kajian penawaran saham perdana (go public) pada perioda

advertisement
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
KAJIAN PENAWARAN SAHAM PERDANA (GO PUBLIC) PADA
PERIODA PREMARKET, ISSUE DATE DAN AFTERMARKET
Arni Utamaningsih∗
Dosen Politeknik Negeri Padang Jurusan Administrasi Niaga
email: [email protected]
ABSTRACT
This study discusses about the going public procedures and some of the literature
regarding the public offering process in the premarket, issue date, and aftermarket
period. The purpose of this discussion is to understanding the process of an initial
public offering on the stock exchange and the various possibilities of research to do. In
the premarket period there is the phenomenon of pricing, there is still no definitive
explanation about why the issue price is set very low. On the issue date period there is
underpricing phenomenon that occurs almost throughout the capital markets in the
world. In the period there is a phenomenon aftermarket stock performance and price
stabilization by underwriters.
Keywords: Go Public, Underpricing, Premarket, Issue Date, Aftermarket
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Go public atau penawaran saham perdana merupakan kegiatan yang dilakukan
emiten untuk menjual sekuritas kepada masyarakat, berdasarkan tata cara yang diatur
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya (Tandelilin, 2001). Perusahaan penerbit
saham disebut dengan emiten. Emiten merupakan pihak yang mencari dana dengan
menjual sekuritas kepada masyarakat luas melalui pasar modal. Pihak pembelinya
adalah masyarakat umum baik domestik maupun asing yang disebut investor.Penawaran
sekuritas dilakukan dengan menggunakan media masa, atau ditawarkan kepada lebih
dari 100 (seratus) pihak atau telah dijual kepada 50 (limapuluh) pihak.
Go public juga memberi dampak psikologis bagi emiten berupa perubahan
perilaku manajemen ke arah keterbukaan dan profesionalisme; dan merupakan
dorongan untuk meningkatkan pertumbuhan yang tinggi yang justru akan memajukan
perusahaan. Secara kolektif peranannya di bursa efek, emiten merupakan pihak yang
berperan aktif dalam pengembangan pasar modal melalui keterbukaan informasi,
peningkatan likuiditas sekuritas, pemantauan harga sekuritas dan menjaga hubungan
baik dengan pemodal.
Tempat untuk pertama kalinya transaksi penawaran saham perdana dilakukan
disebut pasar perdana (primary market). Di pasar perdana, efek ditawarkan kepada
∗
Artikel ini telah diseminarkan pada Seminar Nasional Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang
“Membangun Daya Saing Bangsa Dalam Menghadapi Persaingan Global” yang diselenggarakan pada
26 Oktober 2013 di Padang.
.
ISSN 1858–3717
87
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
investor oleh Penjamin Emisi melalui para Agen penjual yang ditunjuk.Masa penawaran
saham perdana sekurang-kurangnya tiga hari kerja, yaitu masa dimana masyarakat
mengisi formulir pemesanan dan penyerahan uang melalui agen penjual, setelah
sebelumnya melalui tahap penjatahan saham sesuai dengan pesanan pemodal.
Selanjutnya saham diperdagangkan di pasar sekunder (secondary market).Pada
tahapan ini emiten mencatatkan sahamnya di Bursa Efek, yang kemudian dilanjutkan
dengan perdagangan resmi di bursa untuk pertama kalinya. Dengan demikian
perusahaan emiten hanya memperoleh dana segar pada saat melakukan transaksi di
pasar perdana, sedangkan perdagangan di pasar sekunder tidak akan memberikan
tambahan dana bagi perusahaan. Ringkasnya kegiatan-kegiatan Penawaran saham
perdana meliputi hal-hal berikut ini (Darmadji dan Fakhruddin,2001):
1) Perioda pasar perdana yaitu ketika efek ditawarkan kepada pemodal oleh Penjamin
Emisi melalui para Agen Penjual yang ditunjuk.
2) Penjatahan Saham yaitu pengalokasian Efek pesanan para pemodal sesuai dengan
jumlah efek yang tersedia.
3) Pencatatan efek di bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan di bursa.
A. Manfaat Penawaran Saham Perdana (Go Public)
Manfaat yang akan diperoleh perusahaan yang go public adalah sebagai berikut
(Ang, 1997):
1) Memperoleh dana murah dari investor untuk keperluan penambahan modal. Dana
ini dapat dimanfaatkan emiten untuk pengembangan usaha, membiayai berbagai
rencana investasi termasuk proyek yang berisiko tinggi.
2) Meningkatkan image masyarakat terhadap perusahaan dan menarik minat para
professional untuk bergabung. Tingginya minat para professional maupun manajer
untuk bergabung diharapkan dapat mengembangkan perusahaan, menjamin
kelangsungan hidup perusahaan, disamping sebagai sarana untuk mengevaluasi diri
dan meniti jenjang karir secara obyektif.
3) Meningkatkan sense of belonging, khususnya bagi pemegang saham individu agar
cenderung setia kepada produk perusahaan karena adanya rasa ikut memiliki
perusahaan.
4) Bagi perusahaan yang sahamnya aktif diperdagangkan (likuid) dan kepemilikannya
tersebar secara luas, pergerakan harga sahamnya dapat dimonitor di media masa.
Cara ini merupakan cara efektif dan cuma-cuma dalam melakukan promosi kepada
publik.
Kajian lebih mendalam mengenai keuntungan perusahaan yang melakukan go
public adalah sebagai berikut (Tandelilin, 2001):
1) Diversifikasi. Dengan melakukan go public, maka pemilik perusahaan akan
membagi kepemilikan perusahaan kepada masyarakat yang berminat untuk
membeli saham perusahaan tersebut, sehingga pemilik perusahaan tersebut juga
telah membagi risiko yang harus ditanggung jika dia menjadi pemilik tunggal
perusahaan.
2) Meningkatkan likuiditas. Saham yang tidak ditawarkan kepada umum akan sulit
untuk diperjualbelikan. Jika salah satu pemilik mau menjual saham yang dimiliki,
maka dia akan sulit untuk mencari calon pembeli dan kalaupun ada calon pembeli
akan sulit menentukan harga dalam melakukan transaksi. Kesulitan tersebut tidak
akan terjadi pada perusahaan yang go public.
3) Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan modal perusahaan. Perusahaan yang
tidak go publicakan mendapat kesulitan jika ingin menambah dana perusahaan
ISSN 1858–3717
88
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
melalui penjualan saham baru. Belum tentu pemegang saham lama ingin
menambah bagian kepemilikannya, sedangkan untuk mencari investor baru tidaklah
mudah, karena perusahaan yang tidak go public, tidak wajib untuk melaporkan
kondisi keuangan kepada umum, sehingga menyulitkan investor untuk menilai
kinerja perusahaan yang sebenarnya (ketidakterbukaan seperti ini bisa
menyebabkan calon investor enggan membeli saham perusahaan). Hal ini tidak
terjadi pada perusahaan yang telah go public. Perusahaan yang go public wajib
melaporkan kondisi perusahaannya secara rutin kepada umum, sehingga investor
dengan mudah mengetahui kondisi perusahaan yang sebenarnya, dan bisa
mengambil keputusan investasi yang lebih baik.
4) Penentuan nilai perusahaan. Perusahaan yang go public bisa menentukan secara
jelas seberapa besar nilai perusahaan dengan melihat besarnya harga saham
perusahaan tersebut di pasar. Hal ini tidak terjadi pada perusahaan yang tidak go
public.
Setelah dana hasil go public telah dihimpun maka dana itu dapat dipergunakan untuk
membiayai ekspansi, memperbaiki struktur permodalan maupun divestasi.
B. Tata Cara Go Public
Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipersiapkan oleh emiten dalam rangka
penawaran saham perdana (Panduan Go Public,2002):
1) Manajemen perusahaan menetapkan rencana mencari dana melalui go public.
2) Rencanago public tersebut dimintakan persetujuan kepada para pemegang saham
dan perubahan Anggaran Dasar dalam RUPS.
3) Emiten mencari Profesi Penunjang dan Lembaga Penunjang untuk membantu
menyiapkan kelengkapan dokumen, yaitu:
a. Penjamin Emisi (Underwriter) untuk menjamin dan membantu emiten dalam
proses emisi.
b. Profesi Penunjang, yang terdiri atas:
a) Akuntan Publik (Auditor Independen) untuk melakukan audit atas laporan
keuangan emiten untuk dua tahun terakhir.
b) Notaris untuk melakukan perubahan atas Anggaran Dasar, membuat akta
perjanjian-perjanjian dalam rangka penawaran saham perdana dan juga
notulen-notulen rapat.
c) Konsultan Hukum untuk memberikan pendapat dari segi hukum (legal
opinion).
d) Perusahaan penilai (appraisal company) untuk melakukan penilaian atas
aktiva yang dimiliki Emiten (jika diperlukan).
c. Lembaga Penunjang:
a) Wali Amanat.
b) Penanggung atau Guarantor.
c) Biro Administrasi Efek (BAE).
4) Mempersiapkan kelengkapan dokumen emisi.
5) Kontrak Pendahuluan dengan Bursa Efek.
6) Public Expose.
7) Penanda tanganan perjanjian-perjanjian emisi.
8) Khusus penawaran obligasi atau efek lainnya yang bersifat utang, terlebih dahulu
harus memperoleh peringkat yang dikeluarkan oleh Lembaga Peringkat Efek.
9) Menyampaikan pernyataan pendaftaran beserta dokumen-dokumennya kepada
BAPEPAM.
ISSN 1858–3717
89
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peranan Penjamin Emisi (Underwriter)
Proses go public melibatkan pula peran penjamin emisi sebagai lembaga
perantara emisi yang menjamin penjualan sekuritas yang diterbitkan emiten. Penjamin
emisi merupakan mediator antara emiten dan pemodal yang bertugas meneliti dan
mengadakan penilaian menyeluruh atas kemampuan dan prospek emiten. Diharapkan
dengan adanya penjamin emisi maka proses penarikan dana akan lebih mudah dan
mempunyai kepastian.
Penjamin emisi merupakan perusahaan sekuritas yang membuat kontrak dengan
Emiten untuk melakukan penawaran saham perdana bagi kepentingan emiten tersebut.
Kontrak tersebut memiliki sistem penjaminan dalam 2 bentuk:
1) Best effort, berarti Penjamin Emisi hanya menjual sebatas yang laku.
2) Full commitment, berarti Penjamin Emisi menjamin penjualan seluruh saham yang
ditawarkan. Bila ada yang tak terjual, maka Penjamin Emisi yang membelinya.
2.2 Prospektus
Dokumen penting yang harus diterbitkan oleh emiten dalam proses penawaran
saham perdana adalah prospektus. Prospektus merupakan setiap pernyataan yang
dicetak atau informasi yang digunakan untuk Penawaran Efek dengan maksud
mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau memperdagangkan efek, kecuali
pernyataan atau informasi yang berdasarkan ketentuan BAPEPAM dinyatakan bukan
Prospektus. Penyusunan prospektus ini berpedoman pada ketentuan BAPEPAM
(Panduan Go Public, 2002).
Penyusunan prospektus harus mengacu pada hal-hal berikut ini (Darmadji dan
Fakhruddin, 2002):
1) Prospektus harus memuat semua rincian dan fakta material mengenai penawaran
saham perdana dari emiten.
2) Prospektus haruslah dibuat sedemikian rupa sehingga jelas dan komunikatif.
3) Fakta-fakta dan pertimbangan-pertimbangan yang paling penting harus dibuat
ringkasannya dan diungkapkan pada bagian awal prospektus.
4) Emiten, Penjamin Pelaksana Emisi, dan Lembaga serta Profesi Penunjang Pasar
Modal bertanggung jawab untuk menentukan dan mengungkapkan fakta secara
jelas dan mudah dibaca.
Emiten dan penjamin Pelaksana Emisi bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran
semua informasi atau fakta material serta kejujuran pendapat yang tercantum dalam
prospektus.
2.3 Studi Empiris pada Perioda Premarket
Benveniste dan Spindt (1989) mengembangkan model teoritikal yang
menjelaskan tentang IPO underpricing dan kaitannya dengan partial adjustment. Esensi
dari model ini adalah underwriter sudah semestinya memberikan reward kepada
investor atas kerelaannya membeli saham ketika bookbuilding diterapkan. Benveniste
dan Spindt (1989) berargumentasi bahwa praktek bookbuilding memungkinkan bagi
underwriter untuk menghimpun informasi dari pada informed investor. Pada saat
kisaran harga penawaran telah ditentukan dalam preliminary prospectus, underwriter
dan emiten melanjutkan “road show” untuk memasarkan perusahaan mereka kepada
investor yang prospektif. Pada saat “road show” berlangsung underwriter menaksir
kekuatan demand yang mereka tandai sebagai indikasi ketertarikkan dari investor yang
potensial. Jika terdapat demand yang kuat, underwriterakan mematok harga penawaran
ISSN 1858–3717
90
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
yang lebih tinggi. Jika investor potensial mengetahui perubahan harga tersebut dan tetap
rela membayar harga yang diminta underwriter, maka sewajarnya underwriter
memberikan return yang lebih menarik. Underwriter harus menawarkan beberapa
kombinasi keuntungan, meliputi kombinasi pengalokasian saham-saham IPO dan
underpricing. Dengan demikian ketika underwriter mempelajari bahwa permintaan
akan saham tinggi, maka harga penawaran akan terkoreksi naik, tetapi tidak pada
tingkat nilai pasar yang penuh. Sehingga harga penawaran hanya sebagian saja
terkoreksi terhadap munculnya privat information semacam itu. Koreksi harga
berikutnya akan membentuk underpricing sebagai kompensasi atas informasi yang
dimiliki investor.
Hanley (1993) menguji teori bookbuilding yang dikembangkan oleh Benveniste
dan Spindt (1989) untuk pertama kalinya.Hasil pengujian empirik Hanley (1993)
mengemukakan fakta yang mendukung teori bookbuilding. Perubahan harga penawaran
selama perioda pendaftaran ke level yang lebih tinggi merupakan penyesuaian harga
sebagian (partial price adjustment). Hanley menemukan bahwa underwriter tidak
sepenuhnya melakukan penyesuaian harga ke level yang lebih tinggi untuk menjaga
underpricing tetap konstan ketika permintaan menguat. Jadi ketika underwriter
merevisi harga saham lebih tinggi dari estimasi mereka yang original dalam prospektus
pendahuluan, underpricing cenderung menjadi lebih tinggi. Berdasarkan pola IPO
sepanjang tahun 1980-2001 menunjukkan: ketika harga penawaran melebihi kisaran
harga penawaran maksimum yang original, maka rata-rata underpricing adalah 53%
berbeda secara signifikan di atas 12% untuk IPO yang dihargai dalam kisaran harga
pendaftaran (filing Range), atau terkoreksi 3% untuk IPO yang dihargai lebih rendah
dari harga penawaran. Dengan demikian extra underpricing diinterpretasikan sebagai
kompensasi yang dibutuhkan untuk membujuk investor agar mau menampakkan
permintaan pribadi mereka yang tinggi akan saham.
Bradley dan Jordan (2002) berpendapat bahwa model partial price adjustment
yang dikemukakan oleh Benveniste dan Spindt (1989) maupun Hanley (1993) hanya
mempertimbangkan harga penawaran akhir secara relatif terhadap kisaran harga yang
original. Padahal selama perioda pendaftaran, mungkin beberapa kali underwriter
merevisi kisaran harga, hal ini jelas merupakan sinyal bahwa terjadi revisi dalam
penilaian saham.Studi-studi terdahulu tidak mempertimbangkan isi informasi dalam
revisi harga tersebut.Bradley dan Jordan (2002) membagi total adjustment ke dalam dua
komponen, yaitu pre-offer adjustment dan final adjustment.Pembagian ini
memungkinkan untuk mengevaluasi isi informasi yang terkandung dalam harga
penawaran terhadap kisaran harga pendaftaran akhir (final file range) dan selanjutnya
kisaran harga pendaftaran akhir diperbandingkan terhadap kisaran harga pendaftaran
awal (initial file range).Dengan pembagian tersebut diharapkan informasi potensial
yang penting dapat diperoleh.Hasil penelitian Bradley dan Jordan (2002) menyatakan
bahwa harga penawaran tidak sepenuhnya merefleksikan segala tipe informasi
publik.Penelitian mereka menunjukkan bahwa 35%-50% variasi dalam IPO yang
underpricing dapat diprediksi dengan menggunakan informasi publik yang diperoleh
sebelum tanggal penawaran.Kesimpulannya adalah perubahan harga penawaran sahamsaham IPO menyediakan informasi publik yang lebih luas dibandingkan dengan harga
penawaran yang didokumentasikan dalam prospektus.
2.4 Studi Empiris pada Perioda Issue Date
Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa underpricing yang terjadi di pasar
perdana merupakan gejala umum di setiap pasar modal.Underpricing mengindikasikan
ISSN 1858–3717
91
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
adanya penetapan harga terlalu rendah pada emisi saham perdana sehingga ketika
saham pertama kali diperdagangkan di pasar sekunder segera investor memperoleh
abnormal return (Kim, 1993). Walaupun underpricing merupakan fenomena umum
pada saat penawaran saham perdana, tetapi belum ada teori yang mampu menjelaskan
apa yang terjadi penyebab utamanya, sehingga kini fenomena ini masih kontroversial.
Beberapa penelitian mencoba menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya
underpricing.Baron (1982) mengemukakan model yang berdasar pada asimetri
informasi yang menjelaskan perbedaan informasi antara emiten, underwriter dan para
calon investor.Model Baron berasumsi bahwa investment bankers mempunyai informasi
yang lebih baik mengetahui kondisi emiten dibanding calon investor. Posisi underwriter
yang demikian berimplikasi pada keputusan emiten untuk mendelegasikan penentuan
harga penawaran secara optimal kepada underwriter. Semakin besar asimetri informasi
yang dihadapi calon investor, maka mereka cenderung memaksa underwriter untuk
menetapkan harga penawaran yang cukup underpriced. Underwriter semakin cenderung
menawarkan saham dengan underpriced, jika underwriter memberikan jaminan full
commitment.
Muscarella dan Vetsuypens (1989) menguji model Baron (1982) sehubungan
dengan underpricing yang berdasar pada informasi asimetri antara perusahaan penerbit
saham dan investment bankers. Mereka menemukan kontra implikasi dari model Baron.
Pengujian ini dilakukan melalui self-marketed IPO, dimana saham perdana ditawarkan
oleh investment bankers yang menawarkan sekuritas mereka sendiri. Dengan demikian
perusahaan penerbit saham merangkap sekaligus investment bankers.Karakteristik
sampel diidentifikasi secara tepat dan ternyata hasilnya secara statistik signifikan terjadi
underpricing sekitar 7% pada hari pertama perdagangan. Jika model Baron benar, maka
seharusnya underpricing lebih rendah. Muscarella dan Vetsuypens (1989) menyajikan
fakta bahwa dari 17 kasus dimana perusahaan penerbit saham bertindak pula sebagai
lead manager maka rata-rata initial return adalah 13.23%. Dalam setiap kasus
penawaran terjadi underpriced. Fakta ini menyatakan bahwa lead manager mengunderprice-kan penawaran saham mereka dengan sengaja. Hasil ini kontras dengan 21
kasus dimana penerbit saham bukan lead manager, rata-rata initial return-nya hanya
2.17%. Dengan demikian hasil ini tidak konsisten dengan model Baron. Dari data-data
yang diuji mengatakan bahwa underpricing adalah fenomena yang meresap (pervasive)
yang tidak dapat dijelaskan semata-mata dengan informasi asimetri antara perusahaan
penerbit saham dengan underwriter.
Beberapa penjelasan potensial mengenai IPO underpricing, termasuk yang
dikemukakan oleh Ibbotson (1975) dan Rock (1986) tampaknya masih membutuhkan
investegasi. Rock (1986) mengembangkan model yang berdasarkan pada informasi
asimetri antara informed investor dan uninformed investor. Rock (1986) berargumentasi
bahawa uninformed investor mencerminkan “the winner curse”. Karena uninformed
investor merugi akibat membeli saham yang overpriced, maka untuk menutup kerugian
itu emisi saham perdana secara umum harus cukup underpriced.
Carter dan Manaster (1990) menggunakan 501 perusahaan sebagai sampel, yaitu
perusahaan yang menerbitkan saham-saham IPO antara 1 Januari 1979 sampai dengan
17 Agustus 1983. Selanjutnya mereka melakukan pemeringkatan atas 117 underwriter
yang menjamin perdagangan saham-saham tersebut. Pemeringkatan underwriter
dilakukan dengan cara mengkategorikan underwriter ke dalam sepuluh rangking (9-0).
Rangking 9 merepresentasikan underwriter dengan prestisius tertinggi, demikian
berturut-turut sehingga kategori 0 merepresentasikan prestisius yang terendah.Pengujian
penelitian ini menggunakan linear regression untuk menguji hipotesis yang terkait
ISSN 1858–3717
92
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
dengan reputasi underwriter dalam memasarkan saham IPO yang merupakan pembiasan
nilai perusahaan.Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan negatif antara reputasi underwriter dengan varian underpricing.Ditemukan
pula hubungan yang negatif signifikan antara reputasi underwriter dan pengaruhnya
terhadap underpricing.Carter dan Manaster (1990) menyatakan bahwa underpricing
adalah sesuatu yang menyakitkan, karena perusahaan dinilai terlalu rendah dari nilai
yang sebenarnya. Sehingga perusahaan yang berisiko rendah akan berusaha
mengungkap karakteristiknya melalui pemilihan underwriter yang bereputasi baik.
2.6 Studi Empiris pada Perioda Aftermarket
Ellish, Michaely dan O’Hara (2000) menganalisa peranan underwriter sebagai
market maker dalam perdagangan saham-saham IPO aftermarket.Mereka menemukan
bahwa keuntungan perdagangan meningkat. Semakin underpriced suatu saham, maka
keuntungan semakin meningkat. Hal ini merefleksikan adanya penetapan harga yang
sengaja dibuat oleh underwriter atau alasan lain yang muncul karena adanya fenomenafenomena lain yang belum berhasil dijelaskan dalam penelitian. Mereka menemukan
adanya hubungan yang positif antara keuntungan perdagangan, size dan turnover dalam
IPO.Namun, penelitian itu tidak menemukan adanya hubungan antara inventory profit
yang diperoleh lead underwriter dengan ketiga variabel tersebut. Mereka berpendapat
bahwa underwriter memainkan peran aktif dan kompleks dalam proses perdagangan
saham-saham IPO.
Muscarella, Peavy dan Vetsuypens (1992) melakukan penelitian mengenai
beberapa prosentase optimal yang sebaiknya ditetapkan oleh underwriter dalam
melakukan exercise terhadap over-allotment option (OAO).Dengan adanya OAO, maka
underwriter dapat membeli tambahan saham sampai batas 15% dari jumlah saham IPO
yang didaftarkan untuk dijual.Opsi ini melindungi underwriter dari kerugian yang
potensial sebagai akibat terjadinya overselling. Muscarella et al.(1992) mengatakan
bahwa underwriter secara rasional melakukan exersice terhadap opsi ketika mereka
dalam keadaan “in the money”. Keadaan “in the money” adalah suatu termin yang
mengindikasi harga pasar suatu saham di atas harga exercise saham di dalam
opsi.Underwriter menggunakan opsinya dengan cara menjual kembali saham-saham
yang dibelinya dari emiten pada harga perdana. Jika harga saham-saham IPO
aftermarket naik, maka underwriter melakukan cover position melalui exercise terhadap
opsi. Jika harga saham aftermarket cenderung turun maka underwriter melakukan short
position dengan cara membeli sejumlah saham di pasar terbuka.
Benveniste, Busaba dan Wilhelm (1996) mengatakan bahwa komitmen
underwriter terhadap price stabilization lebih menekankan pada indikasi kepentingan
investor dari pada mengkemas harga penawaran pada saat saham diterbitkan pertama
kali. Opsi untuk menjual saham pada harga “syndicate’s stabilizing bid” dilengkapi
dengan janji yang tersirat, yaitu pengalokasian saham-saham yang underpriced sebagai
kompensasi bagi indikasi akan minat calon investor yang kuat terhadap saham.
Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa price stabilization merupakan aktivitas
pelengkap/ komplementer yang dapat meningkatkan efisiensi perdagangan saham
perdana.
Keberadaan peran underwriter sebagai perantara, memungkinkan perusahaan
emiten memungut 100% keuntungan dari peningkatan harga penawaran. Dalam
keadaan seperti ini, kebutuhan akan komitmen terhadap stabilisasi harga untuk
menstabilkan kredibilitas underwriter akan menjadi lebih besar. Kontrasnya, jika
underwriter hanya memperoleh bagian kecil dari keuntungan peningkatan harga
ISSN 1858–3717
93
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
penawaran, maka kebutuhan akan komitmen stabilisasi harga yang mengikat
underwriter menurun. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa underwriter menanggung
marginal cost secara penuh dari stabilisasi harga. Reputasi underwriterakan rusak jika
underwriter gagal untuk memuaskan komitmen sebagai stabilisator harga. Stabilisasi
harga membutuhkan biaya sangat besar.Dalam hal iniunderwriter dihadapkan pada
trade-off antara keuntungan yang diperoleh, reputasi yang dipertaruhkannya dan biaya
stabilisasi harga yang besar.
Benveniste et al. (1996) juga memprediksi mengenai kondisi dimana surplus
investor yang timbul akan membentuk underpricing dan selanjutnya akan memunculkan
price stabilization. Sehingga keberadaan underpricing berimplikasi terhadap munculnya
stabilization. Interpretasi ini sebenarnya identik dengan pendapat Hanley, Kumar dan
Seguin (1993) yang menyatakan bahwa underwriter tidak akan mampu mendukung
pasar pada harga penawaran dibawah tekanan jual yang ekstrim. Bukti yang dilaporkan
dalam penelitian Hanley et al. (1993) konsisten dengan interpretasi model yang
dikembangkan oleh Benveniste et al. (1996).
Benveniste et al. (1996) menyimpulkan bahwa upaya stabilisasi harga hanya
mempunyai pengaruh yang temporal terhadap harga di pasar sekunder. Senada dengan
pendapat Ruud (1993), Benveniste et al. (1996) juga mengatakan bahwa underpricing
saham-saham IPO merupakan sebuah transfer nilai yang disengaja. Artefak statistikal
menunjukkan sebagian besar perubahan harga merupakan upaya-upaya stabilisasi yang
dilakukan underwriter. Stabilisasi harga berperan penting dalam penyensoran distribusi
initial return. Obsevasi ini tidak menyangkal bahwa angka-angka IPO merupakan
karakteristik dari transfer nilai yang disengaja dari perusahaan penerbit kepada investor
yang pertama. Transfer nilai ini terkait pula dengan komitmen stabilisasi yang tentu saja
disengaja. Model Benveniste et al. (1996) mengabaikan pertimbangan ketika investor
melakukan exercise pada opsi menjual saham yang dimilikinya pada harga tawaran,
pada saat berlangsungnya stabilisasi. Model ini juga mengesampingkan konsekuensi
praktek stabilisasi harga bagi para investor kecil. Mereka mengasumsikan bahwa
investor kecil relatif tidak mempunyai informasi yang cukup (uninformed). Para
investor kecil secara rasional berpartisipasi dalam perdagangan IPO, meskipun
kenyataannya mereka tidak memperoleh saham yang surplus granted. Jika fitur dalam
pasar perdagangan saham IPO tidak transparan bagi investor kecil, maka baik
underwriter maupun investor kecil tanpa disadari dan tidak disengaja merupakan
partner untuk memanipulasi praktek perdagangan.
Krigman, Shaw dan Womack (1999) dalam penelitiannya menguji kesalahan
underwriter dalam menetapkan harga pertama kali di pasar perdana. Krigman et al.
(1999) juga mengkaji tentang isi informasi pada saat perdagangan pertama sebagai
suatu tahapan aktivitas IPO. Mereka mengatakan bahwa proses penentuan harga
perdana saham-saham IPO merupakan negosiasi yang berputar-putar antara perusahaan
emiten, underwriter dan para investor. Mereka membuktikan bahwa investor yang pada
hari pertama menjadi winners, selanjutnya akan cenderung menjadi winners melebihi
tahun pertama setelah perdagangan. Sebaliknya jika di hari pertama menjadi dogs,
selanjutnya akan relatif menjadi dogs. Kecuali untuk kasus-kasus IPO yang “extra hot”
yang selanjutnya akan diikuti dengan performance IPO yang kian memburuk. Tulisan
mereka juga mendemonstrasikan perbedaan itu, mengungkap informasi-informasi
dugaan yang terjadi di hari pertama perdagangan serta terjadinya praktek flipping yang
nantinya akan memperburuk kinerja IPO. Perdagangan IPO yang diwarnai dengan
praktek flipping yang rendah akan menghasilkan abnormal return sekitar 1.5% per
bulan dan terus berlangsung sampai lebih dari enam bulan sejak diawalinya pada
ISSN 1858–3717
94
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
perdagangan hari ketiga. Mereka menyimpulkan bahwa flipping merupakan respon
yang rasional dari investor terhadap mispricing yang dilakukan underwriter. Praktek
flipping yang berat secara signifikan akan membuat saham-saham underperformance.
Pada perioda selanjutnya dampak flipping berangsur-angsur semakin berkurang, jika
harga saham baru terkoreksi menjadi nilai yang wajar di tahun pertama. Flipping
merupakan respon yang sepantasnya terjadi atas penetapan harga yang unfavorable.
Flipping adalah praktek yang dapat diramalkan jika terjadi kesalahan underwriter dalam
menetapkan harga perdana. Menurut Krigman et al. (1999) kesalahan itu merupakan
peristiwa yang disengaja. Dengan demikian flipping bukanlah penyebab dari semakin
memburuknya performance harga-harga saham IPO.
Aggarwal (2000) mencoba menguji variabel spesifik yang diduga dapat
menjelaskan aftermarket return secara lebih baik. Aggarwal menggunakan final offer
price, log of proceeds (size), penalty bid, percentage of shares short covered,
percentage profit (loss) on shares short covered, jumlah investment bank dalam satu
sindikat, percentage underwriter spread dan percentage overallotment exercised.
Model tersebut memasukkan variabel tradisional dan variabel explanatory terkait
dengan aktivitas aftermarket. Penelitian ini menggunakan analisa regresi untuk
menjelaskan market-adjusted cummulative returns pada perdagangan hari pertama,
perdagangan hari ke-20 dan perdagangan hari ke-40 setelah penawaran. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa penggunaan variabel-variabel terkait dengan aktivitas underwriter
aftermarket penting untuk menjelaskan aftermarket returns. Jika seluruh variabel
dimasukkan ke dalam model, variabel tradisional semacam sizeof the offering tidak
signifikan. Studi ini juga menunjukkan bahwa underwriter mengelola proses stabilisasi
dan mengurangi kerugian mereka dengan mengkombinasi short covering aftermarket,
penalty bids dan exercise of the overallotment option. Aktivitas ini relatif tidak mahal
karena underwriter dapat mengendalikan dan mengelola prosesnya.
3.
PENUTUP
Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam praktek penawaran saham
perdanaadalah: 1) Peranan underwriter pada periodapremarket, karena menyangkut
pengemasan harga yang strategik dengan mengacu pada hasil red herring. 2) Peranan
underwriter pada periodaaftermarket, karena menyangkut performance saham. Price
stabilization bukan satu-satunya alternatif pengendalian harga. Masih terdapat pilihan
lain yang dapat digunakan secara strategis yaitu dengan menggunakan kombinasi
aftermarket short covering, penalty bids dan penggunaan secara selektif overallotment
options (Aggarwal, 2000).
Beberapa penelitian yang dapat dikembangkansebagai penelitian mengenai
penawaran saham perdana di Indonesia, terutama di seputar peristiwa penetapan harga
pada perioda premarket. Fenomena proses penjaminan saham IPO secara simultan dapat
diteliti lebih lanjut dengan melibatkan jumlah sampel yang besar, terutama untuk
menjawab mengapa semakin partial price adjustment bergeser ke arah bawah kisaran
harga penawaran awal, maka saham semakin mengalami underpricing. Bagaimana hasil
penelitian mengenai saham IPO di pasar modal Indonesia dibandingkan dengan negara
di Asia Tenggara sebagai pasar modal yang umumnya sedang berkembang. Penelitian
juga dapat diarahkan pada penelitian pengujian konsistensi partial price adjustment
sebagai indikator yang berpengaruh positif terhadap underpricing. Apakah pengaruh
yang signifikan dan positif juga terjadi di pasar modal Indonesia, atau ada faktor-faktor
lain yang belum muncul dalam proses belajar pasar modal di Indonesia.Penelitian
selanjutnya juga dapat menggunakan indeks khusus yang sesuai dengan jenis portofolio
ISSN 1858–3717
95
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
masing-masing saham IPO untuk menghasilkan excess returns yang lebih
baik,sekaligus dapat digunakan sebagai bahan pembanding bagi penelitian terdahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Ang, R. 1997. Buku Pintar Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Mediasolf Indonesia
Anggarwal, R. 2000. Stabilization Activities by Underwriters after Initial Public
Offerings.The Journal of Finance, June, Vol. LV, No. 3, pp. 1075-1103.
Baron, D.P. 1982. A Model of the Demand for Investment Banking Advising and
Distribution Services for New Issues.The Journal of Finance, September, Vol.
XXXVII, No. 4, pp. 955-976.
Benveniste, L.M., dan P.A. Spindt. 1989. How Investment Bankers Determine the Offer
Price and Allocation of New Issues. Journal of Financial Economics, Vol. 24,
pp. 343-361.
Benveniste, L.M., W.Y. Busaba, dan W.J. Wilhelm, Jr. 1996. Price Stabilization as a
Bonding Mechanism in New Equity Issues.Journal of Financial Economics, Vol.
42, pp. 223-255.
Bradley, D.J., dan B.D. Jordan. 2002. Partial Adjustment to Public Information and
IPO Underpricing.Journal of Financial And Quantitative Analysis, December,
Vol. 37, No. 4, pp. 595-616.
Carter, R., dan S. Manaster. 1990. Initial Public Offerings and Underwriter Reputation.
The Journal of Finance, September, Vol. XLV, No. 4,pp. 1045-1067.
Darmadji, T., dan H.M. Fakhruddin. 2001. Pasar Modal Indonesia: Pendekatan Tanya
Jawab. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Ellis, K., R. Michaely, dan M. O’Hara. 2000. When the Underwriter Is the Market
Maker: An Examination of Trading in the IPO Aftermarket. The Journal of
Finance, Vol. LV, No. 3, pp. 1039-1073.
Hanley, K.W. 1993. The Underpricing of Initial Public Offerings and the Partial
Adjustment Phenomenon.Journal of Financial Economics, Vol. 34,pp. 231-250.
Hanley, K.W., A.A. Kumar, dan P.J. Seguin. 1993. Price Stabilization in the Market for
New Issues.Journal of Financial Economics, Vol. 34, pp. 177-197.
Johnson, J.M., dan R.E. Miller. 1988. Investment Banker Prestige and The
Underpricing if Initial Public Offerings. Financial Management, Summer, Vol.
17, pp. 19-29.
Kim, M., dan J.R. Ritter. 1999. Valuing IPOs.Journal of Financial Economics, Vol. 53,
pp. 409-437.
Krigman, L., W.H. Shaw, dan K.L. Womack. 1999. The Persistence of IPO Mispricing
and the Predictive Power of Flipping. The Journal of Finance, June, Vol. LIV,
No. 3, pp. 1015-1044.
Muscarella, C.J. dan M.R. Vetsuypens. 1989. A Simple Test of Baron’s Model of IPO
Underpricing.Journal of Financial Economics, Vol. 24, pp. 125-135.
Muscarella, C.J., J.W. Peavy, dan M.R. Vetsuypens. 1992. Optimal Exercise of the
Over-Allotment Option in IPOs. Financial Analysts Journal, May-June, pp. 7681.
Panduan Go Public. 2002. Jakarta: Jakarta Stock Exchange.
Rock, K. 1986. Why New Issues Are Underpriced. Journal of Financial Economics, Vol.
15, pp. 187-212.
ISSN 1858–3717
96
Polibisnis, Volume 5 No. 2 Oktober 2013
Ruud, J.S. 1993. Underwriter Price Support and the IPO Underpricing Puzzle. Journal
of Financial Economics, Vol. 34, pp. 135-151.
Tandelilin, E. 2001. Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio. Edisi Pertama.
Yogyakarta:BPFE.
ISSN 1858–3717
97
Download