konsumsi morfin pascabedah (mg/24 jam)
Konsumsi morfin pascabedah (mg/kgBB/24
jam)
†
Kelompok Pra (n=23)
Kelompok Pasca
(n=23)
p
172 (64 – 543) †
196 (115 – 1152) †
0,054
23,4 ± 12,80
‡
0,400 ± 0,2046
19,8 ± 13,49
‡
‡
0,356 ± 0,2475
0,351
‡
0,515
Data disajikan dalam nilai median (minimum – maksimum); probabilitas (nilai p) diuji dengan Mann-Whitney U
test, p<0,05 dinyatakan bermakna
‡
Data disajikan dalam bentuk nilai rerata (mean) ± simpang baku (standart deviation); probabilitas (nilai p) diuji
dengan independent sample t-test, p<0,05 dinyatakan bermakna.
14
Grafik 1 Jangka waktu pemberian analgesik pertama pada kedua kelompok (p=0,054)
Grafik 2 Konsumsi analgesik morfin pascabedah pada kedua kelompok
Download