5 BAB II Tinjauan Pustaka II.4. Pencemaran Udara Pencemaran

advertisement
5
BAB II Tinjauan Pustaka
II.4.
Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih
kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu
keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan,
kehidupan binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan
kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke
atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab
beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara,
pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon
dan pemaparan ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996).
II.2.
Sumber Pencemar Udara
Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber,
frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber
pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan
sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan
gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya,
sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi,
proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan
militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas
beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber
garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan
bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi
konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi
geografis tertentu (Canter, 1996).
Inventori emisi yang dilakukan dalam memperkirakan dan menilai dampak yang
timbul terhadap lingkungan udara mencakup data dari beberapa sumber emisi
yang dapat dibedakan menjadi sumber titik, area dan garis.
6
a. Sumber titik. Perhitungan emisi yang sifatnya individual pada satu sumber
buangan emisi dan terkait pada data mengenai lokasi, kapasitas produksi,
kondisi operasional dan lain sebagainya. Termasuk di dalam kelompok ini
adalah titik cerobong asap industri
b. Sumber garis. Sumber yang merupakan integrasi dari sumber-sumber titik
yang tak terhingga banyaknya, sehingga dapat dianggap sebagai sumber garis
yang seluruhnya memancarkan pencemar udara, seperti emisi dari kendaraan
bemotor, pelayaran, penerbangan dan kereta api
c. Sumber area. Sumber yang merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan
sumber garis. Biasanya dibatasi oleh basis atau batas administrasi seperti
negara, kota atau berupa kotak dengan ukuran tertentu (EMEP grid 50x50 km)
Disamping itu sumber pencemaran udara dapat digolongkan kedalam sumber
diam (stationary) dan sumber bergerak (mobile) (CORINAIR, 2003).
II.3.
Polutan Pencemar Udara
Polutan gas diemisikan dari berbagai sumber yang dapat di identifikasi termasuk
diantaranya transportasi, pembakaran bahan bakar fosil, proses industri,
pembuangan/dekomposisi
sampah
dan
lainnya.
Beberapa
polutan
juga
membentuk beberapa reaksi kimia di atmosfer sehingga penggolongan pencemar
udara dapat di bagi menjadi dua yaitu pencemar primer dan sekunder. Kehadiran
polutan-polutan di dalam udara pada umumnya berasal dari aktivitas manusia
sebagai akibat dari perkembangan budaya, penggunaan teknologi baru serta pola
konsumtif yang berlebihan. Berdasarkan hasil laporan penelitian oleh Fauzy
Ammari (2005), diketahui bahwa sumber polusi udara sebesar 81% berasal dari
sektor transportasi.
Menurut Moestikahadi (1999), polutan penyebab terjadinya pencemaran udara di
bagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. polutan primer misalnya partikulat, oksida karbon, oksida sulfur, hidrooksida,
oksida nitrogen
2. polutan sekunder misalnya ozon yang terbentuk dari reaksi antara peroxyl
radikal dengan oksigen
7
Secara fisik, bahan pencemar udara dapat berupa partikel (debu, aerosol, timah
hitam), gas (CO, NOx, SOx, H2S, HC) dan energi (suhu dan kebisingan).
Polutan udara primer yaitu polutan yang mencakup 90% dari jumlah polutan
udara seluruhnya. Polutan ini lebih dikenal sebagai polutan pencemar udara
konservatif. Selain itu terdapat juga polutan penyebab efek gas rumah kaca, antara
lain: Carbondioxide (CO2), Methane (CH4), Carbonmonooxide (CO) dan N2O.
II.3.1. Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida merupakan senyawa kimia yang terdiri dari satu atom karbon dan
dua atom oksigen. Senyawa ini berada pada atmosfer bumi dengan konsentrasi
yang rendah (370 ppmv) dan dikenal sebagai gas rumah kaca. Karbondioksida
merupakan senyawa fase gas pada suhu dan tekanan normal yang dapat
menimbulkan resiko asfiksia pada konsentrasi tinggi. Selain itu senyawa
karbondioksida juga memiliki kemampuan untuk larut dalam air. Pada suhu
dibawah -70oC, karbondioksida berubah fase dari gas menjadi padatan berwarna
putih yang biasa disebut dry ice setelah melalui proses deposisi. Fase cair
karbondioksida terjadi pad tekanan diatas 5,1 atm. Tabel II.1 berikut ini
merupakan properti dari karbondioksida (IPCC, 2005)
Tabel II.1. Properti Karbondioksida (CO2)
Kelarutan
Carbonic Acid Gas
Nama lain
dalam air
Carbonic Anhydride
Ikatan molekul
CO2
Titik leleh
Berat mol
44,01 g/mol
Titik didih
Densitas:
Viskositas:
Fase Cair
1032 kg/m3 @-20oC
Gas
3
Fase Gas
1.976 kg/m @STP
Cair
Molekul
Sifat
Odorless,Colorless
shape
Temperatur
Tekanan
31.1oC
kritis
kritis
Titik
Densitas kritis
467 kg/m3
Sublimasi
Sumber : IPCC, 2005
1.716 ft3 CO2 gas / ft3
H2O @ STP
216 K
195 K
13.72 μN.s/m2 @STP
99 μN.s/m2 @STP
Linear
73.9 bar
-78.5oC
8
Sumber yang berasal dari aktivitas manusia meliputi pembakaran bahan bakar
fosil (70-90%) sebagai sumber tenaga dan konversi penggunaan lahan (10-30%).
Kasus terakhir meliputi penggundulan hutan dengan pembakaran biomassa dan
peralihan penggunaan sebagai lahan produksi agrikultural. Selain itu, terdapat
sumber alami penghasil gas CO2, seperti gas vulkanik, pembakaran material
organik, proses respirasi organisme aerobik. Sumber penghasil CO2 juga dapat
dibedakan berdasarkan sektor aktivitas manusia, dimana industri energi
merupakan sumber penghasil gas CO2 terbesar dengan kontribusi sebesar 36%
yang diikuti oleh sektor transportasi (27%) dan industri (21%). Hal ini juga
menjelaskan bahwa sumber utama penghasil gas CO2 berasal dari aktivitas
manusia (IPCC, 2005)
Terjadi peningkatan emisi CO2 dari sekitar 5,4 PgC/tahun pada 1980an menjadi
6,3 PgC/tahun pada 1990an, dimana sebagian besar kontribusi pencemar berasal
dari pembakaran bahan bakar fosil. Konversi lahan menyumbangkan sebesar 1,5-2
PgC/tahun. Dari sekitar 3,2-3,3 PgC/tahun yang berada di atmosfer, sebanyak 1-2
PgC/tahun dikonversi menjadi batuan karbonat dan 2 PgC/tahun diserap oleh
tanaman. Resevoir terbesar pengurangan Karbondioksida (CO2 sink) antara lain:
laut, tanaman (hutan), dan organisme lain yang melakukan fotosintesis untuk
merubah karbondioksida dari atmosfer menjadi biomassa dan melepaskan oksigen
ke atmosfer. Konsep ini yang kemudian diterapkan dalam protocol Kyoto sebagai
landasan dalam carbon offset (Uherek, 2004).
Laut merupakan salah satu CO2 sink yang terjadi melalui 2 proses daya kelarutan
dan proses biologi. Pembentukan secara alami merupakan turunan solubility CO2
pada air laut dan sirkulasi pada lapisan thermohaline, dimana yang terakhir
merupakan total dari rangkaian proses biologi yang mengangkut carbon (dalam
bentuk organik dan anorganik) dari permukaan zona euphotic menuju dasar laut.
Fraksi dalam ukuran kecil dari organik karbon yang mengalami transportasi
biologi, terbakar dalam kondisi anoxic dalam sedimen dan memicu pembentukan
bahan bakar fosil seperti minyak dan gas alam (Wallace, 2003). Meskipun CO2
termasuk mudah larut dalam air dan mudah untuk diserap oleh tanaman, akan
9
tetapi skala waktu dari siklus karbon pada wilayah teresterial dan oceansphere
berada dalam orde dekade sampai ke ribuan tahun. Dalam 100 molekul CO2 yang
dilepaskan ke atmosfer, hanya 30% yang larut di laut selama satu decade dan
sekitar 60% membutuhkan waktu di atas 6 dekade (Godhish, 2004).
II.3.2. Metana (CH4)
Metana merupakan senyawa dengan berat molekul 16,04 g/mol yang tidak
berwarna maupun berbau (Tabel II.2). Metana tidak bersifat racun. Sifat
berbahayanya yang dapat meledak lebih dipicu oleh kontak dengan oksidator dan
halogen. Metana menyebabkan asfiksia yaitu keadaan yang dipicu oleh
berkurangnya kemampuan tubuh dalam menangkap oksigen atau mengakibatkan
kadar oksigen menjadi berkurang (Godhish, 2004).
Nama lain
Ikatan molekul
Berat mol
Sifat
Tabel II.2. Properti Metana (CH4)
Kelarutan dalam
Marsh gas
air
CH4
Titik leleh
16,04 g/mol
Titik didih
Odorless,Colorless Auto-ignition
Temperature
3
0.6 kg/m , gas
Molekul shape
0.42 at -164oC
Total
Heat
Combustion
191 Kcal/mole
Densitas/ fase
Specific
Garvity
Lower
Heat
Combustion
Sumber : Verschueren (1977)
24 mg/L
-182oC
-162oC
537oC
Tetrahedral
212.8 Kcal/mole
Metana berwujud gas pada temperatur dan tekanan standar dengan rumus kimia
CH4. Metana murni memiliki sifat tidak berbau, akan tetapi apabila digunakan
secara komersial biasanya metana akan dicampur dengan odorant ethanethiol atau
biasa disebut mercaptan untuk dapat mendeteksi kebocoran. Membakar satu
molekul metana dengan oksigen akan menghasilkan/melepaskan satu mol CO2
(karbondioksida) dan H2O (air) menurut persamaan reaksi :
CH 4 + 2O 2 → CO 2 + 2H 2 O
10
Dengan jumlahnya yang melimpah serta proses pembakaran yang bersih membuat
metana menjadi alternatif bahan bakar. Metana merupakan salah satu gas
penyebab efek rumah kaca dengan potensi pemanasan global adalah 23 kali dalam
100 tahun. Konsentrasi ini meningkat sebesar 150% sejak 1750 dan metana
memiliki konstribusi sebesar 20% dari total keseluruhan gas rumah kaca. Ratarata konsentrasi metana di permukaan bumi pada tahun 1998 sebesar 1,745 ppb.
Emisi gas metana ke atmosfer berasal dari sumber alami, sumber alami yang
terkena pengaruh oleh aktivitas manusia, dan sumber yang disebabkan oleh
aktivitas manusia. Selain itu dapat pula berasal dari sumber biogenik seperti
proses dekomposisi anaerobik materi organik yang merupakan sedimen yang
terdapat di danau, saluran pembuangan dan pertanian. Emisi gas metan juga dapat
berasal dari penambangan batubara, ekstraksi minyak dan gas bumi, pemurnian
petroleum, kebocoran jalur transmisi gas alam, pembakaran savana dan hutan
tropis serta asap buangan kendaraan bermotor (Manahan, 1994). Waktu tinggal
gas metan di atmosfer selama 10 tahun. Sumber alami penghasil CH4 berasal dari
wetlands, laut, hydrates, wild ruminants dan serangga (rayap), dimana besar
kontribusinya yaitu 30% atau sekitar 100-200 TgCH4/tahun. Sedangkan sumber
CH4 dari aktivitas manusia meliputi: sektor energi, agrikultur, pembuangan
sampah, pembakaran biomassa, penanaman padi, yang besar kontribusinya
mencapai 70% atau sekitar 250-600 TgCH4/tahun.
Sumber pengurangan CH4 (sink) terjadi akibat reaksi dengan radikal hydroxyl
(OH) di troposfer (90%), pergerakan/perpindahan ke lapisan stratosfer (5%) dan
oksidasi tanah kering (5%) dengan total pengurangan secara keseluruhan
mencapai 560 TgCH4/tahun. Radikal hydroxyl merupakan senyawa yang
terbentuk oleh fotodisosiasi ozon dan uap air. Radikal hydroxyl ini merupakan
oksidan bagi polutan udara primer seperti CH4, CO dan NOx, sehingga besarnya
pengurangan CH4 seiring dengan keberadaan OH dan tingkatan/kecepatan
reaksinya. Pembentukan senyawa radikal hydroxyl mengikuti persamaan reaksi
sebagai berikut :
11
1. O3 + hv Æ O(1D) + O2 (fotodisosiasi)
2. O(1D) + H2O Æ OH + OH (reaksi dengan uap air)
Pengurangan CH4 mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut :
CH4 + OH• Æ CH3• + H2O
Konsentrasi radikal hydroxyl tidak hanya dipengaruhi oleh emisi langsung dari
metan, tetapi juga oleh produk oksidasinya seperti CO (Anonim, 1998).
Meskipun CH4 dan N2O memiliki kemampuan yang besar dalam menyerap radiasi
infra merah, tapi peranannya masih relatif terbatas apabila dibandingkan dengan
gas CO2. Dampak penting dari CH4 dan N2O hanya dikarenakan peningkatan
konsentrasi yang terjadi di atmosfer. Metan dan N2O mampu menyerap panas 21
dan 206 kali lebih efektif apabila dibandingkan dengan gas CO2. Konsentrasi gas
metan mengalami peningkatan sejak masa industri. Peningkatan konsentrasi
tahunan sebesar 10-15 ppbv per tahun mulai dari tahun 1980 - 1992
(Godhish, 2004).
II.4.
Fenomena Rumah Kaca
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer memicu terjadinya
pemanasan global dan perubahan iklim. Meskipun gas rumah kaca yang mampu
menyerap radiasi gelombang panjang mengalami peningkatan, akan tetapi tidak
memiliki keterkaitan dengan iklim (Schnoor, 1996).
Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Forier pada tahun 1822,
merupakan proses dimana atmosfer memanaskan sebuah planet. Efek rumah kaca
dapat digunakan untuk merujuk pada dua hal berbeda, yaitu efek rumah kaca
alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang
terjadi akibat aktivitas manusia. Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya
konsentrasi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan gas-gas
lainnya di atmosfer. Kenaikkan konsentrasi gas CO2 dan CH4 ini disebabkan oleh
kenaikkan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batubara dan bahan bakar
organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan laut untuk
mengabsorbsinya.
12
II.5.
Mekanisme Efek Rumah Kaca
Efek rumah kaca (greenhouse effect) merupakan suatu keadaan yang timbul akibat
semakin banyaknya gas buang di lapisan atmosfer yang memiliki sifat penyerap
panas baik yang berasal dari pancaran sinar matahari maupun panas yang
ditimbulkan akibat dari pendinginan bumi, radiasi solar dan radiasi panas yang
kemudian dipancarkan kembali ke permukaan bumi. Panjang gelombang yang
dapat diserap dan terperangkap oleh gas rumah kaca adalah untuk panjang
gelombang yang lebih besar dari 1200A (sinar infra merah) (Schnoor, 1996).
Pada saat radiasi gelombang pendek dari sinar matahari yang memiliki intensitas
sebesar 1360 W/m2 masuk ke permukaan bumi dengan rata-rata 343W/m2, hanya
49% yang diabsorbsi, 31% radiasi sinar matahari ini dipantulkan oleh awan, debu,
dan uap air. Sebanyak 20% sinar matahari di absorbsi oleh atmosfer yang
menyebabkan penghangatan pada permukaan bumi dan atmosfer. Sekurangnya
sebanyak 70% dari energi gelombang pendek yang diterima lapisan atmosfer
diradiasikan kembali dalam bentuk radiasi gelombang panjang (Stewart, 2005).
Akan tetapi uap air, awan, CO2, dan gas rumah kaca lainnya mengabsorsi radiasi
tersebut sehingga menyebabkan efek rumah kaca
(Gambar II.1).
Gambar II.1. Mekanisme Efek Rumah Kaca
13
Sejumlah besar (98%) dari efek gas rumah kaca merupakan kejadian alami yang
disebabkan oleh keberadaan uap air, CO2 dari industri, dan awan. Tanpa adanya
gas tersebut, bumi akan menjadi sangat dingin, 33oC lebih dingin dari yang ada
sekarang. Suhu rata-rata global permukaan bumi adalah 15oC, sedangkan suhu
permukaan tanpa adanya gas rumah kaca diperkirakan sebesar -18oC. Efek rumah
kaca terjadi secara alami dan memberikan keuntungan bagi kehidupan di bumi.
Selain gas CO2, gas-gas yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan efek
rumah kaca antar lain: sulfur dioksida (SO2), nitrogen monooksida (NO), nitrogen
dioksida (NO2) dan senyawa organik seperti methane (CH4) dan CFC.
Bumi menerima energi dari matahari dalam bentuk radiasi. Jumlah energi yang
berada di atmosfer dan lautan tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Oleh
karena itu keseimbangan energi dari radiasi matahari harus dikembalikan. Radiasi
meninggalkan bumi melalui dua cara, yaitu memantulkan radiasi matahari dan
mengemisikan panas radiasi inframerah. Radiasi sinar inframerah meningkatkan
temperatur bumi. Kata kunci dari efek rumah kaca adalah bahwa atmosfer dapat
ditembus oleh radiasi matahari tetapi memiliki kemampuan menyerap panjang
gelombang radiasi inframerah yang diemisikan oleh atmosfer dan permukaan
bumi. Radiasi sinar tampak dari matahari memanaskan permukaan dan bukan
atmosfer. Sebagian besar radiasi infra merah yang keluar menuju angkasa
teremisikan dari lapisan atas atmosfer bukan dari permukaan (Schnoor, 1996).
II.6.
Iventori Emisi
Inventori emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang
pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah
geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi
dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta
konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan
sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada
masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang
berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang
dilakukan (Canter, 1996).
14
Inventori emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang
diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal
dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata
emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material
seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi
menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak
mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).
Sasaran utama dari inventori emisi adalah untuk menganalisa sumber buangan
yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi dapat
memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran kualitas
udara yang ada. Dalam kaitannya dengan instrumen pengelolaan kualitas udara,
inventori emisi dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber permasalahan
mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi alternatif
pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara. Inventori
emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi pengelolaan
kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi pengelolaan
kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas udara, analisa
dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat. Terdapat hubungan antara
pemantauan, model dan inventori emisi, seperti yang terlihat pada gambar II.2
berikut ini.
Gambar II.2. Kaitan Instrumen Pengelolaan Kualitas Udara
15
Berkaitan dengan isu mengenai kualitas udara ambien, inventori emisi dapat
digunakan untuk menghitung konstribusi penghasil emisi dari berbagai sumber
yang berbeda. Apabila inventori emisi digunakan untuk menganalisa sumber
emisi, maka diperlukan pertimbangan kondisi meteorologi. Hal ini dikarenakan
konsentrasi emisi di udara bergantung pada besar emisi dan efek dari meteorologi.
Oleh karena itu dalam penanganan dan pengelolaan untuk mengurangi konsentrasi
pencemar perlu diperhatikan parameter meteorologi (Wilton, 2001).
Inventori emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang mencakup
identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan sebagai
dasar pengembangan strategi pengendalian. US EPA (2004) mengungkapkan
bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu kegiatan yang
dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu seperti
penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori emisi
diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai status
kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi sepanjang
waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara diemisikan,
berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber mana yang
lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian emisinya.
Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data dasar atau
indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material dari energi
yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi yang
digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan faktor
emisi. Inventori emisi biasanya mencakup dua komponen data penting yaitu
mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi.
Beberapa prinsip umum dalam membangun program inventori emisi gas rumah
kaca yang efektif (Loreti, 2006) antara lain:
a.
Pemahaman akan emisi. Pengetahuan tentang besar emisi yang berasal dari
berbagai sumber serta pemahaman akan jenis-jenis sumber emisi akan
mempermudah dalam membuat acuan pengembangan inventori
16
b.
Mengetahui kegunaan dari inventori emisi. Setiap perusahaan atau lembaga
mempunyai berbagai kepentingan terhadap inventori emisi. Perbedaaan
kepentingan ini akan berimbas pada tingkat keakuratan, kelengkapan dan
dokumentasi inventori.
c.
Memberikan batasan terhadap emisi yang akan dimasukkan dalam inventori.
Pembatasan ini berguna dalam hal tindakan meminimalkan jumlah emisi dari
sumber yang nantinya akan menentukan kontrol.
d.
Fleksibilitas yang tinggi akan memberikan kemudahan dalam menentukan
skenario pada waktu depan.
e.
Pelaporan
yang
bersifat
transparan
mengenai
emisi
dan
tindakan
penanganannya, akan memberikan kemudahan dalam pemberian kritik oleh
pengambil kebijakan.
f.
Mengembangkan inovasi.
Proses perancangan dalam pembuatan inventori emisi dilakukan dengan
mengikuti beberapa tahapan, antara lain:
1.
Identifikasi isu utama. Beberapa keuntungan yang diperoleh antara lain
adanya batasan ruang lingkup dan sasaran inventori emisi, kemudahan
identifikasi sumber yang akan diikutsertakan dalam inventori, pelaporan lebih
kontekstual, identifikasi kontaminan/pencemar yang diikutsertakan dalam
inventori
2.
Identifikasi bahan pencemar. Inventori emisi mencakup perhitungan emisi
dari parameter PM10, CO, SOx, NOx, VOCs dan CO2. Selain itu ditambahkan
pula Hazardous Air Pollutants (HAPs) seperti Benzen, PAHs dan Dioksin
serta gas rumah kaca seperti N2O dan Metan.
3.
Identifikasi sumber. Hampir kebanyakan bahan pencemar berasal dari sumber
yang spesifik. Berdasarkn isu yang diangkat dan jenis polutan yang termasuk
dalam inventori maka dapat ditetapkan pula sumber-sumber emisi dalam
inventori. Sebagai contoh, untuk inventori gas rumah kaca, maka sumber
yang akan diikutsertakan mencakup aktivitas sektor transportasi, agrikultur,
proses industri dan pembangkit listrik
4.
Penentuan area studi
17
5.
Distribusi spasial. Pemilihan resolusi spasial pada inventori bergantung pada
beberapa faktor termasuk ukuran area, pola distribusi, kondisi geografi dan
meteorologi. Beberapa altenatif dalam penggambaran distribusi spasial antara
lain dengan pembagian area berdasarkan grid, distribuasi spasial berdasarkan
area sensus dan lain sebagainya. Pembagian area berdasarkan grid biasanya
dilakukan pada wilayah studi yang besar dengan kekhasaan kondisi atmosfer,
dimana suatu wilayah dibagi atas grid dengan ukuran yang sama dan
pengukuran emisi dilakukan pada masing-masing grid.
6.
Distribusi temporal. Data dipresentsikan berdasarkan durasi waktu (jam, 24
jam, bulan, musiman dan tahunan). Penentuan durasi waktu ini didasarkan
atas berbagai faktor seperti aspek meteorologi. Untuk pehitungan musiman
biasanya dibedakan antara musim panas dan dingin atau musim hujan dan
kemarau (Wilton, 2001).
Sedangkan berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventori emisi
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1.
klasifikasi semua polutan dan sumber emisi pada lokasi yang dimaksud
2.
identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap
polutan dan sumber
3.
memperkirakan kuantitas informasi unit produksi
4.
perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer
5.
menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber
yang teridentifikasi
Walaupun inventori emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan
tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan
dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber
yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau
pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta
perubahan-perubahan dalam pembuatan inventori emisi (Canter, 1996).
Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventori harus dapat memberikan jaminan
kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator dari
kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu:
18
a.
Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventori dapat mengerti tentang
bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam
skala nasional
b.
Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas
dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya komponenkomponen yang terlewatkan selama melakukan inventori
c.
Konsistensi. Inventori yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus
dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya
sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan
d.
Perbandingan. Inventori emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan
dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama
e.
Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventori emisi
harus dapat dipertanggungjawabkan
Pembaruan data inventarisasi emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya
setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventarisasi emisi adalah:
•
Pengkajian kualitas udara
•
Pengamatan kecenderungan emisi
•
Input pemodelan kualitas udara
•
Mengevaluasi scenario dimasa yang akan dating, seperti memperkirakan
dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara,
dampak adanya sumber pencemaran baru, atau scenario penurunan emisi
•
Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau
kualitas udara (Bappenas, 2006).
Gambaran Inventori Emisi di Berbagai Kota Besar
Beberapa kota seperti Oakland, Springfield, Arizona dan kota di negara Australia
melakukan inventori emisi gas rumah kaca dengan pendekatan yang hampir sama
yaitu menggunakan faktor emisi dari jarak tempuh kendaraan (VKT/VMT).
Berikut merupakan langkah yang digunakan di Springfield dan umum dilakukan
di tiap negara dalam melakukan inventori emisi, yaitu :
1.
Menentukan tujuan dan lingkup inventori sehingga memudahkan dalam
penentuan metodologi yang akan digunakan dalam inventori
19
2.
Mengumpulkan data yang berkaitan dengan inventori gas rumah kaca yang
meliputi tiga sektor utama antara lain konsumsi energi, transportasi dan
penanganan limbah. Hampir sebagian besar inventori dilakukan pada dua
jenis gas yang dominan terhadap timbulnya efek rumah kaca yaitu CO2 dan
CH4. Terdapat dua pendekatan umum yang digunakan dalam pengumpulan
data yaitu top-down dengan menggunakan lebih banyak informasi yang
sifatnya umum dan bottom-up dengan menggunakan data konsumsi yang
lebih detail untuk tiap area
3.
Perhitungan beban emisi dan konversi ke dalam CO2 equivalen
4.
Melakukan interpretasi dari hasil inventori sehingga dihasilkan gambaran
tentang besar konstribusi sumber pencemar yang mana gambaran ini akan
digunakan dalam pengambilan langkah penanganan dan prediksi ke depan.
Perdekatan dari sektor transportasi tidak hanya dilakukan untuk jenis road
transportation, melainkan termasuk juga civil aviation, military transportation,
railway transportation dan sumber bergerak lainnya. Tabel II.3 dan gambar II.3
berikut ini memberikan gambaran nilai beban emisi kota-kota di negara lain pada
tahun 2005 (CLIISE, 2007).
20
Tabel II.3. Perbandingan nilai beban emisi antar kota
Beban Emisi (e CO2) dalam ton
Nama Kota
New south wales1)
Total
%*)
21600000
26.8
Queensland1)
18700000
23.3
Victoria1)
20600000
25.6
Western australia1)
9500000
11.9
South australia1)
5900000
7.3
Tasmania1)
1800000
2.2
2248667
1138767
47
434398000
211714000
48
California4)
85400000
43200000
50.6
San Diego5)
15146700
7864800
52
Columbia6)
2908547
834458
28.6
Oakland2)
Springfield oregon3)
80400000
Transportasi
Sumber : 1)State and Territory GHGs Inventories (2005); 2)GHGs
Inventory Report Oakland (2006); 3)GHGs Inventory Report
Springfield (2007); 4)GHGs Inventory Report California
(2006); 5)GHGs Inventory Report San Diego (2004); 6)GHGs
Inventory Report Columbia (2006)
Catatan *) merupakan nilai persentase sektor transportasi dari total
keseluruhan beban emisi di berbagai sektor
Gambar II.3. Grafik Perbandingan Beban Emisi
21
II.7.
Faktor Emisi
Faktor emisi adalah rata-rata statistik dari massa pencemar yang diemisikan dari
suatu sumber per unit aktivitas tertentu. Untuk sumber bergerak, faktor emisi
dapat dinyatakan dalam unit:
•
gram/kilometer (g/km), gram menyatakan banyaknya pencemar yang akan
diemisikan, km menyatakan jarak tempuh kendaraan dalam waktu tertentu
•
gram/kilogram (g/kg), gram menyatakan banyaknya pencemar yang akan
diemisikan, kg menyatakan kuantitas bahan bakar yang digunakan
•
gram/Joule (g/J), gram menyatakan banyaknya pencemar yang akan
diemisikan, Joule menyatakan energy yang digunakan (Lestari, 2005).
Berdasarkan acuan dari IPCC (2006), faktor emisi untuk CO2 dikembangkan
dengan dasar kandungan unsur karbon dalam bahan bakar. Pembuatan faktor
emisi untuk CH4 dan N2O lebih sulit dilakukan karena jenis polutan tersebut lebih
bergantung pada teknologi yang digunakan. Perhitungan faktor emisi dilakukan
dengan pertimbangan jenis bahan bakar dan tipe kendaraan (angkutan
penumpang, truk, sepeda motor) yang didasari oleh jenis mesin dan teknologi
kontrol yang digunakan. Selain itu pengembangan dalam pembuatan faktor emisi
juga dapat dilakukan dengan memasukkan faktor-faktor lokal seperti kecepatan
berkendara, temperatur, ketinggian permukaan, alat kontrol polusi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Christopher (2007) dikemukakan bahwa
terdapat adanya unsur ketidakpastian dalam pembuatan faktor emisi dan inventori
yang disebabkan beberapa hal, antara lain:
•
Kesalahan pengambilan sampel
•
Kesalahan pengukuran bisa terjadi dikarenakan kesalahan pada pengambilan
sampel dan metode analisa
•
Tidak representatif. Pada saat dilakukan pengukuran terhadap suatu sumber,
maka kondisi selama tes haruslah mewakili kondisi nyata di lapangan
•
Rata-rata waktu pengukuran. Data emisi yang diukur memiliki waktu ratarata yang berbeda, bergantung pada jenis polutan. Sebagai contoh, emisi gas
NOx, SO2, dan lainnya dapat diukur pada resolusi waktu jangka pendek.
Kebanyakan inventori emisi dikembangkan berdasarkan basis waktu jam
22
(untuk model kualitas udara), satuan hari dan tahun. Jika periode inventori
tidak sesuai dengan periode pengukuran, maka akan terjadi kesalahan pada
saat interpolasi dan ekstrapolasi.
•
Kehilangan data dapat dikarenakan ketidakmampuan alat dalam mendeteksi,
dimana nilai pengukuran berada dibawah rentang nilai suatu instrumen.
Variabilitas mengacu pada kepastian bahwa sumber emisi yang berbeda akan akan
menghasilkan kadar emisi yang berbeda juga (inter-unit variability) atau dapat
dikatakan bahwa emisi bervariasi terhadap waktu untuk setiap sumber (intra-unit
variability). Ketidakpastian mengacu pada kurangnya pengetahuan tentang
kepastian nilai dari kuantitas yang tidak diketahui atau kepastian distribusi
populasi yang menggambarkan variabilitas. Variabilitas maupun ketidakpastian
bergantung pada waktu rata-rata. Secara umum, variabilitas pada emisi dalam
kurun waktu yang singkat (contoh jam) lebih besar dibandingkan dengan kurun
waktu yang panjang (contoh tahun). Sama halnya dengan variabilitas,
ketidakpastian perhitungan emisi dalam rentang waktu yang singkat akan lebih
besar dari pada pengukuran pada rentang waktu yang panjang. Secara umum, hal
yang berpengaruh pada variabilitas emisi mencakup:
•
Desain yang berbeda pada sumber emisi akan menyebabkan perbedaan yang
berpengaruh pada besar emisi
•
Perbedaan pada kondisi udara ambien seperti temperatur, kelembapan dan
tekanan udara akan mempengaruhi emisi suatu polutan dari proses
pembakaran seperti VOC dan NOx
•
Pemeliharaan peralatan juga berpengaruh terhadap perbedaan nilai efisiensi
dan besar emisi yang dihasilkan
•
Beberapa industri beroperasi pada periode waktu tertentu, dimana siklus
operasi dapat berupa satuan hari atau musim. Karakteristik emisi selama
pengoperasian jangka pendek akan berbeda dengan pengoperasian yang
dilakukan tanpa adanya perubahan dalam kurun waktu yang lama
(Christopher, 2007).
23
Pengumpulan data pada inventori emisi dibagi atas beberapa jenis aktivitas seperti
sistem pemanas rumah tangga, industri, emisi kendaraan bemotor dan sumber
lainnya. Proses pengumpulan data pada sektor transportasi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu perhitungan jarak tempuh kendaraan (VKT) dan tingkat
kepadatan lalu lintas berdasarkan model sistem transportasi atau dengan
menggunakan data lalu lintas berdasarkan hasil observasi. Perhitungan emisi
dilakukan dengan menggunakan data aktivitas dan faktor emisi. Data aktivitas
dapat berupa bahan bakar yang digunakan (satuan kg), produk yang dihasilkan
(satuan kg) serta lama waktu pembuangan (jam). Dalam studi inventori emisi dari
sektor transportasi, maka data aktivitas yang digunakan dapat berupa jarak tempuh
kendaraan (satuan km) dan jumlah pemakaian bahan bakar (satuan liter)
(Wilton, 2001).
II.8.
Metodologi Desain Konsep
Metodologi konsep dasar desain terbagi atas dua bagian yaitu top-down dan
bottom-up. Konsep dasar dengan pendekatan top-down merupakan pengembangan
sebuah konsep tunggal (rencana awal) dan menghasilkan gambaran yang lebih
detail dari konsep tunggal tersebut (rencana akhir). Sebaliknya konsep dasar
dengan pendekatan bottom-up memperkenalkan adanya sebuah konsep baru serta
kelengkapannya yang tidak tampak pada rencana sebelumnya. Karakterisasi
konsep dasar dengan pendekatan top-down mengacu pada beberapa hal seperti:
1.
merupakan stuktur yang sederhana yang dimulai dengan konsep tunggal
(rencana awal) menuju ke rencana akhir yang terdiri atas konsep-konsep kecil
2.
semua identitas dikembangkan menjadi identitas baru yang menggambarkan
konsep asli dengan level yang lebih rendah
3.
adanya hubungan atau konektifitas logis yang diterima oleh konsep tunggal
dari suatu rencana akhir
Konsep dasar dengan pendekatan bottom-up memperkenalkan konsep baru serta
kelengkapannya yang tidak tampak pada rencana atau konsep sebelumnya. Dapat
juga merupakan hasil modifikasi dari konsep yang telah ada. Pendekatan bottomup digunakan dalam desain konsep pada saat ditemukan adanya bagian dari
domain yang tidak tertangkap dalam konsep sebelumnya (Schalkoff, 1990).
24
Langkah pertama perhitungan emisi CO2 dengan menggunakan pendekatan topdown adalah dengan menentukan total penggunaan bahan bakar pada sektor
transportasi berdasarkan jenis bahan bakar. Data tersebut seharusnya sesuai
dengan data pada badan statistik energi nasional. Beberapa isu yang muncul
dengan pendekatan top-down antara lain:
1.
ketersediaan data untuk jenis bahan bakar seperti gas alam dan biofuel
2.
ketersediaan data penggunaan bahan bakar untuk kendaraan on-road dan offroad
3.
data penjualan bahan bakar untuk sektor transportasi yang mungkin
digunakan untuk tujuan yang lain
4.
perhitungan ilegal dari atau ke suatu negara
Perhitungan konsumsi bahan bakar dengan pendekatan bottom-up dilakukan
terhadap masing-masing jenis tipe kendaran. Selisih antara total konsumsi bahan
bakar dari road vehicles dengan total konsumsi bahan bakar sektor transportasi
akan memberikan gambaran besar penggunaan bahan bakar untuk kendaraan offroad. Contoh pengembangan model berdasarkan pendekatan top-down dan
bottom-up dapat dilihat pada gambar II.4 berikut ini (IPCC, 2006).
Gambar II.4. Konsep Dasar Pengembangan Model
25
II.9.
Bahan Bakar Minyak
Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di konsumsi
oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final
merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi
pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar (47%)
dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di susul
oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit listrik
(10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat dengan
pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi seperti:
pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola mengemudi
dan prasarana jalan (Hidayat, 2005).
II.9.1. Bensin
Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis
BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran menggunakan
pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang
memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini dihitung
berdasarkan nilai RON (Randon Octane Number). Berdasarkan RON tersebut
maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
•
Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna
kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna
tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan
bakar kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan
lain-lain. Bahan bakar ini sering juga disebut motor gasoline atau petrol.
Secara lengkap, propeti premium dapat dilihat pada tabel II.4 berikut ini.
26
Tabel II.4. Properti Premium
No
1
2
Properti
Knock rating Research
Octane Number (RON)
Kandungan TEL (gr/L)
Batas
Min
88
Maks
-
-
0.3
Metode Tes
ASTM
Lain
D-2699
D-3341
D-5059
3
Distillation
10% evaporation
74
50% evaporation
125
90% evaporation
88
180
o
4
RVP pada 37.8 C (Psi)
9.0
5
Existent Gum (mg/100ml)
4
6
Induction Period (min)
240
7
Kandungan Sulfur (%wt)
0.0
8
No.1
Copper Strip Corrosion
9
Warna
Yellow
10
Dye Content (gr/100L)
0.113
11
Bau
Marketable
Sumber : SK Dirjen Migas No. 108K/72/DDJM/1997
•
D-232
D-381
D-525
D-1266
D-130
Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi
dan kandungan olefin, aromatik dan benzene pada level yang rendah sehingga
menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna pada mesin. Pertamax
ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar
beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan
untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah
menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic
converters.
•
Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi
tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international
world wide fuel charter (WWFC). Ditujukan untuk kendaraan berteknologi
mutakhir yang mensyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan
ramah lingkungan. Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan
yang memiliki kompresi ratio > 10,5 dan juga yang menggunakan teknologi
electronic fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharger dan
catalytic converters (Bphmigas, 2005).
27
II.9.2. Solar
High Speed Diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka
performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin
transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump)
dan electronic injection. Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan
mesin industri. Tabel II.5 berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar
(Bphmigas, 2005).
Tabel II.5. Properti Minyak Solar
No
Properti
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Spesific Gravity pada 60oF
Color ASTM
Cetane Number
Viscosity Kinematic pada 100oF (cSt)
Viscosity SSU pada 100oF (sec)
Pour Point (oC)
Kandungan Sulfur (%wt)
Copper Strip Corrosion
Conradson Carbon Residu %wt
Sedimen %wt
Kandungan Abu %wt
Flash Point oF
Distillation
Recovery pada 300oC (%vol)
Batas
Min
Maks
0.82
0.87
3.0
45
1.6
5.8
35
45
6.5
0.5
No.1
0.1
0.01
0.01
150
40
Sumber : SK Dirjen Migas No. 113K/72/DJM/1999
Metode Tes
ASTM
Lain
D-1298
D-1500
D-613
D-445
D-88
D-97
D-1551
D-130
D-189
D-473
D-974
D-93
D-86
Download