6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Serviks a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kanker Serviks
a. Definisi
Serviks merupakan bagian terendah dari rahim yang
menempel pada puncak vagina. Kanker serviks berasal dari
metaplasia epitel di daerah squamocolumner junction yaitu daerah
peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis sebesar 90%
dan 10% dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal
menuju ke dalam rahim (Sultana dan Sultana, 2013).
Penampang anterior
Jaringan
kanker
Serviks
Dinding
vagina
Penampang serviks
menggunakan
spekulum dengan
posisi pasien litotomi
Gambar 2.1. Penampang Kanker Serviks (Boardman, 2012)
6
7
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya kanker serviks.
Faktor risiko terbesar kejadian kanker serviks disebabkan oleh
infeksi Human Papiloma Virus (HPV) terutama tipe 16 dan 18
(Sibernagl dan Lang, 2007 ; Kumar et al., 2007 ; Clarissa, 2009 ;
Boardman, 2012 ).
b. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO 2003 menyebutkan, 500.000 wanita
di dunia setiap tahun didiagnosis menderita kanker serviks dan
hampir 60% diantaranya meninggal dunia. Menurut WHO, Indonesia
merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks tertinggi
di dunia. Di Indonesia, setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000
kasus dan 8000 di antaranya berakhir dengan kematian (Yip, 2013).
Kompas (2007) dalam Kanayasan (2010), kanker serviks menempati
peringkat pertama kanker pada perempuan di Indonesia. Kanker
serviks cenderung menyerang kelompok usia 33-55 tahun, tetapi
juga dapat diderita pada wanita dengan usia yang lebih muda (Eros,
2010). Pasien kanker serviks yang terdiagnosis dan diobati pada
stadium I memiliki angka harapan hidup lima tahun sebesar 70-75%,
60% pada stadium 2, 25 % pada stadium 3, dan pada stadium 4
penderita sulit diharapkan bertahan hidup (DeSantis et al., 2013).
8
c. Etiologi
Etiologi kanker serviks bersifat multifaktorial. Penyebab
risiko terjadinya kanker serviks, antara lain:
1)
Hubungan seksual pada usia muda merupakan faktor risiko
utama;
2)
Berganti-ganti pasangan seks meningkatkan penularan
penyakit kelamin.;
3)
Perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker
serviks diban-dingkan dengan wanita bukan perokok (Faber
et al., 2013);
4)
Defisiensi vitamin A, C, E meningkatkan risiko displasia
ringan & sedang (Dugue et al., 2013);
5)
Konsumsi KB dalam jangka panjang dan konsumsi obat saat
kehamilan;
6)
Sering menderita infeksi di daerah kelamin, trauma kronis
pada serviks, dan melahirkan banyak anak;
7)
Paparan zat kimia, paparan radiasi, dan zat karsinogenik;
8)
Penurunan sistem imun (Markman, 2013).
9
Selain itu, kanker serviks dipengaruhi oleh faktor risiko,
misalnya usia, genetik, defisiensi zat gizi, perilaku seksual dan
merokok (Faber et al., 2013).
Studi epidemiologi menunjukan bahwa penyebab terbanyak
kanker serviks adalah infeksi virus herpes simpleks (HSV) tipe II
dan virus papilloma manusia (HPV) (Ciszek et al., 2012). Namun,
human papilloma virus (HPV) adalah 99,7% penyebab kanker
serviks (Chen et al., 2013).
HPV adalah virus famili Papovaviridae. Papillomavirus
merupakan virus berukuran kecil berdiameter 45-55 nm, memiliki
genom sirkular double stranded DNA dengan kapsid icosahedral dan
tidak berenvelop. Virus ini mempunyai tropisme pada sel epitel kulit
dan membran mukosa (Ciszek et al., 2013). HPV memiliki lebih dari
100 tipe, sebagian besarnya tidak berbahaya dan hilang sendiri
(Chen et al., 2013). Sebanyak 40 tipe HPV ditularkan melalui
hubungan seksual dan dibagi menjadi 2 golongan, yaitu HPV
penyebab kanker dan HPV resiko rendah (Lorincz et al., 2013).
Terdapat 15 tipe HPV yang menyebabkan kanker serviks, yaitu: tipe
16, 18, 45, dan 31. Empat tipe HPV tersebut merupakan penyebab
lebih dari 80% kasus kanker serviks di dunia dan Asia Pasifik
10
(Yip, 2013). Terlebih lagi, HPV tipe 16 dan 18 adalah agen yang
berakibat paling fatal pada penderita kanker serviks (Lorincz et al.,
2013; DeSantis et al., 2013).
Genom HPV terdiri atas bagian late (L), early (E), dan bagian
non koding (NC). Bagian L terbagi menjadi dua bagian, yaitu 95%
L1 mayor (mengkode protein kapsid mayor) dan 5% L2 minor
(mengkode protein kapsid minor). Bagian E merupakan 45% dari
genom, terdiri atas E1-E8 (Scholl et al., 2013; Rini, 2009; Adelberg
et al., 2008).
Gambar 2.2. Organisasi genom HPV tipe 16 dan 18 (Kurg, 2011)
HPV menyebabkan produksi 2 protein yang dikenal sebagai
onkoprotein E6 dan E7 yang mematikan beberapa gen supresor
tumor dan memiliki potensi menimbulkan keganasan pada jaringan
11
kanker (Tzenov et al., 2013). E6 berperan sebagai onkogen,
menstimulasi pertumbuhan dan transformasi sel hospes dengan
menghambat p53, protein onkosupresor. Onkoprotein E6 akan
berikatan dengan p53, yang mengakibatkan TSG (tumor supressor
gene) p53 kehilangan fungsinya (Androphy, 2013). E7 berperan
sebagai onkogen, menginduksi proliferasi sel dengan menghambat
protein pRb, p107 dan p130 (Rusmana, 2009 ; Ciszek et al., 2013 ;
Tzenov et al., 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses onkogenesis HPV
adalah faktor virus, antara lain tipe virus (kemampuan integrasi,
kemampuan ekspresi onkogen, dan lain-lain) faktor hospes (respons
imun humoral dan seluler, multiparitas, faktor genetik seperti HLA,
p53) dan faktor lingkungan (merokok, kontrasepsi hormonal,
penyakit hubungan seksual misal virus Herpes, dan faktor nutrisi)
(Damania et al., 2013 ; Broccolo et al., 2013).
d. Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada
pasien kanker serviks umumnya hanya dirasakan oleh pasien kanker
stadium lanjut. Pasien kanker serviks stadium lanjut terdapat
manifestasi klinis, seperti: rasa sakit dan contact bleeding, keputihan
12
berlebihan dan tidak normal (pucat, berair, merah muda, coklat,
berdarah, atau berbau busuk), perdarahan di luar menstruasi,
penurunan berat badan drastis, nyeri punggung (bila sudah menyebar
ke panggul), hambatan berkemih, dan pembesaran ginjal (Eros, 2010
; Jin et al., 2013 ; Machii and Saika, 2013). Metastasis jauh kanker
serviks secara hematogen dan limfogen terutama menuju paru-paru,
kelenjar getah bening mediastinum dan supraklavikula, tulang dan
hati. Metastasis menuju paru-paru menimbulkan gejala batuk, batuk
darah, dan kadang terdapat nyeri dada. Metastasis kanker ini dapat
pula disertai pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula
terutama sebelah kiri. Selain itu, penderita juga mengeluh nyeri
punggung, nyeri tulang atau patah tulang, kelelahan, kebocoran urin
atau feses menuju vagina, kaki sakit, kehilangan nafsu makan, nyeri
panggul, dan kaki bengkak (Machii and Saika, 2013).
Perubahan prekanker pada serviks dan kanker serviks tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang. Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis kanker
serviks. Skrining terjadinya kanker serviks dapat dilakukan dengan
pemeriksaan pap smear. Pap-smear adalah metode pemeriksaan
standar untuk mendeteksi kanker serviks.
13
Jika terdapat perubahan abnormal pada serviks maka
diperiksa di bawah pembesaran dengan prosedur kolposkopi dan
biopsi jaringan. Selain itu, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang
untuk mengetahui metastasis kanker dengan pemeriksaan: X-ray
dada, CT scan panggul, cystoscopy, pyelogram intravena (IVP), dan
MRI panggul (Kinde et al., 2013; Abdullah dan Su, 2013).
e. Stadium
Tingkat keganasan klinik kanker serviks menurut klasifikasi
Federation of Gynecologists and Obstetricians (FIGO) tahun
2000 dibagi menjadi 4 stadium berdasarkan ukuran tumor,
kedalaman penetrasi, dan penyebaran kanker di dalam maupun luar
serviks (Muttaqin, 2010).
14
Tabel 2.1. Stadium Kanker Serviks (Muttaqin, 2010)
Stadium
Gambaran
0
Karsinoma insitu (preinvasive carcinoma)
1
Karsinoma terbatas pada serviks
1A
Karsinoma hanya bisa didiagnosis secara mikroskopis
1A1
Invasi stroma dalamnya 3 mm dan lebarnya < 7 mm
1A2
Invasi stroma dalamnya 3-5 mm dan lebarnya > 7 mm
1B
Secara klinis tumor dapat diidentifikasi pada serviks
atau massa tumor lebih besar dari 1A2.
1B1
Secara klinis lesi ukuran < 4 cm
1B2
Secara klinis lesi ukuran > 4 cm
II
Tumor telah menginvasi uterus tapi tidak mencapai 1/3
distal vagina atau dinding panggul
IIA
Tanpa invasi ke parametrium
IIB
Dengan invasi ke parametrium
III
Tumor menginvasi sampai dinding pelvis dan atau
menginfiltrasi sampai 1/3 distal vagina, dan atau
menyebabkan hidronefrosis atau gagal ginjal
IIIA
Tumor hanya menginfiltrasi 1/3 distal vagina
IIIB
Tumor sudah menginfiltrasi dinding panggul
IVA
Tumor menginvasi mukosa kandung kemih atau
rektum dan atau menginvasi keluar dari true pelvis
IVB
Metastasis jauh
15
f. Penatalaksanaan
Sampai sekarang kanker serviks belum dapat disembuhkan
dengan sempurna. Tujuan dari pengobatan kanker serviks adalah
untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah terjadinya inflamasi
dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,
memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada
pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang
diberikan.
Terapi standar penyakit kanker serviks meliputi:
1)
Kemoterapi
Penggunaan obat-obatan untuk membunuh sel-sel
kanker, diberikan melalui infus ke pembuluh darah atau
melalui mulut. Kadang-kadang beberapa obat diberikan
dalam satu waktu (Mohamed et al., 2013).
2)
Pembedahan/ operasi
Operasi pembedahan untuk kanker serviks dapat
dilakukan dengan empat cara, di antaranya cryosurgery,
bedah laser, konisasi, dan histerektomi (histerektomi
16
sederhana dan histerektomi radikal dan diseksi kelenjar
getah bening panggul) (Castro et al., 2013).
3)
Radioterapi
Pengobatan dengan sinar berenergi tinggi (seperti sinarX) untuk membunuh sel-sel kanker atau menyusutkan tumor
(Mohamed et al., 2013). Sebelum radioterapi, biasanya
diadakan pemeriksaan darah untuk cek anemia yang umum
terjadi akibat perdarahan. Untuk itu, transfusi darah kadang
diperlukan sebelum radioterapi dijalankan (Castro et al.,
2013).
Stadium pra kanker hingga 1A biasanya diobati dengan
histerektomi. Untuk stadium IB dan IIA, bila ukuran tumor < 4 cm:
radikal histerektomi ataupun radioterapi dengan/tanpa kemoterapi,
bila ukuran tumor > 4 cm: radioterapi dan kemoterapi berbasis
cisplatin/ doxorubicin, histerektomi, ataupun kemoterapi berbasis
cisplatin dilanjutkan histerektomi. Pada stadium lanjut (IIB-IVA),
diobati dengan radioterapi dan kemoterapi berbasis cisplatin
(Mohamed et al., 2013). Pada stadium sangat lanjut (IVB), dapat
dipertimbangkan
kemoterapi
dengan
kombinasi
obat,
misal
hycamtin, doxorubicin, dan cisplatin (Jensen et al., 2013). Jika
17
kesembuhan tidak dimungkinkan, tujuan
pengobatan
adalah
mengangkat atau menghancurkan sebanyak mungkin sel-sel kanker
serviks. Kadang-kadang pengobatan ditujukan untuk mengurangi
gejala-gejala (paliatif) (Corcoran et al., 2012).
2. Doxorubicin
Doxorubicin merupakan obat antibiotik golongan antrasiklin
yang banyak digunakan untuk terapi berbagai jenis kanker termasuk
kanker serviks (Childs et al., 2002).
a. Farmakodinamik
Doxorubicin dapat menyebabkan kardiotoksisitas pada
penggunaan jangka panjang (dosis melebihi 550 mg/m2), sehingga
penggunaanya secara klinis menjadi terbatas. Mekanisme aksi
sitotoksik doxorubicin melalui penghambatan topoisomerase II,
interkalasi DNA sehingga terjadi penghambatan sintesis DNA dan
RNA, pengikatan membran sel,
dan pembentukan radikal bebas
semiquinon dan radikal bebas oksigen melalui proses reduktif yang
diperantarai enzim (Bruton et al., 2005) Ekstravasasi akibat
doxorubicin akan menyebabkan nekrosis dan selulitis.
18
b. Farmakokinetik
1) Absorbsi
Doxorubicin yang diberikan peroral hanya dapat
dibsorbsi sedikit (<50%) karena obat dirusak oleh saluran cerna.
Doxorubicin
harus
diberikan
secara
intravena
untuk
mendapatkan efek teraupetik optimal.
2) Distribusi
Volume distribusi doxorubicin adalah 25 L/kg
pada
banyak jaringan, terutama di hepar, limfa, ren, paru-paru, cor,
tidak didistribusikan ke SSP, dan dapat melewati plasenta.
Doxorubicin terikat pada protein plasma dan jaringan.
Doxorubicin terikat pada protein plasma sebesar 70% sehingga
memiliki efek obat yang adekuat.
3) Metabolisme
Metabolisme doxorubicin terutama di hepar dengan
doksorubisinol (aktif), kemudian menjadi inaktif; aglikon, sulfat
terkonjugasi,
dan
glukuronidase.
Waktu
paruh
(T
½)
doxorubicin tahap mula 12 menit, pertengahan 3,5 jam, dan
tahap akhir 30 jam. Waktu eliminasi doxorubicin adalah 1 – 3
jam dan 3 – 3.5 jam untuk metabolitnya.
19
4) Eksresi
Doxorubicin diekskresi melalui feses (40%-50% sebagai
bentuk obat yang tidak berubah) dan urin (3%-10% sebagai
metabolit, 1% doksorubisinol, <1% adriamisin aglikon, dan obat
yang tidak berubah). Nilai clearence pada laki-laki: 113 L/jam
dan wanita: 44 L/jam (Chu dan Sartorelli, 2004; Gunawan et al.,
2007).
c. Posologi
Doxorubicin tersedia dalam bubuk sebanyak 10, 20, dan 50
mg, dan diberikan bersama infus garam fisiologis atau dextrosa 5%
untuk mencegah ekstravasasi. Larutan yang disuntikkan harus
diencerkan dengan NaCl menjadi larutan 2 mg/ml. Larutan ini stabil
selama 24 jam dalam suhu ruang dan 48 jam dalam lemari es (Chu
dan Sartorelli, 2004).
3. Daun Kemuning (Murraya paniculata)
a. Karakteristik
Kemuning (Murraya paniculata) adalah tumbuhan yang
memiliki nama sinonim Murraya exotica L.; Murraya banati Elm;
Chalas paniculata. Murraya paniculata merupakan tumbuhan ordo
sapindales dari keluarga rustacea (Lapcík et al., 2004). Murraya
20
paniculata merupakan tumbuhan tropis yang dapat mencapai tinggi
8 sampai dengan 12 meter dan berbunga sepanjang tahun. Murraya
paniculata adalah tanaman berhabitus pohon kecil (perdu), memiliki
variasi morfologi yang sangat besar. Spesies ini tumbuh liar di
semak-semak, tepi hutan atau ditanam sebagai tanaman hias dengan
ketinggian 400 mdpl (Taha and Haron, 2008).
Murraya paniculata memiliki daun seperti daun jeruk
(majemuk menyirip, berukuran lebih kecil, sering digunakan sebagai
tumbuhan hias atau tumbuhan pagar) yang tidak ada perubahan
warna musim gugur. Murraya paniculata memiliki bunga harum
yang terletak panjang di terminal dan berwarna putih. Murraya
paniculata memilki buah berbentuk oval dan berwarna merah
sampai orange jika sudah matang, Tanaman kemuning memiliki
tekstur halus, ukuran semak sedang, tegak, menyebar kompak dan
padat, dan memiliki mahkota daun hijau mengkilap. Kemuning
memiliki cabang tidak berduri dan memilki batang (Titseesang et al.,
2008).
Kemuning merupakan tanaman yang tumbuh di tempat teduh
dengan dengan jenis tanah: basa, asam, liat, dan pasir. Kemuning
dapat tumbuh dengan baik bila ditanam dengan jarak 36 sampai 60
21
inchi. Kemuning merupakan tanaman resistensi hama (tidak
terpengaruh oleh hama). Daun kemuning tumbuh di pengairan yang
baik, bebas nematoda, tanah dengan kelembaban moderat, dan
ditempat yang teduh. Pembibitan kemuning dapat dilakukan di jalanjalan bawah saluran listrik, dekat teras, atau ditempat tropis lainnya.
Perbanyakan kemuning mudah dilakukan dengan biji dan lebih sulit
dengan stek (Saied et al., 2008).
Gambar 2.3. Murraya paniculata (Rahman et al., 2010)
b. Kandungan
Secara tradisional masyarakat Filipina dan Indonesia
menggunakan daun kemuning untuk obat diare dan disentri
(Choudhary et al., 2002). Masyarakat Minangkabau secara
tradisional menggunakan akar kemuning untuk tangkai pisau atau
22
ladiang (golok). Urat kemuning ini warnanya bagus dan liat,
sehingga tidak mudah pecah jika digunakan. Kayu kemuning juga
bisa digunakan untuk sempoa, tangkai kuas, dan tongkat (Zhang et
al., 2012).
Penyakit yang dapat diobati dengan ramuan bahan dasar
Murraya paniculata anatara lain : orchitis, bronchitis, infeksi saluran
kemih, gonorhae, keputihan, sakit gigi, haid tidak teratur, lemak
tubuh berlebihan, pelangsing tubuh, ulkus, kuli kasar, memar akibat
benturan, rematik, digigit serangga dan ular berbisa, ekzema, bisul,
koreng, epidemik encephalitis B, dan luka terbuka di kulit (Soehardi,
2011).
Daun Murraya paniculata dapat digunakan sebagai obat
menurunkan kadar kolesterol dalam darah dengan kandungan kimia
alkaloid, flavonoid, steroid, dan tanin (Choudhary et al., 2002).
Murraya paniculata memiliki senyawa dari golongan coumarin yaitu
murrmeranzin,
pranferin,
isopropylidene
murrangatin,
murrangatin,
minumicrolin,
murralonginal,
murpanicin,
meranzin
hydrate, hainanmurpanin, dan lainnya (Negi et al., 2005 ; Saied et
al., 2008; Saeed et al., 2011).
23
Coumarin adalah zat alami yang telah menunjukkan aktivitas
anti-tumor in vivo, dengan efek metabolitnya (misalnya 7hydroxycoumarin) (Zhang et al., 2013). Coumarin dan flavonoid
sekelompok senyawa anggota dari kelompok benzopyrones (Charles
et al., 2013; Rashid et al., 2013). Senyawa benzopyrones ditemukan
dalam sayuran, buah, biji, kacang-kacangan, kopi, teh, dan anggur
(Heo et al;., 2013; Guasch et al., 2013). Diet paparan benzopyrones
cukup signifikan sebagai aktivitas anti-tumor (Saeed et al., 2011;
Zhang et al., 2012). Diperkirakan diet orang Barat rata-rata
mengandung sekitar 1gram/hari dari benzopyrones (Trazzi et al.,
2012; Vijaykumar et al., 2012; Gautam et al., 2012).
Sebuah
hydroxycoumarin
studi
terbaru
menghambat
menunjukkan
pelepasan
D1
bahwa
cyclin,
7yang
diekspresikan oleh banyak jenis kanker (Walter et al., 2012; Gautam
et al., 2012; Saeed et al., 2011). Oleh karena itu, coumarin dapat
digunakan sebagai terapi kanker.
Selain itu, kandungan daun kemuning adalah zat flavonoid.
Flavonoid adalah salah satu senyawa antioksidan yang bisa
menghambat proses penuaan dan mencegah berkembangnya sel
kanker. Selain itu, flavonoid juga berfungsi:
24
1)
Melindungi struktur sel dalam tubuh;
2)
Meningkatkan penyerapan dan penggunaan vitamin C dalam
tubuh;
3)
Sebagai obat anti inflamasi;
4)
Mencegah pengeroposan tulang;
5)
Sebagai antibiotic;
6)
Sebagai antivirus, bahkan fungsinya sebagai antivirus
HIV/AIDS telah banyak diketahui dan dipublikasikan;
7)
Mengahambat pertumbuhan kolesterol jahat LDL dalam
darah;
8)
Mencegah terjadinya atherosklerosis, suatu keadaan di mana
dinding arteri menjadi lebih tebal;
9)
Membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh;
10)
Sebagai pencegah terjadinya beberapa macam penyakit;
11)
Mengobati beberapa macam penyakit (Walter et al., 2012;
Gautam et al., 2012).
Sedangkan, alkaloid adalah sekelompok senyawa basa
nitrogen yang ditemukan dalam tanaman, biasanya tidak larut dalam
air dan fisiologis aktif. Senyawa alkaloid yang berfungsi sebagai
antikanker adalah vinkristin dan vinblastine (Heo et al., 2013).
25
4. Kultur Sel Hela
a. Definisi Kultur Sel
Kultur sel adalah metode mengkultur sel-sel yang
berasal dari organ atau jaringan yang
telah
diuraikan
secara
mekanis dan atau secara enzimatis menjadi suspensi sel (Pacifico
et al., 2012). Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi
satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras
(botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam
media penumbuh (Karim, 2012; Darshan et al., 2012). Monolayer
tersebut dapat diperbanyak lagi, disebut subkultur atau pasase
(Gulcelik et al., 2012). Apabila dipasase terus menerus maka
dihasilkan sel lestari (cell line) (Guo et al., 2012). Sel lestari
memiliki beberapa sifat yaitu:
1) Terjadi peningkatan jumlah sel;
2) Sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi;
3) Sel-sel tersebut seragam;
4) Biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan fenotipe atau
transformasi (Uthaisang et al., 2013).
26
b. Kultur Sel Kanker Serviks
Hela cell line diturunkan dari sel epitel kanker leher
rahim (serviks) manusia. Hela cell line tumbuh sebagai sel yang
semi melekat. Hela cell line dapat digunakan untuk tes antitumor,
transformasi, uji tumorigenesis, biologi sel dan invasi bakteri. Sel ini
secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh
Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal
dan sangat agresif sehingga mudah untuk dikultivasi tetapi sel ini
mudah menginvasi kultur sel lain (Doyle dan Griffiths, 2000 ;
Tonguc et al., 2013).
Gambar 2.4. Hela cell line (George, 2010)
27
c. Metode Kultur Sel Hela
Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan
tidak hilangnya kemampuan metabolik atau proliferasi dan dapat
diukur dari bertambahnya
jumlah
sel,
meningkatnya
jumlah
protein atau DNA yang disintesis. Kemampuan sel untuk bertahan
hidup inilah yang menjadi dasar uji antikanker (Cenik et al., 2013).
Metode kuantifikasi sel yang banyak digunakan dalam
penelitian antiproliferatif adalah metode haemositometer dan MTT.
1)
Perhitungan secara langsung (metode haemositometer)
Haemositometer
merupakan
perangkat
gelas
bersama coverslip tipis, terbagi dalam sembilan area
dengan empat area pojok sebagai area
menghitung
jumlah sel. Ketebalan chamber adalah 0,1 mm dengan
kapasitas 10 μl cairan berisi sel dalam area 0,9 mm3.
Beberapa hal perlu diperhatikan saat menghitung sel
dengan haemositometer adalah sel harus tersuspensi rata
dan jumlah sel yang minimum yang dihitung adalah seratus
(Doyle dan Griffiths, 2000).
Sel
yang
melekat
perlu
ditripsinasi
untuk
28
mensuspensikan sel dalam larutan. Trypan blue biasa
digunakan untuk membedakan sel hidup dan sel mati. Sel
hidup tidak terwarnai, bulat dan relatif kecil dibandingkan
dengan sel mati. Sedangkan sel mati membengkak dan
berwarna biru (Doyle dan Griffiths, 2000).
2)
Perhitungan secara tidak langsung dengan metode XTT
assay
XTT
adalah
tetrazolium dye,
(2,3)-bis-(2-
methoxy-4-nitro-5-sulphenyl)-(2H)-tetrazolium-5
carboxanilide assay. X T T a s s a y dapat digunakan
untuk mengukur proliferasi sel secara kolorimetri. Kit
viabilitas sel yang digunakan adalah XTT cell viability
assay kit. XTT assay menyediakan metode sederhana
untuk penentuan jumlah sel hidup dengan menggunakan
microplate absorbance readers standar. Penentuan jumlah
sel hidup sering digunakan untuk standar menilai tingkat
proliferasi sel dan untuk menyaring agen sitotoksik
(Meshulam et al., 1995).
Mirip dengan MTT, XTT mengukur viabilitas sel
berdasarkan aktivitas enzim mitokondria pada sel-sel hidup
29
yang mengurangi XTT dan secara singkat tidak aktif
setelah kematian sel. Berbeda dengan formazan tidak larut
air yang dihasilkan dari MTT, XTT mudah dikurangi
menjadi sangat larut dalam air membentuk produk
berwarna
orange,
sehingga
menghilangkan
langkah
solubilisasi yang diperlukan untuk MTT assay. Jumlah
produk larut dalam air yang dihasilkan dari XTT sebanding
dengan jumlah sel-sel hidup dalam sampel dan dapat
diukur dengan mengukur absorbansi
pada
panjang
gelombang 475 nm (Weislow et al., 1989; Roehm et al.,
1991).
Warna orange dapat dibaca absorbansinya secara
spektrofotometri dengan ELISA reader pada panjang
gelombang
maximumnya
450-500
nm.
Absorbansi
tersebut menggambarkan jumlah sel hidup. Semakin kuat
intensitas warna orange yang terbentuk maka absorbansi
akan semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak XTT yang diabsorbsi ke dalam sel hidup
dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase
dalam rantai respirasi mitokondria sehingga warna orange
30
yang terbentuk juga semakin banyak. Absorbansi ini
yang akan digunakan untuk menghitung persentase sel
hidup sebagai respon (Roehm et al., 1991; Meshulam et
al., 1995).
5. Uji Antiproliferasi Sel
a. Proliferasi Sel
Siklus sel terdiri dari dua pokok penting yaitu mitosis dan
interphase. Mitosis merupakan proses dimana sel induk membelah
menjadi 2 sel anakan sedangkan interphase merupakan fase dimana
terjadi 3 tahapan yaitu presynthetic growth phase 1 (G1), DNA
synthesis phase (S), dan premitotic growth phase 2 (G2). Jika sel
tidak membelah maka dia akan keluar dari siklus sel dan masuk ke
fase G0. Sel mempunyai mekanisme untuk mempertahankan
integritasnya dengan tidak mengizinkan sel yang jelek atau rusak
memasuki fase mitosis, mekanisme ini disebut checkpoint control.
31
Dengan mekanisme ini sel yang jelek atau rusak tersebut
akan di perbaiki dahulu sebelum diizinkan melanjutkan proses siklus
sel atau dihancurkan melalui mekanisme apoptosis. Progresi siklus
Gambar 2.5. Ilustrasi skematik peran dari cylin, CDK dan CDK
inhibitor
pada
regulasi
siklus
sel (Kumar
et al.,protein
2007) bernama cyclin,
sel mulai
dari
fase G1
akan
diatur oleh
cyclin ini akan berikatan dengan enzim CDK. Enzim CDK berfungsi
untuk memacu replikasi DNA dan proses mitosis (Kumar et al.,
2007).
Kompleks CDK-cyclin mempunyai tanggung jawab dalam
berbagai kejadian selama interfase. Sinyal mitogenik pertama kali
muncul karena ekspresi dari cyclin D (D1, D2 dan D3) yang akan
mengaktifkan CDK4 dan CDK6 selama G1. Aktivasi dari kompleks
ini memicu inaktivasi parsial dari pocket protein RB, RBL1 (p107)
dan RBL2 (p130), untuk memicu ekspresi cyclin E (E1 dan E2),
yang mana akan berikatan dan mengaktifkan CDK2. Kompleks
CDK2-cyclin E selanjutnya akan mem-fosforilasi pocket protein
untuk melengkapi inaktivasinya.
32
Kemampuan dari cyclin E selama siklus sel adalah mengatur
dan membatasi tahap awal sintesis DNA. Cyclin E akan berikatan
dengan CDK 2 dan membentuk kompleks CDK2-cyclin E yang
Gambar 2.6. Defek utama yang terdapat pada kanker
(Malumbres et al., 2009)
menyebabkan transisi dari fase G1 ke S. setelah itu CDK2 diaktifkan
oleh cyclin A selama tahap akhir dari replikasi DNA untuk
menyebabkan transisi dari fase S ke G2. Akhirnya CDK 1 diaktifkan
oleh cyclin A pada akhir interfase untuk memfasilitasi permulaan
dari mitosis. Seiring dengan rusaknya pembungkus inti, cyclin A
mengalami degenerasi, memperantarai pembentukan dari kompleks
CDK 1-cyclin B yang bertanggung jawab untuk memacu sel selama
mitosis (Malumbres et al., 2009; Kumar et al., 2007).
Dalam kerjanya, CDK dapat dihambat oleh CDK Inhibitor,
CDK Inhibitor bertanggung jawab dalam mengatur agar populasi
stem sel tetap jumlahnya. CDKI ada dua kelompok yaitu protein
INK4 (INK4A, INK4B, INK4C and INK4D) dan golongan Cip
dan Kip (p21, p27 dan p57) (Malumbres et al., 2009).
Pemicu dari perkembangan sel tumor dapat disebabkan antara
lain: gangguan pada sinyal mitogenik, proliferasi yang tidak
33
terencana, ketidakstabilan genom dan kromosom, yang semuanya
berasal dari gangguan pada regulasi aktivitas CDK. Mutasi dari
CDK dan regulatornya dapat menyebabkan perkembangan kanker
pada manusia. Deregulasi aktifitas CDK4 dan CDK6 terlibat dalam
perkembangan beberapa macam tumor. Misregulasi cyclin D dan
inhibitor INK4 sering terjadi pada sebagian besar tipe tumor. CDK2
pada kanker manusia tidak didapati adanya mutasi. Tetapi, cyclin E
sering mengalami overekspresi pada tumor, dan overekspresi dari
inhibitor p21 dan p27 sering mengalami pembungkaman selama
perkembangan tumor (Malumbres et al., 2009). Sedangkan
overekspresi dari cyclin D sering memicu transformasi neoplastik
terjadi pada beberapa kanker seperti kanker serviks, payudara,
esophagus, dan liver (Fu et al., 2004; Kumar et al., 2007).
b. Mekanisme Antiproliferasi Kandungan Zat pada Murraya
paniculata terhadap Kanker Serviks
Pada sebagian kanker termasuk kanker serviks, cyclin D
memegang peran penting dalam proliferasi sel kanker. Overekspresi
dari cyclin D mempengaruhi dari aktivitas reseptor growth factor,
ras dan efektornya. Peningkatan ekspresi ini memicu sel diam (tidak
membelah) untuk memasuki siklus sel (Yang et al., 2006). Selain itu
34
overekspresi dari cyclin E dan silencing CDK inhibitor p21 dan p27
menyebabkan proliferasi sel lebih cepat dari normal (Malumbres et
al., 2009).
Coumarin yang telah diketahui dapat menekan ekspresi dari
cyclin D, terutama cyclin D1. Sedangkan cyclin D2 dan D3 hanya
mempunyai
efek
pada
beberapa
cell
line
kanker
saja
(Mukhopadhyay et al., 2002). Mekanisme dari penghambatan
ekspresi dari cyclin D adalah melalui supresi NF-kB, yang mana NFkB mempunyai fungsi meregulasi cyclin D (Aggarwal et al., 2006).
Selain itu pada penelitian Aggarwal et al.,2006 didapatkan
kemuning isolat dapat menghambat regulasi dari cylin E pada
berbagai macam cell line manusia. Pada penelitian ini juga
disebutkan bahwa kemuning dapat meningkatkan presentase jumlah
sel pada fase G1 dan menurunkan presentase sel pada fase S dalam
waktu 36 jam, sehingga dapat disimpulkan bahwa isolate ekstrak
daun kemuning juga dapat menahan siklus sel pada fase G1 pada sel
kanker.
Isolat ekstrak daun kemuning juga dapat meningkatkan
ekspresi CDK inhibitor yaitu p21 dan p27 serta mamicu ekspresi dari
p53, dimana jika p53 terjadi penurunan ekspresi (absence) maka p21
35
juga terjadi penurunan ekspresi. Isolat esktrak daun kemuning juga
dapat menghambat fosforilasi protein Rb, level dari protein Rb akan
berkurang sesuai level dari cyclin E (Mukhopadhyay et al., 2002;
Aggarwal et al., 2006; Malumbres et al., 2009). Sesuai dengan
penelitian Saeed et al., 2011 kemuning isolat dengan konsentrasi
50µM selama 30 menit dapat menghambat fosfrilasi dari protein Rb
yang mana berarti ekstrak daun kemuning juga dapat menghambat
dari aktivitas CDK4.
36
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.7. Skema Rancangan Penelitian
37
C. Hipotesis
Ekstrak daun kemuning (Murraya paniculata) mempunyai efek
antiproliferasi terhadap kultur sel Hela secara in vitro.
Download