peranan peroksidasi lipid pada patogenesis preeklamsia

advertisement
PERANAN PEROKSIDASI LIPID PADA
PATOGENESIS PREEKLAMSIA
dr. A. A. N. Jaya Kusuma, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklamsia merupakan suatu kelainan multisistem spesifik pada kehamilan
yang mempengaruhi ibu (melalui disfungsi pembuluh darah) maupun janin (melalui
hambatan pada pertumbuhan janin). Kelainan ini ditandai dengan adanya vasospasme
dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer yang menyebabkan terjadinya
penurunan perfusi organ1,2,3.
Angka insiden preeklamsia di seluruh dunia berkisar antara 3% hingga 14%
dari seluruh kehamilan dan di Amerika serikat insidennya sekitar 5-8%. Belum ada
bukti yang menyatakan adanya perubahan terhadap jumlah tersebut setidaknya dalam
sepuluh tahun terakhir1. Preeklamsia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas maternal di daerah berkembang, serta menyebabkan peningkatan hingga 5
kali mortalitas perinatal1,3. Di dunia, 50.000 – 70.000 wanita meninggal tiap tahunnya
akibat preeklamsia dan eklamsia4. Di Indonesia, kelainan ini masih merupakan tiga
besar penyumbang tertinggi angka kematian ibu bersalin setelah perdarahan dan
infeksi, dengan angka kejadian bervariasi antara 2-8,5%. Di RSUP Sanglah Denpasar,
dilaporkan angka kejadian preeklamsia sebesar 1,8% pada tahun 1997, sedangkan
Oka dan Surya, 2002-2003, melaporkan kejadian preeklamsia yang lebih tinggi yaitu
sebesar 5,83% dari 7.552 persalinan dengan 6 (26%) kematian maternal yang
disebabkan oleh preeklamsia dan eklamsia dalam kurun waktu tersebut. Dari data
tersebut dapat disimpulkan terjadi peningkatan angka kejadian preeklamsia pada 3-4
tahun tersebut5.
Preeklamsia dinyatakan sebagai kelainan dengan beragam teori (disease of
theory) yang merefleksikan ketidakpastian sebab dan patofisiologi preeklamsia. Ada
beberapa teori yang dikemukakan namun belum ada yang secara pasti
mengungkapkan patofisiologi
preeklamsia4. Dari banyak teori
yang telah
dikemukakan, tidak ada satu pun teori yang dianggap mutlak benar. Teori-teori
tersebut diantaranya adalah (1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi
endotel, (2) teori intoleransi imunologi antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada
vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5) teori defisiensi gizi, (6)
teori inflamasi, dan (7) teori genetik5.
Hipotesis yang telah diterima secara luas oleh para ahli tentang munculnya
sindroma klinis preeklamsia adalah teori iskemia plasenta yang disebabkan oleh
kegagalan invasi trofoblas kedalam arteri spiralis, sehingga menyebabkan asupan
darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemia tersebut akhirnya menyebabkan
pelepasan senyawa yang dihasilkan oleh jaringan uteroplasenta yang hipoksik, dan
senyawa tersebut selanjutnya beredar dalam sirkulasi ibu dan menyebabkan
kerusakan endotel pembuluh darah sistemik5. Salah satu senyawa yang dihasilkan
adalah hasil metabolisme lipid yang terganggu yaitu peroksida lipid. Peroksida lipid
ini diproduksi akibat serangan radikal bebas terhadap kandungan lipid terutama asam
lemak tak jenuh dan kolesterol yang banyak terdapat pada membran sel dan
lipoprotein6.
Oleh karena patogenesis penyakit yang belum dapat dijelaskan dengan baik,
dan melahirkan plasenta sebagai satu-satunya terapi definitif, maka diperlukan suatu
upaya identifikasi awal terhadap pasien yang berisiko mengalami preeklamsia dalam
penanganan kasus obstetri dengan preeklamsia1. Tersedianya marker biokimia dan
fisiologis yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi yang tidak hanya
mendeteksi pasien dengan risiko tinggi tetapi juga dapat membantu menegakkan
diagnosis pasti sangat diperlukan. Banyak biomarker yang telah diteliti dan terbukti
berperan dalam penegakkan diagnosis dini preeklamsia, salah satunya adalah produk
peroksidasi lipid7.
Dengan pendekatan “preventive medicine” yaitu pengenalan faktor risiko
(pencegahan primer), tanda-tanda dini preeklamsia (pencegahan sekunder), tandatanda munculnya komplikasi preeklamsia (pencegahan tersier), dan ditunjang dengan
adanya biomarker yang mampu memprediksi timbulnya preeklamsia, maka
diharapkan kejadian preeklamsia dan kematian akibat preeklamsia dapat diturunkan5.
BAB II
PREEKLAMSIA
2.1. Definisi
Preeklamsia adalah suatu sindrom spesifik pada kehamilan dengan gejala klinis
berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel1,2,3.
Preeklamsia hingga saat ini masih merupakan komplikasi serius dalam kehamilan dan
patofisiologinya masih belum diketahui dengan pasti2. Kelainan yang bersifat
progresif cepat ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, edema ekstrimitas
bawah dan timbulnya protein dalam urin. Preeklamsia memberikan dampak bagi ibu
maupun janin yang dikandungnya. Bagi janin, preeklamsia menyebabkan terjadinya
hambatan pertumbuhan, dan bagi ibu preeklamsia dapat menimbulkan kegagalan
ginjal,
sindroma
HELLP
(haemolysis,
elevated
liver
enzymes,
and
1,3
thrombocytopenia), kejang, stroke atau bahkan kematian .
2.2
Insidensi
Preeklamsia merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering dalam
kehamilan, dan mengenai sekitar 5-15% dari seluruh kehamilan. Diseluruh dunia
dilaporkan adanya 50.000 sampai 70.000 kematian tiap tahunnya akibat preeklamsia.
Kelainan ini merupakan penyebab dari sekitar 16% kematian ibu di negara maju. Di
Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian preeklamsia sekitar 5% hingga 8% dari
seluruh kehamilan4.
Angka kejadian preeklamsia di Indonesia bervariasi antara 2,1-8,5%. Di RSUP
Sanglah Denpasar, Ardhana, 1997, melaporkan angka kejadian preeklamsia sebesar
1,8%, sedangkan Oka dan Surya, 2002-2003, melaporkan kejadian preeklamsia
sebesar 5,83% dari 7.552 persalinan dalam kurun waktu tersebut. Dengan demikian,
dari data tersebut dapat disimpulkan terdapat kecenderungan peningkatan angka
kejadian preeklamsia5.
2.3
Faktor risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklamsia, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut2,4,8 :
 Primigravida, primipaternitas
 Hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel, diabetes mellitus,
hidrops fetalis, bayi besar.
 Umur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
 Riwayat keluarga pernah preeclamsia atau eklamsia.
 Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan.
 Obesitas
Gambaran klinik preeklamsia bervariasi luas dan bersifat individual. Sulit untuk
menentukan gejala mana yang muncul terlebih dahulu, tetapi secara teoritis biasanya
didahului oleh edema, hipertensi kemudian proteinuria8. Dalam hubungannya dengan
stres oksidatif, banyak penulis menyatakan bahwa penyakit atau keadaan apapun
yang melibatkan peranan stres oksidatif atau pembentukan peroksida lipid dapat
meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia1.
2.4
Diagnosis
Kriteria penegakkan diagnosis dan klasifikasi preeklamsia yang digunakan saat
ini adalah menurut National High Blood Pressure Education Program Working
Group on High Blood Pressure in Pregnancy (2000)8,9, yaitu :
 Preeklamsia :
Kriteria minimal
-
Tekanan darah  140/90 mm Hg setelah umur kehamilan 20 minggu
-
Proteinuri  300 mg/24 jam atau  +1 dipstick
 Preeklamsia berat
-
Tekanan darah  160/110 mm Hg
-
Proteinuri  2,0 gram/24 jam atau  + 2 dipstick
-
Kreatinin serum  1,2 mg/dl, kecuali sebelumnya diketahui telah terjadi
peningkatan
-
Trombosit  100.000 / mm3
-
Hemolisis mikroangiopati (LDH meningkat)
-
Peningkatan SGOT atau SGPT
-
Nyeri kepala yang menetap atau gangguan pengelihatan
-
Nyeri epigastrium yang menetap
2.5. Etiopatogenesis
Berbagai penelitian tentang preeklamsia telah dilakukan untuk mencari faktor
risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsia, tetapi konsensus
yang telah ada untuk preeklamsia masih kurang. Sejumlah teori mengenai mekanisme
patofisiologi preeklamsia telah banyak didiskusikan, tetapi teori-teori tersebut masih
belum dapat dibuktikan secara pasti1. Karena itulah preeklamsia masih digambarkan
sebagai sebuah “disease of theories”. Dari banyak teori yang telah dikemukakan,
tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut
diantaranya adalah :
(1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel,
(2) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin,
(3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta,
(4) teori adaptasi kardiovaskular,
(5) teori defisiensi gizi,
(6) teori inflamasi, dan
(7) teori genetik4.
2.5.1. Plasenta pada kehamilan normal dan preeklamsia
Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri
spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut. Degenerasi lapisan otot
menyebabkan lapisan menjadi lunak, sehingga lumen arteri spiralis dengan mudah
mengalami distensi dan vasodilatasi, yang akan memberi dampak penurunan tekanan
darah, penurunan resistensi, dan peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dikenal dengan
istilah remodelling arteri spiralis5.
Gambar 1. Plasentasi pada kehamilan normal
Sumber: Finger, 2008.
Pada preeklamsia invasi sel–sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis tidak
terjadi secara sempurna. Lapisan otot menjadi kaku dan keras, sehingga lumen arteri
spiralis tidak mungkin mengalami distensi dan vasodilatasi, akibatnya arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan
terjadilah iskemia serta
hipoksia plasenta yang tentunya akan berpengaruh juga
terhadap keadaan janin intra uterin5.
Gambar 2. Plasentasi abnormal pada preeklamsia
Sumber: Finger, 2008
2.5.2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Salah satu teori etiologi preeklamsia yang saat ini cukup banyak dianut adalah
teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini mengatakan
adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan
antioksidan akibat iskemia plasenta, sehingga terjadi stres oksidatif. Proses
peroksidasi lipid dianggap memiliki peranan penting didalamnya1. Idealnya selama
kehamilan normal, peningkatan produksi radikal bebas keseimbangannya selalu
dijaga melalui produksi antioksidan yang cukup, namun pada preeklamsia terjadi
peningkatan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar antioksidan
sehingga menyebabkan suatu keadaan stres oksidatif.
Preeklamsia sering disebut sebagai penyakit dengan dua tahapan. Tahap
pertama adalah kegagalan parsial invasi trofoblas dan remodeling arteri spiralis
dengan akibat restriksi aliran vaskular dan kurangnya pasokan aliran darah pada
plasenta yang menyebabkan terjadinya hipoksia. Sebagai hasil akhir timbulah lesi
iskemik yang menginduksi timbulnya stres oksidatif. Tahap kedua adalah sindroma
maternal, yang ditandai dengan respon inflamasi sistemik yang berlebihan,
melibatkan leukosit, disfungsi endotel, trombosis, dan aktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron. Rangsangan yang mengakibatkan timbulnya manifestasi
klinis diyakini akibat stres pada plasenta10.
Berkurangnya invasi trofoblas kedalam uterus dan arteri spiralis yang
merupakan karakteristik dari preeklamsia menyebabkan suplai darah ke plasenta
menjadi sangat berkurang. Gangguan plasentasi ini menyebabkan terjadinya hipoksia
plasenta dan dapat menyebabkan cedera iskemi reperfusi pada plasenta. Dengan
adanya iskemia plasenta ini, kemudian dihasilkan banyak radikal bebas. Jika radikal
bebas yang dihasilkan melebihi kapasitas antioksidan atau keadaan dimana jumlah
antioksidan menurun, maka timbulah suatu keadaan stres oksidatif. Pada keadaan ini,
terdapat radikal bebas yang berlebihan, terutama spesies oksigen reaktif, yang
selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tak jenuh (PUFA; Poly Unsaturated
Fatty Acid) pada membran sel dan lipoprotein pada plasma yang kemudian
membentuk peroksida lipid, yang dikenal dengan proses
peroksidasi lipid1,10.
Peroksida lipid ini merupakan komponen yang sangat reaktif sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pada membran sel endotel, bahkan juga dapat merusak
komponen sel lainnya. Kerusakan atau gangguan pada struktur endotel karena produk
peroksidasi lipid ini berperan penting menyebabkan gangguan fungsi endotel1,11
2.5.3. Endotel dan disfungsi endotel
Endotel merupakan organ terluas dalam tubuh manusia, yang terdapat
sepanjang dinding sebelah dalam pembuluh darah. Endotel ini berperan penting untuk
mengontrol aliran darah dan tahanan perifer, melalui mediator-mediator kimiawi
yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kemikal, dan fisikal, yaitu;
oksida nitrat (NO), prostasiklin (PGI2) dan endothelial derived relaxing factors
(EDRF), yang kesemuanya bersifat vasodilator. Selain itu endotel juga berperan
dalam proses trombosis dan hemostasis. Dengan demikian peranan endotel bukan
saja sebagai barier mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler,
tetapi mempunyai fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran
darah, serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus
mampu merespon situasi stres oksidatif yang buruk, atau situasi patologis yang buruk
seperti iskemia dan hipoksia5.
Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia dimulai dengan terpaparnya
membran sel endotel oleh mediator-mediator yang terlepas akibat iskemia dan
hipoksia plasenta, diantaranya produk peroksidasi lipid, sehingga mengakibatkan
kerusakan pada membran sel tersebut. Terganggunya membran sel tadi dapat
menganggu fungsi endotel, bahkan mengakibatkan rusaknya seluruh struktur sel
endotel. Akibat terjadinya kerusakan sel endotel, maka fungsi endotel sebagai barier
mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
ekstravasasi cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel untuk
memproduksi oksida nitrat dan prostasiklin juga menurun, sehingga terjadi
vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Selain hal tersebut kerusakan endotel
juga akan mengakibatkan banyak gangguan lain, diantaranya agregasi trombosit pada
daerah endotel yang rusak yang juga akan menghasilkan tromboksan A2 (TXA),
perubahan khas pada kapilar glomerulus berupa glomerular endotheliosis,
peningkatan permeabilitas kapiler, serta peningkatan faktor koagulasi. Keseluruhan
dari gangguan disfungsi endotel ini secara bersama-sama dianggap bertanggung
jawab menyebabkan timbulnya gejala klinis preeklampsia1,5.
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel diatas telah
didukung oleh banyak penelitian yang menganggap preeklamsia sebagai salah satu
penyakit akibat terjadinya ketidakseimbangan antara antioksidan dan oksidan. Buktibukti telah bertambah terus selama lebih dari 20 tahun terakhir. Banyak peneliti yang
menemukan bahwa preeklamsia merupakan keadaan dengan disfungsi endotel
menyeluruh, termasuk perubahan respon vaskular yang kehilangan resistensinya
terhadap agen-agen vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II,
berkurangnya produksi prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi fibronektin
selular. Semua gambaran preeklamsia diatas dimiliki juga oleh sejumlah kelainan
medis (atherosklerosis, diabetes, sepsis, dan cedera iskemik-reperfusi) yang bersamasama diperkirakan penyebab utamanya adalah adanya stres oksidatif1,12.
2.5.4. Radikal bebas dan stres oksidatif
Radikal bebas merupakan produk yang senantiasa selalu diproduksi dalam
tubuh manusia. Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil, pada saat kehamilan
terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada preeklamsia dikatakan
produksinya lebih banyak lagi. Ketika produksi radikal bebas meningkat dan
melebihi kemampuan sistim pertahanan antioksidan dalam tubuh, maka terjadilah
suatu keadaan yang disebut stres oksidatif1.
Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan di orbit paling luarnya. Radikal bebas ini dapat bermuatan
positif, negatif, atau netral. Unsur radikal dapat merupakan bagian dari struktur yang
lebih besar dan imobile, namun dapat juga merupakan unsur berukuran kecil yang
dapat berdifusi dikenal sebagai radikal bebas. Radikal bebas mempunyai dua sifat
penting, yang pertama yaitu bersifat sangat reaktif dan cenderung untuk bereaksi
dengan molekul lain untuk mencari pasangan elektronnya sehingga menjadi bentuk
yang lebih stabil, dan yang kedua yaitu dapat mengubah molekul lain menjadi
molekul radikal yang bersifat reaktif. Radikal bebas mirip dengan oksidan yang
sifatnya sebagai penerima elektron (menarik elektron). Radikal bebas lebih berbahaya
daripada oksidan karena reaktivitas yang tinggi dan kecendrungannya membentuk
radikal bebas yang baru. Pada gilirannya apabila radikal bebas bertemu dengan
molekul lain akan membentuk radikal bebas yang baru lagi, dan demikian seterusnya
sehingga terjadi reaksi rantai. Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada
keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses
metabolisme selular1.
Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas13 :
1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara normal
dalam reaksi ini 1 – 5 % oksigen keluar dari jalur reaksi ini dan mengalami reduksi
univalen. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan menbentuk radikal
superoksid.
2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid oksidase
dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti superoksida.
3. Metabolisme asam arakhidonat olen enzim siklooksigenase untuk membentuk
prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien
menyebabkan pembentukan zat – zat antara berbentuk peroksi maupun radikal
hidroksi.
4. Sistem oksidase NADPH dependen di permukaan membran neutrofil adalah
sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih
bersifat dominan, namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau
sitokin, enzim ini akan mengkatalis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi
hidrogen peroksida dan O2-.
5. Sel yang mengandung peroksisom, organela yang mengoksidasi asam lemak, akan
memproduksi H2O2.
Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologi normal, namun pelepasannya
meningkat pada keadaan iskemia, keadaan hiperfusi, dan saat terjadinya reaksi imun.
Selain sumber endogen, sumber eksogen pembentukan radikal bebas adalah radiasi
ionisasi, merokok, dan polusi udara. Radikal bebas dapat merusak semua komponen
biokimia sel, protein, dan asam nukleat adalah target utama yang paling penting.
Karena sangat reaktif, radikal bebas pada umumnya bereaksi dengan struktur pertama
yang dijumpai, yang paling sering adalah komponen lemak membran sel atau
organel13.
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan
antara oksidan dan antioksidan dimana oksidan melebihi kadar antioksidan, sehingga
menyebabkan kerusakan yang serius.
Gangguan keseimbangan tersebut dapat disebabkan oleh satu atau kedua kejadian
berikut14 :
1. Berkurangnya antioksidan.
2. Meningkatnya oksidan atau senyawa oksigen reaktif.
Berkurangnya antioksidan dapat disebabkan oleh tiga mekanisme utama14 :
1. Malnutrisi yang menyebabkan intake yang tidak adekuat nutrien antioksidan yang
esensial.
2. Beberapa obat yang dikonjugasi dengan glutathion pada waktu pembuatannya
dengan tujuan ekskresi dari tubuh menyebabkan penurunan kadar glutathion dalam
tubuh.
3. Mutasi gen menyebabkan efek yang buruk pada sistem antioksidan,
dan
menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan tersebut.
Meningkatnya oksidan dan senyawa oksigen reaktif sering menyebabkan stres
oksidatif dalam tubuh, meliputi14 :
1. Meningkatnya konsentrasi O2 dapat menyebabkan peningkatan pembentukan
senyawa oksigen reaktif seperti H2O2 dan OH.
2. Meningkatnya enzim sitokrom p450 mempunyai peran penting dalam detoksifikasi
toksin di dalam tubuh. Kadang produk sampingan enzim sitokrom p450 adalah
radikal bebas yang mana bisa menimbulkan kerusakan melebihi toksin aslinya dan
menyebabkan stres oksidatif.
3. Aktivitas fagositosis sel merupakan penyebab penting terjadinya stres oksidatif.
Aktivitas fagositosis menghasilkan banyak senyawa reaktif yang berbeda yang
memperberat stres oksidatif dalam jaringan. Proses ini terjadi pada berbagai
penyakit kronis arthritis rheumatik.
4. Paparan secara langsung toksin dari lingkungan sekitar kita juga berperan dalam
terjadinya stres oksidatif. Sebagai contoh merokok dalam paparan paru - paru
terhadap radikal bebas.
Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan kerusakan jaringan
dapat menyebabkan stres oksidatif. Sangat diyakini bahwa stres oksidatif
menyebabkan berbagai kelainan dalam tubuh11,14. Permulaan dari penyakit yang
multifaktorial telah diketahui sebagai akibat kelemahan fenomena keseimbangan
hemostasis dalam tubuh. Kebanyakan penyakit seperti atherosklerosis, hipertensi,
penyakit iskemik, penyakit Alzheimer`s, Parkinson, kanker, dan reaksi inflamasi
dianggap suatu keadaan yang pertamanya karena ketidakseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Kerusakan jaringan dikatakan sebagai sumber penting dari keadaan
stres oksidatif melalui berbagai mekanisme seperti aktivasi fagositosis, pelepasan ion
metal, dan peningkatan kebocoran elektron dari ikatan transfort elektron. Luasnya
peranan stres oksidatif dalam patogenesis suatu penyakit berbeda antara penyakit satu
dengan yang lainnya. Karena perannya tersebut, stres oksidatif merupakan target
potensial dalam menangani suatu penyakit14.
Stres oksidatif dianggap memainkan peran disfungsi endotel salah satunya
dengan mengganggu keseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin melalui
peningkatan peroksidasi lipid dan penurunan proteksi antioksidan. Peroksidasi lipid
akan mengaktifkan enzim cyclooxygenase untuk meningkatkan sintesis tromboksan,
dan disaat yang bersamaan juga menghambat prostasiklin synthase sehingga terjadi
penurunan produksi prostasiklin.
Stres oksidatif juga diyakini menyebabkan
terjadinya apoptosis sinsitiotrofoblas, yang akan meningkatkan lepasnya fragmenfragmen mikrovillus ke dalam sirkulasi maternal1.
Perubahan kandungan lemak dapat memicu stres oksidatif pada preeklamsia.
Secara khusus, sindroma resistensi insulin (disebut juga sindroma X; suatu kelompok
abnormalitas yang meliputi dislipidemia, obesitas dan resistensi insulin) memiliki
peranan penting pada patogenesis preeklamsia seperti juga pada penyakit jantung dan
pembuluh darah pada wanita yang tidak hamil. Penelitian menunjukkan bahwa
preeklamsia berhubungan dengan peningkatan trigliserid dan asam lemak bebas
(peningkatan rata-rata hingga 65%). Bahan ini dapat mengalami oksidasi secara
langsung maupun terinduksi, dengan hasil akhir peningkatan peroksidasi lipid dan
stres oksidatif15.
Gambar 3. Gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan
Sumber : Lyell, 2007.
BAB III
PEROKSIDASI LIPID
Peroksidasi lipid dapat diartikan sebagai degradasi oksidatif lipid. Merupakan
suatu proses dimana radikal bebas “mencuri” elektron-elektron lipid pada membran
sel dan menyebabkan kerusakan sel16. Proses ini terjadi melalui mekanisme reaksi
rantai radikal bebas terhadap lipid, yang dapat berupa: asam lemak tak jenuh (PUFA;
Poly Unsaturated Fatty Acid), fosfolipid, glikolipid, kolesterol ester dan kolesterol.
Diantara semua bahan tersebut, asam lemak tak jenuh merupakan bahan yang paling
sering terlibat dalam mekanisme oksidasi, oleh karena mengandung banyak ikatan
ganda diantara molekulnya dimana terletak grup metilin-CH2 yang secara khusus
bereaksi terhadap hidrogen1,3,11,16.
3.1. Lipid
Lipid (fat) merujuk pada sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri
atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen, yang merupakan golongan senyawa
hidrokarbon alifatik nonpolar dan hidrofobik. Karena nonpolar, lipid tidak larut
dalam pelarut polar seperti air, tetapi larut dalam pelarut nonpolar, seperti alkohol,
eter atau kloroform. Lipid adalah senyawa organik yang diperoleh dari proses
dehidrogenasi endotermal rangkaian hidrokarbon. Lipid bersifat amfifilik, artinya
lipid mampu membentuk struktur seperti vesikel, liposom, atau membran lain dalam
lingkungan basah. Lipid biologis seluruhnya atau sebagiannya berasal dari dua jenis
subsatuan atau "blok bangunan" biokimia: gugus ketoasil dan gugus isoprena.
Dengan menggunakan pendekatan ini, lipid dapat dibagi ke dalam beberapa kategori
yaitu asil lipid, gliserolipid, gliserofosfolipid, sfingolipid, sakarolipid, dan poliketida
(diturunkan dari kondensasi subsatuan ketoasil); serta lipid sterol dan lipid prenol
(diturunkan dari kondensasi subsatuan isoprena). Lipid meliputi molekul-molekul
seperti asam lemak dan turunannya (termasuk tri-, di-, monogliserida dan fosfolipid,
juga metabolit yang mengandung sterol, seperti kolesterol17.
Lipid secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang,
lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang
disebut adiposa. Pada jaringan adiposa, sel lipid mengeluarkan hormon leptin dan
resistin yang berperan dalam sistem kekebalan, serta hormon sitokina yang berperan
dalam komunikasi antar sel. Hormon sitokina yang dihasilkan oleh jaringan adiposa
secara khusus disebut hormon adipokina, antara lain kemerin, interleukin-6,
plasminogen activator inhibitor-1, retinol binding protein 4 (RBP4), tumor necrosis
factor-alpha (TNFα), visfatin, dan hormon metabolik seperti adiponektin dan hormon
adipokinetik (Akh)17. Secara umum dapat dikatakan bahwa lipid memenuhi fungsi
dasar bagi manusia17, yaitu:
1. Menjadi cadangan energi dalam bentuk sel lipid. 1 gram lipid menghasilkan 39.06
kjoule atau 9,3 kcal.
2. Lipid mempunyai fungsi selular dan komponen struktural pada membran sel yang
berkaitan dengan karbohidrat dan protein demi menjalankan aliran air, ion dan
molekul lain, keluar dan masuk ke dalam sel.
3. Menopang fungsi senyawa organik sebagai penghantar sinyal, seperti pada
prostaglandin dan steroid hormon dan kelenjar empedu.
4. Menjadi suspensi bagi vitamin A, D, E dan K yang berguna untuk proses biologis
5. Berfungsi sebagai penahan goncangan demi melindungi organ vital dan
melindungi tubuh dari suhu luar yang kurang bersahabat.
Fungsi biologis terpenting lipid di antaranya untuk menyimpan energi, sebagai
komponen struktural membran sel, dan sebagai pensinyalan molekul. Sel eukariotik
disekat-sekat menjadi organel ikatan-membran yang melaksanakan fungsi biologis
yang berbeda-beda. Gliserofosfolipid adalah komponen struktural utama dari
membran biologis, misalnya membran plasma selular dan membran organel
intraselular; di dalam sel-sel hewani membran plasma secara fisik memisahkan
komponen intraselular dari lingkungan ekstraselular. Gliserofosfolipid adalah
molekul
amfipatik
(mengandung wilayah
hidrofobik
dan
hidrofilik)
yang
mengandung inti gliserol yang terkait dengan dua "ekor" turunan asam lemak oleh
ikatan-ikatan ester dan ke satu gugus "kepala" oleh suatu ikatan ester fosfat.
Sementara gliserofosfolipid adalah komponen utama membran biologis, komponen
lipid non-gliserida lainnya seperti sfingomielin dan sterol (terutama kolesterol di
dalam membran sel hewani) juga ditemukan di dalam membran biologis1,17.
3.2. Mekanisme peroksidasi lipid
Peroksidasi lipid terjadi melalui reaksi enzimatik maupun non enzimatik
melibatkan spesies kimia aktif yang dikenal sebagai spesies oksigen reaktif, yang
bertanggung jawab terhadap efek toksik pada tubuh melalui berbagai kerusakan
jaringan. Terdapat banyak molekul lipid yang mengandung ikatan ganda yang dapat
mengalami peroksidasi dibawah kondisi khusus. Mekanisme yang memicu
peroksidasi lipid sangat kompleks. Terdapat tiga mekanisme berbeda yang dapat
memicu peroksidasi itu, yaitu16,18,19 :
1. Autooksidasi atau oksidasi non enzimatik termediasi radikal bebas
Terjadi melalui mekanisme berantai, dimana satu radikal bebas yang memulai
dapat mengoksidasi banyak molekul lipid. Proses ini melibatkan tiga tahapan
yaitu; inisiasi, propagasi, dan terminasi.
a. Tahap inisiasi
Pada tahap ini dimulainya produksi asam lemak radikal. Dimana terjadi
serangan radikal bebas umumnya spesies oksigen reaktif (OH) terhadap partikel
lipid dan menghasilkan air (H2O) dan asam lemak radikal.
b. Tahap propagasi
Asam lemak radikal yang dihasilkan dari proses inisiasi bersifat sangat tidak
stabil dan mudah bereaksi dengan molekul oksigen dan akan menghasilkan
suatu peroksiradikal asam lemak. Bahan ini juga ternyata bersifat tidak stabil
dan kemudian bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya untuk menghasilkan
asam lemak radikal yang baru dan dapat menghasilkan peroksida lipid atau
peroksida siklik bila bereaksi dengan dirinya sendiri. Siklus ini berlanjut
sedemikian rupa hingga memasuki tahap terminasi.
c. Tahap terminasi
Ketika suatu radikal bereaksi dengan non radikal maka akan menghasilkan
suatu radikal baru. Proses ini dinamakan dengan mekanisme reaksi rantai.
Reaksi radikal akan berhenti bila terdapat dua radikal yang saling bereaksi dan
menghasilkan suatu spesies non radikal. Hal ini hanya dapat terjadi ketika
konsentrasi
spesies
radikal
sudah
sedemikian
memungkinkan dua spesies radikal untuk saling bereaksi.
tingginya
sehingga
Gambar 4. Tahapan autooksidasi lipid
Sumber: Wikipedia, 2010
2. Foto oksidasi atau oksidasi non enzimatik tidak termediasi radikal bebas
Merupakan proses oksidasi lipid oleh karena adanya oksigen tunggal dan ozon
yang memfasilitasi pancaran energi seperti ultraviolet, dan menghasilkan
perubahan yang umumnya berupa pemisahan atau pengurangan berat molekul .
Proses foto oksidasi ini berlangsung hampir sama dengan oksidasi termediasi
radikal bebas yang meliputi tiga tahapan; inisiasi, propagasi dan terminasi, hanya
saja pada proses inisiasi didahului oleh adanya oksigen tunggal dan bukan oleh
radikal bebas.
P•
PH
= Polymer
PO•
= Polymer oxy radical
POOH = Polymer hydroperoxide
POO•
= Polymer alkyl radical
= Polymer peroxy radical
HO•
= hydroxy radical
Gambar 5. Tahapan foto oksidasi lipid
Sumber: wikipedia, 2010
3. Oksidasi enzimatik
Proses oksidasi lipid yang melibatkan enzym sebagai katalis dan menghasilkan
produk stereo- dan regio-spesifik. Ada tiga enzim utama yang berperan yaitu
lipooksigenase (LOX), siklooksigenase (SOX) dan sitokrom P450. Lipooksigenase
mengkatalis oksidasi asam arakhidonat dan menghasilkan produk hidroperoksida.
Siklooksigenasi mengkatalis asam lemak tak jenuh menjadi endoperoksida dan
prostaglandin, dan sitokrom p450 mengkatalis oksidasi asam lemak epoksi
menjadi produk epoksid, leukotrin, tromboksan, dan prostasiklin.
3.3. Produk peroksidasi lipid
Semua molekul lipid dengan ikatan ganda dapat mengalami reaksi oksidasi.
Mekanisme oksidasi yang terjadi melalui tiga mekanisme utama terhadap masingmasing jenis molekul lipid akan menghasilkan produk yang berbeda. Produk primer
utama yang dihasilkan oleh proses oksidasi lipid adalah lipid hidroperoksida20.
Dari sekian banyak produk yang dihasilkan pada proses peroksidasi lipid,
terdapat tiga produk yang secara biologis berperan penting. Produk tersebut berupa
turunan langsung maupun dihasilkan dari proses pembusukan peroksidasi lipid,
yaitu18,19 :
1. Isoprostan (IsoP)
Isoprostan merupakan suatu bahan yang menyerupai prostaglandin yang terbentuk
sebagai hasil peroksidasi asam arakhidonat oleh radikal bebas melalui mekanisme
autooksidasi. Bahan yang termasuk golongan eikosanoid ini memiliki potensi
biologis sebagai mediator inflamasi. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa IsoP
memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi pembuluh darah, karena ditemukan
bahwa IsoP merupakan vasokonstriktor yang kuat dan merupakan antagonis
terhadap peranan oksida nitrat, baik in vivo maupun in vitro, yang memberikan
stimulan kuat terhadap sel otot polos pembuluh darah. IsoP juga memiliki efek lain
terhadap fungsi sel endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan
ekspresi dan pelepasan endothelin-1. IsoP juga diyakini berperan dalam aktivasi
trombosit18,19,21.
Gambar 6. Produk peroksidasi lipid
Sumber: Dotan, 2004
2. Oksisterol (Oxysterols)
Oksisterol merupakan derivat oksidatif kolesterol, yang berperan penting dalam
berbagai proses biologis diantaranya: homeostasis kolesterol, metabolisme
sfingolipid, agregasi platelet, dan apoptosis. Peningkatan oksisterol dalam tubuh
dapat menyebabkan penyakit jantung dan pembuluh darah, utamanya 7-beta
hidroksi kolesterol, 7-ketokolesterol, 5-beta 6-beta epoksikoleterol
dihubungkan dengan atherosklerosis pembuluh darah
18,19,22
yang
.
3. Aldehid (Aldehydes)
Aldehid yang tediri dari malondialdehid (MDA) dan 4-hidroksi-2-noneal (HNE)
merupakan produk sekunder (turunan) yang terbentuk selama proses peroksidasi
sebagai produk pembusukan. Aldehid bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi
cepat dengan protein, DNA, serta fosfolipid. Terdapat dua produk aldehid yang
penting yaitu :
a. Malondialdehid (Malondialdehyde – MDA)
Merupakan produk pembusukan peroksidasi lipid yang berupa aldehid reaktif,
dan merupakan salah satu dari banyak spesies elektrofil reaktif yang
menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk protein kovalen
yang dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products (ALE). MDA
dapat bereaksi denga deoksiguanosin dan deoksiadenosin pada DNA dan
membentuk substansi M1G yang bersifat mutagenik18,19,20,23.
b. 4-Hidroksinonenal (4-hydroxynonenal – HNE)
Merupakan golongan hidroksi alkenal alpha-betha tidak jenuh, yang merupakan
produk pembusukan peroksidasi lemak dalam sel. Bahan ini dapat ditemukan
pada semua jaringan tubuh terutama saat terjadi stres oksidatif. HNE mendapat
banyak sorotan oleh karena dicurigai berperan menimbulkan berbagai macam
penyakit diantaranya penyakit inflamasi kronik, neurodegeneratif, sindroma
distres pernafasan, aterogenesis, diabetes, dan beberapa jenis kanker18,19,24.
Terdapat dua pengaruh yang saling bertolak belakang dari HNE terhadap sel.
Dalam konsentrasi rendah (0-0,1 mikromolar) HNE membantu proliferasi sel,
sedangkan dalam konsentrasi tinggi HNE (10-20 mikromolar) menginduksi
perubahan toksik meliputi induksi enzim kaspase, perobahan genom DNA,
serta pelepasan sitokrom c dari mitokondria yang menyebabkan kematian sel
(melalui proses apoptosis maupun nekrosis)11.
BAB IV
PEROKSIDASI LIPID PADA PREEKLAMSIA
Patofisiologi preeklamsia hingga saat ini masih belum jelas. Salah satu teori
yang diterima secara luas adalah teori iskemia plasenta, radikal bebas, stres oksidatif
dan disfungsi endotel yang menerangkan bahwa akibat kegagalan infasi trofoblas
terjadi iskemia plasenta yang menyebabkan keluarnya produk uteroplasenta hingga
akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan endotel dengan manifestasi klinis
preeklamsia. Diantara bahan yang dihasilkan akibat iskemia plasenta, yang dapat
menimbulkan kerusakan pada endotel maternal salah satunya adalah produk oksidasi
lipid yang selanjutnya lebih dikenal dengan produk peroksidasi lipid. Produk
peroksidasi lipid digunakan sebagai penanda terjadinya stres oksidatif, sehingga dapat
dikatakan bahwa peroksidasi lipid berperan dalam patogenesis preeklamsia melalui
terjadinya stres oksidatif, dan kerusakan endotel1.
Belum ada kepustakaan maupun penelitian yang menunjukkan secara pasti
kapan peroksidasi lipid meningkat dalam hubungannya dengan patogenesis penyakit
khususnya preeklamsia. Rudra dan kawan-kawan, dalam penelitianya mendapatkan
bahwa kadar peroksidasi lipid telah meningkat sejak trimester pertama, bertambah
tinggi pada trimester kedua dan ketiga, sebelum akhirnya timbul gejala preeklamsia
maupun eklamsia. Didapatkan pula bahwa tingkat keparahan klinis preeklamsia
sesuai dengan semakin tingginya kadar peroksidasi lipid dalam tubuh penderita30. Hal
ini berbeda dengan penelitian lain dimana didapatkan peningkatan peroksidasi lipid
hanya pada trimester ketiga tanpa peningkatan kadar pada trimester pertama dan
kedua. Penelitian Hubel dan kawan-kawan yang membandingkan kadar lipid serta
peroksidasi lipid pada wanita penderita preeklamsia dan hamil normal, ante dan
postpartum, mendapatkan konsentrasi serum antepartum malondialdehid 50% lebih
tinggi pada wanita dengan preeklamsia, yang diikuti kemudian dengan terjadinya
penurunan kadar malondialdehid hingga 45% dalam waktu 24 sampai 48 jam post
partum pada kelompok yang sama. Hal ini semakin memperkuat hipotesa bahwa stres
oksidatif yang ditunjukkan dengan adanya peroksidasi lipid berperan dalam
patogenesis preeklamsia1.
Pada wanita hamil terjadi peningkatan lipid dan lipoprotein secara fisiologis,
hal ini berfungsi untuk mensuplai nutrisi lipid untuk fetus yang sedang berkembang.
Pada penderita preeklamsia peningkatan lipid dan lipoprotein terjadi berlebihan, hal
ini menunjukkan adanya gangguan metabolisme lipid dan lipoprotein. Peningkatan
paling nyata adalah peningkatan kadar trigliserida dan asam lemak bebas. Gangguan
metabolisme lipid yang terjadi pada preeklamsia berupa peningkatan aktifitas lipolisis
oleh lipofosfolipase, sehingga terjadi peningkatan kadar trigliserida yang kaya akan
lipoprotein (TG-rich lipoprotein) yang pada akhirnya meningkatkan kadar LDL27.
Gambar 7. Gangguan metabolisme lemak dengan hasil akhir meningkatnya LDL
Sumber: Sattar, 1997.
Kajaa dan kawan-kawan
mendapatkan bahwa penderita preeklamsia
menunjukkan peningkatan kadar trigliserid hingga 65% dibandingkan dengan wanita
tanpa preeklamsia. Keadaan hipertrigliseridemia ini akan merubah spektrum subklas
lipoprotein menjadi subklas dengan densitas rendah (low density lipoprotein / LDL)
dengan dominasi partikel LDL berdiameter lebih kecil dan lebih padat sehingga lebih
mudah mengalami oksidasi. LDL yang berukuran kecil dan padat ini tiga kali lebih
berbahaya daripada LDL biasa oleh karena :
1. Mudah terperangkap dan masuk ke dalam lapisan intima karena ukurannya yang
lebih kecil
2. Mudah teroksidasi menjadi LDL teroksidasi karena kandungan antioksidannya
lebih sedikit, sedangkan kandungan asam lemak tak jenuh lebih tinggi. Oksidasi
LDL berkontribusi terhadap pembentukan sel busa pada desidua. Hal ini mirip
dengan mekanisme terjadinya aterosklerosis.
LDL yang teroksidasi akan merangsang akumulasi sel inflamasi seperti
makrofag dan platelet serta menginduksi adhesi. Selanjutnya LDL yang teroksidasi
terbawa oleh makrofag melalui reseptor scavenger, dan akan berakumulasi
membentuk sel busa (foam cell). Selain itu LDL yang teroksidasi juga menstimulasi
sel endotel dan makrofag melepaskan faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin dan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel. Proliferasi lapisan intima pembuluh darah
dan penumpukan matriks ekstraseluler akan berubah menjadi sebuah fatty streak,
merupakan lesi dini yang akan berlanjut menjadi arteroma dan berperan serta dalam
perkembangan lesi arterosklerotik. Plak ateroma ini akan mengakibatkan semakin
berkurangnya perfusi jaringan dan memperberat keadaan hipoksia pada preeklamsia.
Pada plak arteroma ini juga terjadi akumulasi dari asam lemak tak jenuh dan
kolesterol yang tinggi, dimana asam lemak tak jenuh dan kolesterol sangat mudah
mengalami oksidasi oleh radikal bebas yang jumlahnya juga meningkat akibat stres
oksidatif sehingga semua proses ini menunjukkan suatu mekanisme lingkaran setan
yang saling memperberat. Sebagai tambahan, LDL teroksidasi akan berikatan dengan
lectin like oxidized low density lipoprotein receptor-1 (LOX-1) yang akan
menginduksi produksi spesies oksigen reaktif intra sel dan apoptosis28.
Gambar 8. Peranan LDL dalam proses arterosklerosis
Sumber: Robbins, 2006
Pada wanita dengan preeklamsia, kemampuan sistem antioksidan untuk
menetralisir produk peroksidasi lipid berkurang sehingga timbulah keadaan patologis
stres oksidatif. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pada penderita preeklamsia,
kadar antioksidan protektif seperti vitamin E berkurang sedangkan jumlah produk
peroksidasi lipid dalam sirkulasi darah meningkat. Takacs dan kawan-kawan, dalam
penelitiannya mendapatkan peningkatan hingga 4,5 kali lipat kadar malondialdehid
pada sampel plasma penderita preeklamsia berat dibandingkan dengan wanita hamil
tanpa preeklamsia15. Llurba dan kawan-kawan, mendapatkan peningkatan total
hidroperoksida lipid hingga 1,4 nmol / mL (peningkatan 2 kali lipat) pada penderita
preeklamsia dibandingkan dengan wanita tanpa preeklamsia (< 0,6 nmol / mL)25. Hal
ini tidak hanya ditemukan pada manusia, pada studi eksperimental menggunakan
hewan coba, juga didapatkan banyak perubahan endotel yang berpotensi berhubungan
dengan kejadian preeklamsia yang terinduksi oleh adanya produk peroksidasi lipid
(tabel 1)1.
Tabel 1. Perubahan
(Sumber: Hubel, 1999)
akibat
peroksidasi
lipid pada studi eksperimental
Mekanisme pasti bagaimana peroksidasi lipid menyebabkan terjadinya
kerusakan endotel belum dapat dijelaskan dengan baik. Peroksidasi lipid yang bersifat
sangat reaktif menyebabkan kerusakan sel endotel melalui berbagai mekanisme baik
melalui
interaksi langsung dengan membran sel endotel maupun secara tidak
langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid11.
Efek peroksidasi lipid secara langsung pada membran endotel adalah
memudahkan terjadinya ikatan silang rantai lemak pada membran endotel yang akan
menyebabkan perubahan kandungan cairan (fluiditas) membran dan mobilisasi
enzim-enzim pada membran. Hal ini akan menyebabkan membran endotel menjadi
bocor dan molekul-molekul hingga seukuran enzim dapat keluar melewati membran
yang rusak tersebut. Sebagai tambahan terhadap rusaknya fungsi membran sebagai
barier tersebut, peroksidasi lemak juga mengakibatkan hilangnya homeostasis ion
yang menyebabkan terjadinya gangguan kompartemen dan kekacauan ion utamanya
ion Ca2+. Hilangnya homeostasis Ca2+ menyebabkan hilangnya kontrol metabolik sel
endotel11. Hilangnya ion kalsium dari dalam sel dapat mengganggu fungsi eNOS
(endhotelial Nitric Oxide Synthase) sehingga L-arginin tidak mampu dirubah menjadi
oksida nitrat, dan akhirnya terjadi penurunan kadar oksida nitrat25.
Peroksidasi lipid
juga menyebabkan terjadinya
peningkatan asymmetric
dimethyl arginin (ADMA). ADMA dapat secara langsung menghambat oksida nitrat
dan menginduksi disfungsi endotel oleh karena sifatnya sebagai inhibitor kompetitif
endogen bagi eNOS25.
Efek secara tidak langsung peroksidasi lipid adalah termediasi oleh produkproduknya. HNE pada konsentrasi tinggi menyebabkan hilangnya homeostasis ion
kalsium, hambatan terhadap respirasi mitokondria dan sintesa protein, serta mampu
menarik neutrofil dan menginduksi respon inflamasi pada sel endotel11. IsoP
merupakan vasokonstriktor yang kuat dan merupakan antagonis terhadap peranan
oksida nitrat, baik in vivo maupun in vitro, yang memberikan stimulan kuat terhadap
sel otot polos pembuluh darah. IsoP juga memiliki efek lain terhadap fungsi sel
endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan ekspresi dan pelepasan
endothelin-1. IsoP juga diyakini berperan dalam aktivasi trombosit18,19,21.
Satu mekanisme lain yang berpotensi terhadap terjadinya aktifasi endotel
pembuluh darah akibat peningkatan peroksidasi lipid pada preeklamsia adalah
melalui aktifasi faktor transkripsi inti sel (nuclear) kappa B (NF-B). NF-B adalah
faktor transkripsi yang dapat teraktifasi oleh peroksidasi lipid, stres oksidatif, dan
sitokin pro inflamasi. Begitu teraktifasi, NF-B akan berikatan dengan elemen
promotor DNA, dan selanjutnya akan menginduksi ekspresi beberapa sitokin pro
inflamasi, diantaranya: monocyte chemotactic protein-1 (MCP-1) dan interleukin-8
(IL-8) serta molekul adhesi sel seperti ICAM-1. Peningkatan monosit dalam sirkulasi
oleh sitokin proinflamasi endotel yang diikuti dengan peningkatan ekspresi ICAM-1
pada endotel akan menyebabkan perlekatan sel monosit atau endotel serta menarik
beberapa jenis makrofag pada endotel yang akan menyebabkan kerusakan endotel15.
Tabel 2. Berbagai endothelial derived factors dan fungsinya.
(Sumber: Lyell, 2007)
Sel endotel memiliki fungsi utama untuk menjaga integritas membran vaskuler,
mencegah adhesi platelet dan regulasi tonus otot polos pembuluh darah. Fungsi ini
dijalankan melalui pelepasan berbagai mediator atau endothelial derived factors
(Tabel 2). Stres oksidatif dan peroksidasi lipid menyebabkan kerusakan pada sel
endotel, sehingga pengeluaran endothelial derived factors (vasoaktif dan relaxing
factor) ini juga terganggu dan akhirnya menimbulkan manifestasi klinis preeklamsia.
Gambar 9. Bagan hubungan antara stres oksidatif, peroksidasi lipid, kerusakan
endotel dan timbulnya edema, proteinuri, serta ganguan koagulasi pada
preeklamsia.
Sumber : Lyell, 2007
Integritas membran vaskuler akan terganggu sehingga menimbulkan kebocoran
pembuluh darah dan terjadilah edema dan proteinuria, adhesi platelet akan terjadi
secara tidak terkontrol sehingga terjadi trombositopenia, dan otot polos pembuluh
darah akan mengalami vasokonstriksi sehingga menimbulkan hipertensi 11,15,16,19.
Gambar 10. Bagan hubungan antara stres oksidatif, peroksidasi lipid, kerusakan
endotel dan timbulnya hipertensi pada preeklamsia.
Sumber : Lyell, 2007
Terdapat beberapa cara untuk menilai kadar peroksidasi lipid dalam tubuh,
yaitu dengan mengukur kadar produk peroksidasi lipid. Idealnya pengukuran
dilakukan terhadap produk utama yaitu hidroperoksid. Hidroperoksid dapat diukur
dengan tingkat sensitifitas yang tinggi menggunakan metode HPLC (high
performance liquid chromatography)-chemiluminescence, akan tetapi hidroperoksid
bersifat tidak stabil sehingga hidroperoksid lipid tidak mewakili tingkat lipid
peroksidasi in vivo dan tidak dipergunakan secara rutin untuk mengukur kadar stres
oksidatif. Oleh sebab itu digunakanlah alternatif lain untuk mengukur kadar
peroksidasi lipid yang bersifat lebih stabil. Saat ini pengukuran yang digunakan dan
dianggap sebagai baku emas kadar peroksidasi lipid adalah pengukuran
malondialdehid (MDA) dan isoprostan (IsoP). Kadar MDA diukur dengan
menggunakan metode TBARS (thiobarbituric acid reactive substance), yang
menggunakan dasar reaksi MDA terhadap asam tiobarbiturat dan selanjutnya dinilai
menggunakan spektrofotometer. Sedangkan kadar IsoP diukur menggunakan metode
Gas Chromatographic/negative ion chemical ionization mass spectrometric
(GC/NICI-MS), dimana metode ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi,
dan dipertimbangkan sebagai “gold standard” untuk pengukuran F2-IsoPs49.
Hingga saat ini, MDA maupun IsoP telah ditemukan hampir di seluruh cairan
biologis tubuh, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,
cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari pelbagai organ, cairan
amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan
sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan dan paling
tidak invasif49.
BAB V
RINGKASAN
Preeklamsia merupakan suatu kelainan multisistem spesifik pada kehamilan
yang mempengaruhi baik ibu maupun janin. Angka kejadian preeklamsia sangat
tinggi, di Indonesia sendiri kelainan ini masih merupakan tiga besar penyumbang
tertinggi angka kematian ibu bersalin setelah pendarahan dan infeksi1.
Hingga saat ini preeklamsia masih dinyatakan sebagai kelainan dengan
beragam teori (disease of theory) yang merefleksikan ketidakpastian sebab dan
patofisiologi preeklamsia. Berbagai penelitian terhadap preeklampsia telah dilakukan
untuk mencari faktor risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk
preeklampsia4. Berdasarkan fakta bahwa preeklamsia membaik setelah dilahirkannya
plasenta serta melihat klinis penyakit yang ditimbulkan yang menunjukkan adanya
kerusakan endotel, maka satu teori yang dianggap dapat menerangkan patofisiologis
preeklamsia secara lebih baik adalah teori kegagalan implantasi trofoblas, iskemia
plasenta dan kerusakan endotel1.
Kegagalan infasi trofoblas menyebabkan terjadinya iskemia plasenta, yang
selanjutnya menyebabkan keluarnya produk uteroplasenta dan akhirnya terjadi
kerusakan endotel. Diantara bahan yang dihasilkan akibat hipoperfusi uteroplasenta
yang dapat menimbulkan kerusakan pada endotel maternal adalah produk oksidasi
lipid atau selanjutnya lebih dikenal sebagai produk peroksidasi lipid1,3.
Peroksidasi lipid dapat diartikan sebagai degradasi oksidatif lemak. Merupakan
suatu proses dimana radikal bebas “mencuri” elektron-elektron lemak pada membran
sel dan menyebabkan kerusakan sel16
Mekanisme pasti bagaimana peroksidasi lipid menyebabkan terjadinya
kerusakan endotel belum dapat dijelaskan dengan baik. Peroksidasi lipid yang bersifat
sangat reaktif menyebabkan kerusakan sel endotel melalui berbagai mekanisme baik
melalui
interaksi langsung dengan membran sel endotel maupun secara tidak
langsung melalui aktifasi mediator lain oleh produk peroksidasi lipid16.
Peroksidasi lipid berperan menimbulkan preeklamsia dengan berbagai
manifestasi klinisnya melalui aktivasi atau kerusakan sel endotel, sehingga
terganggunya pengeluaran endothelial derived factors, yang mengganggu fungsi
utama dari sel endotel25. Secara ringkas peranan peroksidasi lipid pada patogenesis
preeklamsia dapat dilihat pada gambar 11.
Terdapat beberapa cara untuk menilai kadar peroksidasi lipid dalam tubuh.
Hingga saat ini pengukuran yang digunakan dan dianggap sebagai baku emas kadar
peroksidasi lipid adalah pengukuran malondialdehid (MDA) dan isoprostan (IsoP).
MDA maupun IsoP telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis tubuh, namun
plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling
mudah didapatkan dan paling tidak invasif.
Gambar 11. Peranan Peroksidasi Lipid Pada Patogenesis Preeklamsia
DAFTAR PUSTAKA
1. Hubel CA. 1999. Oxidative stress in the pathogenesis of preeclampsia.
P.S.E.B.M; 222: 222-235.
2. Finger I, Jastrow N, Irion O. 2008. Preeclampsia: A danger growing in disguise.
The International Journal of Biochemistry & Cell Biology; 40: 1979–1983
3. Staff AC, Ranheim T, Khoury J, Henriksen T. 1999. Increased contents of
phospholipids, cholesterol, and lipid peroxides in decidua basalis in women with
preeclampsia. Am J Obstet Gynecol; 90 (3): 587-592
4. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JH, Wenstrom KD.
2001. Hipertensive disorders in pregnancy. Williams obstetrics, 21st edition.
McGraw-Hill, New York : 567-618.
5. Jaya Kusuma AAN. 2004. Manajemen risiko pada preeklamsia. Pendidikan
kedokteran berkelanjutan obstetri dan ginekologi FK Unud / RSUP Sanglah
Denpasar; 49-66
6. Harsem NA, Braekke K, Staff AC. 2006. Augmented oxidative stress as well as
antioxidant capacity in maternal circulation in preeclampsia. European Journal
of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology; 128: 209–21.
7. Grill S, Rusterholz C, Dalenbach RZ, Tercanli S, Holzgreve W, Hahn S. 2009.
Potential markers of preeclampsia-a review. Reprod biol endocrinol; 7: 70.
8. Angsar, M.D. 2002. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan, edisi kedua, Lab
/ UPF Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran UNAIR / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
9. Kashinakunti SV, Sunitha H, Gurupadappa K, Shankarprasad DS, Suryaprakash
G, Ingin JB. 2010. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia.
Al Ame en J Med Sci; 3 (1): 38 -41
10. Roberts JM, Hubel CA. 2009. The Two Stage Model of Preeclampsia: Variations
on the Theme. Placenta 30, Supplement A, Trophoblast Research; 23: S32–S37
11. Eberhardt MK. 2001. Mechanisms of lipid peroxidation-induced pathogenesis.
Reactive oxygen metabolites chemistry and medical consequences. CRC press
LLC: 174-179.
12. Chelbi ST, Vaiman D. 2008. Genetic and epigenetic factors contribute to the
onset of preeclampsia. Molecular and Cellular Endocrinology: 282: 120–129.
13. Wibowo, N. Peran Radikal Bebas Pada Preeklampsia, dalam Makalah PIT XIII,
Malang, 2002: 32-47
14. Raijmakers MTM, Dechend R, Poston L. 2004. Oxidative Stress and
Preeclampsia Rationale for Antioxidant Clinical Trials. Hypertension, American
Heart Association; 44: 374 – 380
15. Takacs P, Kauma SW, Sholley MM, Walsh SW, Dinsmoor MJ, Green K. 2001.
Increased circulating lipid peroxides in severe preeclampsia activate NF-kB and
upregulate ICAM-1 in vascular endothelial cells. The FASEB Journal: 15: 279281
16. Anonim. Lipid peroxidation. Wikipedia the free encyclopedia, available at
http://en.wikipedia.org/wiki/Lipid_peroxidation. Last update 20 April 2010.
17. Anonim.
Lipid.
Wikipedia
the
free
encyclopedia,
available
at
http://en.wikipedia.org/wiki/Lipid. Last update 30 may 2010.
18. Niki E, Yoshida Y, Saito Y, Noguchi N. 2005. Lipid peroxidation: Mechanisms,
inhibition, and biological effects. Biochemical and Biophysical Research
Communication; 338: 668–676.
19. Niki E. 2009. Lipid peroxidation: Physiological levels and dual biological
effects. Free Radical Biology & Medicine; 47: 469–484
20. Dotan Y, Lichtenberg D, Pinchuk I. 2004. Lipid peroxidation cannot be used as
a universal criterion of oxidative stress. Progress in Lipid Research; 43: 200–
227.
21. Anonim.
Isoprostane.
Wikipedia
the
free
encyclopedia,
available
at
available
at
http://en.wikipedia.org/wiki/Isoprostane. Last update 28 May 2010.
22. Anonim.
Oxysterol.
Wikipedia
the
free
encyclopedia,
http://en.wikipedia.org/wiki/Oxysterol. Last update 15 May 2010.
23. Anonim. Malondialdehyde. Wikipedia the free encyclopedia, available at
http://en.wikipedia.org/wiki/Malondialdehyde. Last update 18 August 2009.
24. Anonim. 4-hydroxynonenal. Wikipedia the free encyclopedia, available at
http://en.wikipedia.org/wiki/4-Hydroxynonenal. Last update 2 April 2010.
25. Lyell F, Belfort M. 2007. The role of oxidative stress in preeclampsia.
Preeclampsia etiology and clinical practice; 121-137.
26. Sattar, N. Bendomir, A. (1997), Lipoprotein Subfraction Concentrations in
Preeclampsia : Pathogenic Parallels to Atherosclerosis. AJOG ;89:403-8.
27. Robins, Cotran, et al. (2006), Blood Vessel. Pathologic basis of disease 7th edition
Elsevier: 511-554
28. Llurba E,
Grataco E, Galla MP, Cabero L, Dominguez C. 2004. A
comprehensive study of oxidative stress and antioxidant status in preeclampsia
and normal pregnancy. Free Radical Biology & Medicine; 37( 4): 557 – 570.
29. Dehgan MH, Daryani A, Dehganan R. 2007. Homeostasis status between
prooxidants and antioxidants as a potent marker in Iranian preeclamptic
patients. Saudi med J; 28 (5): 696-700.
30. Rudra CB, Qiu C, David RM, Bralley JA, Walsh SW, Williams MA. 2006. A
prospective study of early-pregnancy plasma malondialdehyde concentration and
risk of preeclampsia. Clinical Biochemistry; 39: 722–726.
31. Adiga U, D’souza V, Kamath A, Mangalore N. 2007. Antioxidant activity and
lipid peroxidation in preeclampsia. J Chin Med Assoc; 70 (10): 435-438.
32. Lata H, Ahuja GK, Narang APS, Walia L. 2004. ffect of immobilisation stress on
lipid peroxidation and lipid profile in rabbits.
Indian Journal of Clinical
Biochemistry; 19 (2): 1-4.
33. Ariza AC, Bobadilla N, Fernandez C, Munoz-Fuentes RM, Larrea F, Halhali A.
2005. Effects of magnesium sulfate on lipid peroxidation and blood pressure
regulators in preeclampsia. Clinical Biochemistry; 38: 128–133.
34. Vıctor H, Quintero G, Jimenez JJ,
Wenche J,
Mauro LM,
Hortman L,
O’Sullivan MJ, Ahn Y. 2005. Elevated plasma endothelial microparticles in
preeclampsia. Am J Obstet Gynecol; 189 (2): 589-593.
35. Artinano AA, Gonzales VL. 1999. Endothelial disfunction and hypertensive
vasoconstriction. Pharmacological Research; 40(2): 113-124.
36. Blum A, Shenhav M, Baruch R, Hoffman M. 2003. Endothelial disfunction in
preeclampsia and eclampsia: current etiology and future non-invasive
assesment. IMAJ; 5: 724-726.
37. Fiore G, Florio P, Micheli L, Nencini C, Rossi M, Cerretani D, Ambrosini D,
Giorgi G, Petraglia F. 2005. Endothelin-1 triggers placental oxidative stress
pathways: putative role in preeclampsia. The Journal of Clinical Endocrinology
& Metabolism; 90 (7): 4205–4210.
38. Dekker G, Sibai BM. 1998. Etiology and pathogenesis of preeclampsia: Current
concepts. Am J Obstet Gynecol; 179 (5): 1359-1375.
39. Wang Y, Gu Y, Zhang Y, Lewis DF. 2004. Evidence of endothelial dysfunction
in preeclampsia: Decreased endothelial nitric oxide synthase expression is
associated with increased cell permeability in endothelial cells from
preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology; 190: 817-24.
40. Hubel CA, McLaughlin MI, Evans RW, Hauth BA, Sims CJ, Roberts JM. 1996.
Fasting serum triglycerides, free fatty acids, and malondialdehyde are increased
in preeclampsia, are positively correlated, and decrease within 48 hours post
partum. AmJ Obstet Gynecol; 174 (3): 975-982.
41. Wagner BA, Buettner GR, Burns CP. 1994. Free Radical-Mediated Lipid
Peroxidation in Cells: Oxidizability Is a Function of Cell Lipid bis-Allylic
Hydrogen Content. Biochemistry; 33: 4449-4453.
42. Moses EK, Johnson MP, Tømmerdal L, Forsmo S, Curran JE, Abraham LJ,
Charlesworth C, Brennecke SP,
Blangero J, Austgulen R. 2008. Genetic
association of preeclampsia to the inflammatory response gene SEPS1. Am J
Obstet Gynecol ogy; 198: 336e1-336e5.
43. Jian W, Arora JS, Oe T, Shuvaev VV, Blair IA. 2005. Induction of endothelial
cell apoptosis by lipid hydroperoxide-derived bifunctional electrophiles. Free
Radical Biology & Medicine; 39: 1162 – 1176.
44. Eunjoo HK, Pacifici, Laurie LM, Alex S. 1994. Lipid hydroperoxide-induced
peroxidation and turnover of endhotelial cell phospholipids. Free Radical
Biology & Medicine; 17 (4): 297-309.
45. Hennig B, Chow CK. 1998. Lipid peroxidation and endhotelial cell injury:
implications in atherosclerosis. Free Radical Biology & Medicine; 4: 99-106.
46. Koh YH, Yoon SJ, Park JW. 1997. Lipid peroxidation product-mediated DNA
damage and mutagenicity. J. Biochem Mol; 30 (3): 188-193.
47. Atamer Y, Koc Y¸ Yokus B, Atamer A, Erden AC. 2005. Lipid peroxidation,
antioxidant defense, status of trace metals and leptin levels in preeclampsia.
European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology; 119:
60–66.
48. Weng SHY, KnIght JA, Hopfe SM, Zaharla O, Leach CN, Sunderman FW.
1987.
Lipoperoxides in plasma as measured by liquid-chromatographic
separation of malondialdehyde thio barbituric acid adduct. Clinical chemistry;
33 (2): 214-220.
49. Janero DR. 1990. Malondialdehyde and thiobarbituric acid reactivitiy as
diagnosis indicesof lipid peroxidation and peroxidative tissue injury. Free
Radical Biology & Medicine; 9: 515-540.
50. Mohaupt M. 2007. Molecular aspects of preeclampsia. Molecular Aspects of
Medicine; 28: 169–191.
51. Hogg N, Kalyanaraman B. 1999. Nitric oxide and lipid peroxidation. Biochimica
et Biophysica Acta; 1411: 378-384.
52. Lowe DT. 2000. Nitric oxide disfunction in the patofisiology of preeclampsia.
Biology and Chemistry; 4: 441–458.
53. Roberts JM, Cooper DW. 2001. Pathogenesis and genetics of pre-eclampsia.
Lancet; 357: 53–56.
54. Setiawan B, Suhartono E. 2007. Peroksidasi lipid dan penyakit terkait stres
oksidatif pada bayi prematur. Majalah Kedokteran Indonesia; 57 (1): 10-14.
55. Serdar Z, Develioglu O, Olakogullar MC, Dirican M. 2002. Placental and
decidual lipid peroxidation and antioxidant defenses in preeclampsia Lipid
peroxidation in preeclampsia. Pathophysiology; 9: 21-/25.
56. Zhang J, Masciocchi, Lewis D, Sun W, Liu A, Wang Y. 2008. Placental AntiOxidant Gene Polymorphisms, Enzyme Activity, and Oxidative Stress in
Preeclampsia. Placenta; 29: 439-444.
57. Burton GJ, Yung HW, Davies TC, Charnock-Jones DS. 2009.
Placental
Endoplasmic Reticulum Stress and Oxidative Stress in the Pathophysiology of
Unexplained Intrauterine Growth Restriction and Early Onset Preeclampsia.
Placenta 30, Supplement A, Trophoblast Research; 23: S43–S48.
58. Mohanty S, Nayak N, Nanda NN, Rao P. 2006. Serum lipids and
malondialdehyde level in primiparous patients with pregnancy induced
hypertension. Indian Journal of Clinical Biochemistry; 21 (1): 189-192.
59. Ilhan N, Ilhan N,
Simsek M. 2002. The changes of trace elements,
malondialdehyde levels and superoxide dismutase activities in pregnancy with or
without preeclampsia. Clinical Biochemistry; 35: 393–397.
60. Tug N, Celik H, Cikim G, Ozcelik O, Ayar A. 2003. The correlation between
plasma
homocysteine
and
malondialdehyde
levels
in
preeclampsia.
Neuroendocrinology Letters; 24: 445-448.
61. Buhimschi IA, Saade JR, Chwalisz K, Garfield RE. 1998. The nitric oxide
pathway
in
pre-eclampsia:
Reproduction Update; 4: 25–42.
pathophysiological
implications.
Human
Download