BAB II LANDASAN TEORITIS

advertisement
9
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Metode Analisis Saham
1. Analisis Fundamental
“Analisis Fundamental (fundamental analysis) menggunakan prospek
laba dan dividen perusahaan, harapan tingkat bunga dimasa depan, dan evaluasi
risiko perusahaan untuk menentukan harga saham yang tepat” (Bodie dkk,
2006:485). Secara umum analisis fundamental merupakan suatu metode analisis
yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Pendekatan
fundamental didasarkan pada suatu anggapan bahwa suatu sekuritas memiliki
nilai intrinsik yang harus diestimasikan oleh para pelaku pasar modal sebagai
keputusan dalam berinvestasi. Untuk menentukan nilai intrinsik saham,
dibutuhkan data keuangan perusahaan sehingga analisis ini disebut juga dengan
analisis perusahaan. Hasil estimasi nilai intrinsik kemudian dibandingkan dengan
harga pasar yang sekarang. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka akan
ditentukan strategi investasi apakah sebuah saham harus dibeli, dijual atau
dipertahankan.
Analisis fundamental sering digunakan oleh investor yang memiliki
karakteristik Long Term Investor, dimana investor tersebut menanamkan uangnya
di bursa saham untuk tujuan jangka panjang. Analisis ini menggunakan horizon
jangka panjang, karena selain menggunakan laporan keuangan, analisis ini juga
menggunakan data masa depan berupa estimasi pertumbuhan perusahaan, estimasi
10
perubahan ekonomi dimasa mendatang, dan berbagai jenis estimasi lainnya yang
dianggap dapat mempengaruhi kinerja dan kelangsungan usaha (Dedhy dan
Liliana, 2007:8). Pelaku pasar yang melakukan hal tersebut disebut dengan
investor. Menurut Mangasa (2010:70) para analisis sekuritas memprediksi harga
saham dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi naik
turunnya harga saham perusahaan go public, yaitu :
a. Perkiraan Performa Perusahaan
Investasi yang dilakukan investor terhadap saham perusahaan go
public adalah membeli prospek perusahaan dan prospek perusahaan setiap saat
dapat berubah tergantung banyak faktor. Faktor yang dominan mempengaruhi
harga saham di bursa meliputi perkiraan tingkat laba, laba per saham (EPS),
dan dividen tunai yang akan dibagikan serta tingkat rasio utang dan rasio nilai
buku (PBV).
b. Kebijakan Korporasi yang Dilakukan Perusahaan
Kebijakan korporasi akan mengubah komposisi jumlah saham dan
akan sangat berpengaruh mendorong timbulnya perubahan harga saham
perusahaan. Contohnya adalah perusahaan melakukan right issue (penawaran
terbatas), stock split (pemecahan saham), pembagian saham bonus yang secara
langsung akan menambah jumlah lembar saham perusahaan yang beredar,
merger (penggabungan usaha), akuisisi, divestasi dan investasi.
c. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan dunia usaha
akan sangat berpengaruh dengan fluktuasi harga saham-saham yang
11
ditransaksikan di bursa efek. Sebagai contoh setiap adanya rencana kebijakan
pemerintah baik yang bersifat wacana atau pun resmi seperti kebijakan
dibidang perpajakan perseroan, kebijakan ekspor impor, kebijakan kenaikan
harga bahan bakar, kebijakan perizinan, dan lain-lain. Kebijakan-kebijakan
tersebut dapat dipastikan akan berpengaruh sangat besar terhadap harga
saham, terutama bagi perusahaan yang terkena dampak langsung dengan
regulasi pemerintah tersebut.
d. Fluktuasi Nilai Mata Uang
Data-data transaksi perdagangan di bursa efek menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara pergerakan fluktuasi nilai mata uang dengan
fluktuasi harga saham-saham yang diperdagangkan di bursa. Namun perlu
dipahami bahwa pengaruh melemahnya mata uang rupiah yang disebabkan
karena krisis yang terjadi akan berbeda dampaknya dibandingkan dengan
melemahnya mata uang rupiah dikarenakan meningkatnya pertumbuhan
perekonomian negara-negara maju. Artinya menguatnya mata uang negara
maju yang menyebabkan menurunnya mata uang rupiah tidak akan
menurunkan harga-harga saham, dengan kata lain IHSG tidak akan turun
tajam. Walaupun ada saham yang turun harganya, mungkin hanya pada
saham-saham tertentu saja, misalnya perusahaan yang mempunyai utang yang
besar dalam mata uang asing atau perusahaan importer yang menyebabkan
beban biaya operasional meningkat. Sebaliknya, perusahaan yang bergerak
dibidang ekspor tentunya akan mengalami kenaikan sejalan dengan
menguatnya mata uang asing tersebut.
12
e. Kondisi Makro Ekonomi dan Politik Keamanan
Kondisi ekonomi yang tidak stabil seperti tingginya tingkat inflasi,
tingkat pengangguran yang tinggi, menurunnya aktivitas ekonomi serta tidak
stabilnya keadaan politik dan keamanan suatu Negara dipastikan akan
berpengaruh langsung terhadap pergerakan harga saham. Indonesia termasuk
negara berkembang yang ekonominya masih rentan dan sensitif dengan
pengaruh yang datangnya dari luar negeri dan dalam negeri terkait dengan isuisu politik dan keamanan.
f. Tingkat Suku Bunga Perbankan
Faktor ini memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap pergerakan
harga saham dan yang paling sering terjadi. Secara teoritis hubungan antara
keduanya berbanding terbalik, yaitu jika tingkat suku bunga naik maka harga
saham akan turun karena para investor saham akan beralih investasi pada
instrumen perbankan seperti deposito. Begitu juga sebaliknya, jika pergerakan
tingkat suku bunga mengalami penurunan, maka harga saham akan mengalami
kenaikan karena investor akan beralih investasi kepada saham. Perusahaan
yang memiliki rasio utang yang cukup tinggi serta perusahaan yang bergerak
dalam industri perbankan dan properti memiliki tingkat sensitifitas yang
sangat tinggi terhadap harga saham perusahaan yang bersangkutan.
g. Rumor dan Sentimen Pasar
Rumor dan sentimen pasar adalah hal yang lumrah dalam perdagangan
di bursa efek, dan dapat terjadi kapan saja kepada perusahaan yang
dampaknya dapat berpengaruh besar terhadap merosotnya harga saham atau
13
sebaliknya, meningkatkan harga saham secara tajam dalam waktu seketika.
Jika ada rumor positif akan mengakibatkan harga saham mengalami kenaikan
yang luar biasa. Namun sebaliknya, adanya rumor negatif dapat membuat
harga saham kembali turun secara drastis yang mengakibatkan kerugian bagi
para investor.
Namun diantara faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, faktor utama
yang menyebabkan harga pasar saham berubah adalah karena adanya persepsi
yang berbeda dari masing-masing investor, sesuai dengan informasi yang dimiliki
(Sawidji, 2008:89).
2. Analisis Teknikal
Analisis teknikal merupakan analisis terhadap pola pergerakan harga di
masa lampau dengan tujuan untuk meramalkan pergerakan harga dimasa yang
akan datang. Sawidji (2005:77) mengatakan bahwa analisis teknikal mengamati
pembentukan grafik harga dengan berbagai varian yang mungkin terjadi
dibandingkan dengan perilaku harga sebelumnya. Tujuan pokok mengamati grafik
adalah agar investor dapat menemukan kecenderungan harga dan memperkirakan
kemungkinan waktu dan jarak, serta memilih saat yang paling tepat dan
menguntungkan untuk masuk dan keluar dari pasar.
Analisis teknikal biasanya digunakan oleh investor yang memiliki
karakteristik Short Time Investor, dimana investor tersebut menanamkan uangnya
di bursa saham untuk jangka pendek dan sering melakukan jual beli saham dengan
waktu yang relatif singkat. Mereka biasa disebut dengan trader. Dalam
melakukan analisis teknikal, para trader menggunakan data atau catatan pasar
14
yang telah dipublikasikan agar dapat mengakses permintaan dan penawaran suatu
saham tertentu atau pasar secara keseluruhan, seperti harga saham, volume
perdagangan, indeks harga saham gabungan dan individu, serta faktor-faktor lain
yang bersifat teknis. Oleh karena itu pendekatan ini juga disebut analisis internal
(internal analysis) dan analisis pasar (market analysis).
Menurut Murphy (1999) dan Luca (2000) terdapat tiga asumsi atau
anggapan dasar dalam analisis teknis, yaitu :
a. Market Price Discount Everything
Chartis percaya bahwa semua peristiwa bisa berpengaruh terhadap
harga saham yang kemudian akan tercermin dalam harga sahamnya. Hal
tersebut terjadi karena harga pasar saham secara alami ditentukan oleh
permintaan dan penawaran para pelaku pasar. Peristiwa yang terjadi bukan
hanya dari aspek fundamental, tetapi juga aspek politik, keamanan, psikologi
pasar, dan aspek-aspek lain baik yang bersifat ekonomis maupun non
ekonomis. Apabila dalam suatu waktu mayoritas investor memiliki persepsi
yang buruk terhadap suatu saham, maka harga saham akan turun. Begitu juga
sebaliknya, harga saham akan naik jika mayoritas investor memiliki persepsi
yang baik. Para analis tidak akan memperhatikan alasan mengapa harga naik
atau turun tetapi hanya mempelajari perubahan harga pada market saja.
b. Price Moves in Trend
Prinsip dasar bagi para chartis adalah tidak pernah mengambil
keputusan transaksi yang melawan tren harga, karena harga saham akan
bergerak dalam satu tren. Mereka percaya bahwa semua informasi tercermin
15
pada harga pasar saham, sehingga tren tersebut menunjukkan sikap para
pelaku pasar atas suatu saham. Tren yang mengalami penurunan sebagai tanda
bahwa mayoritas pelaku pasar mengharapkan saham tersebut turun. Begitu
pula sebaliknya, semakin banyak pelaku pasar yang menginginkan saham
tersebut, maka permintaan akan naik yang mengakibatkan harga saham juga
akan naik. Keinginan investor akan permintaan terhadap suatu saham dipicu
oleh berbagai informasi, baik informasi finansial maupun non finansial.
c. History Repeats Itself
Chartis menggunakan data historis untuk memprediksikan data/harga
saham dimasa mendatang. Hal ini dipercayai oleh chartis karena adanya
psikologis para pelaku pasar yang secara umum bersifat kosntan. Maksudnya
adalah manusia cenderung bereaksi terhadap sesuatu dengan cara yang sama.
Namun reaksi tersebut hanya terjadi beberapa saat, karena setelah beberapa
waktu kemudian mereka akan melupakannya.
B. Valuasi Harga Saham
1. Nilai Intrinsik Vs Harga Pasar
Nilai intrinsik adalah nilai seharusnya dari suatu saham yang menjadi
salah satu kunci investor untuk menentukan arah investasinya kedepan. Warren
Buffett mengatakan bahwa nilai intrinsik (nilai wajar) suatu saham didefinisikan
sebagai nilai saat ini dari aliran kas masuk yang akan didapatkan sepanjang umur
hidup perusahaan tersebut. Sedangkan harga pasar saham adalah “harga suatu
saham pada pasar yang sedang berlangsung, jika bursa tutup maka harga pasar
16
saham tersebut adalah harga penutupannya” (Rusdin, 2005:68). Pada umumnya
naik turun harga saham ditentukan oleh hukum ekonomi yang sangat klasik, yaitu
hukum permintaan dan penawaran (supply and demand) (Andy, 2008:10)
Menurut Suad (2005:282), pedoman yang dipergunakan dalam valuasi
harga saham adalah sebagai berikut :
a. Jika NI > harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai undervalued
(harganya terlalu rendah), dan karenanya seharusnya dibeli atau ditahan
apabila saham tersebut telah dimiliki.
b. Jika NI < harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai overvalued
(harganya terlalu mahal), dan karenanya seharusnya dijual.
c. Jika NI = harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai wajar harganya dan
berada dalam kondisi keseimbangan.
Nilai intrinsik menunjukkan present value arus kas yang diharapkan dari
suatu saham. Harga pasar menunjukkan seberapa baiknya kinerja pihak
manajemen sejauh ini atas nama para pemegang sahamnya (Horne, 2005:5),
sehingga berfungsi sebagi barometer kinerja bisnis. “Harga saham di pasar
sekunder sangat ditentukan oleh teori supply and demand (penawaran dan
permintaan), dan kondisi perusahaan yang menerbitkan saham (emiten)”
(Muhammad, 2005:3).
Nilai pasar suatu saham pada suatu waktu (current market price) dapat
berbeda dengan nilai wajarnya. Keown dan Scott (1996) menemukan bahwa fair
market price dapat diperbandingkan dengan harga pasarnya, yang akan
menghasilkan perbedaan dalam bentuk overvalued atau undervalued. Fabozzi
seorang pakar investasi menyatakan bahwa saham yang diperdagangkan pada
harga murah (undervalued), maka harga saham itu cenderung akan bergerak
mendekati nilai intrinsiknya, dan jika saham diperdagangkan pada harga
17
mahal (overvalued), maka saham tersebut akan cenderung turun mendekati harga
wajarnya. Dengan karakter seperti itu, insting investor di pasar saham selalu
mencari saham yang undervalued karena memiliki kemungkinan naik jauh lebih
besar dibandingkan saham lain.
2. Pengertian Valuasi Saham
Valuasi Saham adalah tata cara / metode / prosedur untuk mendapatkan
nilai atas saham dari suatu perusahaan (www.wikipedia.org). Melakukan valuasi
saham merupakan proses untuk menentukan berapa harga wajar untuk suatu
saham. Investor berharap bahwa saham dapat memberikan cash flows selama
dimiliki. Untuk mengkonversi cash flows menjadi harga saham, maka harus
mendiskontokan dengan tingkat bunga yang diinginkan (required rate of return).
“Analisis saham bertujuan untuk menilai nilai intrinsik saham (intrinsic value)
suatu saham, dan kemudian membandingkan dengan harga pasar saat ini
(current market price) saham tersebut” (Suad, 2005:282). Dengan melakukan
valuasi, investor dapat memilih perusahaan yang sahamnya undervalued atau
overvalued. Jika saham undervalued nilai pasar berada dibawah nilai wajarnya,
sebaiknya saham tersebut dibeli atau ditahan oleh investor karena harganya akan
naik mendekati harga wajarnya. Saham yang overvalued berarti harga pasar
saham berada diatas harga wajar, dan sebaiknya tidak dibeli atau di cut loss.
Dalam proses valuasi, umumnya para analis mempertimbangkan prospek
pendapatan perusahaan, komposisi struktur modal, nilai pasar, dan berbagai
indikator keuangan perusahaan (Hendy, 2008:204). Disamping itu, investor harus
membandingkan nilai riil suatu saham dengan harga yang berlaku di pasar dengan
18
memperhatikan
faktor
fundamental.
Faktor-faktor
fundamental
yang
mempengaruhi nilai biasanya lebih lambat perubahannya dibandingkan perubahan
harga pasar.
3. Metode Valuasi Saham
a. Pendekatan Nilai Sekarang
“Pendekatan nilai sekarang juga disebut dengan metode kapitalisasi
laba (capitalization of income method) karena melibatkan proses kapitalisasi
nilai-nilai masa depan yang didiskontokan menjadi nilai sekarang”
(Jogiyanto, 2009:131). Jika investor meyakini bahwa nilai dari perusahaan
bergantung pada prospek perusahaan tersebut dimasa yang akan datang dan
prospek ini merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan aliran kas
dimasa depan, maka nilai sekarang perusahaan (P o*) dapat ditentukan dengan
mendiskontokan nilai-nilai arus kas dimasa depan menjadi nilai sekarang
sebagai berikut :
∑
(Jogiyanto, 2009:131)
Keterangan :
t
= Periode waktu ke t dari t=1 sampai dengan ∞
k = Suku bunga diskonto (discount rate) atau tingkat pengembalian yang
diinginkan (required rate of return)
Sebagai alternatif dari arus kas, laba perusahaan (earnings) juga dapat
digunakan untuk menghitung nilai perusahaan. Earnings yang didapatkan
19
dapat ditahan sebagai sumber dana internal atau dibagikan dalam bentuk
dividen. Arus dividen dapat dianggap sebagai arus kas yang diterima oleh
investor. Dengan alasan bahwa dividen merupakan satu-satunya arus
pendapatan yang diterima oleh investor, model diskonto dividen dapat
digunakan sebagai pengganti model diskonto arus kas untuk menghitung nilai
intrinsik saham (Jogiyanto, 2009:131).
“Dividend Discount Model (DDM) merupakan model perhitungan
harga saham yang dilakukan dengan cara menilai tunai semua cash flow yang
akan diterima dimasa datang” (Mohamad, 2006:174). Cash flow yang
dimaksud adalah dividen tunai yang akan diterima setiap tahun dan harga
saham terakhir pada saat akan dijual.
Menurut Hendy (2008:53), DDM adalah “suatu metode penilaian
saham yang menggunakan nilai sekarang dari dividen yang diharapkan
dimasa depan dan setiap perubahan dalam tongkat dividen yang diharapkan”
Pada umumya, terdapat tiga bentuk lain dari DDM, yaitu :
1) Pembayaran Dividen Tidak Teratur
Dalam kenyataan di pasar modal masih terdapat beberapa
perusahaan yang membayarkan dividennya secara tidak teratur, dimana
tiap-tiap periode tidak memiliki pola yang jelas bahkan untuk periode
tertentu tidak membayarkan dividen sama sekali, misalnya suatu
perusahaan dalam periode masa rugi atau dalam periode kesulitan
likuiditas.
20
Untuk menghitung nilai intrinsik perusahaan yang membayarkan
dividennya secara tidak teratur, dapat menggunakan rumus DDM pada
umumnya, yaitu :
n
*
Po
=∑
t=1
Dt
Dt
(1 + k)t
(Jogiyanto, 2009:132)
2) Dividen Konstan Tidak Bertumbuh
Model ini mengasumsikan bahwa jumlah dividen yang dibayarkan
akan tetap sama dari waktu ke waktu atau bisa dikatakan dividen tidak
akan mengalami pertumbuhan. Tujuan dari perusahaan membayarkan
dividennya secara konstan adalah untuk menunjukkan bahwa likuiditas
perusahaan dalam keadaan stabil. Teori yang mendasarinya adalah teori
sinyal. Formula untuk mencari nilai intrinsik dengan model tanpa
pertumbuhan dapat dicari dengan rumus :
Po* =
D
k
(Jogiyanto, 2009:134)
Keterangan:
D
= Dividend per share
r
= Required rate of return
3) Pertumbuhan Dividen yang Konstan (Constant Growth Model)
Bentuk lain dari model diskonto dividen adalah untuk kasus
dividen yang bertumbuh secara konstan yaitu dengan pertumbuhan sebesar
g. Jika dividen periode awal adalah D0, maka dividen periode kesatu
adalah D0 (1 + g) dan periode kedua adalah sebesar D0 (1 + g) (1 + g) atau
D0 (1 + g)2 dan seterusnya (Jogiyanto 2009:136).
21
Model ini pertama kali dikembangkan oleh Gordon seorang pakar
dibidang keuangan perusahaan. Rumus dalam menggunakan model
Gordon adalah sebagai berikut :
Po*=
D1
(k – g)
Atau dapat diuraikan sebagai berikut :
Po* =
D0 (1 + g)
(k + g)
(Jogiyanto, 2009:136)
Keterangan :
D1
= Dividen per lembar saham
g
= Tingkat pertumbuhan dividen (growth)
k
= Tingkat suku bunga diskonto atau tingkat keuntungan yang
diharapkan
Rumus diatas menunjukkan hubungan antara harga saham
seharusnya (nilai intrinsik) dengan dividen per lembar saham (D 1), tingkat
bunga diskonto atau tingkat pengembalian yang diinginkan (k) dan
pertumbuhan dividen (g) sebagai berikut ini :
a) Hubungan antara nilai intrinsik dengan dividen per lembar saham
adalah positif, artinya semakin besar dividen yang dibayar, maka akan
semakin besar harga dari suatu saham.
22
b) Hubungan antara nilai intrinsik dengan pertumbuhan dividen adalah
positif, artinya semakin besar pertumbuhan dividen, maka akan
semakin besar harga dari saham.
c) Hubungan antara nilai intrinsik dengan tingkat bungan diskonto adalah
negatif, artinya semakin besar tingkat bunga diskonto, maka akan
semakin kecil harga dari saham.
Asumsi dalam model Gordon adalah k (suku bunga diskonto) harus
lebih besar dari g (tingkat pertumbuhan dividen). Jika k lebih kecil dari g
maka akan menghasilkan nilai intrinsik yang negatif yang merupakan nilai
tidak relalistis untuk suatu saham. Demikian juga untuk nilai k sama
dengan g, maka k dikurangi g akan sama dengan nol dan berakibat nilai
intrinsik saham akan sangat besar sekali bernilai tak terhingga yang juga
merupakan nilai tidak realistis untuk suatu saham.
b. Pendekatan Price Earning Ratio (PER)
Selain menggunakan arus kas atau arus dividen, investor dapat
menggunakan nilai laba perusahaan (earnings). Salah satu yang biasanya
digunakan adalah pendekatan PER (Price Earning Ratio) atau disebut juga
dengan earnings multiplier. Pendekatan PER dapat dilakukan dengan
menghitung berapa rupiah uang yang diinvestasikan kedalam suatu saham
untuk memperoleh satu rupiah pendapatan (earning) dari saham tersebut
(Eduardus, 2010:304). PER menunjukkan rasio dari harga terhadap earnings.
Cara menghitung PER adalah dengan membagi harga saham dengan Earnings
Per Share (EPS). Rasio ini mengartikan berapa besar investor menilai harga
23
dari saham terhadap kelipatan dari earnings. Misalnya nilai PER adalah 10,
maka harga saham merupakan kelipatan dari 10 kali earnings perusahaan.
Misalnya earnings yang digunakan adalah earnings tahunan dan semua
earnings dibagikan dalam bentuk dividen, maka nilai PER sebesar 10 juga
mengartikan bahwa lama investasi pembelian saham akan kembali selama 10
tahun. Untuk mencari nilai intrinsik saham dengan menggunakan rumus :
Po* =
Po
.
E1
. E1
(Jogiyanto, 2009:147)
Po / E1 merupakan nilai PER dari suatu saham, dimana Po adalah harga
pasar saham dan E1 adalah Earning Per Share (EPS) perusahaan tersebut.
Kemudian dikalikan dengan E1 yang merupakan estimasi EPS tahun
berikutnya. Rumus PER dapat dikembangkan dengan menggunakan model
diskonto dividen dan dapat diderivasi dengan membagi kedua sisi persamaan
diatas dengan nilai E, sehingga didapatkan :
Po
E1
=
D1 / E1
k-g
(Jogiyanto, 2009:148)
Rumus diatas menunjukkan faktor-faktor yang menentukan besarnya
PER, yaitu :
1) PER berhubungan positif dengan rasio pembayaran dividen terhadap
earnings (D1 / E1).
2) PER berhubungan negatif dengan tingkat pengembalian yang diinginkan
(k).
3) PER berhubungan positif dengan tingkat pertumbuhan dividen (g).
24
C. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Menurut Brigham dan Houston (2006:239), Capital Asset Pricing Model
(Model Penetapan Aktiva Tetap) adalah :
Sebuah model yang didasarkan pada adanya dalil bahwa tingkat
pengembalian yang diharapkan dari suatu saham adalah sama dengan
tingkat pengembalian bebas risiko plus premi risiko yang hanya tinggal
mencerminkan risiko yang tersisa setelah dilakukan diversifikasi.
CAPM mengasumsikan bahwa pasar saham yang ideal adalah pasar yang
dalam kondisi ekuilibrium, para investor adalah para penerima harga (price
takers), tidak ada pajak maupun biaya transaksi, semua aset dapat diperdagangkan
secara umum, dan para investor dapat meminjam maupun meminjamkan pada
jumlah yang tidak terbatas pada tingkat suku bunga tetap yang tidak berisiko
(fixed risk - free rate). CAPM digunakan untuk mengestimasi return suatu
individual sekuritas serta menganalisis hubungan antara return tersebut dengan
risiko. Tujuannya adalah untuk menentukan minimum imbalan hasil yang
diharapkan (required rate of return) dari investasi yang berisiko, karena dalam
keadaan seimbang akan dipengaruhi oleh risiko saham tersebut. Dalam hal ini
risiko yang diperhitungkan hanyalah risiko sistematis atau risiko pasar yang
diukur dengan beta (β). Sedangkan risiko yang tidak sistematis dianggap tidak
relevan karena risiko ini dapat dihilangkan melalui diversifikasi.
Menurut teori CAPM tingkat pendapatan yang diharapkan dari suatu
sekuritas dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Ks = Rf + β [ E (Rm – Rf ]
(Abdul, 2005:74)
25
Keterangan:
Ks
= Required rate of return
Rf
= Tingkat imbal hasil investasi bebas risiko
β
= Koefisien beta berusahaan
Rm = Tingkat imbal hasil portofolio pasar
D. Beta (β)
“Beta adalah pengukur risiko sistematik dari suatu sekuritas atau
portofolio relatip terhadap risiko pasar” (Jogiyanto, 2009:364). Resiko sistematis
merupakan risiko yang tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi
karena fluktuasi risiko ini dipengaruhi oleh faktor makro yang dapat
mempengaruhi pasar secara keseluruhan, seperti tingkat bunga, kurs valuta asing,
kebijakan pemerintah, dan sebagainya.
Beta merupakan elemen kunci dari CAPM dan hal yang penting dalam
menganalisis sekuritas atau suatu portofolio, karena merupakan ukuran yang tepat
dari risiko relevan sebuah saham. Beta saham berguna untuk mengukur seberapa
besar tingkat keberanian investor dalam menanggung risiko dan dapat
mengindikasikan tingkat kepekaan suatu saham terhadap kondisi pasar secara
umum. Semakin berani seorang investor menanggung risiko, maka investor
tersebut akan memilih saham-saham yang agresif. Beta ini mengukur respon dari
masing-masing sekuritas terhadap harga pasar. Semakin lama periode observasi
yang digunakan, maka akan semakin baik hasil dari beta tersebut, karena
kesalahan pengukurannya semakin lebih kecil. Namun bila periode observasi
26
terlalu lama, anggapan beta konstan dan stabil kurang tepat, karena sebenarnya
beta berubah dari waktu ke waktu. Beta dihitung menggunakan data historis untuk
mengestimasi beta masa mendatang. Beta dihitung menggunakan rumus :
βi =
σiM
σ2M
Atau dapat diuraikan sebagai berikut :
n
∑
βi =
t=1
(Rit – Rit ) . (RMt – RMt)
n
∑ (RMt – RMt)2
t=1
(Jogiyanto
2009:371)
Keterangan :
Ri
= Return Individual Saham
Rm = Market Return LQ45 atau return pasar LQ45
Koefisien resiko mengukur korelasi antara nilai investasi dan gerakan
pasar secara keseluruhan, jadi kecenderungan saham naik turunnya mengikuti
pasar akan tercermin dalam koefisien betanya. Jika nilai koefisien resiko adalah 1
berarti memiliki resiko yang sama dengan nilai resiko rata-rata pasar. Jika nilai
koefisien resiko kurang dari 1 berarti memiliki resiko lebih kecil dari resiko ratarata pasar. Jika nilai koefisien resiko lebih besar dari 1, berarti memiliki resiko
lebih besar dari resiko rata-rata pasar. Oleh karena itu, semakin besar koefisien
resiko, maka akan semakin peka excess return suatu saham terhadap perubahan
excess return portofolio pasar, sehingga saham itu akan semakin beresiko. Dengan
27
demikian dapat dikatakan bahwa, tingkat return portofolio ditentukan oleh resiko
sistematis atau resiko pasar yang diukur dengan resiko dan tingkat return pasar.
E. Hipotesis Pasar Efisien (Efficient Market Hypothesis)
1. Pengertian Hipotesis Pasar Efisien
Konsep awal efisien pasar berkaitan dengan informasi laporan keuangan
yang berasal dari para analis sekuritas yang mencoba untuk menemukan sekuritassekuritas yang memiliki harga salah (mispriced). Beaver (1989) mengemukakan
pasar efisiensi adalah pasar dimana harga sekuritasnya tidak menyimpang dari
nilai-nilai intrinsiknya.
Beberapa macam definisi efisiensi pasar menurut Jogiyanto (2009:510),
yaitu :
a. Berdasarkan nilai intrinsik sekuritas  Seberapa jauh harga sekuritas yang
terbentuk menyimpang dari nilai instrinsiknya.
b. Berdasarkan akurasi dari ekspetasi harga  Ketepatan ekspetasi harga
sekuritas yang dibuat berdasar ketersediaan informasi yang tersedia.
c. Berdasarkan distribusi informasi  Harga sekuritas terbentuk setelah setiap
orang memiliki informasi yang terdistribusi secara merata.
d. Berdasarkan proses dinamik  Harga sekuritas secara cepat dan penuh
mencerminkan semua informasi yang tersedia.
Hipotesis pasar efisien umumnya berada dalam keadaan ekuilibrium serta
sekuritas dihargai secara wajar, yang artinya harganya mencerminkan seluruh
informasi yang tersedia kepada publik, dan saham selalu dalam keadaan
28
ekuilibrium dan merupakan suatu hal yang mustahil bagi investor untuk secara
konsisten dapat mengalahkan pasar (Brigham dan Houston, 2006:435).
Dalam pasar yang efisien para investor memiliki informasi yang relatif
tidak begitu berbeda, sehingga tawaran harga beli dan tawaran harga jual hanya
berbeda sedikit karena analisis dilakukan berdasarkan fundamental yang rasional.
Efisiensi pasar perlu melihat kecanggihan para pelaku pasar, jika hanya sebagian
saja pelaku pasar yang canggih (sophisticated) maka kelompok ini dapat
menikmati keuntungan yang tidak normal disebabkan karena ada sekelompok
pelaku pasar yang kurang atau tidak canggih yang menyebabkan pasar tidak
efisien yang mengakibatkan adanya suatu periode dimana nilai saham menjadi
undervalued atau overvalued, sehingga terdapat suatu kesempatan bagi investor
cerdas yang mampu mengidentifikasi ketidakefisienan pasar dan membeli saham
undervalued yang pada akhirnya akan melakukan penyesuaian harga yang dapat
mencerminkan informasi yang berkaitan dengan saham tersebut.
Klasifikasi tipe informasi menurut Fama (1970), yaitu :
a. Informasi masa lalu, yaitu informasi yang sudah dipublikasikan pada periode
yang lalu.
b. Informasi yang dipublikasikan, yaitu informasi sekarang yang sedang
dipublikasikan termasuk informasi yang berada di laporan keuangan
perusahaan emiten.
c. Informasi privat, yaitu informasi yang belum dan tidak dipublikasikan.
Biasanya didapatkan oleh insider trader yang merupakan kegiatan yang
melanggar hukum karena merugikan pelaku pasar lainnya.
29
2. Bentuk-bentuk Efisiensi Pasar
a. Hipotesis Pasar Efisien Bentuk Lemah (Weak Form Of The Efficient
Market Hypothesis)
Hipotesis bentuk lemah (weak-form) menyebutkan bahwa harga
saham telah mencerminkan seluruh informasi yang dapat diturunkan dengan
menguji data perdagangan pasar berupa data historis, volume perdagangan,
dan bunga pinjaman. Versi hipotesis ini berimplikasi bahwa analisis tren
adalah sia-sia. Data harga saham masa lalu tersedia kepada publik dan bisa
didapatkan tanpa biaya. Hipotesis bentuk lemah ini berlaku jika data
tersebut merupakan sinyal yang dapat diandalkan tentang kinerja masa
depan, sehingga seluruh investor telah mempelajarinya untuk memahami
sinyal-sinyal tersebut. Pada akhirnya, sinyal tersebut akan kehilangan nilai
ketika telah diketahui secara luas karena sinyal beli, misalnya akan segera
meningkatkan harga saham (Bodie dkk, 2006:479-478).
Menurut Jogiyanto (2009:501), efisiensi pasar bentuk lemah
merupakan pasar yang harga-harga sekuritasnya mencerminkan secara
penuh informasi masa lalu yang merupakan informasi yang sudah terjadi.
Bentuk efisiensi pasar secara lemah ini berkaitan dengan teori langkah
acak (random walk theory) yang menyatakan bahwa data masa lalu tidak
berhubungan dengan masa sekarang. Jika pasar efisien dalam bentuk
lemah, maka nilai-nilai masa lalu tidak dapat digunakan untuk
memprediksi harga sekarang. Berarti investor tidak dapat menggunakan
informasi masa lalu untuk mendapatkan keuntungan yang tidak normal.
Perbedaan antara harga pasar dan nilai intrinsik dalam bentuk ini relatif
besar, karena terbentuknya harga pasar banyak dipengaruhi oleh emosi
investor yang irrasional dan informasi yang terbatas.
30
b. Hipotesis Pasar Efisien Bentuk Setengah Kuat (Semi Strong Form Of
The Efficient Market Hypothesis)
Hipotesis bentuk setengah kuat (semistrong-form) menyebutkan
bahwa seluruh informasi yang tersedia untuk publik tentang prospek suatu
perusahaan seharusnya tercermin pada harga pasar. Informasi tersebut
meliputi, selain harga masa lalu, data fundamental tentang lini produk
perusahaan, kualitas manajemen, komposisi neraca, paten yang dipegang,
prediksi laba, serta praktik akuntansi. Sekali lagi, jika investor mempunyai
akses terhadap informasi dari sumber-sumber yang tersedia untuk publik,
maka seseorang akan mempunyai ekspektasi bahwa hal itu tercermin
dalam harga saham (Bodie dkk, 2006:478).
Efisiensi pasar bentuk setengah kuat merupakan pasar yang hargaharga sekuritasnya secara penuh mencerminkan semua informasi yang
dipublikasikan (Jogiyanto, 2009:501). Dalam proses pengambilan
keputusan jual beli saham investor menggunakan data harga masa lalu,
volume masa lalu, dan semua informasi yang dipublikasikan. Walaupun
demikian, dengan membaca laporan tahunan atau data publikasi lainnya
tidak akan memberikan banyak manfaat untuk investor, karena hargaharga saham akan melakukan adjustment (penyesuaian) terhadap semua
berita baik maupun buruk yang terdapat dalam laporan saat berita itu
tersebar ke masyarakat, kecuali jika investor mengetahui informasi yang
tidak tersedia bagi publik.
Jika pasar efisien dalam bentuk setengah kuat, maka tidak ada
investor yang dapat menggunakan informasi yang dipublikasikan untuk
mendapatkan keuntungan tidak normal dalam jangka waktu yang lama.
31
c. Hipotesis Pasar Efisien Bentuk Kuat (Strong Form Of Efficient Market
Hypothesis)
Versi bentuk kuat (strong-form) dari hipotesis pasar efisien
menyebutkan bahwa harga pasar mencerminkan seluruh informasi yang
relevan bagi perusahaan, termasuk informasi yang hanya tersedia bagi
orang dalam perusahaan. Hipotesis versi ini cukup ekstrem. Sebagian akan
berargumen dengan proposisi bahwa pejabat korporat mempunyai akses
untuk berhubungan dengan informasi cukup lama sebelum publik yang
memungkinkan mereka mendapatkan laba dari perdagangan menggunakan
informasi tersebut. Kemudian, banyak sekali aktivitas Securities and
Exchange Commision yang ditujukan untuk mencegah orang-orang dalam
mendapatkan laba dengan memanfaatkan situasi khusus tersebut (Bodie
dkk, 2006:478).
Efisiensi pasar bentuk kuat merupakan pasar yang harga-harga
sekuritasnya secara penuh mencerminkan semua informasi termasuk
informasi privat (Jogiyanto, 2009:504). Investor menggunakan data yang
lebih lengkap yaitu, harga masa lalu, volume masa lalu, informasi yang
dipublikasikan, dan informasi privat yang tidak dipublikasikan secara
umum. Contohnya adalah hasil riset yang diterbitkan sendiri oleh unit
kerja riset yang ada dalam perusahaan atau dibeli dan lembaga riset
lainnya. Penghitungan harga estimasi dengan menggunakan informasi
yang lebih lengkap ini diharapkan akan menghasilkan keputusan jual beli
saham yang lebih tepat dan return yang lebih tinggi.
Jika pasar efisien dalam bentuk ini, maka tidak ada individual atau
grup dari investor yang dapat memperoleh keuntungan tidak normal
karena mempunyai informasi privat. Dalam pasar yang efisien kuat (strong
efficient market), perbedaan antara harga pasar dan nilai intrinsik sangat
tipis karena harga mencerminkan semua informasi yang tersedia.
32
Gambar 2.1
Grafik Hipotesis Pasar Efisien
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian dilakukan oleh Andi dan Viliany pada tahun 2008 terhadap
salah satu perusahaan di Indonesia yaitu saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk.
Mereka menyimpulkan bahwa hasil perhitungan nilai intrinsik saham biasa
perusahaan tersebut dengan menggunakan metode dividend discount model
supernormal growth adalah sebesar Rp 861,0553 perlembar saham, sedangkan
rata-rata harga pasar saham selama periode November 2006 - Oktober 2007
adalah Rp 1.742,08 per lembar saham. Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa harga pasar saham biasa PT Indofood Sukses Makmur Tbk berada pada
posisi overvalued.
Penelitian yang dilakukan oleh Budi, Arif, dan Renny terhadap perusahaan
di Indonesia yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk pada tahun 2011
menyimpulkan bahwa saham tersebut dalam kondisi undervalued karena nilai
intrinsiknya berada dibawah harga pasar saham. Nilai intrinsik TLKM dengan
33
menggunakan Gordon Growth Model sebesar Rp 9.750 per lembar saham dengan
harga pasar saham per tanggal 20 Mei 2011 sebesar Rp 7.600.
Penelitian yang dilakukan oleh Edward dan Yen pada tahun 2012 pada
perusahaan yang memiliki fundamental baik di tahun 2011 menurut Kontan.
Terlihat bahwa dengan menggunakan metode DDM, harga saham BBCA, BMRI,
BBRI, MYOR dan INTP adalah saham yang tergolong overvalued, Sedangkan
saham INDF, PTBA dan ITMG adalah saham yang tergolong undervalued.
Sedangkan dengan metode PER, dapat disimpulkan bahwa harga saham BBCA,
BMRI, MYOR adalah saham yang tergolong overvalued, Sedangkan saham
BBRI, INDF, PTBA, ITMG dan INTP adalah saham yang tergolong undervalued.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ermia dan Singgih pada tahun
2012 terhadap sektor perbankan yang termasuk saham LQ45 di BEI. Sampel
dalam penelitian tersebut adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, PT
Bank Danamon Indonesia Tbk, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Dalam
penelitian tersebut terlihat bahwa metode valuasi DDM dapat digunakan apabila
perusahaan yang sahamnya akan dibeli membayar dividen secara tunai pada tiap
tahun serta memiliki tingkat pertumbuhan yang cenderung stabil, sedangkan
metode valuasi PBV ratio tidak memiliki kriteria secara khusus sehingga lebih
mudah digunakan untuk metode valuasi pada perusahaan apapun, selain itu
dengan metode PBV ratio kita dapat mengetahui nilai buku perusahaan tersebut.
34
Tabel 2.1
Hasil Penelitian Sebelumnya
Tahun Peneliti
Judul
Hasil
2008
Andi
Estimasi nilai intrinsik Nilai intrinsik saham INDF jika
dan
saham PT Indofood dilakukan valuasi dengan metode
Viliany Sukses Makmur Tbk Dividend Discount Model berada
dengan
Dividend dalam kondisi overvalued.
Discount Model
2011
Budi,
Penentuan harga wajar Berdasarkan metode Gordon
Arif,
saham
PT Growth Model, maka investor
dan
Telekomunikasi
layak untuk membeli dan
Renny
Indonesia Tbk dengan menahan saham tersebut karena
metode Gordon growth bersifat undervalued.
model
2012
Edward Penilaian harga wajar Jika digabungkan hasil metode
dan Yen saham pada perusahaan DDM dan PER, maka saham
yang berfundamental yang tergolong undervalued
baik
berdasarkan adalah INDF, PTBA, dan ITMG.
rekomendasi
kontan Sedangkan saham yang tergolong
periode 2011
overvalued
adalah
BBCA,
BMRI, dan
MYOR. Untuk
saham BBRI dan INTP, masingmasing hasilnya berbeda dalam
penggunaan metode DDM dan
PER.
2012
Ermia
Penilaian harga wajar Metode valuasi DDM dan PBV
dan
saham
dengan ratio memiliki hasil yang
Singgih menggunakan metode berbanding terbalik, dimana pada
Dividend
Discount tahun 2007 - 2011 metode DDM
Model (DDM) dan menunjukan keadaan Overvalued
metode Price to Book sedangkan metode PBV ratio
Value Ratio (PBV menunjukan
keadaan
Ratio) pada sektor Undervalued.
perbankan
yang
termasuk saham LQ45
di BEI
Sumber : Data diolah tahun 2012
B. Kerangka Pemikiran
Pada dasarnya harga pasar yang terbentuk di bursa tergantung pada
mekanisme supply and demand dan persepsi masing-masing para pelaku pasar.
35
Hal itu menyebabkan adanya perbedaan selisih antara harga pasar saham dengan
nilai fundamental perusahaan. Dalam penelitian Andi dan Viliany (2007) telah
diketahui bahwa perusahaan besar seperti Indofood mengalami overvalued, hasil
penelitian tersebut berindikasi bahwa dalam keputusan membeli saham para investor
menggunakan sentimen dan estimasi yang berlebihan karena INDF merupakan
perusahaan yang terkenal bahkan dalam penelitian Edward dan Yen (2012)
mengatakan bahwa saham tersebut merupakan salah satu perusahaan yang
berfundamental baik sehingga mendorong permintaan pasar dan menyebabkan harga
sahamnya terus mengalami kenaikan. Begitu juga sebaliknya, hasil penelitian yang
dilakukan oleh Budi dkk (2011) membuktikan kurangnya kepercayaan investor
terhadap saham TLKM sehingga menyebabkan harga sahamnya turun dan berada
dibawah nilai intrinsiknya. Penelitian yang dilakukan oleh Ermia dan Singgih (2012)
terhadap perusahaan perbankan di Indonesia menyimpulkan bahwa metode DDM
cocok untuk perusahaan yang cenderung stabil, oleh karena itu sampel dalam
penelitian ini adalah indeks saham LQ45 yang pergerakan harga sahamnya cenderung
lebih stabil dibandingkan dengan indeks-indeks yang lainnya sehingga saham LQ45
mendapat perhatian yang lebih dari para investor karena sifatnya yang aktif dalam
transaksi perdagangan saham.
Berlandaskan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dijelaskan kerangka
berpikir yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
Nilai Intrinsik Saham
Harga Pasar Saham
Variabel Independen (X)
Variabel Dependen (Y)
Download