Teori Konservasi Dan Fenomena Cuaca Ekstrim

advertisement
Teori Konservasi Dan Fenomena Cuaca Ekstrim
Oleh: Gentio Harsono
Meningkatnya frekuensi dan intensitas puting beliung yang disertai
hujan akhir-akhir ini telah banyak membawa korban baik jiwa maupun materiil.
Di Jakarta, pohon besar dan rindang bukan lagi tempat yang nyaman untuk
berteduh dan memperoleh udara segar namun pohon telah menjelma sebagai
salah satu faktor pencabut nyawa yang paling ditakuti warga ketika angin
kencang berputar ini terjadi. Data terakhir, bencana puting beliung di Jawa
dan Bali saja tercatat 14 jiwa tewas, 60 orang luka dengan kerugian materiil
sebanyak 2.364 rumah rusak.
Gejala cuaca akhir-akhir ini menjadi makin ekstrim, tidak menentu dan
sukar untuk diprediksi (baca: tidak linear). Gejala-gejala alam ekstrim
ikutannya dalam skala yang lebih luas pun muncul seperti musim kemarau
lebih panjang dan musim penghujan yang pendek namun intensitas hujannya
justru meningkat drastis. Atau justru sebaliknya musim hujan panjang dan
musim kemarau yang pendek dengan peningkatan suhu atmosfir bumi di atas
normal.
Meningkatnya kekuatan badai tropis dan efek yang ditimbulkannya
telah membuat sejarah baru, sekarang bukan saja implikasi pada lalu lintas
pelayaran dan penerbangan terganggu akibat meningkatnya kecepatan angin
dan tinggi gelombang laut, namun juga efek dari meningkatnya intensitas
hujan di atas normal itu sendiri. Beberapa daerah kepulauan Indonesia
mengalami kekurangan bahan pokok dan energi
akibat terputusnya jalur
suplai bahan pangan yang umumnya melalui laut, petani yang gagal panen
karena tanamannya terendam banjir, kerusakan infrastruktur sosial seperti
jalan dan jembatan yang memutuskan jalur distribusi dan perhubungan
simpul-simpul kegiatan ekonomi mengakibatkan tingginya harga bahan
pangan dan kebutuhan pokok masyarakat lainnya.
Dalam konteks kajian meteorologi-oseanografi gejala alam yang
demikian ini tidak lepas kaitannya dari apa yang disebut sebagai interaksi
lautan-atmosfir (air-sea interaction), dimana proses yang berperan dominan
1
dalam menentukan cuaca dan iklim adalah aliran massa air yang terjadi
dalam siklus air (siklus evaporasi-kondensasi-presipitasi) dan proses
perpindahan energi dalam bentuk bahang (heat) antara atmosfir dan lautan
melalui media angin dan arus laut yang disebut dengan ocean-atmosphere
coupling.
Teori Konservasi Energi
Hukum fisika ini menyatakan bahwa jumlah total energi dalam suatu
sistim terisolasi (baca: bumi dan atmosfir diatasnya) adalah kekal sepanjang
massa. Dalam suatu sistim terisolasi, maka energi dapat berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya dan dapat berubah bentuk dari sifat satu ke sifat
lainnya, namun energi tidak dapat diciptakan dan juga dimusnahkan, oleh
karenanya dikatakan jumlah energi akan tetap (konservasi).
Jika dikaitkan fenomena yang terjadi di atmosfir, terjadi berbagai
perubahan bentuk energi seperti energi laten yang terbentuk akibat
perubahan fase air menjadi uap atau es, energi kinetik seperti angin, siklon,
pergerakan awan dan uap air, sedangkan energi potensial seperti air yang
jatuh sebagai hujan dan lain sebagainya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, proses interaksi lautan-atmosfir
akhir-akhir ini menjadi terganggu akibat meningkatya
suplai bahang di
atmosfir dari sisa energi hasil pembakaran fosil (baca: minyak dan batubara)
yang dibuang ke atmosfir. Meningkatnya suplai bahang ini memberikan
surplus energi pada atmosfir. Jika semula
sumber energi utama atmosfir
adalah radiasi matahari, maka sekarang ada peranan baru yang kekuatannya
semakin besar yaitu energi dari sisa pembakaran fosil. Proses ini diyakini
sebagai triger terhadap ketidakstabilan pola temporal iklim dan cuaca.
Sisa energi dari hasil pembakaran fosil yang terbuang ke atmosfir juga
akan membentuk gas-gas rumah kaca, menyerap energi matahari dan
menyimpannya di atmosfir. Energi panas yang tersimpan pada gas-gas di
atmosfir ini akan menambah panasnya atmosfir bumi. Meskipun laut
mempunyai kemampuan dalam menyerap energi melalui proses fotosintesa
pada tumbuhan pada lapisan atasnya, namun laut juga mempunyai
kemampuan yang terbatas bila energi berlebih ini terus meningkat. Proses ini
diperparah dengan ketidakmampuan buffer dalam menyerap surplus energi
2
ini seperti berkurangnya luasan vegetasi akibat alih fungsi hutan dan ekspansi
budidaya manusia.
Sesuai dengan teori konservasi, maka energi yang berlebih di atmosfir
tersebut akan berubah bentuk menjadi energi lainnya. Salah satu bentuk
energi yang mungkin terjadi adalah perubahan menjadi energi kinetik berupa
angin kencang seperti halnya meningkatnya intensitas dan frekuensi puting
beliung. Meningkatnya energi yang beredar di atmosfir, memungkinkan
terjadinya siklon tropis dengan energi yang lebih besar dari kondisi normalnya
baik intensitas maupun frekuensinya. Hal ini merupakan konsekuensi logis
agar jumlah total energi di atmosfir adalah tetap (konservasi). Panjang
ekornyapun menjadi lebih besar pula. Meskipun jejak siklon tropis tidak
mampu mencapai pada lintang 10° LU/LS (sebagian besar wilayah
Indonesia), namun limpasan dari kekuatan energi ekornya sangat dirasakan
di wilayah Indonesia dalam bentuk angin kencang dan gelombang laut yang
besar.
Kuatnya penyerapan uap air dan awan pada lokasi sekitar siklon
mengakibatkan pengurangan secara drastis jumlah awan dan uap air pada
daerah yang jauh dari lokasi siklon yang berakibat pada berkurangnya hari
hujan di daerah tropis. Di daerah tropis hari hujan menjadi sedikit namun
intensitas hujan menjadi lebih besar atau dengan kata lain jumlah hari hujan
turun tetapi frekuensi hujan maksimum harian meningkat.
3
Download