BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum
4.1.1. Gambaran Umum Perbankan Indonesia
Dilihat dari segi kepemilikannya, Bank di Indonesia dibedakan menjadi enam
kategori bank, diantaranya adalah Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional
Devisa, Bank Umum Swasta Nasional non Devisa, Bank Pembangunan Daerah,
Bank Campuran, dan Bank Asing. Data-data mengenai laporan keuangan setiap
kelompok bank serta data-data lainnya yang mencakup informasi mengenai
perbankan secara lengkap disediakan oleh Bank Indonesia melalui publikasi
Statistik Perbankan Indonesia.
Selama periode penelitian, jumlah bank di Indonesia mengalami penurunan
jumlah secara bertahap. Pada tahun 2004 jumlah bank di Indonesia sebanyak 133
bank dan pada tahun 2011 sebanyak 120 bank. Perkembangan jumlah bank untuk
setiap kelompok bank dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1.
Perkembangan Jumlah Bank
Kelompok Bank
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Bank Persero
5
5
5
5
5
4
BUSN Devisa
34
34
34
34
32
34
BUSN Non Devisa
38
37
37
37
37
31
BPD
26
26
26
26
26
26
Bank Campuran
19
18
17
17
15
16
Bank Asing
11
11
11
11
10
10
Total
133
131
130
130
124
121
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi.
2010
4
36
31
26
15
10
122
2011
4
36
30
26
14
10
120
43 Bank Persero, Bank Umum Swasta Nasional non Devisa, Bank Campuran,
dan Bank Asing selama periode yang diamati mengalami penurunan jumlah,
sedangkan Bank Umum Swasta Nasional Devisa selama periode yang diamati,
mengalami peningkatan. Sementara intu, Bank Pembangunan Daerah tetap
konstan.
4.1.2. Data Deskriptif
Data deskriptif digunakan untuk menunjukkan jumlah data yang digunakan
dalam penelitian ini, serta dapat menunjukkan nilai rata-rata (mean), dan nilai
standar deviasi dari masing-masing variabel penelitian yang meliputi variabel
Financial Sustainability Ratio (FSR), rasio Biaya Operasional Pendapatan
Operasional (BOPO), Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio
(LDR), Non Performing Loan (NPL), Return on Asset (ROA), suku bunga, inflasi,
jumlah uang beredar, dan nilai tukar. Hasil olah data deskriptif mengenai kinerja
bank dapat dilihat pada tabel 4.2.
Selama periode penelitian, nilai rata-rata FSR tertinggi dimiliki oleh Bank
Campuran dengan nilai 127,67 persen dengan standar deviasi 9,11. Nilai ini
menunjukan bahwa data FSR pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang
kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding rata-rata nilai
FSR Bank Campuran. Nilai rata-rata FSR terendah dimiliki oleh BUSN Devisa
dengan nilai 115,76 persen dengan standar deviasi 3,88. Nilai ini menunjukan
bahwa data FSR pada BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil karena
44 memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding rata-rata nilai FSR BUSN
Devisa.
Tabel 4.2.
Hasil Olah Data Deskriptif Kinerja Bank
Kelompok Bank
FSR
BOPO CAR
LDR
NPL
ROA
Bank Persero
- Mean (%)
122,22 96,92
18,76
62,00
7,48
2,59
- Std. Deviasi
6,35
14,70
3,34
14,08
4,22
0,79
BUSN Devisa
- Mean(%)
115,76 85,08
18,70
61,12
3,47
2,38
- Std. Deviasi
3,88
4,7
2,72
13,33
0,97
0,40
BUSN non Devisa
- Mean(%)
112,05 89,06
19,24
76,89
3,29
2,14
- Std. Deviasi
5,53
5,45
2,93
8,25
1,12
0,76
BPD
3,79
2,05
58,04
18,70
131,24 74,29
- Mean(%)
0,56
0,24
9,83
2,72
3,79
5,00
- Std. Deviasi
Bank Campuran
- Mean(%)
127,67 77,19
28,07
92,74
5,17
2,82
- Std. Deviasi
9,11
14,47
4,00
15,30
4,67
0,61
Bank Asing
- Mean(%)
122,31 83,12
24,19
71,14
6,28
3,97
- Std. Deviasi
7,93
5,65
5,10
17,42
3,23
0,83
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah.
Nilai rata-rata BOPO tertinggi dimiliki oleh Bank Persero dengan nilai 96,92
persen dengan standar deviasi 14,70. Nilai ini menunjukan bahwa data BOPO
pada Bank Persero mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar
deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata BOPO terendah
dimiliki oleh Bank Pembangunan Derah dengan nilai 74,29 persen dengan standar
deviasi 3,79. Nilai ini menunjukan bahwa data BOPO pada Bank Pembangunan
daerah mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang
kecil dibanding nilai rata-ratanya.
45 Nilai rata-rata CAR tertinggi dimiliki oleh Bank Campuran dengan nilai
28,07 persen dengan standar deviasi 4. Nilai ini menunjukan bahwa data CAR
pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai
standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata CAR
terendah dimiliki oleh Bank Pembangunan Derah dan BUSN Devisa dengan nilai
18,70 persen dengan standar deviasi 2,72. Nilai ini menunjukan bahwa data CAR
pada Bank Pembangunan daerah dan BUSN Devisa mempunyai sebaran yang
kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya.
Nilai rata-rata LDR tertinggi dimiliki oleh Bank Campuran dengan nilai
92,74 persen dengan standar deviasi 15,30. Nilai ini menunjukan bahwa data LDR
pada Bank Campuran mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai
standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata LDR
terendah dimiliki oleh BUSN Devisa dengan nilai 61,12 persen dengan standar
deviasi 13,33. Nilai ini menunjukan bahwa data LDR pada BUSN Devisa
mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil
dibanding nilai rata-ratanya.
Nilai rata-rata NPL tertinggi dimiliki oleh Bank Persero dengan nilai 7,48
persen dengan standar deviasi 4,22. Nilai ini menunjukan bahwa data NPL pada
Bank Persero mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi
yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata NPL terendah dimiliki oleh
Bank Pembangunan Derah dengan nilai 2,05 persen dengan standar deviasi 0,24.
Nilai ini menunjukan bahwa data NPL pada Bank Pembangunan daerah
46 mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil
dibanding nilai rata-ratanya.
Nilai rata-rata ROA tertinggi dimiliki oleh Bank Asing dengan nilai 3,97
persen dengan standar deviasi 0,83. Nilai ini menunjukan bahwa data ROA pada
Bank Asing mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi
yang kecil dibanding nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata ROA terendah dimiliki oleh
BUSN Devisa dengan nilai 2,14 persen dengan standar deviasi 0,76. Nilai ini
menunjukan bahwa data ROA pada BUSN Devisa mempunyai sebaran yang kecil
karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rata-ratanya.
Hasil olah data deskriptif mengenai kondisi makroekonomi Indonesia selama
periode penelitian dapat dilihat pada tabel 4.3. sebagai berikut :
Tabel 4.3.
Hasil Olah Data Deskriptif Kondisi Makroekonomi
Indikator Makroekonomi
Inflasi (%)
Suku bunga (%)
M1(Miliar)
Kurs (Rp/US$)
Minimal
-0,32
6,20
12,25
8.447
Maksimal
17,17
12,75
13,49
12.151
Rata-rata
3,61
8,30
12,86
9.384
St.Deviasi
3,60
1,96
0,34
704
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah
Inflasi memiliki nilai terendah -0,32 persen yaitu pada bulan Maret 2011 dan
nilai tertinggi sebesar 17,17 persen yaitu pada bulan November 2005, dengan
standar deviasi 3,60 dan nilai rata-rata 3,61. Hal ini menunjukan bahwa tingkat
inflasi selama periode penelitian relatif menyebar, karena nilai standar deviasi
dengan rata-rata yang sama. Suku bunga memiliki nilai terendah 6,20 persen yaitu
47 pada bulan April 2010 dan nilai tertinggi sebesar 12,75 persen yaitu pada bulan
Desember 2005 hingga April 2006, dengan nilai rata-rata 8,30 persen dan standar
deviasi 1,96. Hal ini menunjukan bahwa selama periode penelitian, suku bunga
mempunyai sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil
dibanding nilai rata-ratanya.
Jumlah uang beredar memiliki nilai terendah 12,25 miliar yaitu pada bulan
Februari 2004 dan nilai tertinggi sebesar 13,49 miliar yaitu pada bulan Desember
2011, dengan nilai rata-rata 12,86 miliar dan standar deviasi 0,34. Hal ini
menunjukan bahwa selama periode penelitian, jumlah uang beredar mempunyai
sebaran yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding
nilai rata-ratanya. Kurs memiliki nilai terendah Rp8.447, yaitu pada bulan
Februari 2004 dan nilai tertinggi sebesar Rp12.151, yaitu pada bulan November
2008, dengan nilai rata-rata 9.384 rupiah dan standar deviasi 704. Hal ini
menunjukan bahwa selama periode penelitian, suku bunga mempunyai sebaran
yang kecil karena memiliki nilai standar deviasi yang kecil dibanding nilai rataratanya.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Uji Chow
..................................................................(4.1)
=
,
,
,
31,657143
48 F tabel = Fα(N-1, NT-N-K)
F0,01(5,554) = 3,02; F0,05(5,554) = 2,21; F0,10(5,554) = 1,87
Dari hasil perhitungan di atas terbukti bahwa F hitung memiliki nilai yang
lebih besar dari F tabel. Hal ini berarti tolak H0 atau model yang terbaik adalah
model Fixed. Pada penelitian ini tidak digunakan uji Hausman karena data yang
digunakan merupakan data populasi.
4.2.2. Pemilihan Struktur Model
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi sustainabilitas keuangan pada perbankan di Indonesia baik dari
sisi mikroekonomi maupun dari sisi makroekonomi. Model dasar dari penelitian
ini adalah FSR=f(mikroekonomi, makroekonomi), dimana faktor mikroekonomi
yang digunakan merupakan rasio-rasio keuangan bank dan faktor makroekonomi
yang digunakan merupakan kondisi-kondisi makroekonomi seperti nilai tukar,
inflasi, suku bunga, jumlah uang beredar, maka dibangun model FSR berdasarkan
variabel-variabel yang ada. Dalam penelitian ini terdapat 4 model FSR dengan
spesifikasi sebagai berikut:
1. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit +
α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + εit.............................................(4.2)
2. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit +
α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10DUMMYit + εit....................(4.3)
3. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit +
α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10FSR(t-1)it + εit........................(4.4)
49 4. FSR = (α0+αi) + α1BOPOit + α2CARit + α3LDRit + α4NPLit + α5ROAit +
α6INFit + α7lnM1it + α8lnKURSit + α9Rit + α10FSR(t-1)it + α11DUMMYit +
εit..................................................................................................................(4.5)
Keempat model tersebut diolah secara berurutan dengan bantuan perangkat lunak
E-Views sehingga diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4.
Hasil Estimasi dari Beberapa Model FSR
Model FSR
BOPO: - koefisien
- t stat
CAR: - koefisien
- t stat
FSR1
-0,205655
(-6,218799)
0,110006
(2,120886)
FSR2
-0,206191
(-6,109129)
0,112731
(1,984542)
FSR3
-0,026027
(-4,639499)
0,047894
(1,241169)
FSR4
-0,122652
(-4,745189)
0,052166
(1,309851)
LDR: - koefisien
0,119104
0,118748
0,061112
0,060528
- t stat
(0,0000)
(5,736793)
(3,283732)
(3,241839)
NPL: - koefisien
-0,137952
-0,142709
-0,016362
-0,016717
- t stat
(5,767969)
(-1,329155) (-0,203205)
(-0,198796)
ROA: - koefisien
3,979600
3,983284
2,360159
2,358950
- t stat
(13,76618)
(13,80084)
(6,589137)
(6,589740)
INFLASI: - koefisien 0,148595
0,151980
0,059213
0,055958
- t stat
(4,449196)
(4,280288)
(2,094714)
(2,049012)
lnM1: - koefisien
-10,62837
-10,82847
-5,180941
-4,919410
- t stat
(-12,83323)
(-10,20995) (-6,430066)
(-5,859421)
lnKURS: - koefisien
0,600926
0,975399
1,600753
1,074265
- t stat
(0,291961)
(0,388543)
(-0,962270)
(0,839549)
R: - koefisien
-1,014204
-1,000206
-0,478196
-0,494554
- t stat
(-10,65491)
(-10,37611) (-5,647269)
(-5,501024)
FSRt-1: - koefisien
0,493411
0,493251
- t stat
(9,911395)
(9,900922)
DUMMY: - koefisien 0,187170
0,258244
- t stat
(0,322162)
(0,651348)
R2
0,901805
0,901622
0,929825
0,929783
F-stat
364,0708
338,4886
457,9531
489,0522
DW
0,872554
0,876420
1,902865
1,901603
Autokorelasi
Ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Heteroskedastisitas
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Multikolinearitas
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Keterangan: Autokorelasi ditentukan berdasarkan uji Durbin-Watson, heterokskedastisitas
ditentukan berdasarkan grafik standardized residual, dan multikolinearitas
ditentukan berdasarkan metode correlation matrix.
50 Model 1 merupakan model FSR dengan menggunakan variabel-variabel
independen berupa rasio-rasio keuangan bank, yang terdiri dari BOPO, CAR,
LDR, NPL, ROA, dan kondisi-kondisi makroekonomi seperti nilai tukar, inflasi,
suku bunga, jumlah uang beredar. Dalam model 1 ditemukan adanya masalah
autokorelasi, hal ini teridentifikasi dari nilai statistik uji Durbin Watson yang
kecil, mendekati nol (0,87). Kemudian untuk mengatasi masalah autokorelasi
tersebut, dilakukan penambahan variabel independen berupa variabel DUMMY
yang membedakan periode estimasi sebelum dan sesudah krisis ekonomi yang
terjadi pada September 2008 sehingga didapat model 2. Pada model 2 ini masih
terdapat masalah autokorelasi, namun terjadi penambahan nilai R2. Selanjutnya
untuk mengatasi masalah autokorelasi, pada model 3 ditambahkan variabel lag 1
dari variabel dependen sebagai variabel independen sehingga masalah
autokorelasi menjadi teratasi, dengan nilai statistik uji Durbin Watson yang
mendekati 2 (1,90).
Pada model 4, selain ditambahkan variabel lag 1 dari variabel dependen
sebagai variabel independen, juga ditambahkan variabel dummy sebagai variabel
independen namun variabel dummy tersebut tidak berpengaruh signifikan secara
parsial. Sehingga model 3 dipilih sebagai model yang terbaik diantara ketiga
model lainnya dengan nilai R2 yang tinggi (0,93). Model 3 sudah memenuhi
seluruh asumsi dasar dan Goodness of fit.
51 4.2.3. Goodness of Fit, Uji t, Uji F
Hasil estimasi koefisien regresi dari model 3 yang dilakukan dengan
metode Fixed Effect Model dapat dilihat pada Tabel 4.5. di bawah ini.
Tabel 4.5.
Hasil Estimasi Data Panel Fixed Effect Model pada Model FSR 3
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
BOPO
CAR
LDR
NPL
ROA
INF
LNM1
LNKURS
R
FSR_1
C
-0.120752
0.047894
0.060528
-0.016717
2.358950
0.055958
-4.919410
1.074265
-0.494554
0.493251
136.5762
0.026027
0.038588
0.018671
0.082269
0.357973
0.027310
0.765064
1.279574
0.087574
0.049819
18.15796
-4.639499
1.241169
3.241839
-0.203205
6.589740
2.049012
-6.430066
0.839549
-5.647269
9.900922
7.521561
0.0000
0.2151
0.0013
0.8390
0.0000
0.0409
0.0000
0.4015
0.0000
0.0000
0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.929783
0.927881
3.222094
489.0522
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
150.5509
52.16908
5751.568
1.901603
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.873452
6128.529
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
121.8763
1.915140
Dari hasil estimasi didapat nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,98
yang menunjukan bahwa model ini dapat menjelaskan variasi dalam FSR
52 sebesar 92,98 persen atau dengan kata lain variasi dalam FSR dapat
dijelaskan oleh variabel-variabel independen dalam model ini sebesar 92,98
persen, sedangkan sisanya sebesar 7,02 persen dijelaskan atau dipengaruhi
oleh faktor lain di luar model.
Uji t merupakan pengujian untuk masing-masing koefisien regresi
secara parsial. Dengan tingkat signifikansi (α) 1 persen, 5 persen, dan 10
persen maka nilai uji t untuk masing-masing variabel independen dapat
dilihat pada Tabel 4.6. berikut ini.
Tabel 4.6.
Signifikansi (Uji t) Variabel Independen pada Model FSR 3
Variabel
independen
Koefisien
t-stat
BOPO
-0,120752
-4,639,499
Signifikan*
CAR
0,047894
1,241,169
Tidak signifikan
LDR
0,060528
3,241,839
Signifikan*
NPL
ROA
-0,016717
2,358950
-0,203205
6,589,740
INFLASI
0,055958
2,049,012
LnM1
-4,919410
-6,430,066
Signifikan*
LnKURS
R
1,074265
-0,494554
0,839549
-5,647,269
Tidak signifikan
Signifikan*
FSRt-1
0,493251
9,900,922
Signifikan*
t-tabel
df = 559
α 1% = 2,326
α 5% = 1,645
α 10% = 1,282
Signifikansi
Tidak signifikan
Signifikan*
Signifikan**
Keterangan: Signifikan*= Signifikan pada taraf nyata 1persen; Signifikan**= Signifikan pada
taraf nyata 5persen; Signifikan***= Signifikan pada taraf nyata 10persen.
Uji model FEM secara keseluruhan valid dalam taraf signifikan 5
persen yang ditunjukan dengan nilai statistik uji F (489,05) dan p-value
sebesar 0,0000. Artinya model dalam persamaan tersebut dapat digunakan
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi FSR atau secara
53 bersama-sama variabel independen dalam model mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel dependen.
4.2.4. Uji Asumsi Klasik
a) Uji Multikolinearitas
Karena antar variabel independen biasanya ada korelasi,
multikolinearitas merupakan masalah tingginya korelasi antar variabel
independen. Sejumlah prosedur digunakan untuk mengidentifikasi
masalah tingginya korelasi antar variabel independen.
1) Indikasi R2, F statistik, dan t statistik
Dari hasil output tampak bahwa nilai R2 cukup tinggi, yaitu
0,929783 dan nilai F statistik juga signifikan (terlihat dari
probabilitas F statistik 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata
(1persen, 5persen, 10persen). Sedangkan t statistik untuk sebagian
besar variabel independen signifikan (baik pada taraf
nyata
1persen, 5persen, maupun 10persen). Jadi dengan prosedur ini
tampak bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas.
2) Metode Correlation Matrix
Dilihat dari koefisien korelasi antar variabel independen
tersebut tidak terdapat korelasi antar variabel independen yang
bernilai lebih dari 0,9 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi multikolinearitas dalam model.
54 Tabel 4.7.
Matriks Koefisien Korelasi Model FSR 3
FSRt-1
FSRt-1 1.0000
BOPO -0.5032
CAR
0.2057
LDR -0.1428
NPL -0.0669
ROA
0.6254
LNKURS 0.0681
INF
0.0294
SBI
-0.0804
LNJUB -0.2482
BOPO
-0.5032
1.0000
-0.0752
0.1010
0.4728
-0.5590
-0.0447
-0.0830
0.0636
0.0693
CAR
0.2057
-0.0752
1.0000
0.3986
0.1440
0.1639
0.0128
-0.0764
0.0911
-0.1330
LDR
-0.1428
0.1010
0.3986
1.0000
-0.2674
-0.1647
-0.0092
-0.0782
-0.1234
0.5503
NPL
-0.0669
0.4728
0.1440
-0.2674
1.0000
-0.1823
0.0286
0.0566
0.2214
-0.3957
ROA
0.6254
-0.5590
0.1639
-0.1647
-0.1823
1.0000
0.0887
-0.0979
-0.0557
-0.0668
LNKURS
0.0681
-0.0447
0.0128
-0.0092
0.0286
0.0887
1.0000
-0.2812
-0.2750
0.0393
INF
0.0294
-0.0830
-0.0764
-0.0782
0.0566
-0.0979
-0.2812
1.0000
0.4599
-0.2050
SBI
-0.0804
0.0636
0.0911
-0.1234
0.2214
-0.0557
-0.2750
0.4599
1.0000
-0.4586
LNJUB
-0.2482
0.0693
-0.1330
0.5503
-0.3957
-0.0668
0.0393
-0.2050
-0.4586
1.0000
b) Uji Heteroskedastisitas
6
4
2
0
-2
-4
-6
100
200
300
400
500
Standardized Residuals
Gambar 4.1.
Standardized Residual untuk Melihat Homoskedastisitas pada Model FSR 3
Pada
Gambar
4.1.
plot
residual
tidak
menggambarkan
terbentuknya suatu pola. Hal ini berarti bahwa tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model FSR 3.
55 c) Uji Autokorelasi
Uji
autokorelasi
menggunakan
Uji
Durbin
Watson
menghasilkan nilai DW statistik sebesar 1,904558. Identifikasi nilai
dari dL dan dU berdasarkan tabel dengan n=570, k=10, dan taraf
signifikansi 5 persen didapatkan nilai dL=1,571 dan dU=1,779. Jika
dilihat dari tabel Selang Nilai Statistik Durbin Watson, maka
disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi pada model FSR 3
karena nilai DW berada pada daerah dU < DW < 4-dU, yaitu 1,779 <
1,904 < 2,221.
4.3. Pembahasan Hasil Penelitian
4.3.1. Model Terpilih
Dari persamaan yang digunakan untuk mengestimasi variabel-variabel yang
mempengaruhi sustainabilitas keuangan di Indonesia (model FSR 3) didapat
persamaan estimasi sebagai berikut:
FSR = (136,5762 + αi) – 0,1208BOPO + 0,0479CAR + 0,0605LDR – 0,0167NPL
+ 2,3590ROA + 0,0560INF – 4,9194LNJUB + 1,0743LNKURS –
0,4946SBI + 0,4933FSRt-1
4.3.2. Efek Individu
Model FEM dapat menjelaskan perbedaan karakteristik setiap individu
(kelompok bank) dimana nilai dari karakteristik tersebut menjadi bagian dari
intersep. Efek individu dalam model menunjukan adanya perbedaan karakteristik
56 FSR dari setiap kelompok bank dan dimasukkan sebagai bagian dari intersep
dalam menginterpretasikan model untuk setiap kelompok bank. Fixed Effect dari
setiap kelompok bank untuk hasil estimasi pada model FSR 3 dapat dilihat dari
Tabel 4.8.
Tabel 4.8.
Fixed Effect setiap Individu pada Model FSR 3
No.
1
2
3
4
5
6
Individu
Bank Persero
BPD
Bank Campuran
BUSN Devisa
Bank Asing
BUSN non Devisa
Effect
139.7185
138.6376
137.769
135.3084
134.3066
133.717
Berdasarkan efek tetap setia kelompok bank dari hasil estimasi pada model
FSR 3, menunjukan bahwa setiap bank pada periode pengamatan menghasilkan
nilai FSR yang lebih dari 100 persen. Hal ini menjelaskan jika setiap variabel
independen pada model berperilaku konstan atau tetap, maka FSR perbankan
bernilai lebih dari 100 persen. Rasio keberlanjutan keuangan perbankan yang
bernilai lebih dari 100 persen ini berarti bahwa perbankan mampu bertahan secara
keuangan di masa yang akan datang karena menghasilkan pendapatan yang lebih
besar dari pengeluarannya.
Hasil estimasi tersebut juga menunjukan bahwa peringkat kelompok bank
mulai dari efek tetap yang terbesar adalah Bank Persero, Bank Pembangunan
Daerah, Bank Campuran, Bank Umum Swasta Nasional Devisa, Bank Asing, dan
yang terakhir adalah Bank Umum Swasta Nasional non Devisa. Bank Persero
merupakan bank yang memiliki nilai FSR yang paling besar karena Bank Persero
57 merupakan bank milik negara yang modalnya dimiliki oleh negara. Kekayaan
yang dihasilkan negara sebagian juga disimpan pada Bank Peresero. Selain itu
porsi total aset Bank Persero terhadap total bank sangat besar mengingat jumlah
Bank Persero yang sedikit dibandingkan jumlah bank lainnya.
Tabel 4.9.
Porsi Total Aset Perbankan di Indonesia (Persen)
KELOMPOK BANK
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
BANK PERSERO
44,30
37,33
36,14
35,67
36,52
37,24
36,62
BANK PEMBANGUNAN DAERAH
7,30
8,75
9,33
8,61
8,63
8,79
9,01
BUSN DEVISA
30,98
38,78
39,00
39,21
37,86
38,42
39,13
BUSN NON DEVISA
1,58
1,66
1,85
1,91
1,98
2,11
2,34
BANK CAMPURAN
4,76
3,81
4,38
4,90
5,61
5,12
5,03
BANK ASING
11,08
9,66
9,29
9,69
9,39
8,33
7,88
100
100
100
100
100
100
100
TOTAL
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah.
Selanjutnya Bank Pembangunan Daerah merupakan bank yang memiliki
sustainabilitas keuangan yang baik kedua setelah Bank Persero. Hal ini karena
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1962 tentang
ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah tujuan awal didirikannya
Bank Pembangunan daerah adalah untuk sarana pengerahan modal dan potensi di
daerah-daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah. Selain itu Bank
Pembangunan Daerah juga diperkenankan untuk menerima investasi dari pihak
asing. Namun Bank Pembangunan Daerah tidak diperkenankan untuk
menjalankan usaha-usaha bank umum pada umumnya seperti menerima simpanan
dalam bentuk giro. Oleh karena itu sebagian besar dana pihak ketiga yang masuk
ke BPD merupakan dana milik pemerintah daerah dan juga transfer dana APBN
58 dari pusat. Berikut ini merupakan tabel sumber dana yang diterima BPD pada 5
tahun terakhir.
Tabel 4.10.
Sumber Dana Bank Pembangunan Daerah (Miliar Rupiah)
Tahun
2007
2008
2009
2010
2011
DPK
134.287 143.262 152.251 183.624 235.265
Kewajiban kepada BI
99
882
41
19
9
Antar bank
5.733
10.092
13.084
14.823
15.760
Surat berharga
2.997
2.887
2.340
2.126
5.197
Pinjaman yang diterima
1.089
1.310
1.559
1.561
3.216
Kewajiban lainnya
6.812
4.627
4.453
1.781
3.025
Setoran jaminan
466
543
554
407
394
Total
151.483 162.293 171.942 204.341 247.106
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, beberapa edisi, diolah.
Bank Campuran merupakan bank yang memiliki keuangan yang baik ketiga
setelah Bank Pembangunan Daerah. Dibandingkan dengan Bank Persero dan
Bank Pembangunan Daerah yang mendapatkan masukan dana tetap dari hasil
kekayaan negara dan daerah, Bank Campuran yang merupakan bank yang
didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di
Indonesia dan didirikan oleh warga negara dan atau badan hukum Indonesia yang
dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank
yang berkedudukan di luar negeri yang berarti dana yang masuk merupakan dana
perorangan atau hasil investasi pihak-pihak terkait yang ingin berinvestasi di bank
tersebut. Begitu pula dengan Bank Swasta dan Bank Asing.
Namun Bank Umum Swasta Nasional non Devisa atau BUSN non Devisa
menunjukan efek tetap yang paling kecil dibandingkan bank-bank lain karena
bank ini hanya dapat melayani transaki-transaksi di dalam negeri (domestik).
59 Bank umum non devisa dapat meningkatkan statusnya menjadi bank devisa
setelah memenuhi ketentuan-ketentuan seperti volume usaha minimal mencapai
jumlah tertentu, tingkat kesehatan, dan kemampuannya dalam memobilisasi dana,
serta memiliki tenaga kerja yang berpengalaman dalam valuta asing.
4.3.3. Variabel Mikroekonomi
a. Rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO)
Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi sustainabilitas keuangan bank tersebut. Dalam model ini
ditunjukan oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO)
yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan
kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Berdasarkan
hasil estimasi, rasio BOPO mempunyai pengaruh signifikan pada taraf
nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan, dengan koefisien 0,12 . Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan pada rasio BOPO sebesar
satu persen akan berpengaruh negatif pada kondisi sustainabilitas
keuangan perbankan sebesar 0,12 persen dengan asumsi variabel
independen lain konstan (ceteris paribus).
Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya efisiensi suatu
kegiatan operasional bank untuk menghasilkan pendapatan operasional
yang nilainya lebih besar dari pada pengeluarannya. Sehingga selisih dari
pendapatan operasional dengan pengeluaran operasionalnya dapat
dijadikan modal untuk menjalankan kegiatan operasional di waktu
berikutnya. Jika nilai BOPO menunjukan angka yang tinggi, maka hal
60 tersebut menggambarkan bahwa bank tersebut mempunyai beban
operasional yang lebih tinggi dari pendapatan operasionalnya, sehingga
dapat disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi perubahan
yang bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang
buruk dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin rendah
kemampuan bank untuk melanjutkan usahanya dimasa yang akan datang.
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan
bank secara berkelanjutan adalah dengan meningkatkan efisiensi kegiatan
operasional bank agar dapat meningkatkan sustainabilitas keuangan
perbankan.
b. Loan to Deposit Ratio (LDR)
Faktor lainnya yang mempengaruhi FSR pada bank adalah aspek
likuiditas. Dalam model ini aspek likuiditas tercermin dalam Loan to
Deposit Ratio (LDR), yaitu rasio yang menyatakan seberapa jauh
kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai
sumber likuiditasnya.
Berdasarkan hasil estimasi, perubahan LDR mempunyai pengaruh
yang signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas
keuangan, dengan koefisien 0,06. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan
LDR sebesar satu persen, maka kondisi FSR bank akan meningkat sebesar
61 0,06 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris
paribus).
Semakin tinggi LDR, maka pinjaman yang disalurkan bank meningkat
bila dibandingkan dengan total dana yang diterima. Jika dilihat dari segi
likuiditas bank, hal ini akan menurunkan likuiditas bank, sehingga pada
hipotesis diprediksi bahwa pertumbuhan LDR akan berpengaruh negatif
terhadap FSR bank. Namun hasil estimasi pada periode waktu yang
digunakan dalam penelitian ini menunjukan hasil estimasi yang berbeda
dengan penelitian sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh likuiditas bank
tidak hanya terdiri dari jumlah deposit yang ada di bank, namun masih ada
modal sendiri dan aset yang dimiliki bank sehingga jika LDR rendah maka
tidak akan optimal. Dengan kata lain masih ada ruang antara jumlah
deposit dan pinjaman yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan
pendapatan bunga sampai pada tingkat tertentu yang nantinya akan
berpengaruh pada finansial perbankan.
Selain itu kapasitas bank dalam penyaluran kredit dewasa ini lebih
baik dalam proses screeningnya, sehingga risiko yang dihadapi bank juga
menjadi lebih rendah. Peningkatan mekanisme penyaluran kredit yang
diimbangi dengan peningkatan kapabilitas dan kompetensi bank dalam
penyaluran kreditnya akan menghasilkan sebuah bank yang mampu lebih
sustainable di masa yang akan datang. Hal ini terjadi karena setiap
pinjaman yang dikeluarkan oleh bank, manfaatnya tidak dirasakan bank
pada saat itu juga, namun manfaatnya akan dirasakan pada waktu yang
62 akan datang yaitu yang berasal dari pendapatan bunga atas pinjaman
beserta cicilan pembayaran pinjaman. Oleh karena itu bank harus
menetapkan suku bunga pinjaman yang lebih besar dari suku bunga
tabungan agar bank tidak mengalami kerugian.
c. Return on Asset (ROA)
Aspek rentabilitas pada bank merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi FSR bank tersebut. Dalam model ini, selain ditunjukan
oleh rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO), namun juga
ditunjukan oleh rasio Return on Asset (ROA), yaitu rasio untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara
keseluruhan. Berdasarkan hasil estimasi, ROA mempunyai pengaruh yang
signifikan pada taraf nyata satu persen terhadap sustainabilitas keuangan,
dengan koefisien 2,36. Hal ini berarti setiap terjadi peningkatan ROA
sebesar satu persen, maka kondisi sustainabilitas keuangan akan
meningkat sebesar 2,36 persen dengan asumsi variabel independen lain
konstan (ceteris paribus).
Hasil estimasi tersebut menunjukan pentingnya penciptaan laba oleh
suatu bank dalam memanfaatkan aset yang dimiliki bank tersebut.
Semakin besar ROA suatu bank, maka semakin besar pula tingkat
keuntungan bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut
dalam segi penggunaan aset dan tentunya sustainabilitas keuangan.
63 Laba atau keuntungan yang diperoleh bank dapat dijadikan modal
untuk perluasan kegiatan usaha bank itu sendiri sehingga secara
berkelanjutan bank akan mengalami perkembangan dan perluasan usaha
yang menghasilkan peningkatan laba hasil usaha. Dengan kata lain dapat
disimpulkan semakin tinggi rasio ini atau setiap terjadi pertumbuhan yang
bernilai positif pada rasio ini mengindikasikan suatu prediksi yang baik
dalam keberlanjutan keuangan suatu bank dan semakin tinggi kemampuan
bank untuk melanjutkan kegiatan usahanya. Oleh karena itu, salah satu
upaya untuk menciptakan kemapanan keuangan bank secara berkelanjutan
adalah dengan mengatur penggunaan aset yang dimiliki dengan baik
sehingga dapat menghasilkan laba yang maksimal.
d. Financial Sustainability Ratio (FSR) Periode Sebelumnya
Variabel FSR periode sebelumnya dimasukkan sebagai variabel
independen pada model ini dengan tujuan untuk mengatasi masalah
autokorelasi. Dari hasil estimasi diketahui bahwa FSR perbankan di
Indonesia secara signifikan dipengaruhi oleh FSR itu sendiri pada periode
sebelumnya. Hal ini mencerminkan bahwa perilaku suatu variabel sangat
dipengaruhi oleh variabel itu sendiri pada periode sebelumnya. Sehingga
untuk meramalkan kondisi suatu variabel dimasa yang akan datang dapat
melihat perilakunya pada periode-periode terdahulu.
64 e. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan
menjelaskan bahwa pertumbuhan CAR tidak berpengaruh signifikan
terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia. Capital
Adequacy Ratio (CAR) itu sendiri merupakan jumlah modal yang
digunakan untuk menutup risiko kerugian yang timbul karena penanaman
aktiva-aktiva yang mengandung risiko. Sebagai suatu gambaran, arah
hubungan antara pertumbuhan CAR dan sustainabilitas keuangan
menunjukan arah yang positif. Hal ini menunjukan bahwa ada indikasi
yang menjelaskan jika terjadi kenaikan CAR maka akan terjadi
peningkatan sustainabilitas keuangan.
Hasil estimasi ini memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor
mikroekonomi perbankan lain yang lebih mempengaruhi sustainabilitas
keuangan, dimana dalam penelitian ini yang mempengaruhi sustainabilitas
keuangan adalah BOPO, LDR, dan ROA.
f. Non Performing Loan (NPL)
Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan
menjelaskan bahwa pertumbuhan NPL tidak berpengaruh signifikan
terhadap
FSR
perbankan
di
Indonesia
dan
hasil
estimasi
ini
memperlihatkan bahwa terdapat faktor-faktor mikroekonomi perbankan
lain yang lebih mempengaruhi FSR, dimana dalam penelitian ini yang
mempengaruhi FSR adalah BOPO, LDR, dan ROA.
65 Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah merupakan salah
satu indikator penilaian kinerja bank dimana NPL merupakan rasio antara
total kredit bermasalah dengan total kredit yang diberikan bank kepada
debitur. Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan NPL
dan sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang negatif. Hal ini
menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi kenaikan
NPL maka akan terjadi penurunan kondisi sustainabilitas keuangan.
Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen risiko bagi penyaluran kredit
atau pinjaman bank kepada debitur. Dalam penyaluran kredit, bank harus
melakukan analisis terlebih dahulu mengenai kemampuan debitur untuk
membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank wajib
melakukan pengawasan dan peninjauan penggunaan kredit oleh debitur
dan kepatuhannya dalam membayar kewajibannya sesuai persetujuan. Hal
ini dilakukan agar memperkecil peluang terjadinya risiko default.
Sehingga, kredit-kredit yang diberikan akan menghasilkan pendapatan
baik pendapatan operasional maupun pendapatan bunga di waktu yang
akan datang sehingga menciptakan bank yang sustain secara finansial.
4.3.4. Variabel Makroekonomi
a. Jumlah Uang Beredar
Berdasarkan hasil estimasi menunjukan bahwa perubahan jumlah
uang beredar memiliki pengaruh signifikan terhadap sustainabilitas
keuangan pada taraf nyata satu persen dengan koefisien estimasi – 4,92.
Hal ini berarti jika terjadi peningkatan jumlah uang beredar sebesar satu
66 persen, maka akan menyebabkan penurunan kondisi sustainabilitas
keuangan sebesar 4,92 persen dengan asumsi variabel independen lain
konstan (ceteris paribus).
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa perubahan jumlah uang beredar
mempengaruhi kondisi keuangan perbankan karena disaat jumlah uang
beredar meningkat, maka otoritas moneter akan meningkatkan suku bunga
untuk menurunkan penawaran uang, sehingga dengan meningkatnya suku
bunga akan menurunkan pendapatan atas bunga pada perbankan. Seperti
yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya bahwa suku bunga
merupakan biaya bagi bank. Oleh karena itu dengan meningkatnya jumlah
uang beredar akan menurunkan kondisi sustainabilitas keuangan bank
melalui kebijakan peningkatan suku bunga yang ditetapkan pemerintah.
b. Suku Bunga
Berdasarkan hasil estimasi suku bunga memiliki pengaruh
signifikan terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada
taraf nyata 1 persen dengan koefisien estimasi sebesar -0,49. Hal ini
menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan suku bunga sebesar satu
persen maka kondisi sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun
sebesar 0,49 persen dengan asumsi variabel independen lain konstan
(ceteris paribus).
Hasil estimasi selama periode penelitian menjelaskan bahwa
perilaku suku bunga sangat mempengaruhi kondisi keuangan perbankan
67 karena suku bunga dapat berpengaruh langsung terhadap keuntungan
perbankan yang akhirnya dapat mempengaruhi keberlanjutan kinerja
keuangan perbankan. Suku bunga merupakan biaya bagi bank, maka
semakin tinggi suku bunga, semakin rendah laba yang diperoleh.
c. Inflasi
Berdasarkan hasil estimasi inflasi memiliki pengaruh signifikan
terhadap sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia pada taraf nyata
lima persen dengan koefisien estimasi sebesar 0,06. Hal ini menjelaskan
bahwa jika terjadi peningkatan inflasi sebesar satu persen maka
sustainabilitas keuangan perbankan akan menurun sebesar 0,06 persen
dengan asumsi variabel independen lain konstan (ceteris paribus).
Hasil estimasi ini menunjukan bahwa jika terjadi peningkatan inflasi,
maka akan terjadi peningkatan sustainabilitas keuangan. Hal ini
dikarenakan pada periode estimasi, yaitu tahun 2004 sampai 2011
indonesia memiliki tingkat inflasi yang rendah, yaitu berkisar kurang lebih
enam persen dimana jika pada tingkat inflasi yang rendah, kenaikan
tingkat inflasi akan berpengaruh positif kepada pertumbuhan ekonomi
melalui peningkatan penawaran dan peningkatan jumlah output total
negara. Pertumbuhan ekonomi ini juga akan berdampak baik bagi
perbankan. Sehingga, hal ini akan berpengaruh positif pula bagi
keberlanjutan perbankan secara finansial.
68 d. Kurs
Berdasarkan hasil estimasi, selama periode penelitian yang digunakan
menjelaskan
bahwa
kurs
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
sustainabilitas keuangan perbankan di Indonesia dan hasil estimasi ini
memperlihatkan
bahwa
terdapat
faktor-faktor
lain
yang
lebih
mempengaruhi sustainabilitas keuangan. Kurs merupakan perbandingan
nilai antara dua mata uang dimana dalam penelitian ini Rupiah per US$.
Sebagai suatu gambaran, arah hubungan antara pertumbuhan kurs dan
sustainabilitas keuangan menunjukan arah yang positif. Hal ini
menunjukan bahwa ada indikasi yang menjelaskan jika terjadi peningkatan
kurs maka akan terjadi peningkatan pula pada sustainabilitas keuangan.
Hal ini dapat terjadi karena selain menghimpun dana dan
mengalokasikan dana, bank umum juga memiliki kegiatan-kegiatan lain,
salah satunya adalah menyediakan jasa perdagangan internasional. Dalam
perdagangan internasional terdapat perbedaan mata uang antara negara
yang menjual dan negara yang membeli barang atau jasa. Jika nilai tukar
rupiah menguat, maka harga barang-barang di luar negeri relatif lebih
murah dari harga barang-barang domestik. Oleh karena itu terjadi
peningkatan impor (terjadi peningkatan pembelian atas barang luar
negeri).
69 4.4. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil estimasi, menunjukkan bahwa variabel-variabel yang
mempengaruhi sustainabilitas keuangan perbankan pada periode yang diamati
adalah rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), jumlah uang
beredar, dan suku bunga yang berpengaruh negatif dan Loan to Deposit Ratio
(LDR), Return on Asset (ROA), dan inflasi yang berpengaruh positif. Oleh karena
itu hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan sustainabilitas keuangan Bank
Umum di Indonesia adalah sebagai berikut:
4.4.1. Manajemen Mikroekonomi Perbankan
1. Bank harus meningkatkan efisiensi dari kegiatan yang bersifat operasional
sehingga dapat menghasilkan pendapatan operasional yang nilainya lebih
besar dari biaya yang harus dikeluarkan bank untuk membiaya kegiatan
operasional tersebut. Bagi badan yang mengawasi perbankan nasional dapat
menjadikan efisiensi operasional sebagai penilaian atas kinerja bank.
2. Bank harus mengoptimalkan penggunaan dana pihak ketiga yang masuk ke
bank sebagai deposito agar tercipta perputaran uang yang maksimal, sehingga
peran perbankan sebagai intermediasi keuangan berfungsi dengan baik.
3. Bank harus mengatur dengan baik mengenai penggunaan aset yang
dimilikinya salah satunya dengan cara mendiversifikasi penggunaan aset
untuk mengurangi risiko dan membatasi jumlah pemberian pinjaman pada
kategori tertentu atau kepada setiap peminjam tertentu. Bagi badan yang
70 mengawasi perbankan agar dapat membatasi bank dari kepemilikan aset yang
berisiko.
4.4.2. Manajemen Makroekonomi
1. Pemerintah sebaiknya dapat mengatur jumlah uang yang beredar agar
menciptakan kondisi suku bunga yang stabil yang dapat memberikan
lingkungan yang baik bagi kesehatan perbankan.
2. Pemerintah seharusnya mampu mengatur tingkat bunga sehingga suku bunga
mencapai tingkat yang tidak memberatkan perbankan dalam membayar
jumlah bunga deposito yang dimiliki nasabah di bank.
3. Pemerintah seharusnya mampu mengendalikan inflasi sampai pada tingkat
tertentu yang dapat meningkatkan pendapatan perbankan melalui pendapatan
atas bunga pinjaman yang bersifat konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat.
Download