N USANTARA KAMIS, 6 JANUARI 2011 | MEDIA INDONESIA 9 Memboyong Sorgum ke Dalam Lab Mungkinkah mengawali pertanian terpadu bermodal tanaman sorgum? LILIEK DHARMAWAN J ARUM jam baru melewati pukul 09.00. Seorang warga dusun di Karangbelimbing, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terlihat berusaha meraih sorgum matang. Kemudian memotong tangkai gandum tersebut dengan menggunakan sabit. Setelah terkumpul banyak di tangan, dia berjalan ke kandang sapi. Berjarak 5 meter dari kebun penuh sorgum tadi. Kebun sorgum dan kandang itu sesungguhnya laboratorium. Dirintis Wakil Bupati Banyumas Achmad Husein sebagai lapangan pemanfaatan sorgum untuk bioetanol dan pakan ternak. Di tempat itu, targetnya ialah memanfaatkan seluruh potensi yang terkandung dalam sorgum tanpa membuang bagiannya. Adalah Rudi Rutomo, 38, pengelola laboratorium tersebut. Menurutnya, musim panen bagi tanaman sorgum hampir sama dengan jagung, yakni 90-100 hari. Perawatannya mudah karena hanya perlu ditaburi pupuk kandang dan sedikit urea. “Pemeliharaan tanaman sorgum tidak rumit, sama persis dengan jagung,” katanya. Setelah masa panen tiba, laboratorium lapangan tersebut akan mengolah biji-biji sorgum yang sudah matang menjadi bioetanol. Sesudah biji sorgum dirontokkan dari batangnya dengan mesin perontok atau secara manual, biji siap dikeringkan. Pengeringan tergantung sinar matahari. Kalau memang seharian tidak hujan, biji itu bisa kering. Sesudah benar-benar kering, tinggal membuat sorgum menjadi tepung. Tahap selanjutnya memproses tepung. Setiap 50 kg sorgum dibutuhkan 50 liter air berikut enzim yang berperan mempercepat fermentasi sekitar 80 gram. Selain itu, ada tambahan sedikit pupuk urea sebanyak 80 gram, ragi 120 gram, dan gula pasir secukupnya. Bahanbahan tersebut dimasukkan ke dalam satu drum yang harus diaduk setiap 10-15 menit secara rutin. Setelah itu dilakukan penyaringan dan dapat menghasilkan sekitar 90 liter bahan baku bioetanol. Tahapan selanjutnya ialah pemanasan bahan-bahan yang ada di dalam drum atau destilasi. Hasil dari penyulingan itulah sudah murni produk bioetanol sebanyak 20 liter. Pemeliharaan tanaman sorgum tidak rumit, sama persis dengan jagung.” Rudi Rutomo Pengelola laboratorium lapangan Kasbi, 58, seorang pekerja, menambahkan, proses yang mereka lakukan tersebut baru sebatas uji coba. Artinya belum berhitung keuntungan yang diraup. Barangkali saja proses ini cukup rumit dan masih belum menghasilkan keuntungan secara ekonomi. “Tetapi setidaknya, budi daya sorgum ini ternyata punya nilai lebih jika dibandingkan dengan menanam rumput gajah di sekitar peternakan sapi,” jelasnya. Jadi, lanjut dia, laboratorium sebetulnya bukan hanya memproduksi bioetanol murni, melainkan juga tempat mengawali sebuah pertanian terpadu. Artinya, dengan menanam sorgum, FOTO-FOTO: MI/LILIEK DHARMAWAN PANEN: Seorang warga mengumpulkan tanaman sorgum yang telah matang di Dusun Karangbelimbing, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, Banyumas, Jawa Tengah, pekan lalu. Biji sorgum yang matang tersebut dikeringkan kemudian dibuat tepung untuk selanjutnya diproses menjadi bioetanol. berbagai manfaat bisa diraup sekaligus. Daunnya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, tepung sisa pembuatan bioetanol dapat dipakai sebagai pengganti konsentrat untuk sapi. “Seluruh hasil panen tanaman sorgum dapat dimanfaatkan untuk mendukung sektor peternakan,” jelasnya. Kompor khusus Khusus untuk bioetanol, lanjut Kasbi, dibutuhkan banyak penyempurnaan di sanasini. Namun yang jelas, bioetanol tersebut telah mampu menjadi bahan bakar kompor yang telah dirancang secara khusus. Bioetanol berbahan baku sorgum sudah berhasil dibuat. Warnanya seperti minyak tanah dan dapat digunakan untuk bahan bakar kompor. “Api yang dihasilkan juga bagus, berwarna biru sehingga minim timbulnya jelaga. Apalagi, untuk mematang air misalnya, waktunya tidak terlalu lama seperti kompor minyak tanah,” kata Kasbi. Inisiator laboratorium lapangan, Achmad Husein, menyatakan bahwa pembuatan bioetanol dari bahan baku sorgum lebih cepat dan murah. Kalau diproses secara benar, PAKAN SAPI: Sisa tepung sorgum yang digunakan untuk bioetanol dimanfaatkan sebagai pengganti konsentrat untuk pakan sapi. 2,5 kg sorgum akan mampu menghasilkan 1 liter bioetanol yang dapat menggantikan minyak tanah. “Jika dijual, bioetanol tersebut harganya hanya Rp6.000 per liter atau lebih murah jika dibandingkan dengan harga minyak tanah yang mencapai Rp8.000 per liter,” jelasnya. Itu juga alasan mengapa kini Husein membuat model kompor khusus bioetanol yang dapat menggantikan kompor minyak tanah. “Kompor tersebut saya desain sendiri dan bisa dipakai. Dengan bahan bakar bioetanol tersebut, nyala apinya berwarna biru dan tidak menghasilkan jelaga,” ujarnya. Sorgum sesungguhnya tanaman yang sempat populer di kalangan petani, diusung sebagai tanaman penopang ketahanan pangan. Namun, melihat segudang potensi yang dimiliki tanaman yang sanggup hidup di lahan kering tersebut, sejumlah kalangan mulai melirik potensi lain, yakni ampasnya sebagai penopang kebutuhan energi alternatif dan pakan ternak. (N-3) [email protected] PROSES PEMBUATAN: Sejumlah pekerja memeras tepung sorgum yang telah diberi bahan-bahan lainnya untuk dijadikan bioetanol di Dusun Karangbelimbing, Desa Pekuncen, Jawa Tengah. TEMPO DOELOE & KINI Istana Asserayah Hasyimiah KERAJAAN Siak Sri Indrapura di Riau, yang berdiri pada 1723, memiliki peninggalan sejarah sebuah istana. Gaya arsitektur bangunan megah ini adalah hasil perpaduan antara rancang bangun Melayu, Arab, dan Eropa. Adapun jejak sejarahnya sebagai berikut. 1889: Istana Siak, dengan nama asli Istana Asserayah Hasyimiah, mulai dibangun saat Kerajaan Siak Sri Indrapura dipimpin Sultan Hasyim AbREPRO/BAGUS HP dul Jalil Syaifuddin atau Sultan Siak ke-11. Arsiteknya adalah seorang perancang bangunan berkebangsaan Jerman. 1893: Istana Siak selesai dibangun. Dinding istana dibungkus dengan keramik yang khusus didatangkan dari Prancis. Sementara bangunan dua lantai itu terbagi atas ruang sidang, ruang tunggu tamu, ruang tamu kehormatan, ruang tamu lakilaki, ruang tamu perempuan, dan ruang pesta di lantai da- sar. Lantai atasnya terdiri dari sembilan ruangan yang keseluruhannya digunakan sebagai tempat beristirahat sultan dan para tamu kerajaan. 1999: Pemerintah Kabupaten Siak memugar Istana Asserayah Hasyimiah karena telah berusia seabad lebih. Pemugaran ini juga mungkin dilakukan setelah Siak mekar menjadi daerah tingkat dua, lepas dari induknya, Kabupaten Bengkalis. (BG/N-3) MI/BAGUS HP ASAL USUL Tari Likurai JIKA menapaki nilai historis tari Likurai, ada perjuangan di dalamnya. Tarian yang berasal dari Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, ini dulunya merupakan tarian perang. Didendangkan saat menyambut atau menyongsong para pahlawan yang pulang dari medan pertempuran. Di masa lampau, tari Likurai baru akan digelar apabila pahlawan yang pulang perang berhasil membawa penggalan kepala musuh mereka. Feto, atau nona muda yang masih berdarah bangsawan, selalu hadir untuk menjemput para pahlawan Tetun--suku yang bermukim di Belu dan Timor Leste--sambil menarikan Likurai. Likurai sendiri dalam bahasa Tetun mempunyai arti ‘menguasai bumi’. Secara etimologis, liku artinya ‘menguasai’, sedangkan rai berarti ‘tanah’ atau ‘bumi’. Tarian ini melambangkan penghormatan bagi para pahlawan yang telah menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta. (Iwa/N-3) MI/PALCE AMALO