bab ii kajian pustaka

advertisement
11
BAB I I
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang kualitas hidup, komitmen dan kepuasan kerja
sebelumnya telahdilakukan oleh Ari Husnawati (2006) dengan judul penelitian :
”Analisis Pengaruh Kualitas KehidupanKerja Terhadap Kinerja Karyawan
denganKomitmen dan Kepuasan Kerja SebagaiIntervening Variabel(Studi Pada
Perum Pegadaian Kanwil VI Semarang)”, Penelitian ini dilakukan sebagai usaha
untuk melihat pengaruh kualitaskehidupan kerja terhadap kinerja karyawan baik
secara langsung maupun secaratidak langsung melalui variabel intervenning
komitmen dan kepuasan kerja. Daripenelitian yang telah dilakukan diperoleh
dukungan yang signifikan bahwakualitas kehidupan kerja secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruhpada kinerja karyawan.Penelitian ini
memberikan bukti bahwa aplikasi program kualitaskehidupan kerja melalui
dimensi-dimensi
pertumbuhan
dan
pengembangan,partisipasi,
upah
dan
keuntungan serta lingkungan kerja di dalam perusahaan akanberpengaruh pada
peningkatan kinerja karyawan. Semakin baik aplikasi programini maka semakin
tinggi pula kinerja yang ditunjukkan.
Penelitian
ini
juga
membuktikan
bahwa
aplikasi
program
kualitaskehidupan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan komimen
organisasionaldan selanjutnya berpengaruh pada kinerja karyawan.Semakin kuat
komitmenorganisasional maka semakin aik pula kinerja karyawan yang
11
12
bersangkutan.Aplikasi program kualitas kehidupan kerja juga berpengaruh
padakepuasan kerja yang selanjutnya mempengaruhi kinerja karyawan.Semakin
tinggitingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perusahaan, maka semakin baik
pulakinerja ditunjukkan oleh karyawan.
Joko Suhartanto (2010), dengan judul : “Analisis Pengaruh Kualitas
Kehidupan Kerja terhadap Kinerja Guru di SMK Negeri 2 Surakarta”. Penelitian
empiris ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kualitas kehidupan kerja
terhada kinerja pegawai dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai intervening
variabel dengan sampel guru di SMK Negeri 2 Surakarta.Sebanyak 96 kuesioner
dibagikan kepada responden dan digunaklan sebagai analisis stastistik.
Pengukuran kualitas kehidupan kerja terdiri dari empat dimensi : pertumbuhan
dan pengembangan, upah dan keuntungan, partisipasi kerja lingkungan kerja dan
diadopsi
dari
konsep
Walton
(1974).
Tiga
komponen
model
dan
pengukurankomitmen organisasi diadopsi dari Allen dan Meyer (2000) yaitu
afektif komitmen, kontinuan komitmen serta normative komitmen. Kepuasan
kerja terdiri dari lima factor yaitu pekerjaan itu sendiri, upah, promosi, hubungan
dengan atasan dan rekan kerja (Smith, Kednall dan Hulin, 1969). Sedangkan
kinerja pegawai terdiri dari enam faktor : kualitas, kuantitas, keahlian,
pengetahuan, ketepatan waktu dan komunikasi. Hasil analisis Structural Equation
Model (SEM) menunjukkan bahwa kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh
langsung dan tidak langsung terhadap kinerja. Implikasi dan agenda penelitian
yang akan datang juga disertakan. Hasil yang didapat bahwa variabel-variabel
13
dalam penelitian mempunyai keterkaitan yang positif dan pengaruh yang
signifikan.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Mutamimah Retno Utami
(2010) yang berjudul : “Pengaruh Kualitas Kehidupan Guru dan Kepuasan Kerja
terhadap Kinerja Guru SMP Negeri 8 Semarang”, hasil penelitian yang didapat
adalah :
1.
Ada pengaruh yang signifikan kualitas kehidupan guru terhadap kinerja guru
SMP Negeri 8 Semarang sebesar 4,28% yang diperoleh dari nilai partial
sebesar 0,429.
2.
Ada pengaruh yang signifikan kepuasan kerja terhadap kinerja guru SMP
Negeri 8 Semarang sebesar 3,95% yang diperoleh dari nilai partial sebesar
0,395.
3.
Ada pengaruh yang signifikan antara kualitas kehidupan gurudan kepuasan
kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri 8 Semarang sebesar 68,3%.
4.
Kualitas
kehidupan
gurulebih
berpengaruh
terhadap
kinerja
guru
dibandingkan kepuasan kerja. Besarnya sumbangan yang diberikan variabel
kualitas kehidupan gurusebesar 27,1% dan iklim sekolah sebesar 17,2%.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Kinerja Organisasi
2.2.1.1. Pengertian Kinerja
Kinerja (performance)sudah menjadi kata popular yang sangat menarik
dalam pembicaraan manajemen publik.Konsep kinerja pada dasarnya dapat dilihat
14
dari dua segi, yaitu kinerja pegawai (per-individu) dan kinerja organisasi.Kinerja
adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan tugas dalam suatu
organisasi, dalam upaya mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi
tersebut (Bastian, 2001).
Kinerja dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses tertentu
yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumber-sumber
tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan hasil dari
serangkaian
proses
kegiatan
yang
dilakukan
untuk
mencapai
tujuan
tertentuorganisasi. Dalam kerangka organisasi terdapat hubungan antara kinerja
perorangan (individual Performance) dengan kinerja organisasi (Organization
Performance). Organisasi pemerintah maupun swasta besar maupun kecil dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus melalui kegiatan-kegiatan yang
digerakkan oleh orang atau sekelompok orang yang aktif berperan sebagai pelaku,
dengan kata lain tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena
adanya upaya yang dilakukan oleh orang dalam organisasi tersebut.
2.2.1.2. Pengertian Organisasi
Organisasi merupakan suatu struktur pembagian kerja dan struktur tata
hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama
secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.Menurut Pradjudi
Armosudiro organisasi adalah struktur pembagian kerja dan struktur tata
hubungan kerja antara sekelompok orang pemegang posisi yang bekerjasama
secara tertentu untuk bersama-sama mencapai tujuan tertentu.
15
“organisasi ialah setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih
yang bekerja bersama serta secara formal terikat dalam rangka pencapaian
suatu tujuan yang telah ditentukan dalam ikatan yang mana terdapat
seseorang / beberapa orang yang disebut atasan dan seorang / sekelompok
orang yang disebut dengan bawahan.”(Armosudiro,2006)
Organisasi adalah sekelompok orang (dua atau lebih) yang secara formal
dipersatukan dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Suatu organisasi di bentuk karena mempunyai dasar dan tujuan yang ingin
dicapai, sebagaimana yang dikemukakan oleh James D Mooney:
Organisasi adalah bentuk perserikatan manusia untuk mencapai suatu
tujuan bersama.akan tetapi perlu kita fahami bahwa yang menjadi dasar
organisasi,bukan “siapa” akan tetapi “apanya” yang berarti bahwa yang
dipentingkan bukan siapa orang yang akan memegang organisasi ,tetapi
“apakah”tugas dari organisasi.(Money, 2006)
Sebuah organisasi dapat terbentuk karena dipengaruhi oleh beberapa aspek
seperti penyatuan visi dan misi serta tujuan yang sama dengan perwujudan
eksistensi sekelompok orang tersebut terhadap masyarakat. Organisasi yang
dianggap baik adalah organisasi yang dapat diakui keberadaannya oleh
masyarakat disekitarnya, karena memberikan kontribusi seperti pengambilan
sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai anggota-anggotanya sehingga
menekan angka pengangguran.
2.2.1.3. Pengertian Kinerja Organisasi
Kinerja organisasi merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat
dicapai dan mencerminkan keberhasilan suatu organisasi, serta merupakan hasil
yang dicapai dari perilaku anggota organisasi.
16
Kinerja bisa juga dikatakan sebagai sebuah hasil (output) dari suatu proses
tertentu yang dilakukan oleh seluruh komponen organisasi terhadap sumbersumber tertentu yang digunakan (input). Selanjutnya, kinerja juga merupakan
hasil dari serangkaian proses kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan
tertentu organisasi. Bagi suatu organisasi, kinerja merupakan hasil dari kegiatan
kerjasama diantara anggota atau komponen organisasi dalam rangka mewujudkan
tujuan organisasi.
“Kinerja organisasi adalah totalitas hasil kerja yang dicapai suatu
organisasi tercapainya tujuan organisasi berarti bahwa, kinerja suatu
organisasi itu dapat dilihat dari tingkatan sejauh mana organisasi dapat
mencapai tujuan yang didasarkan pada tujuan yang sudah ditetapkan
sebelumnya”.(Surjadi,2009:7)
Menurut Baban Sobandi Kinerja organisasi merupakan sesuatu yang telah
dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan
input, output, outcome, benefit, maupun impact. (Sobandi, 2006:176).
Hasil kerja yang dicapai oleh suatu instansi dalam menjalankan tugasnya
dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome,
benefit, maupun impact dengan tanggung jawab dapat mempermudah arah
penataan organisasi pemerintahan. Adanya hasil kerja yang dicapai oleh instansi
dengan penuh tanggung jawab akan tercapai peningkatan kinerja yang efektif dan
efisien. Organisasi pemerintahan menggunakan alat, teori yang digunakan yaitu
teori kinerja dari Baban Sobandi dan para ahli lainnya dalam bukunya yang
berjudul Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, berikut
adalah indikator kinerja organisasi menurut baban Sobandi (2006) adalah :
17
1. Keluaran (Output)
2. Hasil
3. Kaitan Usaha dengan Pencapaian
4. Informasi Penjelas
Pertama, keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung
dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau pun non fisik.Suatu kegiatan
yang berupa fisik maupun non fisik yang diharapkan dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat. Kelompok keluaran (output) meliputi dua hal. Pertama, kualitas
pelayanan
yang
diberikan,
indikator
ini
mengukur
kuantitas
fisik
pelayanan.Kedua, kuantitas pelayanan yang diberikan yang memenuhi persyaratan
kualitas tertentu.Indikator ini mengukur kuantitas fisik pelayanan yang memenuhi
uji kualitas.
Kedua, hasil adalah mengukur pencapaian atau hasil yang terjadi karena
pemberian layanan.segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).Maka segala sesuatu kegiatan
yang dilakukan atau dilaksanakan pada jangka menengah harus dapat memberikan
efek langsung dari kegiatan tersebut.Kelompok hasil, mengukur pencapaian atau
hasil yang terjadi karena pemberian layanan, kelompok ini mencakup ukuran
persepsi publik tentang hasil.
Ketiga, kaitan usaha dengan pencapaian adalah ukuran efisiensi yang
mengkaitkan usaha dengan keluaran pelayanan. Berdasarkan pengertian diatas,
maka Mengukur sumber daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran,
danmemberi informasi tentang keluaran di tingkat tertentu dari penggunaan
sumber daya, menunjukan efisiensi relatif suatu unit jika dibandingkan dengan
hasil sebelumnya, tujuan yang ditetapkan secara internal, norma atau standar yang
18
bisa diterima atau hasil yang bisa dihasilkan setara. Indikator yang mengaitkan
usaha dengan pencapaian, meliputi dua hal.Pertama, ukuran efisiensi yang
mengaitkan usaha dengan keluaran pelayanan, indikator ini mengukur sumber
daya yang digunakan atau biaya per unit keluaran, dan memberi informasi tentang
keluaran ditingkat tertentu dari penggunaan sumber daya di lingkungan
organisasi.Kedua, ukuran biaya hasil yang menghubungkan usaha dan hasil
pelayanan, ukuran ini melaporkan biaya per unit hasil, dan mengaitkan biaya
dengan hasil sehingga managemen publik dan masyarakat bisa mengukur nilai
pelayanan yang telah diberikan.
Keempat, informasi penjelas adalah suatu informasi yang harus disertakan
dalam pelaporan kinerja yang mencakup informasi kuantitatif dan naratif.
Membantu pengguna untuk memahami ukuran kinerja yang dilaporkan, menilai
kinerja suatu organisasi, dan mengevaluasi signifikansi faktor yang akan
mempengaruhi kinerja yang dilaporkan. Ada dua jenis informasi penjelas yaitu
pertama, faktor substansial yang ada diluar kontrol seperti karakteristiklingkungan
dan demografi.Kedua, faktor yang dapat dikontrol seperti pengadaan staf.
2.2.1.4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Organisasi
Kinerja dalam lingkup organisasi adalah hasil kerja yang telah dicapai oleh
suatu organisasi dalam melakukan suatu pekerjaan dapat dievaluasi tingkat
kinerjanya. Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi tergantung
bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. Kinerja organisasi tidak lepas dari
19
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi. Berikut adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja organisasi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang
digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa yang dihasilkan oleh
organisasi. semakin berkualitas teknologi yang digunakan, maka akan
semakin tinggi tingkat kinerja organisasi tersebut.
Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi.
Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penataan
ruangan, dan kebersihan.
Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada
dalam organisasi yang bersangkutan.
Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota
organisasi agar bekerja sesuai dengan standar dan tujuan organisasi.
Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi,
imbalan, promosi dan lainnya.(Ruky, 2001:7)
Diatas menjelaskan mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja organisasi dalam pencapaian pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh
sebuah organisasi atau instansi pemerintahan. Meningkatkan kinerja dalam sebuah
organisasi atau instansi pemerintah merupakan tujuan atau target yang ingin
dicapai oleh organisasi dan instansi pemerintah dalam memaksimalkan suatu
kegiatan yang telah di tetapkan sebelumnya.
Berhasil tidaknya tujuan dan cita-cita dalam organisasi pemerinthan
tergantung bagaimana proses kinerja itu dilaksanakan. kinerja tidak lepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhi. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Keith Davis dalam buku
Anwar Prabu Mangkunegara.
1.
Faktor Kemampuan Ability Secara psikologis, kemampuan ability
terdiri dari kemampuan potensi IQ dan kemampuan reality
knowledge+skill. Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ
superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang
20
2.
memadai untuk jabatan dan terampil dalam menjalankan pekerjaan
sehari-hari maka akan mudah menjalankan kinerja maksimal.
Faktor motivasi Motivation Motivasi diartiakan sebagai suatu sikap
attitude piminan dan karyawan terhadap situasi kerja situation
dilingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif fro terhadap
situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya
jika mereka berpikir negatif kontra terhadap situasi kerjanya akan
menunjukan pada motivasi kerja yang rendah. Situasi yang dimaksud
meliputi hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan
pimpinan,
pola
kepemimpinan
kerja
dan
kondisi
kerja.(Mangkunegara, 2006:13)
Berdasarkan pengertian diatas bahwa suatu kinerja organisasi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor pendukung dan penghambat berjalannya suatu
pencapaian kinerja yang maksimal faktor tersebut meliputi faktor yang berasal
dari intern maunpun ekstern.
2.2.2. Kualitas Kehidupan Kerja
Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life (QWL) merupakan
salah satubentuk fisafat yang diterapkan manajemen dalam mengelola organisasi
pada umumnyadan sumberdaya manusia pada khususnya. Sebagai filsafat,
kualitas kehidupan kerjamerupakan cara pandang manajemen tentang manusia,
pekerja dan organisasi. Unsur-unsurpokok dalam filsafat tersebut ialah:
kepedulian manajemen tentang dampakpekerjaan pada manusia, efektifitas
organisasi serta pentingnya para pegawai dalampemecahan keputusan teutama
yang menyangkut pekerjaan, karier, penghasilan dan nasibmereka dalam
pekerjaan.
Ada dua pandangan mengenai maksud dari kualitas kehidupan
kerja.Pandanganpertama mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah
21
sejumlah keadaan danpraktek dari tujuan organisasi. Contohnya: perkayaan kerja,
penyeliaan yang demokratis,keterlibatan pekerja dan kondisi kerja yang aman.
Sementara yang lainnya menyatakanbahwa kualitas kehidupan kerja adalah
persepsi-persepsi pegawai bahwa mereka inginmerasa aman, secara relatif merasa
puas dan mendapat kesempatan mampu tumbuh danberkembang selayaknya
manusia (Wayne, 2002 dalam Arifin, 2009).
Konsepkualitas kehidupan kerja mengungkapkan pentingnya penghargaan
terhadap manusiadalam lingkungan kerjanya.Dengan demikian peran penting dari
kualitas kerja adalahmengubah iklim kerja agar organisasi secara teknis dan
manusiawi membawa kepadakualitas kehidupan kerja yang lebih baik (Luthansm,
2005).
Istilah kualitas kehidupan kerja pertama kali diperkenalkan pada
KonferensiBuruh Internasional pada tahun 1972, tetapi baru mendapat perhatian
setelah United AutoWorkers dan General Motor berinisiatif mengadopsi praktek
kualitas kehidupan kerjauntuk mengubah sistem kerja.Ada dua pandangan
mengenai maksud dari kualitas kehidupan kerja.
Di satu sisidikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah sejumlah
keadaan dan praktek daritujuan organisasi (perkayaan kerja, penyeliaan
yang demokratis, keterlibatanpekerja dan kondisi kerja yang nyaman).
Sementara pandangan yang lain menyatakanbahwa kualitas kehidupan
kerja adalah persepsi-persepsi pegawai bahwa mereka inginmerasa aman,
secara relatif merasa puas dan mendapat kesempatan mampu untuk
tumbuhdan berkembang sebagai layaknya manusia (Cascio, 2001 )
Konsep
kualitas
kehidupan
kerja
mengungkapkan
pentingnya
penghargaanterhadap manusia dalam lingkungan kerjanya. Dengan demikian
peran penting darikualitas kehidupan kerja adalah mengubah iklim organisasi agar
22
secara tehnis danmanusiawi membawa kepada kualitas kehidupan kerja yang lebih
baik (Luthans, 2005 ).
Kualitas kehidupan kerja merumuskan bahwa setiap proses kebijakan yang
diputuskanoleh organisasi merupakan sebuah respon atas apa yang menjadi
keinginan dan harapanpegawai mereka, hal itu diwujudkan dengan berbagi
persoalan dan menyatukanpandangan mereka (organisasi dan pegawai) ke dalam
tujuan yang sama yaitupeningkatan kinerja pegawai dan organisasi.
Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu bentuk filsafat yang diterapkan
olehmanajemen dalam mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya
manusia padakhususnya. Sebagai filsafat, kualitas kehidupan kerja merupakan
cara pandangmanajemen tentang manusia, pekerja dan organisasi. Unsur-unsur
pokok dalam filsafattersebut adalah : kepedulian manajemen tentang dampak
pekerjaan pada manusia,efektifitas organisasi serta pentingnya para pegawai
dalam pemecahan masalah danpengambilan keputusan terutama yang menyangkut
pekerjaan, karir, penghasilan dannasib mereka dalam pekerjaan. (Arifin, 2009).
Penelitian oleh Elmuti (2007)menunjukkan bahwa implementasi aided selfmanajemen team (bentuk lain dari kualitaskehidupan kerja) menunjukkan dampak
positif pada kinerja pegawai
Ada empat indikator dalam pengukuran kualitas kehidupan kerja
yangdikembangkan oleh Walton (dalam Zin 2004) tetapi dalam penelitian ini
hanya akandigunakan empat indikator saja, yaitu :
1.
Pertumbuhan dan pengembangan, yaitu terdapatnya kemungkinan
untukmengembangkan kemampuan dan tersedianya kesempatan untuk
menggunakanketrampilan atau pengetahuan yang dimiliki pegawai
23
2.
3.
4.
Partisipasi, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat
dalampengambilan keputusan yang mempengaruhi langsung maupun
tidak langsungterhadap pekerjaan
Sistem imbalan yang inovatif, yaitu bahwa imbalan yang diberikan
kepada pegawaimemungkinkan mereka untuk memuaskan berbagai
kebutuhannya sesuai denganstandard hidup pegawai yang
bersangkutan dan sesuai dengan standard pengupahandan penggajian
yang berlaku di pasaran kerja
Lingkungan kerja, yaitu tersedianya lingkungan kerja yang kondusif,
termasuk didalamnya penetapan jam kerja, peraturan yang berlaku
kepemimpinan sertalingkungan fisik
2.2.3. Budaya Organisasi
2.2.3.1. Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Alisyahbana (dalam Supartono, 2004:31) budaya merupakan
manifestasi dari cara berfikir, sehingga menurutnya pola kebudayaan itu sangat
luas sebab semua tingkah laku dan perbuatan, mencakup di dalamnya perasaan
karena perasaan juga merupakan maksud dari pikiran.
Kemudian
Peruci
dan
Hamby
(dalam
Tampubolon,
2004:184)
mendefisinisikan budaya adalah segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, dan
diciptakan oleh manusia dalam masyarakat, serta termasuk pengakumulasian
sejarah dari objek-objek atau perbuatan yang dilakukan sepanjang waktu.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan budaya
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran berupa pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, nilai-nilai, dan moral yang kemudian dilakukan dalam
kehidupan baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat dimana
segala hasil pemikiran tersebut didapatkan melalui interaksi manusia dengan
manusia yang lain di dalam kehidupan bermasyarakat maupun interaksi manusia
dengan alam.
24
Sobirin (2002: 7) mendefinisikan organisasi sebagai unit sosial atau entitas
yang didirikan oleh manusia dalam jangka waktu yang relatif lama,beranggotakan
sekelompok manusia-manusia minimal dua orang, mempunyai kegiatan yang
terkoordinir, teratur dan terstruktur, didirikan untuk mencapai tujuan tertentu
mempunyai identitas diri yang membedakan satu entitas dengan entitas lainnya.
Dari pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi adalah
suatu kelompok yang menghimpun anggota-anggota yang memiliki satu tujuan
tertentu dan bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan dimana dalam
kelompok tersebut memiliki struktur yang memuat unit-unit kerja sebagai
pengelompokan tugas-tugas atau pekerjaan sejenis dari yang mudah hingga yang
terberat dimana setiap unit memiliki volume dan beban kerja yang harus
diwujudkan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam pencapaian tujuan tersebut
dibutuhkan koordinasi dalam pelaksanaan kerjasama yang berdasarkan prosedur
yang telah diatur secara formal.
Pemahaman tentang budaya organisasi sesungguhnya tidak lepas dari
konsep dasar tentang budaya itu sendiri, yang merupakan salah satu terminologi
yang banyak digunakan dalam bidang antropologi.Dewasa ini, dalam pandangan
antropologi sendiri, konsep budaya ternyata telah mengalami pergeseran makna.
Sebagaimana dinyatakan oleh C.A. Van Peursen (2004) bahwa dulu orang
berpendapat budaya meliputi segala manifestasi dari kehidupan manusia yang
berbudi luhur dan yang bersifat rohani, seperti : agama, kesenian, filsafat, ilmu
pengetahuan, tata negara dan sebagainya. Tetapi pendapat tersebut sudah sejak
25
lama disingkirkan.Dewasa ini budaya diartikan sebagai manifestasi kehidupan
setiap orang dan setiap kelompok orang-orang.Kini budaya dipandang sebagai
sesuatu yang lebih dinamis, bukan sesuatu yang kaku dan statis. Budaya tidak
tidak diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih dimaknai sebagai sebuah
kata kerja yang dihubungkan dengan kegiatan manusia.
Dari sini timbul
pertanyaan, apa sesungguhnya budaya itu ?Marvin Bower seperti disampaikain
oleh Alan Cowling dan Philip James (2006), secara ringkas memberikan
pengertian budaya sebagai “cara kita melakukan hal-hal di sini”.
Menurut Vijay Santhe sebagaimana dikutip oleh Taliziduhu Ndraha
(2007)_budaya adalah : “ The set of important assumption (often unstated) that
members of community share in common”.
Secara umum namun operasional, Edgar Schein (2002) dari MIT dalam
tulisannya tentangOrganizational Culture & Leadership mendefinisikan budaya
sebagai:
“ A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved
its problems of external adaptation and internal integration, that has
worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to
new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to
those problems.
Dari Vijay Sathe dan Edgar Schein, kita temukan kata kunci dari
pengertian budaya yaitu
shared basicassumptions atau menganggap pasti
terhadap sesuatu. Taliziduhu Ndraha mengemukakan bahwa asumsi meliputi
beliefs (keyakinan) dan value (nilai). Beliefs merupakan asumsi dasar tentang
dunia dan bagaimana dunia berjalan. Duverger sebagaimana dikutip oleh Idochi
Anwar dan Yayat Hidayat Amir (2000) mengemukakan bahwa belief (keyakinan)
26
merupakan state of mind (lukisan fikiran) yang terlepas dari ekspresi material
yang diperoleh suatu komunitas.
Value (nilai) merupakan suatu ukuran normatif yang mempengaruhi
manusia untuk melaksanakan tindakan yang dihayatinya. Menurut Vijay Sathe
dalam Taliziduhu (2007) nilai merupakan “ basic assumption about what ideals
are desirable or worth striving for.” Sementara itu, Moh Surya
(2005)
memberikan gambaran tentang nilai sebagai berikut :
“…setiap orang mempunyai berbagai pengalaman yang memungkinkan
dia berkembang dan belajar. Dari pengalaman itu, individu mendapatkan
patokan-patokan umum untuk bertingkah laku. Misalnya, bagaimana cara
berhadapan dengan orang lain, bagaimana menghormati orang lain,
bagimana memilih tindakan yang tepat dalam satu situasi, dan sebagainya.
Patokan-patokan ini cenderung dilakukan dalam waktu dan tempat
tertentu.”
Pada bagian lain dikemukakan pula bahwa nilai mempunyai fungsi : (1)
nilai sebagai standar; (2) nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan
keputusan; (3) nilai sebagai motivasi; (4) nilai sebagai dasar penyesuaian diri; dan
(5) nilai sebagai dasar perwujudan diri. Hal senada dikemukakan oleh Rokeach
yang dikutip oleh Danandjaya dalam Taliziduhu Ndraha (2007) bahwa : “ a value
system is learned organization rules to help one choose between alternatives,
solve conflict, and make decision.”
Dalam budaya organisasi ditandai adanya sharing atau berbagi nilai dan
keyakinan yang sama dengan seluruh anggota organisasi. Misalnya berbagi nilai
dan keyakinan yang sama melalui pakaian seragam.
Namun menerima dan
memakai seragam saja tidaklah cukup. Pemakaian seragam haruslah membawa
rasa bangga, menjadi alat kontrol dan membentuk citra organisasi.Dengan
27
demikian, nilai pakaian seragam tertanam menjadi basic.Menurut Sathe dalam
Taliziduhu Ndraha (2007) bahwashared basic assumptions meliputi : (1) shared
things; (2) shared saying, (3) shared doing;dan (4) shared feelings.
Pada bagian lain, Schein (2002) menyebutkan bahwa basic assumption
dihasilkan melalui : (1) evolve as solution to problem is repeated over and over
again; (2) hypothesis becomes reality, dan (3) to learn something new requires
resurrection, reexamination, frame breaking.
Dengan memahami konsep dasar budaya secara umum di atas, selanjutnya
kita akan berusaha memahami budaya dalam konteks organisasi atau biasa disebut
budaya organisasi (organizational culture). Adapun pengertian organisasi di sini
lebih diarahkan dalam pengertian organisasi formal. Dalam arti, kerja sama yang
terjalin antar anggota memiliki unsur visi dan misi, sumber daya, dasar hukum
struktur, dan anatomi yang jelas dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Sejak lebih dari
seperempat abad yang lalu, kajian tentang budaya
organisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan ahli maupun praktisi
manajemen, terutama dalam rangka memahami dan mempraktekkan perilaku
organisasi.
Edgar Schein (2002) mengemukakan bahwa budaya organisasi dapat
dibagi ke dalam dua dimensi yaitu :
1.
2.
Dimensi external environments; yang didalamnya terdapat lima hal
esensial yaitu: (a) mission and strategy; (b) goals; (c) means to
achieve goals; (d) measurement; dan (e) correction.
Dimensi internal integration yang di dalamnya terdapat enam aspek
utama, yaitu : (a) common language; (b) group boundaries for
inclusion and exclusion; (c) distributing power and status; (d)
developing norms of intimacy, friendship, and love; (e) reward and
28
punishment; dam (f) explaining and explainable : ideology and
religion.
Pada bagian lain, Schein (2002) mengetengahkan sepuluh karateristik
budaya organisasi, mencakup :
Observe behavior: language, customs, traditions;
Groups norms: standards and values;
Espoused values: published, publicly announced values;
Formal philosophy: mission;
Rules of the game: rules to all in organization;
Climate: climate of group in interaction; embedded skills;
Habits of thinking, acting, paradigms: shared knowledge for
socialization;
8. Shared meanings of the group; dan
9. metaphors or symbols.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sementara itu, Luthan (2005) mengetengahkan enam karakteristik penting
dari budaya organisasi, yaitu :
1. Obeserved behavioral regularities;yakni keberaturan cara bertindak
dari para anggota yang tampak teramati. Ketika anggota organisasi
berinteraksi dengan anggota lainnya, mereka mungkin menggunakan
bahasa umum, istilah, atau ritual tertentu;
2. Norms; yakni berbagai standar perilaku yang ada, termasuk di
dalamnya tentang pedoman sejauh mana suatu pekerjaan harus
dilakukan;
3. Dominant values; yaitu adanya nilai-nilai inti yang dianut bersama
oleh seluruh anggota organisasi, misalnya tentang kualitas produk
yang tinggi, absensi yang rendah atau efisiensi yang tinggi;
4. Philosophy; yakni adanya kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan
keyakinan organisasi dalam memperlakukan pelanggan dan karyawan
5. Rules; yaitu adanya pedoman yang ketat, dikaitkan dengan kemajuan
organisasi
6. Organization climate; merupakan perasaan keseluruhan (an overall
“feeling”) yang tergambarkan dan disampaikan melalui kondisi tata
ruang, cara berinteraksi para anggota organisasi, dan cara anggota
organisasi memperlakukan dirinya dan pelanggan atau orang lain
Dari ketiga pendapat di atas, kita melihat adanya perbedaan pandangan
tentang karakteristik budaya organisasi, terutama dilihat dari segi
jumlah
29
karakteristik budaya organisasi. Kendati demikian, ketiga pendapat tersebut
sesungguhnya tidak menunjukkan perbedaan yang prinsipil.
Budaya organisasi dapat dipandang sebagai sebuah sistem. Namara (2002)
mengemukakan bahwa:
Dilihat dari sisi in put, budaya organisasi mencakup umpan balik (feed
back) dari masyarakat, profesi, hukum, kompetisi dan sebagainya.
Sedangkan dilihat dari proses, budaya organisasi mengacu kepada asumsi,
nilai dan norma, misalnya nilai tentang : uang, waktu, manusia, fasilitas
dan ruang. Sementara dilihat dari out put, berhubungan dengan pengaruh
budaya organisasi terhadap perilaku organisasi, teknologi, strategi, image,
produk dan sebagainya.
2.2.3.2. Proses Pembentukan Budaya Organisasi
Selanjutnya, kita akan membicarakan tentang proses terbentuknya budaya
dalam organisasi. Munculnya gagasan-gagasan atau jalan keluar yang kemudian
tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi bisa bermula dari mana pun, dari
perorangan atau kelompok, dari tingkat bawah atau puncak. Taliziduhu Ndraha
(2007)
menginventarisir
sumber-sumber
pembentuk
budaya
organisasi,
diantaranya :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pendiri organisasi;
Pemilik organisasi;
Sumber daya manusia asing;
Luar organisasi;
Orang yang berkepentingan dengan organisasi (stake holder); dan
Masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa proses budaya dapat terjadi dengan
cara: (1) kontak budaya; (2)
benturan budaya; dan (3)
penggalian budaya.
Pembentukan budaya tidak dapat dilakukan dalam waktu yang sekejap, namun
30
memerlukan waktu dan bahkan biaya yang tidak sedikit untuk dapat menerima
nilai-nilai baru dalam organisasi.
Setelah mapan, budaya organisasi sering mengabadikan dirinya dalam
sejumlah hal. Calon anggota kelompok mungkin akan disaring berdasarkan
kesesuaian nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Kepada anggota
organisasi yang baru terpilih bisa diajarkan gaya kelompok secara eksplisit.
Kisah-kisah atau legenda-legenda historis bisa diceritakan terus menerus untuk
mengingatkan setiap orang tentang nilai-nilai
kelompok dan apa yang
dimaksudkan dengannya.
Para manajer
bisa secara eksplisit berusaha bertindak sesuai dengan
contoh budaya dan gagasan budaya tersebut. Begitu juga, anggota senior bisa
mengkomunikasikan nilai-nilai pokok mereka secara terus menerus dalam
percakapan sehari-hari atau melalui ritual dan perayaan-perayaan khusus.
Orang-orang yang berhasil mencapai gagasan-gagasan yang tertanam
dalam budaya ini dapat terkenal dan dijadikan pahlawan. Proses alamiah dalam
identifikasi diri dapat mendorong anggota muda untuk mengambil alih nilai dan
gaya mentor mereka. Barangkali yang paling mendasar, orang yang mengikuti
norma-norma budaya akan diberi imbalan (reward) sedangkan yang tidak, akan
mendapat sanksi (punishment). Imbalan (reward) bisa berupa materi atau pun
promosi jabatan dalam organisasi tertentu sedangkan untuk sanksi (punishment)
tidak hanya diberikan berdasar pada aturan organisasi yang ada semata, namun
juga bisa berbentuk sanksi sosial. Dalam arti, anggota tersebut menjadi isolated di
lingkungan organisasinya.
31
Dalam suatu organisasi sesungguhnya tidak ada budaya yang “baik” atau
“buruk”, yang ada hanyalah budaya yang “cocok” atau “tidak cocok” . Jika dalam
suatu organisasi memiliki budaya yang cocok, maka manajemennya lebih
berfokus pada upaya pemeliharaan nilai-nilai- yang ada dan perubahan tidak perlu
dilakukan.Namun jika terjadi kesalahan dalam memberikan asumsi dasar yang
berdampak terhadap rendahnya kualitas kinerja, maka perubahan budaya mungkin
diperlukan.
Karena budaya ini telah berevolusi selama bertahun-tahun melalui
sejumlah proses belajar yang
telah berakar, maka mungkin saja sulit untuk
diubah. Kebiasaan lama akan sulit dihilangkan. Walaupun demikian, Howard
Schwartz dan Stanley Davis dalam bukunya Matching Corporate Culture and
Business Strategy yang dikutip oleh Cahyono (2006) mengemukakan empat
alternatif pendekatan terhadap manajemen budaya organisasi, yaitu : (1) lupakan
kultur; (2) kendalikan disekitarnya; (3) upayakan untuk mengubah unsur-unsur
kultur agar cocok dengan strategi; dan (4) ubah strategi.
Selanjutnya Cahyono (2006) dengan mengutip pemikiran Alan Kennedy
dalam bukunya Corporate Culture mengemukan bahwa terdapat lima alasan
untuk membenarkan perubahan budaya secara besar-besaran : (1) Jika organisasi
memiliki nilai-nilai yang kuat namun tidak cocok dengan lingkungan yang
berubah; (2) Jika organisasi sangat bersaing dan bergerak dengan kecepatan kilat;
(3) Jika organisasi berukuran sedang-sedang saja atau lebih buruk lagi; (4) Jika
organisasi mulai memasuki peringkat yang sangat besar; dan (5) Jika organisasi
kecil tetapi berkembang pesat.
32
Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa jika tidak ada satu pun alasan
yang cocok dengan di atas, jangan lakukan perubahan. Analisisnya terhadap
sepuluh kasus usaha mengubah budaya menunjukkan bahwa hal ini akan
memakan biaya antara 5 sampai 10 persen dari yang telah dihabiskan untuk
mengubah perilaku orang. Meskipun demikian mungkin hanya akan didapatkan
setengah perbaikan dari yang diinginkan. Dia mengingatkan bahwa hal itu akan
memakan biaya lebih banyak lagi. dalam bentuk waktu, usaha dan uang.
2.2.3.3. Elemen Budaya Organisasi
Terlepas dari adanya perbedaan seberapa banyak elemen budaya
organisasi dari setiap ahli, secara umum elemen budaya organisasi terdiri dari dua
elemen pokok yaitu elemen yang bersifat idealistik dan elemen yang bersifat
perilaku.
1.
Elemen Idealistik
Elemen idealistik umumnya tidak tertulis, bagi organisasi yang masih
kecil melekat pada diri pemilik dalam bentuk doktrin, falsafah hidup, atau
nilai-niali individual pendiri atau pemilik organisasi dan menjadi pedoman
untuk menentukan arah tujuan menjalankan kehidupan sehari-hari organisasi.
Elemen idealistik ini biasanya dinyatakan secara formal dalam bentuk
pernyataanvisi atau misi organisasi, tujuannya tidak lain agar ideologi
organisasi tetap lestari.
Schein (2002) dan Rosseau (2000) mengatakan elemen idealistik tidak
hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih
33
esensial yakni asumsi dasar yang bersifat diterima apa adanya dan dilakukan
diluar kesadaran, asumsi dasar tidak pernah dipersoalkan atau diperdebatkan
keabsahanya.
2.
Elemen Behavioural
Elemen bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul
kepermukaan dalam bentuk perilaku sehari-sehari para anggotanya, logo atau
jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa
dipahami oleh orang luar organisasi dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan
arsitektur instansi. Bagi orang luar organisasi, elemen ini sering dianggap
sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi sebab elemen ini mudah
diamati, dipahami dan diinterpretasikan, meski interpretasinya kadangkadang tidak sama dengan interpretasi orang-orang yang terlibat langsung
dalam organisasi.
2.2.3.6. Budaya Organisasi yang Kuat
Deal
dan
Kennedy
(2002)
dalam
bukunya
Corporate
Culture
mengemukakan bahwa ciri-ciri organisasi yang memiliki budaya organisasi kuat
sebagai berikut:
1.
Anggota-anggota organisasi loyal kepada organisasi, tahu dan jelas apa tujuan
organisasi serta mengerti perilaku mana yang dipandang baik dan tidak baik.
2.
Pedoman bertingkah laku bagi orang-orang di dalam instansi digariskan
dengan jelas, dimengerti, dipatuhi dan dilaksanakan oleh orang-orang di
dalam instansi sehingga orang-orang yang bekerja menjadi sangat kohesif.
34
3.
Nilai-nilai yang dianut organisasi tidak hanya berhenti pada slogan, tetapi
dihayati dan dinyatakan dalam tingkah laku sehari-hari secara konsisten oleh
orang-orang yang bekerja dalam instansi, dari mereka yang berpangkat paling
rendah sampai pada pimpinan tertinggi.
4.
Organisasi/instansi memberikan tempat khusus kepada pahlawan-pahlawan
instansi dan secara sistematis menciptakan bermacam-macam tingkat
pahlawan, misalnya, pemberi saran terbaik, inovator tahun ini, dan
sebagainya.
5.
Dijumpai banyak ritual, mulai yang sangat sederhana sampai dengan ritual
yang mewah. Pemimpin organisasi selalu mengalokasikan waktunya untuk
menghadiri acara-acara ritual ini.
6.
Memiliki jaringan kulturul yang menampung cerita-cerita kehebatan para
pahlawannya.
2.2.3.7. Fungsi dan Karakteristik Budaya Organisasi
Robbins (2002) dalam bukunya Organizational Behavior membagi lima
fungsi budaya organisasi, sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Berperan menetapkan batasan.
Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi.
Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dari pada
kepentingan individual seseorang.
Meningkatkan stabilitas system sosial karena merupakan perekat
sosial yang membantu mempersatukan organisasi.
Sebagai mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
35
Menurut Robbins (dalam Tika, 2006: 10) terdapat beberapa karakteristik
yang apabila dicampur dan dicocokkan maka akan menjadi budaya internal yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Inisiatif individu yaitu sejauh mana organisasi memberikan kebebasan
kepada setiap pegawai dalam mengemukakan pendapat atau ide-ide
yang di dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Inisiatif individu
tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi
sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan
organisasi.
Toleransi terhadap tindakan beresiko yaitu sejauh mana pegawai
dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dan mengambil
resiko dalam mengambil kesempatan yang dapat memajukan dan
mengembangkan organisasi. Tindakan yang beresiko yang
dimaksudkan adalah segala akibat yang timbul dari pelaksanaan tugas
dan fungsi yang dilakukan oleh pegawai.
Pengarahan yaitu sejauh mana pimpinan suatu organisasi dapat
menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan,
sehingga para pegawai dapat memahaminya dan segala kegiatan yang
dilakukan para pegawai mengarah pada pencapaian tujuan organisasi.
Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi dan misi.
Integrasi yaitu sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unitunit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Menurut
Handoko (2003 : 195) koordinasi merupakan proses pengintegrasian
tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada unit-unit yang terpisah
(departemen atau bidang-bidang fungsional) suatu organisasi untuk
mencapai tujuan.
Dukungan manajemen yaitu sejauhmana para pimpinan organisasi
dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan
yang jelas terhadap pegawai. Dukungan tersebut dapat berupa adanya
upaya pengembangan kemampuan para pegawai seperti mengadakan
pelatihan.
Kontrol yaitu adanya pengawasan dari para pimpinan terhadap para
pegawai dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan demi kelancaran organisasi. Pengawasan menurut Handoko
(2003: 360) dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa
tujuan-tujuan organisasi tercapai.
Sistem imbalan yaitu sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan
gaji, promosi, dan sebagainya) didasarkan atas prestasikerja pegawai,
bukan sebaliknya didasarkan atas senioritas, sikap pilih kasih, dan
sebagainya.
Toleransi terhadap konflik yaitu sejauh mana para pegawai didorong
untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka guna
memajukan organisasi, dan bagaimana pula tanggapan organisasi
terhadap konflik tersebut.
36
9.
Pola komunikasi yaitu sejauh mana komunikasi dalam organisasi yang
dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal dapat berjalan baik.
Menurut Handoko (2003: 272) komunikasi itu sendiri merupakan
proses pemindahan pengertian atau informasi dari seseorang ke orang
lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat memenuhi
kebutuhan sasarannya, sehingga akhirnya dapat memberikan hasil
yang lebih efektif.
2.3. Kerangka Pikir Penelitian
Komitmen dan kepuasan kerja dapat mengarahkan pada kinerja pegawai,
dimanakinerja pegawai yang tinggi terdapat di dalam kepuasan kerja yang lebih
tinggi.Sebaliknya di dalam kinerja pegawai yang buruk terdapat kepuasan kerja
yang lebihburuk (Ostroff, 2002). Dengan kata lain, dalam kinerja pegawai yang
meningkat yangbermula dari investasi organisasi ada kontribusi komitmen dan
kepuasan kerja pegawai pada organisasi.
Oleh karena itu semakin tinggi potensi kontribusi komitmendan kepuasan
kerja dalam suatu organisasi, semakin mungkin organisasiakanberinvestasi
dalam kualitas kehidupan kerja dan bahwa investasi ini akan mengarah
padaproduktivitas individual dan kinerja pegawai yang lebih tinggi (Pruijt,
2003).
Secara jelas dapat dikatakan bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan
kerjasangat penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil
akhir positiforganisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan
pekerjaan merekamemiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk
pindah kerja yang kecil.Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku
sebagai anggota organisasitersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja
dalam organisasi tersebut secarakeseluruhan.
37
Sesuai dengan judul dan konsep dalam penelitian ini, serta untuk
memudahkan pemahaman tentang alur penelitian ini maka model kerangka pikir
yang menggambarkan hubungan antar variabel dapat digambarkan sebagai berikut
:
Kualitas KehidupanKerja (X1)
Kinerja Organisasi
(Y)
Budaya Organisasi (X2)
Gambar 2.1
Model Kerangka Pikir Penilitian
2.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang mana
kebenaran hipotesis tersebut harus dibuktikan melalui pengujian hipotesis.
Berdaar rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian yang
diajukan adalah :
1.
Secara simultan variabel kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi di LingkunganSatuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan.
38
1). Ho = tidak pengaruh terhadap Kualitas Kehidupan Kerja dan budaya
organisasi terhadap kinerja organisasi dilingkungan satuan polisi pamong
praja kabupaten lamongan.
H1 = ada pengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi
terhadap kinerja organisasi dilingkungan satuan polisi pamong praja
kabupaten lamongan.
2. Ho1 = tidak pengaruh terhadap kualitas kehidupan kerja.
Ho2 = tidak pengaruh terhadap budaya kerja.
H1 = ada pengaruh budaya kerja.
H2 = ada pengaruh budaya kerja terhadap kualitas kerja.
2.
Secara parsial variabel kualitas kehidupan kerja dan budaya organisasi
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Organisasi di LingkunganSatuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan.
Download