BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Penyembuhan Luka Gingiva Gingiva adalah bagian dari mukosa mulut yang melapisi tulang alveolar dari rahang atas dan rahang bawah serta di sekeliling leher gigi (Fiorellini, 2002). Gingiva tersusun dari epitel berkeratin dan jaringan ikat (Fedi dkk., 2004). Gingiva secara anatomi dibagi menjadi marginal gingiva (tepi gusi), sulkus gingiva, attached gingiva (bagian dari yang melekat), serta interdental gingiva atau interdental papilla (Fiorellini, 2002). Gingiva sering mengalami perlukaan yang disebabkan oleh patologi atau traumatik yang dapat memicu hilang atau rusaknya struktur anatomi (Polimeni dkk., 2006). Luka adalah keadaan hilangnya kontinuitas jaringan tubuh. Luka merupakan salah satu akibat trauma yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya disebabkan oleh sengatan listrik, ledakan, gigitan hewan dan oleh trauma benda tumpul maupun benda tajam. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Proses penyembuhan luka (wound healing) merupakan proses yang kompleks dan terjadi secara fisiologis didalam tubuh. Penyembuhan luka terdiri dari beberapa fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi (Sjamsuhidajat, 2004). a. Fase Inflamasi Fase inflamasi merupakan fase pertama dari proses penutupan luka dan sering disebut juga fase reaktif (Leong dan Phillips, 2004). Pada fase 6 7 inflamatori atau fase satu, fase ini ditandai dengan adanya eritema, rasa hangat pada kulit, udema dan rasa sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4 setelah terjadinya luka, terjadi peningkatan aliran darah ke daerah luka (Dewi dkk., 2013). Pada fase ini terjadi dua respons yaitu respons vaskular dan respons inflamasi. Respons vaskular diawali dengan respons hemostatik tubuh selama 5 detik pasca luka yaitu pembuluh darah akan berkonstriksi di sekitar luka sehingga vasokonstriksi akan mengurangi pendarahan, kemudian pengaktifan trombosit dan pembentukan lapisan fibrin. Lapisan fibrin ini membentuk scab (keropeng) di atas permukaan luka. Respon inflamasi ditandai dengan pelepasan substansi vasoaktif seperti prostaglandin dan histamin yang mengakibatkan peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Vasodilatasi menyebabkan semakin banyaknya aliran darah ke sekitar luka yang menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat/demam, ketidaknyamanan/nyeri. Kemudian sel darah putih yaitu neutrofil sebagai pertahanan seluler pertama akan memfagositosis jaringan yang mati, benda-benda asing dan bakteri, yang tidak dapat terfagositosis neutrofil akan diteruskan oleh makrofag sebagai sel pertahanan seluler kedua makrofag memfagositosis neutrofil. Proses ini disebut dengan proses debris (pembersihan) (Boyle, 2009; Febram dkk., 2010; Arisanty, 2013). b. Fase proliperasi Fase berikutnya adalah fase proliperasi (perlekatan). Fase ini umumnya berlangsung pada hari ke-2 sampai ke-24. Pada fase ini makrofag akan 8 mengeluarkan fibroblast growth factor (FGF) dan angiogenesis growth factor (AGF). FGF akan menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan kolagen dan elastin. AGF akan merangsang pembentukan pembuluh darah yang baru. Kolagen dan elastin yang dihasilkan menutupi luka dengan membentuk matriks/ikatan jaringan baru yang dikenal dengan proses granulasi yang menghasilkan jaringan granulasi. Jaringan granulasi berproliferasi dan menutup kedalaman luka sehingga permukaann luka menjadi rata dengan tepi luka. Proses epitelisasi yang dimulai dari tepi luka yang mengalami proses migrasi, membentuk lapisan tipis berwarna merah muda untuk menutupi luka. Sel pada lapisan ini sangat rentan dan mudah rusak. Sel mengalami kontraksi (pergeseran) sehingga tepi luka menyatu hingga ukuran luka mengecil (Febram dkk., 2010; Arisanty, 2013). c. Fase remodeling atau maturasi Fase remodeling atau maturasi terjadi mulai hari ke-21 sampai lebih dari 2 bulan bahkan beberapa tahun setelah luka. Aktivitas utama yang terjadi adalah penguatan jaringan bekas luka dengan aktivitas remodeling kolagen dan elastin pada kulit. Kontraksi sel kolagen dan elastin terjadi sehingga menyebabkan penekanan ke atas permukaan kulit. Kolagen akan menguatkan ikatan sel kulit baru karena kulit masih rentan terhadap gesekan tekanan. Serabut-serabut kolagen akan menyebar dengan saling terikat dan menyatu sehingga berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan (Arisanty, 2013). 9 2. Re-epitelisasi Proses re-epitelisasi akan menghasilkan kembali lapisan epidermis yang utuh untuk menutup luka sehingga dapat terlindungi dari lingkungan luar. Proses reepitelisasi terdiri dari fase migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit (Schwartz dkk., 2000). Menurut Andreasen dkk (2000), sel epitel mengalami migrasi secara bertahap lapis demi lapis. Keratinosit mengalami migrasi ke daerah perlukaan sekitar 24 jam setelah perlukaan (Young dan McNaught, 2011). Pada hari pertama dan kedua, migrasi penutupan permukaan epitel hanya setebal dua sampai tiga sel dan membentuk lapisan basal (Bartold dkk., 2000). Pembentukkan matriks sementara dilakukan oleh fibronektin bersama dengan fibrin. Matriks tersebut bertindak sebagai penjangkar seluler dan jalan bagi epitel untuk bermigrasi sendiri (Andreasen dkk., 2007). Fibronektin merupakan komponen matriks penting yang mendukung adhesi keratinosit dan memandu pergerakkan sel dalam menyeberangi luka (Deodhar dan Rana, 1997). Menurut Kalangi (2011), proliferasi sel basal epitel terjadi pada hari pertama sampai kedua. Puncak proliferasi sel terjadi pada hari ketiga dan berlanjut sampai proses epitelisasi selesai (Andreasen dkk., 2007). Migrasi dan proliferasi keratinosit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu Fibroblast Growth Factor (FGF), Epidermal Growth Factor (EGF), Transforming Growth Factor- β (TGFβ), Transforming Growth Factor- α (TGFα), Insulin-like growth factor 1 (IGF-1), dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) (Schwartz dkk., 2000). 10 Epitel mencapai ketebalan normalnya pada hari keempat dan kelima sambil terus melakukan diferensiasi sel permukaan untuk menghasilkan arsitektur epitel yang matur dengan keratinisasi permukaan (Kalangi, 2011). Luka akan tertutup pada hari kelima pasca perlukaan dan pada hari ketujuh jaringan epitel telah matang dan lapisan kornemum yang baru biasanya sudah tampak (Bartold, 2000). Pada hari ketujuh terjadi kontraksi luka yang dimediasi oleh myofibroblas (Young dan McNaught, 2011). 3. Ikan Nila Ikan nila berasal dari Afrika bagian Timur. Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang pipih ke arah vertikal (compress). Posisi mulutnya terletak di ujung hidung (terminal) dan dapat disembulkan (Suyanto 2003). Ikan nila memiliki ciri morfologis yaitu berjari-jari keras, sirip perut torasik, letak mulut subterminal dan berbentuk meruncing. Tanda lain yang dapat dilihat dari ikan nila adalah warna tubuhnya hitam dan agak keputihan. Bagian tutup insang berwarna putih, sedangkan pada nila lokal putih agak kehitaman hingga kuning. Sisik ikan nila berukuran besar, kasar dan tersusun rapi. Sepertiga sisik belakang menutupi sisi bagian depan. Tubuhnya memiliki garis linea lateralis yang terputus antara bagian atas dan bawahnya. Linea lateralis bagian atas memanjang mulai dari tutup insang hingga belakang sirip punggung sampai pangkal sirip ekor. Ukuran kepala relatif kecil dengan mulut berada di ujung kepala serta mempunyai mata yang besar (Kottelat dkk., 1993). 11 Gambar 1. Ikan nila jantan (Suyanto, 2003) Menurut Saanin (1984), ikan nila (Oreochromis niloticus) mempunyai klasifikasi sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Osteichthyes Sub-class : Actinopterygii Order : Percomorphi Sub-order : Percoidea Family : Cichlidae Genus : Oreochromis Species : Oreochromis niloticus Berdasarkan bahan penyusunnya, kulit ikan tersusun atas komponen protein dan non-protein (air, lemak, dan mineral). Besarnya komposisi bahan penyusun kulit ikan bervariasi pada setiap spesies ikan, tergantung musim, makanan, habitat, dan ukuran tubuh ikan. Kulit ikan memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan daging ikan, sementara kadar abu sebaliknya, namun kandungan protein keduanya hampir sama (Peranginangin dkk., 2007). Kulit ikan nila juga dapat diolah menjadi kolagen yang dapat meningkatkan nilai tambah kulit ikan. (Nurhayati dkk., 2013). 12 4. Kolagen Ikan Nila Kolagen adalah protein fibrosa yang merupakan komponen utama jaringan ikat dan merupakan protein paling banyak jumlahnya dalam mamalia. Kolagen dijumpai di tulang, tendon, kulit, pembuluh darah, dan kornea mata. Kolagen mengandung 31% glisin dan 21% prolin serta hidroksipolin, suatu asam amino yang dihasilkan melalui modifikasi pascatranlasi residu prolin (Marks, 2000). Kolagen termasuk protein fibrin (protein berbentuk serabut) yang berperan dalam pembentukkan struktur sel terbesar pada matriks ekstrakseluler yang mempertahankan bentuk jaringan. Secara umum kandungan kolagen sekitar 2530% dari total protein pada tubuh. Kolagen juga merupakan komponen organik pembangun tulang, gigi, sendi, otot, dan kulit (Peranginangin, 2007). Kolagen dibentuk oleh unit struktural yaitu tropokolagen yang mempunyai struktur batang dengan berat molekul 300.000 yang tersusun oleh tiga rantai polipeptida yang sama panjang, bersama-sama membentuk struktur heliks. Tiap tiga rantai polipeptida dalam unit tropokolagen membentuk struktur heliks tersendiri, menahan bersama-sama dengan ikatan hidrogen antara grup NH dari residu glisin pada rantai yang satu dengan grup CO pada rantai lainnya. Cincin pirolidin, prolin, dan hidroksiprolin membantu pembentukan rantai polipeptida dan memperkuat triple heliks (Bhagavan, 1992). Tipe kolagen yang teridentifikasi pada ikan hanya tipe I dan V. Kolagen tipe I terdapat pada kulit, tulang, dan sisik ikan (Nagai dan Suzuki, 2000), sementara kolagen tipe V terdapat pada jaringan ikat dalam kulit, tendon dan otot ikan yang juga mengandung kolagen tipe I (Sato dkk., 1989). Kolagen tipe I yang ditemukan 13 pada kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) sebesar 70 % dari total 90,6% protein pada kulit ikan nila. Selain kandungan kolagen yang tinggi, struktur mekanis dan kestabilan termal kulit kolagen kulit ikan nila juga baik sehingga tepat untuk diaplikasikan pada manusia. Kolagen tipe I memegang peranan penting pada penyembuhan luka karena terlibat dalam pembentukan matriks ekstra seluler dan serabut kolagen luar sel (Zhou dkk., 2015). Kolagen dapat diaplikasikan pada industri makanan, kosmetik, biomedis dan industri farmasi. Pada kosmetik, kolagen digunakan untuk mengurangi keriput pada wajah atau dapat disuntikkan ke dalam kulit untuk menggantikan jaringan kulit yang telah hilang. Pada biomedis, kolagen digunakan sebagai sponges untuk luka bakar, benang bedah, agen hemostatik, penggantian atau substitusi pada pembuluh darah dan katup jantung tiruan. Pada industri farmasi kolagen digunakan sebagai drug carrier yaitu : mini-pellet dan tablet untuk penghantaran protein, formulasi gel pada kombinasi dengan liposom untuk sistem penghantaran terkontrol, bahan pengkontrol untuk penghantaran transdermal, dan nanopartikel untuk penghantaran gen (Lee dkk., 2001). 5. Peran Kolagen dalam Penyembuhan Luka Kolagen merupakan komponen yang penting dari semua fase penyembuhan luka. Peran kolagen dalam penyembuhan luka antara lain memicu sintesis protein, deposisi matriks, diferensiasi sel, angiogenesis, mitogenesis, menginduksi kolagen, dan migrasi seluler seperti keratinosit, epitelisasi, fibroblas, monosit/makrofag, neutrofil, induksi kolagenase, kontraksi luka, agregasi platelet, serta menginduksi clotting cascade (Rangaraj dkk., 2011; Brett, 2008). Kolagen 14 yang terpapar kontak dengan darah akan menimbulkan agregasi trombosit dan aktivasi faktor kemotaksis yang terlibat dalam respon terhadap cedera. Jumlah total kolagen meningkat pada awal perbaikan luka, mencapai maksimum antara dua dan tiga minggu setelah cedera. Kolagen menjadi dasar dari matriks ekstraseluler luka. Fibroblas yang berinvasi mensintesis dan mensekresikan kolagen tipe I dan III untuk membentuk matriks baru. Kolagen tipe III pada awal penyembuhan luka, merupakan kolagen utama yang disintesis. Kolagen tipe III pertama dijumpai setelah 48-72 jam dan maksimal disekresikan setelah 5-7 hari, setelah penutupan luka, terjadi pergantian kolagen secara bertahap, dimana kolagen tipe III mengalami degradasi dan sintesis kolagen tipe I meningkat (Robinson, 2005). Regulasi sintesis kolagen dikendalikan pada beberapa tingkatan. Sejumlah faktor pertumbuhan termasuk TGF-β dan FGF memiliki pengaruh yang besar pada ekspresi gen kolagen. Deposisi dan remodelling kolagen juga dikendalikan oleh berbagai proteinase yang mendegradasi kolagen (Robinson, 2005). Pada fase inflamasi, makrofag yang teraktivasi menghasilkan TNF-α kemudian menginduksi makrofag untuk menghasilkan IL-1bβ. Peran IL-1bβ ialah sebagai mitogenik fibroblas dan ekspresi MMP-9 yang bertugas untuk menghancurkan kolagen. Penghancuran kolagen tersebut akan menstimulasi peningkatan proliferasi fibroblas (Andreasen dkk., 2007; Brett, 2008). Kolagen ikan nila hitam dapat merangsang viabilitas, migrasi dan diferensiasi HaCaTs (Human Keratinocytes) dengan meningkatkan MMP-9, TGF-β1, involucrin, laggrin, and TGase1. Selain itu, kolagen juga meregulasikan ekspresi dari kolagen tipe I pada HDFs (Human 15 Dermal broblasts) baik secara langsung maupun melalui TGFβ1 yang disekresikan oleh HaCaTs ((Zhou dkk., 2015). Fibroblas yang terbentuk akan merangsang growth factor seperti TGF-β, BFGF, PDGF, dan KGF untuk pembentukkan matriks ekstraseluler. KGF akan meningkatkan diferensiasi sel epitel sehingga terjadi re-epitelisasi pada luka dan proses penyembuhan luka pada gingiva lebih cepat (Rangaraj dkk., 2011; Brett, 2008). 6. Aloclair™ Aloclair™ merupakan gel yang digunakan di bidang kedokteran gigi untuk mempercepat proses penyembuhan luka pada rongga mulut. Gel Aloclair™ mengandung ekstrak asam hyaluronat dan lidah buaya yang dapat mendukung proses penyembuhan jaringan luka (Sinclair, 2015). Kandungan dalam Aloclair™ bekerja sebagai agen potensial pengaktifasi makrofag, selain itu dapat menstimulasi pengeluaran faktor pertumbuhan pada penutupan luka yang dihasilkan oleh fibroblas yaitu Keratinocyte Growth Factor (KGF). KGF dapat meningkatkan re-epitelisasi dan mempercepat penutupan luka (Sugiaman, 2011). 7. Hewan Coba Tikus sebagai hewan uji digunakan pada hampir 80% penelitian, selain itu dalam pemilihan jenis kelamin pada hewan uji sangat diperhatikan. Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis Rattus norvegicus, berdasar pada pertimbangan bahwa struktur anatomi gigi dan rongga mulut serta jaringan periodontalnya secara fisiologis memiliki banyak kesamaan dengan manusia dibandingkan dengan hewan lainnya seperti guinea pig ataupun kelinci. (Miles dan Grigson, 2003). Tikus memiliki komponen mukosa oral yang hampir sama 16 dengan manusia (Piper dkk., 2002). Gingiva tikus dilapisi oleh epitel pipih berlapis berkeratin yang terdiri dari empat lapisan yaitu stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum (Ali dan Mubarak, 2012). Tikus jenis kelamin jantan paling sering digunakan karena pada tikus ini tidak dipengaruhi dari proses metabolisne pada tikus. Tikus betina memiliki sistem metabolisme yang fluktuatif sehingga bisa mempengaruhi dalam hasil penelitian (Sengupta, 2013). Gambar 2. Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Krinke, 2000) Menurut Krinke (2000), klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Order : Ordentia Family : Muridae Genus : Rattus Species : Rattus norvegicus 17 B. Landasan Teori Gingiva merupakan jaringan lunak dalam rongga mulut yang melapisi tulang alveolar dan melindungi jaringan di bawahnya. Gingiva sering mengalami perlukaan akibat proses patologis maupun trauma. Praktik di kedokteran gigi memungkinkan terjadinya trauma yang dapat menyebabkan perlukaan terhadap gingiva. Luka merupakan hilangnya kontinuitas jaringan baik secara anatomis maupun fungsional. Proses penyembuhan luka akan segera terjadi setelah kerusakan jaringan terjadi dan tersusun dalam tiga fase yaitu fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. Fase inflamasi terdiri dari respon vaskuler dan respon inflamasi. Respon vaskuler terjadi pada lima detik setelah terjadinya luka yaitu terjadi vasokonstriksi yang dapat mencegah kekurangan darah, kemudian pengaktifan trombosit dan pembentukan lapisan fibrin. Lapisan fibrin ini membentuk scab (keropeng) di atas permukaan luka. Respon inflamasi ditandai dengan pelepasan prostaglandin dan histamin yang mengakibatkan peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Vasodilatasi menyebabkan semakin banyaknya aliran darah ke sekitar luka yang menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat/demam, ketidaknyamanan/nyeri. Sel-sel inflamasi kemudian menuju ke area perlukaan yaitu dimulai neutrofil, makrofag kemudian limfosit. Fase kedua terjadi dimulai dari makrofag yang menstimulasi faktorfaktor pertumbuhan untuk mensintesis pembentukan kolagen, pembuluh darah baru dan terjadinya re-epitelisasi. Pada fase ketiga terjadi penguatan jaringan luka melalui aktivitas remodeling kolagen dan elastin. Kolagen akan menguatkan ikatan sel kulit baru karena kulit masih rentan terhadap gesekan dan tekanan. 18 Re-epitelisasi merupakan komponen penting dalam proses penyembuhan luka yang digunakan sebagai parameter keberhasilan penutupan luka. Re-epitelisasi adalah proses pembentukkan kembali lapisan epidermis sehingga dapat menutupi jaringan luka agar terhindar dari lingkungan luar. Proses re-epitelisasi terbagi menjadi tiga tahap yaitu migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Fase migrasi terjadi 24-48 jam setelah luka terjadi. Sel epitel mengalami migrasi menuju ke daerah luka untuk pembentukkan lapisan epitel lapis demi lapis. Proses selanjutnya terjadi pembentukkan matriks sementara oleh fibronektin. Matriks sementara berfungsi sebagai penjangkar dan jalan bagi sel epitel untuk bermigrasi. Proliferasi sel epitel secara maksimal terjadi pada hari ketiga. Luka akan tertutup pada hari kelima pasca perlukaan dan pada hari ketujuh jaringan epitel telah matang dan lapisan kornemum yang baru biasanya sudah tampak. Pada hari ketujuh terjadi kontraksi luka yang dimediasi oleh myofibroblas. Kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) memiliki kandungan kolagen yang tinggi. Kolagen dapat merangsang viabilitas, migrasi dan diferensiasi HaCaTs (Human Keratinocytes) dengan meningkatkan MMP-9, TGF-β1, involucrin, laggrin, and TGase1. Selain itu, kolagen juga meregulasikan ekspresi dari kolagen tipe I pada HDFs (Human Dermal broblasts) baik secara langsung maupun melalui TGFβ1 yang disekresikan oleh HaCaTs. Fibroblas yang terebentuk akan merangsang growth factor seperti TGF-β, BFGF, PDGF, dan KGF untuk pembentukkan matriks ekstraseluler. KGF akan meningkatkan diferensiasi sel epitel sehingga terjadi re-epitelisasi pada luka dan proses penyembuhan luka pada gingiva lebih cepat. 19 C. Kerangka Teori Luka pada gingiva Makrofag teraktivasi TNF-α Gel kulit ikan nila (Oreochromis Niloticus) 10% Induksi IL-1bβ Meningkatkan MMP-9 Kolagen kulit ikan nila (Oreochromis Niloticus) Memecah Kolagen Proliferasi fibroblas TGF-β, BFGF, PDGF, KGF KGF menaikkan diferensiasi sel Re-epitelisasi sel Proses penyembuhan luka gingiva lebih cepat 20 D. Hipotesis Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakkan, maka dalam penelitian ini diajukkan hipotesis sebagai berikut: Aplikasi gel kolagen kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) 10% dapat berpengaruh meningkatkan re-epitelisasi pada proses penyembuhan luka gingiva Rattus norvegicus.