Hipolitus Yolisandry RW - Transformasi Global

advertisement
Climate Refugee: Tantangan Bagi Tata Kelola Global
Muhammad Riza Hanafi 3
Abstract
The terminology of Climate refugee is not new. It is somtimed mixed with
another concept such as environmental refugee,climate-change refugee, environmentalinduced migrant, or climate induced migrant. The concept of environmental refugees
itself was introduced for the first time in 1970s and since then it attracted many
researcher in the academic community to study it as part of environment/climate
change studies. Although academically this phenomenon has been studied by many
researchers, however it has not been taken seriously in the policy of global governance.
This paper will argue that there are at least three reasons why issue on climate refugees
is a challenge to global governance of the 21st century.
Keywords: climate, environmental, global governance
Pendahuluan
Tujuan utama Ioane Teitiota (37 tahun) bermigrasi adalah untuk
mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dia pun memilih New Zealand
sebagai negara tujuan. Setelah menempuh enam jam perjalanan, bersama sang
istri, Angua Erika, dia pun tiba di Auckland. Mereka bekerja di sana dengan
berbekalkan visa kerja. Teitiota bekerja di kebun sayuran, sementara Erika
menjadi pelayan. Tiga anaknya pun lahir di Auckland (O'Brien, 2013).
Masalah muncul tahun 2011 ketika visa kerja yang mereka miliki habis
masa berlakunya. Dengan pemahaman yang minim terkait perpanjangan visa di
Negeri Kiwi tersebut (perpanjangan visa secara legal tidak dapat dilakukan
setelah 45 hari habis masa berlaku visa lama), keduanya tetap tinggal secara
illegal, sampai akhirnya terlambat. Perpanjangan ditolak dan Teitiota sekeluarga
(pasangan Ioane dan Angua Erika Teitiota dikaruniai tiga orang anak selama
tinggal di New Zealand) harus dideportasi ke negara asalnya, Kiribati (O'Brien,
2013).
Di tengah ancaman deportasi, Teitiota menempuh cara lain untuk bisa
membuatnya tetap tinggal di New Zealand. Dia mengajukan klaim pengungsi
Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
36
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
(refugee) kepada otoritas imigrasi New Zealand. Dua kali dia mengajukan klaim
tersebut dan sayangnya ditolak. Dia lantas mengajukan banding ke Mahkamah
Agung (High Court) dengan alasan bahwa dia memenuhi syarat untuk
mendapatkan status pengungsi. Dia meminta pengadilan untuk mencabut
keputusan otoritas imigrasi dan memberikannya status pengungsi. (O'Brien,
2013)
Namun, pada 26 November 2013 hakim menolak klaim Teitiota atas
status pengungsi. Seperti dimuat di Huffington Post pada 26 November 2013
(Perry, 2013), hakim menolak dengan argumen bahwa Teitiota tidak memenuhi
definisi pengungsi seperti digariskan dalam hukum internasional.
Keputusan Mahkamah Agung New Zealand yang menolak permohonan
Teitota menunjukkan bahwa di tingkat negara (state) penanganan kasus
pengungsian akibat perubahan iklim tidak menjadi prioritas. Institusi hukum di
tingkat negara terikat oleh definisi yang sudah menjadi bagian dari hukum
internasional, The Convention relating to the Status of Refugees yang berlaku
sejak 1951. Situasi ini merupakan tantangan bagi tata kelola global (global
governance) terutama yang terkait dengan isu pengungsi.
Tulisan ini akan berargumen bahwa ada tiga alasan mengapa kasus
seperti yang menimpaTeitota menjadi tantangan bagi tata kelola global.
Pertama, definisi legal pengungsi tidak mengakomodasi climate change refugee.
Ini adalah indikasi bahwa ada keengganan tata kelola global untuk
mengakomodasi isu tersebut. Dua, perubahan iklim adalah isu nyata dengan
ancaman serius, sehingga dampak yang dihasilkan tidak seharusnya diabaikan.
Tiga, ada beberapa skenario yang menunjukkan bahwa perubahan iklim
berkorelasi terhadap migrasi. Ini adalah isu nyata yang menjadi tantangan bagi
tata kelola global.
Definisi Legal
Ada perdebatan terkait terusirnya seseorang dari tempat asalnya karena
alasan lingkungan, apakah akan disebut migrant atau refugees. Para aktivis lebih
cenderung menggunakan istilah refugees untuk memberikan penekanan pada
urgensi atas isu tersebut. Mereka khawatir penggunaan istilah lain selain refugee
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
37
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
dikhawatirkan akan menurunkan tingkat keseriusan dari situasi orang-orang
tersebut (Brown, 2008:13).
Sedangkan setelah kata refugees, ada beberapa pendekatan yang berbeda
dalam menamainya. Ada yang menempatkannya sebagai pengungsi yang
berpindah dengan alasan lingkungan (environmental refugees) (El-Hinnawi,
1985, Jacobson, 1988, dalam Warner et al, 2009, Myers, 1995). Adapula yang
lebih spesifik menyebutnya sebagai climate refugees (abc.net.au, Huffington
Post). Kelompok lembaga riset yang tergabung dalam Global Governance
Project (glogov.org) bahkan merumuskan definisi yang spesifik merujuk pada
climate refugees.
El-Hinnawi (dalam Warner et al: 2009) mendefinisikan environmental
refugees sebagai orang-orang yang terpaksa harus pergi dari tempat tinggal
mereka, baik sementara maupun permanen, karena bencana lingkungan baik
yang terjadi secara alami maupun yang disebabkan karena ulah manusia.
Gangguan ini dianggap mengancam eksistensi atau secara serius mempengaruhi
kualitas hidup manusia. Yang dimaksud dengan gangguan lingkungan disini
adalah adanya perubahan baik fisik, biologis maupun kimiawi di dalam
ekosistem yang berpengaruh pada daya dukung lingkungan.
Sedangkan Jacobson mengklasifikasikan environmental refugees menjadi
tiga jenis. Pertama, mereka yang berpindah sementara karena bencana local,
misal gempa bumi. Kedua adalah mereka yang terpaksa berpindah karena
degradasi tanah yang cukup parah sehingga berpotensi menurunkan kualitas
hidup manusia, termasuk dalam hal kesehatan. Ketiga,
mereka yang harus
mencari tempat tinggal baru karena kerusakan permanen terhadap lingkungan
yang tidak bisa dikembalikan lagi ke kondisi semula, misal: penggurunan
(desertification).Adapun cendikiawan yang lain, Myers (1995:1) mendefinisikan
environmental refugees sebagai orang yang tidak mampu mempertahankan
kehidupan mereka di tempat asal karena kekeringan, erosi tanah, penggurunan,
penggundulan hutan (deforestation) dan masalah-masalah lingkungan lainnya.
Tiga belas lembaga riset Eropa yang tergabung dalam Global
Governance Project (glogov.org) memiliki definisi yang secara spesifik merujuk
pada climate refugees. Mereka mendefinisikan Climate refugees sebagai
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
38
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
“orang-orang yang meninggalkan habitat mereka, segera atau di masa yang
akan datang, karena perubahan yang sangat mendadak nterhadap lingkungan
alam mereka, setidaknya terkait dari satu dari tiga dampat dari perubahan iklim
berikut: kenaikan permuakaan air laut, cuaca ekstrim, dan kekeringan dan
kelangkaan air” (glogov.org).
Kembali pada kasus yang menimpa Teitota, kasus ini termasuk dalam
definisi-definisi tersebut, terutama definisi yang diajukan oleh Global
Governance Project. Namun, apakah definisi-definisi tersebut selaras dengan
definisi pengungsi yang secara luas diterima sebagai definisi legal?
Secara hukum, definisi pengungsi selalu mengacu pada Pasal 1 Huruf A
(2) Konvensi tentang Pengungsi. Jika menilik pada sejarah, maka kemunculan
konvensi ini merupakan bentuk pengakuan adanya krisis pengungsi dan perlunya
kerjasama antar negara untuk mengatasinya. Pada awalnya konvensi ini hanya
berlaku untuk melindungi pengungsi Eropa pasca berakhirnya Perang Dunia II
(Artikel 1 Huruf B, lihat Oswald dan Schmelz, 2009). Konvensi ini baru menjadi
instrumen universal dengan disepakatinya protokol 1967 yang memperluas
jangkauannya dan menghilangkan batasan geografis yang ada di dalam konvensi
tersebut. Karena itu, sebagai instrumen perlindungan terhadap pengungsi
Konvensi 1951 tidak bisa dilepaskan dari protokol 1967.
Di dalam konvensi tersebut seseorang dianggap sebagai pengungsi jika:
“(2) As a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to well
founded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality,
membership of a particular social group or political opinion, is outside the
country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to
avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality
and being outside the country of his former habitual residence as a result of
such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. In the
case of a person who has more than one nationality, the term “the country of
his nationality” shall mean each of the countries of which he is a national, and
a person shall not be deemed to be lacking the protection of the country of his
nationality if, without any valid reason based on well-founded fear, he has not
availed himself of the protection of one of the countries of which he is a
national.”
Ada empat poin diperhatikan definisi pengungsi menurut konvensi
tersebut. Pertama, seorang yang akan mengklaim status pengungsi harus berada
di luar negara asalnya. Jika menilik pada rentetan definisi di atas maka terlihat
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
39
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
bahwa baik environmental refugees maupun climate refugees sama-sama tidak
mensyaratkan tentang perlunya seseorang untuk berada di luar negara asalnya.
Yang jelas, refugee dalam dua konsep tersebut berarti orang yang meninggalkan
tempat tinggal atau habitatnya, tanpa ada ketentuan harus melintasi batas negara
atau tidak.Kedua, harus ada ketakutan akan adanya penyiksaan. Pengacara
Teitiota, seperti dilaporkanDeutch Welle (dw.de November 2011), berargumen
bahwa kliennya berhak mendapatkan status pengungsi karena sudah memiliki
kriteria legal seorang pengungsi yakni ‘fear of persecution’ ditempat asalnya.
Seperti dikutip ABC (abc.net.au, 26 November 2013) pengacara Teitiota
mengatakan bahwa kliennya telah ‘persecuted passively’ (mendapatkan
penyiksaan secara pasif) oleh lingkungan, di mana pemerintah Kiribati tidak
berdaya mengatasi dampak dari perubahan iklim, terutama kenaikan permukaan
air laut. Ada tidaknya ‘fear of persecution’ ini yang menjadi pengganjal dalam
kasus Teitiota. Dalam keputusannya, Hakim John Priestley menyatakan bahwa
Teitiota tidak memenuhi syarat karena dirinya tidak ‘directly persecuted’
(huffingtonpost.com, news.net.au). Kondisi Teitiota, menurut hakim, tidak
berbeda dengan warga Kiribati lainnya. Sehingga, tidak ada alasan bagi hakim
untuk membuat pengecualian atas kasusnya.
Lebih lanjut hakim Priestley mengatakan jika definisi pengungsi untuk
mengakomidasi orang-orang seperti Teitiota, maka akan ada jutaan orang di
dunia (yang mengalami penderitaan akibat perubahan iklim) yang bisa
mengklaim status pengungsi. Selain itu, hakim juga mengatakan bahwa
pengadilan di New Zealand tidak cukup untuk merubah definisi tersebut. Ketiga,
ketakutan seperti disebut dalam poin dua harus berdasarkan satu dari lima hal
berikut: ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu,
atau argumen politik orang bersangkutan. Keempat, ketakutan tersebut harus
dapat dibuktikan. Kasus Teitiota jelas tidak masuk dalam lima hal tersebut
sehingga sulit juga untuk dibuktikan.
Dari perdebatan pandangan antara hakim Priestley dan pengacara
Teitiota di atas terlihat bahwa definisi legal dari refugee tidak mencakup mereka
yang ‘terusir’ karena lingkungan karena tidak termasuk dalam kategori fear of
persecution seperti yang tercantum dalam definisi pengungsi. Di dalam
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
40
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
keputusannya hakim Priestley juga menyatakan bahwa pengadilan di New
Zealand tidak memiliki kuasa yang cukup untuk merubah definisi tersebut.
Artinya, selama tidak ada perubahan terhadap definisi legal dari pengungsi,
maka kasus-kasus serupa kasus Teitota, menjadi tidak memiliki landasan hukum
untuk bisa mengklaim status pengungsi sekaligus perlindungan internasional.
Ancaman Perubahan Iklim
Dampak perubahan iklim nyata dan bisa ditemukan secara kasat mata.
Salah satunya adalah yang dilaporkan oleh satelit NASA. Berdasarkan data dari
NASA, di akhir 2008 terdapat kurang lebih 1,5 sampai 2 triliyun ton es di
Greenland, Antarctika dan Alaska yang mencair dengan kecepatan tinggi sejak
2003 (Grinberg, 2008). Untuk Greenland sendiri angka tersebut mencapai 150
milyar – 160 milyar ton tiap tahunnya. Jumlah tersebut cukup untuk menaikkan
tinggi permukaan laut global sebesar 0.5 mm per tahunnya.
Jika merujuk pada prediksi Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC), diperkirakan pada tahun 2100 terjadi peningkatan tinggi air laut antara
15 sampai 95 centimeter (Burns, 2003:235). Kenaikan sejumlah tersebut tentu
akan membawa akibat serius bagi negara-negara dataran rendah, terutama
negara-negara kepulauan kecil yang banyak tersebar di kawasan Pasifik,
termasuk Kiribati.
Tanah air Teitiota, Kiribati, adalah salah satu dari beberapa wilayah di
Pasifik yang menghadapi masalah serius terkait kenaikan permukaan air laut.
Permukaan tertinggi dari negara yang terdiri dari 32 gugusan pulau atol tersebut
tidak lebih dari dua meter di atas permukaan laut (bbc.co.uk). Merujuk pada
ketinggian maksimal Kiribati, jika prediksi kenaikan tinggi permukaan air laut
pada tahun 2100 mencapai 95 cm sesuai analisa IPCC, maka pada tahun tersebut
terjadi sebagian dari permukaan negara ini sudah berada di bawah lautan. Hanya
masalah waktu saja hingga kenaikan permukaan air laut mencapai 200 cm,
kemungkinan terburuk adalah hilangnya Kiribati dalam peta dunia.
Kiribati bukan satu-satunya negara yang memiliki masalah tersebut.
Negara-negara atol berdataran rendah di Pasifik Selatan seperti Masrshall
Islands, Tuvalu, Nauru, Tokelau juga menghadapi masalah yang pelik ini.
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
41
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
Kenaikan tinggi permukaan laut sebesar satu meter saja sudah melingkupi 80
persen dari Atol Majuro, Marshall Islands, tempat tinggal dari separuh populasi
negara kepulauan tersebut (Burns, 2003:235).
Tidak hanya negara-negara di Pasifik yang terkena dampak dari kenaikan
tinggi permukaan laut. Negara berdataran rendah seperti Bangladesh juga
memiliki masalah yang sama. Peningkatan tinggi permukaan air laut sebesar 45
cm akan memangsa kurang lebih 10,9 persen wilayah Bangladesh (IPCC, 2001
di Barnet, 2003:9). Kehilangan wilayah sebesar ini berpotensi untuk mengusir
5,5 juta penduduk negara dataran rendah tersebut. Barnet mengatakan bahwa
meskipun kehilangan wilayah ini akan lebih signifikan bagi negara-negara
kepulauan kecil, seperti negara-negara pasifik, namun potensi masalah yang
bakal dihadapi Bangladesh juga tidak bisa dianggap enteng. Ini karena negara di
kawasan Asia Selatan tersebut memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi
daripada negara-negara di Pasifik Selatan.
Permasalahan lainnya adalah meskipun tidak memiliki penduduk sepadat
Bangladesh, negara-negara di Pasifik Selatan memiliki karakteristik yang sama
dengan Bangladesh ; wilayah pesisir adalah yang paling padat. Tidak hanya itu,
sebagian besar infrastruktur juga terdapat di kawasan pesisir. Dengan
keterbatasan ekonomi negara-negara mikro di Pasifik Selatan, maka sulit bagi
mereka untuk membangun kembali infrastruktur yang turut tenggelam jika tinggi
permukaan laut sudah melebihi tinggi daratan (Burns, 2003: 236). Lebih jauh
lagi, sebagian besar kegiatan ekonomi juga dilakukan di pesisir. Sehingga
kehilangan wilayah pesisir akibat kenaikan permukaan air laut, tentu akan
membawa dampak yang luar biasa bagi negara-negara mikro di Pasifik Selatan.
Sebenarnya masih ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan
wilayah pesisir yaitu dengan membangun tembok pantai (sea wall) (Burns,
2003: 236). Hanya saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunannya
tidak sebanding dengan kekuatan ekonomi negara-negara mikro di Pasifik
Selatan. Misal, pembangunan tembok pantai di Marshall Islands menghabiskan
kira-kira 100 juta dolar sementara gross domestic product (GDP) tahunan negara
tersebut hanya 80 juta dolar (Burns, 2003:236). Ilustrasi tersebut menunjukkan
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
42
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
bagaimana pilihan untuk ‘menyelamatkan diri’ sangat terbatas bagi negaranegara mikro di Pasifik Selatan.
Kenaikan tinggi permukaan air laut tidak hanya berpengaruh terhadap
tenggelamnya daratan,namun juga terhadap ketersediaan air bersih. Ketersediaan
air bersih merupakan faktor lain yang ‘mengusir’ mereka dari tempat tinggalnya.
Intrusi air laut menyebabkan semakin berkurangnya persediaan air bersih yang
pada dasarnya terbatas bagi sebagian besar negara-negara mikro di Pasifik
Selatan (Burns, 2003: 241-242).
Ketersediaan air bersih tidak hanya dipengaruhi oleh kenaikan tinggi
permukaan air laut. Cuaca yang tidak menentu dan gelombang tinggi menjadi
penyebab lainnya. Karena persediaan air sangat tergantung pada curah hujan,
maka perubahan pola cuaca akan berakibat buruk bagi negara-negara mikro di
Pasifik Selatan (Burns, 2003: 244-245). Tidak itu saja, gelombang pasang yang
menghantam kawasan pesisir juga turut berpengaruh merusak persediaan air
bersih dengan cara membawa serta air laut ke dalamnya. Air laut yang terbawa
gelombang
pasang
juga
menyebabkan
tanah
menjadi
terlalu
banyak
mengandung garam sehingga tidak bisa ditanami lagi.
Dampak perubahan iklim terhadap kelangkaan air merupakan penyebab
banyaknya wilayah tidak lagi layak ditinggali, bahkan sebelum wilayah itu
tenggelam di dasar lautan. Kondisi inilah yang membuat Presiden Kiribati,
Anote Tong, pada awal 2013 memperkirakan bahwa dalam kurun waktu 30
sampai 60 tahun negaranya tidak akan bisa dihuni lagi (Vidal, 2013). Menurut
Tong, saat ini air laut sudah terlalu jauh menginvasi beberapa pulau dan
penduduk sudah berduyun-duyun pindah ke ibukota, Tarawa Selatan, untuk bisa
bertahan hidup. Kiribati bahkan sudah bersiap membeli 6000 hektar lahan subur
di Fiji untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan kurang lebih
110.000 penduduknya.
Lebih jauh, pembelian tanah tersebut tidak bisa dihindari lagi. Menurut
Presiden Tong tanah yang akan dibeli dari Fiji tersebut juga dijadikan sebagai
persiapan jikalau Kiribati sudah tidak mampu lagi menjadi tempat tinggal bagi
sebagian, atau bahkan seluruh penduduknya. Seperti dikatakan oleh Tong, bagi
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
43
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
Kiribati migrasi bukanlah sebuah pilihan, melainkan cara untuk bertahan hidup
(Leony, 2012).
Kenaikan temperatur sebagai imbas dari perubahan iklim juga
berpengaruh buruk bagi sebagian besar negara-negara mikro di Pasifik Selatan
(Burns, 2003: 243-245, Julca dan Paddison, 2010:720). Terumbu karang
memiliki toleransi temperatur yang sempit. Peningkatan temperatur lautan bisa
berakibat fatal terhadap gugusan terumbu karang yang ada di pesisir.
Permasalahannya adalah terumbu karang adalah benteng alami terhadap gerusan
air laut sekaligus sumber penghasilan. Mengingat bahwa terumbu karang adalah
tempat tinggal ikan-ikan dan sebagian besar penduduk negara-negara mikro di
Pasifik Selatan bergantung pada sektor perikanan, maka kerusakan pada terumbu
karang berarti ancaman bagi kehidupan ekonomi penduduknya.
Keterkaitan antara bencana yang terkait cuaca (violent weather events,
seperti: topan, badai,angin puyuh) dan perubahan iklim memang masih
diperdebatkan. Berapa peneliti menganggap bahwa keterkaitan antara bencanabencana tersebut dan perubahan iklim terlalu menyederhanakan yang
sesungguhnya terjadi (Burns, 2003: 244-245). Meski demikian Burns melihat
ada korelasi antara keduanya. Dia mengatakan bahwa jika benar keduanya
berkorelasi maka perubahan iklim terbukti terbukti berdampak sangat buruk
karena pertahun menghilangkan lebih dari 15.000 jiwa dengan jumlah korban
terbanyak berasal dari negara berkembang. Untuk kasus negara-negara mikro di
Pasifik Selatan bencana seperti badai dan gelombang pasang berkontribusi besar
dalam menghancurkan produk-produk pertanian mereka (Burns, 2003: 244-245).
Ada total 52 negara yang masuk dalam kategori Small Island Developing
States (SIDS). negara-negara mikro di Pasifik Selatan masuk dalam kategori
tersebut. Meskipun antara negara satu dan yang lain memiliki banyak perbedaan
yang mencolok, namun ada satu karakteristik yang dimiliki oleh semua negara
tersebut: bahwa semuanya rawan bencana (Julca dan Paddison, 2010:717)
Perubahan Iklim dan Migrasi
Menghubungkan antara perubahan iklim dan migrasi adalah pekerjaan
yang rumit (Brown, 2008, McLeman, 2013). Ini karena sebagian besar dari
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
44
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
mereka yang bermigrasi tidak menjadikan perubahan iklim sebagai alasannya
utamanya (Brown, 2008:10). Para migran lebih merujuk pada alasan yang sangat
subyektif seperti alasan lingkungan sebagai pendorong (push factor) dan alasan
ekonomi sebagai penarik (pull factor). Mengeluarkan faktor perubahan iklim
dari jalin kelindan tumpukan alasan orang bermigrasi menurut Brown
membutuhkan ‘ambitious analytical step into the dark’ (Brown, 2008:10). Perlu
ambisi analitik yang cukup besar untuk mewujudkannya.
Bahkan tidak ada pula badan dunia yang bisa memberikan angka pasti
berapa jumlah climate refugees. Badan dunia untuk urusan pengungsi, The
United Nations High Commission for Refugees (UNHCR), menyediakan
perlindungan terhadap 10,55 juta pengungsi di dunia dan 14,7 juta mereka yang
berpindah namun masih dalam batas satu negara atau internal Displaced Persons
(IDPs) (UNHCR, 2011 dalam Leman, 2013:604). Namun badan ini memiliki
keterbatasan dalam menyediakan data untuk mereka yang terusir karena faktor
lingkungan. McLeman mengatakan alasan lingkungan dianggap tidak memiliki
alasan kuat untuk mengklaim status pengungsi (McLeman, 2013:604). Ketika
secara definisi sulit untuk mendapatkan pengakuan, maka akan sulit pula untuk
melakukan ‘sensus’, menghitung jumlah pengungsi (maupun IDPs) yang
terpaksa harus meninggalkan tempat asalnya karena alasan perubahan iklim.
Angka-angka terkait climate refugees pun seringkali berupa estimasi dan
dalam beberapa diantaranya dianggap menjadi bagian dari environment refugee.
Estimasi yang diterima dan dikutip di banyak publikasi termasuk yang
diterbitkan IPCC hingga Stern Review on the Economics of Climate Change
adalah yang disampaikan oleh Norman Myers (Brown, 2008:11).
Di dalam 13th Economic Forum, Praha 2005, Myers (2005:1)
mengatakan bahwa ada fenomena baru di arena global, yakni environmental
refugees. Berdasarkan definisi yang sudah disampaikan di bagian atas, Myers
mengatakan pada tahun 1995 saja terdapat 25 juta jiwa environment refugees.
Jumlah ini cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah pengungsi tradisional
(mereka yang terusir karena tekanan politik, penganiayaan gara-gara agama dan
masalah etnis) yang berjumlah 27 juta jiwa.Menurut Myers, mereka yang
dikategorikan sebagai environment refugees ini tidak memiliki alternatif lain
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
45
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
selain mengungsi. Tidak semuanya meninggalkan negara asalnya, sebagian tetap
berada di negara asalnya, baik secara permanen maupun tidak, namun dengan
sedikit harapan untuk bisa kembali.
Lebih
jauh, Myers
percaya
bahwa pada
tahun 2050 jumlah
environmental refugees bisa mencapai 200 juta orang. Menurut Myers, jumlah
sebesar ini disebabkan karena gangguan musim hujan (yang bisa berakibat pada
banjir, tanah longsor dan bencana lainnya), kekeringan, kenaikan tinggi
permukaan laut dan juga banjir di kawasan pantai (rob) yang semakin intensif
terjadi di dunia.
Menurut Brown, estimasi angka tersebut mengkhawatirkan karena itu
berarti pada tahun 2050 akan ada satu dari 45 orang di dunia yang menjadi
environmental refugee (Brown, 2008: 11-12). Jumlah tersebut juga melebihi dari
angka pengungsi secara umum yang dicatat oleh Organization for Migration
(IOM) yakni 192 juta jiwa. Namun, lanjut Brown, angka tersebut masih tentatif
seperti diakui juga oleh Myers bahwa meskipun dihitung dari data terbaik yang
bisa ditemukan, namun butuh perhitungan ekstra untuk bisa sampai pada angka
tertentu.
Terlepas dari kritik yang dialamatkan pada perhitungan Myers, Brown
(2008:12) mengatakan ada satu hal yang bisa dipastikan: bahwa belum ada
perhitungan yang pasti bagaimana perubahan iklim mempengaruhi distribusi
umat manusia. Estimasi terkini, tambah Brown, berkisar antara 25 juta hingga 1
milyar jiwa.
Pemberi estimasi lain adalah Non Governmental Organization (NGO)
yang berbasis di Inggris, Oxfam. Organisasi tersebut (2009) mencatat bahwa
setiap tahun jumlah rata-rata orang yang terkena dampak bencana alam sekitar
250 juta orang. Pada kurun waktu antara 1998 – 2007, 98 persen diantara ratusan
juta orang tersebut adalah mereka yang terkena bencana terkait iklim (climate
related disaster). Di dalam laporan Oxfam yang bertajuk ‘right to survive report’
disebutkan bahwa jumlah tersebut tumbuh lebih dari 50 persen pada tahun depan
(2015) menjadi 375 juta orang per tahunnya. Meskipun tidak memiliki angka
pasti dan masih banyaknya pro kontra terhadap fenomena climate refugees, tidak
berarti bahwa migrasi akibat perubahan iklim bisa dikesampingkan begitu saja.
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
46
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
Brown (2008: 25-30) menyebutkan ada tiga skenario yang bisa digunakan untuk
melihat bagaimana korelasi perubahan iklim dan migrasi di masa depan: The
Good, The Bad dan The Ugly.
Skenario pertama adalah The Good. Dalam skenario ini diasumsikan
bahwa populasi akan mencapai puncaknya di pertengahan abad dengan bilangan
sembilan miliar, namun sudah menunjukkan tanda-tanda menurun hingga tujuh
miliar. Telah terjadi perubahan di struktur ekonomi sehingga negara-negara
miskin dan berkembang memiliki kemampuan adaptasi yang cukup untuk
menghadapi perubahan iklim. Teknologi ramah lingkungan juga banyak
digunakan. Telah berdiri rezim baru pasca Protokol Kyoto dan negara-negara
BRIC (Brasil, Russia, India dan China) menjadi bagian di dalamnya.
Konsentrasi CO2 juga stabildi angka 600 ppm sehingga kenaikan temperatur
hanya berkisar 1,8 derajat celcius dan kenaikan tinggi permukaan air laut hanya
sekitar 8 – 18 cm di akhir abad 21. Jika kondisi ini terpenuhi, maka Brown yakin
bahwa estimasi 200 juta climate refugees di tahun 2050 terlihat berlebihan. Di
skenario ini, menurut Brown, kenaikan jumlah climate refugees mungkin hanya
berkisar 5 sampai 10 persen.
Skenario kedua, The Bad, menggunakan asumsi yang kira-kira sama
dengan The Good di bagian awalnya. Hanya saja, dalam skenario kedua ini
sumber energi yang digunakan berimbang antara sumber yang berasal dari fosil
maupun non fosil dan usaha untuk menekan jumlah emisi gas rumah kaca juga
tertahan. Akibatnya konsentrasi CO2 berkisar di 850 ppm sehingga berdampak
pada kenaikan temperature sebesar 2,4 derajat celcius dan kenaikan tinggi
permukaan air laut berkisar antara 21 – 48 cm di akhir abad 21. Kondisi ini,
menurut Brown akan menyebabkan 1 sampai 4 milyar orang terancam
kekurangan air bersih dan jumlah yang terdampak banjir akan mencapai 170 juta
jiwa.
Skenario ketiga, The ugly, terjadi jika pertumbuhan penduduk tetap
berlangsung hingga akhir abad 21 dan penggunaan energi fosil masih masif.
Selain itu, tidak ada upaya yang serius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
maupun meningkatkan daya adaptasi negara-negara miskin dan berkembang.
Konsentrasi gas CO2 akan mencapai 1550 ppm yang notabene adalah lima kali
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
47
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
lipat masa pre industri dan empat kali lipat dari kondisi sekarang. Akibatnya,
kenaikan temperatur mencapai 4 derajat Celsius dan kenaikan tinggi permukaan
air laut bisa mencapai 29 – 59 cm. Kenaikan temperature sebesar 4 derajat
Celcius diprediksi akan menyebabkan Afrika bagian selatan dan Meterania
berkurang 50 persen cadangan air bersinya. Produksi agrikultur akan berkurang
signifikan dan ratusan juta orang terancam banjir. Di bawah skenario ini,
menurut Brown, estimasi climate refugees sebesar 200 juta pada tahun 2050 bisa
jadi dengan mudah terlampaui.
Dampak perubahan iklim terhadap migrasi di masa mendatang, menurut
Brown (2008:25) tergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut antara lain:
jumlah emisi gas rumah kaca di masa yang akan datang, tingkat pertumbuhan
populasi dan distribusinya, evolusi meteorologis perubahan iklim, efektivitas
strategi adaptasi lokal dan nasional.
Penutup
Jika melihat pada skenario yang diungkapkan Brown di atas terlihat
bagaimana tata kelola global memegang peranan penting dalam mengatasi
dampak perubahan iklim yang berpotensi mendorong terjadinya migrasi. Tata
kelola global bisa berperan dalam merubah struktur ekonomi sehingga
meningkatkan kemampuan beradaptasi negara-negara miskin dan berkembang
dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Tata kelola global juga menjadi
harapan utama dalam mengatasi penyebab utama perubaham iklim; mengurangi
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Perubahan iklim merupakan isu yang ironis karena mereka yang paling
terkena dampaknya adalah mereka yang memiliki kontribusi paling kecil
terhadap penyebabnya. Negara-negara yang masuk dalam kategori Small Island
Developing Countries (SIDS) hanya menyumbang 1 persen dari total gas rumah
kaca, namun menjadi kelompok negara yang paling rentan terhadap dampak
perubahan iklim (Heger et al, 2008, dalam Julca dan Paddison, 2010). Isu ini
tidak hanya berpotensi untuk memperdalam konflik antara negara-negara
Selatan dan Utara, namun juga berpotensi menumbuhkan konflik antar negara
Selatan, mengingat bahwa India, China dan juga Brasil turut bagian menjadi
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
48
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
negara dengan sumbangan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Terkait
dengan ini, hanya tata kelola global yang mampu menjadi penyeimbang antara
negara-negara SIDS dengan negara-negara industri tersebut, baik dari Selatan
maupun Utara.
Tidak tersedianya data pasti tentang jumlah climate refugees juga
menunjukkan minimnya perhatian yang diberikan oleh tata kelola global
terhadap isu ini. Definisi pengungsi yang sudah berusia 63 tahun mungkin perlu
ditinjau ulang untuk mengakomodasi perkembangan wacana terkait ancaman
yang dihadapi oleh manusia. High Level Threat Panel of the United Nations
pada tahun 2004 telah menjadikan perubahan iklim (masuk dalam kategori
degradasi lingkungan) sebagai salah satu dari 10 sumber ancaman dunia.
Perubahan iklim dianggap sama mengancamnya dengan sumber ancaman lain
sepertikemiskinan, penyakit menular,perang antar negara, perang sipil, genosida,
kejahatan kemanusiaan lain (misal perdagangan manusia atau penculikan untuk
diambil organ tubuhnya), senjata pemusnah misal, terorisme dan kejahatan
transnasional.
Menilik pada ancaman akibat perubahan Iklim sebagai sesuatu yang
nyata dan berpotensi akan berkelanjutan, maka pengabaian terhadap isu climate
refugees bisa diibaratkan menyimpan api di dalam sekam. Jika tidak segara
diatasi dengan cepat dan tepat, permasalahan akan membesar dan ketika kita
menyadari, semua sudah terlambat. Demikian pula dengan isu climate refugees.
Jika tata kelola global tidak segera mencari solusi, bisa jadi ketika kesadaran itu
muncul, semua sudah terlambat dan tidak bisa ditarik kembali.
REFERENSI
Buku
Barnett, Jon, 2003, Security and Climate Change, Global Environmental Change, 13
(1): 7-17.
Burns, William C. G., 2003, The Impact of Climate Change on Pacific Island
Developing Countries in the 21st Century, in Alexander Gillespie and William
C.G. Burns (eds.), Climate Change in the South Pacific: Impacts and Responses
in Australia, New Zealand, and Small Island States, Kluwer Academic
Publishers, New York
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
49
Muhammad Riza Hanafi : Climate Refugee “Tantangan Bagi Tata Kelola Global”
Julca, Alex dan Oliver Paddison, 2010, Vulnerabilities and Migration in Small Island
Developing States in the Context of Climate Change, Nat Hazards, No 55 Tahun
2010
Kneebone, Susan, 2009, Introduction: Refugees and Asylum Seekers in the International
Context – Rights and Realities, di Susan Kneebone (ed), Refugee, Asylum Seekers
and The Rule of Law: Comparative Perspectives, Cambridge University Press,
Cambridge
Jurnal
Brown, Oli, Anne Hammil and Robert Mcleman, 2007, Climate change as the ‘new’
security threat: implications for Africa, International affairs, v.83, no.6
Website
Anonim, 2013, Pacific Islander Ioane Teitiota fails in bid to be first climate change
refugee, ABC network, 26 November 2013, diunduh dari
http://www.abc.net.au/news/2013-11-26/kiribati-ioane-teitoa-refugee-newzealand-climate-change/5117848 pada 1 April 2014
Anonim, 2013, Kiribati Island: Sinking into the sea? BBC, 25 November 2013, diunduh
dari http://www.bbc.com/news/science-environment-25086963 pada 1 April 2014
Anonim, 2009, Right to Survive Report, Oxfam International, diunduh dari
http://www.oxfam.org/en/policy/right-to-survive-report, pada 14 September 2009
Brown, Oli, 2008, Migration and Climate Change, International Organization for
Migration (IOM) Migration Research Series, Jenewa, diunduh dari
http://www.iom.int pada 1 April 2014
Global Governance Project, Forum on Climate Refugees,
http://www.glogov.org/?pageid=80 pada 1 April 2014
diunduh
dari
Grinberg, Emanuella, Ice Melting Across Globe at Accelerating Rate, NASA Says,
CNN, 17 Desember 2008, diunduh dari
http://edition.cnn.com/2008/TECH/science/12/16/melting.ice/, pada 14
September 2009
High Level Panel on Threats, Challenges and Change, 2004, A More Secure World: Our
Shared Responsibility, Report of the UN Secretary General’s High Level Panel
on Threats, Challenges and Change, diunduh dari www.un.org/secureworld/,
pada 14 September, 2009
Leoni, Brigitte, Migration not a matter of choice but survival, says Kiribati President,
The United Nations Office for Disaster Risk Reduction, 15 Maret 2012, diunduh
dari http://www.unisdr.org/archive/25649pada 1 April 2014
McLeman, Robert, 2013, Developments in Modelling of Climate Change-related
Migration, Climatic Change, no. 117 tahun 2013, Springer
Myers, Norman, 2005, Environmental refugees: An emergent security issue, 13th
Economic Forum, Prague, May 2005 diunduh dari
http://www.osce.org/node/14851 pada 1 April 2014
Jurnal Transformasi Global Volume 2 No 1 Tahun 2015
50
Download