TINJAUAN PUSTAKA Kelapa sawit secara umum Divisi : Embryophyta siphonagama Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili : Arecaceae (Dahulu Palmae) Sub-famili : Cocoideae Genus : Elaeis Spesies : E. guineensis Jacq. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit (Manurung, 2001). Varietas unggul kelapa sawit yang dihasilkan oleh berbagai lembaga riset adalah tenera. Tenera merupakan hibrida dura x pisifera (DxP), yaitu bunga jantan (pollen) dari jenis pisifera dikawinkan pada bunga betina dari jenis dura (Syakir, 2010). Persilangan antara varietas dura dengan pisifera menghasilkan hibrida tenera, yang memperlihatkan peningkatan hasil sebesar 30% dibandingkan varietas dura (Fathurrahman, 2013). Kelapa sawit tipe pisifera memiliki kelamin betina steril sehingga di dalam program pemuliaan kelapa sawit tipe pisifera ini umumnya hanya digunakan sebagai sumber bunga jantan untuk membuat varietas hibrida tenera (D x P) 4 5 (Toruan, 1997). Pengamatan genotipik pada tingkat DNA tidak dipengaruhi oleh umur tanaman atau faktor lingkungan sehingga sama pada setiap fase atau tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Analisis pada tingkat DNA dapat digunakan untuk deteksi sedini mungkin pada fase pembibitan atau bahkan saat perbanyakan dalam kultur jaringan, khususnya tanaman perkebunan seperti tanaman kelapa sawit. Dengan demikian program pemuliaan tanaman dalam melakukan seleksi akan dipercepat, sehingga dapat memberi rekomendasi lebih awal (Yuniastuti, 2005). Keragaman Genetik Guna mendukung upaya pemberdayaan potensi plasma nutfah pada program seleksi maka mutlak diperlukan kelengkapan informasi yang berkaitan dengan berbagai karakter morfologi maupun genetiknya. Marka molekuler dapat memberi gambaran yang akurat tentang perbedaan genetik individu, baik pada tingkat spesies maupun dengan kerabat jauhnya (Zulhermana, 2009). Keragaman genetik merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menyusun strategi pemuliaan pohon. Karakter genetik suatu jenis pohon baik yang terdapat dalam satu tempat tumbuh maupun yang berbeda provenansinya, hal ini disebabkan karena perbedaan genetik. Kondisi ini menunjukkan sifat dan kekhasan suatu tegakan. Sehingga tegakan atau provenansi yang memiliki karakter genetik yang baik dapat menjadi sumber yang tepat untuk kegiatan pemuliaan pohon (Langga dkk, 2012). Isolasi DNA Isolasi DNA merupakan langkah awal yang harus dikerjakan dalam rekayasa genetika sebelum melangkah ke proses selanjutnya. Prinsip dasar isolasi 6 total DNA dari jaringan adalah dengan memecah dan mengekstraksi jaringan tersebut sehingga akan terbentuk ekstrak sel yang terdiri atas sel-sel jaringan, DNA, dan RNA. Kemudian ekstrak sel dipurifikasi sehingga dihasilkan pelet sel yang mengandung DNA total. Prinsip-prinsip isolasi DNA plasmid hampir sama dengan isolasi total DNA dari jaringan (Faatih, 2009). Ada tiga langkah utama dalam ekstraksi DNA, yaitu perusakan dinding sel (lisis), pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA. Melalui proses tersebut DNA dipisahkan dari komponen seluler lain seperti protein, RNA (Riboksi nukleat acid) dan lemak. Banyak metode yang digunakan untuk mengisolasi DNA, tergantung spesimen yang akan dideteksi. Metode tersebut pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, namun ada beberapa hal tertentu yang biasanya digunakan modifikasi untuk dapat menghancurkan inhibitor yang ada di dalam masing-masing sumber spesimen (Langga dkk, 2012). Analisis molekuler tumbuhan tergantung pada jumlah dan kemurnian sampel DNA serta kondisi optimum reaksi. Oleh karena itu diperlukan metode yang tepat dalam ekstraksi DNA dan reaksi molekuler seperti PCR (Pharmawati, 2009). Reaksi Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan, Oligonukleotida primer, Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA Polimerase dan komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. PCR menggunakan alat termosiklus, sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan tabung reaksi dan mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting dalam proses PCR yang selalu 7 terulang dalam 30-40 siklus dan berlangsung dengan cepat yaitu denaturasi, annealing, dan pemanjangan untai DNA. Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa (Yusuf, 2010). Teknik PCR pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan ditemukannya teknik PCR di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik, kedokteran forensik dan evolusi molekular (Handoyo dan Ari, 2000). Amplikasi PCR dari DNA menggunakan genomik primer acak penanda DNA polimer dan keterkaitan genetik antara kultivar dan varietas (Sathish and Mohankumar, 2006). Teknologi PCR terus disederhanakan dan dikembangkan, sehingga biaya relatif rendah, kecepatan tinggi, membutuhkan contoh uji sangat sedikit, metode ekstraksi dan amplifikasi yang sederhana sehingga membuat penanda berdasarkan PCR dapat diaplikasikan pada semua spesies (Zulfahmi, 2013). Williams, et al. (1990), telah mengembangkan metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) yang hanya menggunakan random primer dalam PCR untuk menghasilkan marker polimorfik yang tepat dan dapat digunakan untuk menentukan variasi dan kekerabatan genetik pada tumbuhan (Pratiwi, 2012). Marka RAPD Analisis keragaman genetik tanaman dapat diketahui dengan identifikasi secara molekuler dan identifikasi morfologi. Salah satu teknik molekuler yang dapat digunakan adalah metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (Dwiatmini dkk, 2003). 8 Teknik RAPD mendeteksi polimorfisme ruas nukleotida pada DNA dengan menggunakan sebuah primer tunggal yang memiliki rangkaian nukleotida acak. Pada reaksi PCR-RAPD ini, sebuah primer menempel pada DNA genomik pada dua tempat berbeda dari DNA komplementer. Jika tempat penempelan primer ini berada pada daerah yang dapat diamplifikasi, maka hasil DNA tertentu dapat dihasilkan melalui amplifikasi siklus termal (Pharmawati, 2009). Teknik RAPD dipilih untuk analisis genetik dengan berbagai alasan, antara lain tidak membutuhkan latar belakang tentang genom yang akan dianalisis, menggunakan bahan-bahan yang relatif murah dan amplifikasinya tidak bergantung pada bahan radioaktif. Meskipun demikian hasilnya kadang kurang konsisten. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa parameter yang mempengaruhi kekhususan PCR perlu dioptimasi dengan tepat, misalnya pada suhu penempelan (annealing), jumlah DNA polimerase dan konsentrasi primer. Selain itu juga diperlukan standar pengerjaan yang sangat baik (Setiyo, 2001). Penelitian menggunakan marka RAPD untuk kelapa sawit ini bukan yang pertama kali dilakukan. Beberapa penelitian yang menggunakan marka RAPD untuk kelapa sawit antara lain dilakukan oleh Zakaria (2005) Hetharie (2010) Setiyo (2001) dan lain sebagainya.