Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Tinjauan Umum
Proses pembuatan dan karakterisasi elektrode jenis kawat terlapis polimer
konduktif melibatkan proses elektrokimia yang berlangsung pada permukaan
elektrode. Dalam proses tersebut terjadi transfer elektron antara elektrode dengan
molekul-molekul elektroaktif di dalam larutan. Secara prinsip, laju dan proses
transfer elektron dapat dipengaruhi oleh potensial elektrode yang digunakan,
perpindahan materi elektroaktif antara elektrode dengan larutan fasa ruah,
reaktivitas spesi elektroaktif dalam larutan, morfologi permukaan elektrode dan
distribusi muatan pada daerah antarmuka tempat terjadinya transfer elektron
(Fisher, 1998).
Secara elektrokimia, reaksi redoks berlangsung dengan melibatkan transfer
muatan melewati antarmuka elektrode logam (m) dengan spesi di dalam larutan
(aq), seperti yang dinyatakan oleh persamaan reaksi berikut:
O(aq) + e (m)
R(aq)
(II.1)
Reaksi di atas hanya berlangsung pada saat elektrode telah dimasukkan ke dalam
larutan. Dalam hal ini, elektrode bertindak sebagai sumber elektron. Reaksi ini
melibatkan proses perpindahan elektron yang bergerak menuju kesetimbangan
antara dua fase (m dan aq), sehingga terjadi pemisahan muatan antara elektrode
dengan larutan. Pemisahan muatan inilah yang menghasilkan perbedaan potensial
pada antarmuka elektrode dan larutan. Jika Φs adalah potensial larutan dan Φm
adalah potensial logam, maka penurunan potensial (potential drop) yang melewati
antarmuka elektrode dan larutan (∆Φm/s) dinyatakan dengan persamaan:
∆Φm/s = Φm - Φs
(II.2)
Pengukuran perbedaan potensial memerlukan sebuah elektrode tambahan, yaitu
elektrode pembanding (reference electrode). Di dalam larutan, elektrode ini juga
memiliki potential drop (∆Φm/s), sehingga alat pengukur potensial yang
dihubungkan pada sistem ini akan memonitor perbedaan potensial kedua
antarmuka elektrode dan larutan. Elektrode pembanding berfungsi untuk menjaga
agar ∆Φm/s yang melewati antarmuka elektrode dan larutan selalu tetap. Oleh
karena itu, jika pengukuran perbedaan potensial, E, dilakukan di antara dua
elektrode, maka potensial yang terukur dinyatakan dengan persamaan:
E = (Φm - Φs) + tetapan
(II.3)
Dalam eksperimen, penentuan proses kesetimbangan elektrode dilakukan dengan
menggunakan sel elektrokimia. Sel elektrokimia terdiri dari dua buah setengah sel
yang
dipisahkan
dengan
suatu
membran
berpori
yang
masing-masing
mengandung pelarut, misalnya air. Spesi yang diukur (misalnya Fe3+│Fe2+)
dimasukkan ke dalam suatu sel yang dihubungkan dengan elektrode inert
(misalnya emas), sedangkan elektrode pembanding dimasukkan ke dalam sel yang
lain. Kedua buah elektrode tersebut kemudian dihubungkan dengan suatu
voltmeter. Jika elektrode pembanding yang digunakan adalah sebuah elektrode
hidrogen standar (EHS) dengan potensial bernilai nol, menurut perjannjian, maka
potensial sel bagi sistem tersebut adalah:
E = ∆Φm/s (Fe3+│Fe2+) – ∆Φm/s (EHS) = ∆Φm/s (Fe3+│Fe2+) – 0
= ∆Φm/s (Fe3+│Fe2+)
Untuk reaksi transfer muatan: O(aq) + ne(m)
R(aq), dengan n adalah
jumlah elektron yang ditransfer, Nernst menunjukkan bahwa potensial elektrode
pada kondisi kesetimbangan dinyatakan oleh persamaan:
Ee = E0 +
RT [O]
ln
nF [ R]
(II.4)
dengan Ee adalah potensial kesetimbangan yang dihasilkan dari reaksi O dan R
pada permukaan elektrode dengan potensial elektrode standar (E0).
Dalam sel elektrolisis, reaksi kimia dibangkitkan dengan cara mengalirkan arus
listrik dalam jumlah yang cukup ke dalam sel tersebut. Arus ini akan menginduksi
perubahan elektron-elektron antara elektrode dengan molekul-molekul atau ionion elektroaktif di dalam larutan, sehingga mengubah keadaan teroksidasi (O)
molekul-molekul atau ion-ion elektroaktif melalui proses transfer elektron antara
11
elektrode dengan molekul-molekul atau ion-ion tersebut. Dalam hal ini, reaksi
elektrolisis dapat dikendalikan dengan mengatur potensial pindai yang digunakan.
Reaksi-reaksi elektrode yang berlangsung dapat digambarkan berdasarkan
perubahan tingkat energi pada elektrode maupun molekul-molekul atau ion-ion
yang bereaksi. Logam mengandung kisi-kisi atom yang tersusun rapat. Tumpangtindih orbital-orbital atom dalam kisi-kisi ini memungkinkan elektron-elektron
dalam logam bergerak secara bebas. Elektron-elektron memiliki tingkat energi
kontinu yang efektif di dalam logam hingga mencapai tingkat energi maksimum
yang disebut energi Fermi (EF). Potensial listrik yang dilewatkan pada logam
diperlukan untuk menaikkan atau menurunkan tingkat energi Fermi, seperti yang
ditunjukkan dengan model pada Gambar II.1.
O
O
R
LUMO
Energi
EF
HOMO
Logam
larutan
logam larutan
logam larutan
(b)
(c)
(a)
Gambar II.1. Model perpindahan elektron antara logam dan spesi elektroaktif
dalam larutan yang dipengaruhi oleh perubahan potensial yang
digunakan. (a) Potensial elektrode belum mencapai tingkat yang
cukup untuk menaikkan energi Fermi yang diperlukan untuk
menggerakkan reaksi reduksi spesi O. (b) Tingkat Fermi telah lebih
dari cukup untuk memindahkan elektron dari elektrode ke spesi O.
(c) Tingkat Fermi lebih rendah daripada HOMO, sehingga elektron
dapat berpindah dari spesi R ke elektrode logam (Bard, 2001).
Pada Gambar II.1, spesi elektroaktif O dapat memiliki orbital molekul kosong
terendah (lowest unoccupied molecular orbital, LUMO) pada tingkat energi yang
lebih tinggi daripada tingkat energi Fermi logam. Keadaan ini tidak
memungkinkan terjadinya transfer elektron dari logam ke spesi elektroaktif O.
Jika energi logam dinaikkan dengan memberikan potensial negatif, maka
elektron-elektron pada logam dimungkinkan untuk memiliki energi hingga di atas
12
LUMO, sehingga transfer elektron dari logam ke spesi elektroaktif O dapat
berlangsung (O mengalami reaksi reduksi). Sebaliknya, jika potensial dipindai ke
arah potensial yang semakin positif, tingkat energi Fermi akan turun dan setelah
mencapai tingkat energi di bawah HOMO (highest occupied molecular orbital),
elektron dari spesi elektroaktif R berpindah ke elektrode logam (R mengalami
reaksi oksidasi).
II.2 Perpindahan Massa (Mass Transport)
Reaksi elektrolisis berlangsung jika terjadi perpindahan molekul-molekul atau
ion-ion elektroaktif (pereaksi) dari larutan fasa ruah menuju ke permukaan
elektrode, sedangkan hasil-hasil reaksinya berdifusi meninggalkan elektrode
menuju fasa ruah. Mekanisme perubahan yang terjadi mengikuti skema yang
diperlihatkan pada Gambar II.2.
Pereaksi (A)
Hasil reaksi (B)
Perpindahan A menuju
Permukaan
A(aq) +
Perpindahan B dari
Permukaan
e(m)
B(aq)
Elektrode
Gambar II.2. Skema proses yang mempengaruhi laju reaksi reduksi A menjadi B
pada permukaan elektrode.
Semua laju reaksi akan dibatasi oleh tahap reaksi yang paling lambat. Dengan
demikian, reaksi utama dapat dikendalikan baik oleh kinetika transfer elektron
maupun laju perpindahan A menuju ke permukaan elektrode dan perpindahan B
meninggalkan permukaan elektrode.
Ada tiga proses perpindahan yang dapat berlangsung dalam reaksi elektrolisis,
yaitu difusi, konveksi dan migrasi (Wang, 2001; Mong, 2001). Ketiga proses ini
berturut-turut menghasilkan arus difusi, konveksi dan migrasi. Peristiwa difusi
terjadi sebagai akibat dari reaksi redoks pada antarmuka elektrode dan larutan
antara elektrode dengan spesi O (keadaan teroksidasi) dalam larutan, sehingga
13
menghasilkan gradient (perbedaan) konsentrasi O di sekitar permukaan elektrode.
Difusi merupakan perpindahan spesi elektroaktif yang terjadi secara spontan, dari
daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah yang berkonsentrasi lebih rendah,
untuk meminimalkan perbedaan konsentrasi (Fisher, 1998; Wang, 2001).
Konveksi adalah perpindahan massa menuju elektrode karena tekanan-tekanan
fisik seperti pengaliran fluida yang terjadi melalui pengocokan (strirring),
penggerakan larutan atau karena gradient densitas (konveksi alamiah). Migrasi
adalah perpindahan partikel-partikel bermuatan sepanjang medan listrik.
Laju perpindahan massa pada suatu titik tertentu dinyatakan dengan istilah fluks
(J) yang didefinisikan sebagai jumlah partikel yang memasuki suatu satuan luas
bidang datar imajiner pada suatu satuan waktu dengan satuan mol.cm-2.dt-1. Fluks
menuju ke elektrode dalam satu dimensi dinyatakan dengan persamaan NernstPlanck sebagai berikut:
J(x,t) = - D
∂C( x, t ) zFDC ∂φ ( x, t )
−
+ C( x, t ).V ( x, t )
∂x
RT
∂x
(II.5)
dengan D adalah koefisien difusi (cm-2.dt-1), ∂C( x, t ) / ∂x adalah gradient
konsentrasi pada jarak x dan waktu t, ∂φ ( x, t ) / ∂x adalah gradient potensial, z dan
C berturut-turut adalah muatan dan konsentrasi spesi elektroaktif, dan V(x,t)
adalah kecepatan hidrodinamis dalam arah x. Dalam media air, nilai D berkisar
antara 10-5 – 10-6 cm-2.dt.-1.
Bila elektrolisis hanya melibatkan proses difusi, maka berdasarkan hukum Fick
pertama, arus difusi (i) berbanding lurus dengan gradient konsentrasi menurut
persamaan:
i = nFAD
∂C( x, t )
∂x
(II.6)
dengan n, F dan A berturut-turut adalah jumlah elektron yang ditransfer, tetapan
Faraday dan luas elektrode.
Untuk eksperimen yang melibatkan reaksi reduksi O menjadi R, hubungan antara
arus dengan waktu selama reaksi berlangsung ditunjukkan oleh profil konsentrasi
14
terhadap waktu seperti yang diperlihatkan pada Gambar II.3. Saat konsentrasi O
pada permukaan adalah nol pada awal potensial, gradient konsentrasi tepat berada
di dekat permukaan. Daerah tempat terjadinya pengosongan O dengan ketebalan δ
disebut lapisan difusi. Pada saat CO(x,0) = CO(b), konsentrasi dalam seluruh
daerah sama dengan konsentrasi fasa ruah, CO(b). CO(0,t) = 0 untuk t > 0, dan
CO(x,0) → CO(b) jika x → ∞ (konsentrasi bertambah jika jarak dari elektrode
bertambah).
Co(b)
t1
t3
t2
t3 > t2 > t1
Co(0)
δ1
δ2
δ3
Jarak dari permukaan elektrode
Gambar II.3. Profil konsentrasi pada waktu yang berbeda-beda (Wang, 2001).
II.3 Struktur Antarmuka Elektrode dan Larutan
Muatan elektrode dapat dikendalikan dengan memberikan perbedaan potensial
antara dua buah elektrode. Pemberian potensial ini akan menghasilkan antaraksi
elektrostatis yang terjadi antara elektrode dengan ion-ion elektrolit dalam larutan.
Selain itu, permukaan elektrode juga dapat berantaraksi dengan dipol-dipol dari
molekul-molekul pelarut (Kissinger, 1996; Fisher, 1998; Wang, 2001).
Peristiwa antaraksi elektrode dengan larutan akan menghasilkan perbedaan
potensial yang analog dengan timbulnya perbedaan potensial dari suatu kapasitor.
Kapasitor adalah suatu elemen rangkaian listrik yang tersusun dari dua lapisan
logam yang dipisahkan oleh material bermuatan listrik. Model kapasitor ini
diperlihatkan pada Gambar II.4.
15
e
____
baterai
+ + + + ++
kapasitor
+
e
(a)
(b)
Gambar II.4. (a) Kapasitor. (b) Pengembanan muatan kapasitor dengan baterai
(Bard, 2001)
Hubungan antara muatan dengan potensial dinyatakan dengan persamaan:
q
=C
E
(II.7)
dengan q adalah muatan yang tersimpan dalam kapasitor dengan satuan coulumb
(C), E adalah potensial terapan yang melewati suatu kapasitor dengan satuan volt
(V), dan C adalah kapasitansi dengan satuan farad (F). Ketika potensial
dilewatkan pada kapasitor, muatan terkumpul pada pelat logam. Selama proses
pengembanan muatan terjadi aliran listrik. Muatan kapasitor terbentuk dari dua
pelat yang dipisahkan oleh perbedaan muatan yang berasal dari perbedaan
distribusi elektron. Pelat yang satu kelebihan elektron dan pelat yang lain
kekurangan elektron, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar II.4 (b). Berdasarkan
rangkaian yang ditunjukkan oleh gambar tersebut, jika baterai bertegangan 2 V
ditempatkan melewati kapasitor berkapasitansi 10 μF, maka arus listrik yang
mengalir dengan muatan mencapai 20 μC akan terkumpul pada pelat kapasitor.
Besarnya arus listrik bergantung pada tahanan dalam sirkuit.
Antarmuka elektrode dan larutan berperilaku seperti kapasitor. Ketika elektrode
diberi potensial, pada elektrode logam dan larutan akan timbul muatan listrik
berturut-turut sebesar qM dan qS. Hal ini digambarkan dengan model distribusi
muatan pada permukaan logam dan larutan seperti yang diperlihatkan pada
Gambar II.5.
16
Logam Larutan
–
–
–
–
–
–
–
+
+
+
–+
+
+
Logam larutan
+
+
+
– +
–
+
– +
+
+
+
+
+
+
+
+
(a)
–
– – +
– + –
– – +
+ –
–
–
(b)
Gambar II.5. Model antarmuka logam dan larutan sebagai suatu kapasitor dengan
muatan pada logam sebesar qM. (a) qM negatif dan (b) qM positif
(Bard, 2001).
Muatan logam bergantung pada komposisi larutan dan potensial yang dilewatkan
pada antarmuka logam dan larutan. Muatan logam (qM) menunjukkan keadaan
kelebihan atau kekurangan elektron pada lapisan permukaan logam yang sangat
tipis (< 1 Å) (Bard, 2001). Muatan dalam larutan (qS) terbentuk baik oleh
kelebihan dan kekurangan kation maupun anion di sekitar permukaan elektrode.
Susunan seluruh spesi bermuatan dan dipol terorientasi yang berada pada
antarmuka logam dan larutan disebut lapisan rangkap listrik. Pada potensial yang
digunakan, antarmuka elektrode dan larutan akan memiliki kapasitansi lapisan
rangkap listrik (Cd) yang khas dengan rentang 10 – 40 μF/cm2 (Bard, 2001).
Struktur antarmuka elektrode dan elektrolit dapat digambarkan dengan model
Helmholtz (Bard, 2001). Dalam model ini digambarkan bahwa bagian larutan
yang mengandung lapis rangkap (berdekatan dengan permukaan elektrode)
dianggap terbentuk dari beberapa lapisan. Lapisan terdekat dengan permukaan
elektrode disebut lapisan dalam (inner layer), lapisan Helmholtz atau lapisan
Stern. Lapisan ini mengandung molekul-molekul pelarut dan kadang-kadang
spesi-spesi lain (ion-ion atau molekul-molekul) yang terdsorpsi secara spesifik
(specifically adsorbed). Lapisan tempat terkumpulnya medan listrik dari ion-ion
yang teradsorpsi secara spesifik disebut bidang Helmholtz dalam (inner Helmholtz
plane, IHP) dan berjarak x1 dari lapisan dalam. Rapat muatan total ion-ion yang
teradsorpsi secara spesifik dalam lapisan ini adalah σi μC/cm2. Ion-ion yang
17
tersolvasi akan mendekati logam hanya pada jarak x2. Lapisan tempat
terkumpulnya ion-ion tersolvasi ini disebut bidang Helmholzt luar (outer
Helmholtz plane, OHP). Model lapisan rangkap listrik yang terbentuk pada larutan
di daerah yang dekat dengan permukaan logam diperlihatkan pada Gambar II.6.
M
IHP OHP
M
φ
φ1 φ2
Kation tersolvasi
–
–
Logam
–
anion teradsorpsi secara spesifik
–
qM
= molekul pelarut
X1 X2
σ1
σd
Gambar II.6. Model daerah lapisan rangkap dalam kondisi anion-anion teradsorpsi
secara spesifik (Bard, 2001).
Antaraksi ion-ion pelarut dengan logam bermuatan hanya melibatkan gaya
elektrostatik jarak jauh, sehingga antaraksinya tidak bergantung pada sifat-sifat
kimia ion-ion tersebut. Adsorpsi ion-ion yang terjadi akibat antaraksi ini
menghasilkan adsorpsi ion-ion secara tidak spesifik (nonspecifically adsorbed).
Karena desakan termal di dalam larutan, ion-ion yang teradsorpsi secara tidak
spesifik terdistribusi dalam suatu ruang yang disebut lapisan difusi (diffuse layer),
yaitu lapisan larutan bermuatan yang merentang dari OHP sampai daerah larutan
fasa ruah. Rapat muatan berlebih dalam lapisan difusi dinyatakan dengan σd.
Jumlah rapat muatan berlebih dalam lapisan rangkap, σs, dinyatakan dengan:
σs = σi + σd = – σM
(II.8)
Ketebalan lapisan difusi bergantung pada konsentrasi ion total di dalam larutan.
Untuk spesi elektroaktif dengan konsentrasi lebih besar dari 10-2 M, ketebalan
lapisan difusi kurang dari ∼ 100 Å (Bard, 2001). Profil potensial yang melewati
daerah lapis rangkap diperlihatkan pada Gambar II.7.
18
Logam
Larutan
–
–
–
–
: anion yang tertolak
dari permukaan elektrode
–
: kation tersolvasi
IHP OHP
φs
φ
φ2
φM
x1 x2
x→
Gambar II.7. Profil potensial melewati daerah lapis rangkap tanpa adanya adsorpsi
ion-ion secara spesifik. Variabel φ disebut potensial dalam (inner
potential) (Bard, 2001).
Menurut model ini, elektrode logam memiliki rapat muatan (qm) yang berasal dari
keadaan kelebihan (qm negatif) atau kekurangan (qm positif) elektron pada
permukaan
elektrode.
Untuk
mempertahankan
kenetralan
muatan
pada
permukaan, maka rapat muatan elektrode harus diimbangi dengan muatan yang
berlawanan dengan muatan larutan (qs), sehingga qm = – qs. Muatan ini berasal
dari penyebaran ion-ion elektrolit pada antarmuka dan atau orientasi dipol-dipol
molekul-molekul pelarut yang digerakkan oleh gaya elektrostatis. Perbedaan
potensial yang dihasilkan pada antarmuka menghasilkan gradient medan listrik
melewati lapisan pemisahan muatan.
Perbedaan potensial pada antarmuka elektrode dan larutan dapat dikendalikan
dengan mengatur potensial yang diberikan pada elektrode ketika elektrode
tersebut dicelupkan ke dalam larutan analit. Pengendalian potensial dengan arus
tertentu menjadi dasar bagi analisis secara elektrokimia dengan metode
19
voltametri. Beberapa teknik yang dikembangkan dengan metode ini antara lain
adalah teknik voltametri pemindaian linier dan teknik voltametri siklik.
II.4 Teknik Voltametri Pemindaian Linier
Dalam voltametri pemindaian linier (linear sweep voltammetry, LSV), pemindaian
dilakukan dari batas potensial yang lebih rendah menuju yang lebih tinggi.
Karakteristik LSV tergantung pada laju reaksi transfer elektron, reaktivitas kimia
dari spesi-spesi elektroaktif dan laju pemindaian potensial (Wang, 2001)
Dalam pengukuran dengan LSV, arus listrik dialurkan sebagai fungsi perubahan
potensial. Sebagai contoh, untuk sistem redoks Fe3+ + e
Fe2+, maka
pemindaian potensial dalam larutan yang hanya mengandung Fe3+ akan
menghasilkan voltamogram seperti yang diperlihatkan pada Gambar II.8.
Arus (i)
0,7
0,1
0,0
-0,1
-0,7
E pc
Potensial
Gambar II.8. Voltamogram LSV dari sistem redoks Fe3+ + e
Fe2+
Pemindaian diawali dari sisi kiri dengan arus awal nol. Ketika pemindaian
potensial bergerak ke kanan, arus listrik mulai mengalir dan akhirnya mencapai
suatu puncak sebelum mengalami penurunan. Untuk menelaah perilaku tersebut
perlu diperhatikan pengaruh potensial terhadap kesetimbangan yang terjadi pada
permukaan elektrode. Pada reaksi reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, laju transfer elektron
berlangsung cepat. Oleh karena itu, kesetimbangan yang terjadi pada permukaan
elektrode mengikuti persamaan Nernst berikut:
E = E0 +
RT [ Fe3+ ]
ln
nF [ Fe 2 + ]
(II.9)
20
dengan E dan E0 berturut-turut adalah beda potensial terapan dan potensial
elektrode standar.
Bentuk voltamogram yang tepat dapat dipahami dengan mempertimbangkan
pengaruh potensial dan perpindahan massa. Arus akan mengalir ketika potensial
mulai dipindai, yakni ketika kesetimbangan mulai bergeser ke kanan dan Fe3+
mulai banyak yang berubah menjadi Fe2+.
Arus puncak (ip) dari voltamogram yang terjadi pada suatu proses redoks
dipengaruhi oleh laju pindai. Semakin besar laju pindai, semakin tinggi arus
puncak, seperti yang diperlihatkan oleh Gambar II.9.
Arus (i)
Peningkatan
laju pindai
0,7
0,1
0,0
-0,1
E pc
-0,7
Potensial
Gambar II.9. Profil voltamogram LSV dengan laju pindai yang bervariasi.
Untuk laju pindai yang lambat, lapisan difusi akan tumbuh lebih lambat dari
elektrode daripada dengan laju pindai yang lebih cepat. Akibatnya, pada laju
pindai yang lebih lambat, fluks menuju ke permukaan elektrode lebih kecil
dibandingkan dengan laju pindai yang lebih cepat. Karena arus berbanding lurus
dengan fluks menuju elektrode, maka besarnya arus akan menjadi lebih rendah
pada laju pindai yang lambat dan lebih tinggi pada laju pindai yang tinggi.
II.5 Teknik Voltametri Siklik
Dalam teknik voltametri siklik (cyclic voltammetry, CV), pemindaian potensial
dilakukan dalam arah bolak-balik mengikuti pola reaksi oksidasi dan reduksi.
Voltamogram siklik reaksi redoks reversibel diperlihatkan pada Gambar II.10.
21
Pada voltamogram siklik tersebut, pemindaian ke arah potensial negatif
menghasilkan reaksi reduksi dengan arus puncak katodik i cp pada potensial E pc ,
sedangkan pemindaian ke arah sebaliknya menghasilkan arus puncak anodik
i pa pada potensial puncak E pa .
Arus (i)
i cp
i cp
0,7
0,1
E pa 0,0 E pc
-0,1
-0,7
Potensial
i
a
p
Gambar II.10. Profil voltamogram siklik suatu reaksi redoks.
Untuk reaksi redoks yang berlangsung secara reversibel, karakteristik voltametri
siklik yang dapat diamati adalah:
(1) Pemisahan potensial antara dua arus puncak (∆E) adalah
59
mV.
n
(2) Posisi potensial puncak tidak dipengaruhi oleh laju pemindaian potensial.
(3) Rasio arus puncak,
i pa
i cp
, sama dengan satu.
(4) Arus puncak berbanding lurus dengan akar laju pindai.
i pa dan i cp ∝
v
(5) Seperti yang terjadi pada LSV, variasi laju pindai berpengaruh pada variasi
tinggi arus puncak, tetapi tidak menggeser potensial puncak.
Dalam reaksi elektropolimerisasi dengan teknik voltametri siklik, arus listrik yang
diperlukan agar reaksi redoks dapat berlangsung hanyalah arus difusi (Wang,
2001). Untuk mencegah adanya arus migrasi, maka dalam larutan ditambahkan
elektrolit pendukung, yaitu suatu larutan elektrolit yang tidak bersifat elektroaktif
pada rentang potensial yang digunakan dan memiliki kekuatan ion yang biasanya
22
lebih besar daripada konsentrasi spesi elektroaktif yang dilarutkan (IUPAC, 1997;
Wang, 2001). Penambahan elektrolit pendukung juga dimaksudkan untuk
meningkatkan konduktivitas larutan. Tanpa adanya elektrolit pendukung,
elektropolimerisasi tidak dapat berlangsung. Untuk mencegah arus konveksi,
maka proses elektropolimerisasi harus dilakukan dalam larutan yang tidak
bergerak.
Teknik voltametri siklik merupakan teknik yang sangat penting untuk
mengkarakterisasi sifat-sifat elektrokimia polimer konduktif. Untuk pembuatan
polipirol, bentuk khas voltamogram siklik dari elektropolimerisasi pirol
bergantung pada pelarut, elektrolit pendukung dan parameter-parameter
voltametri siklik yang digunakan (Zhou, 1999; Li, 1997; Li & Qian, 2000).
II.6. Analisis Mekanisme Reaksi dengan Teknik Voltametri Siklik
Teknik voltametri siklik dapat digunakan untuk menganalisis mekanisme reaksi
yang terjadi pada suatu spesi elektroaktif. Reaksi yang berlangsung secara
elektrokimia (E) dan kimia (C) dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi sebagai
berikut:
R
E: O + e
C: R
k EC
Hasil
Reaksi ini berlangsung dengan mekanisme elektrokimia dan kimia (EC). Jika
proses difusi berlangsung dominan, maka perpindahan massa dalam reaksi
tersebut dinyatakan dengan persamaan:
⎡ ∂ 2 [O] ⎤
∂[O]
= Do ⎢
2 ⎥
∂t
⎣ ∂x ⎦
(II.10)
⎡ ∂ 2[ R] ⎤
∂[ R]
= DR ⎢ 2 ⎥ − k EC [ R ]
∂t
⎣ ∂x ⎦
(II.11)
Dengan teknik voltametri siklik, reaksi EC yang berlangsung dengan tetapan laju
reaksi kimia kEC akan menghasilkan voltamogram siklik seperti yang
diperlihatkan pada Gambar II.11. Pada voltamogram tersebut diperlihatkan
adanya penurunan arus puncak balik. Penurunan ukuran puncak balik ini terjadi
23
karena spesi R yang terbentuk dari reaksi elektrokimia diubah menjadi spesi lain
ketika terjadi reaksi kimia, sehingga spesi R yang berubah kembali menjadi O
tinggal sedikit. Pola voltamogram ini juga dapat terjadi pada reaksi redoks yang
berlangsung dengan laju pindai yang sangat lambat.
-i
0,2
0,1
+i
-0,1
-0,2
Potensial
Gambar II.11. Voltamogram siklik untuk reaksi dengan mekanisme EC.
Teknik voltametri siklik dapat digunakan untuk pelapisan elektrode kawat logam
dengan polimer konduktif lewat elektropolimerisasi monomer pada permukaan
elektrode. Elektrode kawat yang terlapis dengan polimer konduktif dapat
digunakan sebagai elektrode sensor ion untuk pengukuran ion-ion dengan metode
potensiometri.
II.7 Metode Potensiometri
Analisis dengan metode potensiometri didasarkan pada pengukuran beda potensial
antara dua elektrode yang dicelupkan ke dalam sel elektrokimia. Kedua elektrode
tersebut adalah elektrode penunjuk atau elektrode kerja yang merespon aktivitas
atau konsentrasi spesi analit dalam larutan dan elektrode pembanding dengan
potensial setengah sel yang tetap.
Potensial sel elektrokimia (Esel) dinyatakan dengan persamaan berikut:
Esel = Eind - Eref + Elj
(II.12)
24
dengan Eind, Eref dan Elj berturut-turut adalah potensial setengah sel elektrode
penunjuk (katoda), elektrode pembanding dan larutan hubung (liquid junction).
Potensial liquid junction terbentuk pada antarmuka antara dua elektrolit,
khususnya pada bagian antarmuka elektrode pembanding dan larutan di dalam sel.
Potensial setengah sel elektrode penunjuk berkaitan dengan perubahan aktivitas
spesi-spesi yang terlibat dalam persamaan Nernst. Dalam hal ini, elektrode
penunjuk adalah sebuah elektrode selektif ion yang merespon ion-ion analit utama
secara selektif, walaupun dalam larutan analit terdapat ion-ion pengganggu.
II.8 Elektrode Selektif Ion
Sensor kimia adalah suatu alat analisis berukuran kecil yang dapat digunakan
untuk memantau secara langsung keberadaan senyawa-senyawa atau-ion-ion
spesifik dalam larutan sampel. Elektrode selektif ion (ESI) merupakan salah satu
sensor potensiometri yang paling sering digunakan dalam analisis laboratorium,
baik dalam bidang industri, pengontrolan proses, dan pemantauan lingkungan
(Cattrall, 1997).
Pengenalan spesi-spesi tertentu oleh sensor-sensor potensiometri dapat terjadi
akibat reaksi kesetimbangan kimia yang berlangsung pada permukaan elektrode
sensor. Oleh karena itu, permukaan elektrode sensor potensiometri harus
mengandung komponen khusus yang dapat bereaksi secara kimia dan reversibel
dengan ion analit. Reaksi inilah yang menyebabkan elektrode sensor
potensiometri bersifat selektif, sehingga disebut sebagai elektrode selektif ion
(ESI). Namun demikian, elektrode ini tidak spesifik, sehingga tidak disebut
sebagai elektrode spesifik ion, karena ion-ion lain dapat mempengaruhi
kesetimbangan kimia pada permukaan membran sensor.
Membran selektif ion merupakan komponen kunci dari semua sensor
potensiometri. Dengan membran inilah suatu sensor merespon suatu analit secara
selektif dalam matriks sampel yang mengandung ion-ion pengganggu (interfering
ions) atau ion-ion asing. Jika ion-ion dapat menembus batas antara dua fase, yaitu
fase larutan dan fase membran, maka akan tercapai suatu kondisi kesetimbangan
kimia dan pada saat yang sama terbentuk perbedaan potensial antara dua fase. Jika
25
hanya satu ion utama yang dapat mengalami reaksi pertukaran ion antara kedua
fase, maka perbedaan potensial tersebut hanya dihasilkan oleh aktivitas ion utama.
Bila suatu membran memisahkan dua larutan dengan aktivitas ion yang berbeda
(a1 dan a2) dan membran yang digunakan hanya permeabel terhadap kedua ion
ini, maka perbedaan potensial (E) ion yang berpermeasi menembus membran
diungkapkan oleh persamaan Nernst berikut:
E=
RT a1
ln
zF a2
(II.13)
Jika aktivitas ion utama dalam fase 2 dipertahankan konstan, maka berdasarkan
persamaan di atas, potensial elektrode terhadap ion a dengan aktivitas x dalam
fase 1 (a1 = ax) adalah:
E=
RT ax
ln
= tetapan + S log (ax)
z x F a2
(II.14)
dengan S = 59,16/z (mV) pada 298 K dan zx (muatan analit x) = 1. Perbedaan
potensial diukur antara elektrode selektif ion dengan elektrode pembanding yang
ditempatkan dalam larutan sampel.
Pengukuran perbedaan potensial dilakukan pada arus nol, yakni pada kondisi
kesetimbangan. Pada kondisi ini, laju transfer ion-ion dari membran ke dalam
larutan sama dengan laju transfer ion-ion dari larutan ke dalam membran. Sinyal
yang terukur adalah jumlah dari perbedaan potensial yang dihasilkan pada semua
antarmuka padat-padat, padat-cair dan cair-cair. Contoh susunan sistem alat yang
digunakan untuk pengukuran ion secara potensiometri adalah seperti yang
diperlihatkan pada Gambar II.12.
Dengan menggunakan sederetan larutan pengkalibrasi, kurva respon dapat diukur
dan dialurkan sebagai sinyal E terhadap aktivitas spesi analit. Ciri khas kurva
kalibrasi sensor potensiometri yang ditentukan dengan cara ini ditunjukkan pada
Gambar II.13 (Christian,1996). Rentang linier pada kurva kalibrasi digunakan
untuk menentukan aktivitas ion utama (analit) dalam larutan yang diukur.
26
Elektrode
Ag/AgCl
Elektrolit
internal
membran
ESI
elektrode
pembanding
liquid junction
Gambar II.12. Susunan sistem pengukuran dengan ESI
E
(mV)
gangguan
anion
59,16 mV/dekade
gangguan
kation
1
batas deteksi
log ai
Gambar II.13. Kurva kalibrasi khas ESI
Ion-ion dalam larutan sampel yang tidak permeabel terhadap membran tidak
berpengaruh pada perbedaan potensial yang terukur. Namun, membran yang
benar-benar selektif terhadap satu jenis ion saja tidak pernah ada, sehingga
potensial suatu membran dihasilkan oleh aktivitas ion analit dan ion-ion lain
(pengganggu). Pengaruh keberadaan spesi-spesi pengganggu dalam larutan
27
sampel terhadap perbedaan potensial yang terukur dipertimbangkan dengan
persamaan Nikolski-Eisenman berikut:
E = tetapan + S.[log (ai) + (zi/zj).log (Kij.(aj)]
(II.15)
Bila koefisien selektivitas ditentukan dengan metode larutan terpisah, maka
diperoleh persamaan:
log Kij = (Ej – Ei) F/(2,303 RT)
(II.16)
dengan (aj) adalah aktivitas ion pengganggu bermuatan zj dan (Kij) adalah
koefisien selektivitas. Ei dan Ej berturut-turut adalah potensial elektrode terhadap
anion pengganggu (interference) dan anion utama, R adalah tetapan gas (0,082
L.atm.mol-1.K-1) dan T adalah suhu (Kelvin).
II.9 Karakterisasi Elektrode Selektif Ion
Kinerja elektrode selektif ion ditunjukkan oleh karakteristik potensiometri
elektrode. Beberapa karakteristik elektrode selektif ion yang harus ditentukan
adalah:
(1) Selektivitas.
Parameter ini berkaitan dengan kemampuan relatif suatu elektrode untuk
merespon ion-ion pengganggu dalam larutan ion utama. Besaran kuantitatif
selektivitas ditunjukkan dengan koefisien selektivitas (Kij) yang dihitung dengan
menggunakan persamaan Nikolski-Eisenman dan dinyatakan sebagai bentuk
logaritma Kij (Uwezawa et al., 2000, Wang, 2002). Nilai Kij yang kecil
menunjukkan bahwa respon elektrode terhadap ion analit lebih baik daripada
respon terhadap ion pengganggu. Koefisien selektivitas tergantung pada aktivitas
dan metode penentuan yang digunakan. IUPAC merekomendasikan dua metode,
yaitu metode larutan terpisah (separation solution method, SSM) dan metode
komponen pengganggu tercampur (fixed interference method, FIM) (Uwezawa et
al., 2000; Wang, 2002). Metode penentuan Kij yang lain adalah metode penepatan
potensial (matched potential method, MPM). Setiap metode penentuan Kij
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada kaidah umum yang menyatakan
metode yang terbaik.
28
(2) Sensitivitas (slope).
Sensitivitas adalah parameter potensiometri yang menunjukkan kemampuan suatu
elektrode untuk merespon suatu ion dengan konsentrasi yang rendah. Sensitivitas
elektrode ditentukan berdasarkan kemiringan garis linier kurva kalibrasi.
Sensitivitas teoretis berdasarkan persamaan Nernst adalah 59,16 mV/dekade pada
suhu 298 K bagi ion bermuatan +1 atau –1 atau 29,58 mV/dekade bagi ion
bermuatan +2 atau –2. Sensitivitas yang masih diperbolehkan untuk pengukuran
dapat berkisar antara 50 – 60 mV/dekade bagi ion bermuatan +1 atau –1 atau 25 –
30 mV/dekade bagi ion bermuatan +2 atau –2 (Wroblewski). Namun demikian,
dalam keadaan tertentu nilai sensitivitas elektrode tidak terlalu penting dan nilai
yang jelek tidak meniadakan penggunaannya asalkan kurva kalibrasinya linier.
(3) Rentang respon linier.
Respon potensiometri elektrode digambarkan dengan grafik yang mengalurkan
potensial terhadap konsentrasi ion analit. Dalam grafik yang linier, respon
potensial berbanding lurus dengan konsentrasi ion analit. Untuk aktivitas ion
analit yang tinggi dan sangat rendah terjadi penyimpangan kelinieran kurva. Pada
umumnya, kurva kalibrasi elektrode menunjukkan respon linier pada rentang
10-1 M hingga 10-5 M (Wroblewski).
(4) Batas deteksi.
Berdasarkan rekomendasi IUPAC, batas deteksi diartikan sebagai titik pertemuan
dua garis ekstrapolasi dari bagian linier kurva kalibrasi (Buck, 1994; Brett, 1994).
Batas deteksi menunjukkan konsentrasi terendah dari ion analit yang masih dapat
direspon oleh elektrode sebagai batas pengukuran terendah. Pada umumnya, batas
deteksi dari ESI pada konsentrasi 10-5 – 10-6 M.
(5) Waktu respon.
Berdasarkan rekomendasi IUPAC (Buck, 1994), waktu respon didefinisikan
sebagai waktu antara suatu keadaan ketika ESI dan elektrode pembanding
dicelupkan ke dalam larutan sampel dengan keadaan pertama ketika potensial sel
menjadi sama dengan harga keadaan mantapnya atau telah mencapai 90% nilai
29
akhir. Jadi, waktu respon adalah waktu yang diperlukan oleh elektrode untuk
merespon ion-ion, dari saat dimasukkannya ESI ke dalam larutan sampai dengan
munculnya respon potensial yang stabil.
II.10 Elektrode Selektif Ion Berdasarkan Jenis Membran
Ciri khas semua jenis elektrode yang digunakan dalam pengukuran ion secara
potensiometri terletak pada membran yang sensitif ion. Membran ini dapat
disiapkan dalam bentuk membran padat, membran cair dan membran khusus
elektrode sensor gas atau enzim. Membran-membran ini mengandung komponen
yang selektif terhadap analit dan memiliki peran utama dalam proses pengenalan.
Berdasarkan pada sifat sisi pengikatnya, suatu membran dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu membran dengan sisi pengikat yang tetap dan membran
dengan penukar ion yang bersifat mudah bergerak atau ionofor (carriers). Sisi
pengikat ini berada dalam matriks membran dan akan menentukan kepolaran
internal, lipofilisitas, laju perpindahan massa dan sifat-sifat mekanis membran
yang lain.
II.10.1 Elektrode bermembran kaca dan sensor pH
Kaca adalah suatu padatan amorf yang mengandung senyawa kompleks silikat
dan berbagai ion lain yang keberadaannya berpengaruh terhadap sifat fisik kaca.
Kaca ini bersifat permeabel terhadap kation H+ dan kation-kation Golongan IA.
Berdasarkan sifat ini, membran kaca dapat dikembangkan untuk mengukur
perbedaan potensial ion-ion yang melewati membran. Besarnya perbedaan
potensial bergantung pada aktivitas ion. Dengan mengubah komposisi kimia kaca,
membran kaca dapat dibuat sensitif terhadap kation H+, Na+ atau K+, tetapi akan
selalu mengalami gangguan serentak.
Contoh elektrode bermembran kaca yang paling banyak dikenal adalah elektrode
pengukur pH. Elektrode ini terbuat dari campuran Al2O3, Na2O dan SiO2 (Cattrall,
1997). Pada elektrode ini, sisi anion dalam membran berasal dari cacat (defect)
membran SiO2 dan kekosongan kation pada bagian nonsilikon di dalam kaca.
30
Membran tersebut dibuat dengan ketebalan dinding 0,06 – 0,20 mm dalam bentuk
bulat. Ketebalan optimum dihasilkan dari penyesuaian antara sifat-sifat mekanis
dengan ketahanan listrik. Ketika membran kaca dimasukkan ke dalam air, maka
suatu lapisan hidrat akan terbentuk dengan ketebalan sekitar 5 – 100 nm (Cattrall,
1997). Dua proses yang terjadi selama interaksi membran terhidrasi dengan
larutan sampel adalah pertukaran dan difusi semua ion yang terlibat. Kedua proses
tersebut berpengaruh terhadap koefisien selektivitas. Rentang konsentrasi
pengikatan anion, yang menentukan lebar rentang linier kurva kalibrasi elektrode,
diduga antara 3 hingga 10 M (Wroblewski). Elektrode pH memberikan respon
terhadap kation H+ dengan kurva linier yang khas dalam rentang pH 2 – 12.
II.10.2 Elektrode bermembran cair
Fasa organik dapat digunakan sebagai membran penukar ion. Dengan fasa ini,
ionofor distabilkan dalam membran polimer atau membran keramik. Komponen
utama membran elektroaktif adalah senyawa netral atau senyawa bermuatan yang
dapat mengkomplekskan ion-ion secara reversibel. Membran ini digunakan untuk
proses transfer ion-ion tersebut menuju ke membran organik dengan translokasi
zat pengemban (carrier translocation). Carrier ini disebut sebagai ionofor.
Berdasarkan muatannya, ionofor memiliki dua jenis, yaitu ionofor bermuatan satu
(biasanya diistilahkan sebagai penukar ion fasa cair) dan carrier netral. Keduanya
bersifat mudah bergerak baik dalam bentuk bebas maupun bentuk senyawa
kompleks. Ionofor dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dan biasanya terjerap
dalam matriks polimer organik dan membentuk gel. Pengukuran aktivitas ion
dilakukan dalam media air. Karena semua konstituen membran bersifat lipofilik,
maka antaraksi primer antara ion dalam air dengan membran lipofilik yang
mengandung ionofor adalah proses ekstraksi.
Elektrode selektif ion (ESI) tipe membran cair adalah elektrode bermembran
polimer yang berisi ionofor fasa cair yang dapat larut dalam air (Wang, 2001).
Membran polimer yang digunakan pada umumnya adalah polivinil klorida (PVC).
Polimer-polimer lain seperti polisiloksilan, polistirena, poliamida atau poliimida
juga dapat digunakan sebagai matriks membran. Dalam elektrode tipe ini, matriks
31
PVC berperan untuk menjaga kekuatan mekanik membran dan sebagai media bagi
analit untuk berdifusi menuju ke sisi pengenal (ionofor). Membran ini bersifat
hidrofob, sehingga dapat mencegah pelepasan ionofor dan bahan pemlastis
(plasticizer) ke dalam larutan sampel. Hal ini menyebabkan elektrode tidak
mudah rusak dan memiliki kedapatulangan pengukuran yang baik.
Membran polivinil klorida (PVC) mengandung sekitar 66% bahan pemlastis dan
33% PVC. Membran ini menyerupai membran cair, karena koefisien difusi untuk
ionofor terlarut dengan massa molekul rendah adalah sekitar 10-7 – 10-8 cm2/detik.
Bahan pemlastis ditambahkan pada membran untuk menjamin mobilitas ionofor
bebas maupun yang berbentuk senyawa kompleks. Bahan pemlastis ini
menentukan kepolaran dan sifat-sifat mekanis membran. Banyaknya ionofor
biasanya sekitar 1% (∼ 10-2 M) (Wang, 2001). Dalam elektrode tipe ini, ionofor
yang banyak digunakan adalah ionofor bermuatan netral.
II.10.3 Elektrode bermembran padatan
Elektrode selektif tipe ini menggunakan membran dalam bentuk padatan ion
dengan kelarutan dalam air yang rendah. Dengan kelarutan dalam air yang rendah,
maka pelarutan membran ke dalam air dapat dihindari dan kestabilan respon dapat
terjamin (Brett, 1994). Hantaran melalui membran pada prinsipnya adalah
hantaran ion dan terbentuk karena adanya cacat titik dalam kisi kristal.
Cacat titik dalam kisi kristal dapat dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu cacat
Frenkel dan cacat Schottky (Brett, 1994). Pada cacat Frenkel, suatu ion
meninggalkan posisi kisinya membentuk suatu celah kosong. Karena dalam kisi
tersebut ukuran kation lebih kecil daripada anion, maka cacat Frenkel lebih
memungkinkan untuk perpindahan kation secara berantai. Volume kristal masih
belum berubah oleh pembentukan cacat. Dalam cacat Schottky, ion-ion
meninggalkan posisi kisinya dan berpindah ke permukaan. Dalam fenomena ini
kemungkinan perpindahan kation dan anion adalah sama. Pembentukan cacat
jenis ini menghasilkan peningkatan volume dan menurunkan densitas kristal.
32
Cacat yang lain adalah kombinasi dari kedua jenis cacat tersebut yang
menghasilkan pembentukan celah pasangan ion.
Contoh sensor bermembran fasa padat adalah elektrode selektif ion fluorida, F-.
Elektrode ini terdiri dari kristal tunggal LaF3 dan larutan elektrolit internal tempat
tercelupnya elektrode kawat Ag│AgCl. Larutan elektrolit internal terdiri dari
NaF 0,1 M dan KCl 0,1 M. Kristal LaF3 disisipi dengan dopan EuF2 untuk
menghasilkan suatu celah kosong pada sisi anion. Karena setiap EuF2 hanya
memiliki 2 F-, sedangkan kristal LaF3 yang memiliki tiga F-, maka pada setiap
penambahan satu molekul EuF2 dalam kristal akan menyebabkan terbentuknya
sebuah ruang yang kekurangan satu ion F-. Penyisipan dopan ini menghasilkan
cacat kristal yang memungkinkan ion-ion F- yang masuk ke dalam membran dapat
berpindah dari satu celah ke celah berikutnya secara berantai, sehingga
mempersingkat waktu respon elektrode (Wang, 2001). Hantaran ionik terbentuk
dari proses adsorpsi dan desorpsi ion-ion fluorida pada permukaan elektrode dan
besarnya bergantung pada aktivitas ion di dalam larutan.
Sensor-sensor untuk penentuan ion-ion Ag+, Cu2+, Cd2+, Pb2+, S2-, F-, Br-, I-, SCNdan CN- dapat dibuat dari bahan membran seperti ini, dengan material-material
anorganik tak larut seperti Ag2S, CuS, CdS, PbS, LaF3, AgCl, AgI dan AgSCN
disisipkan ke dalam badan elektrode dalam bentuk kristal tunggal atau serbuk
yang dipadatkan. Sensitivitas elektrode terhadap ion-ion ini berasal dari
kesetimbangan pelarutan pada permukaan membran. Respon potensial elektrode
yang mengikuti hukum Nernst dapat dicapai oleh anion-anion dan kation-kation
dengan batas deteksi 10-8 M (Brett, 1994). Namun demikian, pengaruh dari spesispesi pengganggu masih sering dijumpai.
II.10.4 Elektrode bermembran padat termodifikasi
Peningkatan selektivitas dapat dicapai dengan menggunakan membran komposit,
seperti pada ESI dengan enzim yang terjebak dalam matriks membran. Pada
elektrode ini, suatu enzim yang berada pada bagian luar membran mengkatalisis
reaksi kimia spesifik menghasilkan ion-ion yang dapat dideteksi dengan membran
33
selektif ion internal. Sebagai contoh, penentuan urea menggunakan elektrode
sensor urea, dengan urease sebagai enzim pengkatalisis. Amonia yang dihasilkan
dari reaksi enzimatik dapat dideteksi dengan elektrode selektif ion amonium atau
amonia. Banyak elektrode enzim yang dapat dibuat dengan cara ini, dengan
substrat-substrat
meliputi
alkohol-alkohol
alifatik,
asetilkolin,
amigdalin,
asparagin, glukosa, glutamin, penisilin dan lain-lain. Dengan hal yang
sama, reaksi-reaksi enzim yang menghasilkan proton dapat diikuti prosesnya
dengan membran selektif proton (Wroblewski).
Elektrode termodifikasi juga dapat dirancang untuk sensor-sensor potensiometri
gas, seperti elektrode selektif untuk penentuan gas-gas NH3, SO2, NO2, HCN dan
lain-lain. Pada elektrode CO2, mekanisme kerja elektrode dapat digambarkan
sebagai serangkaian kesetimbangan partisi molekul-molekul gas, antara CO2
dalam larutan sampel dengan H2O dalam elektrode (kesetimbangan kelarutan),
sehingga terbentuk reaksi hidrolisis CO2 di dalam larutan internal NaHCO3 0,1 M
menghasilkan ion H+ yang mempengaruhi pH larutan. Perubahan pH dideteksi
dengan elektrode pH internal atau elektrode selektif bikarbonat. Jika spesi yang
dideteksi adalah ion hidrogen, maka semua spesi yang bersifat asam atau basa
akan mengganggu. Selektivitas yang lebih baik diperoleh dengan pemilihan
elektrode internal yang sesuai dan elektrode dengan permeabilitas dari membran
hidrofob yang baik.
II.11 Polimer Konduktif
Kebanyakan polimer rantai karbon dikenal sebagai bahan nonkonduktif dan
banyak digunakan sebagai insulator. Sejak tahun 1970, anggapan tersebut berubah
drastis setelah ditemukannya beberapa jenis “smart polymer” yang terbuat dari
monomer-monomer turunan senyawa karbon alifatik berikatan rangkap
terkonjugasi maupun aromatis seperti polipirol, polianilin dan politiofen (Kaynak,
1998). Yang menjadi peran kunci dari sifat konduktif polimer ini adalah adanya
keterkaitan antara struktur dengan kemampuannya menghantarkan muatan listrik
(Naarmann, 1992).
34
Polimer konduktif, baik yang berupa poliena maupun poliaromatis, memiliki
ikatan rangkap terkonjugasi. Penambahan dopan (donor atau akseptor elektron)
dapat mengubah daya hantar listrik polimer konduktif menjadi daya hantar listrik
seperti logam. Reaksi-reaksi ini menghasilkan peningkatan mobilitas elektron dan
konduktivitas yang tinggi dan bersifat reversibel. Penemuan polimer konduktif
sebagai “smart polymer” berimplikasi pada akselerasi perkembangan teknologi
informasi dan analisis ion-ion berbasis reaksi elektrokimia. Polimer konduktif
polipirol merupakan material yang dapat berperan penting sebagai semikonduktor.
Dengan konduktivitas dan elektroaktivitasnya yang tinggi, polimer ini dapat
digunakan sebagai membran sensor elektrokimia.
Polimer konduktif dapat dibuat dengan dua cara, yaitu secara kimia dan
elektrokimia. Komposisi kimia membran polimer konduktif yang dihasilkan
sangat bergantung pada perlakuan yang diberikan selama proses pembuatan dan
pengkondisian polimer, yaitu pada saat dilakukan elektrodeposisi dan pada saat
diberi perlakuan perendaman. Perbedaan utama antara elektropolimerisasi dengan
perendaman adalah dalam hal energi atau gaya penggeraknya (driving force).
Pada elektropolimerisasi, gaya penggeraknya adalah potensial listrik eksternal,
sedangkan pada perendaman, gaya penggeraknya adalah potensial kimia pereaksipereaksi yang ada. Selama proses elektropolimerisasi dan perendaman, polimer
dapat teroksidasi atau tereduksi, terisi dengan dopan, mengalami pelepasan dopan
atau mengalami pergantian dopan.
Untuk polimer konduktif yang dibuat secara elektrokimia, tingkat oksidasi
polimer terutama ditentukan oleh parameter elektropolimerisasi dan komposisi
larutan selama proses elektrodeposisi berlangsung (Michalska et al., 1997).
Reaksi redoks yang terjadi dan komposisi ionik membran polimer dapat berubah
melalui proses kesetimbangan selama perendaman.
II.11.1 Kesetimbangan kimia polimer teroksidasi
Jika monomer pirol (Py) dipolimerisasi dengan adanya elektrolit pendukung yang
mengandung anion (anion dopan) X4- dan kation N+ dan elektropolimerisasi
35
diakhiri pada potensial positif, sehingga film yang terdeposisi dalam bentuk
teroksidasi, dan selanjutnya direndam dalam larutan yang mengandung anion A(berbeda dengan X4-) dan kation N+, maka reaksi yang terjadi pada zat pereduksi,
R, dapat dinyatakan sebagai berikut (Michalska et al., 1997):
[(a + b)PPy+.kX-(4-e)]oks + mN+ + (b + kε)R + zA[bPPy0.aPPy+.mN+.qX4-.zA-]eq + (k – q)X4- + (b + kε)O
(II.17)
Dalam hal ini PPy dan PPy+ berturut-turut menyatakan kerangka polipirol dalam
keadaan tereduksi dan teroksidasi. Untuk penyederhanaan, kerangka polimer
teroksidasi hanya dinyatakan dengan PPy+. a, b, m, k, q dan z, adalah koefisien
stoikiometri, sedangkan ε adalah muatan parsial. Dalam Persamaan reaksi (II.17),
a > 0, k > 0, 0 ≤ ε, ε ≤ 1, k > q dan kesetimbangan massa dengan muatannya
adalah (4 – ε)k – 4q = b – m + z.
Pada Persamaan (II.17) ditunjukkan bahwa reaksi reduksi kerangka polimer oleh
komponen-komponen larutan, misalnya air, menurunkan jumlah muatan positif di
dalam polimer dan berpengaruh pada penjerapan dopan atau kation. Hal ini
bergantung pada sifat anion dopannya (X4-).
Dalam polimer yang terisi dengan anion-anion dopan yang jumlahnya melimpah
(k ≈ q), penjerapan kation diperlukan untuk mencapai kesetimbangan.
Konsekuensinya, pada polimerisasi oksidatif PPy yang diisi dengan dopan kation
dalam jumlah melimpah, pengikatan anion-anion akan menyebabkan polimer
mampu merespon kation. Kemampuan dopan anion sebagai pengompleks,
misalnya heksasianoferrat (II), diperlukan untuk meningkatkan penyisipan kation
baik pada tahap reaksi polimerisasi maupun selama pengkondisian. Selama proses
penyeimbangan, pertukaran anion antara lapisan polimer yang mengandung dopan
dengan larutan diabaikan (z → 0). Dengan demikian, Persamaan (II.17) dapat
dinyatakan kembali dengan persamaan sebagai berikut:
[(a + b)PPy+.kX-(4-ε)]oks + mN+ + (b + kε)R
[bPPy0.aPPy+.mN+.qX4-]eq + (k – q)X4- + (b + kε)O
dengan (k – q) mendekati nol.
36
(II.18)
II.11.2 Kesetimbangan polimer tereduksi
Dengan asumsi bahwa setelah proses deposisi lapisan polimer mengalami reaksi
reduksi, yakni ketika deposisi berakhir pada potensial yang lebih negatif daripada
potensial reduksi polimer, reaksi yang berperan selama pengkondisian dapat
dinyatakan sebagai berikut:
[(b + c)PPy0.(a – c)PPy+.(m + n)N+.pX-4]red + cO + zA[bPPy0.aPPy+.mN+.qX-4.zA-]eq + (p – q)X-4 + nN+ + cR
(II.19)
dengan c, n dan p adalah koefisien stoikiometri dan semua simbol yang lain
memiliki makna yang sama dengan Persamaan (II.17), dengan kesetimbangan
massa dan muatan adalah 4p – 4q = z + n – c. Simbol (
) menyatakan fasa
polimer, subscript red dan eq berturut-turut menandakan polimer dalam keadaan
tereduksi dan kesetimbangan. Dalam hal ini diasumsikan terjadi reaksi reduksi O
dengan satu elektron dan spesi O mengoksidasi lapisan polimer tereduksi,
[(b+c)PPy0.(a – c)PPy+.(m+n)N+.pX-4]red.
Pada Persamaan (II.19) diperlihatkan bahwa polimer tereduksi terutama dapat
dioksidasi oleh komponen-komponen larutan perendam, misalnya oksigen, untuk
mencapai potensial kesetimbangan. Oksidasi kerangka polimer menghasilkan
penyisipan
anion
dan
atau
pengusiran
kation.
Diharapkan
sensitivitas
potensiometri kation dan anion dari lapisan setimbang polimer merujuk pada
Persamaan (II.19). Respon yang lebih dominan bergantung pada rasio molar
kation dan anion di dalam film polimer dan mobilitas masing-masing ion.
Untuk memperoleh gambaran mengenai respon membran polimer, ada dua hal
yang dapat dipertimbangkan, yaitu deposisi yang menghasilkan film polimer
tereduksi parsial dengan dopan yang dapat dilepaskan (i) dan dengan dopan
terikat (ii). Dalam kedua hal tersebut dapat terjadi pertukaran anion antara polimer
dengan larutan. Namun demikian, karena jumlah dopan dalam lapisan tereduksi
pada hal (i) dan dopan yang terikat pada hal (ii) rendah, maka diasumsikan proses
ini dapat diabaikan, (p – q) → 0.
37
Dalam polimer yang terisi dopan anion-anion yang bersifat dapat bergerak
(fleksibel), reduksi polimer menghasilkan pengusiran dopan dari struktur polimer
(p < z). Polimer tereduksi diharapkan hanya mengandung sedikit garam dopan
NX. Selama kesetimbangan oksidatif, muatan positif yang dibuat di bagian dalam
PPy disetimbangkan oleh anion-anion A- dari larutan pengkondisi dan atau oleh
pengusiran kation N+. Untuk film polimer ini, diharapkan terjadi respon anion
dengan merujuk pada Persaman (II.19). Dengan menganggap bahwa dopan tidak
mengalami oksidasi selama kesetimbangan, maka Persamaan (II.19) dapat
dinyatakan kembali dengan persamaan sebagai berikut:
[(b + c)PPy0.(a – c)PPy+.(m + n)N+.pX-4]red + cO + zA[bPPy0.aPPy+.mN+.pX-4.zA-]eq + nN+ + cR
(II.20)
Dalam lapisan polimer yang diisi dengan dopan kation, terjadi pengambilan
kation selama reaksi reduksi. Dalam keadaan kesetimbangan oksidatif, diharapkan
terjadi pengusiran kation dari polimer (n > 0). Walaupun kation-kation dilepaskan
dari lapisan PPy, kandungan kation-kation tersebut dalam lapisan polimer
setimbang diharapkan masih cukup besar untuk menjamin respon potensiometri
kation (selama kesetimbangan, polimer hanya teroksidasi secara parsial). Jika
dopan anion dalam kestimbangan tidak teroksidasi, maka Persamaan (II.19) dapat
dinyatakan sebagai berikut:
[(b + c)PPy0.(a – c)PPy+.(m + n)N+.pX-4]red + cO
[bPPy0.aPPy+.mN+.pX-4]eq + nN+ + cR
(II.21)
II.12 Potensial Elektrode Termodifikasi Polipirol
Membran polipirol dapat dianggap sebagai suatu sistem berpori mikro yang
bersifat hidrofob (Tamm et al., 1996). Di dalam membran polipirol terdapat poripori dengan kedalaman dan dimensi yang berbeda-beda, bahkan banyak pori
membran yang kedalamannya mencapai permukaan elektrode logam. Di samping
itu, membran polipirol bersifat konduktif, sehingga proses perpindahan elektron
melewati membran berlangsung dengan mudah.
38
Dalam pengukuran potensial larutan analit dengan menggunakan elektrode kawat
terlapis polipirol (EKT-PPy) sebagai elektrode penunjuk dan elektrode kalomel
jenuh (Hg|Hg2Cl2) sebagai elektrode pembanding, maka notasi sel elektrokimia
yang berkaitan dengan terbentuknya respon potensial elektrode dapat dinyatakan
sebagai berikut:
Hg|Hg2Cl2,KCl (3 M) |larutan sampel|EKT-PPy
Potensial (E) elektrode kawat terlapis merupakan jumlah perbedaan potensial
yang terbentuk dari proses transfer elektron dan transfer massa yang melewati
sistem elektrode tersebut. Besarnya potensial dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut (Doblhofer, 1998):
E = ΔE1 + ΔE2 + ΔE3
(II.22)
dengan ΔE1, ΔE2 dan ΔE3 berturut-turut adalah perbedaan potensial pada
antarmuka logam dan membran polipirol, dalam membran polipirol dan
antarmuka membran polipirol dan larutan.
ΔE1 merupakan lompatan potensial antara energi Fermi logam dengan membran
polipirol. Perbedaan potensial dalam polimer dinyatakan dengan persamaan:
ΔE2 =
RT ⎛⎜ a poli +
ln
F ⎜⎝ a poli
⎞
⎟
⎟
⎠
(II.23)
Untuk pengukuran anion DS- dengan menggunakan EKT-PPy yang mengandung
ionofor anion DS-, respon potensial antarmuka membran dan larutan dihasilkan
dari reaksi pertukaran antara anion DS- ionofor (yang terjerap ke dalam membran)
dengan anion DS- dari larutan analit. Pergeseran sistem kesetimbangan
menghasilkan perbedaan potensial antarmuka (ΔE3) sama dengan potensial
Donnan ( Δϕ D ), yaitu potensial yang dihasilkan oleh perpindahan materi
elektroaktif melewati antarmuka membran dan larutan. Tanpa adanya antaraksi
spesifik antara ion-ion dengan lapisan membran polimer, perbedaan potensial
pada sistem ini dinyatakan dengan persamaan:
39
ΔE3 = Δϕ D =
−
RT ⎛⎜ [ DS ] poli ⎞⎟ RT [C + ]lar
=
ln
ln⎜
F ⎝ [ DS − ]lar ⎟⎠ F [C + ] poli
(II.24)
Ketika dicelupkan ke dalam larutan analit, elektrode mengalami pengkondisian
secara serentak, sehingga ΔE1 dan ΔE2 segera mencapai keadaan tetap. Dengan
merujuk pada persamaan-persamaan di atas, maka potensial EKT-PPy dapat
dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut (Mousavi et al., 2002, Alumaa et
al., 2004):
RT ⎛⎜ a poli +
ln
F ⎜⎝ a poli
E = E0 +
⎞
⎟ + Δϕ D
⎟
⎠
(II.25)
dengan E0 adalah suatu tetapan potensial reaksi redoks polimer, a poli + dan
a poli berturut-turut adalah aktivitas membran polimer dalam bentuk teroksidasi dan
tereduksi, dan [DS-] dan [C+] berturut-turut adalah konsentrasi anion DS- dan
kation di dalam membran polimer (poli) dan larutan (lar).
Pada Persamaan II.24 dan II.25 diperlihatkan bahwa harga potensial elektrode
kawat terlapis polimer konduktif bergantung pada keadaan redoks polimer dan
konsentrasi ion. Dapat diamati pada Persamaan (II.25), potensial elektrode tidak
bergantung pada a poli + , a poli , E0 dan [ DS − ] poli , sebab parameter-parameter ini
bernilai tetap. Dengan demikian, Persamaan (II.25) dapat dinyatakan sebagai
berikut:
E=K−
RT
ln[ DS − ]lar
F
(II.26)
dengan K adalah suatu tetapan dengan persamaan:
K = E0 +
RT ⎛⎜ a poli +
ln
F ⎜⎝ a poli
⎞ RT
⎟+
ln[ DS − ] poli
⎟ F
⎠
(II.27)
Dengan demikian, potensial elektrode secara langsung bergantung pada [ DS − ]lar .
Persamaan (II.26) dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penentuan kandungan
surfaktan natrium dodesil sulfat (NaDS) dan surfaktan-surfaktan anionik yang lain
dalam larutan sampel.
40
Download