BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN KEJAHATAN
TERHADAP DATA ELEKTRONIK
2.1.
Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan berasal dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak
dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan
istilah politik hukum pidana. Istilah politik hukum pidana ini, dalam kepustakaan asing sering
dikenal dengan berbagai istilah antara lain “penal policy”, “criminal law policy”, atau
“strafrechtspolitiek”.1
Marc Ancel pernah menyatakan bahwa ”modern criminal science” (ilmu kriminal
modern) terdiri dari tiga komponen ”criminology” (kriminologi), ”criminal law” (hukum pidana)
dan ”penal policy” (kebijakan kriminal). Marc Ancel mengemukakan, penal policy adalah ”suatu
ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya
kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan”.
Mengenai politik hukum pidana (strafrechtspotiek), A. Mulder mengemukakan:
Strafrechtspotiek is de beleidslijn om te bepalen :
- in welk opzicht de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden;
- wat gedaan kan worden om strafrechtelijk gedrag te voorkomen;
- hoe de opsporing, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te
verlopen.2
1
2
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 22.
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 23.
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
“Politik hukum pidana adalah untuk menentukan kebijakan :
- Bagaimana ketentuan hukum pidana yang ada harus direvisi ;
- Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku kriminal ;
- Bagaimana penyidikan, penuntutan, pengadilan dan eksekusi harus bekerja”
Berdasarkan pendapat A. Mulder di atas, kebijakan atau politik hukum pidana ialah garis
kebijakan untuk menentukan seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu
diubah atau diperbarui, artinya menyangkut urgensi pembaruan hukum pidana; kemudian untuk
menentukan apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, artinya
menyangkut upaya pencegahan tindak pidana; serta untuk menentukan cara bagaimana
penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan, artinya berkaitan
dengan upaya penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana.
Selain itu, pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari pengertian
politik hukum maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, politik hukum adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi suatu saat.
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan.3
Berdasarkan dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
peraturan perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna.4 Beliau juga menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti
3
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 22.
4
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 23.
usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.
Dilihat sebagai bagian dari politik hukum maka politik hukum pidana mengandung arti,
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana
yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi penal policy dari Marc Ancel secara
singkat dapat dinyatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Jadi, yang dimaksud
dengan peraturan hukum positif (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah
peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dapat disimpulkan bahwa istilah penal policy
menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.5
Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan tindakan yang berhubungan
dalam hal-hal:
a.
b.
c.
d.
Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana.
Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat.
Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana.
Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan lebih besar.6
Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan
di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum
pelaksanaan pidana.7
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya usaha untuk membuat peraturan
perundang-undangan hukum pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dengan tujuan dari
5
Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
6
Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Djambatan, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I), hal. 29.
7
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 25.
penanggulangan kejahatan itu sendiri. Oleh karena upaya atau kebijakan untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal, maka kebijakan
atau politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik kriminal.
Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, maka kebijakan hukum pidana atau penal policy
merupakan kebijakan penanggulangan kejahatan yang dilakukan dengan sarana “penal” (hukum
pidana). Usaha penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana pada dasarnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum pidana, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan hukum
pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum atau law enforcement policy.
Kebijakan kriminal tidak terlepas dari kebijakan yang luas, yaitu kebijakan sosial (social
policy), yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare
policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).8
Maka pada akhirnya kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan sosial.
Sehingga usaha penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana merupakan bagian integral
dari usaha perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Korelasi antara kebijakan
hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal sekaligus sebagai bagian dari kebijakan
sosial, dapat digambarkan melalui skema berikut ini :9
8
Barda Nawawi Arief I, op.cit., hal. 77.
9
Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Cetakan ke-3, Kencana, Jakarta, hal. 78.
Skema 1. Skema kebijakan hukum pidana sebagai bagian kebijakan kriminal dan kebijakan sosial
Dari Skema 1 diatas, dapat diidentifikasikan hal-hal pokok berikut ini:
a)
Pencegahan
dan
penanggulangan
kejahatan
harus
menunjang
tujuan
(goal),
kesesejahteraan masyarakat/social welfare (SW), dan perlindungan masyarakat/social
defence (SD). Aspek SW dan SD yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan dan
perlindungan masyarakat yang bersifat immateriil, terutama nilai kepercayaan,
kebenaran/kejujuran/keadilan.
b) Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan integral,
ada keseimbangan sarana penal dan non penal. Dilihat dari sudut politik kriminal,
kebijakan paling strategis melalui sarana non penal karena bersifat preventif dan
kebijakan penal mempunyai keterbatasan (bersifat fragmentaris/simplistis/tidak struktural
fungsional, simptomatik/tidak kausatif/tidak eliminatif (tidak menghilangkan faktor
kriminogen), individualistik/offender oriented (berorientasi pada pelaku)/tidak victim
oriented (tidak berorientasi pada korban), bersifat represif, harus didukung infrastruktur
dengan biaya tinggi).
c)
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy
atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya melalui
beberapa tahap:
c.1 tahap formulasi (kebijakan legislatif);
c.2 tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);
c.3 tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).10
Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-
undang, tahap ini disebut tahap kebijakan legislatif. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan
hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, tahap ini
disebut tahap kebijakan yudikatif. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara
konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana, tahap ini dapat disebut juga sebagai kebijakan
eksekutif atau administratif.11 Berdasarkan tahapan tersebut, maka kebijakan kriminal melalui
hukum pidana dimulai dari tahap formulasi yakni dengan merumuskan peraturan perundangundangan (hukum pidana), kemudian peraturan perundang-undangan tersebut diaplikasikan
melalui sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu, tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahapan yang paling
strategis dari kebijakan hukum pidana, serta memiliki urgensi yang tinggi untuk menentukan
keberhasilan upaya penanggulangan kejahatan pada tahapan selanjutnya yakni tahap aplikasi dan
eksekusi. Apabila terdapat kekurangan atau kelemahan dari kebijakan legislatif, maka akan
menjadi kelemahan strategis pula yang dapat menghambat kebijakan yudikatif dan kebijakan
eksekutif. Kebijakan legislatif sebagai tahapan awal yang paling strategis ini harus
10
Barda Nawawi Arief I, op.cit., hal. 77-79.
11
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis dan Praktek, PT. Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi II), hal. 391.
diperhitungkan sebaik-baiknya oleh badan legislatif. Sehingga upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan melalui sarana hukum pidana bukan hanya tugas dari aparat
penegak/penerap hukum, tetapi juga tugas dari aparat pembuat hukum/badan legislatif.
Berdasarkan uraian skema di atas, dapat juga disimpulkan bahwa upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada
keterpaduan antara kebijakan/politik kriminal dengan kebijakan/politik sosial, serta ada
keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal dengan sarana non
penal.
Hal ini selaras dengan skema yang digambarkan oleh G. Peter Hoefnagels mengenai
ruang lingkup kebijakan/politik kriminal (criminal policy), yakni meliputi sarana penal dan non
penal, yakni sebagai berikut: 12
12
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 39, dikutip dari G. Peter Hoefnagels, 1969, The Other Side of
Criminology, hal. 56.
Skema 2. Skema ruang lingkup criminal policy
Berdasarkan skema 2 terlihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan:
a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media
massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur
“penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana). Dalam
pembagian G. Peter Hefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat
dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”. 13
Secara kasar dapatlah dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
penal lebih menitikberatkan pada sifat “represif” (penindasan/pemberantasan/ penumpasan)
sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitikberatkan pada sifat
“preventif” (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat
sebagai tindakan preventif dalam arti luas.14
Usaha-usaha non penal misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggungjawab sosial warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa
masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha
kesejahteraan anak dan remaja15 yang oleh Sudarto dikemukakan bahwa kegiatan Karang
Taruna, kegiatan Pramuka merupakan upaya non penal dalam mencegah dan menanggulangi
kejahatan.16
Upaya non penal dapat pula digali dari berbagai sumber lainnya yang juga mempunyai
potensi efek-preventif, misalnya media pers/media massa, pemanfaatan kemajuan teknologi
(dikenal dengan istilah techno-prevention) dan pemanfaatan potensi efek-preventif dari aparat
penegak hukum. Mengenai yang terakhir ini, Sudarto pernah mengemukakan, bahwa kegiatan
patroli dari polisi yang dilakukan secara kontinu termasuk upaya non penal yang mempunyai
pengaruh preventif bagi penjahat (pelanggar hukum) potensial. Sehubungan dengan hal ini,
kegiatan razia/operasi yang dilakukan pihak kepolisian di beberapa tempat tertentu dan kegiatan
yang berorientasi pada pelayanan masyarakat atau kegiatan komunikatif edukatif dengan
masyarakat, dapat pula dilihat sebagai upaya non penal yang perlu diefektifkan.17
13
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 40.
14
Sudarto I, op.cit., hal. 118.
15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disingkat Muladi dan Barda Nawawi Arief II), hal. 159.
16
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 45.
Uraian di atas pada dasarnya ingin menekankan bahwa upaya non penal yang paling
strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup yang sehat (secara materil dan immateril) dari faktor-faktor kriminogen
(sebab-sebab terjadinya kejahatan). Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus
dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau faktor anti kriminogen yang merupakan
bagian integral dari keseluruhan politik kriminal.
Pentingnya keterpaduan antara penggunaan sarana penal dan non penal pada akhirnya
harus bermuara pada tujuan kebijakan sosial yaitu perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, sangat beralasan kiranya untuk terus menggali, memanfaatkan dan
mengembangkan upaya-upaya non penal untuk mengimbangi keterbatasan sarana penal dalam
kebijakan hukum pidana.
1.2
Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai dalam Kebijakan Hukum Pidana
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana) ialah masalah penentuan:
(1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
(2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi
integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan sosial.
Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuantujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Kebijakan hukum pidana yang
17
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 48.
termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan
dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang
tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana tetapi juga
pembangunan hukum pada umumnya.18
Pendekatan kebijakan merupakan pendekatan yang rasional. Pendekatan yang rasional
memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis, karena seperti dikatakan oleh Sudarto, dalam melaksanakan
kebijakan orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif
yang dihadapi. Ini berarti suatu politik kriminal dengan menggunakan kebijakan hukum pidana
harus merupakan suatu usaha atau langkah-langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini
berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan
harus benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya
atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pendekatan yang fungsional,
dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat pada setiap kebijakan yang rasional.19
Pendekatan kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan ekonomis.
Pendekatan ekonomis disini tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan antara biaya
atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan digunakannya hukum pidana)
dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti mempertimbangkan efektivitas dari sanksi
pidana
itu
sendiri.
Pendekatan
kemanfaatan/kegunaan (utilitas).20
18
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 27.
19
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 31.
20
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 32.
rasional
pragmatis
mengandung
pula
pendekatan
Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan
nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut Bassiouni, tujuantujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan
sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Disiplin hukum pidana bukan
hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasarkan dan berorientasi pada nilai. Dari
uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) yang bersifat pragmatis
dan rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach).
Hanya saja, antara pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai jangan terlalu dilihat sebagai suatu
dichotomy (pembagian), karena dalam pendekatan kebijakan sudah seharusnya juga
dipertimbangkan faktor-faktor nilai. 21
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dengan masalah nilai. Terlebih
bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya
bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai
sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal ini
penting tidak hanya karena kejahatan itu, pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan,
tetapi juga karena pada hakikatnya pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Pendekatan
humanistis dalam penggunaan sanksi pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan
kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus
21
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 32-34.
dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai
pergaulan hidup bermasyarakat.22
1.3
Pembaharuan Hukum Pidana sebagai Bagian dari Kebijakan Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum pidana.
Pada asasnya, secara konkret pembaharuan hukum pidana harus meliputi pembaharuan hukum
pidana materiil, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum
tersebut bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat kendala dalam
pelaksanaannya. Dari ketiga bidang hukum itu, dalam sub bab ini difokuskan pada pembaharuan
hukum pidana (materiil) saja.23
Pembaharuan
hukum
pidana
dilatarbelakangi
oleh
adanya
ide
keseimbangan
monodualistis antara pelaku, korban, dan masyarakat. Penyusunan konsep KUHP baru
dilatarbelakangi oleh kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan
sekaligus perubahan atau penggantian KUHP lama (wvs) warisan zaman kolonial Belanda. Jadi,
hal ini erat kaitannya dengan penal reform (pembaharuan hukum pidana) yang pada hakikatnya
juga merupakan bagian yang lebih besar, yakni pembangunan atau pembaharuan sistem hukum
nasional. Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya termasuk penal policy
(kebijakan hukum pidana) yang merupakan bagian atau terkait erat dengan law enforcement
policy (kebijakan penegakan hukum), criminal policy (kebijakan kriminal), serta social policy
(kebijakan sosial).24
22
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 34-35.
23
Lilik Mulyadi II, op.cit., hal. 399.
24
Mien Rukmini, 2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), PT.Alumni, Bandung,
hal. 137.
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan
urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi
diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis,
sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal,
dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti, makna dan hakikat pembaruan hukum pidana juga
berkaitan dengan erat dengan berbagai aspek itu. Artinya, pembaruan hukum pidana juga pada
hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaruan terhadap berbagai aspek
dan kebijakan yang melatarbelakangi itu.25
Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang
pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau policy (yaitu
bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik
sosial). di dalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu
pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.26
Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana adalah:
a. Dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan
1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk
masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
2. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya
penanggulangan kejahatan).
3. Sebagai bagian dari dari kebijakan penegakan hukum, pembaruan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum
(legal substance) dalam rangka mengefektifkan penegakan hukum.
b. Dilihat dari sudut pendekatan-nilai
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan
kembali (reorientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan
25
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 25.
26
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 26.
sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif
hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (“reformasi”) hukum pidana,
apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)
sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP
Lama atau WvS).27
Menurut Sudarto, setidaknya ada tiga alasan mengapa perlu segera dilakukan suatu
pembaruan hukum pidana Indonesia, yaitu :
1. Alasan politis. Indonesia yang memperoleh kemerdekaan sejak tahun 1945 sudah wajar
mempunyai KUHP ciptaan bangsa sendiri. KUHP ini dapat dipandang sebagai lambang
dan kebanggaan suatu Negara yang telah merdeka dan melepaskan diri dari kungkungan
penjajahan politik bangsa asing. Apabila KUHP suatu Negara yang dipaksakan unuk
diberlakukan di Negara lain, maka dapat dipandang dengan jelas sebagai lambang atau
simbol penjajahan negara yang membuat KUHP itu.
2. Alasan sosiologis. Pengaturan dalam hukum pidana merupakan pencerminan ideologi
politik suatu bangsa di mana hukum itu berkembang. Ini berarti nilai sosial dan budaya
bangsa itu mendapat tempat dalam pengaturan hukum pidana. Ukuran
mengkriminalisasikan suatu perbuatan, tergantung dari nilai dan pandangan kolektif
yang terdapat di dalam masyarakat tentang apa yang baik, benar, bermanfaat atau
sebaliknya. Pandangan masyarakat tentang norma kesusilaan dan agama sangat
berpengaruh di dalam kerangka pembentukan hukum, khususnya hukum pidana.
3. Alasan praktis. Sehari-hari untuk pembaruan hukum pidana adalah teks resmi KUHP
adalah teks yang ditulis di dalam bahasa Belanda. Teks yang tercantum selama ini
dalam KUHP disusun oleh Moeljatno, R. Soesilo, R. Tresna, dan lain-lain merupakan
terjemahan belaka, terjemahan “partikelir” dan bukan pula terjemahan resmi yang
disahkan oleh suatu ketentuan undang-undang. Apabila kita hendak menerapkan KUHP
itu secara tepat, kata Sudarto, orang atau rakyat Indonesia harus mengerti bahasa
Belanda. Kiranya, hal ini tidak mungkin dapat diharapkan lagi dari bangsa yang sudah
merdeka dan mempunyai bahasa nasionalnya sendiri. Dari sudut ini, KUHP yang ada
sekarang jelas harus diganti dengan suatu KUHP nasional.28
Muladi menambahkan alasan keempat, yaitu alasan adaptif dimana KUHP nasional di
masa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru,
khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati masyarakat beradab. Persoalan
27
Barda Nawawi Arief II, loc.cit.
28
Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, op.cit., hal. 6-7.
kemanusiaan dan kemasyarakatan terus berubah-ubah menjadi lebih kompleks. Oleh karena itu,
hukum pidana menemukan alternatif dengan upaya-upaya terbaik bagi masa depan untuk
menghindari korban yang tidak perlu serta dampak negatifnya.29
Dalam konteks sistem hukum pidana nasional di masa mendatang (ius constituendum),
Muladi telah mengemukakan idealnya dibentuk suatu hukum pidana materiil dengan lima
karakteristik sebagai berikut:
1. Hukum pidana nasional dibentuk tidak sekadar alasan sosiologis, politis dan praktis
semata-mata namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi nasional
Pancasila.
2. Hukuman pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek
yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia.
3. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungankecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab.
4. Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif.
5. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan efektif fungsinya dalam masyarakat.30
Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral
sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah
dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan
yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value-oriented approach).31
1.4
Kejahatan Terhadap Data Elektronik
29
Lilik Mulyadi II, op.cit., hal. 400-401.
30
Lilik Mulyadi II, op.cit., hal. 402.
31
Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 25.
Tidak terdapat ketentuan yang mengatur dan menyebutkan secara gamblang mengenai
hal yang dimaksud dengan kejahatan terhadap data elektronik dalam peraturan perundangundangan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dikaji secara harfiah, dikaji dari ketentuan
peraturan perundang-undangan, serta melihat keadaan konkrit dari kejahatan terhadap data
elektronik di Indonesia.
1.4.1 Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana
a) Pengertian tindak pidana
Istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata
strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Beberapa perkataan yang digunakan menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjanasarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Sementara dalam
berbagai perundang-undangan digunakan berbagai istilah untuk menunjukkan pengertian kata
strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:
peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam
dengan hukum, dan tindak pidana. 32
Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi
persoalan sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya.
Karena itu berbagai istilah tersebut digunakan bergantian bahkan dalam konteks yang lain
digunakan istilah kejahatan untuk menunjukkan maksud yang sama.33
Di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1) yang merupakan landasan
yuridis untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
32
Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, 2011, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, hal. 40-41.
33
Ibid., hal. 41.
(strafbaarfeit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” tidak dijelaskan. Jadi tidak ada
batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori atau
pendapat para sarjana. Dengan tidak adanya batasan yuridis, dalam praktik selalu diartikan,
bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang telah dirumuskan dalam UU
34
, sebagai
perbuatan yang dapat dipidana.
Hazewinkel-Suringa telah membuat suatu rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit
sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu
pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum
pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau suatu ancaman
terhadap hak-hak orang lain. Kemudian menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara
teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum.35
Moeljatno memakai istilah “perbuatan pidana”, yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa
larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan
34
Barda Nawawi II, op.cit., hal. 80.
35
P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hal.172-173.
kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya
kejadian itu.36
Saparinah Sadli menggunakan sebutan “kejahatan atau tindak kriminil”, merupakan salah
satu bentuk dari “perilaku menyimpang” sebagai tingkah laku yang dinilai menyimpang dari
aturan-aturan normatif, yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada
masyarakat yang sepi dari kejahatan. Perilaku menyimpang itu merupakan suatu ancaman yang
nyata atau ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan
sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan
merupakan ancaman riil atau potensiil bagi berlangsungnya ketertiban sosial.37
Simon merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai
suatu tindakan yang dapat dihukum.
38
Kemudian Wirjono Prodjodikoro memberi pandangan
mengenai “tindak pidana” yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.39
Dengan demikian, pengertian sederhana dari tindak pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.40
36
Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 54.
37
Muladi dan Barda Nawawi Arief II, op.cit., hal. 148.
38
P.A.F. Lamintang, op.cit., hal. 176.
39
Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT.Eresco, Jakarta, hal. 55.
40
Ismu Gunadi W. dan Jonaedi Efendi, op.cit., hal. 41-42.
b) Unsur-unsur tindak pidana
Tindak pidana atau delik ialah tindak yang mengandung 5 unsur, yakni:
a.
b.
c.
d.
e.
Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);
Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang (wettelijke omschrijving);
Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
Kelakuan itu diancam dengan hukuman.41
Menurut doktrin, unsur-unsur tindak pidana atau delik dalam rumusan pasal peraturan
perundang-undangan terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif.
Lamintang mengemukakan bahwa:
Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu
yang terkandung di dalam hatinya. Adapun yang dimaksud dengan unsur objektif adalah
unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika
tindakan-tindakan dari si pelaku harus dilakukan.42
1.
Unsur subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana
menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”. Kesalahan yang dimaksud
disini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan
kealpaan (negligence or schuld).
2.
Unsur objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:
a. Perbuatan manusia, berupa: act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; omission,
yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau
membiarkan.
41
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana (Hukum Pidana untuk Tiap
Orang), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 37.
42
Leden Marpaung, 2009, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11.
b. Akibat (result) tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan,
kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan lainnya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: keadaan pada saat perbuatan
dilakukan; keadaan setelah perbuatan dilakukan.
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari
hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan
dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.43
1.4.2 Kejahatan dunia maya dan ruang lingkupnya
Dewasa ini, keberadaan kejahatan dunia maya dikenal dengan istilah cybercrime.
Mengingat cybercrime merupakan kejahatan yang sudah diatur dalam UU, maka perbuatan
tersebut pasti merupakan perbuatan yang anti sosial. Saat ini kejahatan tidak hanya terjadi pada
dunia nyata (real), tetapi juga ada di dunia mayantara (virtual) yang bentuknya berbeda dengan
corak kejahatan konvensional, misalnya kejahatan dalam atau melalui internet. Kejahatan yang
terjadi di dunia maya dengan menjadikan komputer sebagai sasaran atau komputer sebagai alat
melakukan kejahatan tersebut lazim dinamakan computer-related crime. Istilah ini seringkali
digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), namun PBB kadang kala juga menggunakan
istilah cybercrime untuk menyebut kejahatan yang terjadi di dunia mayantara.44
43
Ibid., hal. 9-10.
44
Widodo, op.cit., hal. 4-5.
Secara terminologis, kejahatan di bidang teknologi informasi dengan basis komputer
sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan beberapa istilah yaitu computer missue,
computer abuse, computer fraud, computer-related crime, computer-assisted crime, atau
computer crime. Barda Nawawi Arief, mengemukakan bahwa pengertian kejahatan yang
berhubungan dengan komputer (computer-related crime) sama dengan cybercrime.45
Istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menyebut cybercrime ternyata juga
bermacam-macam. Mardjono Reksodiputro menggunakan istilah “kejahatan komputer” dan
“penyalahgunaan komputer” untuk menyebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer.
Pengertian tersebut mengarah pada crime toward computers, yaitu suatu kejahatan yang
mengarah pada komputer. Sedangkan J. Sudama Sastraandaja menyebut kejahatan tersebut
dengan istilah computer abuse, computer crime, computer assisted crime, computer fraud,
computer-related crime.46
The British Law Commission, mengartikan “computer fraud” sebagai manipulasi
komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad buruk untuk memperoleh uang,
barang atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak
lain. Mandel membagi “computer crime” atas dua kegiatan, yaitu:
1. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian atau
penyembunyian
yang
dimaksud
untuk
memperoleh
keuntungan
keuangan,
keuntungan bisnis, kekayaan atau pelayanan;
45
Barda Nawawi Arief, 2002, Perbandingan Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 259.
46
Widodo, op.cit., hal. 6.
2. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat keras atau lunak,
sabotase dan pemerasan.47
Sistem teknologi informasi berupa internet telah dapat menggeser paradigma para ahli
hukum terhadap definisi kejahatan komputer sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bahwa pada
awalnya para ahli hukum terfokus pada alat/perangkat keras yaitu komputer. Namun dengan
adanya perkembangan teknologi informasi berupa jaringan internet, maka fokus dari identifikasi
terhadap definisi cybercrime lebih diperluas lagi yaitu seluas aktivitas yang dapat dilakukan di
dunia maya melalui sistem informasi yang digunakan. Jadi tidak sekedar pada komponen
hardware-nya saja kejahatan tersebut dimaknai sebagai cybercrime, tetapi sudah dapat diperluas
dalam lingkup dunia yang dijelajah oleh sistem teknologi informasi yang bersangkutan. Sehingga
akan lebih tepat jika pemakanaan dari cybercrime adalah kejahatan teknologi informasi, juga
sebagaimana dikatakan Barda Nawawi Arief sebagai kejahatan mayantara.
Cybercrime memiliki ruang lingkup yang sangat luas karena setiap kejahatan yang
dilakukan melalui cyber space digolongkan dalam terminologi cybercrime. Menurut Sutanto
dkk. cybercrime secara garis besar terdiri dari 2 jenis yaitu:
a. Kejahatan yang menggunakan teknologi informasi sebagai fasilitas.
Contoh-contoh dari aktivitas ini adalah pembajakan (copyright atau hak cipta intelektual, dan
lain-lain); pornografi; pemalsuan dan pencurian kartu kredit (carding); penipuan lewat e-mail;
penipuan dan pembobolan rekening bank; perjudian online; terorisme; situs sesat; materimateri internet yang berkaitan dengan isu SARA (seperti menyebarkan kebencian etnik dan
ras atau agama), transaksi dan penyebaran obat terlarang; transaksi seks; dan lain-lain.
b. Kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas teknologi informasi sebagai sasaran.
Cyber crime jenis ini bukan memanfaatkan komputer dan internet sebagai media atau sarana
tindak pidana, melainkan menjadikannya sebagai sasaran. Contoh dari kejahatan ini adalah
pengaksesan suatu sistem secara ilegal (hacking), perusakan situs internet dan server data
(cracking), serta defacting. 48
47
Budi Suhariyanto, op.cit., hal. 10
Donn Parker sebagaimana dikutip oleh Al. Wisnubroto, mengklasifikasikan kejahatan
komputer dari sudut empat peranan komputer dalam kejahatan komputer yakni meliputi:
a. Komputer sebagai objek. Dalam hal ini termasuk kasus-kasus perusakan terhadap
komputer, data atau program yang terdapat di dalamnya atau perusakan sarana-sarana
komputer seperti AC dan peralatan listrik yang menunjang operasi komputer.
b. Komputer sebagai subjek. Komputer dapat merupakan atau menimbulkan tempat atau
lingkungan untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian, penipuan dan pemalsuan yang
tidak tradisional akan tetapi yang menyangkut harta-harta benda dalam bentuk baru yaitu
berbentuk pulsa-pulsa elektronis dan guratan-guratan magnetis.
c. Komputer sebagai alat. Dalam beberapa tipe dan cara-cara kejahatan dipergunakan
komputer sehingga peristiwa kejahatannya adalah kompleks dan susah diketahui. Salah
satu contoh disini adalah mengenai seseorang yang mengambil warkat-warkat penyetoran
dari suatu bank dan mencetak nomor-nomor rekeningnya sendiri dengan tinta magnetis
pada warkat-warkat tersebut yang kemudian diletakkan kembali pada tempatnya di bank.
Dari mana kemudian para nasabah mengambil dan mengisinya sebagai bukti penyetoran.
Pada waktu komputer memproses data pada warkat-warkat tersebut, komputer mengcrediting rekening dari oknum itu yang kemudian menarik uang dengan cek dari rekening
sebelum para nasabah yang menyetor tadi mengajukan protesnya.
d. Komputer sebagai simbol. Suatu komputer dapat digunakan sebagai simbol untuk
melakukan penipuan atau ancaman. Hal ini termasuk suatu penipuan atau ancaman. Hal
ini termasuk penipuan melalui iklan dari suatu “biro jodoh” yang menyatakan bahwa biro
jodoh tersebut memakai komputer untuk membantu si korban mencari jodoh, akan tetapi
ternyata biro jodoh itu sama sekali tidak memakai komputer untuk keperluan tersebut.
Dalam upaya penanggulangan aktivitas cybercrime yang semakin meningkat di dunia,
maka negara-negara yang tergabung dalam Dewan Eropa (Council of Europe) telah menyusun
”Convention on Cybercrime” yang ditandatangani di Budapest pada tanggal 23 November 2001.
Berdasarkan konvensi tersebut, negara-negara Dewan Eropa sepakat untuk menanggulangi
berbagai bentuk cybercrime yang terdiri dari:
1). Offences against the confidentiality, integrity and availability of computer data and systems
(article 2 - article 6).
2). Computer related-offences (article 7 - article 8).
48
Sutanto, Hermawan Sulistyo dan Tjuk Sugiarto (ed.), 2005, Cyber Crime - Motif dan Penindakan, Pensil 324,
Jakarta, hal.. 21.
3). Content-related offences (article 9).
4). Offences related to infringements of copyright and related rights (article 10). 49
Merujuk pada sistematika Convention on Cybercrime, Barda Nawawi Arief memberikan
kategori cybercrime sebagai berikut:
a. Delik-delik terhadap kerahasiaan, integritas, ketersediaan data dan sistem komputer
(offences against the confidentiality, integrity and availability of computer data and systems),
termasuk kegiatan untuk:
1). Mengakses komputer tanpa hak (illegal acces).
2). Tanpa hak menangkap/mendengar pengiriman dan pemancaran (illegal interception).
3). Tanpa hak merusak data (data interference).
4). Tanpa hak mengganggu sistem (system interference).
5). Menyalahgunakan perlengkapan (misuse of devices).
b. Delik-delik yang berhubungan dengan komputer berupa pemalsuan dan penipuan dengan
komputer (computer related offences: forgery and fraud).
c. Delik-delik yang bermuatan tentang pornografi anak (content related offences, child
pornography).
d. Delik-delik yang berhubungan dengan masalah pelanggaran hak cipta (offences related to
infringements of copyrights).50
Selain merujuk pada pustaka dan pendapat para ahli, ruang lingkup kejahatan di dunia
maya mencakup pula perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut ketentuan hukum yang
mengatur mengenai kejahatan dunia maya saat ini di Indonesia. Jika dilihat dari Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ruang lingkup kejahatan dunia
maya mencakup perbuatan-perbuatan:
49
Council of Europe, 2001, ”Convention on Cybercrime European Treaty Series - No. 185”,
<http://conventions.coe.int/Treaty/en/Treaties/Word/185.doc>, Budapest, diakses tanggal 27 November 2012 pukul
22.04.
50
Barda Nawawi Arief, 2001, ”Kebijakan Kriminalisasi dan Masalah Jurisdiksi Tindak Pidana Mayantara”,
Makalah Seminar Pemberdayaan Teknologi Informasi dalam Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, hal. 5
1. Tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas ilegal, yaitu:
a. distribusi atau penyebaran, transmisi, dapat diaksesnya konten ilegal, yang terdiri dari:
1) Kesusilaan (Pasal 27 ayat (1));
2) Perjudian (Pasal 27 ayat (2));
3) Penghinaan atau pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3));
4) Pemerasan atau pengancaman (Pasal 27 ayat (4));
5) Berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen (Pasal 28 ayat (1));
6) Menimbulkan rasa kebencian berdasarkan SARA (Pasal 28 ayat (2));
7) Mengirimkan informasi yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang
ditujukan secara pribadi (Pasal 29).
b. dengan cara apapun melakukan akses ilegal (Pasal 30)
c. intersepsi ilegal terhadap informasi atau dokumen elektronik dan Sistem Elektronik
(Pasal 31)
2. Tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan (interferensi), yaitu : gangguan
terhadap Informasi dan/atau Dokumen Elektronik (Data Interference – Pasal 32) dan
Gangguan terhadap Sistem Elektronik (System Interference – Pasal 33);
3. Tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang dilarang (Pasal 34);
4. Tindak pidana pemalsuan informasi dan/atau dokumen elektronik (Pasal 35);
5. Tindak pidana tambahan (accesoir Pasal 36).
1.4.3 Kejahatan terhadap data elektronik
Kejahatan berupa gangguan terhadap data elektronik dapat digolongkan ke dalam
computer crime khususnya dalam delik perusakan barang yang dapat menyebabkan gangguan
data elektronik. Seiring dengan perkembangan teknologi, dimensi (arah pandang) mengenai
perbuatan-perbuatan yang tergolong ke dalam kejahatan terhadap data elektronik pun berubah.
Mulai dikenalnya kegiatan-kegiatan yang bersifat mayantara menyebabkan kejahatan terhadap
data elektronik tergolong pula ke dalam cybercrime, khususnya kejahatan dimana komputer
dijadikan sebagai sasaran yang dikenal dengan istilah data interference (gangguan terhadap data
elektronik).
Gangguan yang dimaksud secara umum yakni adanya akibat yang bersifat merugikan
yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan oleh pelaku. Secara umum data elektronik
merupakan suatu penggambaran fakta dan pengertian instruksi yang dapat disampaikan dan
diproses secara berlanjut melalui perangkat elektronik yang berbasis komputer, sistem komputer,
maupun jaringan komputer. Eksistensi data elektronik dapat ditemukan dalam suatu jaringan
elektronik, baik yang berwujud informasi maupun dokumen elektronik.
Selanjutnya, pengertian gangguan atau campur tangan terhadap data (data interference)
diuraikan dalam Penjelasan Convention on Cybercrime berikut.
61. In paragraph 1, ‘damaging’ and ‘deteriorating’ as overlapping acts relate in
particular to a negative alteration of the integrity or of information content of data
and programmes. ‘Deletion’ of data is the equivalent of the distruction of a
corporeal thing. It destroys them and makes them unrecognizable. Suppressing of
computer data means any action that prevents or terminates the availability of the
data to the person who has access to the computer or the data carrier on which it
was stored. The term ‘alteration’ means the modification of existing data. The input
of malicious codes, such as viruses and Trojan horses is, therefore, covered under
this pharagraph, as is the resulting modification of the data.
Pada dalam paragraph 1 Convention on Cybercrime, diuraikan bahwa istilah “merusak”
dan “melemahkan” merupakan istilah yang tumpang tindih, khususnya dalam kaitannya dengan
perbuatan manusia yang mengakibatkan perubahan integritas atas isi informasi, program atau
data. Pengertian istilah “penghapusan” data adalah tindakan sebagaimana dilakukan pada kasus
pembunuhan atau pemusnahan terhadap suatu objek yang bersifat fisik (tangible). Perbuatan
tersebut bertujuan menghancurkan atau menyebabkan data komputer tidak dikenali oleh oleh
program komputer yang digunakan oleh pemilik data yang sah. Penghalangan terhadap data
komputer berarti melakukan segala tindakan yang dapat mencegah atau menghentikan akses
seseorang sehingga tidak dapat mengakses data yang tersimpan dalam sistem atau jaringan
komputer. Istilah “merubah” berarti melakukan modifikasi terhadap data yang ada. Memasukkan
kode khusus untuk penyerangan terhadap sistem komputer dapat dilakukan dengan
menggunakan virus dan Trojan horse. Gangguan terhadap data meliputi segala tindakan yang
menyebabkan data menjadi berubah atau rusak sehingga pemilik data yang sah tidak dapat
mengakses data tersebut. Gangguan tersebut dapat dilakukan dengan cara memodifikasi,
merusak, melemahkan, dan menghapus data serta mengahalangi akses ke dalam sistem.
Berdasarkan penjelasan ini diketahui bahwa pengertian gangguan atau campur tangan data
adalah merubah, menghapus, atau menjadikan data tidak dapat digunakan lagi sebagaimana
mestinya oleh pemiliknya secara tidak sah.
Secara umum, data interference meliputi tindakan-tindakan seperti : pembobolan website
atau dikenal dengan istilah cracking, perubahan tampilan/halaman depan suatu website atau
dikenal dengan istilah defacing, serta merusak atau memodifikasi data komputer dengan
menyebarkan virus (worm). Segala perbuatan yang termasuk ke dalam kejahatan terhadap data
elektronik dilakukan di dalam komputer dan/atau sistem elektronik. Perlu diketahui, bahwa
tindakan-tindakan tersebut mayoritas diawali dengan tindakan akses illegal/tidak sah terhadap
data elektronik berupa Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang menjadi objek kejahatan.
Jika dicermati, pada dasarnya kejahatan berupa gangguan terhadap data elektronik dapat
dilakukan melaui 2 (dua) cara, yakni dengan memutus akses terhadap data elektronik dan
melakukan modifikasi terhadap data elektronik tersebut, sedangkan permulaan kejahatan
dilakukan dengan cara memasuki suatu sistem jaringan elektronik yang di dalamnya terkandung
data elektronik yang bersangkutan tanpa hak. Penulis memfokuskan pada segala aktivitas yang
sudah memenuhi unsur kejahatan terhadap data elektronik, kecuali kegiatan akses ilegal yang
beridiri sendiri.
1.4.4 Ketentuan kejahatan terhadap data elektronik
Gangguan terhadap data elektronik (data interference) adalah kejahatan karena tindakan
tersebut dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diancam pidana bagi
siapa saja yang melanggar larangan tersebut, yakni terdapat dalam Undang-Undang RI No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang RI No. 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi.
Pasal 32 Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik mengatur sebagai berikut.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa
pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa
pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat
rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak
sebagaimana mestinya.
Sedangkan ketentuan pidana atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 48 UndangUndang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai berikut.
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
mengatur sebagai berikut.
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :
a. akses ke jaringan telekomunikasi, dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi, dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Sedangkan ketentuan pidana atas perbuatan yang diatur dalam pasal tersebut, termaktub
dalam Pasal 50 Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai berikut.
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Jadi perbuatan yang mengandung indikasi kejahatan terhadap data elektronik diatur dalam Pasal 22 jo.
Pasal 50 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Pasal 32 jo. Pasal 48 UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Download