BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirosis Hati 2.1.1 Definisi Sirosis Hati

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sirosis Hati
2.1.1 Definisi
Sirosis Hati (SH) adalah penyakit hati menahun yang merupakan stadium lanjut
dari fibrosis parenkim hati secara progresif dan menyebabkan kerusakan parenkim
hati difus dan disertai pembentukan nodul (Sorensen dkk., 2007).
2.1.2 Epidemiologi
SH merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh negara termasuk
Indonesia dan angka kejadian sirosis hati semakin lama semakin meningkat. Pada
tahun 2000, di Amerika Serikat terdapat 360.000 orang penderita dirawat oleh karena
sirosis hati (Hidelbaugh dan Bruderly, 2006) sedangkan berdasarkan studi Roderick
dkk. (2004), terdapat 76 per 100.000 penduduk menderita SH di Inggris pada tahun
2001 dimana lebih dari separuh disebabkan oleh hepatitis alkoholik. Berdasarkan data
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004 diperkirakan terdapat 800.000
kematian akibat SH dan menduduki peringkat 18 kematian tertinggi di dunia.
Prevalensi SH di Indonesia bervariasi pada setiap rumah sakit pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Karina dan Djagat.(2002) di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Dr. Kariadi, Semarang, selama bulan Januari 2002 sampai Desember
2006 terdapat 637 orang dirawat dengan SH dengan angka kematian 97,0 ‰ yang
sebagian besar disebabkan oleh ensefalopati hepatikum (48,4%). Sedangkan di RSUP
Sanglah, penelitiaan yang dilakukan Somia dkk.(2004) terdapat 95 pasien SH dengan
usia rerata 54,32±12,60 tahun. Penderita SH lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan 2,06 : 1.
2.1.3. Patogenesis
Proses peradangan pada sel hati dapat menyebabkan nekrosis pada sel-sel hati
tersebut, dimana apabila nekrosis meliputi daerah yang luas dapat menyebabkan
terjadinya kolaps dari lobulus hati dan memacu timbulnya jaringan parut yang dapat
disertai terbentuknya septa fibrosis difus dan nodul sel hati (Sorensen dkk., 2007).
Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi SH hampir sama atau sama. Septa
terbentuk dari sel retikulum yang kolaps dan berubah menjadi jaringan parut.
Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya
atau porta dengan sentral (bridging necrosis). Beberapa sel akan tumbuh kembali dan
membentuk nodul dengan berbagai ukuran dan proses ini dapat menyebabkan distorsi
percabangan pembuluh hepatik dan gangguan dan hambatan aliran darah porta,
sehingga dapat menimbulkan hipertensi portal (Sherlock dan Dooley, 2002; Chung
dan Daniel, 2005; Tarigan, 2002; Sorensen dkk., 2007).
Tahap berikutnya adalah terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktulus,
sinusoid, dan sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan
terjadinya
fibrogenesis dan septa aktif. Fibrogenesis merupakan proses penyembuhan hati yang
ditandai oleh akumulasi matriks ekstraseluler disertai pembentukan jaringan parut,
namun hal ini menyebabkan rusaknya arsitektur hati yang normal. Sel yang
mempunyai peran sentral dalam fibrogenesis adalah sel-sel stelate hati (Hepatic
Stellate Cell: HSC), yang terletak di daerah perisinusoid. Pada hati normal HSC
hanya mengekspresikan kolagen tipe 1 dalam jumlah sangat sedikit. Sebaliknya pada
sel hati yang nekrosis, HSC akan mengalami proliferasi berubah menjadi matriks
ekstraseluler dalam jumlah besar (Sherlock dan Dooley, 2002; Chung dan Daniel,
2005).
2.1.4. Gambaran Klinis
SH pada tahap awal sering tidak memberikan gejala klinis dimana sebagian
besar penderita tetap asimtomatis hingga munculnya tanda-tanda dekompensasi
(Hidelbaugh dan Bruderly, 2006). Gambaran klinis SH secara umum disebabkan oleh
adanya kegagalan faal hati dan hipertensi portal (Sherlock dan Dooley, 2002;
Hidelbaugh dan Bruderly, 2006).
2.1.5. Derajat Penyakit Sirosis Hati
Derajat penyakit SH adalah katagori beratnya gangguan fungsi hati. Sampai
saat ini parameter yang digunakan adalah modifikasi kriteria Child- Turcotte-Pugh
(CTP), berdasarkan pemeriksaan klinis adanya ensefalopati hepatikum, asites serta
pemeriksaan kadar albumin, bilirubin serum, dan waktu protrombin atau
International Normalized Ratio (INR).
Sesuai kriteria tersebut pasien SH
diklasifikasikan menjadi CTP A, B dan C (Sorensen dkk., 2007, Wolf., 2004).
Tabel 2.1. Klasifikasi Sirosis Modifikasi Kriteria Child-Turcotte-Pugh
Variabel
Nilai 1
Nilai 2
Nilai 3
Ensefalopati
-
Stadium 1-2
Stadium 3-4
Asites
-
Ringan
Sedang-berat
Albumin (g%)
>3,5
Bilirubin (mg%)
<2,0
Protrombin Time (detik)
INR
<4
INR <1,7
2,8 – 3,5
< 2,8
2,0 – 3,0
> 3,0
4–6
>6
INR 1,7-2,3
INR > 2,3
Keterangan :
Jumlah nilai
5 – 6 : CTP A ( gangguan fungsi hati ringan )
Jumlah nilai
7 – 9 : CTP B ( gangguan fungsi hati sedang )
Jumlah nilai 10 – 15 : CTP C ( gangguan fungsi hati berat )
2.2. Kardiomiopati Sirosis
2.2.1 Definisi
KS merupakan gangguan jantung yang merupakan komplikasi dari SH (Moler
dan Henriksen ,2008).
2.2.2 Kriteria Diagnosis KS
Kriteria diagnosis KS berdasarkan kongres gastroenterologi dunia di Montreal
tahun 2005 adalah ditemukan lebih dari satu kelainan berupa gangguan diastolik atau
sistolik pada SH, perubahan struktur ruang jantung (pembesaran atrium kiri),
gangguan elektrofisiologi (pemanjangan interval QT), dan peningkatan peptida
natriuretik seperti NT-proBNP (Waleed dan Lee,2006).
2.2.3 Epidemiologi
KS merupakan salah satu komplikasi dari SH. Angka kejadian KS sangat
bervariasi. Menurut studi Raedle dkk. (2008) terdapat 80,6% DD pada SH, sedangkan
menurut studi Adigun dkk. (2005) terdapat lebih dari 50% gangguan repolarisasi
jantung pada SH yang ditandai oleh interval QTc ≥ 440 mdetik. Penelitian yang
dilakukan Snowden dkk. (2003), didapatkan 56% pasien SH yang akan dilakukan
transplantasi hati menderita KS. Studi serupa juga ditemukan oleh Della dkk. (2008),
terdapat 70% pasien kandidat transplantasi hati menderita KS. Di Indonesia belum
terdapat data tentang prevalensi kardiomiopati pada SH.
2.2.4 Patogenesis
Kerusakan parenkim hati menyebabkan terjadinya penumpulan respons reseptor
beta di otot jantung, peningkatan endokanabioid,
Nitric Oxide (NO), karbon
monoksida (CO), dan kekakuan dinding miokardium yang dapat menyebabkan
terjadinya gangguan sistolik, diastolik, dan gangguan elektrofisiologi (Moller dan
Henriksen, 2010). Kriteria CTP menggambarkan beratnya kerusakan parenkim hati
sehingga semakin berat derajat penyakit SH berhubungan dengan semakin beratnya
gangguan jantung pada SH
DS merupakan gangguan kontraksi ventrikel kiri dalam memompakan darah ke
seluruh tubuh untuk memenuhi perfusi jaringan. Kontraksi jantung terjadi oleh karena
beberapa jalur seperti jalur adrenergik, endokanabioid, dan jalur lainnya berupa Nitric
Oxide (NO) dan karbon monoksida (CO). Kontraksi jantung terutama diregulasi oleh
sistem saraf simpatis melalui reseptor beta adrenergik. Pada waktu agonis beta
mengikat subunit beta 1 dan beta 2 reseptor beta adrenergik, terjadi aktivasi adenyl
cyclase melalui stimulasi protein G sehingga terjadi pembentukan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dari adenosine triphosphate (ATP). Selain itu, protein G
juga menyebabkan terjadinya aktivasi langsung dari L-type Calcium channel pada
sarkolema. Terbentuknya cAMP ditambah Protein Kinase A (PKA) menyebabkan
terjadinya fosforilasi dari berbagai macam substrat dan terjadi influks ion kalsium ke
dalam sitosol sehingga terjadi ikatan silang aktin dan miosin yang menyebabkan
terjadinya kontraksi otot jantung. Gangguan kontraksi ventrikel jantung pada SH
oleh karena terjadi respons yang abnormal dari stimulasi simpatis, penurunan densitas
reseptor beta adrenergik, penurunan protein G, gangguan aktivitas adenyl cyclase
yang menyebabkan terjadi penurunan cAMP (Alqahtani, 2008; Moller, 2001). Namun
menurut Ceolotto dkk.(2008), pada KS terjadi ekspresi berlebihan pada gen dari
beberapa protein inhibisi dan terjadi down expression dari gen yang mengatur adenyl
cyclase
sehingga terjadi gangguan kontraksi otot jantung pada KS. Gangguan
kontraksi ventrikel kiri pada DS menyebabkan terjadinya Volume Overload sehingga
terjadi peregangan ventrikel kiri yang akan mengeluarkan peptida natriuretik.
Gambar 2.1 Patogenesis Kardiomiopati Sirosis
(Moller dan Henriksen, 2001)
Endokanabioid merupakan suatu kanabioid endogen dimana bekerja
menghambat protein G di dua buah reseptor canabinoid (CB), CB 1 dan CB2.
Endokanabinoid dikenal mempunyai efek vasodilator pertama kali dilaporkan pada
tahun 2001 (Batkai dkk.,2001). Berdasarkan studi Varga dkk.(1998), pada SH
terdapat
bakteri
endotoksin
yang
menstimulasi
produksi
endokanabinoid.
Endokanabinoid mempunyai efek inotropik negatif pada manusia dan binatang,
dimana pada otot jantung, endokanabinoid akan mengaktifkan protein G inhibitor
(Gi) yang akan menghambat pembentukan cAMP dari ATP sehingga terjadi
penurunan influks ion kalsium ke sitosol otot jantung.
Jalur lainnya seperti Nitric Oxide (NO) dan karbon dioksida (CO) mempunyai
efek negatif terhadap kontraksi jantung. Pada SH, terdapat sitokin – sitokin yang
dapat mengaktifkan enzim NO synthase dan heme oxygenase sehingga terjadi
peningkatan NO dan CO. NO dan CO akan menstimulasi guanylate cyclase untuk
membentuk cyclic Guanosine Monophosphate (cGMP) dan terjadi fosforilasi protein
G yang akan menghambat influks ion kalsium ke sitosol otot jantung. Ketiga jalur
inilah yang dapat menyebabkan gangguan kontraksi otot jantung pada disfungsi
sistolik KS.
Gambar 2.2 Gangguan Kontraksi Jantung pada Kardiomiopati Sirosis
(Moller dan Henriksen, 2010)
DD merupakan gangguan elastisitas ventrikel kiri pada fase diastolik yang
menyebabkan penurunan volume darah masuk ke ventrikel kiri. Hipertrofi sel otot
jantung dan peningkatan kolagen intertisial terjadi pada DD. Otopsi jantung pasien
dengan SH didapatkan penebalan otot jantung yang pada gambaran histologi
didapatkan hipertrofi sel otot jantung, pigmentasi, vakuolisasi inti, edema, dan
fibrosis. Patogenesis DD pada KS adalah terjadinya kekakuan pada dinding
miokardium
yang disebabkan hipertrofi miokardium, fibrosis, dan edema
subendotelial (Ma dan Lee, 1996). Gangguan elastisitas ventrikel kiri pada DD
menyebabkan pressure overload yang dapat menyebabkan peregangan ventrikel kiri
dan menghasilkan natriuretik peptida.
Derajat DD berhubungan dengan beratnya penyakit SH (CTP) sesuai dengan
studi oleh Papasterigiou, dkk.(2011), prevalensi DD pada SH sebanyak 60% dan
dikatakan prevalensi DD derajat sedang lebih meningkat pada CTP C bila
dibandingkan CTP A dan B (p= 0.0009) dan rerata skor CTP pada DD derajat sedang
adalah 10.2 ± 2.1, lebih tinggi daripada DD derajat ringan (7.8 ±1.8; p<0.0001) dan
pada pasien tanpa DD (7.1 ±5.4; p= 0.02). Studi Salari, dkk. (2013), terdapat
hubungan bermakna antara beratnya penyakit SH dengan derajat DD (p = 0.048) dan
rasio E/A berhubungan dengan beratnya penyakit SH (p=0.001)
Gangguan elektrofisiologi pada KS terjadi karena adanya gangguan respons
terhadap stimulasi saraf simpatis dan berhubungan dengan gangguan jalur beta
adrenergik. Pada KS terjadi gangguan kronotropik dimana terjadi ketidakmampuan
denyut jantung dalam memberikan respons terhadap rangsangan fisiologis dan
farmakologis. Gangguan elektrofisiologi pada KS ditandai dengan pemanjangan
interval QTc ≥ 440 mdetik pada pemeriksaan elektrokardiografi. Interval QT
merupakan waktu yang dibutuhkan bagi kedua buah ventrikel jantung untuk
repolarisasi (Kautzener, 2002). Pada penelitian yang dilakukan Mozos dkk.(2010)
terhadap 38 pasien SH, terdapat 71% pasien dengan interval QTc > 440 mdetik
dengan nilai rerata QTc 493 ± 46 mdetik dan berhubungan dengan beratnya derajat
SH. Studi serupa disampaikan Genovesi dkk.(2009).
2.2.5 Gambaran klinis
KS sering tidak memberikan gejala pada tahap awal sehingga diagnosis KS
seringkali terabaikan. Pada tahap awal, terjadi kondisi hiperdinamik dimana pada
tahap ini sering tidak memberikan gejala namun sudah terjadi gangguan
elektrokardiografi (EKG) berupa pemanjangan dari interval QTc. Perjalanan penyakit
KS berjalan terus sehingga selanjutnya mulai memberikan gejala berupa palpitasi dan
pada pemeriksaan EKG didapatkan interval QTc yang semakin memanjang dan
adanya ventrikel ekstrasistol. Pada tahap ini sudah terjadi DD. Pada tahap lanjut, KS
sudah memberikan gejala dan tanda gagal jantung dan pada tahap ini sudah terjadi
DS.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas dalam mendiagnosis
kardiomiopati pada sirosis. KS pada ekokardiografi terdapat gangguan pada fase
diastolik dan / atau sistolik.
Gambar 2.3 Hubungan Gejala Kardiomiopati Sirosis dengan Gambaran
Elektrokardiografi dan Ekokardiografi (Zardi dkk.,2010)
2.3 N Terminal –proBrain Natriuretic Peptide (NT-proBNP)
NT-proBNP adalah suatu hormon yang merupakan bagian dari suatu peptida
natriuretik. Secara umum, peptida natriuretik terdiri dari Atrial Natriuretic Peptide
(ANP), Brain Natriuretic Peptide (BNP), C-type Natriuretic Peptide (CNP),
Dendroapsis Natriuretic Peptide (DNP), V-type Natriuretic Peptide (VNP), guanylin,
uroguanylin, adrenomedullin, urodilantin.
ANP disintesis oleh sel otot atrium sebagai preproANP dalam bentuk 151
asam amino kemudian mengalami pemotongan menjadi proANP dengan panjang 126
asam amino. ProANP ini disimpan di dalam granula padat sel otot jantung. Ketika
terdapat rangsangan berupa peningkatan volume yang ditandai dengan meningkatnya
regangan dan tekanan di daerah atrium, maka proANP akan diubah oleh suatu enzim
protease yang disebut corin dan dilepas sebagai ANP dengan panjang 28 asam amino.
Sedangkan di ginjal, proANP dilisis oleh enzim protease lain menjadi urodilatin
dengan panjang 32 asam amino (Yan dkk., 2000). ANP terutama disintesis dan
disimpan di dalam granula atrium meskipun juga bisa dijumpai pada beberapa
jaringan, misalnya di ventrikel dan ginjal.
Konsentrasi ANP dalam plasma adalah sekitar 5-10 fmol/liter pada orang
normal yang makan natrium dalam jumlah sedang. Sekresi ANP meningkat apabila
volume cairan ekstraseluler meningkat oleh pemberian infus salin isotonik ataupun
asupan diet tinggi natrium. Kadar ANP akan meningkat mencapai 10-30 fmol/ml
pada pasien dengan jantung kongestif (Potter dkk., 2006). ANP berfungsi meregulasi
tekanan darah basal, menjaga keseimbangan cairan dan garam, dan bersama dengan
CNP berfungsi sebagai vasodilator dan menghambat remodeling jantung dengan
mengurangi produksi aldosteron yang ANP-dependent.
CNP terdiri dari 22 asam amino yang terdapat pada jantung, otak, ginjal, dan
pembuluh darah. Fungsi CNP sebagai diuretik dan natriuretik tidak sekuat ANP dan
BNP, namun bila dibandingkan dengan ANP dan BNP, CNP berfungsi lebih kuat
sebagai venodilator, antiproliferatif dan mensupresi kolagen pada sel fibroblas
jantung. DNP pertama kali ditemukan pada tahun 1992 sebagai diuretik dan
natriuretik yang kuat.
Tabel 2.2 Perbedaan Peptida Natriuretik ANP, BNP, CNP, DNP, Guanylin, Uroguanylin dan
Adrenomedullin (Joffry dan Rossner,2005)
PEPTIDA
NATRIURETIK
ANP
LOKASI
STIMULUS
EFEK
Atrium Jantung
Regangan &
tekanan atrium
BNP
Ventrikel Jantung
Tekanan dinding
ventrikel
CNP
Shear stress
DNP
Jantung,otak,
ginjal, pembuluh
darah
Tidak diketahui
Penurunan volume
plasma dan tekanan
darah
Penurunan volume
plasma dan tekanan
darah
Venodilatasi
Tidak diketahui
Vasodilatasi
Guanylin
Uroguanylin
Mukosa
gastrointestinal
Tidak diketahui
Regulasi perpindahan
air dan garam
Adrenomedullin
Medula adrenal,
ventrikel jantung,
paru, ginjal
Tidak diketahui
Penurunan volume
plasma, tekanan darah,
vasodilatasi
BNP pertama kali diidentifikasi oleh Bold pada tahun 1981 dari otak babi
yang kemudian diisolasi dari jantung babi. BNP secara predominan disekresi di
ventrikel jantung sebagai akibat dari peregangan otot jantung dan BNP mempunyai
efek diuresis, natriuresis, dan efek hipotensi sebagai proteksi terhadap kelebihan
cairan dan hipertensi sehingga BNP bekerja dalam menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit. Keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh kita selain dipengaruhi
oleh peptida natriuretik juga dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin, vasopresin,
dan sistem saraf simpatis. BNP disekresi dalam bentuk preproBNP yang mempunyai
134 asam amino dan selanjutnya secara enzimatik dalam darah akan membelah
menjadi NT-proBNP (76 asam amino), BNP (32 asam amino), dan proBNP (108
asam amino) (Wong dkk.,2001).
BNP dapat disekresi secara terus menerus dan pulsatil. Rangsangan terus
menerus dihasilkan oleh karena adanya peningkatan volume dan tekanan ventrikel
kiri yang merangsang ekspresi gen yang menyebabkan transkripsi dan translasi gen
sehingga menghasilkan asam amino yang menyusun BNP. Sedangkan rangsangan
pulsatil dihasilkan oleh sinus koronarius sebagai akibat peregangan dinding ventrikel
kiri, kelebihan cairan, dan hipoksia jaringan melalui berbagai faktor neurohormonal.
Gambar 2.4 Regulasi Pembentukan BNP (Martinez dkk., 2008)
Terdapat tiga macam reseptor natriuretik yaitu: Natriuretic peptide receptor A
(NPR-A), Natriuretic peptide receptor B (NPR-B), dan Natriuretic peptide receptor
C (NPR-C).
1.
NPR-A banyak sekali terekspresi pada ginjal, adrenal, ileum terminal,
adiposa, aorta dan jaringan paru. NPR-A melintasi membran sel dan
memiliki asal sitoplasma berupa guanyl cyclase. Sensitivitas aktivasi
reseptor tipe ini oleh natriuretik adalah ANP > BNP >> CNP (Joffry dan
Rossner, 2005).
2.
NPR-B ditemukan di paru, otak, ginjal, uterus dan jaringan ovarium.
Sama dengan NPR-A, NPR-B melintasi membran sel dan memiliki asal
sitoplasma berupa guanyl cyclase. NPR-B merupakan reseptor natriuretik
predominan di otak. Sensitivitas aktivasi reseptor tipe ini oleh natriuretik
adalah CNP >> ANP > BNP (Joffry dan Rossner,2005).
3.
NPR-C ditemukan di atrial, mesenterium, plasenta, ginjal, vena, otot polos
aorta dan sel endotel aorta. Asal ekstraselulernya, 30% menyerupai NPR-A
dan B. Tetapi intraselulernya mempunyai asam amino lebih pendek dan
tidak mempunyai aktivitas guanilil siklase. Afinitas aktivasinya oleh CNP
> ANP dan BNP (Joffry dan Rossner, 2005).
Peptida natriuretik akan berikatan dengan reseptor sehingga dengan bantuan
ATP akan menstimulasi guanylyl cyclase intrinsik yang akan memecah GTP menjadi
cGMP dan akan membentuk protein kinase G yang selanjutnya dengan bantuan
phosphodiesterase (PDE) akan memberikan efek biologis seperti vasodilatasi,
diuresis, dan natriuresis (Levin dkk., 1998)
Gambar 2.5 Patogenesis Peptida Natriuretik pada Sel Target (Levin dkk.,1998)
NT-proBNP lebih direkomendasikan menjadi penanda awal disfungsi jantung
dan gagal jantung dibandingkan BNP karena NT-proBNP bersifat lebih stabil dan
kurang sensitif terhadap perubahan hemodinamik yang cepat bila dibandingkan
dengan BNP. BNP mempunyai waktu paruh 22 menit, sedangkan NT-proBNP
mempunyai waktu paruh 60 – 120 menit. Berdasarkan studi Cowie dkk. (2003), nilai
normal dari NT-proBNP adalah 68 pg/ml – 112 pg/ml. NT-proBNP secara fisiologis
meningkat sesuai dengan usia dan jenis kelamin, dimana NT-proBNP meningkat
dengan pertambahan usia dan meningkat bermakna pada
usia > 75 tahun dan lebih
meningkat pada wanita (Bernstein dkk., 2011; Redfield dkk., 2002; clerico dkk.,
2002).
NT-proBNP meningkat pada beberapa penyakit jantung seperti gagal jantung
kongestif, Penyakit Jantung Koroner (PJK), dan hipertensi, Atrial Fibrilasi (AF),
penyakit jantung katup. Pada gagal jatung kongestif terjadi peregangan dari ventrikel
kiri akibat peningkatan tekanan dan kelebihan cairan sehingga dapat merangsang
diekskresinya NT-proBNP oleh sel otot jantung ventrikel. NT-pro BNP pada gagal
jantung dapat digunakan sebagai alat diagnosis dan prognosis. Penelitian yang
dilakukan Maisel dkk.(2002) menyebutkan bahwa peningkatan NT-proBNP lebih
dari 100 pg/ml, bermakna membedakan sesak napas yang disebabkan oleh gagal
jantung dari penyakit paru sedangkan berdasarkan penelitian N Terminal proBNP
Investigation of Dyspnea in the Emergency departement (PRIDE) dan the
International Collaboration of NT-proBNP (ICON) pada pasien dengan sesak napas,
nilai cut-off NT-proBNP 300 mendukung diagnosis gagal jantung (Januzzi dkk.,
2005 dan Wieczorek dkk., 2002). Peningkatan NT-proBNP berbanding lurus dengan
berat kelas fungsional
(NYHA).
gagal jantung berdasarkan New York Heart Association
Sebagai penanda prognosis, NT-proBNP dapat digunakan sebagai
prediktor mortalitas dan morbiditas pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan
Berger
dkk.(2002)
menyebutkan
bahwa
NT-proBNP
merupakan
prediktor
independen mortalitas pada gagal jantung sistolik. Sedangkan pada penelitian
COPERNICUS didapatkan bahwa NT-proBNP berhubungan dengan peningkatan
resiko angka kematian karena sebab apapun dan perawatan pada gagal jantung
sistolik berat (Hartmann dkk., 2004). Peningkatan NT-proBNP terjadi pada gagal
jantung sistolik maupun diastolik (Januzzi dkk.,2005).
Peningkatan NT-proBNP pada PJK terjadi pada 24 jam pertama dan akan
mencapai puncak pada 12 – 48 jam (Talwar dkk., 2000). Angina pektoris tidak stabil
terjadi peningkatan NT-proBNP 4 kali lebih tinggi daripada angina pektoris stabil
(Kikuta dkk., 1996). Peningkatan NT-proBNP digunakan sebagai prediktor mortalitas
pada pasien dengan PJK (Talwar dkk., 2000). Pada pasien dengan hipertensi, sesuai
studi yang dilakukan Boomsma dan Meiracker (2001), terjadi peningkatan NTproBNP secara bermakna pada pasien dengan hipertensi. Berdasarkan Studi Abdulle
dkk. (2007), pada pasien hipertensi terdapat peningkatan nilai rerata NT-proBNP 3,4
kali lebih tinggi daripada pasien dengan normotensi (p<0.001).
Studi oleh shin
dkk.(2005) terjadi peningkatan NT-proBNP pada pasien dengan Atrial Fibrilasi (AF)
dengan fraksi ejeksi normal dibandingkan kontrol sehat (1086 pg/mL VS 66,9 pg/mL;
p<0.001).
Pada penyakit jantung katup atau Valvular Heart Disease (VHD) terjadi
peningkatan NT-proBNP yang disebabkan oleh regangan ventrikel kiri akibat volume
atau pressure overload oleh karena gangguan katup jantung. Gangguan katup jantung
disebabkan oleh karena stenosis atau regurgitasi katup mitral, trikuspidalis, aorta, dan
pulmonal. Studi oleh Behnes dkk.(2008), terjadi peningkatan NT-proBNP pada
regurgitasi aorta (r = 0.29, p < 0.001), stenosis aorta (r = 0.3, p < 0.001), regurgitasi
mitral (r = 0.47, p < 0.001), dan regurgitasi trikuspidalis (r = 0.35, p < 0.001)
,peningkatan NT-proBNP terjadi pada gangguan katup jantung sedang dan berat.
Peningkatan NT-proBNP juga dapat terjadi pada kelainan lain seperti SH
sebagai penanda KS, DM, hipertiroid, PPOK, PGK, anemia, sepsis, dan syok sepsis
(Clerico dan Emdin, 2006; Mcgrath dan Bold, 2005). NT-proBNP berpengaruh
terhadap beberapa obat seperti penyekat beta (p<0.0001), penghambat ACE
(p<0.0001), Angiotensin Receptor Blocker (ARB) (p<0.001), antagonis kalsium
(p<0.0002), anti agregasi trombosit seperti
Asetyl Salisilat Acid (ASA) dan
clopidogrel (p<0.0002), digitalis (p<0.0005), statin (p<0.0002), nitrat (p<0.001), dan
diuretika (p=0.0494) dimana pada pemberian obat–obat tersebut terjadi perbaikan
dari fungsi jantung sehingga NT-proBNP akan menurun (Toma dkk., 2007). Studi
yang dilakukan Braticevici dkk.(2006) melaporkan konsentrasi obat penghambat
ACE, ARB, dan antagonis kalsium dalam plasma akan mencapai puncak pada hari
ketiga pemberian obat pada pasien dengan SH. Studi Arthur dkk.(1985) terhadap
penggunaan propanolol sebagai penyekat beta pada SH, konsentrasi propanolol akan
mencapai puncak dalam plasma pada hari ketiga sampai kelima pemberian obat.
Penelitian Schleinitz dan Heidenreich (2005) melaporkan, konsentrasi clopidogrel
akan mencapai konsentrasi puncak dalam plasma pada hari ketiga dengan pemberian
75 miligram clopidogrel, sedangkan pada pemberian ASA akan menghambat
tromboxane A2 secara ireversibel.
Peningkatan NT-proBNP pada SH berkorelasi dengan derajat SH, dan secara
kuat menjadi prediktor terjadinya KS, angka mortalitas dan morbiditas SH (Yildiz
dkk., 2005; Henriksen dkk., 2003). Berdasarkan studi Eldeeb dkk. (2012),
peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan peningkatan derajat SH (r = 0.4,
p=
0.0001), peningkatan bilirubin serum (r = 0.5, p = 0.002), dan INR (r = 0.5,
p=
0.0001) namun
tidak berkorelasi dengan hipoalbuminemia (r = 0.01, p = 0.8).
Berdasarkan studi Licata dkk. (2013), peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan
asites dan INR serta berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum.NT-proBNP
dipakai sebagai penanda disfungsi ventrikel kiri pada penyakit hati menahun dan
penapisan adanya KS. Nilai NT-proBNP lebih dari 265 pg/ml pada SH disarankan
untuk melakukan evaluasi lebih lanjut terhadap KS (Ziada dkk., 2011).
Berdasarkan studi Woo dkk. (2008) peningkatan NT-proBNP tidak berbeda
secara bermakna antara CTP B dibandingkan dengan CTP A. Hal ini disebabkan oleh
karena pada kelompok CTP B lebih banyak menggunakan terapi propanolol dan
diuretik yang dapat menurunkan NT-proBNP. Studi serupa didapatkan Merli
dkk.(2012), peningkatan NT-proBNP tidak berbeda secara bermakna antara CTP B
dan C dengan CTP A (p=0.05) serta persentase fraksi ejeksi dan diameter atrium kiri
(disfungsi sistolik) tidak berbeda bermakna antara CTP B dan C dengan CTP A (p =
0.05) yang disebabkan oleh karena tidak dilakukan stress test untuk menilai disfungsi
sistolik. Berdasarkan studi Ljubicic dkk.(2012) peningkatan NT-proBNP tidak
berbeda bermakna antara kelompok dengan asites dan tanpa asites (p = 0.127).
Peningkatan NT-proBNP berhubungan dengan KS seperti studi
oleh
Suwanugsorn dkk. (2009) di Thailand, terdapat hubungan antara NT-proBNP dengan
DD pada KS berupa fraksi ejeksi > 50 % (r = 0.574, p<0.001), pemanjangan interval
QTc (r = 0.478, p<0.001), rasio E/A (r = 0.421,
p < 0.001). Studi lain dilaporkan
oleh Zacharopoulou dkk. (2010) dengan r = -0.72, p < 0.001). Gangguan sistolik pada
KS meningkatkan NT-proBNP. Sukhanvar dkk.(2011) melaporkan peningkatan NTproBNP pada gangguan sistolik (EF< 55%). Berdasarkan studi Lercher dkk.(2004)
terjadi korelasi negatif antara NT-proBNP dengan EF ventrikel kiri ( r = -0.376,
p<0.001) dimana peningkatan NT-proBNP berhubungan dengan penurunan EF
ventrikel kiri pada KS.
DM dapat meningkatan NT-proBNP terutama pada pasien dengan
mikroalbuminuria dan komplikasi kardiovaskuler. Igarashi dkk.(2005) melaporkan
peningkatan NT-proBNP pada DM tanpa disertai adanya komplikasi kardiovaskular
dan makroalbuminuria, hal ini disebabkan karena pada DM dapat mempengaruhi
pembentukan peptida natriuretik. Insulin mempunyai efek mitogenik dan metabolik
pada hampir seluruh jenis sel termasuk sel otot jantung, sehingga hiperinsulinemia
dapat meningkatkan pembentukan peptida natriuretik. Terjadi peningkatan NTproBNP diatas nilai normal pada DM tanpa adanya gejala kardiovaskular dan NTproBNP akan semakin meningkat bila terjadi komplikasi kardiovaskular sehingga
NT-proBNP dapat digunakan dalam stratifikasi risiko kardiovaskular pada DM
(Bhalla dkk., 2004; Dawson dkk., 2005; Hildebrant dan Richards, 2008). Berdasarkan
studi Magnusson dkk.(2004) terjadi peningkatan NT-proBNP pada DM tipe 2 tanpa
kelainan jantung dibandingkan dengan kontrol (p<0.001).
Peningkatan BNP dan ANP pada pasien PPOK, pertama kali dilaporkan oleh
Lang dkk. (1992) dimana terjadi peningkatan 18,5 kali pada pasien PPOK.
Peningkatan NT-proBNP pada PPOK disebabkan bila terjadi peningkatan tekanan
arteri pulmonalis, tahanan total paru, dan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kanan
(Nagaya dkk., 1998). Pasien hipertensi pulmonal yang sudah mendapatkan terapi
dengan vasodilator (prostacyclin atau prostaglandin E) terjadi penurunan tahanan
total paru yang sebanding dengan penurunan BNP (Nagaya dkk., 1998)
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) dapat meningkatkan peptida natriuretik melalui
dua mekanisme, yaitu: retensi air dan kelebihan volume yang dapat menyebabkan
regangan pada ventrikel kiri dan berkurangnya eksresi peptida natriuretik dari ginjal
(Austin dkk., 2006). NT-proBNP dan BNP berhubungan dengan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG). NT-proBNP meningkat pada PGK dengan LFG < 60 mL/min
(DeFilippi dkk., 2007; Kimmenade dkk., 2006).
Pada pasien PGK yang sudah
hemodialisis, rasio NT-proBNP sebelum dan sesudah hemodialisis berbeda sesuai
tipe jenis membran dialiser. Laju ekskresi NT-proBNP berkurang pada low-flux
membrane sehingga menyebabkan konsentrasi NT-proBNP plasma meningkat setelah
dialisis (Madsen dkk., 2007; Lamb dkk., 2006). Kombinasi NT-proBNP dengan
derajat gangguan ginjal dapat mengidentifikasi prognosis dari harapan hidup pasien
dengan PGK (Khan dkk., 2006). Sehingga NT-proBNP dapat digunakan sebagai alat
diagnosis dan prognosis gagal jantung pada PGK, hal serupa tidak didapatkan pada
Penyakit Ginjal Akut (PGA).
Terjadi peningkatan NT-proBNP pada anemia. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Goei dkk. (2009) terjadi peningkatan NT-proBNP secara
bermakna pada pasien dengan anemia (Hemoglobin (Hb) < 13 mg/dL pada pria dan
Hb < 12 mg/dL pada wanita). Berdasarkan studi Toblli dkk. (2007) terdapat korelasi
negatif antara Hb dan NT-proBNP (r = - 0.94, p <0.01). Peningkatan NT-proBNP
pada anemia berhungan dengan hipoksia jaringan yang merangsang mekanisme
kompensasi berupa vasodilatasi arteriol perifer, stimulasi aktivitas saraf simpatis, dan
penurunan perfusi ginjal. Hal ini menyebabkan terkativasinya sistem reninangiotensin-aldosteron dan hormon antidiuretik sehingga terjadi retensi air dan garam
yang dapat meningkatkan NT-proBNP (Toblli dkk.,2007)
Peningkatan ANP, BNP, dan NT-proBNP sering dilaporkan pada sepsis dan
syok sepsis (Brueckmann dkk., 2005; Castillo dkk., 2004). Pada gambaran awal
pasien syok sepsis terjadi gangguan hemodinamik yang menyebabkan gangguan
perfusi ke jaringan termasuk sel otot jantung sehingga dapat terjadi gangguan
kontraksi ventrikel
yang menyebabkan disfungsi sistolik dan merangsang
diekskresikan peptida natriuretik seperti BNP atau NT-proBNP (Castillo dkk., 2004).
Berbeda dengan BNP/NT-proBNP, peningkatan ANP pada sepsis dan syok sepsis
disebabkan oleh karena adanya mediator pro inflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6 (IL-6), dan Tumor Necrosis Factor alfa (TNF alfa)
(Castillo dkk.,
2004).
Hipertiroid dapat meningkatkan NT-proBNP. Hal ini disebabkan oleh karena
terjadi hipertiroid sangat berkaitan dengan gangguan kardiovaskuler sehingga dapat
meningkatkan NT-proBNP. Schultz dkk.(2004) menyatakan
peningkatan fungsi
tiroid berbanding lurus dengan peningkatan NT-proBNP dan berhubungan dengan
perubahan fungsi dan struktur jantung. Penelitian yang dilakukan Etugrul dkk. (2008)
menyatakan bahwa terjadi peningkatan NT-proBNP 5 kali pada pasien dengan
hipertiroid dibandingkan dengan eutiroid dan NT-proBNP juga terjadi peningkatan
pada hipertiroid subklinis sedangkan tidak terjadi peningkatan pada pasien dengan
hipotiroid.
2.4 Hubungan derajat SH dengan NT-proBNP
Derajat penyakit SH berhubungan dengan beratnya derajat KS dan beratnya
KS berhubungan dengan peningkatan NT-proBNP sehingga derajat penyakit SH
dapat meningkatkan NT-proBNP. Hubungan derajat penyakit SH dengan derajat DD
seperti penelitian yang dilakukan Papasterigiou dkk.(2011), prevalensi DD derajat
sedang lebih meningkat pada CTP C bila dibandingkan CTP A dan B (p = 0.0009)
dan rerata skor CTP pada DD derajat sedang adalah 10.2 ± 2.1, lebih tinggi daripada
DD derajat ringan (7.8 ±1.8; p<0.0001) dan pada pasien tanpa DD (7.1 ±5.4; p=
0.02). Studi Salari, dkk. (2013), menyatakan terdapat hubungan bermakna antara
beratnya penyakit SH dengan derajat DD
( p = 0.048) dan rasio E/A (p=0.001).
Derajat SH berhubungan dengan besar atrium kiri seperti penelitian Eldeeb
dkk.(2012), terdapat perbedaan bermakna rerata diameter atrium kiri pada CTP C bila
dibandingkan dengan CTP B (3.8 ±0.62 cm VS 3.18 ± 0.54 cm ; p=0.03). Derajat SH
berbanding lurus dengan pemanjangan interval QTc berdasarkan studi Mozos
dkk.(2010), rerata interval QTc pada CTP C dibandingkan dengan CTP B (520 ± 45
mdetik VS 493 ±62; p=0.01).
Peningkatan NT-proBNP berhubungan dengan DD pada KS berupa fraksi
ejeksi > 50% (r=0.0574, p<0.001), rasio E/A (r=0.421, p<0.001), dan pemanjangan
interval QTc (r=0.478, p<0.001) (Suwanugsorn dkk., 2009). Peningkatan NT-proBNP
berhubungan dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada DS (r = - 0.376,
p<0.001) (Lercher dkk.,2004).
Hubungan derajat SH dengan peningkatan NT-proBNP disebabkan oleh pada
SH dapat terjadi disfungsi sistolik dan diastolik yang merupakan bagian dari KS.
Gangguan kontraksi ventrikel kiri pada DS menyebabkan penurunan fraksi ejeksi
ventrikel kiri yang dapat menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel kiri
(volume overload) sehingga dapat menyebabkan peregangan dinding ventrikel kiri
dan meningkatkan sekresi NT-proBNP sedangkan gangguan diastolik disebabkan
adanya hipertrofi dan penumpukan kolagen intertisial sel otot jantung sehingga terjadi
gangguan elastisitas dan gangguan pengisian ventrikel kiri (Bau dkk., 2007). Pada
DD terjadi pressure overload yang menyebabkan peregangan dinding ventrikel kiri
sehingga meningkatkan sekresi NT-proBNP. Gangguan diastolik terjadi pada tahap
awal KS lalu diikuti gangguan sistolik pada tahap lanjut yang memberikan gejala
gagal jantung.
Peningkatan NT-proBNP berbanding lurus dengan beratnya penyakit SH dan
merupakan penanda KS. Berdasarkan studi Ziada dkk.(2011) NT-proBNP berkorelasi
positif terhadap derajat penyakit SH (kriteria CTP) (r = 0.485,
Studi serupa juga dilaporkan oleh Henriksen dkk.(2003) dengan
p<0.001, Kim dkk.(2011) (r = 0.36, p<0.001), dan Eldeeb dkk.(2012)
p = 0.019).
r = 0.89,
(r = 0.4,p =
0.0001). Peningkatan NT-proBNP juga berkorelasi dengan peningkatan bilirubin
serum (r = 0.5, p = 0.002), dan INR (r = 0.5, p = 0.0001) namun tidak berkorelasi
dengan hipoalbuminemia (r = 0.01, p = 0.4) (Eldeeb dkk.,2012). Berdasarkan studi
Licata dkk. (2013), peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan asites dan INR serta
berkorelasi negatif dengan kadar albumin serum. Studi oleh Woo dkk. (2008) tidak
menunjukkan perbedaan bermakna peningkatan NT-proBNP antara CTP A dan B
(p>0.05) sedangkan berdasarkan studi Merli dkk.(2012), peningkatan NT-proBNP
tidak berhubungan dengan derajat SH (p>0.05). Berdasarkan studi Ljubicic
dkk.(2012) peningkatan NT-proBNP tidak berbeda bermakna antara kelompok
dengan asites dan tanpa asites (p = 0.127).
2.5 Kerangka Teori
SH merupakan penyakit menahun yang memberikan banyak komplikasi seperti
KS. Berdasarkan studi Della dkk. (2008) dan Therapondos dkk. (2004), angka
kejadian KS 70%. Pada KS terjadi gangguan diastolik dan / atau sistolik dimana DD
terjadi pada tahap awal lalu diikuti oleh DS. DD pada KS dapat berdiri sendiri namun
dapat juga disertai oleh DS. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk
mendiagnosis dan menentukan derajat DD dan DS pada KS.
NT-proBNP merupakan NT-proBNP peptida natriuretik yang dihasilkan akibat
peregangan otot jantung ventrikel kiri. NT-proBNP lebih digunakan sebagai penanda
gangguan jantung dibandingkan dengan BNP karena strukturnya yang leberdasarbih
stabil dan waktu paruh yang lebih panjang. NT-proBNP meningkat pada keadaan
seperti gangguan jantung (gagal jantung kongestif, IMA, hipertensi) dan gangguan
lain seperti DM, hipertiroid, PGK stadium III-V, PPOK, sepsis, dan syok sepsis
(Clerico dan Emdin, 2006; Mcgrath dan Bold, 2005). Selain itu, NT-proBNP juga
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin dan obat-obatan seperti penyekat beta
(p<0.0001), penghambat ACE (p<0.0001), Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
(p<0.001), antagonis kalsium (p<0.0002), anti agregasi trombosit seperti Asetyl
Salisilat Acid (ASA) dan clopidogrel (p<0.0002), digitalis (p<0.0005), statin
(p<0.0002), nitrat (p<0.001), dan diuretika (p=0.0494) dimana obat-obatan tersebut
memperbaiki fungsi jantung sehingga terjadi penurunan dari NT-proBNP (Toma
dkk., 2007). NT-proBNP meningkat sejalan dengan pertambahan usia dan pada usia >
75 tahun terjadi peningkatan NT-proBNP yang bermakna. NT-proBNP pada
beberapa penelitian lebih meningkat pada wanita dibandingkan pada pria namun hal
ini belum dapat dijelaskan penyebabnya.
Peningkatan derajat penyakit SH berhubungan dengan beratnya KS dan KS
berhubungan dengan peningkatan NT-proBNP sehingga peningkatan derajat penyakit
SH berhubungan dengan peningkatan NT-proBNP. Hal ini terbukti dengan penelitian
yang dilakukan Henriksen dkk., Kim dkk., Eldeeb dkk., Licata dkk., dan Suwanusorn
dkk. Peningkatan NT-proBNP pada SH disebabkan adanya volume dan pressure
overload. Volume overload disebabkan oleh karena gangguan fungsi sistolik
sedangkan pressure overload disebabkan oleh gangguan fungsi diastolik yang terjadi
karena kekakuan pada dinding miokardium yang disebabkan hipertrofi miokardium,
fibrosis, dan edema subendotelial (Ma dan Lee, 1996).
Volume dan pressure
overload menyebabkan peregangan dinding ventrikel kiri yang akan merangsang
dihasilkan NT-proBNP sehingga akan terjadi peningkatan NT-proBNP.
Derajat Penyakit
Sirosis Hati
VHD
KS
Gagal Jantung
kongestif
PJK
Usia
NT-proBNP
Jenis Kelamin
Hipertensi
AF
PPOK
Hipertiroid
Sepsis dan Syok sepsis
PGK
DM
Anemia
Obat
-
Penyekat beta
Penghambat ACE / ARB
Antagonis kalsium
Anti agregasi trombosit
Digitalis
Diuretika
Statin
Nitrat
Gambar 2.5 Kerangka Teori Hubungan KS dan NT-proBNP
Download