IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kulit

advertisement
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Kulit Manggis
Analisa proksimat merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan kimia suatu bahan. Bahan baku yang digunakan pada
penelitian ini adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dengan hasil
analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Komposisi kimia kulit manggis
Komposisi Kimia
Jumlah
Kadar Air (%)
61.83
Kadar Abu (% bk)
3.29
Kadar Lemak (% bk)
1.23
Kadar Serat (% bk)
21.04
Kadar Protein (% bk)
2.66
Kadar Karbohidrat (% by different)
30.99
Hasil analisis komponen kimia menunjukkan bahwa kulit manggis
memiliki kandungan air sebesar 61.83%. Tingginya kadar air kulit manggis dapat
menyebabkan bahan mudah mengalami kerusakan jika tidak dilakukan
pengolahan. Diketahui bahwa air merupakan komponen penting dalam suatu
bahan pangan. Keberadaan air akan menentukan terjadinya kerusakan karena
dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Fardiaz et al.,
1992).
Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena dapat
membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Hasil analisia
menunjukkan bahwa kulit manggis memiliki nilai kadar serat kasar sebesar
21.04%. Adanya hal ini dapat menjadi suatu nilai tambah bagi kulit manggis
apabila diaplikasikan ke dalam bentuk produk pangan. Serat sebagai residu dari
makanan yang tidak dapat dihidrolisis dengan bahan kimia memiliki fungsi
utama antara lain: (1) memperlambat kecepatan pencernaan pati sehingga aliran
energi ke tubuh menjadi berkurang, (2) memperlambat pengosongan lambung
sehingga memberi perasaan kenyang yang lebih lama, (3) memperlambat
penyerapan glukosa dalam usus sehingga membantu mengatur kebutuhan insulin
(Gallaher, 2000), (4) meningkatkan kebutuhan saluran pencernaan dengan cara
meningkatkan motilitas atau pergerakan usus besar, (5) mengurangi resiko
penyakit jantung, (6) mengikat asam empedu dalam usus (Starck dan Madar,
1994).
Kadar abu dalam suatu bahan menunjukkan keberadaan kandungan
mineral atau bahan-bahan anorganik. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa
jumlah kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit manggis adalah sebesar
3.29%. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), unsur mineral adalah unsur
yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, tetapi keberadaannya
tetap diperlukan sebagai zat pembangun dan pengatur.
Komponen nutrien lain yang dianalisa adalah protein. Protein merupakan
penyusun utama sel-sel tubuh. Pada kulit manggis diketahui jumlah kadar protein
yang rendah yaitu 2.66%. Umumnya buah-buahan memang bukan bahan pangan
sumber protein sehingga jumlah kandungan protein yang dimiliki relatif kecil.
Menurut Suhardjo dan Clara (1987), beberapa kandungan protein dapat diperoleh
tanaman dari tanah dan udara sekitarnya dan nitrogen yang diperoleh dari tanah
berada dalam bentuk senyawa nitrat dan nitrit.
Lemak adalah salah satu komponen lain yang dapat ditemukan pada
bahan pertanian. Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan
dengan kandungan yang berbeda-beda. Kandungan lemak dalam bahan pangan
adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang
sebenarnya (Winarno, 1997). Kadar lemak yang dimiliki oleh kulit manggis
yaitu 1.23%.
Karbohidrat merupakan salah satu komponen utama dalam makanan
bersama dengan lemak dan protein. Kadar karbohidrat yang dimiliki oleh kulit
manggis sebesar 30.99% yang diperoleh dengan metode “by difference”. Semua
jenis makanan mengandung sejumlah karbohidrat, dalam bentuk yang bervariasi
dari monosakarida sederhana hingga polisakarida kompleks. Pada buah dan
sayuran umumnya sebagian besar padatan tersusun dari karbohidrat dan sedikit
protein juga lemak.
Analisa terhadap bahan baku yang digunakan pada penelitian ini tidak
hanya analisa proksimat saja, tetapi dilakukan pula analisa kandungan senyawa
aktif yang banyak terkandung pada kulit manggis yaitu senyawa xanthone,
antosianin dan tanin. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kandungan
senyawa xanthone yang terdapat pada kulit manggis adalah 165.90 mg/100 ml
contoh. Tingginya kandungan xanthone pada kulit manggis membuat bahan ini
perlu dimanfaatkan sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya. Selain adanya
kandungan xanthone, kulit manggis juga memiliki kandungan senyawa lain yaitu
antosianin dan tanin yang masing-masing sebesar 17.52 mg/g contoh dan 3.32%.
B. Ekstraksi Kulit Manggis
1. Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah istilah yang digunakan untuk setiap proses dimana
komponen-komponen (zat) dalam suatu bahan berpindah ke dalam cairan lain
(pelarut). Pada penelitian ini, ekstraksi adalah tahapan awal yang dilakukan
untuk memperoleh kandungan xanthone yang terdapat pada kulit buah
manggis (Garcinia mangostana L). Proses ekstraksi kulit manggis dapat
berjalan dengan baik apabila menggunakan pelarut yang sesuai dimana
pelarut dapat secara selektif melarutkan komponen xanthone dari kulit
manggis dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain.
Ethanol adalah pelarut yang dipilih untuk digunakan dalam proses ekstraksi
xanthone. Hal ini didasarkan atas sifat dari pelarut ethanol yang masih
tergolong ke dalam pelarut organik namun relatif lebih aman dibandingkan
dengan pelarut lain apabila digunakan dalam bahan pangan. Penggunaan
ethanol sebagai pelarut selain dapat mengekstrak senyawa xanthone,
diharapkan dengan penggunaan pelarut ethanol juga dapat mengurangi
tingkat kepahitan yang berasal dari senyawa tanin pada kulit manggis.
Proses ekstraksi mula-mula diawali dengan pencucian buah manggis.
Pencucian dimaksudkan agar kulit manggis terbebas dari segala kotoran yang
melekat seperti tanah, debu atau sisa pestisida. Buah manggis yang telah
bersih kemudian dipisahkan antara kulit dengan daging buah. Penggunaan
kulit manggis dikarenakan bagian ini memiliki kandungan xanthone 27 kali
lebih banyak dibandingkan pada daging buahnya. Kulit manggis yang telah
terpisah kemudian mengalami proses pemisahan kembali antara bagian kulit
lunak dan kulit keras (kulit terluar). Pemisahan dilakukan karena penggunaan
kulit manggis bagian luar akan membuat rasa dari sirup xanthone menjadi
semakin pahit. Rasa pahit yang ada disebabkan oleh adanya kandungan
senyawa tanin dimana senyawa ini relatif lebih banyak pada bagian kulit luar.
Selain rasa yang menjadi pahit, penggunaan kulit manggis bagian luar juga
dapat membuat warna atau tampilan dari sirup akan menjadi lebih keruh.
Oleh karena itu, penggunaan kulit bagian luar manggis sangat dihindarkan.
Kulit bagian lunak yang telah diperoleh selanjutnya mengalami proses
penghancuran. Penghancuran dimaksudkan untuk memperkecil ukuran dari
bahan sehingga dapat mempercepat pelarutan komponen xanthone dan
meningkatkan rendemen ekstraksi.
Diketahui bahwa semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan
bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran
partikel kulit manggis yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam
pelarut sehingga kadar xanthone juga akan meningkat. Selain itu, waktu yang
diperlukan komponen untuk keluar dari bahan menjadi lebih singkat dan
proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Setelah proses penghancuran maka
proses ekstraksi dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan dengan
pelarut pada pebandingan 1:4 (b/v). Perbandingan ini didasarkan atas
penelitian yang dilakukan oleh Pradipta et al. (2008) tentang isolasi dan
identifikasi senyawa
xanthone dari kulit
buah
manggis (Garcinia
mangostana, L.).
Pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi adalah campuran antara
pelarut ethanol 70% dan air. Penggunaan ethanol dengan konsentrasi 70%
didasarkan atas keefektifan terhadap xanthone yang dapat terekstrak, karena
semakin tinggi konsentrasi ethanol maka senyawa xanthone yang terekstrak
akan semakin tinggi namun kemungkinan ethanol yang tersisa pada sirup
juga akan semakin besar. Berdasarkan hal ini maka ethanol 70% dirasa
memiliki konsentrasi yang sesuai yaitu tidak cukup tinggi namun tidak juga
rendah sehingga diharapkan dapat menghasilkan kadar xanthone yang tinggi
namun tidak meninggalkan sisa ethanol pada sirup yang dihasilkan. Begitu
pula dengan digunakannya campuran air sebagai pelarut karena penggunaan
pelarut ethanol tanpa pencampuran air dikhawatirkan akan sulit menguapkan
ethanol yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis sehingga dapat
meninggalkan residu ketika ekstrak kulit manggis diaplikasikan ke dalam
bentuk sirup. Sirup yang masih terdapat kandungan ethanol dalam jumlah
tinggi dapat membuat produk memiliki cita rasa yang tidak enak dan
dianggap tidak halal. Oleh karena itu, untuk mengetahui besarnya pengaruh
penggunaan campuran pelarut ethanol dan air terhadap kandungan senyawa
aktif pada kulit manggis dan hasil aplikasinya pada produk sirup penelitian
ini dibagi menjadi 3 perlakuan.
Perlakuan pertama adalah perlakuan dengan ekstraksi menggunakan
perbandingan 1:2 (ethanol:air), perlakuan kedua menggunakan perbandingan
1:3 (ethanol:air), dan perlakuan ketiga menggunakan perbandingan 1:4
(ethanol:air). Penggunaan perbandingan ethanol-air didasarkan atas prinsip
ekstraksi dan sifat dari senyawa xanthone dimana semakin banyak
penggunaan pelarut ethanol maka senyawa yang terekstrak akan semakin
besar karena kelarutan xanthone hanya pada pelarut organik. Berdasarkan hal
ini maka dapat diasumsikan bahwa penggunaan ethanol yang lebih besar dari
1:2 maka xanthone yang akan terekstrak semakin besar namun kandungan
ethanol yang mungkin akan tersisa juga besar, sedangkan penggunaan ethanol
70% dan air yang lebih kecil dari perbandingan 1:3 maka xanthone yang
terekstrak akan semakin kecil pula dan ini tidak diinginkan. Oleh karena itu,
perlakuan penggunaan campuran pelarut ethanol 70% dan air yang dipilih
adalah 1:2, 1:3, dan 1:4.
Teknik ekstraksi diketahui memiliki beberapa cara seperti perkolasi,
maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi, namun pada penelitian ini cara
ekstraksi yang dilakukan adalah dengan metode maserasi. Maserasi adalah
teknik yang digunakan untuk mengekstrak suatu senyawa yang diinginkan
dalam suatu bahan dengan cara merendam bahan dalam pelarut dengan atau
tanpa pengadukan. Proses maserasi pada ekstraksi kulit manggis dilakukan
selama 24 jam dan dalam suhu kamar. Waktu perendaman yang cukup lama
dimaksudkan agar komponen senyawa xanthone yang akan terekstrak dapat
maksimal. Diketahui bahwa menurut Bombardelli (1991), lama ekstraksi
akan menentukan jumlah komponen yang dapat diekstrak dari bahan. Lama
ekstraksi berhubungan dengan waktu kontak antara bahan dan pelarut.
Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara
bahan dan pelarut semakin besar sehingga kelarutan komponen xanthone
dalam larutan akan meningkat. Kulit manggis yang telah mengalami
perendaman kemudian mengalami proses pemisahan. Pemisahan adalah
tahapan akhir yang dilakukan pada proses ekstraksi yang bertujuan untuk
mendapatkan senyawa xanthone pada ekstrak kulit manggis. Hasil ekstraksi
kulit manggis dapat dilihat pada Gambar 4.
1:2
1:3
1:4
Gambar 4 Hasil ekstraksi kulit manggis
2. Karakteristik Ekstrak Kulit Manggis
Filtrat kulit manggis yang diperoleh dari hasil ekstraksi, selanjutnya
akan dianalisa berdasarkan senyawa-senyawa yang banyak terkandung
didalamnya yaitu kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar
tanin. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan
pelarut terhadap senyawa aktif yang ada dalam ekstrak kulit manggis.
Rekapitulasi hasil karakterisasi ekstrak kulit manggis dapat dilihat pada
Lampiran 2.
a. Kadar Xanthone
Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul dasar
C13H8O2. Turunan senyawa xanthone banyak terdapat di alam dan
berdasarkan penelitian telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan.
Turunan senyawa xanthone yang paling banyak dikenal dan dimanfaatkan
adalah yang berasal dari buah manggis dan merupakan hasil dari
metabolit sekunder (Ji et al., 2007).
Analisa kadar xanthone adalah salah satu jenis analisa yang
dilakukan pada ekstrak kulit manggis untuk mengetahui pengaruh
penggunaan volume ethanol dan air pada hasil ekstraksi. Berdasarkan
hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 3) menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada hasil ekstraksi kulit manggis
untuk ketiga perlakuan. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2
memiliki nilai kadar xanthone tertinggi sebesar 99.43 mg/100 ml contoh,
kemudian penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 memiliki nilai
kadar xanthone sebesar 97.68 mg/100 ml contoh dan penggunaan pelarut
ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai kadar xanthone sebesar 56.50
mg/100 ml contoh. Hasil pengujian kadar xanthone dapat dilihat pada
Kadar Xanthone (mg/100ml)
Gambar 5.
120
100
80
60
40
20
0
1:2
1:3
Perbandingan Ethanol:Air
1:4
Gambar 5 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar xanthone
Nilai kadar xanthone sangat dipengaruhi oleh jenis dan besarnya
volume pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi berlangsung.
Berdasarkan histogram pada gambar, diketahui bahwa semakin besar
ethanol yang digunakan maka xanthone yang terekstrak akan semakin
besar pula. Diketahui bahwa xanthone tergolong senyawa polar karena
memiliki gugus OH. Namun, kepolaran dari senyawa xanthone lebih
rendah dari air seperti menurut Walker (2007), senyawa xanthone secara
alami sukar untuk terlarut di dalam air sehingga sulit diekstrak bila
menggunakan pelarut air namun xanthone dapat larut di dalam pelarut
organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol
hingga pelarut hexan. Pada perbandingan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan 1:4
penggunaan pelarut ethanol terbesar adalah pada 1:2 sehingga pelarut ini
lebih bersifat kurang polar dibandingkan dengan pelarut 1:3 dan 1:4.
Oleh karena itu, dengan kurang polarnya pelarut yang digunakan pada
perbandingan 1:2 maka kemampuan untuk mengekstrak xanthone
menjadi lebih baik dibandingkan dengan 1:3 dan 1:4 sehingga xanthone
yang terekstrak menjadi lebih besar.
Selain itu, berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan diketahui
bahwa kandungan xanthone pada ekstrak kulit manggis dengan
perbandingan 1:2 tidak berbeda nyata dengan 1:3, sedangkan kandungan
xanthone pada ekstrak kulit manggis perbandingan 1:4 berbeda nyata
terhadap 1:2 dan 1:3. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut ethanol-air 1:3
memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan pelarut 1:2 dalam
mengekstrak xanthone dimana ditandai dengan selisih nilai kadar
xanthone yang relatif kecil. Sedangkan, penggunaan campuran pelarut
ethanol-air yang melebihi 1:3 dapat mengakibatkan terjadinya penurunan
kadar xanthone yang cukup signifikan karena kemampuan ethanol dalam
mengikat xanthone kurang optimal.
b. Kadar Antosianin
Antosianin adalah salah satu senyawa lain yang jumlahnya cukup
besar terdapat pada kulit manggis. Senyawa antosianin termasuk ke dalam
kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas
pada tanaman. Menurut Fasoyiro et al. (2005), senyawa antosianin
memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan memiliki peranan yang
cukup
penting
dalam
pencegahan
penyakit
neuronal,
penyakit
cardiovascular, kanker, dan diabetes.
Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar antosianin pada taraf
α= 0.05 (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata untuk setiap perlakuan ekstraksi kulit manggis pada perbandingan
1:2, 1:3, dan 1:4. Senyawa antosianin yang ikut terekstrak paling besar
terdapat pada penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 yaitu
sebesar 5.63 mg/g contoh. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak
1: 3 pada proses ekstraksi memiliki nilai kadar antosianin sebesar 4.49
mg/g contoh, dan penggunaan ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai
kadar antosianin terendah yaitu sebesar 3.99 mg/g contoh. Hasil
Kadar Antosianin (mg/g)
pengujian kadar antosianin dapat dilihat pada Gambar 6.
6
5
4
3
2
1
0
1:2
1:3
1:4
Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 6 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar antosianin
Berdasarkan
hasil
ini
diketahui
bahwa
semakin
besar
penggunaan jumlah ethanol pada proses ekstraksi maka senyawa
antosianin yang ikut terekstrak akan semakin besar pula. Hal ini
dikarenakan proses ekstraksi akan sangat dipengaruhi oleh tingkat
kepolaran dari senyawa yang akan diekstrak. Senyawa antosianin
merupakan senyawa yang kepolarannya lebih rendah dibandingkan
dengan air, sehingga relatif kurang polar. Menurut Fieser dan Fieser
(1997), ethanol merupakan alkohol rantai pendek yang dapat bercampur
merata dengan air dalam berbagai proporsi. Pelarut ethanol umumnya
digunakan sebagai pengekstrak dari berbagai senyawa lain. Polaritas dari
ethanol lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga digunakan
sebagai pelarut yang baik bagi senyawa yang relatif kurang polar. Oleh
karena itu, sesuai dengan prinsip ‘like disolve like’ dimana senyawa yang
bersifat kurang polar akan lebih mudah terekstrak pada pelarut yang
bersifat kurang polar maka senyawa antosianin akan lebih mudah
terekstrak pada pelarut ethanol.
Selain dikarenakan penggunaan jenis pelarut yang sesuai,
tingginya nilai kadar antosianin yang dihasilkan dipengaruhi oleh
besarnya volume pelarut yang digunakan. Semakin besar volume pelarut
yang digunakan dalam jumlah bahan yang diekstrak maka rendemen yang
dihasilkan
juga
semakin
besar.
Semakin
banyak
pelarut
yang
ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan
bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat terekstrak
oleh pelarut. Oleh karena itu, penggunaan pelarut ethanol yang besar pada
proses ekstraksi kulit manggis akan mengakibatkan senyawa antosianin
yang ikut terekstrak akan semakin tinggi, sehingga berdasarkan besarnya
penggunaan pelarut ethanol maka perbandingan 1:2 adalah hasil ekstrak
yang memiliki nilai kadar antosianin tertinggi dibandingkan dengan 1:3
dan 1:4.
c. Kadar Serat
Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena
dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Pada
kulit manggis serat merupakan salah satu komponen yang jumlahnya
cukup bsar terkandung. Oleh karena itu, pengujian dilakukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya sisa serat yang dihasilkan dari proses
ekstraksi kulit manggis. Hasil analisa sidik ragam pada selang
kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
yang nyata antara perbandingan penggunaan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan
1:4 dengan hasil uji lanjut Duncan menyatakan perbandingan 1:2 tidak
berbeda nyata dengan 1:3 sedangkan perlakuan 1:4 berbeda nyata dengan
perlakuan 1:2 dan 1:3. Nilai kadar serat tertinggi yang diperoleh yaitu
sebesar 0.19% dimana ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut
ethanol dan air sebanyak 1:2, kemudian perlakuan dengan perbandingan
pelarut ethanol dan air 1:3 yaitu sebesar 0.16% dan nilai kadar serat
terendah yaitu sebesar 0.12% dengan penggunaan perbandingan pelarut
ethanol dan air sebanyak 1:4. Histogram hasil pengujian kadar serat dapat
dilihat pada Gambar 7.
Kadar Serat (%bk)
0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
1:2
1:3
1:4
Perbandingan Ethanol: Air
Gambar 7 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar serat
Berdasarkan histogram hasil pengujian kadar serat diketahui
bahwa semakin besar penggunaan ethanol pada campuran pelarut maka
semakin tinggi nilai kadar serat yang dihasilkan. Adanya pelarut ethanol
sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jumlah serat yang dapat
terekstrak. Hal ini dikarenakan pengujian kadar serat yang dilakukan pada
ekstrak kulit manggis adalah pengujian serat kasar. Serat kasar adalah
bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia
seperti asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 3,25%)
sehingga setiap bahan yang tidak terhidrolisis dapat terhitung sebagai
serat. Oleh karena itu, pada penggunaan ethanol yang lebih banyak maka
kemampuan senyawa lain untuk ikut terekstrak akan semakin besar dan
adanya senyawa yang tidak terhidrolisis dan terhitung sebagai serat akan
semakin besar pula. Hal ini yang membuat ekstrak kulit manggis pada
perbandingan 1:2 memiliki nilai kadar serat tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya. Nilai kadar serat yang dihasilkan dari ketiga ekstrak
kulit manggis sebenarnya cenderung rendah. Rendahnya serat yang
dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya tahapan pemisahan saat proses
ekstraksi
berlangsung, sehingga sebagian besar serat yang ada telah
terbuang bersama ampas. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa yang
terhitung sebagai serat pada ekstrak kulit manggis ini hanya merupakan
residu dari proses ekstraksi.
d. Kadar Tanin
Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit.
Adanya kandungan ini yang membuat rasa dari kulit manggis menjadi
sepat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05
(Lampiran 6) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar
perlakuan dimana perlakuan dengan perbandingan ethanol dan air sebesar
1:2 memiliki nilai kadar tanin terendah yaitu 0.94%, kemudian
perbandingan ethanol dan air sebesar 1:3 yaitu 1.18% dan perbandingan
ethanol dan air 1:4 sebesar 1.42%. Nilai kadar tanin terbesar dihasilkan
oleh ekstrak kulit manggis dengan perlakuan penggunaan pelarut ethanol
yang lebih sedikit dibandingkan air yaitu 1:3, sedangkan nilai kadar tanin
terendah dihasilkan oleh ekstrak kulit manggis yang menggunakan pelarut
ethanol yang lebih besar dibandingkan air yaitu 1:2. Histogram hasil
Kadar Tanin (%)
pengujian kadar tanin dapat dilihat pada Gambar 8.
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
1:2
1:3
1:4
Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 8 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar tanin
Melihat histogram di atas maka dapat diketahui bahwa semakin
besar perbandingan penggunaan pelarut air dibandingkan ethanol maka
kadar tanin yang ikut terekstrak akan semakin tinggi. Tanin tergolong ke
dalam senyawa fenol kompleks dengan berat molekul yang tinggi.
Senyawa fenol merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang
memiliki ciri-ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu
atau dua gugus hidroksil. Sifat dari senyawa fenol yaitu cenderung mudah
larut dalam air. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa senyawa
tanin adalah senyawa yang bersifat relatif polar.
Seperti pada prinsip ekstraksi dimana senyawa yang bersifat
polar hanya dapat terikat pada pelarut yang bersifat polar juga maka
senyawa tanin akan mudah terekstrak pada pelarut yang bersifat polar. Air
merupakan pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang lebih baik
dibandingkan dengan pelarut lain sehingga penggunaan pelarut air yang
tinggi akan dapat membuat tanin yang ikut terekstrak menjadi lebih
banyak. Oleh karena itu, penggunaan perbandingan ethanol dan air
sebanyak 1:3 memiliki nilai kadar tanin tertinggi. Selain dari penggunaan
pelarut air, nilai kadar tanin juga diengaruhi oleh adanya pelarut ethanol.
Ethanol meskipun tidak memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik
daripada air namun tetap memiliki kemampuan dalam mengikat senyawa
tanin. Hanya saja, senyawa tanin yang terikat oleh ethanol kemudian akan
terendap dan terpisah ketika proses penyaringan sehingga kadar tanin yng
diperoleh menjadi relatif rendah. Hal ini yang membuat perlakuan dengan
penggunaan ethanol tertinggi yaitu 1:2 memiliki nilai kadar tanin
terendah. Adanya senyawa tanin pada ekstrak kulit manggis tidak
sepenuhnya merugikan, karena beberapa tanin diketahui mempunyai
aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor.
C. Aplikasi Ekstrak Kulit Manggis
Salah satu aplikasi yang dapat dilakukan dari ekstrak kulit manggis
adalah dalam bentuk produk sirup. Sirup merupakan minuman yang banyak
dikonsumsi masyarakat karena kemudahannya dalam penyajian. Menurut SII0153-77, sirup adalah larutan gula pekat yang digunakan sebagai bahan minuman
dengan atau ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartarat dan asam
laktat) juga aroma dan zat warna.
1. Pembuatan Produk Sirup Xanthone
Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah
ekstrak kulit manggis sebagai bahan utama dan ekstrak rosela, madu serta
flavor sebagai bahan tambahan. Bahan tambahan digunakan agar dapat
menghasilkan sirup dengan rasa, aroma, dan warna yang baik. Warna adalah
salah satu aspek penting yang membuat suatu produk dapat diterima.
Keinginan untuk mengkonsumsi dan membeli produk pangan sebagian besar
ditentukan oleh warna yang menarik perhatian. Warna dalam bahan pangan
juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut.
Berdasarkan hal ini maka untuk dapat menghasilkan sirup dengan
warna yang menarik digunakan bahan tambahan berupa pewarna dalam
proses pembuat sirup xanthone. Pewarna makanan adalah zat warna alami
maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan atau minuman
untuk memperoleh warna yang diinginkan. Tujuan penambahan pewarna
pada pembuatan sirup xanthone adalah untuk memperbaiki penampakan dari
sirup yang dihasilkan karena ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai
bahan
utama
cenderung
berwarna
kusam
kecoklatan,
memperoleh
penampakan warna sirup yang seragam, memperoleh penampakan warna
yang menarik, untuk memberi identitas dari sirup xanthone, dan sebagai
indikator visual dari kualitas.
Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia yang diatur
dalam SK Meneteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam
SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan
Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan yaitu
pewarna alami, pewarna identik alami, dan pewarna sintetik (Bauernfeind,
1981). Jenis pewarna yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah
pewarna alami yang diperoleh dari ekstrak rosela. Pewarna alami adalah
bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani atau sumber-sumber
mineral. Contoh yang tergolong pewarna alami antara lain curcumin,
riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid.
Penggunaan pewarna alami dipilih karena efek warna yang terbentuk
cerah, dapat memberikan rasa yang khas serta diharapkan sirup bersifat alami
sehingga baik bagi kesehatan. Antosianin yang berasal dari ekstrak rosela
adalah bahan yang dipilih untuk digunakan sebagai pewarna alami. Tanaman
rosela (Hibiscus sabdariffa) merupakan salah satu tanaman anggota keluarga
Malvaceae (tanaman penghasil serat) yang pada bagian kelopak bunganya
terkandung pigmen antosianin. Jenis antosianin utama yang terdapat pada
rosela yaitu delphinidin 3-sambubioside atau hibiscin, cyanidin 3sambubioside, delphinidin3-glucoside, dan cyanidin 3-glucoside (Du dan
Francis, 1973). Pigmen antosianin pada kelopak bunga rosela tersebut telah
banyak dimanfaatkan sebagai pewarna makanan yang berwarna merah.
Penggunaan kelopak bunga rosela sebagai pewarna alami lebih
disebabkan oleh kelebihan yang dimilikinya. Diketahui bahwa kelopak bunga
rosela mengandung vitamin A, vitamin C, dan asam amino. Studi tetang sifat
fisikokimia rosela menunjukkan bahwa rosela merupakan tanaman dengan
kandungan asam yang tinggi dan gula yang rendah sehingga dengan
tingginya rasa asam yang dimiliki oleh rosela dapat memperbaiki dan
memberikan efek cita rasa yang lebih baik pada sirup xanthone (Fasoyiro et
al., 2005).
Bahan penting lainnya untuk membuat sirup selain pewarna alami
adalah
pemanis.
Pemanis
merupakan
senyawa
kimia
yang
sering
ditambahkan dan digunakan untuk produk olahan pangan, industri, serta
minuman dan makanan kesehatan. Fungsi pemanis dalam campuran sirup
xanthone adalah untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifatsifat fisik dari sirup yang terbentuk, sebagai pengawet, dan memperbaiki sifat
kimia sekaligus merupakan sumber kalori yang penting bagi tubuh. Jenis
pemanis yang digunakan untuk sirup xanthone adalah pemanis nutritif alami.
Pemanis nutritif alami merupakan jenis pemanis yang dapat menghasilkan
sejumlah energi yang terdapat secara alami dalam bahan tertentu, contohnya
madu, laktosa, gula tebu (sukrosa), gula aren, dan gula buah-buahan
(fruktosa).
Madu adalah pemanis nutritif alami yang dipilih untuk digunakan
dalam campuran sirup xanthone. Madu merupakan cairan yang rasanya
manis, dihasilkan oleh lebah madu dan berasal dari sari bunga atau dari cairan
yang berasal dari bagian tanaman-tanaman hidup yang dikumpulkan, diubah
dan diikat dengan senyawa-senyawa tertentu oleh lebah dan disimpan dalam
sarangnya (SII, 1977). Penggunaan madu dipilih berdasarkan beberapa alasan
yaitu jenis gula yang dominan terdapat pada madu adalah fruktosa sehingga
memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan sukrosa dan
glukosa, dapat memperbaiki mutu rasa produk akhir (peningkatan rasa manis
dan mengurangi rasa pahit), memperbaiki penampakan produk akhir (warna
keemasan yang lebih nyata dan kecermelangan lebih baik), memperbaiki
daya awet produk, dan madu memiliki khasiat untuk menyembuhkan
beberapa penyakit seperti alat pencernaan, pernapasan, konstipasi, radang
usus, jantung, hipertensi, dan sebagainya (Sumaprastowo dan Suprapto,
1980).
Setelah pewarna dan pemanis, bahan terakhir yang diperlukan dalam
pembuatan sirup xanthone adalah flavor. Flavor minuman dapat berasal dari
buah, minuman buah atau flavor buatan (sintetik). Flavor sintetik dibuat dari
bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber
alami.
Keuntungan
menggunakan
flavor
sintetik
adalah
ekonomis,
konsentrasi tinggi, penyimpanan yang mudah, lebih stabil, dan lebih tahan
lama. Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh senyawa flavor buatan yang baik
diantaranya harus larut dalam air, tidak meninggalkan after taste, tahan asam,
murni (bebas dari bahan pengotor), tahan panas, dan digunakan dalam jumlah
yang tepat (Hezberg, 1978). Meskipun dalam jumlah kecil flavor sangat
berarti atau berperan dalam produk minuman. Flavor Blackcurrant adalah
flavor yang dipilih untuk dapat memperbaiki aroma dari sirup xanthone.
Blackcurrant diketahui tergolong buah yang hampir serupa dengan anggur
dimana bersifat asam sehingga aroma yang dihasilkan menyegarkan. Oleh
karena itu, aroma ini dirasa paling sesuai dengan sirup xanthone yang juga
memiliki rasa sedikit asam.
Ekstrak kulit manggis, ekstrak rosela dan madu yang digunakan
dalam pembuatan sirup xanthone adalah sebesar 50%, 10%, dan 40%. Jumlah
ekstrak kulit manggis sebesar 50% dari total campuran didasarkan atas tujuan
dari pembuatan sirup yaitu sebagai bentuk aplikasi dari ekstrak xanthone kulit
manggis sehingga yang diinginkan bahwa penggunaan ekstrak kulit manggis
akan lebih dominan dibandingkan dengan persentase bahan lain. Selain itu,
produk akhir yang diharapkan adalah sirup yang dapat bermanfaat bagi
kesehatan sehingga dengan tingginya persentase penggunaan ekstrak kulit
manggis maka kandungan xanthone akan semakin tinggi sehingga sirup
dapat menjadi lebih berkhasiat. Madu adalah bahan lain yang paling banyak
terdapat dalam campuran sirup selain ekstrak kulit manggis. Besarnya
penggunaan madu adalah 40% dari total campuran. Hal ini didasarkan atas
pengertian dari produk sirup yaitu sebagai larutan gula pekat maka
penggunaan pemanis harus cukup besar agar kandungan gula yang ada dalam
sirup dapat memenuhi SNI (minimal 65% kandungan gula). Penggunaan
pewarna pada campuran sirup xanthone hanya sebesar 10% dari total
campuran. Hal ini dikarenakan tampilan warna yang terbentuk ketika
menggunakan 10% pewarna dirasa paling sesuai bagi produk sirup xanthone.
Setelah mendapatkan formula dari masing-masing bahan maka dapat
dilakukan proses pencampuran antara ekstrak kulit manggis, madu, dan
ekstrak antosianin (50%, 40%, dan 10%). Selanjutnya sirup mengalami
proses pemanasan hingga mendidih (± 90 - 95 oC) selama 10 menit.
Pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk dapat mematikan mikroba yang
terbawa pada saat proses pengolahan, serta menghilangkan ethanol yang ada
pada sirup. Hal ini dikarenakan ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai
salah satu campuran diperoleh dari proses ekstraksi menggunakan pelarut
ethanol. Diketahui bahwa ethanol memiliki titik didih sebesar 78.3-78.4 oC,
sehingga pemanasan yang dilakukan di atas titik didih ethanol diharapkan
telah dapat menguapkannnya. Penambahan flavor blackcurrant sebesar 1%
dari volume sirup dilakukan diakhir proses agar aroma yang terbentuk dapat
maksimal. Produk sirup xanthone dapat dilihat pada Gambar 9.
1:2
1:3
1:4
Gambar 9 Sirup xanthone
Sirup xanthone yang dihasilkan selanjutnya akan mengalami
pengujian secara kimia dan organoleptik. Pengujian secara kimia dilakukan
untuk mengetahui komposisi yang ada dalam sirup xanthone yang meliputi
kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar xanthone, kadar
vitamin C, total gula, pH, total mikroba, dan kadar alkohol. Uji organoleptik
dilakukan dengan cara menyajikan sirup dengan perbandingan sirup:air
sebesar 1:3.
2. Uji Organoleptik
Uji organoleptik merupakan salah satu parameter pengujian produk
pangan yang bertujuan untuk menilai mutu atau sifat-sifat sensorik dari suatu
komoditi. Uji organoleptik tergolong ke dalam uji yang bersifat subyektif
dengan menggunakan panelis berdasarkan tingkat kesukaan dan kepekaan
yang bervariasi. Sekelompok orang (panelis) akan menilai mutu atau
memberikan kesan berdasarkan prosedur yang diujikan. Uji organoleptik
yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik (kesukaan) dengan
menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih.
Pengujian akan dilakukan terhadap 3 jenis produk yaitu A1, A2, dan
A3 berdasarkan kriteria aroma, rasa, dan warna dengan skala penilaian antara
1-7. Pernyataan sangat suka bernilai 7, pernyataan suka bernilai 6, pernyataan
agak suka bernilai 5, pernyataan netral bernilai 4, pernyataan agak tidak suka
bernilai 3, pernyataan tidak suka bernilai 2, dan pernyataan sangat tidak suka
bernilai 1.
a. Aroma
Kriteria aroma merupakan salah satu uji hedonik yang dilakukan
pada penelitian ini. Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan
kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga
hidung ketika makanan masuk ke dalam mulut (Peckam, 1969). Hasil
penilaian berdasarkan kriteria aroma dapat dilihat pada Gambar 11.
Skor Kesukaan
7
6
5
4
3
2
1
A1 (1:2)
A2 (1:3)
Perbandingan Ethanol:Air
A3 (1:4)
Gambar 11 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat
kesukaan aroma sirup
Respon yang diberikan panelis terhadap produk sirup xanthone
menunjukkan bahwa produk A2 (produk dengan penggunaan konsentrasi
ethnol dan air sebesar 1:3 pada proses ekstraksi xanthone) memiliki nilai
rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.43. Produk lain yang
cukup disukai panelis berikutnya adalah A3 (produk dengan penggunaan
konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:4 pada proses ekstraksi xanthone)
dengan rata-rata nilai kesukaan yaitu 5.27, sedangkan produk sirup yang
memiliki nilai kesukaan terkecil yaitu A1 (produk dengan penggunaan
konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:2 pada proses ekstraksi xanthone)
dengan rata-rata nilai sebesar 4.90.
Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih
banyak merupakan berbagai aroma ramuan atau campuran empat bau
utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Bau dari suatu produk
makanan atau minuman harus menentukan kelezatan dari makanan atau
minuman tersebut. Oleh karena itu, suatu zat harus bersifat mudah
menguap dan larut dalam air sehingga dapat menghasilkan bau yang baik
dalam penilaian aroma (Winarno, 1997).
Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada taraf α= 0.05
(Lampiran 8) diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma
dari sirup xanthone tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara
ketiga produk sirup. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah penggunaan
konsentrasi flavor blackcurant pada A1, A2 dan A3 adalah sama yaitu
sebesar 1% dari total campuran sirup sehingga dengan ini panelis tidak
merasakan perbedaan yang signifikan terhadap aroma dari produk yang
dihasilkan.
b. Rasa
Rasa adalah kriteria lain yang menjadi penilaian terhadap tingkat
kesukaan sirup xanthone. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya,
senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat
mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk
kemudian mengirimnya melalui syaraf ke pusat susunan syaraf.
Hasil penilaian uji hedonik terhadap rasa dari sirup xanthone
menunjukkan bahwa sirup dengan kode A2 memiliki nilai rata-rata
kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.23. Sirup dengan kode A1
memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.90 dan sirup dengan kode A3
memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.63. Berdasarkan hal ini maka
sirup dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 pada
proses ekstraksi kulit manggis (A2) paling disukai dibandingkan dengan
kedua produk sirup lainnya. Hasil uji hedonik untuk kriteria rasa dapat
dilihat pada Gambar 12.
7
Skor Kesukaan
6
5
4
3
2
1
A1 (1:2)
A2 (1:3)
A3 (1:4)
Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 12 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat
kesukaan rasa sirup
Hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05 (Lampiran 10)
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga
produk sirup dengan A2 merupakan produk yang paling disukai. Hal ini
dapat disebabkan oleh penambahan pemanis berupa madu pada
pembuatan sirup xanthone terhadap produk A1, A2 dan A3 adalah sama
yaitu sebesar 40%, sehingga dengan ini panelis tidak merasakan
perbedaan yang nyata dari ketiga produk.
c. Warna
Warna
merupakan salah satu karakteristik yang menentukan
penerimaan atau penolakan suatu produk oleh konsumen. Kesan pertama
yang didapat dari bahan pangan adalah warna. Menurut Winarno (1997),
penilaian mutu bahan makanan umumnya sangat bergantung pada
beberapa faktor antara lain cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya,
namun dari faktor-faktor tersebut warna dari suatu produk adalah hal yang
secara visual akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan. Hasil
penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dapat dilihat pada
Gambar 13. Hasil penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dari
sirup xanthone menunjukkan bahwa produk dengan kode A3 memiliki
nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.47. Sirup
dengan kode A1 memiliki tingkat kesukaan tertinggi setelah A2 dengan
nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.53 dan sirup dengan kode A3
mendapatkan nilai rata-rata kesukaan terkecil yaitu sebesar 4.2.
7
Skor Kesukaan
6
5
4
3
2
1
A1 (1:2)
A2 (1:3)
A3 (1:4)
Perbandingan Ethanol:Air
Gambar 13 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat
kesukaan warna sirup
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05
(Lampiran 12) diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata diantara
ketiga produk tersebut. Melalui hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa
sirup dengan kode A1 tidak berbeda nyata dengan sirup A3, sedangkan
sirup dengan kode A2 berbeda nyata terhadap sirup A1 dan A3. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh kadar antosianin yang terkandung pada ekstrak
kulit manggis yang digunakan. Semakin tinggi kadar antosianin yang ada
pada hasil ekstraksi kulit manggis maka warna sirup yang dihasilkan akan
semakin merah pekat karena penambahan ekstrak rosela (pewarna alami)
untuk ketiga produk adalah sama yaitu 10%.
Nilai kadar antosianin tertinggi dimiliki oleh ekstrak kulit
manggis dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 (A1),
kemudian diikuti oleh ekstrak kulit manggis dengan penggunaan ethanol
dan air sebanyak 1:3 (A2) dan ekstrak kulit manggis dengan pengunaan
ethanol dan air sebanyak 1:4 (A3). Oleh karena itu, sirup dengan kode A1
akan memiliki warna yang paling merah dibandingkan dengan sirup pada
kode A2 dan A3. Pada penilaian sirup terhadap kriteria warna, umumnya
panelis akan lebih menyukai sirup dengan warna yang tidak merah pekat,
namun tidak pula merah pucat. Sirup dengan kode A1 lebih menghasilkan
warna yang merah pekat, sedangkan sirup dengan kode A3 memiliki
warna yang merah pucat. Berdasarkan hal ini, maka panelis cenderung
menyukai sirup dengan kode A3 yang memiliki warna dengan tingkat
kemerahan yang lebih baik.
3. Karakteristik Sirup Xanthone
Analisa produk adalah analisa akhir yang dilakukan untuk
mengetahui kandungan kimia dari suatu produk. Pada penelitian ini, analisa
dilakukan terhadap formula sirup xanthone dengan penggunaan ekstrak kulit
manggis 1:2 (ethanol:air). Penggunaan sirup ini sebagai sirup terpilih
dikarenakan kandungan senyawa aktif yang dimiliki dan tingkat kesukaan
yang paling baik diantara formula sirup lainnya. Hasil Analisa sirup xanthone
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik sirup xanthone
Karakteristik
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%bk)
Kadar Protein (%bk)
Kadar Serat (%bk)
Kadar Xanthone (mg/100ml)
Total Gula (%)
Kadar Vitamin C (%bk)
Kadar Alkohol (%)
pH
Total Mikroba (koloni/ml)
Jumlah
41.73
0.86
0.36
0.07
46.49
60.41
14.08
0.85
4.00
3.67
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil analisa kadar
xanthone menunjukkan nilai sebesar 46.49 mg/100 ml sirup. Nilai kadar
xanthone ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai xanthone yang
seharusnya terkandung pada sirup xanthone. Diketahui bahwa dalam proses
pembuatan sirup, ekstrak kulit manggis yang digunakan adalah sebesar 50%
sehingga dengan penggunaan ekstrak kulit manggis 1:2 (kadar xanthone
97.68 mg/100 ml contoh) seharusnya terkandung senyawa xanthone sebesar
48.84 mg/100 ml. Berkurangnya kandungan xanthone pada sirup dapat
disebabkan oleh proses pemanasan yang terjadi ketika pembuatan sirup. Saat
proses pemanasan terdapat senyawa xanthone yang ikut teruapkan bersama
air dan alkohol sehingga terjadi kehilangan sebesar 2.34 mg xanthone.
Hasil perhitungan total gula dengan metode fenol (Lampiran 13)
terhadap sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 60.41%. Nilai ini lebih
rendah dari total gula sirup berdasarkan SNI 01-3544-1994 yaitu minimal
65%. Hal ini dapat disebabkan oleh persentase penggunaan madu sebagai
pemanis yang hanya sebesar 40%. Dalam pembuatan sirup umumnya
penggunaan bahan pemanis yang ditambahkan melebihi 50% dari total
campuran sirup. Sedangkan dalam sirup xanthone, kandungan utama bahan
yang diinginkan adalah xanthone sehingga pemakaian madu sebagai pemanis
kurang dari 50%. Hasil pengujian terhadap nilai kadar vitamin C sirup
xanthone menunjukkan nilai sebesar 14.08 %. Nilai kadar vitamin C yang
cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan oleh adanya penggunaan
ekstrak rosela. Diketahui bahwa kandungan vitamin C (asam askorbat) dari
rosela 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali
dari buah belimbing dan 25 kali dari jambu biji.
Kadar alkohol adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
adanya kandungan alkohol dalam suatu bahan. Hasil pengujian terhadap sirup
xanthone menunjukkan nilai kadar alkohol sebesar 0.85%. Adanya
kandungan alkohol yang tertinggal pada produk sirup xanthone dapat
disebabkan oleh terikatnya ethanol pada senyawa-senyawa aktif pada sirup
sehingga sulit teruapkan dengan proses pemanasan. Menurut peraturan
Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997, minuman beralkohol dapat dibedakan
menjadi tiga golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5%, golongan B
dengan kadar alkohol 5-20%, dan golongan C dengan kadar alkohol 20-55%.
Berdasarkan hal ini maka sirup xanthone dapat dikatakan sebagai minuman
yang tidak beralkohol. Sedangkan dari segi kehalalan menurut Majelis Ulama
Indonesia (MUI) suatu bahan makanan atau minuman dapat dikatakan halal
apabila memiliki kadar alkohol dibawah 1% dan kadar alkohol pada sirup
xanthone adalah dibawah 1% sehingga sirup xanthone bersifat halal.
Hasil pengamatan terhadap nilai pH yang dilakukan pada sirup
xanthone menunjukkan nilai sebesar 4. Menurut Fardiaz (1992), bahan
pangan dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan nilai pH-nya yaitu
bahan pangan bersasam rendah (pH>5.3), bahan pangan berasam sedang (pH
4.5-5.3), bahan pangan asam (pH 3.7-4.5), dan bahan pangan berasam tinggi
(pH<3.7). Berdasarkan hal ini maka produk sirup xanthone dapat
dikategorikan sebagai produk berbahan pangan asam. Tingkat keasaman yang
cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan dari adanya penggunaan
ekstrak rosela di dalam campurannya. Kandungan total mikroba yang ada
dalam sirup xanthone diketahui sebesar 3.67 koloni/ml sampel. Hal ini masih
dalam batas yang dapat diterima untuk produk sirup. Menurut SNI 01-35441994, diketahui bahwa cemaran mikroba yang dapat diterima berdasarkan
angka lempeng total maksimal 500 koloni/ml. Adanya mikroba yang
ditemukan dalam produk sirup xanthone dapat disebabkan oleh proses
produksi yang kurang steril ataupun proses penanaman mikroba yang
terkontaminasi oleh lingkungan.
Download