IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Kulit Manggis Analisa proksimat merupakan tahapan awal yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia suatu bahan. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dengan hasil analisa proksimat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi kimia kulit manggis Komposisi Kimia Jumlah Kadar Air (%) 61.83 Kadar Abu (% bk) 3.29 Kadar Lemak (% bk) 1.23 Kadar Serat (% bk) 21.04 Kadar Protein (% bk) 2.66 Kadar Karbohidrat (% by different) 30.99 Hasil analisis komponen kimia menunjukkan bahwa kulit manggis memiliki kandungan air sebesar 61.83%. Tingginya kadar air kulit manggis dapat menyebabkan bahan mudah mengalami kerusakan jika tidak dilakukan pengolahan. Diketahui bahwa air merupakan komponen penting dalam suatu bahan pangan. Keberadaan air akan menentukan terjadinya kerusakan karena dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Fardiaz et al., 1992). Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Hasil analisia menunjukkan bahwa kulit manggis memiliki nilai kadar serat kasar sebesar 21.04%. Adanya hal ini dapat menjadi suatu nilai tambah bagi kulit manggis apabila diaplikasikan ke dalam bentuk produk pangan. Serat sebagai residu dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis dengan bahan kimia memiliki fungsi utama antara lain: (1) memperlambat kecepatan pencernaan pati sehingga aliran energi ke tubuh menjadi berkurang, (2) memperlambat pengosongan lambung sehingga memberi perasaan kenyang yang lebih lama, (3) memperlambat penyerapan glukosa dalam usus sehingga membantu mengatur kebutuhan insulin (Gallaher, 2000), (4) meningkatkan kebutuhan saluran pencernaan dengan cara meningkatkan motilitas atau pergerakan usus besar, (5) mengurangi resiko penyakit jantung, (6) mengikat asam empedu dalam usus (Starck dan Madar, 1994). Kadar abu dalam suatu bahan menunjukkan keberadaan kandungan mineral atau bahan-bahan anorganik. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa jumlah kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit manggis adalah sebesar 3.29%. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), unsur mineral adalah unsur yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang relatif kecil, tetapi keberadaannya tetap diperlukan sebagai zat pembangun dan pengatur. Komponen nutrien lain yang dianalisa adalah protein. Protein merupakan penyusun utama sel-sel tubuh. Pada kulit manggis diketahui jumlah kadar protein yang rendah yaitu 2.66%. Umumnya buah-buahan memang bukan bahan pangan sumber protein sehingga jumlah kandungan protein yang dimiliki relatif kecil. Menurut Suhardjo dan Clara (1987), beberapa kandungan protein dapat diperoleh tanaman dari tanah dan udara sekitarnya dan nitrogen yang diperoleh dari tanah berada dalam bentuk senyawa nitrat dan nitrit. Lemak adalah salah satu komponen lain yang dapat ditemukan pada bahan pertanian. Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya (Winarno, 1997). Kadar lemak yang dimiliki oleh kulit manggis yaitu 1.23%. Karbohidrat merupakan salah satu komponen utama dalam makanan bersama dengan lemak dan protein. Kadar karbohidrat yang dimiliki oleh kulit manggis sebesar 30.99% yang diperoleh dengan metode “by difference”. Semua jenis makanan mengandung sejumlah karbohidrat, dalam bentuk yang bervariasi dari monosakarida sederhana hingga polisakarida kompleks. Pada buah dan sayuran umumnya sebagian besar padatan tersusun dari karbohidrat dan sedikit protein juga lemak. Analisa terhadap bahan baku yang digunakan pada penelitian ini tidak hanya analisa proksimat saja, tetapi dilakukan pula analisa kandungan senyawa aktif yang banyak terkandung pada kulit manggis yaitu senyawa xanthone, antosianin dan tanin. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa kandungan senyawa xanthone yang terdapat pada kulit manggis adalah 165.90 mg/100 ml contoh. Tingginya kandungan xanthone pada kulit manggis membuat bahan ini perlu dimanfaatkan sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya. Selain adanya kandungan xanthone, kulit manggis juga memiliki kandungan senyawa lain yaitu antosianin dan tanin yang masing-masing sebesar 17.52 mg/g contoh dan 3.32%. B. Ekstraksi Kulit Manggis 1. Proses Ekstraksi Ekstraksi adalah istilah yang digunakan untuk setiap proses dimana komponen-komponen (zat) dalam suatu bahan berpindah ke dalam cairan lain (pelarut). Pada penelitian ini, ekstraksi adalah tahapan awal yang dilakukan untuk memperoleh kandungan xanthone yang terdapat pada kulit buah manggis (Garcinia mangostana L). Proses ekstraksi kulit manggis dapat berjalan dengan baik apabila menggunakan pelarut yang sesuai dimana pelarut dapat secara selektif melarutkan komponen xanthone dari kulit manggis dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lain. Ethanol adalah pelarut yang dipilih untuk digunakan dalam proses ekstraksi xanthone. Hal ini didasarkan atas sifat dari pelarut ethanol yang masih tergolong ke dalam pelarut organik namun relatif lebih aman dibandingkan dengan pelarut lain apabila digunakan dalam bahan pangan. Penggunaan ethanol sebagai pelarut selain dapat mengekstrak senyawa xanthone, diharapkan dengan penggunaan pelarut ethanol juga dapat mengurangi tingkat kepahitan yang berasal dari senyawa tanin pada kulit manggis. Proses ekstraksi mula-mula diawali dengan pencucian buah manggis. Pencucian dimaksudkan agar kulit manggis terbebas dari segala kotoran yang melekat seperti tanah, debu atau sisa pestisida. Buah manggis yang telah bersih kemudian dipisahkan antara kulit dengan daging buah. Penggunaan kulit manggis dikarenakan bagian ini memiliki kandungan xanthone 27 kali lebih banyak dibandingkan pada daging buahnya. Kulit manggis yang telah terpisah kemudian mengalami proses pemisahan kembali antara bagian kulit lunak dan kulit keras (kulit terluar). Pemisahan dilakukan karena penggunaan kulit manggis bagian luar akan membuat rasa dari sirup xanthone menjadi semakin pahit. Rasa pahit yang ada disebabkan oleh adanya kandungan senyawa tanin dimana senyawa ini relatif lebih banyak pada bagian kulit luar. Selain rasa yang menjadi pahit, penggunaan kulit manggis bagian luar juga dapat membuat warna atau tampilan dari sirup akan menjadi lebih keruh. Oleh karena itu, penggunaan kulit bagian luar manggis sangat dihindarkan. Kulit bagian lunak yang telah diperoleh selanjutnya mengalami proses penghancuran. Penghancuran dimaksudkan untuk memperkecil ukuran dari bahan sehingga dapat mempercepat pelarutan komponen xanthone dan meningkatkan rendemen ekstraksi. Diketahui bahwa semakin kecil ukuran bahan maka luas permukaan bahan yang melakukan kontak dengan pelarut akan semakin besar. Ukuran partikel kulit manggis yang kecil akan meningkatkan kelarutan bahan dalam pelarut sehingga kadar xanthone juga akan meningkat. Selain itu, waktu yang diperlukan komponen untuk keluar dari bahan menjadi lebih singkat dan proses ekstraksi berlangsung lebih cepat. Setelah proses penghancuran maka proses ekstraksi dapat dilakukan dengan mencampurkan bahan dengan pelarut pada pebandingan 1:4 (b/v). Perbandingan ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Pradipta et al. (2008) tentang isolasi dan identifikasi senyawa xanthone dari kulit buah manggis (Garcinia mangostana, L.). Pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi adalah campuran antara pelarut ethanol 70% dan air. Penggunaan ethanol dengan konsentrasi 70% didasarkan atas keefektifan terhadap xanthone yang dapat terekstrak, karena semakin tinggi konsentrasi ethanol maka senyawa xanthone yang terekstrak akan semakin tinggi namun kemungkinan ethanol yang tersisa pada sirup juga akan semakin besar. Berdasarkan hal ini maka ethanol 70% dirasa memiliki konsentrasi yang sesuai yaitu tidak cukup tinggi namun tidak juga rendah sehingga diharapkan dapat menghasilkan kadar xanthone yang tinggi namun tidak meninggalkan sisa ethanol pada sirup yang dihasilkan. Begitu pula dengan digunakannya campuran air sebagai pelarut karena penggunaan pelarut ethanol tanpa pencampuran air dikhawatirkan akan sulit menguapkan ethanol yang terkandung dalam ekstrak kulit manggis sehingga dapat meninggalkan residu ketika ekstrak kulit manggis diaplikasikan ke dalam bentuk sirup. Sirup yang masih terdapat kandungan ethanol dalam jumlah tinggi dapat membuat produk memiliki cita rasa yang tidak enak dan dianggap tidak halal. Oleh karena itu, untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan campuran pelarut ethanol dan air terhadap kandungan senyawa aktif pada kulit manggis dan hasil aplikasinya pada produk sirup penelitian ini dibagi menjadi 3 perlakuan. Perlakuan pertama adalah perlakuan dengan ekstraksi menggunakan perbandingan 1:2 (ethanol:air), perlakuan kedua menggunakan perbandingan 1:3 (ethanol:air), dan perlakuan ketiga menggunakan perbandingan 1:4 (ethanol:air). Penggunaan perbandingan ethanol-air didasarkan atas prinsip ekstraksi dan sifat dari senyawa xanthone dimana semakin banyak penggunaan pelarut ethanol maka senyawa yang terekstrak akan semakin besar karena kelarutan xanthone hanya pada pelarut organik. Berdasarkan hal ini maka dapat diasumsikan bahwa penggunaan ethanol yang lebih besar dari 1:2 maka xanthone yang akan terekstrak semakin besar namun kandungan ethanol yang mungkin akan tersisa juga besar, sedangkan penggunaan ethanol 70% dan air yang lebih kecil dari perbandingan 1:3 maka xanthone yang terekstrak akan semakin kecil pula dan ini tidak diinginkan. Oleh karena itu, perlakuan penggunaan campuran pelarut ethanol 70% dan air yang dipilih adalah 1:2, 1:3, dan 1:4. Teknik ekstraksi diketahui memiliki beberapa cara seperti perkolasi, maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi, namun pada penelitian ini cara ekstraksi yang dilakukan adalah dengan metode maserasi. Maserasi adalah teknik yang digunakan untuk mengekstrak suatu senyawa yang diinginkan dalam suatu bahan dengan cara merendam bahan dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Proses maserasi pada ekstraksi kulit manggis dilakukan selama 24 jam dan dalam suhu kamar. Waktu perendaman yang cukup lama dimaksudkan agar komponen senyawa xanthone yang akan terekstrak dapat maksimal. Diketahui bahwa menurut Bombardelli (1991), lama ekstraksi akan menentukan jumlah komponen yang dapat diekstrak dari bahan. Lama ekstraksi berhubungan dengan waktu kontak antara bahan dan pelarut. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar sehingga kelarutan komponen xanthone dalam larutan akan meningkat. Kulit manggis yang telah mengalami perendaman kemudian mengalami proses pemisahan. Pemisahan adalah tahapan akhir yang dilakukan pada proses ekstraksi yang bertujuan untuk mendapatkan senyawa xanthone pada ekstrak kulit manggis. Hasil ekstraksi kulit manggis dapat dilihat pada Gambar 4. 1:2 1:3 1:4 Gambar 4 Hasil ekstraksi kulit manggis 2. Karakteristik Ekstrak Kulit Manggis Filtrat kulit manggis yang diperoleh dari hasil ekstraksi, selanjutnya akan dianalisa berdasarkan senyawa-senyawa yang banyak terkandung didalamnya yaitu kadar xanthone, kadar antosianin, kadar serat, dan kadar tanin. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh penggunaan pelarut terhadap senyawa aktif yang ada dalam ekstrak kulit manggis. Rekapitulasi hasil karakterisasi ekstrak kulit manggis dapat dilihat pada Lampiran 2. a. Kadar Xanthone Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul dasar C13H8O2. Turunan senyawa xanthone banyak terdapat di alam dan berdasarkan penelitian telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Turunan senyawa xanthone yang paling banyak dikenal dan dimanfaatkan adalah yang berasal dari buah manggis dan merupakan hasil dari metabolit sekunder (Ji et al., 2007). Analisa kadar xanthone adalah salah satu jenis analisa yang dilakukan pada ekstrak kulit manggis untuk mengetahui pengaruh penggunaan volume ethanol dan air pada hasil ekstraksi. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 3) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada hasil ekstraksi kulit manggis untuk ketiga perlakuan. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 memiliki nilai kadar xanthone tertinggi sebesar 99.43 mg/100 ml contoh, kemudian penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 memiliki nilai kadar xanthone sebesar 97.68 mg/100 ml contoh dan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai kadar xanthone sebesar 56.50 mg/100 ml contoh. Hasil pengujian kadar xanthone dapat dilihat pada Kadar Xanthone (mg/100ml) Gambar 5. 120 100 80 60 40 20 0 1:2 1:3 Perbandingan Ethanol:Air 1:4 Gambar 5 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar xanthone Nilai kadar xanthone sangat dipengaruhi oleh jenis dan besarnya volume pelarut yang digunakan saat proses ekstraksi berlangsung. Berdasarkan histogram pada gambar, diketahui bahwa semakin besar ethanol yang digunakan maka xanthone yang terekstrak akan semakin besar pula. Diketahui bahwa xanthone tergolong senyawa polar karena memiliki gugus OH. Namun, kepolaran dari senyawa xanthone lebih rendah dari air seperti menurut Walker (2007), senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di dalam air sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air namun xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol hingga pelarut hexan. Pada perbandingan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan 1:4 penggunaan pelarut ethanol terbesar adalah pada 1:2 sehingga pelarut ini lebih bersifat kurang polar dibandingkan dengan pelarut 1:3 dan 1:4. Oleh karena itu, dengan kurang polarnya pelarut yang digunakan pada perbandingan 1:2 maka kemampuan untuk mengekstrak xanthone menjadi lebih baik dibandingkan dengan 1:3 dan 1:4 sehingga xanthone yang terekstrak menjadi lebih besar. Selain itu, berdasarkan hasil analisa uji lanjut Duncan diketahui bahwa kandungan xanthone pada ekstrak kulit manggis dengan perbandingan 1:2 tidak berbeda nyata dengan 1:3, sedangkan kandungan xanthone pada ekstrak kulit manggis perbandingan 1:4 berbeda nyata terhadap 1:2 dan 1:3. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut ethanol-air 1:3 memiliki kemampuan yang tidak jauh berbeda dengan pelarut 1:2 dalam mengekstrak xanthone dimana ditandai dengan selisih nilai kadar xanthone yang relatif kecil. Sedangkan, penggunaan campuran pelarut ethanol-air yang melebihi 1:3 dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kadar xanthone yang cukup signifikan karena kemampuan ethanol dalam mengikat xanthone kurang optimal. b. Kadar Antosianin Antosianin adalah salah satu senyawa lain yang jumlahnya cukup besar terdapat pada kulit manggis. Senyawa antosianin termasuk ke dalam kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar luas pada tanaman. Menurut Fasoyiro et al. (2005), senyawa antosianin memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan memiliki peranan yang cukup penting dalam pencegahan penyakit neuronal, penyakit cardiovascular, kanker, dan diabetes. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar antosianin pada taraf α= 0.05 (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk setiap perlakuan ekstraksi kulit manggis pada perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:4. Senyawa antosianin yang ikut terekstrak paling besar terdapat pada penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 yaitu sebesar 5.63 mg/g contoh. Penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1: 3 pada proses ekstraksi memiliki nilai kadar antosianin sebesar 4.49 mg/g contoh, dan penggunaan ethanol dan air sebanyak 1:4 memiliki nilai kadar antosianin terendah yaitu sebesar 3.99 mg/g contoh. Hasil Kadar Antosianin (mg/g) pengujian kadar antosianin dapat dilihat pada Gambar 6. 6 5 4 3 2 1 0 1:2 1:3 1:4 Perbandingan Ethanol:Air Gambar 6 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar antosianin Berdasarkan hasil ini diketahui bahwa semakin besar penggunaan jumlah ethanol pada proses ekstraksi maka senyawa antosianin yang ikut terekstrak akan semakin besar pula. Hal ini dikarenakan proses ekstraksi akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kepolaran dari senyawa yang akan diekstrak. Senyawa antosianin merupakan senyawa yang kepolarannya lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga relatif kurang polar. Menurut Fieser dan Fieser (1997), ethanol merupakan alkohol rantai pendek yang dapat bercampur merata dengan air dalam berbagai proporsi. Pelarut ethanol umumnya digunakan sebagai pengekstrak dari berbagai senyawa lain. Polaritas dari ethanol lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga digunakan sebagai pelarut yang baik bagi senyawa yang relatif kurang polar. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip ‘like disolve like’ dimana senyawa yang bersifat kurang polar akan lebih mudah terekstrak pada pelarut yang bersifat kurang polar maka senyawa antosianin akan lebih mudah terekstrak pada pelarut ethanol. Selain dikarenakan penggunaan jenis pelarut yang sesuai, tingginya nilai kadar antosianin yang dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya volume pelarut yang digunakan. Semakin besar volume pelarut yang digunakan dalam jumlah bahan yang diekstrak maka rendemen yang dihasilkan juga semakin besar. Semakin banyak pelarut yang ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat terekstrak oleh pelarut. Oleh karena itu, penggunaan pelarut ethanol yang besar pada proses ekstraksi kulit manggis akan mengakibatkan senyawa antosianin yang ikut terekstrak akan semakin tinggi, sehingga berdasarkan besarnya penggunaan pelarut ethanol maka perbandingan 1:2 adalah hasil ekstrak yang memiliki nilai kadar antosianin tertinggi dibandingkan dengan 1:3 dan 1:4. c. Kadar Serat Serat adalah salah satu zat yang dibutuhkan oleh tubuh karena dapat membantu memperlancar pencernaan pada tubuh manusia. Pada kulit manggis serat merupakan salah satu komponen yang jumlahnya cukup bsar terkandung. Oleh karena itu, pengujian dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya sisa serat yang dihasilkan dari proses ekstraksi kulit manggis. Hasil analisa sidik ragam pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara perbandingan penggunaan ethanol dan air 1:2, 1:3, dan 1:4 dengan hasil uji lanjut Duncan menyatakan perbandingan 1:2 tidak berbeda nyata dengan 1:3 sedangkan perlakuan 1:4 berbeda nyata dengan perlakuan 1:2 dan 1:3. Nilai kadar serat tertinggi yang diperoleh yaitu sebesar 0.19% dimana ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2, kemudian perlakuan dengan perbandingan pelarut ethanol dan air 1:3 yaitu sebesar 0.16% dan nilai kadar serat terendah yaitu sebesar 0.12% dengan penggunaan perbandingan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:4. Histogram hasil pengujian kadar serat dapat dilihat pada Gambar 7. Kadar Serat (%bk) 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1:2 1:3 1:4 Perbandingan Ethanol: Air Gambar 7 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar serat Berdasarkan histogram hasil pengujian kadar serat diketahui bahwa semakin besar penggunaan ethanol pada campuran pelarut maka semakin tinggi nilai kadar serat yang dihasilkan. Adanya pelarut ethanol sebenarnya tidak secara langsung mempengaruhi jumlah serat yang dapat terekstrak. Hal ini dikarenakan pengujian kadar serat yang dilakukan pada ekstrak kulit manggis adalah pengujian serat kasar. Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia seperti asam sulfat (H2SO4 1,25%) dan natrium hidroksida (NaOH 3,25%) sehingga setiap bahan yang tidak terhidrolisis dapat terhitung sebagai serat. Oleh karena itu, pada penggunaan ethanol yang lebih banyak maka kemampuan senyawa lain untuk ikut terekstrak akan semakin besar dan adanya senyawa yang tidak terhidrolisis dan terhitung sebagai serat akan semakin besar pula. Hal ini yang membuat ekstrak kulit manggis pada perbandingan 1:2 memiliki nilai kadar serat tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Nilai kadar serat yang dihasilkan dari ketiga ekstrak kulit manggis sebenarnya cenderung rendah. Rendahnya serat yang dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya tahapan pemisahan saat proses ekstraksi berlangsung, sehingga sebagian besar serat yang ada telah terbuang bersama ampas. Selain itu, terdapat kemungkinan bahwa yang terhitung sebagai serat pada ekstrak kulit manggis ini hanya merupakan residu dari proses ekstraksi. d. Kadar Tanin Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit. Adanya kandungan ini yang membuat rasa dari kulit manggis menjadi sepat. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 6) diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dimana perlakuan dengan perbandingan ethanol dan air sebesar 1:2 memiliki nilai kadar tanin terendah yaitu 0.94%, kemudian perbandingan ethanol dan air sebesar 1:3 yaitu 1.18% dan perbandingan ethanol dan air 1:4 sebesar 1.42%. Nilai kadar tanin terbesar dihasilkan oleh ekstrak kulit manggis dengan perlakuan penggunaan pelarut ethanol yang lebih sedikit dibandingkan air yaitu 1:3, sedangkan nilai kadar tanin terendah dihasilkan oleh ekstrak kulit manggis yang menggunakan pelarut ethanol yang lebih besar dibandingkan air yaitu 1:2. Histogram hasil Kadar Tanin (%) pengujian kadar tanin dapat dilihat pada Gambar 8. 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 1:2 1:3 1:4 Perbandingan Ethanol:Air Gambar 8 Hubungan perbandingan ethanol:air dengan kadar tanin Melihat histogram di atas maka dapat diketahui bahwa semakin besar perbandingan penggunaan pelarut air dibandingkan ethanol maka kadar tanin yang ikut terekstrak akan semakin tinggi. Tanin tergolong ke dalam senyawa fenol kompleks dengan berat molekul yang tinggi. Senyawa fenol merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang memiliki ciri-ciri yang sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Sifat dari senyawa fenol yaitu cenderung mudah larut dalam air. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa senyawa tanin adalah senyawa yang bersifat relatif polar. Seperti pada prinsip ekstraksi dimana senyawa yang bersifat polar hanya dapat terikat pada pelarut yang bersifat polar juga maka senyawa tanin akan mudah terekstrak pada pelarut yang bersifat polar. Air merupakan pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut lain sehingga penggunaan pelarut air yang tinggi akan dapat membuat tanin yang ikut terekstrak menjadi lebih banyak. Oleh karena itu, penggunaan perbandingan ethanol dan air sebanyak 1:3 memiliki nilai kadar tanin tertinggi. Selain dari penggunaan pelarut air, nilai kadar tanin juga diengaruhi oleh adanya pelarut ethanol. Ethanol meskipun tidak memiliki tingkat kepolaran yang lebih baik daripada air namun tetap memiliki kemampuan dalam mengikat senyawa tanin. Hanya saja, senyawa tanin yang terikat oleh ethanol kemudian akan terendap dan terpisah ketika proses penyaringan sehingga kadar tanin yng diperoleh menjadi relatif rendah. Hal ini yang membuat perlakuan dengan penggunaan ethanol tertinggi yaitu 1:2 memiliki nilai kadar tanin terendah. Adanya senyawa tanin pada ekstrak kulit manggis tidak sepenuhnya merugikan, karena beberapa tanin diketahui mempunyai aktivitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor. C. Aplikasi Ekstrak Kulit Manggis Salah satu aplikasi yang dapat dilakukan dari ekstrak kulit manggis adalah dalam bentuk produk sirup. Sirup merupakan minuman yang banyak dikonsumsi masyarakat karena kemudahannya dalam penyajian. Menurut SII0153-77, sirup adalah larutan gula pekat yang digunakan sebagai bahan minuman dengan atau ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartarat dan asam laktat) juga aroma dan zat warna. 1. Pembuatan Produk Sirup Xanthone Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah ekstrak kulit manggis sebagai bahan utama dan ekstrak rosela, madu serta flavor sebagai bahan tambahan. Bahan tambahan digunakan agar dapat menghasilkan sirup dengan rasa, aroma, dan warna yang baik. Warna adalah salah satu aspek penting yang membuat suatu produk dapat diterima. Keinginan untuk mengkonsumsi dan membeli produk pangan sebagian besar ditentukan oleh warna yang menarik perhatian. Warna dalam bahan pangan juga dapat menjadi ukuran terhadap mutu dari bahan pangan tersebut. Berdasarkan hal ini maka untuk dapat menghasilkan sirup dengan warna yang menarik digunakan bahan tambahan berupa pewarna dalam proses pembuat sirup xanthone. Pewarna makanan adalah zat warna alami maupun buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan atau minuman untuk memperoleh warna yang diinginkan. Tujuan penambahan pewarna pada pembuatan sirup xanthone adalah untuk memperbaiki penampakan dari sirup yang dihasilkan karena ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai bahan utama cenderung berwarna kusam kecoklatan, memperoleh penampakan warna sirup yang seragam, memperoleh penampakan warna yang menarik, untuk memberi identitas dari sirup xanthone, dan sebagai indikator visual dari kualitas. Ketentuan mengenai penggunaan pewarna di Indonesia yang diatur dalam SK Meneteri Kesehatan RI No. 772/Menkes/Per/IX/1988 dan dalam SNI (Standar Nasional Indonesia) 01-0222-1995 mengenai Bahan Tambahan Makanan (BTM). Pewarna makanan terbagi menjadi tiga golongan yaitu pewarna alami, pewarna identik alami, dan pewarna sintetik (Bauernfeind, 1981). Jenis pewarna yang digunakan pada pembuatan sirup xanthone adalah pewarna alami yang diperoleh dari ekstrak rosela. Pewarna alami adalah bahan pewarna yang diperoleh dari bahan nabati, hewani atau sumber-sumber mineral. Contoh yang tergolong pewarna alami antara lain curcumin, riboflavin, klorofil, antosianin, brazilein, dan karotenoid. Penggunaan pewarna alami dipilih karena efek warna yang terbentuk cerah, dapat memberikan rasa yang khas serta diharapkan sirup bersifat alami sehingga baik bagi kesehatan. Antosianin yang berasal dari ekstrak rosela adalah bahan yang dipilih untuk digunakan sebagai pewarna alami. Tanaman rosela (Hibiscus sabdariffa) merupakan salah satu tanaman anggota keluarga Malvaceae (tanaman penghasil serat) yang pada bagian kelopak bunganya terkandung pigmen antosianin. Jenis antosianin utama yang terdapat pada rosela yaitu delphinidin 3-sambubioside atau hibiscin, cyanidin 3sambubioside, delphinidin3-glucoside, dan cyanidin 3-glucoside (Du dan Francis, 1973). Pigmen antosianin pada kelopak bunga rosela tersebut telah banyak dimanfaatkan sebagai pewarna makanan yang berwarna merah. Penggunaan kelopak bunga rosela sebagai pewarna alami lebih disebabkan oleh kelebihan yang dimilikinya. Diketahui bahwa kelopak bunga rosela mengandung vitamin A, vitamin C, dan asam amino. Studi tetang sifat fisikokimia rosela menunjukkan bahwa rosela merupakan tanaman dengan kandungan asam yang tinggi dan gula yang rendah sehingga dengan tingginya rasa asam yang dimiliki oleh rosela dapat memperbaiki dan memberikan efek cita rasa yang lebih baik pada sirup xanthone (Fasoyiro et al., 2005). Bahan penting lainnya untuk membuat sirup selain pewarna alami adalah pemanis. Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk produk olahan pangan, industri, serta minuman dan makanan kesehatan. Fungsi pemanis dalam campuran sirup xanthone adalah untuk meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifatsifat fisik dari sirup yang terbentuk, sebagai pengawet, dan memperbaiki sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori yang penting bagi tubuh. Jenis pemanis yang digunakan untuk sirup xanthone adalah pemanis nutritif alami. Pemanis nutritif alami merupakan jenis pemanis yang dapat menghasilkan sejumlah energi yang terdapat secara alami dalam bahan tertentu, contohnya madu, laktosa, gula tebu (sukrosa), gula aren, dan gula buah-buahan (fruktosa). Madu adalah pemanis nutritif alami yang dipilih untuk digunakan dalam campuran sirup xanthone. Madu merupakan cairan yang rasanya manis, dihasilkan oleh lebah madu dan berasal dari sari bunga atau dari cairan yang berasal dari bagian tanaman-tanaman hidup yang dikumpulkan, diubah dan diikat dengan senyawa-senyawa tertentu oleh lebah dan disimpan dalam sarangnya (SII, 1977). Penggunaan madu dipilih berdasarkan beberapa alasan yaitu jenis gula yang dominan terdapat pada madu adalah fruktosa sehingga memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan sukrosa dan glukosa, dapat memperbaiki mutu rasa produk akhir (peningkatan rasa manis dan mengurangi rasa pahit), memperbaiki penampakan produk akhir (warna keemasan yang lebih nyata dan kecermelangan lebih baik), memperbaiki daya awet produk, dan madu memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa penyakit seperti alat pencernaan, pernapasan, konstipasi, radang usus, jantung, hipertensi, dan sebagainya (Sumaprastowo dan Suprapto, 1980). Setelah pewarna dan pemanis, bahan terakhir yang diperlukan dalam pembuatan sirup xanthone adalah flavor. Flavor minuman dapat berasal dari buah, minuman buah atau flavor buatan (sintetik). Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik adalah ekonomis, konsentrasi tinggi, penyimpanan yang mudah, lebih stabil, dan lebih tahan lama. Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh senyawa flavor buatan yang baik diantaranya harus larut dalam air, tidak meninggalkan after taste, tahan asam, murni (bebas dari bahan pengotor), tahan panas, dan digunakan dalam jumlah yang tepat (Hezberg, 1978). Meskipun dalam jumlah kecil flavor sangat berarti atau berperan dalam produk minuman. Flavor Blackcurrant adalah flavor yang dipilih untuk dapat memperbaiki aroma dari sirup xanthone. Blackcurrant diketahui tergolong buah yang hampir serupa dengan anggur dimana bersifat asam sehingga aroma yang dihasilkan menyegarkan. Oleh karena itu, aroma ini dirasa paling sesuai dengan sirup xanthone yang juga memiliki rasa sedikit asam. Ekstrak kulit manggis, ekstrak rosela dan madu yang digunakan dalam pembuatan sirup xanthone adalah sebesar 50%, 10%, dan 40%. Jumlah ekstrak kulit manggis sebesar 50% dari total campuran didasarkan atas tujuan dari pembuatan sirup yaitu sebagai bentuk aplikasi dari ekstrak xanthone kulit manggis sehingga yang diinginkan bahwa penggunaan ekstrak kulit manggis akan lebih dominan dibandingkan dengan persentase bahan lain. Selain itu, produk akhir yang diharapkan adalah sirup yang dapat bermanfaat bagi kesehatan sehingga dengan tingginya persentase penggunaan ekstrak kulit manggis maka kandungan xanthone akan semakin tinggi sehingga sirup dapat menjadi lebih berkhasiat. Madu adalah bahan lain yang paling banyak terdapat dalam campuran sirup selain ekstrak kulit manggis. Besarnya penggunaan madu adalah 40% dari total campuran. Hal ini didasarkan atas pengertian dari produk sirup yaitu sebagai larutan gula pekat maka penggunaan pemanis harus cukup besar agar kandungan gula yang ada dalam sirup dapat memenuhi SNI (minimal 65% kandungan gula). Penggunaan pewarna pada campuran sirup xanthone hanya sebesar 10% dari total campuran. Hal ini dikarenakan tampilan warna yang terbentuk ketika menggunakan 10% pewarna dirasa paling sesuai bagi produk sirup xanthone. Setelah mendapatkan formula dari masing-masing bahan maka dapat dilakukan proses pencampuran antara ekstrak kulit manggis, madu, dan ekstrak antosianin (50%, 40%, dan 10%). Selanjutnya sirup mengalami proses pemanasan hingga mendidih (± 90 - 95 oC) selama 10 menit. Pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk dapat mematikan mikroba yang terbawa pada saat proses pengolahan, serta menghilangkan ethanol yang ada pada sirup. Hal ini dikarenakan ekstrak kulit manggis yang digunakan sebagai salah satu campuran diperoleh dari proses ekstraksi menggunakan pelarut ethanol. Diketahui bahwa ethanol memiliki titik didih sebesar 78.3-78.4 oC, sehingga pemanasan yang dilakukan di atas titik didih ethanol diharapkan telah dapat menguapkannnya. Penambahan flavor blackcurrant sebesar 1% dari volume sirup dilakukan diakhir proses agar aroma yang terbentuk dapat maksimal. Produk sirup xanthone dapat dilihat pada Gambar 9. 1:2 1:3 1:4 Gambar 9 Sirup xanthone Sirup xanthone yang dihasilkan selanjutnya akan mengalami pengujian secara kimia dan organoleptik. Pengujian secara kimia dilakukan untuk mengetahui komposisi yang ada dalam sirup xanthone yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar protein, kadar xanthone, kadar vitamin C, total gula, pH, total mikroba, dan kadar alkohol. Uji organoleptik dilakukan dengan cara menyajikan sirup dengan perbandingan sirup:air sebesar 1:3. 2. Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu parameter pengujian produk pangan yang bertujuan untuk menilai mutu atau sifat-sifat sensorik dari suatu komoditi. Uji organoleptik tergolong ke dalam uji yang bersifat subyektif dengan menggunakan panelis berdasarkan tingkat kesukaan dan kepekaan yang bervariasi. Sekelompok orang (panelis) akan menilai mutu atau memberikan kesan berdasarkan prosedur yang diujikan. Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik (kesukaan) dengan menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Pengujian akan dilakukan terhadap 3 jenis produk yaitu A1, A2, dan A3 berdasarkan kriteria aroma, rasa, dan warna dengan skala penilaian antara 1-7. Pernyataan sangat suka bernilai 7, pernyataan suka bernilai 6, pernyataan agak suka bernilai 5, pernyataan netral bernilai 4, pernyataan agak tidak suka bernilai 3, pernyataan tidak suka bernilai 2, dan pernyataan sangat tidak suka bernilai 1. a. Aroma Kriteria aroma merupakan salah satu uji hedonik yang dilakukan pada penelitian ini. Aroma adalah bau yang ditimbulkan oleh rangsangan kimia yang tercium oleh syaraf-syaraf olfaktori yang berada dalam rongga hidung ketika makanan masuk ke dalam mulut (Peckam, 1969). Hasil penilaian berdasarkan kriteria aroma dapat dilihat pada Gambar 11. Skor Kesukaan 7 6 5 4 3 2 1 A1 (1:2) A2 (1:3) Perbandingan Ethanol:Air A3 (1:4) Gambar 11 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan aroma sirup Respon yang diberikan panelis terhadap produk sirup xanthone menunjukkan bahwa produk A2 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethnol dan air sebesar 1:3 pada proses ekstraksi xanthone) memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.43. Produk lain yang cukup disukai panelis berikutnya adalah A3 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:4 pada proses ekstraksi xanthone) dengan rata-rata nilai kesukaan yaitu 5.27, sedangkan produk sirup yang memiliki nilai kesukaan terkecil yaitu A1 (produk dengan penggunaan konsentrasi ethanol dan air sebesar 1:2 pada proses ekstraksi xanthone) dengan rata-rata nilai sebesar 4.90. Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai aroma ramuan atau campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Bau dari suatu produk makanan atau minuman harus menentukan kelezatan dari makanan atau minuman tersebut. Oleh karena itu, suatu zat harus bersifat mudah menguap dan larut dalam air sehingga dapat menghasilkan bau yang baik dalam penilaian aroma (Winarno, 1997). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam pada taraf α= 0.05 (Lampiran 8) diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma dari sirup xanthone tidak menunjukkan perbedaan yang nyata diantara ketiga produk sirup. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah penggunaan konsentrasi flavor blackcurant pada A1, A2 dan A3 adalah sama yaitu sebesar 1% dari total campuran sirup sehingga dengan ini panelis tidak merasakan perbedaan yang signifikan terhadap aroma dari produk yang dihasilkan. b. Rasa Rasa adalah kriteria lain yang menjadi penilaian terhadap tingkat kesukaan sirup xanthone. Agar suatu senyawa dapat dikenali rasanya, senyawa tersebut harus dapat larut dalam air liur sehingga dapat mengadakan hubungan dengan mikrovilus dan impuls yang terbentuk kemudian mengirimnya melalui syaraf ke pusat susunan syaraf. Hasil penilaian uji hedonik terhadap rasa dari sirup xanthone menunjukkan bahwa sirup dengan kode A2 memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.23. Sirup dengan kode A1 memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.90 dan sirup dengan kode A3 memiliki nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.63. Berdasarkan hal ini maka sirup dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:3 pada proses ekstraksi kulit manggis (A2) paling disukai dibandingkan dengan kedua produk sirup lainnya. Hasil uji hedonik untuk kriteria rasa dapat dilihat pada Gambar 12. 7 Skor Kesukaan 6 5 4 3 2 1 A1 (1:2) A2 (1:3) A3 (1:4) Perbandingan Ethanol:Air Gambar 12 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan rasa sirup Hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05 (Lampiran 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga produk sirup dengan A2 merupakan produk yang paling disukai. Hal ini dapat disebabkan oleh penambahan pemanis berupa madu pada pembuatan sirup xanthone terhadap produk A1, A2 dan A3 adalah sama yaitu sebesar 40%, sehingga dengan ini panelis tidak merasakan perbedaan yang nyata dari ketiga produk. c. Warna Warna merupakan salah satu karakteristik yang menentukan penerimaan atau penolakan suatu produk oleh konsumen. Kesan pertama yang didapat dari bahan pangan adalah warna. Menurut Winarno (1997), penilaian mutu bahan makanan umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya, namun dari faktor-faktor tersebut warna dari suatu produk adalah hal yang secara visual akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan. Hasil penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil penilaian uji hedonik berdasarkan kriteria warna dari sirup xanthone menunjukkan bahwa produk dengan kode A3 memiliki nilai rata-rata kesukaan yang paling tinggi yaitu sebesar 5.47. Sirup dengan kode A1 memiliki tingkat kesukaan tertinggi setelah A2 dengan nilai rata-rata kesukaan sebesar 4.53 dan sirup dengan kode A3 mendapatkan nilai rata-rata kesukaan terkecil yaitu sebesar 4.2. 7 Skor Kesukaan 6 5 4 3 2 1 A1 (1:2) A2 (1:3) A3 (1:4) Perbandingan Ethanol:Air Gambar 13 Hubungan antara perbandingan ethanol:air dengan tingkat kesukaan warna sirup Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada taraf α=0.05 (Lampiran 12) diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga produk tersebut. Melalui hasil uji lanjut Duncan diketahui bahwa sirup dengan kode A1 tidak berbeda nyata dengan sirup A3, sedangkan sirup dengan kode A2 berbeda nyata terhadap sirup A1 dan A3. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kadar antosianin yang terkandung pada ekstrak kulit manggis yang digunakan. Semakin tinggi kadar antosianin yang ada pada hasil ekstraksi kulit manggis maka warna sirup yang dihasilkan akan semakin merah pekat karena penambahan ekstrak rosela (pewarna alami) untuk ketiga produk adalah sama yaitu 10%. Nilai kadar antosianin tertinggi dimiliki oleh ekstrak kulit manggis dengan penggunaan pelarut ethanol dan air sebanyak 1:2 (A1), kemudian diikuti oleh ekstrak kulit manggis dengan penggunaan ethanol dan air sebanyak 1:3 (A2) dan ekstrak kulit manggis dengan pengunaan ethanol dan air sebanyak 1:4 (A3). Oleh karena itu, sirup dengan kode A1 akan memiliki warna yang paling merah dibandingkan dengan sirup pada kode A2 dan A3. Pada penilaian sirup terhadap kriteria warna, umumnya panelis akan lebih menyukai sirup dengan warna yang tidak merah pekat, namun tidak pula merah pucat. Sirup dengan kode A1 lebih menghasilkan warna yang merah pekat, sedangkan sirup dengan kode A3 memiliki warna yang merah pucat. Berdasarkan hal ini, maka panelis cenderung menyukai sirup dengan kode A3 yang memiliki warna dengan tingkat kemerahan yang lebih baik. 3. Karakteristik Sirup Xanthone Analisa produk adalah analisa akhir yang dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia dari suatu produk. Pada penelitian ini, analisa dilakukan terhadap formula sirup xanthone dengan penggunaan ekstrak kulit manggis 1:2 (ethanol:air). Penggunaan sirup ini sebagai sirup terpilih dikarenakan kandungan senyawa aktif yang dimiliki dan tingkat kesukaan yang paling baik diantara formula sirup lainnya. Hasil Analisa sirup xanthone dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik sirup xanthone Karakteristik Kadar Air (%) Kadar Abu (%bk) Kadar Protein (%bk) Kadar Serat (%bk) Kadar Xanthone (mg/100ml) Total Gula (%) Kadar Vitamin C (%bk) Kadar Alkohol (%) pH Total Mikroba (koloni/ml) Jumlah 41.73 0.86 0.36 0.07 46.49 60.41 14.08 0.85 4.00 3.67 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa hasil analisa kadar xanthone menunjukkan nilai sebesar 46.49 mg/100 ml sirup. Nilai kadar xanthone ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai xanthone yang seharusnya terkandung pada sirup xanthone. Diketahui bahwa dalam proses pembuatan sirup, ekstrak kulit manggis yang digunakan adalah sebesar 50% sehingga dengan penggunaan ekstrak kulit manggis 1:2 (kadar xanthone 97.68 mg/100 ml contoh) seharusnya terkandung senyawa xanthone sebesar 48.84 mg/100 ml. Berkurangnya kandungan xanthone pada sirup dapat disebabkan oleh proses pemanasan yang terjadi ketika pembuatan sirup. Saat proses pemanasan terdapat senyawa xanthone yang ikut teruapkan bersama air dan alkohol sehingga terjadi kehilangan sebesar 2.34 mg xanthone. Hasil perhitungan total gula dengan metode fenol (Lampiran 13) terhadap sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 60.41%. Nilai ini lebih rendah dari total gula sirup berdasarkan SNI 01-3544-1994 yaitu minimal 65%. Hal ini dapat disebabkan oleh persentase penggunaan madu sebagai pemanis yang hanya sebesar 40%. Dalam pembuatan sirup umumnya penggunaan bahan pemanis yang ditambahkan melebihi 50% dari total campuran sirup. Sedangkan dalam sirup xanthone, kandungan utama bahan yang diinginkan adalah xanthone sehingga pemakaian madu sebagai pemanis kurang dari 50%. Hasil pengujian terhadap nilai kadar vitamin C sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 14.08 %. Nilai kadar vitamin C yang cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan oleh adanya penggunaan ekstrak rosela. Diketahui bahwa kandungan vitamin C (asam askorbat) dari rosela 3 kali lebih banyak dari anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, 10 kali dari buah belimbing dan 25 kali dari jambu biji. Kadar alkohol adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan alkohol dalam suatu bahan. Hasil pengujian terhadap sirup xanthone menunjukkan nilai kadar alkohol sebesar 0.85%. Adanya kandungan alkohol yang tertinggal pada produk sirup xanthone dapat disebabkan oleh terikatnya ethanol pada senyawa-senyawa aktif pada sirup sehingga sulit teruapkan dengan proses pemanasan. Menurut peraturan Menteri Kesehatan No 86 tahun 1997, minuman beralkohol dapat dibedakan menjadi tiga golongan. Golongan A dengan kadar alkohol 1-5%, golongan B dengan kadar alkohol 5-20%, dan golongan C dengan kadar alkohol 20-55%. Berdasarkan hal ini maka sirup xanthone dapat dikatakan sebagai minuman yang tidak beralkohol. Sedangkan dari segi kehalalan menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) suatu bahan makanan atau minuman dapat dikatakan halal apabila memiliki kadar alkohol dibawah 1% dan kadar alkohol pada sirup xanthone adalah dibawah 1% sehingga sirup xanthone bersifat halal. Hasil pengamatan terhadap nilai pH yang dilakukan pada sirup xanthone menunjukkan nilai sebesar 4. Menurut Fardiaz (1992), bahan pangan dapat dibedakan atas beberapa grup berdasarkan nilai pH-nya yaitu bahan pangan bersasam rendah (pH>5.3), bahan pangan berasam sedang (pH 4.5-5.3), bahan pangan asam (pH 3.7-4.5), dan bahan pangan berasam tinggi (pH<3.7). Berdasarkan hal ini maka produk sirup xanthone dapat dikategorikan sebagai produk berbahan pangan asam. Tingkat keasaman yang cukup tinggi pada sirup xanthone dapat disebabkan dari adanya penggunaan ekstrak rosela di dalam campurannya. Kandungan total mikroba yang ada dalam sirup xanthone diketahui sebesar 3.67 koloni/ml sampel. Hal ini masih dalam batas yang dapat diterima untuk produk sirup. Menurut SNI 01-35441994, diketahui bahwa cemaran mikroba yang dapat diterima berdasarkan angka lempeng total maksimal 500 koloni/ml. Adanya mikroba yang ditemukan dalam produk sirup xanthone dapat disebabkan oleh proses produksi yang kurang steril ataupun proses penanaman mikroba yang terkontaminasi oleh lingkungan.