5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Fusarium oxysporum 2.1.1

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungi Fusarium oxysporum
2.1.1 Deskripsi Fungi Fusarium oxysporum
Menurut Alexopoulos et al. (1979), klasifikasi Fusarium oxysporum
sebagai berikut :
Kingdom
: Fungi
Divisio
: Eumycota
Classis
: Deuteromycetes
Ordo
: Moniliales
Family
: Teberculariaceae
Genus
: Fusarium
Species
: Fusarium oxysporum
Gambar 2.1.Fusarium oxysporum
Sumber : Yuniarti (2010)
5
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
6
Menurut (Frisvad & Filtenborg, 1995), fungi F. oxysporum memiliki 3 alat
reproduksi, yaitu mikrokonidia (terdiri dari 1 – 2 sel), makrokonidia (3 – 5 septa),
dan klamidospora. Makrokonidia berbentuk melengkung, panjang dengan ujung
mengecil dan mempunyai satu atau tiga buah sekat. Mikrokonidia merupakan
konidia bersel 1 atau 2, dan paling banyak dihasilkan di setiap lingkungan bahkan
pada saat patogen berada dalam pembuluh inangnya. Makrokonidia mempunyai
bentuk yang khas, melengkung seperti bulan sabit, terdiri dari 3 – 5 septa, dan
biasanya
dihasilkan
pada
permukaan
tanaman
yang
terserang
lanjut.
Klamidospora memiliki dinding tebal, dihasilkan pada ujung miselium yang sudah
tua atau didalam makrokonidia, terdiri 1 – 2 septa dan merupakan fase atau spora
bertahan pada lingkungan yang kurang baik. Menurut Susetyo (2010), miselium
F. oxysporum mulanya berwarna putih keruh, kemudian menjadi kuning pucat,
merah muda pucat sampai keunguan.
Fungi Fusarium oxysporum hidup sebagai parasit dan saprofit pada bagian
pembuluh tanaman, sehingga tanaman menjadi mati karena toksik (Sastrahidayat,
1989). Fungi menginfeksi akar terutama melalui luka, menetap dan berkembang
di berkas pembuluh. Setelah jaringan pembuluh mati dan keadaan udara lembab,
fungi membentuk spora yang berwarna putih keunguan pada akar yang terinfeksi.
Penyebaran spora dapat terjadi melalui angin, air pengairan dan alat pertanian
(Semangun, 2001).
Fungi Fusariumoxysporum
mengalami 2 fase dalam siklus hidupnya
yakni patogenesis dan saprogenesis. Patogen F. oxysporum hidupnya sebagai
parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka pada akar dan berkembang
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
7
dalam jaringan tanaman yang disebut sebagai fase patogenesa, sedangkan pada
fase saprogenesa merupakan fase bertahan yang diakibatkan tidak adanya inang,
hidup sebagai saprofit dalam tanah dan sisa-sisa tanaman dan menjadi sumber
inokulum untuk menimbulkan penyakit pada tanaman yang lain (Agrios, 1996).
Patogen menginfeksi pada akar terutama melalui luka-luka. Bila luka telah
menutup, patogen berkembang sebentar dalam jaringan parenkim, lalu menetap
dan berkembang dalam bekas pembuluh. Penularan penyakit melalui bibit
terinfeksi, pemindahan bibit, angin, air, tanah terinfeksi, permukaan air drainase,
pembuluh, luka karena serangga, alat pertanian, dan lain-lain (Semangun, 2001).
Di dalam tanah, fungi Fusarium sp. dapat bertahan sebagai parasit pada tanaman
gulma yang bukan inangnya. Ujung akar atau bagian permukaan rizoma yang luka
merupakan daerah awal utama dari infeksi (Wahyu, 2012).
2.1.2
Gejala Penyakit Layu Fusarium
Layu fusarium umumnya terjadi pada pertengahan musim panas ketika
temperatur udara dan tanah tinggi. Awal terbentuknya penyakit tanaman tersebut
adalah perubahan warna daun yang paling tua menjadi kekuningan (daun yang
dekat dengan tanah). Seringkali perubahan warna menjadi kekuningan terjadi
pada satu sisi tanaman. Daun yang terinfeksi akan layu dan mengering, tetapi
tetap menempel pada tanaman. Kelayuan berlanjut ke bagian daun yang lebih
muda dan tanaman akan segera mati. Batang tanaman akan tetap keras dan hijau
pada bagian luar, tetapi pada jaringan vaskular tanaman, terjadi diskolorisasi,
berupa luka sempit berwarna coklat (Yuniarti, 2010).
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
8
Infeksi Fusarium oxysporum terjadi pada bagian jaringan pembuluh
xylem. Akibat gangguan pada jaringan xylem, tanaman menunjukkan gejala layu,
daun mengering, dan akhirnya mati. Gejala layu sering disertai gejala klorosis dan
nekrosis pada daun. Gejala yang terjadi pada tanaman cabai merah yang terserang
penyakit layu fusarium adalah menguningnya daun dari tepi daun selanjutnya
menjadi coklat dan mati secara perlahan hingga tulang daun. Hal tersebut
disebabkan patogen menginfeksi tanaman melalui luka pada akar dan masuk
kedalam jaringan xylem melalui aktivitas air sehingga merusak dan menghambat
proses menyebarnya air dan unsur hara keseluruhan bagian tanaman terutama
pada bagian daun yang tua (Semangun, 2001).
Gejala lain pada organ daun yaitu perubahan bentuk dan ukuran ruas daun
yang baru muncul lebih pendek. Gejala yang paling khas adalah gejala pada
bagian dalam. Jika pangkal batang terlihat garis-garis cokelat kehitaman menuju
ke semua arah, dari batang ke atas melalui jaringan pembuluh ke pangkal daun
dan tangkai. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah warnanya, namun
seringkali akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk. Pada tanaman yang
masih sangat muda, penyakit fusarium dapat menyebabkan matinya tanaman
secara mendadak, karena pada pangkal batang terjadi kerusakan (Semangun,
2001).
Infeksi patogen menyebabkan gejala busuk akar yang berwarna cokelat
kemerah-merahan yang seringkali diselimuti fungi/cendawan berwarna keputihputihan. Tanaman yang terinfeksi Fusariumsp. mudah dicabut karena sebagian
akarnya membusuk (Nugraheni, 2010).
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
9
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyakit Layu Fusarium
Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit layu fusarium antara
lain temperatur, kelembaban tanah yang rendah, panjang hari yang pendek,
intensitas cahaya yang rendah, nutrisi, dan pH yang rendah (Nugroho, 2013).
Penyakit berkembang pada temperatur tanah 21o – 33o C, temperatur optimumnya
adalah 28o C (Semangun 2001). Kelembaban tanah yang diinginkan sesuai dengan
tanaman inangnya. Kelembaban tanah yang diinginkan sangat rendah atau tinggi
dapat menahan pertumbuhan tanaman dan juga perkembangan penyakit layu
fusarium (Mahrotra, 1980).
2.2. Fungi Colletotrichum capsici
2.2.1 Deskripsi Colletotrichum capsici
Fungi Colletotrichum capsici merupakan penyebab penyakit antraknosa
yang sering dijumpai pada tanaman cabai.Menurut Munawaroh (2013), penyakit
tersebut dapat menurunkan hasil panen cabai 84% , jelas hal ini sangat merugikan
petani cabai. Udara yang lembab dapat mempercepat berkembangnya penyakit
antraknosa (Semangun, 2001).
Menurut Singh (1998), klasifikasi fungi Colletotrichum capsici sebagai
berikut :
Kingdom
: Fungi
Divisio
: Ascomycotina
Classis
: Pyrenomycetes
Ordo
: Sphaeriales
Family
: Polystigmataceae
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
10
Genus
: Colletotrichum
Species
: Colletotrichumcapsici
Gambar 2.2.Colletotrichum capsici
Sumber : Yulianty (2006)
Fungi Colletotrichum capsici sebagai patogen penyakit antraknosa dapat
menyerang setiap bagian tanaman. Fungi C. capsici dapat menginfeksi cabang,
ranting, dan buah. Infeksi pada buah biasanya terjadi pada buah yang menjelang
tua (Rusli et al., 1997).
Fungi C. capsici memiliki miselium yang terdiri dari beberapa septa, intra
dan intaseluler hifa. Aservulus berbentuk hemispirakel dengan ukuran 70 – 120
µm. Seta menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda, seta terdiri dari
beberapa septa. Konidiofor tidak bercabang, konidia nampak berwarna kemerahmerahan. Konidia berbentuk tabung membengkok dan tumpul. Konidia dapat
berkecambahan di dalam air selama 4 jam, namun konidia lebih cepat
berkecambah pada permukaan buah yang hijau atau tua dari pada di dalam air
(Singh, 1998).
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
11
Pertumbuhan awal fungi C. capsici membentuk koloni miselium yang
berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian secara
perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus.
Aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat muda yang sebetulnya
adalah tempat pembentukan konidia (Rusli et al., 1997).
2.2.2
Gejala Serangan Penyakit Antraknosa
Fungi Colletotrichum sp. dapat menginfeksi cabang, ranting, dan buah.
Infeksi pada buah biasanya terjadi pada buah yang menjelang tua. Gejala diawali
berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam – hitaman dan sedikit melekuk.
Serangan lebih lanjut mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk dan jatuh
(Rusli et al., 1997).
Penyakit yang sering menyerang tanaman cabai adalah penyakit busuk
buah yang disebabkan oleh C. capsici. Penyakit tersebut biasanya menyerang
buah menjadi busuk, selain itu dapat menyerang pucuk dan ranting sehingga
pucuk dan tunas menjadi mati (Yulianty, 2006).
Tahap awal dari infeksi Coletotrichum umumnya terdiri dari konidia dan
germinasi pada permukaan tanaman dan menghasilkan tabung kecambah. Setelah
penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa. Hifa intra dan intraseluler menyebar
melalui jaringan tanaman. Spora Coletotrichum dapat disebabkan oleh air hujan
dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Kronstad, 2000).
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
12
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penyakit Antraknosa
Penyakit antraknosa yang sering menyerang tanaman cabai distimulir oleh
kondisi lembab dan suhu relatif tinggi. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan
kerusakan sejak dari persemaian sampai tanaman cabai berbuah dan merupakan
masalah utama pada buah masak serta berakibat serius terhadap penurunan hasil
dan penyebaran penyakit. Kehilangan hasil pada tanaman cabai akibat serangan
antraknosa dapat mencapai 84% pada saat musim hujan (Munawaroh, 2013).
Pertumbuhan Colletotrichum capsici sangat dipengaruhi faktor-faktor lingkungan.
Fungi ini tumbuh optimal pada pH 5, namun pada pH 4 dan 8 fungi C. capsici
tumbuh tidak maksimal.
2.3.
BakteriBacillus cereus
Menurut Gordon (1973), klasifikasi bakteri Bacillus cereus adalah :
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Classis
: Bacillia
Ordo
: Bacillales
Family
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Species
: Bacillus cereus
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
13
Gambar 2.3.Bacillus cereus
Sumber :Supriyadi et al. (2015)
Bakteri Bacillus cereus merupakan mikroba flora normal pada saluran
pencernaan ayam (Green et al., 1989). Bakteri B. cereus tergolongan bakteri
Gram-positif (bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet saat proses
pewarnaan Gram), aerob fakultatif (dapat menggunakan oksigen tetapi dapat juga
menghasilkan energi secara anaerobik), dan dapat membentuk spora (endospora).
Selnya berbentuk batang besar (bacillus) dan sporanya tidak membengkakkan
sporangiumnya. Bacillus cereus adalah bakteri pembentuk spora yang tergolong
ke dalam famili Bacilllaceae. Spora B. cereus tahan terhadap panas dan radiasi.
Bakteri ini bersifat katalase positif dan kebanyakan Gram positif serta mempunyai
enzim proteolitik (Fardiaz, 1992). Menurut Jawetz et al. (1995) bakteri Bacillus
cereus adalah organisme saprofit berbentuk batang, gram positif pembentuk spora
non patogen- yang biasanya ditemukan dalam air, udara, debu, tanah dan sedimen.
Bakteri B. cereusjuga memproduksi enterotoksin dan metaboli-metabolit
lainnya. Tidak memproduksi indol, dapat menggunakan sitrat sebagai sumber
karbon, mereduksi nitrat, tidak memproduksi urease dan penisilinase, dapat
tumbuh secara anaerobik di dalam media cair yang mengandung 1 % glukosa,
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
14
serta tahan terhadap lisozim (Supardi & Sukamto, 1999). Bakteri B. cereus
biasanya menghidrolisis amilum, kasein dan gelatin. Bakteri B. cereus dapat
tumbuh pada suhu 5 – 45 oC dengan suhu optimal antara 30 – 37 oC (Fardiaz,
1992).
Bakteri B. cereusdapat menekan pertumbuhan fungi atau bakteri lain
dengan antibiotik maupun dengan kompetisi nutrien. Bakteri tersebut memiliki
siklus hidup meliputi sporulasi, dormansi, dan perkecambahan spora. Sel
berbentuk batang, berukuran 0,3 – 2,2 x 1,2 – 7,0 µm dan mempunyai flagel
(Pelczar & Chan, 1988).
2.4.
Pengendalian hayati
Menurut Soesanto (2008), definisi pengendalian hayati adalah perbuatan
parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kepadatan populasi
organisme. Beberapa mekanisme pengendalian hayati, antara lain adalah sebagai
berikut :
1.
Antagonisme
Menrut Soesanto (2008), antagonis adalah mikroorganisme yang
mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang
tumbuh dan berasosiasi dengannya, antagonisme meliputi:
a. Antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang
lain oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi OPT.
b. Paratisme merupakan mekanisme memparasitasi suatu mikroorganisme
terhadap mikroorganisme lain yang hidup secara berdampingan. Salah satu
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
15
contoh
mekanisme
ini
adalah
biokontrol
Pyricularia
grisea
yang
menyebabkan penyakit blas leher pada tanaman padi.
c. Kompetisi merupakan mekanisme persaingan antara dua atau lebih
mikroorganisme yang hidup pada sumber nutrisi sama yang jumlahnya
terbatas. Siderofor merupakan salah satu contoh mekanisme ini. Siderofor
merupakan senyawa yang disekresikan oleh mikroorganisme sebagai respon
kurangnya ketersediaan ion besi di dalam tanah pengikat (Fe3+) dan
menginduksi ketahanan tanaman.
d. Lytic enzyme, Enzim litik yang disekresikan oleh mikroorganisme dapat
menghidrolisis
senyawa
polimer
termasuk
kitin,
protein,
selulosa,
hemiselulosa dan DNA. Lysobacter dan Myxobacteria mampu memproduksi
enzim litik yang efektif untuk menekan atau membunuh jamur patogen
tanaman. Enzim kitinolisis merupakan salah satu enzim yang menguraikan
zat kitin.
2. Ketahanan Terimbas
Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman
diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen), non
patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilik, asam 2-kloroetil fosfonik).
Kacang buncis yang diimbas dengan Colletotrichum lindemuthianum ras non
patogenik menjadi tahan terhadap ras patogeni (Soesanto, 2008).
2.4.1. Antifungal
Antifungal adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme fungi patogen. Pemakaian bahan antifungi merupakan usaha untuk
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
16
mengendalikan fungi, yaitu segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi,
atau menyingkirkan patogen tersebut (Pelczar & Chan, 1988).
Mekanisme
antifungal
dapat
dikelompokkan
sebagai
gangguan
padamembran sel, gangguan ini terjadi karena adanya ergasol dalam sel fungi, ini
adalah komponen sterol yang sangat penting sangat mudah diserang oleh
antibiotik turunan polien. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel fungi,
mekanisme ini merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan
imidazol karena mampu menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma
fungi dengan cara mengubah permeabilitas membran dan fungsi membran dalam
proses pengangkutan senyawa-senyawa essensi yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan
metabolik
sehingga
menghambat
pertumbuhan
atau
menimbulkan kematian sel fungi (Permana, 2014).
Bakteri Bacillus cereus digunakan sebagai agen biokontrol yang
menghasilkan zat antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat
antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang
bersifat bakterisida. Bakteri B.cereus juga diketahui menghasilkan spora dan
enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan fungi patogen Rhizoctonia
solani secara in vitro maupun in vivo (Yulianti, 2014).
2.5.
Metabolit Sekunder (Senyawa Antifungal)
Ketahanan kimiawi suatu bakteri ditunjukkan dengan terbentuknya
senyawa kimia yang mampu mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen.
Senyawa yang dimaksud dapat berupa metabolit sekunder diantaranya senyawa
flavonoid, alkaloid, saponin dan sebagainya. Senyawa metabolit sekunder tersebut
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
17
bersifat toksin dan menghambat pertumbuhan patogen yang merusak ketahanan
tanaman. Mekanisme ini tidak menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan dapat
meningkatkan produksi dan ketahanan terhadap stres lingkungan pada beberapa
tanaman (Sugianitri, 2011). Beberapa jenis bakteri termasuk genus Bacillus
menghasilkan
senyawa
metabolit
sekunder.
Tiga
mekanisme
dalam
mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur yaitu menyerang daya tahan
patogen, antibiosis, dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) (Soesanto
et al., 2010).
Berikut penjelasan jenis-jenis metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
bakteri :
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa alam yang mengandung 15 atom karbon
sebagai rangka dasarnya. Beberapa senyawa golongan flavonoid lainnya yaitu
atosianin, flanol, biflanol, flavanon dan glikovlanol. Isoflavon merupakan
senyawa turunan dari flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antimikroba jamur
dan bakteri (Robinson, 1995).
2. Alkaloid
Menurut Jawetz at al. (1985), didefinisikan sebagai senyawa yang bersifat
basa, mengandung atom nitrogen. Mekanisme alkaloid dengan cara mendenaturasi
protein dn merusak membran sel. Menurut Robinson (1995), Alkaloid sebagai
antimikroba berperan dalam melindungi tumbuhan dari serangan bakteri dan
fungi.
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
18
3. Saponin
Menurut Sugianitri (2011), saponin merupakan senyawa glikosida
kompleks. Saponin mampu memecah lapisan lemak pada membran sel, sehingga
proses difusi zat-zat yang diperlukan oleh jamur terganggu yang mengakibatkan
sel jamur pecah.
Metabolit sekunder seperti flavonoid, alkaloid dan saponin dapat dideteksi
menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
2.6.
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Prinsip kromatografi lapis tipis yaitu memisahkan komponen-komponen
campuran atas dasar perbedaan adsorpsi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut
pengembang (Mulja &Suharman, 1995). Fase gerak yang digunakan harus
mempunyai kermurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang
sensitif (Gandjar & Rohman, 2007).
Selama pemisahan dalam sistem kromatografi terjadi proses sorpsi dan
desorpi. Sorpsi merupakan proses pemindahan solut dari fase gerak ke fase diam,
sementara itu proses sebaliknya (pemindahan solut dari fase diam ke fase gerak)
disebut dengan desorpsi. Ada 4 jenis mekanisme sorpsi dasar dan umumnya 2
atau lebih mekanisme tersebut terlibat dalam satu jenis kromatografi. Keempat
jenis tersebut yaitu adsorpsi, partisi, pertukaran ion, dan eksklusi ukuran. Pada
sistem kromatografi lapis tipis mekanisme yang terjadi yaitu adsorpsi (Gandjar &
Rohman, 2007).
Potensi Antifungal Bakteri…, Dian Aulia Muamalah, FKIP UMP, 2017
Download