BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Serviks a. Definisi Serviks merupakan bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina. Kanker serviks berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis sebesar 90% dan 10% dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal menuju ke dalam rahim (Sultana dan Sultana, 2013). Penampang anterior Jaringan kanker Serviks Dinding vagina Penampang serviks menggunakan spekulum dengan posisi pasien litotomi Gambar 2.1. Penampang Kanker Serviks (Boardman, 2012) 6 7 Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya kanker serviks. Faktor risiko terbesar kejadian kanker serviks disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18 (Sibernagl dan Lang, 2007 ; Kumar et al., 2007 ; Clarissa, 2009 ; Boardman, 2012 ). b. Epidemiologi Berdasarkan data WHO 2003 menyebutkan, 500.000 wanita di dunia setiap tahun didiagnosis menderita kanker serviks dan hampir 60% diantaranya meninggal dunia. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks tertinggi di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus dan 8000 di antaranya berakhir dengan kematian (Yip, 2013). Kompas (2007) dalam Kanayasan (2010), kanker serviks menempati peringkat pertama kanker pada perempuan di Indonesia. Kanker serviks cenderung menyerang kelompok usia 33-55 tahun, tetapi juga dapat diderita pada wanita dengan usia yang lebih muda (Eros, 2010). Pasien kanker serviks yang terdiagnosis dan diobati pada stadium I memiliki angka harapan hidup lima tahun sebesar 70-75%, 60% pada stadium 2, 25 % pada stadium 3, dan pada stadium 4 penderita sulit diharapkan bertahan hidup (DeSantis et al., 2013). 8 c. Etiologi Etiologi kanker serviks bersifat multifaktorial. Penyebab risiko terjadinya kanker serviks, antara lain: 1) Hubungan seksual pada usia muda merupakan faktor risiko utama; 2) Berganti-ganti pasangan seks meningkatkan penularan penyakit kelamin.; 3) Perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks diban-dingkan dengan wanita bukan perokok (Faber et al., 2013); 4) Defisiensi vitamin A, C, E meningkatkan risiko displasia ringan & sedang (Dugue et al., 2013); 5) Konsumsi KB dalam jangka panjang dan konsumsi obat saat kehamilan; 6) Sering menderita infeksi di daerah kelamin, trauma kronis pada serviks, dan melahirkan banyak anak; 7) Paparan zat kimia, paparan radiasi, dan zat karsinogenik; 8) Penurunan sistem imun (Markman, 2013). 9 Selain itu, kanker serviks dipengaruhi oleh faktor risiko, misalnya usia, genetik, defisiensi zat gizi, perilaku seksual dan merokok (Faber et al., 2013). Studi epidemiologi menunjukan bahwa penyebab terbanyak kanker serviks adalah infeksi virus herpes simpleks (HSV) tipe II dan virus papilloma manusia (HPV) (Ciszek et al., 2012). Namun, human papilloma virus (HPV) adalah 99,7% penyebab kanker serviks (Chen et al., 2013). HPV adalah virus famili Papovaviridae. Papillomavirus merupakan virus berukuran kecil berdiameter 45-55 nm, memiliki genom sirkular double stranded DNA dengan kapsid icosahedral dan tidak berenvelop. Virus ini mempunyai tropisme pada sel epitel kulit dan membran mukosa (Ciszek et al., 2013). HPV memiliki lebih dari 100 tipe, sebagian besarnya tidak berbahaya dan hilang sendiri (Chen et al., 2013). Sebanyak 40 tipe HPV ditularkan melalui hubungan seksual dan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu HPV penyebab kanker dan HPV resiko rendah (Lorincz et al., 2013). Terdapat 15 tipe HPV yang menyebabkan kanker serviks, yaitu: tipe 16, 18, 45, dan 31. Empat tipe HPV tersebut merupakan penyebab lebih dari 80% kasus kanker serviks di dunia dan Asia Pasifik 10 (Yip, 2013). Terlebih lagi, HPV tipe 16 dan 18 adalah agen yang berakibat paling fatal pada penderita kanker serviks (Lorincz et al., 2013; DeSantis et al., 2013). Genom HPV terdiri atas bagian late (L), early (E), dan bagian non koding (NC). Bagian L terbagi menjadi dua bagian, yaitu 95% L1 mayor (mengkode protein kapsid mayor) dan 5% L2 minor (mengkode protein kapsid minor). Bagian E merupakan 45% dari genom, terdiri atas E1-E8 (Scholl et al., 2013; Rini, 2009; Adelberg et al., 2008). Gambar 2.2. Organisasi genom HPV tipe 16 dan 18 (Kurg, 2011) HPV menyebabkan produksi 2 protein yang dikenal sebagai onkoprotein E6 dan E7 yang mematikan beberapa gen supresor tumor dan memiliki potensi menimbulkan keganasan pada jaringan 11 kanker (Tzenov et al., 2013). E6 berperan sebagai onkogen, menstimulasi pertumbuhan dan transformasi sel hospes dengan menghambat p53, protein onkosupresor. Onkoprotein E6 akan berikatan dengan p53, yang mengakibatkan TSG (tumor supressor gene) p53 kehilangan fungsinya (Androphy, 2013). E7 berperan sebagai onkogen, menginduksi proliferasi sel dengan menghambat protein pRb, p107 dan p130 (Rusmana, 2009 ; Ciszek et al., 2013 ; Tzenov et al., 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses onkogenesis HPV adalah faktor virus, antara lain tipe virus (kemampuan integrasi, kemampuan ekspresi onkogen, dan lain-lain) faktor hospes (respons imun humoral dan seluler, multiparitas, faktor genetik seperti HLA, p53) dan faktor lingkungan (merokok, kontrasepsi hormonal, penyakit hubungan seksual misal virus Herpes, dan faktor nutrisi) (Damania et al., 2013 ; Broccolo et al., 2013). d. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien kanker serviks umumnya hanya dirasakan oleh pasien kanker stadium lanjut. Pasien kanker serviks stadium lanjut terdapat manifestasi klinis, seperti: rasa sakit dan contact bleeding, keputihan 12 berlebihan dan tidak normal (pucat, berair, merah muda, coklat, berdarah, atau berbau busuk), perdarahan di luar menstruasi, penurunan berat badan drastis, nyeri punggung (bila sudah menyebar ke panggul), hambatan berkemih, dan pembesaran ginjal (Eros, 2010 ; Jin et al., 2013 ; Machii and Saika, 2013). Metastasis jauh kanker serviks secara hematogen dan limfogen terutama menuju paru-paru, kelenjar getah bening mediastinum dan supraklavikula, tulang dan hati. Metastasis menuju paru-paru menimbulkan gejala batuk, batuk darah, dan kadang terdapat nyeri dada. Metastasis kanker ini dapat pula disertai pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula terutama sebelah kiri. Selain itu, penderita juga mengeluh nyeri punggung, nyeri tulang atau patah tulang, kelelahan, kebocoran urin atau feses menuju vagina, kaki sakit, kehilangan nafsu makan, nyeri panggul, dan kaki bengkak (Machii and Saika, 2013). Perubahan prekanker pada serviks dan kanker serviks tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis kanker serviks. Skrining terjadinya kanker serviks dapat dilakukan dengan pemeriksaan pap smear. Pap-smear adalah metode pemeriksaan standar untuk mendeteksi kanker serviks. 13 Jika terdapat perubahan abnormal pada serviks maka diperiksa di bawah pembesaran dengan prosedur kolposkopi dan biopsi jaringan. Selain itu, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk mengetahui metastasis kanker dengan pemeriksaan: X-ray dada, CT scan panggul, cystoscopy, pyelogram intravena (IVP), dan MRI panggul (Kinde et al., 2013; Abdullah dan Su, 2013). e. Stadium Tingkat keganasan klinik kanker serviks menurut klasifikasi Federation of Gynecologists and Obstetricians (FIGO) tahun 2000 dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan ukuran tumor, kedalaman penetrasi, dan penyebaran kanker di dalam maupun luar serviks (Muttaqin, 2010). 14 Tabel 2.1. Stadium Kanker Serviks (Muttaqin, 2010) Stadium Gambaran 0 Karsinoma insitu (preinvasive carcinoma) 1 Karsinoma terbatas pada serviks 1A Karsinoma hanya bisa didiagnosis secara mikroskopis 1A1 Invasi stroma dalamnya 3 mm dan lebarnya < 7 mm 1A2 Invasi stroma dalamnya 3-5 mm dan lebarnya > 7 mm 1B Secara klinis tumor dapat diidentifikasi pada serviks atau massa tumor lebih besar dari 1A2. 1B1 Secara klinis lesi ukuran < 4 cm 1B2 Secara klinis lesi ukuran > 4 cm II Tumor telah menginvasi uterus tapi tidak mencapai 1/3 distal vagina atau dinding panggul IIA Tanpa invasi ke parametrium IIB Dengan invasi ke parametrium III Tumor menginvasi sampai dinding pelvis dan atau menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina, dan atau menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal IIIA Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina IIIB Tumor sudah menginfiltrasi dinding panggul IVA Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau rektum dan atau menginvasi keluar dari true pelvis IVB Metastasis jauh 15 f. Penatalaksanaan Sampai sekarang kanker serviks belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Tujuan dari pengobatan kanker serviks adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Terapi standar penyakit kanker serviks meliputi: 1) Kemoterapi Penggunaan obat-obatan untuk membunuh sel-sel kanker, diberikan melalui infus ke pembuluh darah atau melalui mulut. Kadang-kadang beberapa obat diberikan dalam satu waktu (Mohamed et al., 2013). 2) Pembedahan/ operasi Operasi pembedahan untuk kanker serviks dapat dilakukan dengan empat cara, di antaranya cryosurgery, bedah laser, konisasi, dan histerektomi (histerektomi 16 sederhana dan histerektomi radikal dan diseksi kelenjar getah bening panggul) (Castro et al., 2013). 3) Radioterapi Pengobatan dengan sinar berenergi tinggi (seperti sinarX) untuk membunuh sel-sel kanker atau menyusutkan tumor (Mohamed et al., 2013). Sebelum radioterapi, biasanya diadakan pemeriksaan darah untuk cek anemia yang umum terjadi akibat perdarahan. Untuk itu, transfusi darah kadang diperlukan sebelum radioterapi dijalankan (Castro et al., 2013). Stadium pra kanker hingga 1A biasanya diobati dengan histerektomi. Untuk stadium IB dan IIA, bila ukuran tumor < 4 cm: radikal histerektomi ataupun radioterapi dengan/tanpa kemoterapi, bila ukuran tumor > 4 cm: radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin/ doxorubicin, histerektomi, ataupun kemoterapi berbasis cisplatin dilanjutkan histerektomi. Pada stadium lanjut (IIB-IVA), diobati dengan radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin (Mohamed et al., 2013). Pada stadium sangat lanjut (IVB), dapat dipertimbangkan kemoterapi dengan kombinasi obat, misal hycamtin, doxorubicin, dan cisplatin (Jensen et al., 2013). Jika 17 kesembuhan tidak dimungkinkan, tujuan pengobatan adalah mengangkat atau menghancurkan sebanyak mungkin sel-sel kanker serviks. Kadang-kadang pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala-gejala (paliatif) (Corcoran et al., 2012). 2. Doxorubicin Doxorubicin merupakan obat antibiotik golongan antrasiklin yang banyak digunakan untuk terapi berbagai jenis kanker termasuk kanker serviks (Childs et al., 2002). a. Farmakodinamik Doxorubicin dapat menyebabkan kardiotoksisitas pada penggunaan jangka panjang (dosis melebihi 550 mg/m2), sehingga penggunaanya secara klinis menjadi terbatas. Mekanisme aksi sitotoksik doxorubicin melalui penghambatan topoisomerase II, interkalasi DNA sehingga terjadi penghambatan sintesis DNA dan RNA, pengikatan membran sel, dan pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal bebas oksigen melalui proses reduktif yang diperantarai enzim (Bruton et al., 2005) Ekstravasasi akibat doxorubicin akan menyebabkan nekrosis dan selulitis. 18 b. Farmakokinetik 1) Absorbsi Doxorubicin yang diberikan peroral hanya dapat dibsorbsi sedikit (<50%) karena obat dirusak oleh saluran cerna. Doxorubicin harus diberikan secara intravena untuk mendapatkan efek teraupetik optimal. 2) Distribusi Volume distribusi doxorubicin adalah 25 L/kg pada banyak jaringan, terutama di hepar, limfa, ren, paru-paru, cor, tidak didistribusikan ke SSP, dan dapat melewati plasenta. Doxorubicin terikat pada protein plasma dan jaringan. Doxorubicin terikat pada protein plasma sebesar 70% sehingga memiliki efek obat yang adekuat. 3) Metabolisme Metabolisme doxorubicin terutama di hepar dengan doksorubisinol (aktif), kemudian menjadi inaktif; aglikon, sulfat terkonjugasi, dan glukuronidase. Waktu paruh (T ½) doxorubicin tahap mula 12 menit, pertengahan 3,5 jam, dan tahap akhir 30 jam. Waktu eliminasi doxorubicin adalah 1 – 3 jam dan 3 – 3.5 jam untuk metabolitnya. 19 4) Eksresi Doxorubicin diekskresi melalui feses (40%-50% sebagai bentuk obat yang tidak berubah) dan urin (3%-10% sebagai metabolit, 1% doksorubisinol, <1% adriamisin aglikon, dan obat yang tidak berubah). Nilai clearence pada laki-laki: 113 L/jam dan wanita: 44 L/jam (Chu dan Sartorelli, 2004; Gunawan et al., 2007). c. Posologi Doxorubicin tersedia dalam bubuk sebanyak 10, 20, dan 50 mg, dan diberikan bersama infus garam fisiologis atau dextrosa 5% untuk mencegah ekstravasasi. Larutan yang disuntikkan harus diencerkan dengan NaCl menjadi larutan 2 mg/ml. Larutan ini stabil selama 24 jam dalam suhu ruang dan 48 jam dalam lemari es (Chu dan Sartorelli, 2004). 3. Daun Kemuning (Murraya paniculata) a. Karakteristik Kemuning (Murraya paniculata) adalah tumbuhan yang memiliki nama sinonim Murraya exotica L.; Murraya banati Elm; Chalas paniculata. Murraya paniculata merupakan tumbuhan ordo sapindales dari keluarga rustacea (Lapcík et al., 2004). Murraya 20 paniculata merupakan tumbuhan tropis yang dapat mencapai tinggi 8 sampai dengan 12 meter dan berbunga sepanjang tahun. Murraya paniculata adalah tanaman berhabitus pohon kecil (perdu), memiliki variasi morfologi yang sangat besar. Spesies ini tumbuh liar di semak-semak, tepi hutan atau ditanam sebagai tanaman hias dengan ketinggian 400 mdpl (Taha and Haron, 2008). Murraya paniculata memiliki daun seperti daun jeruk (majemuk menyirip, berukuran lebih kecil, sering digunakan sebagai tumbuhan hias atau tumbuhan pagar) yang tidak ada perubahan warna musim gugur. Murraya paniculata memiliki bunga harum yang terletak panjang di terminal dan berwarna putih. Murraya paniculata memilki buah berbentuk oval dan berwarna merah sampai orange jika sudah matang, Tanaman kemuning memiliki tekstur halus, ukuran semak sedang, tegak, menyebar kompak dan padat, dan memiliki mahkota daun hijau mengkilap. Kemuning memiliki cabang tidak berduri dan memilki batang (Titseesang et al., 2008). Kemuning merupakan tanaman yang tumbuh di tempat teduh dengan dengan jenis tanah: basa, asam, liat, dan pasir. Kemuning dapat tumbuh dengan baik bila ditanam dengan jarak 36 sampai 60 21 inchi. Kemuning merupakan tanaman resistensi hama (tidak terpengaruh oleh hama). Daun kemuning tumbuh di pengairan yang baik, bebas nematoda, tanah dengan kelembaban moderat, dan ditempat yang teduh. Pembibitan kemuning dapat dilakukan di jalanjalan bawah saluran listrik, dekat teras, atau ditempat tropis lainnya. Perbanyakan kemuning mudah dilakukan dengan biji dan lebih sulit dengan stek (Saied et al., 2008). Gambar 2.3. Murraya paniculata (Rahman et al., 2010) b. Kandungan Secara tradisional masyarakat Filipina dan Indonesia menggunakan daun kemuning untuk obat diare dan disentri (Choudhary et al., 2002). Masyarakat Minangkabau secara tradisional menggunakan akar kemuning untuk tangkai pisau atau 22 ladiang (golok). Urat kemuning ini warnanya bagus dan liat, sehingga tidak mudah pecah jika digunakan. Kayu kemuning juga bisa digunakan untuk sempoa, tangkai kuas, dan tongkat (Zhang et al., 2012). Penyakit yang dapat diobati dengan ramuan bahan dasar Murraya paniculata anatara lain : orchitis, bronchitis, infeksi saluran kemih, gonorhae, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak tubuh berlebihan, pelangsing tubuh, ulkus, kuli kasar, memar akibat benturan, rematik, digigit serangga dan ular berbisa, ekzema, bisul, koreng, epidemik encephalitis B, dan luka terbuka di kulit (Soehardi, 2011). Daun Murraya paniculata dapat digunakan sebagai obat menurunkan kadar kolesterol dalam darah dengan kandungan kimia alkaloid, flavonoid, steroid, dan tanin (Choudhary et al., 2002). Murraya paniculata memiliki senyawa dari golongan coumarin yaitu murrmeranzin, pranferin, isopropylidene murrangatin, murrangatin, minumicrolin, murralonginal, murpanicin, meranzin hydrate, hainanmurpanin, dan lainnya (Negi et al., 2005 ; Saied et al., 2008; Saeed et al., 2011). 23 Coumarin adalah zat alami yang telah menunjukkan aktivitas anti-tumor in vivo, dengan efek metabolitnya (misalnya 7hydroxycoumarin) (Zhang et al., 2013). Coumarin dan flavonoid sekelompok senyawa anggota dari kelompok benzopyrones (Charles et al., 2013; Rashid et al., 2013). Senyawa benzopyrones ditemukan dalam sayuran, buah, biji, kacang-kacangan, kopi, teh, dan anggur (Heo et al;., 2013; Guasch et al., 2013). Diet paparan benzopyrones cukup signifikan sebagai aktivitas anti-tumor (Saeed et al., 2011; Zhang et al., 2012). Diperkirakan diet orang Barat rata-rata mengandung sekitar 1gram/hari dari benzopyrones (Trazzi et al., 2012; Vijaykumar et al., 2012; Gautam et al., 2012). Sebuah hydroxycoumarin studi terbaru menghambat menunjukkan pelepasan D1 bahwa cyclin, 7yang diekspresikan oleh banyak jenis kanker (Walter et al., 2012; Gautam et al., 2012; Saeed et al., 2011). Oleh karena itu, coumarin dapat digunakan sebagai terapi kanker. Selain itu, kandungan daun kemuning adalah zat flavonoid. Flavonoid adalah salah satu senyawa antioksidan yang bisa menghambat proses penuaan dan mencegah berkembangnya sel kanker. Selain itu, flavonoid juga berfungsi: 24 1) Melindungi struktur sel dalam tubuh; 2) Meningkatkan penyerapan dan penggunaan vitamin C dalam tubuh; 3) Sebagai obat anti inflamasi; 4) Mencegah pengeroposan tulang; 5) Sebagai antibiotic; 6) Sebagai antivirus, bahkan fungsinya sebagai antivirus HIV/AIDS telah banyak diketahui dan dipublikasikan; 7) Mengahambat pertumbuhan kolesterol jahat LDL dalam darah; 8) Mencegah terjadinya atherosklerosis, suatu keadaan di mana dinding arteri menjadi lebih tebal; 9) Membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh; 10) Sebagai pencegah terjadinya beberapa macam penyakit; 11) Mengobati beberapa macam penyakit (Walter et al., 2012; Gautam et al., 2012). Sedangkan, alkaloid adalah sekelompok senyawa basa nitrogen yang ditemukan dalam tanaman, biasanya tidak larut dalam air dan fisiologis aktif. Senyawa alkaloid yang berfungsi sebagai antikanker adalah vinkristin dan vinblastine (Heo et al., 2013). 25 4. Kultur Sel Hela a. Definisi Kultur Sel Kultur sel adalah metode mengkultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel (Pacifico et al., 2012). Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Karim, 2012; Darshan et al., 2012). Monolayer tersebut dapat diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase (Gulcelik et al., 2012). Apabila dipasase terus menerus maka dihasilkan sel lestari (cell line) (Guo et al., 2012). Sel lestari memiliki beberapa sifat yaitu: 1) Terjadi peningkatan jumlah sel; 2) Sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi; 3) Sel-sel tersebut seragam; 4) Biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan fenotipe atau transformasi (Uthaisang et al., 2013). 26 b. Kultur Sel Kanker Serviks Hela cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks) manusia. Hela cell line tumbuh sebagai sel yang semi melekat. Hela cell line dapat digunakan untuk tes antitumor, transformasi, uji tumorigenesis, biologi sel dan invasi bakteri. Sel ini secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat agresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini mudah menginvasi kultur sel lain (Doyle dan Griffiths, 2000 ; Tonguc et al., 2013). Gambar 2.4. Hela cell line (George, 2010) 27 c. Metode Kultur Sel Hela Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan tidak hilangnya kemampuan metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, meningkatnya jumlah protein atau DNA yang disintesis. Kemampuan sel untuk bertahan hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker (Cenik et al., 2013). Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan dalam penelitian antiproliferatif adalah metode haemositometer dan MTT. 1) Perhitungan secara langsung (metode haemositometer) Haemositometer merupakan perangkat gelas bersama coverslip tipis, terbagi dalam sembilan area dengan empat area pojok sebagai area menghitung jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mm dengan kapasitas 10 μl cairan berisi sel dalam area 0,9 mm3. Beberapa hal perlu diperhatikan saat menghitung sel dengan haemositometer adalah sel harus tersuspensi rata dan jumlah sel yang minimum yang dihitung adalah seratus (Doyle dan Griffiths, 2000). Sel yang melekat perlu ditripsinasi untuk 28 mensuspensikan sel dalam larutan. Trypan blue biasa digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel hidup tidak terwarnai, bulat dan relatif kecil dibandingkan dengan sel mati. Sedangkan sel mati membengkak dan berwarna biru (Doyle dan Griffiths, 2000). 2) Perhitungan secara tidak langsung dengan metode XTT assay XTT adalah tetrazolium dye, (2,3)-bis-(2- methoxy-4-nitro-5-sulphenyl)-(2H)-tetrazolium-5 carboxanilide assay. X T T a s s a y dapat digunakan untuk mengukur proliferasi sel secara kolorimetri. Kit viabilitas sel yang digunakan adalah XTT cell viability assay kit. XTT assay menyediakan metode sederhana untuk penentuan jumlah sel hidup dengan menggunakan microplate absorbance readers standar. Penentuan jumlah sel hidup sering digunakan untuk standar menilai tingkat proliferasi sel dan untuk menyaring agen sitotoksik (Meshulam et al., 1995). Mirip dengan MTT, XTT mengukur viabilitas sel berdasarkan aktivitas enzim mitokondria pada sel-sel hidup 29 yang mengurangi XTT dan secara singkat tidak aktif setelah kematian sel. Berbeda dengan formazan tidak larut air yang dihasilkan dari MTT, XTT mudah dikurangi menjadi sangat larut dalam air membentuk produk berwarna orange, sehingga menghilangkan langkah solubilisasi yang diperlukan untuk MTT assay. Jumlah produk larut dalam air yang dihasilkan dari XTT sebanding dengan jumlah sel-sel hidup dalam sampel dan dapat diukur dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang 475 nm (Weislow et al., 1989; Roehm et al., 1991). Warna orange dapat dibaca absorbansinya secara spektrofotometri dengan ELISA reader pada panjang gelombang maximumnya 450-500 nm. Absorbansi tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat intensitas warna orange yang terbentuk maka absorbansi akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak XTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria sehingga warna orange 30 yang terbentuk juga semakin banyak. Absorbansi ini yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel hidup sebagai respon (Roehm et al., 1991; Meshulam et al., 1995). 5. Uji Antiproliferasi Sel a. Proliferasi Sel Siklus sel terdiri dari dua pokok penting yaitu mitosis dan interphase. Mitosis merupakan proses dimana sel induk membelah menjadi 2 sel anakan sedangkan interphase merupakan fase dimana terjadi 3 tahapan yaitu presynthetic growth phase 1 (G1), DNA synthesis phase (S), dan premitotic growth phase 2 (G2). Jika sel tidak membelah maka dia akan keluar dari siklus sel dan masuk ke fase G0. Sel mempunyai mekanisme untuk mempertahankan integritasnya dengan tidak mengizinkan sel yang jelek atau rusak memasuki fase mitosis, mekanisme ini disebut checkpoint control. 31 Dengan mekanisme ini sel yang jelek atau rusak tersebut akan di perbaiki dahulu sebelum diizinkan melanjutkan proses siklus sel atau dihancurkan melalui mekanisme apoptosis. Progresi siklus Gambar 2.5. Ilustrasi skematik peran dari cylin, CDK dan CDK inhibitor pada regulasi siklus sel (Kumar et al.,protein 2007) bernama cyclin, sel mulai dari fase G1 akan diatur oleh cyclin ini akan berikatan dengan enzim CDK. Enzim CDK berfungsi untuk memacu replikasi DNA dan proses mitosis (Kumar et al., 2007). Kompleks CDK-cyclin mempunyai tanggung jawab dalam berbagai kejadian selama interfase. Sinyal mitogenik pertama kali muncul karena ekspresi dari cyclin D (D1, D2 dan D3) yang akan mengaktifkan CDK4 dan CDK6 selama G1. Aktivasi dari kompleks ini memicu inaktivasi parsial dari pocket protein RB, RBL1 (p107) dan RBL2 (p130), untuk memicu ekspresi cyclin E (E1 dan E2), yang mana akan berikatan dan mengaktifkan CDK2. Kompleks CDK2-cyclin E selanjutnya akan mem-fosforilasi pocket protein untuk melengkapi inaktivasinya. 32 Kemampuan dari cyclin E selama siklus sel adalah mengatur dan membatasi tahap awal sintesis DNA. Cyclin E akan berikatan dengan CDK 2 dan membentuk kompleks CDK2-cyclin E yang Gambar 2.6. Defek utama yang terdapat pada kanker (Malumbres et al., 2009) menyebabkan transisi dari fase G1 ke S. setelah itu CDK2 diaktifkan oleh cyclin A selama tahap akhir dari replikasi DNA untuk menyebabkan transisi dari fase S ke G2. Akhirnya CDK 1 diaktifkan oleh cyclin A pada akhir interfase untuk memfasilitasi permulaan dari mitosis. Seiring dengan rusaknya pembungkus inti, cyclin A mengalami degenerasi, memperantarai pembentukan dari kompleks CDK 1-cyclin B yang bertanggung jawab untuk memacu sel selama mitosis (Malumbres et al., 2009; Kumar et al., 2007). Dalam kerjanya, CDK dapat dihambat oleh CDK Inhibitor, CDK Inhibitor bertanggung jawab dalam mengatur agar populasi stem sel tetap jumlahnya. CDKI ada dua kelompok yaitu protein INK4 (INK4A, INK4B, INK4C and INK4D) dan golongan Cip dan Kip (p21, p27 dan p57) (Malumbres et al., 2009). Pemicu dari perkembangan sel tumor dapat disebabkan antara lain: gangguan pada sinyal mitogenik, proliferasi yang tidak 33 terencana, ketidakstabilan genom dan kromosom, yang semuanya berasal dari gangguan pada regulasi aktivitas CDK. Mutasi dari CDK dan regulatornya dapat menyebabkan perkembangan kanker pada manusia. Deregulasi aktifitas CDK4 dan CDK6 terlibat dalam perkembangan beberapa macam tumor. Misregulasi cyclin D dan inhibitor INK4 sering terjadi pada sebagian besar tipe tumor. CDK2 pada kanker manusia tidak didapati adanya mutasi. Tetapi, cyclin E sering mengalami overekspresi pada tumor, dan overekspresi dari inhibitor p21 dan p27 sering mengalami pembungkaman selama perkembangan tumor (Malumbres et al., 2009). Sedangkan overekspresi dari cyclin D sering memicu transformasi neoplastik terjadi pada beberapa kanker seperti kanker serviks, payudara, esophagus, dan liver (Fu et al., 2004; Kumar et al., 2007). b. Mekanisme Antiproliferasi Kandungan Zat pada Murraya paniculata terhadap Kanker Serviks Pada sebagian kanker termasuk kanker serviks, cyclin D memegang peran penting dalam proliferasi sel kanker. Overekspresi dari cyclin D mempengaruhi dari aktivitas reseptor growth factor, ras dan efektornya. Peningkatan ekspresi ini memicu sel diam (tidak membelah) untuk memasuki siklus sel (Yang et al., 2006). Selain itu 34 overekspresi dari cyclin E dan silencing CDK inhibitor p21 dan p27 menyebabkan proliferasi sel lebih cepat dari normal (Malumbres et al., 2009). Coumarin yang telah diketahui dapat menekan ekspresi dari cyclin D, terutama cyclin D1. Sedangkan cyclin D2 dan D3 hanya mempunyai efek pada beberapa cell line kanker saja (Mukhopadhyay et al., 2002). Mekanisme dari penghambatan ekspresi dari cyclin D adalah melalui supresi NF-kB, yang mana NFkB mempunyai fungsi meregulasi cyclin D (Aggarwal et al., 2006). Selain itu pada penelitian Aggarwal et al.,2006 didapatkan kemuning isolat dapat menghambat regulasi dari cylin E pada berbagai macam cell line manusia. Pada penelitian ini juga disebutkan bahwa kemuning dapat meningkatkan presentase jumlah sel pada fase G1 dan menurunkan presentase sel pada fase S dalam waktu 36 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwa isolate ekstrak daun kemuning juga dapat menahan siklus sel pada fase G1 pada sel kanker. Isolat ekstrak daun kemuning juga dapat meningkatkan ekspresi CDK inhibitor yaitu p21 dan p27 serta mamicu ekspresi dari p53, dimana jika p53 terjadi penurunan ekspresi (absence) maka p21 35 juga terjadi penurunan ekspresi. Isolat esktrak daun kemuning juga dapat menghambat fosforilasi protein Rb, level dari protein Rb akan berkurang sesuai level dari cyclin E (Mukhopadhyay et al., 2002; Aggarwal et al., 2006; Malumbres et al., 2009). Sesuai dengan penelitian Saeed et al., 2011 kemuning isolat dengan konsentrasi 50µM selama 30 menit dapat menghambat fosfrilasi dari protein Rb yang mana berarti ekstrak daun kemuning juga dapat menghambat dari aktivitas CDK4. 36 B. Kerangka Pemikiran Gambar 2.7. Skema Rancangan Penelitian 37 C. Hipotesis Ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) mempunyai efek antiproliferasi terhadap kultur sel Hela secara in vitro.