BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum 4.1.1. Gambaran Umum Perbankan Indonesia Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank di Indonesia dibedakan menjadi enam kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Umum Swasta Nasional non Devisa, Bank Pembangunan Daerah, Bank Campuran, dan Bank Asing. Data-data mengenai laporan keuangan setiap kelompok bank serta data-data lainnya yang mencakup informasi mengenai perbankan secara lengkap disediakan oleh Bank Indonesia melalui publikasi Statistik Perbankan Indonesia. Selama periode penelitian, jumlah bank di Indonesia mengalami penurunan jumlah secara bertahap. Pada tahun 2004 jumlah bank di Indonesia sebanyak 133 bank dan pada tahun 2011 sebanyak 120 bank. Perkembangan jumlah bank untuk setiap kelompok bank dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Bank Kelompok Bank 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Bank Persero 5 5 5 5 5 4 BUSN Devisa 34 34 34 34 32 34 BUSN Non Devisa 38 37 37 37 37 31 BPD 26 26 26 26 26 26 Bank Campuran 19 18 17 17 15 16 Bank Asing 11 11 11 11 10 10 Total 133 131 130 130 124 121 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi. 2010 4 36 31 26 15 10 122 2011 4 36 30 26 14 10 120 43 Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional non Devisa, Bank Campuran, dan Bank Asing selama periode yang diamati mengalami penurunan jumlah, sedangkan Bank Umum Swasta Nasional Devisa selama periode yang diamati, mengalami peningkatan. Sementara intu, Bank Pembangunan Daerah tetap konstan. 4.1.2. Data Deskriptif Data deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah data yang digunakan dalam penelitian ini, serta dapat menunjukkan nilai rata-rata (mean), dan nilai standar deviasi dari masing-masing variabel penelitian yang meliputi variabel Financial Sustainability Ratio (FSR), rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR), Non Performing Loan (NPL), Return on Asset (ROA), suku bunga, inflasi, jumlah uang beredar, dan nilai tukar. Hasil olah data deskriptif mengenai kinerja bank dapat dilihat pada tabel 4.2. Selama periode penelitian, nilai rata-rata FSR tertinggi dimiliki oleh Bank Campuran dengan nilai 127,67 persen dengan standar deviasi 9,11. Nilai ini menunjukan bahwa data FSR pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding rata-rata nilai FSR Bank Campuran. Nilai rata-rata FSR terendah dimiliki oleh BUSN Devisa dengan nilai 115,76 persen dengan standar deviasi 3,88. Nilai ini menunjukan bahwa data FSR pada BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil karena 44 memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding rata-rata nilai FSR BUSN Devisa. Tabel 4.2. Hasil Olah Data Deskriptif Kinerja Bank Kelompok Bank FSR BOPO CAR LDR NPL ROA Bank Persero - Mean (%) 122,22 96,92 18,76 62,00 7,48 2,59 - Std. Deviasi 6,35 14,70 3,34 14,08 4,22 0,79 BUSN Devisa - Mean(%) 115,76 85,08 18,70 61,12 3,47 2,38 - Std. Deviasi 3,88 4,7 2,72 13,33 0,97 0,40 BUSN non Devisa - Mean(%) 112,05 89,06 19,24 76,89 3,29 2,14 - Std. Deviasi 5,53 5,45 2,93 8,25 1,12 0,76 BPD 3,79 2,05 58,04 18,70 131,24 74,29 - Mean(%) 0,56 0,24 9,83 2,72 3,79 5,00 - Std. Deviasi Bank Campuran - Mean(%) 127,67 77,19 28,07 92,74 5,17 2,82 - Std. Deviasi 9,11 14,47 4,00 15,30 4,67 0,61 Bank Asing - Mean(%) 122,31 83,12 24,19 71,14 6,28 3,97 - Std. Deviasi 7,93 5,65 5,10 17,42 3,23 0,83 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah. Nilai rata-rata BOPO tertinggi dimiliki oleh Bank Persero dengan nilai 96,92 persen dengan standar deviasi 14,70. Nilai ini menunjukan bahwa data BOPO pada Bank Persero mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata BOPO terendah dimiliki oleh Bank Pembangunan Derah dengan nilai 74,29 persen dengan standar deviasi 3,79. Nilai ini menunjukan bahwa data BOPO pada Bank Pembangunan daerah mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. 45 Nilai rata-rata CAR tertinggi dimiliki oleh Bank Campuran dengan nilai 28,07 persen dengan standar deviasi 4. Nilai ini menunjukan bahwa data CAR pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata CAR terendah dimiliki oleh Bank Pembangunan Derah dan BUSN Devisa dengan nilai 18,70 persen dengan standar deviasi 2,72. Nilai ini menunjukan bahwa data CAR pada Bank Pembangunan daerah dan BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata LDR tertinggi dimiliki oleh Bank Campuran dengan nilai 92,74 persen dengan standar deviasi 15,30. Nilai ini menunjukan bahwa data LDR pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata LDR terendah dimiliki oleh BUSN Devisa dengan nilai 61,12 persen dengan standar deviasi 13,33. Nilai ini menunjukan bahwa data LDR pada BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata NPL tertinggi dimiliki oleh Bank Persero dengan nilai 7,48 persen dengan standar deviasi 4,22. Nilai ini menunjukan bahwa data NPL pada Bank Persero mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata NPL terendah dimiliki oleh Bank Pembangunan Derah dengan nilai 2,05 persen dengan standar deviasi 0,24. Nilai ini menunjukan bahwa data NPL pada Bank Pembangunan daerah 46 mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata ROA tertinggi dimiliki oleh Bank Asing dengan nilai 3,97 persen dengan standar deviasi 0,83. Nilai ini menunjukan bahwa data ROA pada Bank Asing mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata ROA terendah dimiliki oleh BUSN Devisa dengan nilai 2,14 persen dengan standar deviasi 0,76. Nilai ini menunjukan bahwa data ROA pada BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Hasil olah data deskriptif mengenai kondisi makroekonomi Indonesia selama periode penelitian dapat dilihat pada tabel 4.3. sebagai berikut : Tabel 4.3. Hasil Olah Data Deskriptif Kondisi Makroekonomi Indikator Makroekonomi Inflasi (%) Suku bunga (%) M1(Miliar) Kurs (Rp/US$) Minimal -0,32 6,20 12,25 8.447 Maksimal 17,17 12,75 13,49 12.151 Rata-rata 3,61 8,30 12,86 9.384 St.Deviasi 3,60 1,96 0,34 704 Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah Inflasi memiliki nilai terendah -0,32 persen yaitu pada bulan Maret 2011 dan nilai tertinggi sebesar 17,17 persen yaitu pada bulan November 2005, dengan standar deviasi 3,60 dan nilai rata-rata 3,61. Hal ini menunjukan bahwa tingkat inflasi selama periode penelitian relatif menyebar, karena nilai standar deviasi dengan rata-rata yang sama. Suku bunga memiliki nilai terendah 6,20 persen yaitu 47 pada bulan April 2010 dan nilai tertinggi sebesar 12,75 persen yaitu pada bulan Desember 2005 hingga April 2006, dengan nilai rata-rata 8,30 persen dan standar deviasi 1,96. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian, suku bunga mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Jumlah uang beredar memiliki nilai terendah 12,25 miliar yaitu pada bulan Februari 2004 dan nilai tertinggi sebesar 13,49 miliar yaitu pada bulan Desember 2011, dengan nilai rata-rata 12,86 miliar dan standar deviasi 0,34. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian, jumlah uang beredar mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Kurs memiliki nilai terendah Rp8.447, yaitu pada bulan Februari 2004 dan nilai tertinggi sebesar Rp12.151, yaitu pada bulan November 2008, dengan nilai rata-rata 9.384 rupiah dan standar deviasi 704. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian, suku bunga mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rataratanya. 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Uji Chow ..................................................................(4.1) = , , , 31,657143 48 F tabel = Fα(N-1, NT-N-K) F0,01(5,554) = 3,02; F0,05(5,554) = 2,21; F0,10(5,554) = 1,87 Dari hasil perhitungan di atas terbukti bahwa F hitung memiliki nilai yang lebih besar dari F tabel. Hal ini berarti tolak H0 atau model yang terbaik adalah model Fixed. Pada penelitian ini tidak digunakan uji Hausman karena data yang digunakan merupakan data populasi. 4.2.2. Pemilihan Struktur Model Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan pada perbankan di Indonesia baik dari sisi mikroekonomi maupun dari sisi makroekonomi. Model dasar dari penelitian ini adalah FSR=f(mikroekonomi, makroekonomi), dimana faktor mikroekonomi yang digunakan merupakan rasio-rasio keuangan bank dan faktor makroekonomi yang digunakan merupakan kondisi-kondisi makroekonomi seperti nilai tukar, inflasi, suku bunga, jumlah uang beredar, maka dibangun model FSR berdasarkan variabel-variabel yang ada. Dalam penelitian ini terdapat 4 model FSR dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit + α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + εit.............................................(4.2) 2. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit + α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10DUMMYit + εit....................(4.3) 3. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit + α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10FSR(t-1)it + εit........................(4.4) 49 4. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit + α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10FSR(t-1)it + α11DUMMYit + εit..................................................................................................................(4.5) Keempat model tersebut diolah secara berurutan dengan bantuan perangkat lunak E-Views sehingga diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Hasil Estimasi dari Beberapa Model FSR Model FSR BOPO: - koefisien - t stat CAR: - koefisien - t stat FSR1 -0,205655 (-6,218799) 0,110006 (2,120886) FSR2 -0,206191 (-6,109129) 0,112731 (1,984542) FSR3 -0,026027 (-4,639499) 0,047894 (1,241169) FSR4 -0,122652 (-4,745189) 0,052166 (1,309851) LDR: - koefisien 0,119104 0,118748 0,061112 0,060528 - t stat (0,0000) (5,736793) (3,283732) (3,241839) NPL: - koefisien -0,137952 -0,142709 -0,016362 -0,016717 - t stat (5,767969) (-1,329155) (-0,203205) (-0,198796) ROA: - koefisien 3,979600 3,983284 2,360159 2,358950 - t stat (13,76618) (13,80084) (6,589137) (6,589740) INFLASI: - koefisien 0,148595 0,151980 0,059213 0,055958 - t stat (4,449196) (4,280288) (2,094714) (2,049012) lnM1: - koefisien -10,62837 -10,82847 -5,180941 -4,919410 - t stat (-12,83323) (-10,20995) (-6,430066) (-5,859421) lnKURS: - koefisien 0,600926 0,975399 1,600753 1,074265 - t stat (0,291961) (0,388543) (-0,962270) (0,839549) R: - koefisien -1,014204 -1,000206 -0,478196 -0,494554 - t stat (-10,65491) (-10,37611) (-5,647269) (-5,501024) FSRt-1: - koefisien 0,493411 0,493251 - t stat (9,911395) (9,900922) DUMMY: - koefisien 0,187170 0,258244 - t stat (0,322162) (0,651348) R2 0,901805 0,901622 0,929825 0,929783 F-stat 364,0708 338,4886 457,9531 489,0522 DW 0,872554 0,876420 1,902865 1,901603 Autokorelasi Ada Ada Tidak ada Tidak ada Heteroskedastisitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Multikolinearitas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Keterangan: Autokorelasi ditentukan berdasarkan uji Durbin-Watson, heterokskedastisitas ditentukan berdasarkan grafik standardized residual, dan multikolinearitas ditentukan berdasarkan metode correlation matrix. 50 Model 1 merupakan model FSR dengan menggunakan variabel-variabel independen berupa rasio-rasio keuangan bank, yang terdiri dari BOPO, CAR, LDR, NPL, ROA, dan kondisi-kondisi makroekonomi seperti nilai tukar, inflasi, suku bunga, jumlah uang beredar. Dalam model 1 ditemukan adanya masalah autokorelasi, hal ini teridentifikasi dari nilai statistik uji Durbin Watson yang kecil, mendekati nol (0,87). Kemudian untuk mengatasi masalah autokorelasi tersebut, dilakukan penambahan variabel independen berupa variabel DUMMY yang membedakan periode estimasi sebelum dan sesudah krisis ekonomi yang terjadi pada September 2008 sehingga didapat model 2. Pada model 2 ini masih terdapat masalah autokorelasi, namun terjadi penambahan nilai R2. Selanjutnya untuk mengatasi masalah autokorelasi, pada model 3 ditambahkan variabel lag 1 dari variabel dependen sebagai variabel independen sehingga masalah autokorelasi menjadi teratasi, dengan nilai statistik uji Durbin Watson yang mendekati 2 (1,90). Pada model 4, selain ditambahkan variabel lag 1 dari variabel dependen sebagai variabel independen, juga ditambahkan variabel dummy sebagai variabel independen namun variabel dummy tersebut tidak berpengaruh signifikan secara parsial. Sehingga model 3 dipilih sebagai model yang terbaik diantara ketiga model lainnya dengan nilai R2 yang tinggi (0,93). Model 3 sudah memenuhi seluruh asumsi dasar dan Goodness of fit. 51 4.2.3. Goodness of Fit, Uji t, Uji F Hasil estimasi koefisien regresi dari model 3 yang dilakukan dengan metode Fixed Effect Model dapat dilihat pada Tabel 4.5. di bawah ini. Tabel 4.5. Hasil Estimasi Data Panel Fixed Effect Model pada Model FSR 3 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. BOPO CAR LDR NPL ROA INF LNM1 LNKURS R FSR_1 C -0.120752 0.047894 0.060528 -0.016717 2.358950 0.055958 -4.919410 1.074265 -0.494554 0.493251 136.5762 0.026027 0.038588 0.018671 0.082269 0.357973 0.027310 0.765064 1.279574 0.087574 0.049819 18.15796 -4.639499 1.241169 3.241839 -0.203205 6.589740 2.049012 -6.430066 0.839549 -5.647269 9.900922 7.521561 0.0000 0.2151 0.0013 0.8390 0.0000 0.0409 0.0000 0.4015 0.0000 0.0000 0.0000 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.929783 0.927881 3.222094 489.0522 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 150.5509 52.16908 5751.568 1.901603 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.873452 6128.529 Mean dependent var Durbin-Watson stat 121.8763 1.915140 Dari hasil estimasi didapat nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,98 yang menunjukan bahwa model ini dapat menjelaskan variasi dalam FSR 52 sebesar 92,98 persen atau dengan kata lain variasi dalam FSR dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen dalam model ini sebesar 92,98 persen, sedangkan sisanya sebesar 7,02 persen dijelaskan atau dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Uji t merupakan pengujian untuk masing-masing koefisien regresi secara parsial. Dengan tingkat signifikansi (α) 1 persen, 5 persen, dan 10 persen maka nilai uji t untuk masing-masing variabel independen dapat dilihat pada Tabel 4.6. berikut ini. Tabel 4.6. Signifikansi (Uji t) Variabel Independen pada Model FSR 3 Variabel independen Koefisien t-stat BOPO -0,120752 -4,639,499 Signifikan* CAR 0,047894 1,241,169 Tidak signifikan LDR 0,060528 3,241,839 Signifikan* NPL ROA -0,016717 2,358950 -0,203205 6,589,740 INFLASI 0,055958 2,049,012 LnM1 -4,919410 -6,430,066 Signifikan* LnKURS R 1,074265 -0,494554 0,839549 -5,647,269 Tidak signifikan Signifikan* FSRt-1 0,493251 9,900,922 Signifikan* t-tabel df = 559 α 1% = 2,326 α 5% = 1,645 α 10% = 1,282 Signifikansi Tidak signifikan Signifikan* Signifikan** Keterangan: Signifikan*= Signifikan pada taraf nyata 1persen; Signifikan**= Signifikan pada taraf nyata 5persen; Signifikan***= Signifikan pada taraf nyata 10persen. Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf signifikan 5 persen yang ditunjukan dengan nilai statistik uji F (489,05) dan p-value sebesar 0,0000. Artinya model dalam persamaan tersebut dapat digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi FSR atau secara 53 bersama-sama variabel independen dalam model mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. 4.2.4. Uji Asumsi Klasik a) Uji Multikolinearitas Karena antar variabel independen biasanya ada korelasi, multikolinearitas merupakan masalah tingginya korelasi antar variabel independen. Sejumlah prosedur digunakan untuk mengidentifikasi masalah tingginya korelasi antar variabel independen. 1) Indikasi R2, F statistik, dan t statistik Dari hasil output tampak bahwa nilai R2 cukup tinggi, yaitu 0,929783 dan nilai F statistik juga signifikan (terlihat dari probabilitas F statistik 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata (1persen, 5persen, 10persen). Sedangkan t statistik untuk sebagian besar variabel independen signifikan (baik pada taraf nyata 1persen, 5persen, maupun 10persen). Jadi dengan prosedur ini tampak bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas. 2) Metode Correlation Matrix Dilihat dari koefisien korelasi antar variabel independen tersebut tidak terdapat korelasi antar variabel independen yang bernilai lebih dari 0,9 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas dalam model. 54 Tabel 4.7. Matriks Koefisien Korelasi Model FSR 3 FSRt-1 FSRt-1 1.0000 BOPO -0.5032 CAR 0.2057 LDR -0.1428 NPL -0.0669 ROA 0.6254 LNKURS 0.0681 INF 0.0294 SBI -0.0804 LNJUB -0.2482 BOPO -0.5032 1.0000 -0.0752 0.1010 0.4728 -0.5590 -0.0447 -0.0830 0.0636 0.0693 CAR 0.2057 -0.0752 1.0000 0.3986 0.1440 0.1639 0.0128 -0.0764 0.0911 -0.1330 LDR -0.1428 0.1010 0.3986 1.0000 -0.2674 -0.1647 -0.0092 -0.0782 -0.1234 0.5503 NPL -0.0669 0.4728 0.1440 -0.2674 1.0000 -0.1823 0.0286 0.0566 0.2214 -0.3957 ROA 0.6254 -0.5590 0.1639 -0.1647 -0.1823 1.0000 0.0887 -0.0979 -0.0557 -0.0668 LNKURS 0.0681 -0.0447 0.0128 -0.0092 0.0286 0.0887 1.0000 -0.2812 -0.2750 0.0393 INF 0.0294 -0.0830 -0.0764 -0.0782 0.0566 -0.0979 -0.2812 1.0000 0.4599 -0.2050 SBI -0.0804 0.0636 0.0911 -0.1234 0.2214 -0.0557 -0.2750 0.4599 1.0000 -0.4586 LNJUB -0.2482 0.0693 -0.1330 0.5503 -0.3957 -0.0668 0.0393 -0.2050 -0.4586 1.0000 b) Uji Heteroskedastisitas 6 4 2 0 -2 -4 -6 100 200 300 400 500 Standardized Residuals Gambar 4.1. Standardized Residual untuk Melihat Homoskedastisitas pada Model FSR 3 Pada Gambar 4.1. plot residual tidak menggambarkan terbentuknya suatu pola. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model FSR 3. 55 c) Uji Autokorelasi Uji autokorelasi menggunakan Uji Durbin Watson menghasilkan nilai DW statistik sebesar 1,904558. Identifikasi nilai dari dL dan dU berdasarkan tabel dengan n=570, k=10, dan taraf signifikansi 5 persen didapatkan nilai dL=1,571 dan dU=1,779. Jika dilihat dari tabel Selang Nilai Statistik Durbin Watson, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada model FSR 3 karena nilai DW berada pada daerah dU < DW < 4-dU, yaitu 1,779 < 1,904 < 2,221. 4.3. Pembahasan Hasil Penelitian 4.3.1. Model Terpilih Dari persamaan yang digunakan untuk mengestimasi variabel-variabel yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan di Indonesia (model FSR 3) didapat persamaan estimasi sebagai berikut: FSR = (136,5762 + αi) – 0,1208BOPO + 0,0479CAR + 0,0605LDR – 0,0167NPL + 2,3590ROA + 0,0560INF – 4,9194LNJUB + 1,0743LNKURS – 0,4946SBI + 0,4933FSRt-1 4.3.2. Efek Individu Model FEM dapat menjelaskan perbedaan karakteristik setiap individu (kelompok bank) dimana nilai dari karakteristik tersebut menjadi bagian dari intersep. Efek individu dalam model menunjukan adanya perbedaan karakteristik 56 FSR dari setiap kelompok bank dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep dalam menginterpretasikan model untuk setiap kelompok bank. Fixed Effect dari setiap kelompok bank untuk hasil estimasi pada model FSR 3 dapat dilihat dari Tabel 4.8. Tabel 4.8. Fixed Effect setiap Individu pada Model FSR 3 No. 1 2 3 4 5 6 Individu Bank Persero BPD Bank Campuran BUSN Devisa Bank Asing BUSN non Devisa Effect 139.7185 138.6376 137.769 135.3084 134.3066 133.717 Berdasarkan efek tetap setia kelompok bank dari hasil estimasi pada model FSR 3, menunjukan bahwa setiap bank pada periode pengamatan menghasilkan nilai FSR yang lebih dari 100 persen. Hal ini menjelaskan jika setiap variabel independen pada model berperilaku konstan atau tetap, maka FSR perbankan bernilai lebih dari 100 persen. Rasio keberlanjutan keuangan perbankan yang bernilai lebih dari 100 persen ini berarti bahwa perbankan mampu bertahan secara keuangan di masa yang akan datang karena menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari pengeluarannya. Hasil estimasi tersebut juga menunjukan bahwa peringkat kelompok bank mulai dari efek tetap yang terbesar adalah Bank Persero, Bank Pembangunan Daerah, Bank Campuran, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Asing, dan yang terakhir adalah Bank Umum Swasta Nasional non Devisa. Bank Persero merupakan bank yang memiliki nilai FSR yang paling besar karena Bank Persero 57 merupakan bank milik negara yang modalnya dimiliki oleh negara. Kekayaan yang dihasilkan negara sebagian juga disimpan pada Bank Peresero. Selain itu porsi total aset Bank Persero terhadap total bank sangat besar mengingat jumlah Bank Persero yang sedikit dibandingkan jumlah bank lainnya. Tabel 4.9. Porsi Total Aset Perbankan di Indonesia (Persen) KELOMPOK BANK 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BANK PERSERO 44,30 37,33 36,14 35,67 36,52 37,24 36,62 BANK PEMBANGUNAN DAERAH 7,30 8,75 9,33 8,61 8,63 8,79 9,01 BUSN DEVISA 30,98 38,78 39,00 39,21 37,86 38,42 39,13 BUSN NON DEVISA 1,58 1,66 1,85 1,91 1,98 2,11 2,34 BANK CAMPURAN 4,76 3,81 4,38 4,90 5,61 5,12 5,03 BANK ASING 11,08 9,66 9,29 9,69 9,39 8,33 7,88 100 100 100 100 100 100 100 TOTAL Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah. Selanjutnya Bank Pembangunan Daerah merupakan bank yang memiliki sustainabilitas keuangan yang baik kedua setelah Bank Persero. Hal ini karena menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah tujuan awal didirikannya Bank Pembangunan daerah adalah untuk sarana pengerahan modal dan potensi di daerah-daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah. Selain itu Bank Pembangunan Daerah juga diperkenankan untuk menerima investasi dari pihak asing. Namun Bank Pembangunan Daerah tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha-usaha bank umum pada umumnya seperti menerima simpanan dalam bentuk giro. Oleh karena itu sebagian besar dana pihak ketiga yang masuk ke BPD merupakan dana milik pemerintah daerah dan juga transfer dana APBN 58 dari pusat. Berikut ini merupakan tabel sumber dana yang diterima BPD pada 5 tahun terakhir. Tabel 4.10. Sumber Dana Bank Pembangunan Daerah (Miliar Rupiah) Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 DPK 134.287 143.262 152.251 183.624 235.265 Kewajiban kepada BI 99 882 41 19 9 Antar bank 5.733 10.092 13.084 14.823 15.760 Surat berharga 2.997 2.887 2.340 2.126 5.197 Pinjaman yang diterima 1.089 1.310 1.559 1.561 3.216 Kewajiban lainnya 6.812 4.627 4.453 1.781 3.025 Setoran jaminan 466 543 554 407 394 Total 151.483 162.293 171.942 204.341 247.106 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah. Bank Campuran merupakan bank yang memiliki keuangan yang baik ketiga setelah Bank Pembangunan Daerah. Dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Pembangunan Daerah yang mendapatkan masukan dana tetap dari hasil kekayaan negara dan daerah, Bank Campuran yang merupakan bank yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri yang berarti dana yang masuk merupakan dana perorangan atau hasil investasi pihak-pihak terkait yang ingin berinvestasi di bank tersebut. Begitu pula dengan Bank Swasta dan Bank Asing. Namun Bank Umum Swasta Nasional non Devisa atau BUSN non Devisa menunjukan efek tetap yang paling kecil dibandingkan bank-bank lain karena bank ini hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri (domestik). 59 Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa setelah memenuhi ketentuan-ketentuan seperti volume usaha minimal mencapai jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana, serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing. 4.3.3. Variabel Mikroekonomi a. Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan bank tersebut. Dalam model ini ditunjukan oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Berdasarkan hasil estimasi, rasio BOPO mempunyai pengaruh signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 0,12 . Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan pada rasio BOPO sebesar satu persen akan berpengaruh negatif pada kondisi sustainabilitas keuangan perbankan sebesar 0,12 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya efisiensi suatu kegiatan operasional bank untuk menghasilkan pendapatan operasional yang nilainya lebih besar dari pada pengeluarannya. Sehingga selisih dari pendapatan operasional dengan pengeluaran operasionalnya dapat dijadikan modal untuk menjalankan kegiatan operasional di waktu berikutnya. Jika nilai BOPO menunjukan angka yang tinggi, maka hal 60 tersebut menggambarkan bahwa bank tersebut mempunyai beban operasional yang lebih tinggi dari pendapatan operasionalnya, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi perubahan yang bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang buruk dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin rendah kemampuan bank untuk melanjutkan usahanya dimasa yang akan datang. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan bank secara berkelanjutan adalah dengan meningkatkan efisiensi kegiatan operasional bank agar dapat meningkatkan sustainabilitas keuangan perbankan. b. Loan to Deposit Ratio (LDR) Faktor lainnya yang mempengaruhi FSR pada bank adalah aspek likuiditas. Dalam model ini aspek likuiditas tercermin dalam Loan to Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio yang menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Berdasarkan hasil estimasi, perubahan LDR mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 0,06. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan LDR sebesar satu persen, maka kondisi FSR bank akan meningkat sebesar 61 0,06 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Semakin tinggi LDR, maka pinjaman yang disalurkan bank meningkat bila dibandingkan dengan total dana yang diterima. Jika dilihat dari segi likuiditas bank, hal ini akan menurunkan likuiditas bank, sehingga pada hipotesis diprediksi bahwa pertumbuhan LDR akan berpengaruh negatif terhadap FSR bank. Namun hasil estimasi pada periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini menunjukan hasil estimasi yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh likuiditas bank tidak hanya terdiri dari jumlah deposit yang ada di bank, namun masih ada modal sendiri dan aset yang dimiliki bank sehingga jika LDR rendah maka tidak akan optimal. Dengan kata lain masih ada ruang antara jumlah deposit dan pinjaman yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan pendapatan bunga sampai pada tingkat tertentu yang nantinya akan berpengaruh pada finansial perbankan. Selain itu kapasitas bank dalam penyaluran kredit dewasa ini lebih baik dalam proses screeningnya, sehingga risiko yang dihadapi bank juga menjadi lebih rendah. Peningkatan mekanisme penyaluran kredit yang diimbangi dengan peningkatan kapabilitas dan kompetensi bank dalam penyaluran kreditnya akan menghasilkan sebuah bank yang mampu lebih sustainable di masa yang akan datang. Hal ini terjadi karena setiap pinjaman yang dikeluarkan oleh bank, manfaatnya tidak dirasakan bank pada saat itu juga, namun manfaatnya akan dirasakan pada waktu yang 62 akan datang yaitu yang berasal dari pendapatan bunga atas pinjaman beserta cicilan pembayaran pinjaman. Oleh karena itu bank harus menetapkan suku bunga pinjaman yang lebih besar dari suku bunga tabungan agar bank tidak mengalami kerugian. c. Return on Asset (ROA) Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi FSR bank tersebut. Dalam model ini, selain ditunjukan oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO), namun juga ditunjukan oleh rasio Return on Asset (ROA), yaitu rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Berdasarkan hasil estimasi, ROA mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 2,36. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan ROA sebesar satu persen, maka kondisi sustainabilitas keuangan akan meningkat sebesar 2,36 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya penciptaan laba oleh suatu bank dalam memanfaatkan aset yang dimiliki bank tersebut. Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat keuntungan bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dalam segi penggunaan aset dan tentunya sustainabilitas keuangan. 63 Laba atau keuntungan yang diperoleh bank dapat dijadikan modal untuk perluasan kegiatan usaha bank itu sendiri sehingga secara berkelanjutan bank akan mengalami perkembangan dan perluasan usaha yang menghasilkan peningkatan laba hasil usaha. Dengan kata lain dapat disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi pertumbuhan yang bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang baik dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin tinggi kemampuan bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan bank secara berkelanjutan adalah dengan mengatur penggunaan aset yang dimiliki dengan baik sehingga dapat menghasilkan laba yang maksimal. d. Financial Sustainability Ratio (FSR) Periode Sebelumnya Variabel FSR periode sebelumnya dimasukkan sebagai variabel independen pada model ini dengan tujuan untuk mengatasi masalah autokorelasi. Dari hasil estimasi diketahui bahwa FSR perbankan di Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh FSR itu sendiri pada periode sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa perilaku suatu variabel sangat dipengaruhi oleh variabel itu sendiri pada periode sebelumnya. Sehingga untuk meramalkan kondisi suatu variabel dimasa yang akan datang dapat melihat perilakunya pada periode-periode terdahulu. 64 e. Capital Adequacy Ratio (CAR) Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa pertumbuhan CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia. Capital Adequacy Ratio (CAR) itu sendiri merupakan jumlah modal yang digunakan untuk menutup risiko kerugian yang timbul karena penanaman aktiva-aktiva yang mengandung risiko. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan CAR dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang positif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi kenaikan CAR maka akan terjadi peningkatan sustainabilitas keuangan. Hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor mikroekonomi perbankan lain yang lebih mempengaruhi sustainabilitas keuangan, dimana dalam penelitian ini yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan adalah BOPO, LDR, dan ROA. f. Non Performing Loan (NPL) Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa pertumbuhan NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap FSR perbankan di Indonesia dan hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor mikroekonomi perbankan lain yang lebih mempengaruhi FSR, dimana dalam penelitian ini yang mempengaruhi FSR adalah BOPO, LDR, dan ROA. 65 Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah merupakan salah satu indikator penilaian kinerja bank dimana NPL merupakan rasio antara total kredit bermasalah dengan total kredit yang diberikan bank kepada debitur. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan NPL dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang negatif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi kenaikan NPL maka akan terjadi penurunan kondisi sustainabilitas keuangan. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen risiko bagi penyaluran kredit atau pinjaman bank kepada debitur. Dalam penyaluran kredit, bank harus melakukan analisis terlebih dahulu mengenai kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank wajib melakukan pengawasan dan peninjauan penggunaan kredit oleh debitur dan kepatuhannya dalam membayar kewajibannya sesuai persetujuan. Hal ini dilakukan agar memperkecil peluang terjadinya risiko default. Sehingga, kredit-kredit yang diberikan akan menghasilkan pendapatan baik pendapatan operasional maupun pendapatan bunga di waktu yang akan datang sehingga menciptakan bank yang sustain secara finansial. 4.3.4. Variabel Makroekonomi a. Jumlah Uang Beredar Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa perubahan jumlah uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan pada taraf nyata satu persen dengan koefisien estimasi – 4,92. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah uang beredar sebesar satu 66 persen, maka akan menyebabkan penurunan kondisi sustainabilitas keuangan sebesar 4,92 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Hasil estimasi memperlihatkan bahwa perubahan jumlah uang beredar mempengaruhi kondisi keuangan perbankan karena disaat jumlah uang beredar meningkat, maka otoritas moneter akan meningkatkan suku bunga untuk menurunkan penawaran uang, sehingga dengan meningkatnya suku bunga akan menurunkan pendapatan atas bunga pada perbankan. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa suku bunga merupakan biaya bagi bank. Oleh karena itu dengan meningkatnya jumlah uang beredar akan menurunkan kondisi sustainabilitas keuangan bank melalui kebijakan peningkatan suku bunga yang ditetapkan pemerintah. b. Suku Bunga Berdasarkan hasil estimasi suku bunga memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada taraf nyata 1 persen dengan koefisien estimasi sebesar -0,49. Hal ini menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan suku bunga sebesar satu persen maka kondisi sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun sebesar 0,49 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Hasil estimasi selama periode penelitian menjelaskan bahwa perilaku suku bunga sangat mempengaruhi kondisi keuangan perbankan 67 karena suku bunga dapat berpengaruh langsung terhadap keuntungan perbankan yang akhirnya dapat mempengaruhi keberlanjutan kinerja keuangan perbankan. Suku bunga merupakan biaya bagi bank, maka semakin tinggi suku bunga, semakin rendah laba yang diperoleh. c. Inflasi Berdasarkan hasil estimasi inflasi memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada taraf nyata lima persen dengan koefisien estimasi sebesar 0,06. Hal ini menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun sebesar 0,06 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus). Hasil estimasi ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi, maka akan terjadi peningkatan sustainabilitas keuangan. Hal ini dikarenakan pada periode estimasi, yaitu tahun 2004 sampai 2011 indonesia memiliki tingkat inflasi yang rendah, yaitu berkisar kurang lebih enam persen dimana jika pada tingkat inflasi yang rendah, kenaikan tingkat inflasi akan berpengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan penawaran dan peningkatan jumlah output total negara. Pertumbuhan ekonomi ini juga akan berdampak baik bagi perbankan. Sehingga, hal ini akan berpengaruh positif pula bagi keberlanjutan perbankan secara finansial. 68 d. Kurs Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan menjelaskan bahwa kurs tidak berpengaruh signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia dan hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang lebih mempengaruhi sustainabilitas keuangan. Kurs merupakan perbandingan nilai antara dua mata uang dimana dalam penelitian ini Rupiah per US$. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan kurs dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang positif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi peningkatan kurs maka akan terjadi peningkatan pula pada sustainabilitas keuangan. Hal ini dapat terjadi karena selain menghimpun dana dan mengalokasikan dana, bank umum juga memiliki kegiatan-kegiatan lain, salah satunya adalah menyediakan jasa perdagangan internasional. Dalam perdagangan internasional terdapat perbedaan mata uang antara negara yang menjual dan negara yang membeli barang atau jasa. Jika nilai tukar rupiah menguat, maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih murah dari harga barang-barang domestik. Oleh karena itu terjadi peningkatan impor (terjadi peningkatan pembelian atas barang luar negeri). 69 4.4. Implikasi Kebijakan Berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi sustainabilitas keuangan perbankan pada periode yang diamati adalah rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), jumlah uang beredar, dan suku bunga yang berpengaruh negatif dan Loan to Deposit Ratio (LDR), Return on Asset (ROA), dan inflasi yang berpengaruh positif. Oleh karena itu hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan sustainabilitas keuangan Bank Umum di Indonesia adalah sebagai berikut: 4.4.1. Manajemen Mikroekonomi Perbankan 1. Bank harus meningkatkan efisiensi dari kegiatan yang bersifat operasional sehingga dapat menghasilkan pendapatan operasional yang nilainya lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan bank untuk membiaya kegiatan operasional tersebut. Bagi badan yang mengawasi perbankan nasional dapat menjadikan efisiensi operasional sebagai penilaian atas kinerja bank. 2. Bank harus mengoptimalkan penggunaan dana pihak ketiga yang masuk ke bank sebagai deposito agar tercipta perputaran uang yang maksimal, sehingga peran perbankan sebagai intermediasi keuangan berfungsi dengan baik. 3. Bank harus mengatur dengan baik mengenai penggunaan aset yang dimilikinya salah satunya dengan cara mendiversifikasi penggunaan aset untuk mengurangi risiko dan membatasi jumlah pemberian pinjaman pada kategori tertentu atau kepada setiap peminjam tertentu. Bagi badan yang 70 mengawasi perbankan agar dapat membatasi bank dari kepemilikan aset yang berisiko. 4.4.2. Manajemen Makroekonomi 1. Pemerintah sebaiknya dapat mengatur jumlah uang yang beredar agar menciptakan kondisi suku bunga yang stabil yang dapat memberikan lingkungan yang baik bagi kesehatan perbankan. 2. Pemerintah seharusnya mampu mengatur tingkat bunga sehingga suku bunga mencapai tingkat yang tidak memberatkan perbankan dalam membayar jumlah bunga deposito yang dimiliki nasabah di bank. 3. Pemerintah seharusnya mampu mengendalikan inflasi sampai pada tingkat tertentu yang dapat meningkatkan pendapatan perbankan melalui pendapatan atas bunga pinjaman yang bersifat konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat.