11 BAB I I KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang kualitas hidup, komitmen dan kepuasan kerja sebelumnya telahdilakukan oleh Ari Husnawati (2006) dengan judul penelitian : ”Analisis Pengaruh Kualitas KehidupanKerja Terhadap Kinerja Karyawan denganKomitmen dan Kepuasan Kerja SebagaiIntervening Variabel(Studi Pada Perum Pegadaian Kanwil VI Semarang)”, Penelitian ini dilakukan sebagai usaha untuk melihat pengaruh kualitaskehidupan kerja terhadap kinerja karyawan baik secara langsung maupun secaratidak langsung melalui variabel intervenning komitmen dan kepuasan kerja. Daripenelitian yang telah dilakukan diperoleh dukungan yang signifikan bahwakualitas kehidupan kerja secara langsung maupun tidak langsung berpengaruhpada kinerja karyawan.Penelitian ini memberikan bukti bahwa aplikasi program kualitaskehidupan kerja melalui dimensi-dimensi pertumbuhan dan pengembangan,partisipasi, upah dan keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akanberpengaruh pada peningkatan kinerja karyawan. Semakin baik aplikasi programini maka semakin tinggi pula kinerja yang ditunjukkan. Penelitian ini juga membuktikan bahwa aplikasi program kualitaskehidupan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan komimen organisasionaldan selanjutnya berpengaruh pada kinerja karyawan.Semakin kuat komitmenorganisasional maka semakin aik pula kinerja karyawan yang 11 12 bersangkutan.Aplikasi program kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh padakepuasan kerja yang selanjutnya mempengaruhi kinerja karyawan.Semakin tinggitingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perusahaan, maka semakin baik pulakinerja ditunjukkan oleh karyawan. Joko Suhartanto (2010), dengan judul : “Analisis Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Kinerja Guru di SMK Negeri 2 Surakarta”. Penelitian empiris ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kualitas kehidupan kerja terhada kinerja pegawai dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai intervening variabel dengan sampel guru di SMK Negeri 2 Surakarta.Sebanyak 96 kuesioner dibagikan kepada responden dan digunaklan sebagai analisis stastistik. Pengukuran kualitas kehidupan kerja terdiri dari empat dimensi : pertumbuhan dan pengembangan, upah dan keuntungan, partisipasi kerja lingkungan kerja dan diadopsi dari konsep Walton (1974). Tiga komponen model dan pengukurankomitmen organisasi diadopsi dari Allen dan Meyer (2000) yaitu afektif komitmen, kontinuan komitmen serta normative komitmen. Kepuasan kerja terdiri dari lima factor yaitu pekerjaan itu sendiri, upah, promosi, hubungan dengan atasan dan rekan kerja (Smith, Kednall dan Hulin, 1969). Sedangkan kinerja pegawai terdiri dari enam faktor : kualitas, kuantitas, keahlian, pengetahuan, ketepatan waktu dan komunikasi. Hasil analisis Structural Equation Model (SEM) menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kinerja. Implikasi dan agenda penelitian yang akan datang juga disertakan. Hasil yang didapat bahwa variabel-variabel 13 dalam penelitian mempunyai keterkaitan yang positif dan pengaruh yang signifikan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Mutamimah Retno Utami (2010) yang berjudul : “Pengaruh Kualitas Kehidupan Guru dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Guru SMP Negeri 8 Semarang”, hasil penelitian yang didapat adalah : 1. Ada pengaruh yang signifikan kualitas kehidupan guru terhadap kinerja guru SMP Negeri 8 Semarang sebesar 4,28% yang diperoleh dari nilai partial sebesar 0,429. 2. Ada pengaruh yang signifikan kepuasan kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri 8 Semarang sebesar 3,95% yang diperoleh dari nilai partial sebesar 0,395. 3. Ada pengaruh yang signifikan antara kualitas kehidupan gurudan kepuasan kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri 8 Semarang sebesar 68,3%. 4. Kualitas kehidupan gurulebih berpengaruh terhadap kinerja guru dibandingkan kepuasan kerja. Besarnya sumbangan yang diberikan variabel kualitas kehidupan gurusebesar 27,1% dan iklim sekolah sebesar 17,2%. 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Kinerja Organisasi 2.2.1.1. Pengertian Kinerja Kinerja (performance)sudah menjadi kata popular yang sangat menarik dalam pembicaraan manajemen publik.Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat 14 dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (per-individu) dan kinerja organisasi.Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi tersebut (Bastian, 2001). Kinerja dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentuorganisasi. Dalam kerangka organisasi terdapat hubungan antara kinerja perorangan (individual Performance) dengan kinerja organisasi (Organization Performance). Organisasi pemerintah maupun swasta besar maupun kecil dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus melalui kegiatan-kegiatan yang digerakkan oleh orang atau sekelompok orang yang aktif berperan sebagai pelaku, dengan kata lain tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena adanya upaya yang dilakukan oleh orang dalam organisasi tersebut. 2.2.1.2. Pengertian Organisasi Organisasi merupakan suatu struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.Menurut Pradjudi Armosudiro organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu. 15 “organisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat seseorang / beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok orang yang disebut dengan bawahan.”(Armosudiro,2006) Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu organisasi di bentuk karena mempunyai dasar dan tujuan yang ingin dicapai, sebagaimana yang dikemukakan oleh James D Mooney: Organisasi adalah bentuk perserikatan manusia untuk mencapai suatu tujuan bersama.akan tetapi perlu kita fahami bahwa yang menjadi dasar organisasi,bukan “siapa” akan tetapi “apanya” yang berarti bahwa yang dipentingkan bukan siapa orang yang akan memegang organisasi ,tetapi “apakah”tugas dari organisasi.(Money, 2006) Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat. Organisasi yang dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti pengambilan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga menekan angka pengangguran. 2.2.1.3. Pengertian Kinerja Organisasi Kinerja organisasi merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai dan mencerminkan keberhasilan suatu organisasi, serta merupakan hasil yang dicapai dari perilaku anggota organisasi. 16 Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumbersumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. “Kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu organisasi tercapainya tujuan organisasi berarti bahwa, kinerja suatu organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya”.(Surjadi,2009:7) Menurut Baban Sobandi Kinerja organisasi merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact. (Sobandi, 2006:176). Hasil kerja yang dicapai oleh suatu instansi dalam menjalankan tugasnya dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact dengan tanggung jawab dapat mempermudah arah penataan organisasi pemerintahan. Adanya hasil kerja yang dicapai oleh instansi dengan penuh tanggung jawab akan tercapai peningkatan kinerja yang efektif dan efisien. Organisasi pemerintahan menggunakan alat, teori yang digunakan yaitu teori kinerja dari Baban Sobandi dan para ahli lainnya dalam bukunya yang berjudul Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, berikut adalah indikator kinerja organisasi menurut baban Sobandi (2006) adalah : 17 1. Keluaran (Output) 2. Hasil 3. Kaitan Usaha dengan Pencapaian 4. Informasi Penjelas Pertama, keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.Suatu kegiatan yang berupa fisik maupun non fisik yang diharapkan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Kelompok keluaran (output) meliputi dua hal. Pertama, kualitas pelayanan yang diberikan, indikator ini mengukur kuantitas fisik pelayanan.Kedua, kuantitas pelayanan yang diberikan yang memenuhi persyaratan kualitas tertentu.Indikator ini mengukur kuantitas fisik pelayanan yang memenuhi uji kualitas. Kedua, hasil adalah mengukur pencapaian atau hasil yang terjadi karena pemberian layanan.segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).Maka segala sesuatu kegiatan yang dilakukan atau dilaksanakan pada jangka menengah harus dapat memberikan efek langsung dari kegiatan tersebut.Kelompok hasil, mengukur pencapaian atau hasil yang terjadi karena pemberian layanan, kelompok ini mencakup ukuran persepsi publik tentang hasil. Ketiga, kaitan usaha dengan pencapaian adalah ukuran efisiensi yang mengkaitkan usaha dengan keluaran pelayanan. Berdasarkan pengertian diatas, maka Mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, danmemberi informasi tentang keluaran di tingkat tertentu dari penggunaan sumber daya, menunjukan efisiensi relatif suatu unit jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya, tujuan yang ditetapkan secara internal, norma atau standar yang 18 bisa diterima atau hasil yang bisa dihasilkan setara. Indikator yang mengaitkan usaha dengan pencapaian, meliputi dua hal.Pertama, ukuran efisiensi yang mengaitkan usaha dengan keluaran pelayanan, indikator ini mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, dan memberi informasi tentang keluaran ditingkat tertentu dari penggunaan sumber daya di lingkungan organisasi.Kedua, ukuran biaya hasil yang menghubungkan usaha dan hasil pelayanan, ukuran ini melaporkan biaya per unit hasil, dan mengaitkan biaya dengan hasil sehingga managemen publik dan masyarakat bisa mengukur nilai pelayanan yang telah diberikan. Keempat, informasi penjelas adalah suatu informasi yang harus disertakan dalam pelaporan kinerja yang mencakup informasi kuantitatif dan naratif. Membantu pengguna untuk memahami ukuran kinerja yang dilaporkan, menilai kinerja suatu organisasi, dan mengevaluasi signifikansi faktor yang akan mempengaruhi kinerja yang dilaporkan. Ada dua jenis informasi penjelas yaitu pertama, faktor substansial yang ada diluar kontrol seperti karakteristiklingkungan dan demografi.Kedua, faktor yang dapat dikontrol seperti pengadaan staf. 2.2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi Kinerja dalam lingkup organisasi adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh suatu organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat kinerjanya. Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. Kinerja organisasi tidak lepas dari 19 faktor-faktor yang dapat mempengaruhi. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi. semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan semakin tinggi tingkat kinerja organisasi tersebut. Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan ruangan, dan kebersihan. Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan. Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi dan lainnya.(Ruky, 2001:7) Diatas menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja organisasi dalam pencapaian pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh sebuah organisasi atau instansi pemerintahan. Meningkatkan kinerja dalam sebuah organisasi atau instansi pemerintah merupakan tujuan atau target yang ingin dicapai oleh organisasi dan instansi pemerintah dalam memaksimalkan suatu kegiatan yang telah di tetapkan sebelumnya. Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi pemerinthan tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. kinerja tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Keith Davis dalam buku Anwar Prabu Mangkunegara. 1. Faktor Kemampuan Ability Secara psikologis, kemampuan ability terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality knowledge+skill. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang 20 2. memadai untuk jabatan dan terampil dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari maka akan mudah menjalankan kinerja maksimal. Faktor motivasi Motivation Motivasi diartiakan sebagai suatu sikap attitude piminan dan karyawan terhadap situasi kerja situation dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif fro terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka berpikir negatif kontra terhadap situasi kerjanya akan menunjukan pada motivasi kerja yang rendah. Situasi yang dimaksud meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.(Mangkunegara, 2006:13) Berdasarkan pengertian diatas bahwa suatu kinerja organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat berjalannya suatu pencapaian kinerja yang maksimal faktor tersebut meliputi faktor yang berasal dari intern maunpun ekstern. 2.2.2. Kualitas Kehidupan Kerja Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan salah satubentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola organisasi pada umumnyadan sumberdaya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerjamerupakan cara pandang manajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsurpokok dalam filsafat tersebut ialah: kepedulian manajemen tentang dampakpekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para pegawai dalampemecahan keputusan teutama yang menyangkut pekerjaan, karier, penghasilan dan nasibmereka dalam pekerjaan. Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja.Pandanganpertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah 21 sejumlah keadaan danpraktek dari tujuan organisasi. Contohnya: perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis,keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang aman. Sementara yang lainnya menyatakanbahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi pegawai bahwa mereka inginmerasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh danberkembang selayaknya manusia (Wayne, 2002 dalam Arifin, 2009). Konsepkualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan terhadap manusiadalam lingkungan kerjanya.Dengan demikian peran penting dari kualitas kerja adalahmengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan manusiawi membawa kepadakualitas kehidupan kerja yang lebih baik (Luthansm, 2005). Istilah kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada KonferensiBuruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapat perhatian setelah United AutoWorkers dan General Motor berinisiatif mengadopsi praktek kualitas kehidupan kerjauntuk mengubah sistem kerja.Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja. Di satu sisidikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek daritujuan organisasi (perkayaan kerja, penyeliaan yang demokratis, keterlibatanpekerja dan kondisi kerja yang nyaman). Sementara pandangan yang lain menyatakanbahwa kualitas kehidupan kerja adalah persepsi-persepsi pegawai bahwa mereka inginmerasa aman, secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu untuk tumbuhdan berkembang sebagai layaknya manusia (Cascio, 2001 ) Konsep kualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaanterhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian peran penting darikualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim organisasi agar 22 secara tehnis danmanusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih baik (Luthans, 2005 ). Kualitas kehidupan kerja merumuskan bahwa setiap proses kebijakan yang diputuskanoleh organisasi merupakan sebuah respon atas apa yang menjadi keinginan dan harapanpegawai mereka, hal itu diwujudkan dengan berbagi persoalan dan menyatukanpandangan mereka (organisasi dan pegawai) ke dalam tujuan yang sama yaitupeningkatan kinerja pegawai dan organisasi. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu bentuk filsafat yang diterapkan olehmanajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya manusia padakhususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandangmanajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur pokok dalam filsafattersebut adalah : kepedulian manajemen tentang dampak pekerjaan pada manusia,efektifitas organisasi serta pentingnya para pegawai dalam pemecahan masalah danpengambilan keputusan terutama yang menyangkut pekerjaan, karir, penghasilan dannasib mereka dalam pekerjaan. (Arifin, 2009). Penelitian oleh Elmuti (2007)menunjukkan bahwa implementasi aided selfmanajemen team (bentuk lain dari kualitaskehidupan kerja) menunjukkan dampak positif pada kinerja pegawai Ada empat indikator dalam pengukuran kualitas kehidupan kerja yangdikembangkan oleh Walton (dalam Zin 2004) tetapi dalam penelitian ini hanya akandigunakan empat indikator saja, yaitu : 1. Pertumbuhan dan pengembangan, yaitu terdapatnya kemungkinan untukmengembangkan kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk menggunakanketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki pegawai 23 2. 3. 4. Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat dalampengambilan keputusan yang mempengaruhi langsung maupun tidak langsungterhadap pekerjaan Sistem imbalan yang inovatif, yaitu bahwa imbalan yang diberikan kepada pegawaimemungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai kebutuhannya sesuai denganstandard hidup pegawai yang bersangkutan dan sesuai dengan standard pengupahandan penggajian yang berlaku di pasaran kerja Lingkungan kerja, yaitu tersedianya lingkungan kerja yang kondusif, termasuk didalamnya penetapan jam kerja, peraturan yang berlaku kepemimpinan sertalingkungan fisik 2.2.3. Budaya Organisasi 2.2.3.1. Pengertian Budaya Organisasi Menurut Alisyahbana (dalam Supartono, 2004:31) budaya merupakan manifestasi dari cara berfikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat luas sebab semua tingkah laku dan perbuatan, mencakup di dalamnya perasaan karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran. Kemudian Peruci dan Hamby (dalam Tampubolon, 2004:184) mendefisinisikan budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian sejarah dari objek-objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan budaya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran berupa pengetahuan, kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, dan moral yang kemudian dilakukan dalam kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat dimana segala hasil pemikiran tersebut didapatkan melalui interaksi manusia dengan manusia yang lain di dalam kehidupan bermasyarakat maupun interaksi manusia dengan alam. 24 Sobirin (2002: 7) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial atau entitas yang didirikan oleh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama,beranggotakan sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan tertentu mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas dengan entitas lainnya. Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah suatu kelompok yang menghimpun anggota-anggota yang memiliki satu tujuan tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan dimana dalam kelompok tersebut memiliki struktur yang memuat unit-unit kerja sebagai pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan sejenis dari yang mudah hingga yang terberat dimana setiap unit memiliki volume dan beban kerja yang harus diwujudkan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam pencapaian tujuan tersebut dibutuhkan koordinasi dalam pelaksanaan kerjasama yang berdasarkan prosedur yang telah diatur secara formal. Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi yang banyak digunakan dalam bidang antropologi.Dewasa ini, dalam pandangan antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna. Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (2004) bahwa dulu orang berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak 25 lama disingkirkan.Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.Kini budaya dipandang sebagai sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia. Dari sini timbul pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ?Marvin Bower seperti disampaikain oleh Alan Cowling dan Philip James (2006), secara ringkas memberikan pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”. Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha (2007)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that members of community share in common”. Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam tulisannya tentangOrganizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya sebagai: “ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems. Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari pengertian budaya yaitu shared basicassumptions atau menganggap pasti terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan) 26 merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material yang diperoleh suatu komunitas. Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe dalam Taliziduhu (2007) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya (2005) memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut : “…setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain, bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya. Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat tertentu.” Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1) nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan (5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (2007) bahwa : “ a value system is learned organization rules to help one choose between alternatives, solve conflict, and make decision.” Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam. Namun menerima dan memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.Dengan 27 demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.Menurut Sathe dalam Taliziduhu Ndraha (2007) bahwashared basic assumptions meliputi : (1) shared things; (2) shared saying, (3) shared doing;dan (4) shared feelings. Pada bagian lain, Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires resurrection, reexamination, frame breaking. Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sejak lebih dari seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku organisasi. Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat dibagi ke dalam dua dimensi yaitu : 1. 2. Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction. Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d) developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and 28 punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and religion. Pada bagian lain, Schein (2002) mengetengahkan sepuluh karateristik budaya organisasi, mencakup : Observe behavior: language, customs, traditions; Groups norms: standards and values; Espoused values: published, publicly announced values; Formal philosophy: mission; Rules of the game: rules to all in organization; Climate: climate of group in interaction; embedded skills; Habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for socialization; 8. Shared meanings of the group; dan 9. metaphors or symbols. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sementara itu, Luthan (2005) mengetengahkan enam karakteristik penting dari budaya organisasi, yaitu : 1. Obeserved behavioral regularities;yakni keberaturan cara bertindak dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu; 2. Norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus dilakukan; 3. Dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi; 4. Philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan 5. Rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan organisasi 6. Organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall “feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi jumlah 29 karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil. Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Namara (2002) mengemukakan bahwa: Dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya. Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi, nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image, produk dan sebagainya. 2.2.3.2. Proses Pembentukan Budaya Organisasi Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha (2007) menginventarisir sumber-sumber pembentuk budaya organisasi, diantaranya : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pendiri organisasi; Pemilik organisasi; Sumber daya manusia asing; Luar organisasi; Orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan Masyarakat. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan cara: (1) kontak budaya; (2) benturan budaya; dan (3) penggalian budaya. Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun 30 memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima nilai-nilai baru dalam organisasi. Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit. Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai kelompok dan apa yang dimaksudkan dengannya. Para manajer bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus. Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment) tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di lingkungan organisasinya. 31 Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau “buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu dilakukan.Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin diperlukan. Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui sejumlah proses belajar yang telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and Business Strategy yang dikutip oleh Cahyono (2006) mengemukakan empat alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi. Selanjutnya Cahyono (2006) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat; (3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi kecil tetapi berkembang pesat. 32 Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang. 2.2.3.3. Elemen Budaya Organisasi Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen budaya organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat perilaku. 1. Elemen Idealistik Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan menjadi pedoman untuk menentukan arah tujuan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi. Elemen idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk pernyataanvisi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideologi organisasi tetap lestari. Schein (2002) dan Rosseau (2000) mengatakan elemen idealistik tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih 33 esensial yakni asumsi dasar yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan keabsahanya. 2. Elemen Behavioural Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul kepermukaan dalam bentuk perilaku sehari-sehari para anggotanya, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur instansi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadangkadang tidak sama dengan interpretasi orang-orang yang terlibat langsung dalam organisasi. 2.2.3.6. Budaya Organisasi yang Kuat Deal dan Kennedy (2002) dalam bukunya Corporate Culture mengemukakan bahwa ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya organisasi kuat sebagai berikut: 1. Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik. 2. Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam instansi digariskan dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di dalam instansi sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif. 34 3. Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh orang-orang yang bekerja dalam instansi, dari mereka yang berpangkat paling rendah sampai pada pimpinan tertinggi. 4. Organisasi/instansi memberikan tempat khusus kepada pahlawan-pahlawan instansi dan secara sistematis menciptakan bermacam-macam tingkat pahlawan, misalnya, pemberi saran terbaik, inovator tahun ini, dan sebagainya. 5. Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual yang mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk menghadiri acara-acara ritual ini. 6. Memiliki jaringan kulturul yang menampung cerita-cerita kehebatan para pahlawannya. 2.2.3.7. Fungsi dan Karakteristik Budaya Organisasi Robbins (2002) dalam bukunya Organizational Behavior membagi lima fungsi budaya organisasi, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Berperan menetapkan batasan. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada kepentingan individual seseorang. Meningkatkan stabilitas system sosial karena merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi. Sebagai mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan. 35 Menurut Robbins (dalam Tika, 2006: 10) terdapat beberapa karakteristik yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi. Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai. Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan, sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi. Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unitunit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut Handoko (2003 : 195) koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan. Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan pelatihan. Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko (2003: 360) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi tercapai. Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasikerja pegawai, bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya. Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi terhadap konflik tersebut. 36 9. Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik. Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil yang lebih efektif. 2.3. Kerangka Pikir Penelitian Komitmen dan kepuasan kerja dapat mengarahkan pada kinerja pegawai, dimanakinerja pegawai yang tinggi terdapat di dalam kepuasan kerja yang lebih tinggi.Sebaliknya di dalam kinerja pegawai yang buruk terdapat kepuasan kerja yang lebihburuk (Ostroff, 2002). Dengan kata lain, dalam kinerja pegawai yang meningkat yangbermula dari investasi organisasi ada kontribusi komitmen dan kepuasan kerja pegawai pada organisasi. Oleh karena itu semakin tinggi potensi kontribusi komitmendan kepuasan kerja dalam suatu organisasi, semakin mungkin organisasiakanberinvestasi dalam kualitas kehidupan kerja dan bahwa investasi ini akan mengarah padaproduktivitas individual dan kinerja pegawai yang lebih tinggi (Pruijt, 2003). Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerjasangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positiforganisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan merekamemiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil.Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasitersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organisasi tersebut secarakeseluruhan. 37 Sesuai dengan judul dan konsep dalam penelitian ini, serta untuk memudahkan pemahaman tentang alur penelitian ini maka model kerangka pikir yang menggambarkan hubungan antar variabel dapat digambarkan sebagai berikut : Kualitas KehidupanKerja (X1) Kinerja Organisasi (Y) Budaya Organisasi (X2) Gambar 2.1 Model Kerangka Pikir Penilitian 2.4. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang mana kebenaran hipotesis tersebut harus dibuktikan melalui pengujian hipotesis. Berdaar rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian yang diajukan adalah : 1. Secara simultan variabel kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi di LingkunganSatuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan. 38 1). Ho = tidak pengaruh terhadap Kualitas Kehidupan Kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja organisasi dilingkungan satuan polisi pamong praja kabupaten lamongan. H1 = ada pengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi terhadap kinerja organisasi dilingkungan satuan polisi pamong praja kabupaten lamongan. 2. Ho1 = tidak pengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja. Ho2 = tidak pengaruh terhadap budaya kerja. H1 = ada pengaruh budaya kerja. H2 = ada pengaruh budaya kerja terhadap kualitas kerja. 2. Secara parsial variabel kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi di LingkunganSatuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan.