BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perilaku membeli impulsif atau impulsive buying merupakan sebuah fenomena psikoekonomik yang melanda kehidupan masyarakat pada jaman modern, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen Indonesia pada tahun 2011 menyebutkan bahwa konsumen saat ini cenderung berbelanja barang tidak sesuai rencana. Pembelanja sekarang lebih impulsif, dengan 21% responden mengatakan mereka tidak pernah merencanakan apa yang mereka beli. Angka tersebut naik 11 poin dari tahun 2003 (Suprapto & Sukirno, 2011). Nielsen juga melaporkan bahwa delapan dari sepuluh orang pembelanja di supermarket melakukan pembelian impulsif (Cheng, 2014). Perilaku membeli impulsif muncul ketika konsumen merasakan dorongan yang kuat yang muncul secara tiba-tiba untuk membeli suatu barang (Rook, 1987). Perilaku membeli impulsif merupakan perilaku membeli yang dilakukan dengan cepat, tanpa pertimbangan yang matang dan lebih menekankan pada sisi emosional dibandingkan dengan sisi rasional. Oleh karena itu, perilaku membeli impulsif lebih dirasa sebagai perilaku yang negatif. Rook (1987) memaparkan kerugian-kerugian dari perilaku membeli impulsif yang bersumber dari hasil wawancara dengan sejumlah responden dalam penelitiannya. Sejumlah 56% responden mengaku bahwa mereka mengalami kerugian finansial, 37% mengatakan bahwa mereka sangat kecewa dengan produk yang dibeli, 20% merasa sangat menyesal telah melakukan pembelian impulsif, dan sebanyak 19% responden mengaku dijauhi oleh orang-orang karena memiliki perilaku membeli impulsif. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam perilaku membeli impulsif termasuk trait kepribadian konsumen, seperti kontrol diri (Hoch & Loewenstein, 1991) variabel-variabel demografis, seperti usia, gender, dan status ekonomi (Wood, 1998) faktor budaya (Kacen & Lee, 2002) faktor-faktor situasional, seperti waktu dan efek konformitas (Wilkie dalam Wu & Huan, 2010). Ketika seorang konsumen melakukan pembelian dengan orang lain dalam kelompoknya, mereka berkeinginan untuk dapat memenuhi harapan-harapan dari kelompoknya dengan membeli barang yang sama atau yang disarankan oleh anggota kelompok lainnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan identitas kelompok (Wu & Huan, 2010). Konsumen menganggap pembelian impulsif merupakan hal yang diinginkan ketika anggota kelompoknya memberikan penghargaan secara spontan dan memberikan dorongan untuk segera melakukan pembelian dengan tujuan hedonis (Wu & Huan, 2010). Remaja merupakan segmen yang sangat potensial sebagai target pemasaran di Indonesia. Selain karena besarnya nilai uang yang dibelanjakan, populasinya pun sangat besar. Data Badan Pusat Statistika merilis jumlah populasi remaja pada tahun 2015 ini diperkirakan mencapai 54,4 juta atau 21,3% dari total populasi nasional (MARS Indonesia, 2015). Remaja adalah kelompok usia yang sering dijadikan target pemasaran berbagai produk industri, antara lain karena karakteristik remaja yang labil, spesifik, dan mudah dipengaruhi sehingga akhirnya mendorong berbagai gejala perilaku membeli yang tidak wajar (Zebua & Nurdjayadi, 2001). Pembelian impulsif remaja terutama terlihat pada pembelian produk fashion karena fashion merupakan salah satu elemen penting dalam mendukung penampilan dan presentasi diri remaja dengan harapan akan diterima dalam kelompok yang dikehendakinya (Attamimi, Anin, & Rasimin, 2008). Penerimaan dan persepsi dari teman sebaya penting bagi seorang remaja yang ingin bergabung di dalam sebuah kelompok pertemanan. Untuk dapat diterima, seorang remaja mendapatkan tekanan-tekanan untuk mengikuti aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku di dalam sebuah kelompok. Prinstein (2002) mengungkapkan bahwa remaja yang paling konform terhadap teman sebayanya adalah mereka yang tidak yakin atas identitas sosialnya, yang dapat muncul dalam bentuk rendahnya harga diri dan tingginya kecemasan sosial (Santrock, 2007). Salah satu bentuk konformitas yang paling umum pada remaja adalah konformitas dalam fashion (Grant & Stephen, 2005). Penampilan atau fashion merupakan salah satu kunci utama seorang remaja untuk dapat diterima dalam sebuah kelompok. Remaja sangat peduli dengan hubungan-hubungan dan tekanan-tekanan sosial dari teman sebaya. Memiliki kelompok pertemanan amat penting bagi seorang remaja. Arti penting sebuah kelompok pertemanan bagi seorang remaja menurut Erickson (dalam Isaksen & Roper, 2012) adalah untuk memberikan rasa aman atau sense of security. Hubungan dengan teman sebaya merupakan komponen yang penting dalam sosialisasi remaja, hubungan tersebut menyediakan dukungan emosional dan instrumental (Shulman, Krenke, Levy-Shiff, Fabian, & Rotenberg, 2001). Krisis dan kebingungan yang dialami selama masa remaja membuat individu mengases kembali dirinya sendiri dan self-worthnya dan hal inilah yang menyebabkan harga diri menurun selama masa remaja tengah (Chaplin & John, 2005) Untuk mengatasi krisis tersebut, seorang remaja mecari kenyamanan dengan cara mengidentifikasi diri dan masuk dalam kelompok melalui musik, bahasa, dan seringkali melalui cara berpakaian (Young, 2005). Salah satu hal yang mengarahkan perilaku konsumsi produk fashion pada remaja adalah interaksi-interaksi sosial dan nilai-nilai yang dihasilkan dari interaksi-interaksi tersebut, tidak hanya tergantung pada persepsi dari diri sendiri melainkan juga tergantung oleh respon dari teman sebaya untuk memvalidasi opini-opini yang ada (Buunk & Gibbons, 2007). Lebih jauh lagi, didalam melakukan pembelian seorang remaja menjaga jarak dari pengaruh orangtua ataupun keluarga dan mulai mencari bantuan dari teman sebaya dan media untuk membantu menentukan keputusan dalam mengkonsumsi sebuah produk (Isaksen & Roper, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kahle & Shoham (1995) menyebutkan bahwa kecenderungan untuk konform atau motivasi konformitas konsumsi berkaitan dengan perhatian konsumen mengikuti norma norma kelompok dalam pengambilan keputusan ketika membeli sebuah produk. Secara umum, usaha seseorang untuk menjadi anggota dalam sebuah kelompok atau diterima oleh orang lain adalah untuk dapat meningkatkan harga diri (Miller, McIntyre, & Mantrala, 1993). Di dalam literatur pemasaran, keinginan untuk mempertahankan atau meningkatkan harga diri dikaitkan dengan materialisme, dengan melakukan pembelian pada produk-produk spesifik yang dikategorikan sebagai produk yang dapat meningkatkan penampilan fisik (Arndt, Solomon, Kasser, & Sheldon, 2004). Isaksen & Roper (2012) secara implisit menyebutkan bahwa harga diri berpengaruh terhadap pembelian impulsif remaja. Pendapat tersebut didukung oleh O'guinn & Faber (1989) yang menyatakan bahwa pembelian impulsif merupakan salah satu cara untuk lari dari keadaan psikologis negatif seperti rendahnya harga diri. Seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi lebih memiliki sedikit masalah perilaku (DuBois et al., dalam Shaffer & Kipp, 2007) salah satunya adalah perilaku membeli impulsif yang dianggap sebagai perilaku yang negatif dan merugikan (Rook & Fisher, 1995). Dengan kata lain, seseorang yang memiliki harga diri yang rendah cenderung mengikuti pendapat kelompok dalam pengambilan keputusan ketika membeli sebuah produk, sebaliknya individu yang memiliki harga diri yang tinggi kurang peduli dengan reaksi dari orang lain, oleh karena itu mereka menjadi kurang konform orang lain (Bearden & Rose, 1990). Berdasarkan gender, wanita cenderung lebih impulsif dalam melakukan pembelian dibandingkan dengan pria dan lebih menekankan pada aspek emosional (Dittmar & Drury, 2000). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, ditemukan bahwa remaja putri lebih sering melakukan pembelian impulsif dibandingkan dengan remaja pria dan lebih sering mengunjungi toko-toko sesuai dengan sifat dasar perempuan yang suka berbelanja (Perks dalam Maggie, 2008). Penelitian yang lain menunjukkan bahwa remaja putri mendapatkan uang saku lebih banyak dibandingkan dengan remaja putra karena ibu mereka yang memahami bahwa remaja putri membutuhkan uang lebih untuk dapat membeli kosmetik dan pakaian (Waguespack dalam Maggie, 2008). Oleh karena itu, penelitian ini mengkhususkan remaja putri sebagai subjeknya. Beberapa penelitian di Indonesia telah mengkaji mengenai perilaku membeli impulsif, konformitas, dan harga diri dengan remaja sebagai subjek penelitiannya. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Zebua & Nurdjayadi (2001) yang mengkaji mengenai hubungan antara konformitas dan konsep diri dengan perilaku konsumtif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konformitas mempengaruhi perilaku konsumtif sebesar 15% dan konsep diri tidak berpengaruh pada pembelian impulsif dengan nilai signifikansi 0,00. Namun, Zebua dan Nurdjayadi tidak mengkorelasikan ketiga variabel di atas melainkan hanya melihat korelasi secara terpisah antara konformitas dengan perilaku konsumtif dan konsep diri dengan perilaku konsumtif. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Zebua dan Nurdjayadi, peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai hubungan antara perilaku membeli impulsif produk fashion dengan harga diri dan konformitas pada remaja putri dan mencoba untuk melihat korelasi dari ketiga variabel tersebut. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi perilaku membeli impulsif produk fashion pada remaja putri berdasarkan harga diri dan konformitas. C. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis, yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan yang berkaitan dengan masa remaja dan ilmu psikologi yang berkaitan dengan perilaku konsumen. Selain itu penelitian ini bermanfaat untuk melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya dan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya mengenai perilaku membeli impulsif, harga diri, dan konformitas pada remaja. 2. Manfaat Praktis Apabila hipotesis penelitian ini teruji maka manfaat praktisnya adalah sebagai informasi atau bahan masukan kepada masyarakat khususnya bagi remaja untuk dapat meningkatkan harga diri dan menurunkan tingkat konformitas agar tidak mudah terlibat dalam perilaku membeli impulsif produk fashion. Apabila hipotesis penelitian ini tidak teruji maka manfaatnya adalah sebagai informasi bahwa harga diri dan konformitas tidak berperan dalam perilaku membeli impulsif produk fashion pada remaja.