Bab VI Pokok-Pokok Teologi yang Mengemuka Pengantar Seluruh perjalanan investigasi kita demi mencari jawaban terhadap pertanyaan sudah dapat kita akhiri di sini. Sekarang saatnya untuk kita melakukan evaluasi, menimbang dan mengukur kekuatan dan kelemahan dari pemikiran para pemikir tadi tentang gereja dan pelaksanaan misi. Mengawali itu baiklah kita membuat beberapa kesimpulan. Analisa kita terhadap kekuatan dan kelemahan dari pemikiran tokoh-tokoh tadi akan kita dasarkan pada pokok-pokok yang kita simpulkan ini. Sekurang-kurangnya ada lima pokok penting yang mengemuka dan karena itu kita catat sebagai kesimpulan dari anjangsana kita. Kelima pokok itu adalah panggilan agar gereja keluar dari ghetto, membaharui paham tentang jatidiri dan kehadiran gereja, rekonsiderasi arti pertobatan, hakikat baptisan sebagai sakramen, dan dialog sebagai misi. Baiklah kita menjelaskan kelima pokok ini satu demi satu. Mengeluarkan Gereja dari Ghetto Hal yang perlu kita camkan dari anjangsana ini ialah bahwa para pemikir besar Asia, termasuk juga Indonesia melakukan perang melawan etnosentrisme, Gereja Lintas Agama 285 yakni upaya sistematis untuk mengurung Yesus dan keselamatan dari Allah dalam agama Kristen. Itu sama dengan mengkarikaturkan Injil yang oleh Paulus disebut sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan baik orang Yahudi maupun Yunani (Rom. 1:16-17). Secara eksplisit dan jujur para pemikir kita menunjukkan bahwa keselamatan dikerjakan Allah untuk semua manusia. Keselamatan itu ternyata sudah hadir dalam semua agama, bukan hanya dalam agama Kristen. Avery Dulles menulis: “Anugerah Allah tidak terbatas pada orang-orang yang menyandang simbol Kristen atau biblis.”1 Yewangoe menegaskan bahwa Tuhan itu baik kepada semua orang. Karena itu gereja patut menunjukan kebaikan Allah itu kepada semua orang dengan cara ambil bagian dalam kehidupan masyarakat.2 Tugas gereja dalam pekerjaan misi adalah memperlihatkan kepada saudara-saudara non-kristen kebaikan Tuhan itu sekaligus membekali mereka dengan pemahaman baru untuk melihat dan menemui Allah dan keselamatan yang sudah lama ada dan bekerja dalam agama mereka serta mensyukuri pekerjaanNya itu dalam cara-cara yang dikenal menurut agama mereka. Song menulis:3 1 Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 67. Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang. hlm. 10. 3 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 171. 2 286 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo Yesus berkata, “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan Dia yang melakukan kehendak BapaKu yang di sorga (Mt. 7:21). Apabila kita masuk dalam ruang berisi pemelukpemeluk agama lain, kita akan bertemu dengan sedikit orang yang memanggil Yesus “Tuhan”, tetapi kita akan bertemu dengan cukup banyak orang yang melakukan kehendak “BapaKu yang di Sorga.” Sejarah setiap bangsa Asia, misalnya, memberikan banyak contoh tentang orangorang, besar dan kecil, yang telah membaktikan dirinya demi perdamaian, keadilan dan kasih sayang.” Avery Dulles yang mengatakan hal yang sama dengan kalimat yang berbeda: “Gereja bertujuan memurnikan dan mengintensifkan jawaban manusia terhadap rahmat Kristus. Bila orang-orang beriman berhasil menemukan bentuk-bentuk lahiriah untuk menyatakan janji mereka kepada Allah melalui Kristus, mereka akan menjadi simbol-simbol yang hidup dari cinta ilahi dan suluh-suluh harapan di dalam dunia.”4 Para pemikir kita memanggil gereja untuk keluar dari ghetto, gaya hidup etnosentrisme, menguak isolasi dan membongkar ego-agama untuk 4 Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 69. Gereja Lintas Agama 287 masuk dalam ruang hidup saudara pemeluk agamaagama lain supaya bersama-sama mereka membangun cinta-kasih, keadilan dan persaudaraan. Ini bukan karena gereja kurang kristiani atau merupakan sebuah penyangkalan atau penolak terhadap pesan sentral kitab suci Kristen tentang Yesus sebagai satu-satunya juruselamat. Kita menjadi lebih kristiani, kata Song, jika ada di ruang hidup agama-agama lain.5 Kita pun bisa memperkenalkan Kristus secara lebih efektif kepada saudara-saudara yang non-kristen. Supaya Kristus bisa diterima oleh mereka yang beragama lain (karena Kristus sesungguhnya bukan pribadi yang asing bagi agama-agama non-kristen) maka Kristus harus diberitakan kepada mereka yang non-kristen tanpa simbol-simbol Kristen. Meminjam pendapat Bonhoeffer dengan sedikit perubahan, gereja harus memperkenalkan Kristus tanpa agama (Kristen).6 Kami lalu teringat pendapat Song berikut: “Pemberontakan terhadap kekristenan acapkali bukan pemberontakan terhadap Yesus, melainkan terhadap jenis misi Kristen yang berusaha mengubah namanama pribumi dengan nama-nama Kristen, mengganti Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 169. 6 Dietrich Bonhoeffer. Letters and Papers from Prison. Ed. by Eberhard Bethge: New York: Mcmillan. 1972. hlm. 279. 5 288 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo nilai-nilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya Kristen.”7 Memberitakan Kristus tanpa agama Kristen. Apakah itu mungkin? Tentu saja mungkin dan “ya”. Ada dua alasan untuk itu. Pertama, dalam misi kita tidak memberitakan agama Kristen, tetapi Yesus Kristus. Kedua, Yesus lebih besar dari agama Kristen. Dia berdiri di atas kristenisme sebagai hakim atas semua hal yang dikerjakan kristenisme atas namanya. Kristenisme historis tidak dapat menghaki Dia sebagai miliknya sendiri saja. Yesus milik semua orang.8 Inilah keyakinan yang melatar-belakangi upaya para pemikir kita untuk memberitakan Yesus tanpa agama Kristen. Kalau kita memeriksa kesaksian Alkitab, kita akan menemukan jawaban kenyataan ini. Alkitab sama sekali tidak berkaitan dengan sistim-sistim keagamaan apapun. Alkitab tidak mempropagandakan agama. Ia lebih memfokuskan perhatian pada individu dan masyarakat yang mendiami bumi ini dalam hubungan dengan Allah.9 Jelasnya, Alkitab bukan buku tentang agama. Ia adalah buku tentang bagaimana manusia, pribadi maupun kolektif dalam agama apapun harus Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 13. 8 Albert Nolan, Op. Yesus bukan Orang Kristen? hlm. 17. 9 Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. Jalan Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih /OMF. 2003. hlm. 69. 7 Gereja Lintas Agama 289 membangun hubungan yang benar dengan Allah. Yesus juga tidak mendukung satu agama dan atau pendiri agama yang baru.10 Bisnis utama Yesus adalah membawa manusia yang hidup dalam agamanya untuk kembali kepada kehidupan yang benar dan kudus di hadapan Allah. Yesus mengajarkan manusia menanggapi Allah dalam seluruh hidupnya di dalam agamanya. Agama memang disebut dalam Alkitab, tetapi bukan sebagai hal yang paling penting. Perhatian Alkitab pada agama adalah karena agama dianggap sebagai lokus di mana manusia memberi respons terhadap panggilan Alah. Alkitab memang tidak mempropagandakan satu agama. Alkitab malah bersikap kritis terhadap agama yang di dalamnya manusia hidup dan menanggapi Allah. Ada dua point tentang agama yang terdeteksi dalam kesaksian Alkitab. Pertama, bahwa agama bukan ciptaan Allah. Ia adalah seperangkat sistim yang dibentuk manusia untuk membuat dirinya tetap hidup setelah kejatuhan di dalam dosa. Jelasnya, manusia setelah kejatuhan ke dalam dosa tidak mungkin hidup tanpa agama. Kedua, manusia menciptakan agama agar dapat tetap berdiri di hadapan Allah dengan cara menyembunyikan dirinya dari Allah. Chris Wright menulis: “Agama 10 Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 50. 290 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo merupakan cara halus untuk melarikan diri dari Allah, karena ia takut dan malu menemuiNya.”11 Jadi kalau Alkitab menyaksikan kepada kita bahwa Yesus datang untuk membawa kita kembali kepada Allah, itu dapat juga berarti bahwa Yesus memanggil kita keluar dari agama yang adalah tempat persembunyian kita. Jadi untuk bertemu Allah dan hidup di hadapanNya, manusia harus merelatifkan agamanya. Memberitakan Kristus tanpa agama Kristen adalah hal yang mungkin. Inilah juga motif yang memandu upaya-upaya berteologi dari para pemikir kita. Para pengikut Kristus atau warga gereja diminta oleh para pemikir kita untuk keluar dari kenyamanan beragamanya dan membangun persekutuan yang akrab dan ramah dengan sesamanya yang berbeda agama. Hanya dengan cara itu dia benar-benar menjadi manusia yang beragama (Kristen) secara benar dan dewasa. Di Nairobi tahun 1975 dalam Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Dunia (DGD) dikeluarkan pernyataan iman berikut: “Injil Kristen menciptakan persekutuan. Injil tidak menciptakan agama Kristen untuk menjadi sistim filsafat tetapi untuk menuju pada pembentukan gereja, yaitu persekutuan individuindividu. Injil mengundang manusia pria dan wanita dari berbagai macam keluarga, suku, bangsa, kasta, Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 70, 72. 11 Gereja Lintas Agama 291 klas, partai, ras, kebudayaan menuju kepada satu persekutuan baru…”12 Jadi, para pengikut Kristus tidak harus merasa takut menjadi manusia dalam perjalanan keluar dari kenyamaman agama Kristen untuk berjumpa dengan orang dari agama lain dan membangun persekutuan dengan mereka. Itu bukan perbuatan merusak agamanya. Itu juga sama sekali bukan tindakan melecehkan atau menciderai Kristus sebagai the only way. Tidak! Kita justru melakukan perintah Kristus: “Pergilah…!” Kita juga pergi demi Kristus, yakni memperlihatkan kepada agama lain bahwa Kristus memang unik, the only way. Tentu saja dengan caracara yang dapat diterima dan dipahami oleh penganut agama lain. Kehadiran Kristen di dalam ruang kehidupan agama-agama lain keberadaan Yesus sebagai the only way menjadi makin aplikable. Para pemikir kita bukan orang-orang yang kompromistis. Mereka juga bukan orang-orang yang menyangkali keberadaan Kristus sebagai the only way. Justru karena mereka percaya bahwa Dia adalah the only way itulah, mereka menyerukan kepada para pengikut Kristus untuk keluar dari ghetto agama Kristen. Lihat juga Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. Di Manakah Kita Berada Kini. Jakarta: Lembaga Penelitian 12 dan Studi DGI. 1980. hlm 22. 292 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo Membaharui Paham tentang Jatidiri dan Kehadiran Gereja Upaya para pemikir untuk membaharui paham tentang Gereja dengan cara memanggil gereja keluar dari ghetto membawa kita ke dalam dua pokok penting yang patut kita perhatikan lebih detail. Pertama tentang model gereja. Kedua tentang pemisahan gereja dan agama Kristen. Berkenaan dengan pokok pertama. Gereja pernah dan masih dipahami sebagai tempat atau gedung tempat di mana orang-orang yang percaya kepada Kristus bersekutu dalam akta ibadah untuk membesarkan Allah, sekaligus sebagai sarana kesaksian kepada dunia dan sesama.13 Ini bukan gambaran tentang yang salah. Meskipun begitu gambaran seperti ini saja tidak utuh. Gereja juga masih terus dipahami sebagai orang-orang yang dipanggil Allah dari dunia dan dihimpunsatukan sebagai umat baru. Persekutuan baru itu terus-menerus belajar A, B, C, baru melalui aneka bentuk disiplin, aturan dan perayaan-perayaan keagamaan. Allah meminta umat baru itu untuk tidak boleh menjadi serupa dengan dunia. Gereja yang sama pernah dan masih terus akan dipahami sebagai sebuah masyarakat yang teratur rapih dengan perangkat aturan, keyakinan, ritus dan 13 Bandingkan lagu dalam Kidung Jemaat: “Gereja bukanlah gedungnya….” Gereja Lintas Agama 293 jabatan-jabatan yang oleh Avery Dulles dimasukkan dalam model institusi. Dalam gambaran ini gereja dimaksudkan sebagai sekolah untuk mengajarkan kepada anggota-anggotanya kebenaran, sebagai rumah makan atau rumah penginapan di mana anggotaanggotanya diberi makan dari sumber rahmat yang menghidupkan. Gereja juga dianggap sebagai rumah sakit tempat anggota-anggotanya memperoleh kesembuhan dari penyakit-penyakit dan gereja juga dimengerti sebagai rumah perlindungan (benteng) terhadap serangan-serangan dari musuh jiwa.14 Para pemikir kita menghargai pandangan umum ini. Tetapi mereka mengajak kita untuk memahami gereja secara lebih luas. Itu karena mereka yakin, sebagaimana yang ditegaskan juga dalam Konsili Vatikan II bahwa Gereja tidak dapat sepenuhnya dimengerti oleh pikiran manusia yang terbatas. Karena itu pikiran-pikiran kita yang terbatas tentang gereja harus terbuka kepada penjelajahan baru yang semakin luas. Mereka mengajak kita untuk memahami sisi lain dari gereja yang belum diakomodir dalam dua gambaran di atas. Ada dua situasi konkret kehidupan di Asia yang membayang-bayangi nurani dan kalbu waktu mereka menghayati dan mulai bertutur tentang gereja. Kedua situasi konkret itu yakni kepelbagaian agamaagama sebagai realita yang satu-satunya ada di Asia dan kemiskinan yang bukan hanya menjadi stigma 14 Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 39. 294 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo khusus bagi Asia. Berhadapan dengan dua situasi ini para pemikir kita berbicara tentang gereja yang satu dalam dua gambaran atau model sebagaimana yang dipetakan oleh Avery Dulles. Model yang dimaksud adalah gereja sebagai persekutuan mistik dan gereja sebagai hamba. Bagi mereka gereja bukan sekedar umat Allah yang bersekutu di dalam dunia dan tidak boleh sama dengan dunia dalam arti hidup dalam ghetto, terisolasi dari lingkungan sekitar, atau membentuk sebuah pulau tersendiri dalam dunia. Gereja memang adalah umat milik Allah, ia berbeda dari masyarakat lain, tetapi dia bukanlah masyarakat yang sempurna dan tanpa cacat. Tidak! Para pemikir kita membuka mata dan hati kita untuk melihat bahwa umat baru yang dipanggil dari dunia itu kemudian diutus Allah untuk kembali ke dalam dunia. Gereja adalah orang-orang yang dipanggil untuk bersekutu, tetapi kemudian disuruh pergi, masuk ke dalam ruang hidup manusia dari agama-agam lain untuk menjadi garam dan terang, bukan untuk meminta mereka meninggalkan agama mereka. Gereja disuruh pergi oleh Allah untuk masuk ke dalam ruang hidup umat beragama lain untuk membangun persaudaraan dalam menjalankan nilainilai moral yang mencerminkan wajah Allah walau Gereja Lintas Agama 295 tidak sedikit pun melekat dalam diri mereka ritus-ritus atau cara beragama Kristen.15 Akan halnya kata persekutuan yang selalu melekat erat dengan istilah gereja, para pemikir kita juga mengajak kita untuk memahami persekutuan bukan sekedar sebagai sebuah pengalaman fisik atau jika orang-orang percaya itu berkumpul di satu tempat dan terikat pada sebuah institusi dengan perangkatperangkatnya secara ketat. Song misalnya berbicara tentang hati yang dipenuhi cinta kasih kepada Allah dan sesama yang nyata dalam perbuatan sebagai tanda dari kekristenan yang sejati. Dalam arti ini model pertama dari gereja yang dikembangkan para pemikir kita dapat kita kategorikan dalam model persekutuan mistik ala Avery Dulles, atau yang kami sebut di sini gereja lintas agama. Gereja tidak lagi dipandang sebagai institusi, yakni persekutuan organis tetapi personalis, bukan lagi persekutuan yang kelihatan (socio corporis) melainkan kesatuan batin (mystici corporis).16 Gereja adalah satu spirit kehidupan dalam penyerahan dan ketaatan kepada Allah. Spirit itu menginspirasi banyak orang 15 Lihat juga Rikard Kristian Sarang. “Dialog Antaragama Sebagai Model Penerimaan, Pengakuan Terhadap Keberagaman Dalam Terang Pemikiran Paul F. Knitter. Dalam: BERBAGI: Jurnal Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Katolik (APTAK). Volume 2 No. 1, Januari 2013. hlm. 85. 16 Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 45-58. 296 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo yang tersebar dalam banyak agama, bukan hanya dalam kekristenan. Pemaknaan ini hendak menekankan bahwa persekutuan tidak sekedar berarti kesatuan fisik, tetapi juga pertautan komitmen batin. Pak Gerrit dan Song menggunakan istilah agama hati. Panikkar menegaskan bahwa agama-agama bertemu di hati dan bukan di otak.17 Orang yang percaya kepada Yesus Kristus bisa saja tidak pernah bertemu dan ambil bagian dalam persekutuan secara kasat mata. Masingmasing mereka bisa saja berpisah karena alasan tempat atau waktu atau agama, tetapi hati mereka terikat dalam kesatuan cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama bagi kebaikan bersama. Dia yang ada di agama A selalu mengingat sesamanya yang ada di agama B dan sebaliknya dalam upayanya untuk memahami kebenaran dan mewujudkan kebenaran itu dalam hidupnya. Paham seperti ini rasanya tidak asing dalam pemahaman keseharian warga gereja. Bukankah kita juga menyapa orang-orang yang percaya kepada Yesus di negeri Belanda umpamanya sebagai saudara, kita mengingat mereka dalam doa-doa kita, menyiapkan ruang dalam hati kita bagi mereka, padahal kita tidak pernah bertemu mereka, bahkan kita juga tidak tahu apakah tata cara dan tata laku mereka sebagai ungkapan ibadah sama dengan yang kita jalani. Raimundo Panikkar. The Unknown Christ of Hinduisme. hlm. 43. 17 Gereja Lintas Agama 297 Dasar biblis dari model ini memang jelas. Gereja sebagaimana yang disaksikan Alkitab pertamatama adalah persekutuan cinta kasih yang melampaui batas-batas denominasi dan agama. Ia juga berguna untuk usaha-usaha oikumene yang bertujuan mengakhiri adanya permusuhan antara umat beragama. Meskipun demikian ada juga kelemahan dari model gereja sebagai persekutuan mistik yang dikembangkan para pemikir kita. Kelemahan utama dari paham gereja lintas agama seperti yang eksplisit atau implisit digagas oleh para pemikir itu berhubungan dengan fakta bahwa tidak adanya persatuan yang nampak di antara orangorang yang percaya kepada Yesus. Persekutuan itu adalah soal hati atau soal cara hidup. Avery Dulles menulis: “Dituntut adanya persatuan yang nampak di antara semua orang Kristen, karena tanpa persatuan itu hakikat Gereja sebagai tanda atau persekutuan akan terpecah menjadi suatu kejamakan tanda yang tidak saling berhubungan satu dengan yang lain.”18 Berbicara tentang gereja sebagai persekutuan mistik, yakni yang melampaui batas-batas organisasi yang kelihatan memang memiliki manfaat seperti yang sudah kami tunjukkan tadi. Tetapi jika tidak ada rantai penghubung yang mengikat satukan orang-orang percaya yang menyebar dalam berbagai agama, maka gereja lebih menjadi sebagai sebuah tubuh yang mati, tanda yang tidak asli, sakramen yang fiktif. Bukankah 18 Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 65. 298 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo gereja bukan sekedar sebuah persekutuan dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama secara kasat mata? Kami memang tidak keberatan dengan paham tentang gereja yang lintas agama, dalam arti pengikut Kristus boleh tetap tinggal dalam agamanya, betapapun itu agama yang non Kristen. Tetapi bagi kami perlu ada sesuatu yang berfungsi sebagai mata rantai yang mengikat satukan para pengikut Kristus lintas agama itu. Jika tidak ada rantai itu, kemuridan mereka adalah identitas yang palsu. Jalan keluar yang kami usulkan sebagai mata rantai akan kami jelaskan dalam sub judul di bawah. Pemaknaan gereja sebagai persekutuan mistis, yakni persekutuan hati atau agama hati juga mendapat keberatan bahkan penolakan. Pandangan Panikkar tentang adanya gereja dalam agama Hindu, bahkan agama Hindu sendiri harus dipahami sebagai sakramen Kristen dianggap sebagai yang akan membuat gereja menguap menjadi semacam kehadiran universal sehingga kekristenan kehilangan ciri khasnya.19 Kritik ini menurut pandapat kami meleset secara metodologi dan bahkan tidak memiliki dasar eklesiologis yang kuat. Kami sebut meleset secara metodologis karena para pemikir kita justru sejak awal membuat pemisahan antara gereja dan agama Kristen. Kritik di atas justru menyatukan begitu saja gereja dan Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. Jalan Keselamatan Satu-satunya. Jakarta: Yayasan Komunikasi 19 Bina Kasih /OMF. 2003. hlm. 29. Gereja Lintas Agama 299 agama Kristen. Itu nampak dalam kalimat: “Gereja menguap menjadi semacan kehadiran universal sehingga kekristenan kehilangan ciri khasnya.” Kritik ini pada saat yang sama lemah pendasaran eklesiologisnya. Betapa tidak kehadiran gereja sebagai satu realita universal dianggap sesuatu yang membuat kekristenan kehilangan ciri khasnya. Padahal dalam eklesiologi salah satu ciri gereja, sebagaimana yang ditetapkan dalam pengakuan iman Kristen adalah am, katholik yang berarti gereja itu ada di mana-mana, untuk segala makluk, gereja itu universal. Dengan kata lagi, gereja barulah gereja kalau dia universal, ada di mana mana, seperti Kristus adalah Tuhan yang hadir di mana-mana.20 Model kedua dari gereja yang digumuli para pemikir kita adalah sebagai hamba. Waktu berbicara tentang Gereja bagi Orang Lain, Yewangoe dan pak Gerrit menekankan pentingnya gereja membuka diri, solider dengan nasib bangsa. Yewanggoe menggunakan ungkapan: gereja jangan menghetto. Sedangkan pak Gerrit memakai frasa: menguak isolasi membangun relasi. Menjadi gereja bagi orang lain patut ditunjukan dengan tidak serta merta mengungkapkan diri sebagai ecclesia triumphant G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 279. 20 300 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo (gereja yang menang), melainkan ecclesia servant (gereja yang melayani).21 Pak Gerrit berbicara tentang presensia gereja dalam kehidupan masyarakat bukan dalam bentuk verbal melainkan tindakan konkret. Presensia itu, kata pak Gerrit harus ditunjukkan dengan pelaksanaan diakonia yang kontekstual, yang dia pahami sebagai church of the poor, bukan sekedar church for the poor.22 Gereja sebagai hamba memang tidak secara langsung mempunyai dasar dalam Alkitab. Namun, madah Hamba Tuhan dalam kitab Yesaya dan contoh kehidupan pelayanan yang ditunjukkan Yesus sebagai yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani dapat merupakan fondasi yang kuat bagi pamahaman ini.23 Bukankah Perjanjian Baru tak segan-segan menerapkan nyanyian Hamba Tuhan itu kepada Yesus, dan bukankah Gereja disebut sebagai Tubuh Kristus? Gereja sebagai hamba bukan hanya menarik perhatian kita untuk memberi perhatian pada keterhubungan iman gereja dengan Tuhan, tetapi juga pada keterhubungan sosial dan kemasyarakatan dari gereja. Sisi vertikal dan horizontal dari gereja Andreas Yewangoe. Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang. hlm. 8. 22 Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 24. 23 Bandingkan Avery Dulles. Model-Model Gereja. hlm. 93. 21 Gereja Lintas Agama 301 mendapat tekanan yang berimbang, yakni gereja ada bukan hanya untuk Tuhan dan sorga, tetapi juga untuk sesama dan dunia. Gereja adalah agen Allah dalam sejarah untuk membangun dunia dan manusia seturut dengan nilai-nilai yang dimaklumkan Allah. Penekanan ini patut diperhatikan dan menjadi sangat penting dalam realitas Indonesia dan Asia pada umumnya yang ditandai oleh kemiskinan yang menyolok dan aneka bentuk ketidakadilan serta penindasan.24 Kelemahan yang terkandung dalam pemahaman tentang gereja sebagai hamba ialah bahwa sering gereja dijadikan alat pekabaran injil atau sebagaimana yang ditolak para pemikir kita, terutama Yewanggoe dan pak Gerrit yakni upaya mensubordinasikan diakonia di bawah marturia. Berkaitan dengan hal kedua, para pemikir kita dengan tegas menunjukkan kepada kita bahwa ada perbedaan antara gereja dan agama Kristen. Tentu saja mereka mengakui adanya hubungan antara gereja dan agama Kristen, tetapi mereka tidak setuju untuk menyamakan begitu saja keduanya. Pak Gerrit berbicara tentang agama skriptural dan agama substansial. Panikkar umpamanya mengatakan bahwa kekristenan dapat dialami dalam dua cara: sebagai Eben Nuban Timo. Anak Matahari. Teologi Rakyat Bolelebo Tentang Pembangunan. Maumere: Penerbit 24 Ledalero. 1994. 302 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo agama yang secara natural sama dengan agama lain dan sebagai sebuah perwujudan konkret dari iman. Gereja sebagaimana yang dipahami para pemikir kita bukan sekedar gereja tanpa dinding, tetapi gereja lintas agama, gereja ada dalam berbagai agama, secara khusus dalam agama Hindu dua cara memahami kekristenan ini juga berlaku bagi agamaagama lain.25 Para pemikir kita melakukan upaya yang kami sebut dereligiolatreisme, satu upaya untuk membebaskan orang percaya, secara khusus para pengikut Kristus dari penyembahan atau pemutlakan terhadap agama. Bagi mereka agama tidak memberikan keselamatan. Juruselamat manusia bukan agama tetapi Allah. Agama adalah wadah yang di dalamnya manusia merayakan keselamatan yang dikaruniakan Allah. Di sorga tidak ada agama, termasuk juga agama Kristen. Agama hanya diperlukan selama manusia ada di bumi. Yesus juga bukan seorang Kristen. Secara religius dia beragama Yahudi, karena dia menjalankan dengan saksama semua ketentuan agamaNya, tetapi pada saat yang sama Ia menunjukkan diri sebagai yang lebih besar dari agama Yahudi. Jadi agama memang diperlukan tetapi tidak boleh diperilah atau dimutlakan. Yang harus dimutlakan justru adalah cinta-kasih, yakni cinta kasih seperti yang dinyatakan Allah di dalam Kristus. Raimundo Panikkar. The Unknown Christ of Hinduisme. hlm. 4. 25 Gereja Lintas Agama 303 Atas dasar ini Albert Nolan menegaskan bahwa kalau toh akhirnya kita diminta menunjukkan apa agama Yesus, maka jawabannya adalah cinta kasih. Agama Yesus adalah cinta kasih, belas kasihan atau solidaritas.26 Agama apa saja akan menjadi agama Yesus kalau agama itu dijiwai oleh cintai kasih kepada Allah dan sesama dan cinta kasih ini menjadi keprihatinan utamanya. Rekonsiderasi Arti Pertobatan Hal penting berikut yang menjadi pokok pergumulan para pemikir kita adalah mengenai hakikat dan arti pertobatan. Mereka sepakat bahwa pertobatan adalah aturan dasar dari setiap pekerjaan misi atau pekabaran ini. Tetapi semua mereka tidak sepakat jika pertobatan dipahami dalam pengertian tradisional, yakni seseorang harus melakukan pemutusan hubungan secara radikal dengan hal-hal yang menjadi akar kepribadiannya dan pemberi identitas kehidupannya, seperti agamanya dan keluarganya. Pertobatan seperti itu bersifat dangkal. Karena itu mereka mengajak kita untuk memaknai pertobatan dalam pengertian yang lebih dalam dan fundamental. Yewangoe memahami pertobatan sebagai yang mencakup juga komitmen seseorang untuk Albert Nolan, Op. Yesus bukan Orang Kristen? Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 2005. 26 304 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo menghubungkan lagi dirinya dengan Allah yang hidup dan berada dalam persekutuan yang kokoh dan harmonis dengan sesama manusia dan seluruh alam ini. Song memahami pertobatan sebagai pembaharuan dan pendalaman wawasan, cara pandang, penghayatan dan pengalaman iman. Panikkar memahami pertobatan sebagai transformasi pemahaman tentang Allah dan penghayatan religius. Kalau kita memeriksa kesaksian Alkitab tentang pertobatan kita menemukan di situ nuansa pengertian yang sama. Kisah pertemuan Petrus dan Kornelius adalah contoh yang baik bagi pemaknaan pertobatan dalam arti yang baru tadi. Petrus membaharui dan memperdalam cara pandangnya terhadap karya Allah di medan sejarah, secara khusus dalam lingkungan orang-orang yang dalam pandangan agamanya dianggap kafir. Petrus tidak berpindah ke agama baru, tetapi menjalani format ulang iman dan teologi. Paul Löffler yang melakukan sebuah penelitian yang saksama terhadap arti kata conversi dan repentance dalam Alkitab menunjukan kepada kita bahwa pemahaman Kristen tentang pertobatan sebagaimana yang menyertai perjalanan gereja sepanjang sejarahnya telah seringkali disalahpahami bahkan juga disalahgunakan, baik untuk kepentingan politik maupun juga untuk pekabaran injil.27 27 Paul Löffler. “The Biblical Concept of Conversion.” Dalam Gerald H. Anderson & Thomas F. Stransky. Mission Trends Gereja Lintas Agama 305 Dia menunjukkan kepada kita bahwa dalam Perjanjian Lama dua kata ini berhubungan dengan istilah Ibrani shubh, yang artinya berbalik atau kembali. Istilah ini muncul dalam konteks perjanjian. Jadi bertobat sama sekali tidak menunjukkan tindakan berbalik kepada sesuatu yang sama sekali baru, melainkan kembali kepada perjanjian yang diikat dengan Allah di Sinai (The Biblical Concept of Conversion: 27). Dengan demikian kata bertobat adalah seruan kepada orang Israel, umat perjanjian dan bukan kepada bangsa-bangsa lain. Mereka ini dipanggil untuk berbalik kepada Allah, bukan kepada ritus atau ritual keagamaan (Hos. 12:6). Pertobatan juga lebih dipahami sebagai sikap pikiran dan sikap hati (I Raja 8:48). Dalam Yeheskiel bertobat artinya memperoleh hati dan roh yang baru (Yeh. 18:31). Bertobat artinya pembaharuan hati dan pikiran. Tetapi itu tidak berarti bahwa ia hanya berhubungan dengan kepercayaan metafisik yang teoritis, verbal dan abstrak. Bertobat punya sangkut paut erat dengan pembaharuan sikap hidup di tengah masyarakat. Bertobat memiliki dampak sosial kemasyarakat yang teramati seperti melakukan No. 2. Evangelization. New York: Paulist Press. 1975. hlm. 24-44. Kutipan selanjutnya dari tulisan ini akan kami cantumkan dalam batang tubuh teks dengan memberi tanda kurung terhadap judul artikel dan halaman . 306 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo keadilan dan kebenaran (The Biblical Concept of Conversion: 29). Dalam Perjanjian Baru istilah Ibrani, shubh dialihkan dalam dua kata Yunani: epistrephein dan metanoeien. Kata pertama sering lebih mengandung makna perubahan kiblat manusia secara fisik sementara kata kedua menunjuk kepada mengubah pikiran atau pendapat (The Biblical Concept of Conversion: 31). Dalam ketiga kitab Injil Sinoptis kata metanoeien dipakai untuk berbalik kepada Kristus (Mk. 1:4). Dalam kitab Yohanes dan surat-surat Yohanian metanoeien diberi makna kelahiran kembali yang sama artinya dengan mengenakan manusia baru dalam surat-surat Paulus. Menurut surat-surat Petrus, kata bertobat dihubungkan erat dengan pengudusan (sanctivication), yakni bagaimana seseorang hidup dalam kekudusan di hadapan Allah dan sesama yang nampak dalam pembersihan pikiran dan pengdusan tingkah laku kehidupan ( I Pet. 1:13-15; The Biblical Concept of Conversion: 32-8). Jadi bertobat sebagaimana disaksikan Alkitab lebih merupakan sebuah tindakan pembaharuan hati dan pemikiran yang semula berorientasi pada diri sendiri menjadi berorientasi kepada Allah, yang kemudian dinyatakan dalam pembaharuan modus kehidupan di tengah masyarakat dengan memperhatikan nilai-nilai kekudusan, kebenaran, keadilan, kejujuran, kerendahan hati, kasih, Gereja Lintas Agama 307 pengampunan dst. Bertobat sebagai sebuah akta perpindahan dari satu agama ke agama lain bukan merupakan pokok kesaksian Alkitab yang mendasar. Pertobatan tidak punya hubungan dengan perpindahan agama. Ia lebih menunjuk pada perubahan atau pembaharuan pemahaman terhadap hal-hal yang sudah ada. Pembaharuan itu terjadi karena adanya perjumpaan atau relasi yang personal dengan Allah di dalam Kristus. Itu sebabnya, istilah bertobat adalah pertama-tama bagi orang-orang yang sudah memiliki relasi dengan Allah. Berpindah agama tanpa disertai perubahan pemahaman tentang Allah dan tanpa pembaharuan sikap hidup di tengah masyarakat adalah ibarat membungkus tinja dengan kertas kado. Hakikat Baptisan Sebagai Sakramen Pokok penting berikut yang mengemuka dalam diskusi para tokoh tentang perubahan paradigma misi gereja adalah mengenai paham tentang baptisan. Tentang pokok ini pemikir-pemikir kita terbagai dalam hal pemahaman. Yewangoe dan Song tidak menyinggung tentang soal itu. Sementara pak Gerrit secara eksplisit menegaskan perlunya baptisan bagi seorang pengikut Kristus. Tetapi dia melanjutkan bahwa baptisan itu lebih dari sekedar pencatatan nama seseorang sebagai anggota dari gereja institusional. Nabeel Jabbour menekankan pentingnya pendalaman pemahaman terhadap Injil yang secara 308 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo implist mengandaikan perlunya baptisan. Sementara Panikkar sepertinya merasa sakramen Kristen yang disebut baptisan tidak diperlukan karena agama Hindu sendiri adalah sakramen bagi orang Hindu. Belajar dari Paulus, pak Gerrit menegaskan bahwa baptisan tidak selalu bermuara pada keanggotaan gereja secara institusional dan belum tentu juga dapat dijadikan dasar atau diidentikan dengan kristenisasi. “Mula-mula baptisan tidak punya sangkut paut dengan keanggotaan.”28 Baptisan sejatinya menunjuk kepada penyatuan hidup seseorang dengan kehidupan Kristus. Allah adalah pribadi yang besar, lebih besar dari semua gagasan, pemikiran dan pemahaman kita tentang diriNya. Para pemikir kita sepakat akan hal yang satu itu. Ini sebabnya mereka meminta kita untuk terbuka kepada karya-karya Allah yang besar itu. Allah tidak bisa kita batasi atau kurung dalam paham dan pemikiran kita yang terbatas. Memang kalau kita memperhatikan kesaksian Perjanjian Baru, Yesus tidak pernah membaptis. Itu berbeda dengan Yohanes. Kenyataan ini bisa dipakai untuk merelatifkan baptisan bagi mereka yang menjadi pengikut Yesus. Kalau toh itu yang terjadi, kami menganggap pemahaman itu bersifat premature. Mengingat di penghujung pelayanan duniawinya, Yesus memberi perintah kepada murid-murid untuk membaptis (Mt. 28:19-20). Emanuel Gerrit Singgih. Mengantisipasi Masa Depan. hlm. 79. 28 Gereja Lintas Agama 309 Karena itu bagi kami baptisan penting diberikan kepada orang-orang yang meresponi panggilan Injil untuk menjadi murid Tuhan, sekaligus sebagai tanda dan meterai dirinya sebagai warga gereja. Selanjutnya, kami setuju dengan pak Gerrit yang berpendapat bahwa mulanya baptisan tidak punya sangkut paut dengan keanggotaan dari satu agama. Baptisan lebih menunjuk kepada penyatuan hidup seseorang dengan kehidupan Kristus. Hal ini juga ditegaskan oleh Paul Löffler yang melakukan investigasi mendalam terhadap arti kata bertobat dalam Alkitab. Menurut dia, kata bertobat seperti yang ditegaskan dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru menunjuk kepada penyatuan seseorang ke dalam tubuh Kristus. Karena itu kata bertobat dan memberi diri dibaptis selalu mencul bersama-sama. Dalam arti ini baptisan menunjuk kepada penyatuan seseorang dengan Kristus (Rom. 6:34).29 Jadi murid Kristus bisa tetap tinggal dalam agama di mana dia dibesarkan tetapi dia harus dibaptis. Baptisan adalah perlu dan wajib. Tetapi menjadi anggota dari agama Kristen secara organisasional bukanlah sebuah keharusan. Murid Kristus tidak selalu harus adalah orang beragama Kristen (Bdg. Mk. 9:3940). Paul Löffler. The Biblical Concept of Conversion. hlm. 42. 29 310 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo Persoalan menjadi rumit jika kita memperhatikan hal berikut ini. Baptisan, menurut Jurgen Moltmann adalah tanda eskatologis dari awal sebuah eksodus dari kehidupan yang berorientasi pada diri sendiri (ego-sentris) untuk memulai satu kehidupan yang berorientasi pada Kristus dan sesama (kristo-sentris).30 Ini berarti bahwa baptisan masih harus diikuti dengan komitmen untuk menjalani kehidupan percaya (kemuridan) seturut kehendak Allah. Kita semua tahu bahwa kuat lemahnya komitmen untuk menjalani kehidupan sebagai murid Kristus ikut juga ditentukan oleh faktor lingkungan. Nah, jika seorang yang dibaptis tetap tinggal dalam agamanya semula dan terus melakukan ritual kehidupan menurut ketentuan yang berlaku dalam agama itu dan pada saat yang sama kontak dengan sesama warga gereja melemah, apakah itu tidak berbahaya bagi pembentukan dirinya sebagai murid Kristus? Chris Wright membantu kita merumuskan pertanyaan ini secara tajam.31 Dia bertanya: “Apakah orang boleh menyembah dan berhubungan secara pribadi dengan Allah yang benar dan hidup, tapi di bawah nama atau nama-nama dewa lokal dan tanpa mengetahui nama Allah yang memberi keselamatan dan yang bertindak dalam Kristus? Belajar dari kisah 30 31 Jürgen Moltmann. (1977). The Church ... hlm. 243. Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 77. Gereja Lintas Agama 311 Abraham, Isak dan Yakub serta Israel setelah mereka menetap di Kanaan, jawaban yang diberikan Chris Wright adalah sebagai berikut. Pertama, seseorang tidak bisa menyembah dan berhubungan secara pribadi dengan Allah yang benar dan hidup di bawah nama dewa-dewa lokal dan tanpa mengetahui nama Allah yang hidup. Pengalaman bapak leluhur Israel menunjukkan bahwa mereka memang menyembah Allah yang hidup dengan menggunakan nama El, dewa lokal Kanaan. Allah yang hidup juga memperkenalkan diri kepada Abraham dengan menggunakan nama El. Itu tidak bermaksud mengesahkan agama El dan kuil-kuilnya. Tetapi Allah melakukan itu untuk mengantar Abraham dan keturunannya untuk keluar dari semua itu dan bergerak menuju hubungan pribadi dengan Allah dan untuk mengenal sepenuhnya nama dan sifat Allah yang sesungguhnya.32 Kami setuju dengan jawaban ini. Jadi, membangun hubungan penyembahan dengan Allah yang hidup dengan menggunakan nama dewa lokal bisa, tetapi itu harus didasarkan atas dan berproses dalam pengenalan akan nama dan sifat-sifat Allah yang hidup seperti yang dinyatakan di dalam Kristus. Pengenalan ini berguna untuk membersihkan paham-paham dalam dewa lokal dan semua ritus dan ajarannya dari unsur-unsur yang telah dicemari dosa sekaligus membuka paham dan ritus-ritus itu untuk 32 Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 79. 312 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo nilai-nilai dan paham-paham yang lebih luas, dalam dan berkeadaban.33 Raimundo Panikkar telah melakukan upaya ini. Dia menunjukkan kepada kita bahwa Isvara, yang oleh orang Hindu dikenal sebagai Tuhan adalah nama dari orang Hindu kepada Kristus. Begitu juga Brahman adalah tidak lain dari Allah yang oleh orang Kristen adalah pribadi pertama dalam Tritunggal. Raimundo Panikkar tidak sendiri untuk usaha ini. Ia mempunyai banyak teman baik yang melakukan hal yang sama, yakni membangun hubungan penyembahan dengan Allah yang hidup dengan menggunakan nama dewa lokal, tentu saja didasarkan atas dan berproses dalam pengenalan akan nama dan sifat-sifat Allah yang hidup seperti yang dinyatakan di dalam Kristus. Kita lihat itu misalnya dalam penyembahan kepada Allah di bawah nama Mula Jadi Na Bolon di lingkungan orang Kristen Batak atau Allah dengan nama Uisneno di kalangan suku Meto warga Gereja Masehi Injili di Timor. Waktu Injil di perkenalkan untuk pertama kali kepada suku Sawi di pedalaman Papua, Don Richardson menggunakan ungkapan Sawi: Myao Kodon (Roh yang terbesar) untuk 33 Mengatakan ini kami teringat penggunaan nama-nama dewa lokal seperti Uisneno, Mula Jadi Na Bolon oleh gereja lokal di Indonesia dalam penyembahan kepada Allah yang mereka kenal dalam Yesus Kristus. Gereja Lintas Agama 313 memperkenalkan Allah di dalam Kristus. Sedangkan nama untuk Yesus yang dia pakai adalah Tarop.34 Kitab Injil Yohanes merupakan dokumen kanonik Kristen untuk soal ini. Penulis kitab Injil keempat ini tidak segan-segan menggunakan istilah logos untuk Firman dan juga Yesus Kristus. Semua kita tahu bahwa logos adalah istilah teknis dalam filsafat Yunani yang muncul sebanyak 1300 kali dalam karya Philo yang menunjuk pada daya kosmik dalam alam menggerakkan semua yang ada, padahal filsafat pada waktu itu dianggap sebagai produk kekafiran.35 Adalah tidak adil kalau kita mengutuk upaya Raimundo Panikkar dan menyatakan pekerjaannya sebagai ajaran sesat atau sebuah sinkretisme, menisbikan Yesus sementara penamaan Allah sebagai Mula Jadi Na Bolon, Uisneno, Myao Kodon dan Yesus sebagai Tarop serta logos untuk Firman Allah dalam kitab Injil Yohanes kita anggap sebagai sebuah prestasi misi yang penuh makna. Jangan-jangan itu kita menyerang Raimundo Panikkar karena dia satu orang, sedangkan yang lainnya kita biarkan karena jumlah mereka mencapai jutaan. Kedua, Chris Wright mengesankan bahwa si pengikut Kristus boleh tetap tinggal dalam agama Don Richardson. Anak Perdamaian. Bandung: Kalam Hidup. 1974. hlm. 172, 241. 35 William Hendriksen. New Testament Commentary: The Gospel of John. Grand Rapids - Michigan: Baker Book House. 1988. hlm. 69-70. 34 314 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo semula, tetapi hanya sebagai sebuah solusi temporer. Artinya si murid harus melihat itu sebagai persiapan untuk beralih secara definitif ke dalam agama Kristen. Kami menyatakan penolakan terhadap pendapat ini, karena ia berangkat dari asumsi bahwa agama Kristen lebih unggul, benar dan sempurna. Konsep ini mengandaikan keberadaan agama Kristen dan agamaagama non-kristen dipahami dalam paradigm benar- salah, terang-gelap, alami-ilahi, persiapan-pemenuhan, benih-pertumbuhan, paradigm yang sudah kita tolak dalam uraian sebelumnya. Bagi kami, yang bersangkutan dapat tetap untuk seterusnya tetap dalam agamanya, tetapi dia harus selalu ambil bagian secara regular dalam ibadah dan perayaan-perayaan persekutuan Kristen untuk mengisi pundi-pundi imannya dengan air yang diambil dari gunung batu Golgota dan taman Yusuf Arimatea supaya membersihkan dan menyuburkan imannya dan berbagai hal dalam agamanya. Si murid Kristus tidak bisa terus mengurung diri dalam agamanya dan menjalani semua ritus dalam agamanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Kalau itu yang dia lakukan maka keberadaannya sebagai murid Kristen akan menguap dan persekutuannya dengan Kristus yang dimeteraikan dengan baptisan akan melemah. Tidak! Si murid tidak boleh mengurung diri dalam agamanya. Ia harus senantiasa menjadi manusia eksodus, manusia dalam perjalanan. Kalau seorang murid Kristus yang agama Kristen harus berada dalam perjalanan ke ruang hidup Gereja Lintas Agama 315 agama-agama lain untuk belajar memahami dan mengerti perasaan-perasaan religius terdalam dari orang-orang dari agama lain agar ia bisa memperkenalkan Kristus secara lebih efektif kepada mereka, maka murid Kristus yang beragama lain harus selalu menemukan dirinya dalam perjalanan ke dalam agama Kristen untuk memperkuat komitmen kehidupannya sebagai murid, mendalami maknamakna terdalam dari iman kepada Kristus di dalam persekutuan Kristen. Hanya dengan cara ini hubungan pribadinya dengan Allah yang hidup akan dapat bertumbuh sesuai dengan kepenuhan kristus sekaligus dia memperoleh perspektif yang luas dan dinamis untuk membersihkan elemen-elemen diabolik yang bekerja dalam agamanya. Ini bukan sinkretisme seperti yang suka dituduhkan oleh pihak-pihak yang sulit menerimanya. Terhadap tuduhan ini, pleno Persidangan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia di Nairobi menegaskan hal berikut ini: “Dialog sama sekali tidak merupakan suatu percobaan bari sinkretisme, melainkan dapat membela dari padanya, sebab dalam dialog kita mengenal kepercayaan orang lain itu sedalam-dalamnya. Kepercayaan kita sendiri dengan demikian diuji, diperhalus dan diperkuat.”36 Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 19. 36 316 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo Dialog Sebagai Misi Ada pendapat di kalangan orang beragama Kristen, sebagaimana disinyalir oleh Chris Wright bahwa dialog yang dipahami sebagai misi adalah bertentangan dengan kitab suci, suatu pengkhianatan terhadap misi, upaya perelatifan Yesus dan penghancuran kekristenan serta merupakan bentuk halus dari sinkretisme.37 Murid Kristus yang sejati, warga gereja yang dilahirkan kembali yang ditandai dengan pengurapan khusus oleh Roh Kudus (second blessing) harus menafikan dialog. Orang Kristen harus mengatakan tidak terhadap pemahaman tentang misi sebagai dialog. Pada pihak lain, para pemikir kita yang notabene tidak diragukan komitmennya imannya kepada Kristus dan integritas kekristenannya justru berdiri di barisan terdepan untuk mendorong dialog yang mereka pahami sebagai perwujudan dari tugas misi. Mereka lakukan ini sebagai teladan yang patut dipanuti oleh gereja dan setiap murid Kristus. Bagi mereka, dialog bukan pengkhianatan terhadap misi dan perelatifan Yesus. Persoalan teologi yang patut kita pecahkan sekarang ialah benarkah dialog adalah menghianati misi, melembutkan kekristenan dan menisbikan Yesus sehingga harus ditolak? Dalam paragraph selanjutnya, Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 14. Lihat juga Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 44. 37 Gereja Lintas Agama 317 kita akan mendiskusikan secara agak detail hakikat misi, dialog dan hal-hal yang berkatian dengannya. Kita akan mulai dengan memahami hakikat misi. Selanjutnya, dialog sebagai misi dan manfaat dialog. Pertama, hakikat misi. Dalam sidang raya Dewan Gereja-Gereja Dunia tahun 1975 di Nairobi yang disebut-sebut sebagai menandai permulaan babak dalam sejarah misi, yakni dialog, gereja-gereja merumuskan paham tengang misi sebagai berikut:38 Gereja yang mengabarkan Injil sendiri pun perlu diinjili dalam arti bahwa pengetahuan dan pengalaman tentang Yesus Kristus dan InjilNya diperdalam oleh jawaban mereka yang menjadi sasaran dalam pemberitaan Injil itu. Hal ini benar juga karena Kristus yang menjadi isi dari pemberitaan dan pengakuan kita adalah lebih besar dari pada pengetahuan dan pengalaman kita dengan Dia. Melihat dan menjelaskan kehadiranNya dalam kepercayaan dan pengalaman orang lain merupakan pula sebagian dari kesaksian kita terhadapNya. Oleh sebab itu sebaiknya bahwa mereka yang memberitakan Kristus kepada orang-orang yang lain kepercayaannya, punya kemauan dan kesediaan agar mereka pun belajar tentang kegenapan Kristus sambil mendengar apa yang dikemukakan oleh orang- Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 18. 38 318 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo orang lain dalam pengakuan kepercayaan mereka sendiri. Dua hal penting dapat kita catat dalam pernyataan ini. Pertama, misi bukan hanya satu pekerjaan yang bersifat satu arah, yakni Gereja menjumpai manusia non-kristen untuk memperkenalkan Yesus. Tentu saja itu bagian dari misi, tetapi misi baru lengkap apabila gereja juga siap mendengar bagaimana tanggapan atau jawaban dari mereka yang menjadi sasaran misi tentang Yesus dan Injil. Kedua, dalam pekerjaan misi gereja tidak hanya datang untuk mengajar orang-orang yang lain kepercayaannya. Gereja juga harus mau dan sedia untuk belajar dari mereka tentang bagaimana mereka memahami kegenapan Kristus seperti yang terungkap dalam kepercayaan dan pengakuan mereka. Misi karena itu merupakan sebuah komunikasi atau kesaksian tentang Kristus dan Injil yang bersifat dua arah, dialogis. Orang Kristen dan non-kristen sama-sama belajar melihat dan menjelaskan kehadiran Allah dalam kepercayaan dan pengalaman agama sendiri maupun agama orang lain. “Sebab hanya melalui dialog semacam ini kita dapat bertumbuh dalam kehadiran Kristus dan memperdalam serta memperluas katolisitas (sifat am) dari gereja.”39 Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 18. 39 Gereja Lintas Agama 319 Kiranya menjadi jelas bahwa misi sebagai dialog bukan penghianatan terhadap misi, menisbikan Kristus dan melemahkan kekristenan. Misi sebagai dialog justru mempertegas keunikan Kristus dan memperkuat kekristenan. Kristus ternyata unik karena Dia hadir dan dialami juga oleh orang-orang yang lain kepercayaanNya dengan kita. Gereja diperkuat karena dengan dialog menjadi nyata bahwa gereja adalah katholik, am, kehadirannya melintasi batas agama Kristen. Kedua, dialog sebagai misi. Dalam sejarah kekristenan, terutama dalam hal pelaksanaan amanat pemberitaan Injil yang diberikan Kristus kepada para rasul yang adalah cikal bakal gereja, misi pernah dipahami sebagai sebuah tindakan komunikasi satu arah, atau yang disebut monolog. Para pewarta injil pergi ke negeri yang jauh. Mereka tidak merasa perlu mendengar apalagi mempelajari sejarah hidup dan pengalaman-pengalaman religius orang-orang yang mereka jumpai. Semua itu dianggap tidak penting. Kosuke Koyama menyebut model ini teacher complex.40 Para pewarta Injil tidak ingin membiarkan orang yang mereka temui berbicara tentang penderitaan dan ketakutan, tentang harapan dan 40 Kosuke Koyama. Christianity suffers from “Teacher Complex.” Dalam: Gerald H. Anderson dan Thomas F. Stransky. Mission Trends No. 2. Evangelixation. New York: Paulist Press. 1978. hlm. 71. 320 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo kerinduan mereka akan Allah. Para pewarta injil lebih suka orang-orang itu mendengarkan mereka, bahkan sekalipun kadang-kadang apa yang mereka sampaikan tidak dipahami oleh para pendengar-pendengarnya. Inilah salah satu model misi yang pernah dan bahkan masih dijalani gereja dalam perjumpaan dengan saudara-saudaranya yang non-kristen. Choan-seng Song mencirikan praktek ini dengan gambaran Adam di Eden yang diberi kuasa untuk memberi nama kepada semua realitas yang ada, padahal gereja sudah hidup di jaman edan yang tidak lagi berhadapan dengan kenyataan yang tanpa nama, tetapi yang telah penuh dengan nama-nama sehingga sikap yang tepat bukan lagi memberi nama-nama melainkan mengenali nama yang sudah ada untuk mengerti dan menghayati artinya yang mendalam.41 Kosuke Koyama menyebut misi yang monologis ini dengan beberapa istilah yang mengandung makna mendalam: model meludahi orang lain, model penerapan langsung, atau teacher-complex. Para pemikir kita sepakat bahwa model misi yang monolog bukan hanya telah ketinggalan jaman. Model ini juga yang menjadi penyebab pemahaman yang dangkal terhadap Injil dan kemuridan akan Kristus yang dipaksakan. Yang paling mendasar dari keberatan mereka ialah bahwa model monolog itu tidak sesuai dengan pola misi, pewartaan Injil yang dijalani Yesus dan Paulus. 41 Choan-seng Song. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. hlm. 9. Gereja Lintas Agama 321 Kitab-kitab Injil menunjukkan bahwa Yesus memang memberi perintah kepada murid-murid untuk pergi, mengajar dan memuridkan semua bangsa. Tetapi perintah itu didahului dengan panggilan kepada murid-murid untuk belajar dari Yesus, dari sesama dan juga dari alam. Mengajarkan Injil kepada orang lain barulah terjadi setelah murid-murid belajar bagaimana para pendengarnya memahami Injil itu. Yesus sendiri tidak mengharamkan dialog. Ketaatan Yesus akan pengutusan diriNya (misio dei) oleh Sang Bapa diwujudkan dalam upaya yang tidak henti-henti untuk melakukan dialog dengan orangorang yang Dia temui.42 Yesus memang mengajar dan memanggil orang yang ditemuiNya kepada pertobatan. Panggilan itu dilakukan melalui satu proses percakapan, diskusi dan dialog yang intens. Itulah yang terjadi misalnya dengan Nikodemus (Yoh. 3), perempuan Samaria (Yoh. 4), Zakheos (Lk. 19). Yang kami mau katakan melalui konsiderasi ini adalah bahwa pertama, Yesus sendiri mengerjakan misi dalam bentuk dialog. Kedua, pemahaman gereja tentang misi harus bertolak dari kristologi. Jadi kalau Yesus memahami misi sebagai dialog, gereja juga harus melakukannya. Cara-cara misi sebagai dialog yang Ebenhaizer I Nuban Timo. Aku Memahami Yang Aku Imani. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. hlm. 95. 42 322 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo dikerjakan gereja tidak boleh dilepaskan dari cara-cara yang dipakai oleh Yesus. 43 Dialog juga bukan proses penghancuran kekristenan dan penisbian Yesus. Justru dalam dialog, kalau dikerjakan dengan sungguh-sungguh, pihak partner akan memahami keunikan Kristus yang tentu saja akan berdampak pada gereja juga. Inilah model dialog dari pekerjaan misi, yakni tindakan komunikasi dua arah yang di dalamnya kedua belah pihak diundang untuk berbicara dan mendengarkan dalam kadar intensitas dan ketulusan hati yang sama.44 Misi sebagai dialog mengandaikan bahwa Allah bekerja dalam semua agama untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia. Mendengar dan belajar satu sama lain dalam dialog yang jujur berguna karena kita akan saling memperkaya dan menyuburkan yang akan mengantar kedua pihak kepada pendalaman pengalaman iman masing-masing.45 Ketiga, manfaat misi sebagai dialog. Menegaskan bahwa Allah bekerja dalam agama-agama tidak boleh membuat kita mengabaikan pekerjaan iblis Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 99. 44 Rikard Kristian Sarang. “Dialog Antaragama Sebagai Model Penerimaan. hlm. 87. 45 E. Armada Riyanto CM. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta: Penerbit Kanisus. 20102. hlm. 300. 43 Gereja Lintas Agama 323 dalam agama-agama, termasuk agana Kristen juga dalam agama Kristen.46 Untuk hal ini pun dialog bermanfaat. Dr. Lynn de Silva dari Gereja Methodis Sri Langka mengatakan hal berikut dalam hubungan dengan soal tadi.47 Dialog adalah kegiatan bersama yang kreatif yang membebaskan seseorang dari sistemnya yang tertutup dan terkurung di mana ia kebetulan ditempatkan berdasarkan kelahirannya. Ia meningkatkan pada kebebasan spiritual dan memberikan gambaran tentang dimensi dari kehidupan rohani yang lebih luas ketika ia dapat berpartisipasi dalam spiritualitas orang-orang lain. Raimundo Panikkar mengartikulasikan manfaat tadi sebagai berikut: “Dialog tidak pertamatama berarti studi, konsultasi, pemeriksaan, pengajaran, pernyataan, belajar, dst… Dialog itu mendengarkan dan mengobservasi, tetapi juga berbicara, mengoreksi dan dikoreksi; tujuannya adalah saling pengertian.”48 Misi sebagai monolog, yang oleh Kosuke Koyama disebut sebagai kegiatan yang menderita Chris Wright. Tuhan Yesus Memang Khas Unik. hlm. 73. Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 19. 48 Raimundo Panikkar. Dialog Intra Religius. hlm 92. 46 47 324 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo teacher complex tidak memiliki daya koreksi internal atau mengenal pertobatan dua arah seperti yang disinyalir Panikkar. Injil justru dihadirkan sebagai sebuah berita yang memaksa. Hank Hanegraaff menyebutkan bahwa dengan berbuat begitu the Gospel of grace dibelokkan menjadi the Gospel of greed, Injil anugerah diubah menjadi Injil serakah.49 Selain manfaat tadi, masih ada bebarapa manfaat lain yang dari misi dialog sebagaimana yang disarikan olaf Schumann dari diskusi yang berlangsung dalam Persidangan Raya Dewan Gereja-Gereja seDunia di Nairobi. Kami mengemukakan lagi di sini tiga manfaat misi sebagai dialog.50 Pertama, dialog adalah asasi. Ia mengubah sikap kita yang negatif terhadap orang-orang yang berkepercayaan lain yang berakibat kesaksian kita akan Kristus tidak berdaya dan tidak berarti. Sikap negatif kita berakibat penolakan mereka. Jika kita tidak menerima orang-orang lain berdasarkan kasih, mereka pun tidak akan menerima kita. Terlalu sering kristus dan Injil ditolak karena orang Kristen menolak agama-agama lain. jika kita tidak bersedia mendengarkan orang-orang lain, mereka pun tidak akan mendengarkan kita. Dalam keadaan demikian pemberitaan Injil yang hakiki adalah tidak mungkin. Hank Hanegraaff. Christianity in Crisis. Eugene – Oregon. Harvest House Publisher. 1993. hlm 55. 50 Lihat Olaf Schumann. Dialog Antar Umat Beragama. hlm 19. 49 Gereja Lintas Agama 325 Kedua, dialog memperkaya dan memperkuat kesetiaan dan kejujuran kita terhadap agama sendiri sebab dengan memasuki ruang hidup orang-orang yang lain kepercayaannya dengan kita, kita memperoleh perspektif baru untuk memperluas wawasan dan memperdalam penghayatan iman kita serta memperhalus bentuk-bentuk penyampaiannya. Ketiga, mengikis bahkan melunturkan persepsi negatif dari orang lain terhadap agama Kristen bahwa ia agama yang agresif dan militan yang muncul dalam kegiatan evangelistis atau Kebaktian Kebangunan Rohani. Kegiatan-kegiatan ini menghadirkan Yesus sebagai semacam Yulius Caesar religius terhadap orang-orang yang lain kepercayaannya. Watak belaskasihan Yesus yang secara kuat ditampilkan dalam kitab-kitab Injil ditukar dengan gambaran Yesus sebagai seorang penakluk yang bengis dan tanpa hati nurani. 326 Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo