MENYOAL PEMAHAMAN ATAS KONSEP RAHMATAN LI AL‘ÂLAMÎN Kata Rahmatan li al- ‘Âlamîn memang ada dalam al-Quran. Namun permasalahan akan muncul ketika orang-orang menafsirkan makna “Rahmatan li al-‘Âlamîn” secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan kemauan “hawa nafsunya”. Di antaranya pemahaman tersebut adalah: 1. Berkasih Sayang dengan Orang Kafir Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar, berdalil dengan ayat: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta.” (QS al-Anbiyâ’/21: 107) Padahal bukan demikian tafsir yang tepat dari ayat ini. Allah SWT menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas r.a.. Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah s.a.w., serta membenci orang-orang yang melakukannya, dengan (sikap) adil dan tanpa kezaliman terhadap mereka, sebagaimana firman Allah SWT: 1 “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudarasaudara ataupun keluarga mereka.” (QS al-Mujâdalah/58: 22) Namun perlu dicatat, ‘harus membenci’ bukan berarti harus membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah, bahwa ada orang kafir yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai. Menjadikan QS al-Anbiyâ’/21: 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat al-Quran tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah SWT sendiri yang berfirman: “Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam.” (QS Âli ‘Imrân/3: 19) Juga firman Allah SWT: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Âli ‘Imrân/3: 85) Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin saja menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan mereka dengan sabda Rasulullah s.a.w.: 2 ”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” (HR Muslim, Shahîh Muslim, juz I, hal. 28, hadits no. 102) Justeru surat al-Anbiyâ/21: 107 ini merupakan bantahan telak terhadap (gagasan) pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘li al-âlamîn‘, diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Qayyim al-Jauziyah: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”. 2. Berkasih Sayang dalam Kemungkaran Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka di depan umum bahkan membiarkan praktik-praktik kemusyrikan dan enggan menasihati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika dinasihati, kemudian berkata : “Islam ‘kan’ rahmatan li al-‘âlamîn, penuh kasih sayang”. Sungguh aneh. Padahal bukanlah demikian tafsir QS al-Anbiyâ’/21: 107 ini. Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaimana dijelaskan ath-Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang orang yang beriman yaitu Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah s.a.w.. Beliau s.a.w. memasukkan orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah”. Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang yang beriman adalah dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perintahperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah (surga). Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasihatinya dan mengingkari maksiat yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal shalih (kebaikan). Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah s.a.w. bersabda: 3 “Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali akan memerburuknya” (HR Muslim, Shahîh Muslim, VIII/22, hadits no. 6767) 3. Berkasih Sayang Dalam Penyimpangan Beragama Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap bentukbentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami, bukankah Islam rahmatan li al’âlamîn?”. Sungguh aneh. Menafsirkan rahmat dalam surat al-Anbiyâ/21: 107 dengan kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang menafsirkan demikian. Perpecahan ditubuh umat menjadi bermacam golongan adalah fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad s.a.w.. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan ajaran Nabi s.a.w.. Bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan tentang rahmat dalam Qs al-Anbiyâ/21: 107: “Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”. Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti golongan yang benar yaitu: “yang mau mengikuti ajaran Nabi s.a.w.”. Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Kâfirûn’109: 1-6: 4 “Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku‘” Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan wajib menasihati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasihati pun sepatutnya lapang menerima nasihat. Bukankah orang-orang beriman itu saling menasihati dalam kebaikan? “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr/103: 1–3) Dan menasihati orang yang berbuat menyimpang dalam agama adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w.: “Jika engkau mengetahui adanya sebuah kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya, ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR Abu Daud, Sunan Abî Dâwud, IV/218, hadits no. 4347, dihasankan Al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwud) Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita menoleransi sebagian orang sufi yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai 5 tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita menoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaedah para ulama, barulah dapat kita toleransi. 4. Menyepelekan Permasalahan Aqidah Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan aqidah hanya akan memecah-belah umat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan li al-‘âlamîn. Renungkanlah perkataan Muhammad Ali ash-Shabuni dalam menafsirkan rahmatan li al-‘âlamîn: “Beliau s.a.w. memberikan pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau memberikan hidayah kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah s.a.w.menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah Thaghut’ ” (QS an-Nahl/16: 36) Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah SWT berfirman: 6 “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam", padahal Al-Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang memersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Mâidah/5: 72) Oleh karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini? Kesimpulannya, justeru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah SWT. Karena dakwah tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan umat? Justeru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan umat. Sebagaimana firman Allah SWT: ۖ “Janganlah kamu termasuk orang-orang yang memersekutukan Allah, yaitu orangorang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS ar-Rûm/30: 31-32) Demikianlah pembahasan ringkas ini. Mudah-mudahan bisa dipahami dan meluruskan pemahaman yang kurang tepat tentang tafsir Rahmatan li al-Âlamîn. 7