11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Mengenai Bank Bank merupakan suatu badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan . dalam pembicaraan sehari-hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menerima simpanan giro, tabungan dan deposito. Disamping itu bank juga dikenal sebagai lembaga keuanagan yang usaha pokoknya adalah menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang (Kuncoro,2006:68). Pengertian perbankan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 pasal 1 adalah sebagai berikut : “Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya”. 2.1.1 Pengertian Bank Berbagai definisi mengenai bank telah dikemukakan oleh berbagai kalangan dan ahli. Berikut akan dikemukakan beberapa pengertian bank : Definisi bank menurut UU Perbankan No.10 tahun 1998 yaitu : 12 “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Dalam PSAK No. 31 tahun 2009 Akuntansi Perbankan (revisi 2000) disebutkan sebagai berikut : “Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus unit) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (deficit unit), serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran”. Definisi bank menurut menurut menurut Taswan (2010:6) menyatakan bahwa : “Bank adalah sebuah lembaga atau perusahaan yang aktifitas menghimpun dana berupa giro, deposito, tabungan dan simpanan yang lain dari pihakyang kelebihan dana (surplus spending unit) kemudian menempatkannya kembali kepada masyarakar yang membutuhkan dana (deficit spending unit) melalui penjualan jasa keuangan yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak” Dalam pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya bank merupakan lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman (kredit). 2.1.2 Fungsi Bank Sesuai Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan pasal 3 menyebutkan : “Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. 13 Fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik fungsi bank dapat sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of services (Susilo dkk,2000:6). a. Agent of trust Yaitu lembaga yang landasannya kepercayaan. Dasar utama kegiatan perbankkan adalah kepercayaan ( trust ), baik dalam penghimpun dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menyimpan dana dananya di bank apabila dilandasi kepercayaan. Dalam fungsi ini akan di bangun kepercayaan baik dari pihak penyimpan dana maupun dari pihak bank dan kepercayaan ini akan terus berlanjut kepada pihak debitor. Kepercayaan ini penting dibangun karena dalam keadaan ini semua pihak ingin merasa diuntungkan untuk baik dari segi penyimpangan dana, penampung dana maupun penerima penyaluran dana tersebut. b. Agent Of Development Yaitu lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi. Kegiatan bank berupa penghimpun dan penyalur dana sangat diperlukan bagi lancarnya kegiatan perekonomian di sektor riil. Kegiatan bank tersebut memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi , distribusi dan konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat c. Agent Of Services Yaitu lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan ekonomi. Disamping melakukan kegiatan penghimpun dan penyalur dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakan. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitannya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa-jasa bank ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, jasa penitipan barang berharga, jasa pemberian jaminan bank, dan jasa penyelesaian tagihan 14 2.1.3 Jenis Bank Jenis perbankan dapat dilihat dari segi fungsi kepemilikan dan dari segi menentukan harga. Dari segi fungsi perbedaan yang terjadi terletak pada luasnya kegiatan atau jumlah produk yang dapat ditawarkan maupun jangkauan wilayah operasinya. Kemudian kepemilikan perusahaan dilihat dari segi pemilikan saham yang ada serta akta pendiriannya. Sedangkan dari menentukan harga, yaitu antara bank konvensional berdasarkan bunga dan bank syariah berdasarkan bagi hasil (Kasmir, 2012:22) Janis atau bentuk bank bermacam-macam tergantung pada cara penggolongannya Menurut Dendawijaya (2009:46) penggolongannya dapat berdasarkan sebagai berikut : 1. jenis bank berdasarkan undang-undang Menurut pasal 6 UU RI no 10 tahun 1998 jenis perbankan berdasarka fungsinya terdiri dari : a. Bank Umum Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sifat jasa yang diberikan adalah umum, dalam arti dapat memberikan seluruh jasa perbankan yang ada. Begitu pula dengan wilayah operasinya dapat 15 dilakukan diseluruh wilayah Indonesia, bahkan keluar negeri (cabang). Bank umum sering disebut bank komersil (commercial bank). b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Dalam kegiatannya BPR tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Artinya jasa-jasa perbankan yang ditawarkan BPR jauh lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan atau jasa bank umum 2. Jenis Bank berdasarkan kepemilikan, yaitu : a. Bank Milik Negara (BUMN) b. Bank Milik Pemerintah Daerah (BUMD) c. Bank Milik Koperasi d. Bank Milik Swasta Nasional e. Bank Milik Asing f. Bank Milik Campuran 3. Jenis bank berdasarkan penekanan kegiatannya : a. Bank retail (Retail Bank) b. Bank koporasi (Corporate Bank) c. Bank pedesaan (Rural Bank) d. Bank Pembangunan (Development Bank) 4. Jenis bank berdasarkan pembayaran bunga atau pembagian hasil : a. Bank Konvensional b. Bank berdasarkan prinsip syariah 16 2.1.4 Usaha Bank Umum Kegiatan bank umum pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi enam kegiatan utama, yaitu perkreditan, marketing, treasury, operation, pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan audit (Dahlan,2005:47) 1. Perkreditan Perkreditan merupakan rangkaian kegiatan utama bank umum untuk penghasilan terbesar bank diperoleh dari bunga, provisi, komisi, commitment fee, appraisal fee, dan lain-lain yang diterima sebagai akibat dari pemberian kredit bank. Risiko terbesar yang dipikul oleh bank berasal dari kegiatan pemberian kredi, misalnya risiko spread, risiko kredit bermasalah, risiko nilai jaminan, risiko kurs valuta asing. 2. Pemasaran (marketing) Kegiatan pemasaran (marketing) suatu bank umum lebih banyak diarahkan pada penghimpunan dana. Hal ini dikarenakan semuua kegiatan bank pada sisi aktiva, seperti pemberian kredit, penanaman dalam surat berharga, penanaman dalam penyertaan pada suatu perusahaan, serta penempatan dana pada bank lain sangat tergantung pada adanya dana yang dapat dihimpun oleh bank yang jumlahnya dapat dilihat pada sisi pasiva pada neraca bank. 3. Treasury Kegiatan treasury lebih diutamakan kepada pengelolaan dana oleh para eksekutif banak. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh kinerja yang optimal 17 dalam memperoleh dana serta memaksimalkan alokasi dana kepada aktiva produktif. 4. Operations Kegiatan operasi adalah kegiatan unit-unit dalam bank yang bersifat membantu kegitan-kegiatan unit utama bank lainnya 5. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Pengelolaan sumber daya manusia dalam bank mencakup seluruh siklus di bidang sumber daya manusia yang meliputi perencanaan sumber daya anusia, penarikan tenaga kerja, penempatan pegawai, dan lain-lain 6. Audit (Pengawasan) Dalam bisnis perbankan terdapat tiga jenjang pengawasan atau audit, yaitu pengawasan intern, pengawasan ekstern, dan pengawasan BI. 2.1.5 Pembinaan dan Pengawasan Perbankan Bank dalam menjalankan usahanya adalah atas dasar kepercayaan, karena setiap bank harus berupaya menjaga kesehatannya dan terus memelihara kepercayaan masyarakat yang diberikan kepadanya, agar bank-bank bekerja dengan baik perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank. Sejalan dengan hal tersebut, tertuang dalam pasal 29 ayat 1 UU Perbankan No.10 tahun 1998 “Pembinaaan dan pengawasan dilakukan oleh Bank Indonesia”. Dalam menjalankan usahanya Bank Indonesia menggunakan upayanya yang bersifat pretentif dlalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk, penasehat, 18 bimbingan, dan pengarahan. Sedangkan tindakan repsesif adalah dalam bentuk tindakan perbaikan. 2.2 Tingkat Kesehatan Bank 2.2.1 Pengertian Kesehatan Bank Berdasarkan Pasal 29 UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas, serta aspek lain yang berkaitan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Kesehatan Bank Menurut Susilo dkk (2000:22-23), kesehatan suatu bank dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan maupun untuk memenuhi semua kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengertian tentang kesehatan bank tersebut merupakan suatu batasan yang sangat luas, karena kesehatan bank memang mencakup kesehatan suatu bank untuk melaksanakan seluruh kegiatan usaha perbankannya. Adapun kegiatannya, meliputi : a. Kemampuan untuk menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain, dan modal sendiri b. Kemampuan mengelola dana c. Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat 19 d. Kemampuan untuk memenuhi kewajiban kepada masyarakat, karyawan, pemilik modal, dan pihak lain e. Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku. 2.2.2 Penilaian Tingkat kesehatan Bank Surat Edaran Bank Indonesia ini merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, yang mewajibkan Bank Umum untuk melakukan penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating/RBBR) baik secara individual maupun secara konsolidasi. Selanjutnya, Surat Edaran Bank Indonesia ini mencabut ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Adapun untuk menghasilkan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank sesuai dengan vide SE No.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum adalah dengan cara : a. Penilaian faktor Profil Risiko merupakan penilaian terhadap risiko inheren dan kualitas penerapan Manajemen Risiko dalam aktivitas operasional Bank. Risiko yang wajib dinilai terdiri atas 8 (delapan) jenis Risiko yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Operasional, Risiko Likuiditas, Risiko Hukum, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, dan Risiko Reputasi. 20 b. Penilaian Faktor GCG merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen Bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG. Prinsip-prinsip GCG dan fokus penilaian terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip GCG berpedoman pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. c. Penilaian faktor Rentabilitas evaluasi terhadap kinerja Rentabilitas, sumber-sumber Rentabilitas, kesinambungan (sustainability) Rentabilitas. Penilaian mempertimbangkan tingkat, Rentabilitas, dan manajemen dilakukan trend, dengan struktur, stabilitas Rentabilitas Bank, dan perbandingan kinerja Bank dengan kinerja peer group¸ baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif. d. Penilaian atas faktor Permodalan evaluasi terhadap kecukupan Permodalan dan kecukupan pengelolaan Permodalan. Dalam melakukan perhitungan Permodalan, Bank wajib mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum. Selain itu, dalam melakukan penilaian kecukupan Permodalan, Bank juga harus mengaitkan kecukupan modal dengan Profil Risiko Bank. Semakin tinggi Risiko Bank, 21 semakin besar modal yang harus disediakan untuk mengantisipasi Risiko tersebut. 2.2.3 Manajemen Risiko Perbankan 1. Pengertian Manajemen Risiko Pengertian manajemen risiko telah dirumuskan di dalam Pasal 1 angka (5) Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh usaha Bank 2. Fungsi dan tujuan manajmen risiko Untuk mencapai hal tersebut diperlukan manajemen risiko yang merupakan desain prosedur serta implementasi prosedur untuk mengelola suatu risiko usaha. Manajemen risiko memiliki fungsi, antara lain: a. Menemukan risiko potensial b. Mengevaluasi risiko potensial c. Memilih teknik/cara yang tepatatau menentukan suatu kombinasi dari teknik-teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian Tujuan yang hendak dicapai dengan manajemen risiko ialah mengelola perusahaan supaya mencegah perusahaan dari kegagalan, mengurangi pengeluaran, menaikkan keuntungan perusahaan, menekan biaya produksi, dan 22 sebagainya. Ferry N. Idroes dalam bukunya Manajemen Risiko Perbankan, menjelaskan manajemen risiko diperlukan untuk: a. mendukung pencapaian tujuan; b. memungkinkan untuk melakukan aktivitas yang memberikan peluang yang jauh lebih tinggi dengan mengambil risiko yang lebih tinggi; risiko yang lebih tinggi diambil dengan dukungan sikap dan solusi yang sesuai terhadap risiko; c. mengurangi kemungkinan kesalahan fatal; d. menyadari bahwa risiko dapat terjadi pada setiap aktivitas dan tingkatan dalam organisisasi sehingga setiap individu harus mengambil dan mengelola risiko masing - masing sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya 3. Jenis-Jenis Risiko yang Dihadapi Bank Banyak teori yang ada untuk mendefinisikan jenis - jenis risiko dalam menjalankan bisnis perbankan. Namun, pada dasarnya jenis - jenis risiko yang dihadapi dapat dibagi dua kelompok besar, yaitu: a. Risiko financial Risiko finansial terkait dengan kerugian langsung berupa hilangnya sejumlah uang akibat risiko yang terjadi. Risiko kredit, pasar, operasional, risiko konsentrasi kredit, risiko suku bunga pada buku bank, termasuk ke dalam risiko finansial. b. Risiko non financial 23 Risiko non finansial terkait kepada kerugian yang tidak dapat dikalkulasikan secara jelas jumlah uang yang hilang. Dampak finansial dari risiko non finansial tidak langsung dapat dirasakan. Kasus seperti ketika kehilangan nasabah dan kehilangan bisnis akibat risiko yang terjadi tidak dapat terjadi tidak langsung membuat bank menjadi rugi. Namun pada gilirannya, risiko non finansial berpotensi untuk menimbulkan kerugian finansial.Risiko bisnis, risiko strateijk, serta risiko reputasional termasuk ke dalam non finansial. Menurut Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 TentangPerubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 TentangPenerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Risiko - risiko perbankan yang harus dikelola antara lain: a. Risiko Kredit Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada bank b. Risiko Pasar; Berdasarkan Pasal 1 angka (7), risiko pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat Perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option c. Risiko Likuiditas; Berdasarkan Pasal 1 angka (8), risiko likuiditas adalah risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari 24 sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank d. Risiko Operasional; Berdasarkan Pasal 1 angka (9) risiko operasional adalah risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank e. Risiko Hukum; Sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka (11) dinyatakan bahwa risiko hukum adalah risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis f. Risiko Reputasi; Sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka (12) dinyatakan bahwa, risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank g. Risiko Stratejik; dan Berdasarkan Pasal 1 angka (13), pengertian risiko stratejik adalah risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis h. Risiko Kepatuhan; 25 Sebagaimana diatur pada Pasa l 1 angka (10) risiko kepatuhan adalah risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku 2.2.4 Basel III Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, maka Bank perlu meningkatkan kemampuan untuk menyerap risiko yang disebabkan oleh kondisi krisis dan/atau pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan Bank sesuai dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III. Peningkatan kualitas permodalan Bank dilakukan melalui penyesuaian komponen dan persyaratan instrumen modal serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Selanjutnya, Peningkatan kuantitas permodalan Bank dicapai melalui kewajiban pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Surcharge. Substansi Pengaturan 1. Peningkatan kualitas permodalan melalui perubahan komponen dan persyaratan instrumen modal sesuai dengan kerangka Basel III antara lain: a) Komponen modal inti (Tier 1) yang terdiri atas: 26 1) modal inti utama (common equity Tier 1) yaitu instrumen modal berkualitas tinggi dalam bentuk saham biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran dividen/imbal hasil. 2) modal inti tambahan (Additional Tier 1) yaitu penyempurnaan komponen modal inovatif yang berupa saham preferen atau instrumen utang yang bersifat subordinasi, tidak memiliki jangka waktu, pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif, dan tidak memiliki fitur step up. b) Komponen modal pelengkap (Tier 2) yaitu instrumen utang yang bersifat subordinasi, memiliki jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun, dan tidak memiliki fitur step up 2. Bank wajib menyediakan modal inti (Tier 1) paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR dan modal inti utama (Common Equity Tier 1) paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. 3. Bank yang memenuhi kriteria tertentu wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) di atas kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang ditetapkan sebagai berikut: a) Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang tergolong dalam Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 yang pemenuhannya secara bertahap; 27 b) Countercyclical Buffer dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR bagi seluruh Bank; dan c) Capital Surcharge untuk D-SIB dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR untuk Bank yang ditetapkan berdampak sistemik. 4. Jangka waktu penyesuaian rasio permodalan, pemberlakuan komponen modal, dan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Tabel Jangka waktu penyesuaian rasio permodalan, pemberlakuan komponen modal, dan pembentukan tambahan modal sebagai penyangga (buffer) Tanggal Ketentuan Keterangan Rasio modal inti minimum Sampai dengan 31 Desember 2014 sebesar 6% dari ATMR dan pemenuhan rasio modal inti minimum rasio 1 Januari utama 2014 4,5% modal minimum inti dan rasio modal inti utama minimum sebesar mengacu pada komponen modal dari ATMR wajib sebagaimana diatur pada Peraturan dipenuhi Bank. Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. 28 Tanggal Ketentuan Persyaratan keterangan komponen modal dalam ketentuan ini Pengaturan komponen modal dan pengaturan lainnya dalam PBI No. mulai berlaku. 14/18/PBI/2012 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, sehingga PBI yang baru 1 Januari mulai berlaku secara penuh. 2015 Kewajiban Bank membentuk untuk 1. Capital 0,625% dari ATMR mulai 1 Januari 2016 Conservation Buffer mulai 2. berlaku secara bertahap. 1,25% dari ATMR mulai 1 Januari 2017 3. 1,875% dari ATMR mulai 1 Januari 2018 4. 2,5% dari ATMR mulai 1 Januari 2019 Kewajiban 1 Januari 2016 Bank untuk Berdasarkan penilaian atas kondisi membentuk Countercyclical makroekonomi Buffer mulai berlaku. Indonesia Indonesia, dapat Bank menetapkan pemberlakuan Countercyclical Buffer lebih cepat dari tahun 2016. Kewajiban Bank membentuk Surcharge untuk Metode perhitungan dan tata cara Capital pembentukan untuk Capital Surcharge D-SIB untuk D-SIB akan diatur lebih lanjut mulai berlaku bagi Bank oleh otoritas yang berwenang. yang ditetapkan berdampak sistemik. 29 5. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2014. 2.3 Laporan Keuangan Bank Secara umum setiap perusahaan baik bank maupun non bank pasa suatu periode tertentu akan melaporkan kegiatan keuangannya. Informasi tentang proses keuangan perusahaan, kinerja perusahaan, alirak kas dan informasi lainnya yang berkaitan dengan kegiatan laporan keuangan dapat diperoleh dari laporan keuanganperusahaan. Pelaporan keuangan adalah system dan sarana penyampaian informasi tentang segala kondisi dan kinerja perusahaan terutama dari segi keuangan dan tidak terbatas pada apa yang dapat disampaikan melalui laporan keuangan. SFAC ( Statement of Financial Accounting Concept ) No. 1. Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi yang menggambarkan secara menyeluruh tentang kondisi dan perkembangan perusahaan, sehingga dapat menjadi salah satu sarana menilai tingkat profesionalisme perusahaan yang bersangkutan dalam melakukan kegiatan pengusaha, Suwardjono,(2008). Laporan keuangan juga mengukur hasil usaha dan perkembangan perusahaan dari waktu ke waktu dan untuk mengetahui sudah sejauh mana perusahaan mencapai tujuannya (Fahmi,2011:4). Menurut SFAC (Statements of Financial Accounting Concepts) No.1 FASB (Finally Accounting Standart Board) 1978 tujuan utama laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang bermanfaat kepada investor, kreditor, dan pemakai lainnya baik yang sekarang maupun yang potensial dalam pembuatan 30 investasi, kredit, dan keputusan sejenis secara rasional. Tujuan kedua adalah menyediakan informasi dalam menilai jumlah, waktu, ketidakpastian penerimaan kas dari dividen dan bunga di masa yang akan datang ( Triyono,2007). 2.4 Analisis Rasio Keuangan Bank Rasio keuangan merupakan kegiatan membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara membagi satu angka lainnya. Perbandingan dapat dilakukan antara satu komponen dengan komponen dalan suatu laporan keuangan atau antar komponen yang ada diantara laporan keuangan (Kasmir,2012:104). Analisis rasio keuangan adalah metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan laba rugi secara individu ataupun secara kombinasi dari kedua laporan tersebut (Munawir,2004:34). Dengan menggunakan analisa rasio dimungkinkan untuk dapat menentukan tingkat kinerja suatu bank. Menurut Dendawijaya (2006:46) rasio keuangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi : 1. Rasio Likuiditas Analisis rasio likuiditas adalah analisis yang dilakukan terhadap kemampuan bank pendeknya atau dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka kewajiban yang sudah jatuh tempo. Beberapa rasio likuiditas yang sering dipergunakan dalam menilai kinerja suatu bank yaitu Cash Ratio, Reserve Requirement, Loan to Deposit Ratio, Loan to Asset Ratio, Rasio kewajiban bersih call money (Dendawijaya, 2009) 31 2. Rasio Solvabilitas Analisis solvabilitas adalah analisis yang digunakan untuk mengukur kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya atau kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jika terjadi likuidasi bank. Disamping itu, rasio ini digunakan untuk mengetahui perbandingan antara volume (jumlah) dana yang diperoleh dari berbagai utang (jangka pendek dan jangka panjang) serta sumber-sumber lain diluar model bank sendiri dengan volume penanaman dana tersebut pada berbagai jenis aktiva yang dimiliki bank. Beberapa rasionya adalah Capital Adequacy Ratio(CAR), Debt to Equity Ratio, Long Term Debt to Assets Ratio(Dendawijaya, 2009). 3. Rasio Rentabilitas Analisis rasio rentabilitas bank adalah alat untuk menganalisis atau mengukur tingkat efesiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai oleh bank yang bersangkutan. Selain itu, rasio-rasio dalam kategori ini dapat pula digunakan untuk mengukur tingkat kesehatan bank. Dalam perhitungan rasio-rasio rentabilitas ini biasanya dicari hubungan timbal balik antarpos yang terdapat pada laporan laba rugi ataupun hubungan timbal balik antarpos yang terdapat pada laporan laba rugi bank dengan pos-pos pada neraca bank guna memperoleh berbagai indikasi yang bermanfaat dalam mengukur tingkat efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan. Analisis rasio rentabilitas suatu bank pada bab ini antara 32 lain yaitu Return on Assets, Return on Equuity, Net Profit Margin, rasio biaya operasional (Dendawijaya, 2009). 2.4.1 Return On Assets Pengertian rentabilitas atau profitabilitas dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bank untuk menghasilkan laba selama periode tertentu (Hasibuan,2006:100). Pengertian profitabilitas menurut beberapa ahli, antara lain: Profitabilitas adalah kemampuan bank dalam menghasilkan laba (Malayu Hasibuan,2006:104) dan Profitabilitas menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang menghasilkan laba tesebut (Bambang Riyanto,2001:35) Berdasarkan beberapa pengertian dari para ahli sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dengan menggunakan aktiva atau modal yang dimilikinya. Terdapat beberapa cara untuk mengukur tingkat profitabilitas suatu perusahaan, salah satunya dengan menggunakan rasio Return On Asset yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, asset dan modal saham tertentu (Hanafi dan Halim,2003:27). Return on Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan total aktiva yang ada. Menurut Hanafi (2007: 159) ”Return on Asset adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba 33 dengan menggunakan total asset (kekayaan) yang dimiliki perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya untuk menandai aset tersebut”. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menetapkan ROA sebesar 1,5% agar bank tersebut dapat dikatakan dalam kondisi sehat. Secara sistematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut : (Mahmud, 2007) ROA = laba sebelum pajak x 100% Total asset rata-rata 2.4.2 Capital Adequacy Ratio (CAR) CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, disamping memperoleh danadana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (hutang), dan lain-lain (Dendawijaya,2009:121). Selain itu CAR merupakan modal minimum yang cukup menjamin kepentingan pihak ketiga. CAR merupakan rasio yang menghitung jumlah modal yang dimiliki oleh bank terhadap Aktifa Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) . (Taswan, 2010 : 166) Dengan kata lain, CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut CAR = Modal Bank x 100% Aktiva Tertimbang Menurut Risiko 34 Modal bank adalah total modal yang berasal dari bank yang terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal inti terdiri dari modal disetor, agio saham, cadangan umum, cadangan tujuan, laba ditahan, laba tahun lalu, laba tahun berjalan, dan bagian kekayaan anak perusahaan yang laporan keuangannya dikonsolidasikan. Modal pelengkap terdiri dari cadangan revaluasi aktiva tetap, cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan, modal kuasa, dan pinjaman subordinasi. Sedangkan ATMR merupakan penjumlahan ATMR aktiva neraca dengan ATMR administratif. CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Ketentuan tentang modal minimum bank umum yang berlaku di Indonesia mengikuti standar Bank for International Settlements (BIS). Sejalan dengan standar tersebut, dalam kerangka paket deregulasi tanggal 29 Februari 1991, Bank Indonesia mewajibkan setiap bank umum menyediakan modal minimum sebesar 8% dari total aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). 2.4.3 Non Performing Loan (NPL) Non Performing loan (NPL) menunjukkan bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Kredit bermasalah adalah kredit dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. Menurut Riyadi (2006:161), risiko kredit yaitu risiko yang timbul apabila peminjam tidak dapat mengembalikan dana yang dipinjam dan bunga yang harus 35 dibayarnya.Menurut Dendawijaya (2009), kemacetan fasilitas kredit disebabkan oleh 2 faktor yaitu : 1. Dari pihak perbankan Dalam hal ini pihak analis kredit kurang teliti baik dalam mengecek kebenaran dan keaslian dokumen maupun salah dalam menghitung rasio-rasio yang ada. Akibatnya, apa yang seharusnya terjadi, tidak diprediksi sebelumnya. 2. Dari pihak Nasabah Kemacetan kredit yang disebabkan nasabah diakibatkan 2 hal yaitu: a. Adanya unsur kesengajaan b. Adanya unsur tidak sengaja Tingkat risiko kredit diproksikan dengan NPL dikarenakan NPL dapat digunakan untuk mengukur sejauh mana kredit yang bermasalah yang ada dapat dipenuhi dengan aktiva produktif yang dimiliki oleh suatu bank. (Riyadi, 2006). Rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut (Sesuai SE No.6/23/DPNP Tanggal 31 Mei 2004) : NPL = Kredit Bermasalah x 100% Total Kredit Kriteria penilaian tingkat kesehatan rasio NPL dapat dilihat pada table dibawah ini : Tabel 2.2 Kriteria Penilaian Tingkat Kesehatan Rasio NPL Rasio Predikat NPL ≤ 5% Sehat NPL > 5% Tidak Sehat 36 Berdasarkan tabel diatas, Bank Indonesia menetapkan nilai NPL maksimum adalah sebesar 5%, apabila bank melebihi batas yang diberikan maka bank tersebut dikatakan tidak sehat. 2.4.4 Loan to Deposit Ratio (LDR) Fungsi utama bank adalah sebagai lembaga perantara keuangan atau financial intermediary. Fungsi intermediasi ini dapat ditunjukkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR). Menurut Dendawijaya (2009:118), Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Sedangkan menurut kasmir (2012:290), Loan to Deposit Ratio merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan. LDR menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini, semakin rendah kemampuan likuiditas bank. Hal ini dikarenakan penyaluran kredit merupakan salah satu tujuan dari penghimpunan dana bank, yang sekaligus memberikan kontribusi pendapatan terbesar bagi bank. Semakin banyak kredit yang disalurkan, maka semakin illiquid suatu bank, karena seluruh dana yang berhasil dihimpun telah disalurkan dalam bentuk kredit, sehingga tidak terdapat kelebihan dana untuk dipinjamkan lagi atau untuk diinvestasikan. Tingginya rasio LDR ini, di satu sisi menunjukkan pendapatan bank yangsemakin besar, tetapi menyebabkan suatu bank menjadi tidak likuid dan 37 memberikan konsekuensi meningkatnya risiko yang harus ditanggung oleh bank, berupa meningkatnya jumlah Non Performing Loan atau Credit Risk, yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan untuk mengembalikan dana yang telah dititipkan oleh nasabah, karena kredit yang disalurkan mengalami kegagalan atau bermasalah. Namun, disisi lain, rendahnya rasio LDR, walaupun menunjukkan tingkat likuiditas yang semakin tinggi, tetapi menyebabkan bank memiliki banyak dana menganggur (idle fund) yang apabila tidak dimanfaatkan dapat menghilangkan kesempatan bank untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya, dan menunjukkan bahwa fungsi utama bank sebagai financial intermediary tidak berjalan. Untuk menghitung nilai dari LDR, dapat menggunakan suatu persamaan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, yaitu : LDR = Jumlah Kredit yang Diberikan x 100% Dana Pihak Ketiga Bank Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan batas LDR berada pada tingkat 85%-100% dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/5/BPPP tanggal 29 Mei 1993. Namun, per tanggal 1 Maret 2011, BI akan memperlakukan peraturan Bank Indonesia No012/19/PBI/2010 yang berisi ketentuan standar LDR pada tingkat 78%-110%. 38 2.4.5 Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) merupakan rasio yang menunjukkan besaran perbandingan antara beban atau biaya operasional terhadap pendapatan operasional suatu perusahaan pada periode tertentu (Riyadi, 2006:159). BOPO telah menjadi salah satu rasio yang perubahan nilainya sangat diperhatikan terutama bagi sektor perbankan mengingat salah satu kriteria penentuan tingkat kesehatan bank oleh Bank Indonesia adalah besaran rasio ini. Bank yang nilai rasio BOPO-nya tinggi menunjukkan bahwa bank tersebut tidak beroperasi dengan efisien karena tingginya nilai dari rasio ini memperlihatkan besarnya jumlah biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh pihak bank untuk memperoleh pendapatan operasional. Disamping itu, jumlah biaya operasional yang besar akan memperkecil jumlah laba yang akan diperoleh karena biaya atau beban operasional bertindak sebagai faktor pengurang dalam laporan laba rugi. Nilai rasio BOPO yang ideal berada antara 50-75% sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia. Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, kategori peringkat yang akan diperoleh bank dari besaran nilai BOPO yang dimiliki adalah sebagai berikut. 39 Tabel 2.3 Peringkat Bank berdasarkan Rasio BOPO Peringkat Predikat Besaran nilai BOPO 1 Sangat Sehat 50-75% 2 Sehat 76-93% 3 Cukup Sehat 94-96% 4 Kurang Sehat 97-100% 5 Tidak Sehat >100% Sumber : SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 Pada Bank, beban operasional umumnya terdiri dari biaya bunga (beban bunga yang dibayarkan oleh pihak bank kepada nasabah yang menyimpan uangnya di bank dalam bentuk dana pihak ketiga seperti giro, tabungan dan deposito), biaya administrasi, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran dsb. Sedangkan, pendapatan operasional bank umumnya terdiri dari pendapatan bunga (diperoleh dari pembayaran angsuran kredit dari masyarakat, komisi dsb. BOPO dapat dirumuskan berdasarkan ketentuan Bank Indonesia sebagai berikut : BOPO = Beban Oprasional x 100% Pendapatan Oprasional Biaya operasional dihitung berdasarkan penjumlahan dari total beban bunga dan total beban operasional lainnya. Pendapatan operasional adalah penjumlahan dari total pendapatan bunga dan total pendapatan operasional lainnya. 40 2.5 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang rasio-rasio keuangan perbankan serta pengaruhnya terhadap kinerja profitabilitas antara lain : 1. Suyono (2005) melakukan penelitian tentang Analisis Rasio-Rasio Bank yang berpengaruh Terhadap Return On Asset (ROA). Sampel sebanyak 60 bank diambil secara purposive dari perusahaan perbankan dari Bank Indonesia yang mempublikasikan laporan keuangannya pada tahun 20012003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio keuangan perbankan yaitu CAR, BOPO, dan LDR berpengaruh signifikan positif terhadap laba satu tahun kedepan. Sedangkan NIM dan NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA. 2. Mawardi (2005) melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bank Umum di Indonesia (Studi Kasus pada Bank Umum dengan Total Aset kurang dari 1 trilyun). Dalam penelitiannya digunakan BOPO, NPL, NIM, dan CAR dengan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa NPL, NIM, dan BOPO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ROA, sedangkan variabel CAR mempunyai pengaruh tidak signifikan terhadap ROA. 3. Mahardian (2008) melakukan penelitian tentang “Analisis Pengaruh CAR, BOPO, NPL, dan LDR terhadap ROA (Studi Kasus Pada Bank Umum di Indonesia Periode Juni 2002-Juni 2007)”. Data yang digunakan adalah data laporan keuangan publikasi triwulanan perusahaan perbankan yang tercatat di BEI periode Juni 2002-Juni 2007. Populasi sebanyak 25 bank 41 kemudian sampel dipilih secara purposive sampling sebanyak 24 bank. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa CAR, dan LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Sedangkan BOPO berpengaruh signifikan negatif dan NPL berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROA. 4. Tri Widyastuti (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh CAR, NIM,dan LDR terhadap ROA pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 2004-2008. Metodologi dalam penelitian ini adalah deskriftif kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio kinerja keuangan pada perbankan korporasi yaitu NIM CAR memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Sementara LDR memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA dalam bisnis perbankan. Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu di atas, maka dapat dijadikan ringkasan penelitian terdahulu yang dapat dilihat pada tabel 2.3 di bawah ini : 42 Tabel 2.4 Ringkasan Penelitian Terdahulu No. Peneliti Judul Variabel Peneliti Model Analisis 1. Suyono (2005) Analisis RasioRasio Bank yang Berpengaruh Terhadap Return On Asset (ROA) (Studi Empiris pada Bank Umum di Indonesia Periode 20012003) CAR, BOPO, NIM, NPL, LDR, dan ROA Regresi linier berganda 2 Mawardi (2005) Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Bank Umum di Indonesia (Studi Kasus pada BankUmum denganTotal Aset kurang dari 1 trilyun) BOPO, NPL, NIM, CAR, dan ROA Regresi linier berganda Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan CAR, BOPO, dan LDR berpengaruh signifikan positif terhadap laba. Sedangkan NIM dan NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap ROA Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio NPL dan rasio BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja keuangan, NIM berpengaruh positif, dan CAR tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan 43 No. 3. Peneliti Variabel Peneliti CAR,NIM, LDR, BOPO, NPL dan ROA Model Analisis Mahardian (2008) Analisis Pengaruh CAR, BOPO, NPL, NIM, dan LDR terhadap ROA (Studi Kasus Pada Bank Umum di Indonesia Periode Juni 2002-Juni 2007) Tri Widyastuti (2010) Pengaruh CAR, CAR, Regresi NIM,dan LDR NIM, LDR linier terhadap ROA dan ROA berganda pada Perusahaan Perbankan . 4 Judul Regresi linier berganda Kesimpulan \ Hasil penelitian menunjukkan bahwa CAR, NIM dan LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Sedangkan variable BOPO berpengaruh signifikan NPL berpengaruh negative terhadap ROA. NIM dan CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA., sementara LDR memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap ROA. Sumber : Dari berbagai Jurnal 2.6 Kerangka Pemikiran 2.6.1 Pengaruh CAR terhadap ROA Capital Adequacy Ratio (CAR) disebut sebagai rasio kecukupan modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan untuk menutup risiko kerugian yang timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang mengandung risiko serta 44 membiayai seluruh benda tetap dan inventaris bank. Seluruh bank yang ada di Indonesia diwajibkan untuk menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR. Semakin besar Capital Adequacy Ratio (CAR) maka keuntungan bank juga semakin besar. Dengan kata lain, semakin kecil risiko suatu bank maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank (Kuncoro dan Suhardjono,2006:241). Dengan kata lain, CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan. CAR menunjukkan sejauhmana penurunan asset bank yang masih dapat ditutup oleh equity bank yang tersedia, semakin tinggi CAR maka semakin baik kondisi bank (Tarmizi, 2003) Hal tersebut di jelaskan juga bahwa CAR merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian-kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko dengan kecukupan modal yang dimilikinya (Dendawijaya,2009:120). Maka rasio kecukupan modal yang sering disebut dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) mencerminkan kemampuan bank untuk menutup risiko kerugian dari aktivitas yang dilakukannya dan kemampuan bank dalam mendanai kegiatan operasionalnya (Idroes, 2008:69). Oleh sebab itu modal merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pengembangan usaha bisnis dan menampung resiko kerugian, semakin tinggi CAR maka semakin kuat kemampuan bank tersebut utnuk menanggung resiko dari setiap kredit/aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi (sesuai ketentuan BI 8%) berarti bank tersebut 45 mampu membiayai operasi bank, keadaan yang menguntungkan bank tersebut akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas (Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono , 2006: 573) 2.6.2 Pengaruh NPL terhadap ROA Non Performing Loan (NPL) merupakan saha satu rasio keuangan yang mencerminkan risiko kredit. NPL didefinisikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan atau sering disebut kredit macet pada bank (Riyadi, 2006:161). Besarnya NPL yang diperbolehkan Bank Indonesia saat ini adalah maksimal 5%. Semakin tinggi tingkat NPL menunjukkan bahwa bank tidak professional dalam pengelolaan kreditnya sehingga bank mengalami kredit macet yang akhirnya akan berdampak pada kerugian bank (Rahim dan Irpa, 2008). Jika kredit bermasalah lebih besar dibandingkan dengan aktiva produktifnya maka hal itu dapat mengakibatkan kecilnya kesempatan untuk memperoleh pendapatan dari kredit yang diberikan , sehingga mengurangi laba dan berpengaruh negative pada profitabilitas, Limpaphayom dan Polwitoon (2004). Selain itu NPL yang tinggi akan memperbesar baiaya, baik biaya pencadangan aktiva produktif maupun biaya lain, sehingga berpotensi untuk menimbulkan kerugian pada bank atau dengan kata lain NPL menurunkan profitabilitas bank , Wisnu M (2004). 46 2.6.3 Pengaruh LDR terhadap ROA LDR menunjukkan tingkat kemampuan bank dalam menyalurkan dana pihak ketiga yang dihimpun bank. Batas aman LDR suatu bank secara umum adalah sekitar 78-100 % (Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/PBI/2010). Besar kecilnya rasio LDR suatu bank akan mempengaruhi profitabilitas bank tersebut.Semakin besar jumlah dana yang disalurkan kepada nasabah dalam bentuk kredit maka jumlah dana yang menganggur berkurang dan penghasilan bunga yang diperoleh akan meningkat. Hal ini tentunya akan meningkatkan LDR sehingga profitabilitas bank juga meningkat (Setiadi, 2010). Semakin tinggi LDR menunjukan semakin riskan kondisi likuiditas bank, sebaliknya semakin rendah LDR menunjukan kurangnya efektifitas bank dalam pembayaran kredit sehingga berpengaruh terhadap profitabilitas bank. Sulistiyono (2005). Maka dari itu LDR menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio tersebut memberikan indikasi semakin tinggi juga kemampuan profitabilitas bank yang bersangkutan, Dendawijaya (2009:47). 2.6.4 Pengaruh BOPO terhadap ROA BOPO merupakan rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional (Dendawijaya, 2006) BOPO digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan 47 operasional. Rasio BOPO menunjukkan rasio efisiensi perusahaan, karena semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank (Almilia dan Herdiningtyas,2005). Dengan kata lain semakin rendahnya rasio BOPO menjadikan semakin efisiensi bank tersebut dalam mengendalikan biaya oprasionalnya, dengaan adanya efisiensi efisiensi biaya maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar (Dndawijaya,2009) Berdasrakan uraian di atas maka dibuat kerangka pemikiran yang ditunjukan pada gambar 2.1 sebagai berikut: 48 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Capital Adequacy Ratio (CAR) Dendawijaya (2006) Taswan(2010) Non Performing Loan (NPL) Riyadi (2006) Komang Darmawan (2004) Kuncoro & Suhardjono (2004) Tarmizi (2003) Dendawijaya (2003) Idroes (2008) Riyadi (2006) Rahim & Irpa (2008) Limpophayan & Polwitoon (2004) Wisnu M (2004) Return On Assets (ROA) Hanafi (2007) Husnan dan Pudjiastuti(2006) Loan to Deposit Ratio (LDR) Setiadi (2010) Dendawijaya (2006) Kasmir (2008) Mulyono (1995) Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) Riyadi (2006) Dendawijaya (2003) Sulistyono (2005) Dendawijaya (2006) Dendawijaya (2006) Almilia & Herdiningtyas (2005) 49 2.7 Hipotesis Sugiono (2013) mengemukakan bahwa : “Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam kalimat pernyataan”. Berdasarkan kerangka pemikiran, dihasilkan hipotesis sebagai berikut : H1 : Capital Adequency Ratio (CAR) berpengaruh terhadap Return On Assets (ROA) H2 : Not Performing Loan (NPL) berpengaruh terhadap Return On Assets (ROA) H3 : Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh terhadap Return On Assets (ROA) H4 : Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh terhadap Return On Assets (ROA) H5 : Capital Adequency Ratio (CAR), Not Performing Loan (NPL), Loan to Deposit Ratio (LDR) dan Biaya Operasional Pendapatan Oprasional (BOPO) berpengaruh terhadap Return On Assets (ROA).