Tinjauan Pustaka PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA INFEKSI MENULAR SEKSUAL SERTA INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PADA LAKI-LAKI YANG BERHUBUNGAN SEKS DENGAN LAKI-LAKI Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin ! " ABSTRAK #$%$ && $ $%$ '##( $)$ &$ ) $ $ '*"( $ +,, '-*.( $ )$ $ , &$ $$ & $ tanpa kondom, serosorting, pemakaian berbagai obat terlarang termasuk narkoba suntik. Diperlukan program pencegahan dan tatalaksana komprehensif untuk meningkatkan pengetahuan dan memperluas akses LSL sebagai kelompok “sukar dijangkau” dalam )$ ) $ && & $& ) *" -*. ) )) ) 2 - 34 '2-3( $ &&) ) ), ) *" -*. ) ## ) ), seksual melalui penggunaan kondom secara benar dan konsisten, pencegahan dan penanganan *"-*. $ )$ Kata kunci: $%$ && $ $%$ ), $ menular seksual, infeksi HIV ABSTRACT " 5 6 5 '""( & $ ) 6 , '7*( +,, '-*.( , 7 6 & ), , ,,) 5 abuse, contribute as risk factors to these infections. 7* -*. , "" ) $5 5 ) ,,& "" , "" considered as a “hard to reach” population in STIs and HIV management program. Approach "" ) , & ), 2 - 34 '2-3( & ) ) 7* -*. , "" , ) 6 , , )8 ) , 7*-*. , & Key words: 5 6 5 ) 6 , -*. , Korespondensi: Jl. Raya Tanawangko Melalayangan 95115 Telp. 0437-838287 E-mail: [email protected] 119 MDVI PENDAHULUAN Istilah laki-laki yang berhubungan seks dengan lakilaki (LSL) secara luas digunakan untuk menandai perilaku seksual laki-laki yang melakukan kontak seksual dengan laki-laki lain, tanpa memandang orientasi seksual atau identitas seksual dan apakah ia juga berhubungan seks dengan perempuan.1,2 Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) tergolong kelompok berisiko tinggi terhadap infeksi virus (HIV) karena perilaku seksualnya cenderung berisiko melakukan hubungan seks anogenital tanpa kondom, serosorting, ketergantungan alkohol, dan narkoba.2-4 Epidemi IMS dan HIV berdampak besar bagi LSL. Berbagai penelitian menunjukkan prevalensi IMS dan HIV yang tinggi pada populasi ini. Di Amerika serta 57% mengidap infeksi HIV baru.5 Di Asia, LSL berkemungkinan terinfeksi HIV sebesar 18,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum; sedangkan prevalensi HIV berkisar 0-40%.3 Hasil surveilans terpadu biologi dan perilaku (STBP) pada 5 kota di Indonesia (Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, dan Surabaya) tahun 2011 menunjukkan masih tingginya prevalensi IMS pada ! "# masing-masing 21%, gonore dan infeksi klamidia rektal sebesar 33%, sertainfeksi HIV sejumlah 12%.6 Diperlukan program pencegahan dan tatalaksana komprehensif guna meningkatkan pengetahuan dan memperluas akses LSL sebagai kelompok “sulit dijangkau” dalam mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan di bidang IMS dan infeksi HIV. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai program pencegahan dan tatalaksana IMS dan infeksi HIV pada LSL, dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang perilaku berisiko dan berbagai jenis IMS pada LSL. PERILAKU BERISIKO LSL Perilaku seks LSL menjadikan populasi ini rentan terhadap transmisi IMS dan HIV. Hubungan seks berisiko, serosorting, penyalahgunaan obat, dan rasa optimis terhadap keberhasilan pengobatan turut berkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus IMS dan HIV pada LSL.7,8 . :; ; 7 <=>?8 >>@ % ><; infeksi. Permukaan daerah rektum dan kolon yang luas mempermudah penetrasi virus. Pasangan seksual reseptif berisiko terinfeksi lebih besar, pasangan seksual insertif berisiko sedang, dan pasangan yang melakukan seks secara oral berisiko minimal.7,8 Risiko kontak untuk hubungan seks anal reseptif dengan pasangan yang terinfeksi HIV sebesar 8,2/1000 sedangkan risiko kontak untuk hubungan seks anal insertif dengan pasangan yang terinfeksi HIV sebesar 0,6/1000.1 Berbagai IMS lain juga dapat ditularkan pada hubungan seks anogenital, yaitu sifilis, infeksi gonokokus, infeksi klamidia, herpes simpleks, dan hepatitis B. Infeksi )) (HPV) dapat ditularkan langsung tanpa penetrasi anus, melalui autoinokulasi dari penis ke rektum. Beberapa orang melakukan kontak anodigital (+) sebelum melakukan penetrasi yang turut meningkatkan risiko robekan lapisan rektum.1,8 Hubungan seks orogenital juga berisiko menularkan IMS dan HIV meskipun tingkat risikonya lebih rendah dibandingkan dengan hubungan seks anogenital dan genitogenital. Ejakulasi di dalam mulut dapat meningkatkan risiko infeksi, apalagi jika terdapat luka atau lesi di dalam rongga mulut.8 Beberapa infeksi lain, misalnya enteropatogen Shigella atau Salmonella dapat ditularkan melalui hubungan seks oro-anal (rimming) atau kontak anodigital (+). Dengan sedikit inokulum patogen saja, infeksi dapat terjadi.1 Serosorting Serosorting adalah perilaku seseorang untuk memilih pasangan seksual dengan status serologi HIV yang sama dan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangannya tersebut.3,9 Prevalensi serosorting di kalangan LSL berkisar antara 21% sampai 62%.3 Serosorting meningkatkan penularan HIV sebesar 79% dan IMS sebanyak 14%.10 Beberapa perilaku berisiko lain yang turut berperan dalam peningkatan kasus IMS dan HIV pada LSL adalah penyalahgunaan obat dan treatment optimism, yaitu keyakinan terhadap efektivitas antiretrovirus sehingga orang mengabaikan upaya pencegahan dan melakukan hubungan seks yang berisiko.11-13 INFEKSI MENULAR SEKSUAL PADA LSL Jenis IMS yang ditemukan pada LSL dapat bersifat asimtomatis atau simtomatis.2 Hubungan seks berisiko Hubungan seks anogenital tanpa kondom, menjadi Infeksi menular seksual lokal asimtomatis $&## ' Gonore, infeksi 9 ,, dan sifilis Lapisan rektum sangat rentan, tipis, dan mudah robek. dapat ditularkan melalui hubungan seks orogenital. Infeksi Mikrolesi sudah cukup untuk menjadi jalan masuk gonokokus dan klamidiasis umumnya tidak menimbulkan 120 Nurjanah JN, dkk. Pencegahan dan tatalaksana IMS serta infeksi HIV pada LSL gejala di rongga mulut dan keluhan di orofarings tidak khas Lubrikan bermanfaat untuk mengurangi risiko robeknya sehingga daerah tersebut sering menjadi sumber IMS yang kondom serta dapat mengurangi rasa tidak nyaman saat #'* ! ## berhubungan.3,15 anus juga sering luput dari perhatian karena tidak nyeri.1,2 Di Indonesia, program PMTS dilakukan melalui promosi kondom dan penyediaan layanan IMS. Promosi kondom telah dilaksanakan di lokasi dan kelompok komunitas yang Infeksi Menular Seksual lokal simtomatis Kurang dari 20% pasien gonore dan klamidiasis menjangkau berbagai kelompok berisiko seperti halnya LSL. menunjukkan gejala faringitis dan/atau tonsilitis. Gonore Jumlah outlet kondom telah dikembangkan sebanyak 15.000 didistribusikan setiap tahun orofarings lebih sulit diobati dibandingkan dengan gonore unit dan 20 juta kondom telah 16 secara gratis maupun berbayar. anogenital, namun berperan sebagai sumber penularan. Di daerah penis dapat terjadi uretritis gonore dan uretritis karena klamidia, herpes genitalis, sifilis primer, dan limfogranuloma venereum (LGV). Pada pasien LGV, juga ditemukan limfadenopati femoralis dan inguinalis yang berfluktuasi, papul multipel atau ulkus genitalis herpetiformis. Hubungan seks orogenital dapat menularkan infeksi patogen saluran napas misalnya Streptococci spp. dan -) )C4 Hubungan seks anogenital dapat menyebabkan uretritis E.coli.2 Hubungan seksoro-anal ## # bakteri enteropatogen Shigella atau Salmonella.1 Proktitis tersering disebabkan oleh 9 , dan ) )6 (HSV), dapat juga oleh LGV dan sifilis. Gejala proktitis berupa nyeri, dan/atau duh tubuh anus purulen, perdarahan rektum, tenesmus, diare dan/atau konstipasi.2,14 !# seks orogenital dan anogenital tanpa kondom. Hubungan seks orogenital sering dianggap kurang berisiko tertular HIV sehingga cara ini sering dilakukan oleh kalangan LSL, pada hal justru menjadi jalur penting penularan.2 Infeksi HPV terutama ditularkan melalui hubungan seks anogenital, baik pada pasangan insertif maupun reseptif. Sel basal epitel anus sangat rentan terhadap infeksi HPV. Infeksi HPV dapat juga ditularkan melalui hubungan seks orogenital, digitorektum maupun kontak dengan skrotum.1,2 Pencegahan dan tatalaksana IMS Tatalaksanaan sindrom IMS. Pendekatan IMS secara pendekatan sindrom IMS untuk LSL tidak hanya terbatas pada tanda dan gejala umum, yaitu duh tubuh uretra dan ulkus genital tetapi sebaiknya difokuskan juga pada sindrom anorektum, ulkus anus, dan duh tubuh anus. Pemeriksaan anorektum dianjurkan bagi LSL yang melakukan hubungan seks anal reseptif dalam 6 bulan terakhir dan/atau LSL dengan gejala anorektum. Jika ditemukan ulkus, diberikan terapi infeksi HSV-2, infeksi klamidia, dan gonore. Duh tubuh anus yang disertai nyeri, diberikan terapi infeksi HSV-2, sebaliknya bila tidak disertai nyeri maka kemungkinan penyebabnya adalah gonore dan infeksi klamidia sehingga diberikan terapi untuk kedua penyakit ini.3 PENCEGAHAN DAN TATALAKSANA IMS DAN INFEKSI HIV PADA LSL Untuk mengatasi epidemi IMS dan HIV yang menimbulkan beban penyakit berat pada LSL perlu pencegahan dan tatalaksana terpadu terhadap IMS dan HIV. Pencegahan melalui transmisi seksual (PMTS) 2 - 34 (WHO) merekomendasikan pemakaian kondom secara konsisten setiap melakukan hubungan seks anogenital sebagai pencegahan terhadap IMS dan HIV.3 Penggunaan kondom harus disertai lubrikan yang tepat dan tidak merusak kondom, misalnya lubrikan berbahan dasar air atau silikon. Lubrikan berbahan dasar minyak tidak dianjurkan karena dapat merusak kondom. Algoritme tatalaksana proktitis akibat infeksi menular seksual berdasarkan sindrom 2 Skrining berkala IMS asimtomatis. Semua LSL yang melakukan hubungan seksual aktif perlu dilakukan skrining 121 MDVI rutin tahunan terhadap IMS dan HIV. Bagi LSL yang sangat berisiko (banyak pasangan seksual atau lebih dari 10 pasangan seksual dalam 6 bulan, minum alkohol, memakai obat terlarang, aktif dalam “kelompok seks”, dan berwisata ke berbagai kota risiko tinggi untuk seks), dianjurkan menjalani skrining setiap 3-6 bulan atau 4 kali dalam setahun. Bagi LSLyang aktif seksual, skrining dilakukan minimal sekali setahun.2,17 Pemeriksaan infeksi gonokokus dan klamidiasis asimtomatis. Biakan gonore N. gonorrhoeae digunakan untuk menegakkan diagnosis. Sensitivitas pemeriksaan berkisar antara 72%-95% pada urin laki-laki. Kultur C. trachomatis hanya tersedia di laboratorium tertentu dan berteknologi tinggi.3 Pemeriksaan nucleic acid amplification testing (NAAT) paling sensitif untuk menegakkan diagnosis infeksi gonokokus dan klamidiasis. Bahan pemeriksaan dapat diambil dari apusan faring, uretra, rektum atau sampel urin. Keuntungan NAAT yaitu tidak membutuhkan spesimen yang banyak karena bertujuan mendeteksi RNA atau DNA pada sampel, namun diperlukan peralatan laboratorium khusus dan mahal.3 . :; ; 7 <=>?8 >>@ % ><; Pencegahan dan tatalaksana infeksi Human Konseling dan tes HIV. Untuk mendapatkan hasil yang efektif, maka konseling dan tes HIV (KTHIV) sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan promosi KTHIV. Bila hasil tes positif akan dilanjutkan dengan program tatalaksana HIV, sedangkan bila hasil tes negatif, disarankan untuk melakukan pemeriksaan kembali setelah 3 bulan. Kegiatan KTHIV dapat dilakukan secara perorang maupun melalui komunitas di luar layanan kesehatan.3 Tatalaksana infeksi HIV. Pemberian ART berdasarkan +$<=>?' Q # XYZ [>\] ^ mm3 dengan atau tanpa gejala klinis, serta stadium 3 dan 4 menurut WHO jika tidak tersedia tes untuk hitung CD4. 2). Terapi antiretrovirus diberikan pada semua orang dengan koinfeksi tuberkulosis dan hepatitis B. 3). Terapi lini pertama terdiri atas satu %, ,) inhibitor (NNRTI) dan dua , ,) inhibitors (NRTIs), dengan salah satunya berupa zidovudin (AZT) atau tenofovir (TDF). 4). Terapi lini kedua terdiri atas %& ) & (PI) + zidovudin atau tenofovir (2 NRTI), tergantung terapi yang dipakai pada lini pertama. 5). Semua pasien seharusnya dapat mengakses Pemeriksaan berkala infeksi sifilis laten. WHO pemeriksaan CD4 agar mengoptimalkan perawatan sebelum merekomendasikan pemeriksaan periodik tes serologis non dan sesudah pemberian ART. ) , & (VDRL) Kementerian Kesehatan RI sedang mengembangkan atau rapid plasma reagin (RPR) dan tes treponemal program , (SUFA), yaitu ) ) (TPHA) pada pemberian ART secara langsung begitu diketahui terinfeksi '3 HIV tanpa memandang nilai CD4, dikenal sebagai test and treat. Sesuai Surat Edaran Menkes RI No 129 Tahun 2013 Vaksinasi. Prevalensi hepatitis B pada LSL berkisar antara tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi 8 sampai 13,3%. Vaksin hepatitis B dapat mencegah infeksi Menular Seksual (IMS), inisiasi dini ART tanpa melihat HBV dengan efektivitas sebesar 95%. Vaksin diberikan nilai CD4 dapat diberikan antara lain pada LSL.20 dalam tiga dosis lengkap.3 Tahun 2014, WHO menganjurkan pemberian preVaksin )) (HPV). Di Indonesia 6) ))6 (PreP) yaitu pemberian harian obat terdapat dua jenis vaksin HPV, yaitu vaksin bivalen ART +6% ,&, terdiri atas )6 untuk mencegah HPV tipe 16 dan 18 dan vaksin fumarate (TDF) 300 mg dan emtricitabine (FTC) 200 mg kuadrivalen untuk HPV tipe 16, 18, 6, 11.18 Food and bagi individu yang belum terinfeksi HIV untuk mencegah Drug Adminsitration (FDA) dan G 9 terinfeksi HIV itu sendiri, sebagai pencegahan tambahan bagi *4 ,, (ACIP) telah merekomendasi vaksin kelompok berisiko termasuk LSL.21 HPV terbaru yaitu vaksin untuk HPV 6,11,16,18, 31, 33, 45, 52, 58. Vaksin yang disetujui oleh FDA pada tahun 2014 untuk diberikan pada laki-laki adalah vaksin kuadrivalen dan nanovalent. Vaksinasi HPV bagi laki-laki dianjurkan Intervensi spesifik pencegahan dan tatalaksana mulai usia 11 atau 12 tahun sampai 21 tahun. Untuk LSL penyalahgunaan napza suntik dapat dilakukan melalui yang belum diimunisasi atau pasien imunokompromais, intervensi psikososial dan intervensi farmakoterapi melalui vaksin masih dapat diberikan sampai usia 26 tahun. Vaksin ) dan terapi substitusi opioid.3 diberikan dalam 3 dosis.19 122 Nurjanah JN, dkk. Intervensi perilaku dapat dilakukan pada tingkat perorangan maupun komunitas, melalui internet ataupun menggunakan strategi penjangkauan di lokasi tempat pertemuan LSL dengan pasangannya (6%).3 PENUTUP Epidemik IMS dan infeksi HIV menimbulkan beban berat pada LSL sehingga perlu dilakukan pencegahan dan tatalaksana terpadu yang meliputi pencegahan terhadap transmisi seksual; pencegahan dan tatalaksana IMS melalui pendekatan sindrom IMS, skrining berkala, dan vaksinasi; pencegahan dan tatalaksana infeksi HIV; pengurangan dampak buruk napza suntik; serta intervensi perilaku dan pemberian edukasi. DAFTAR PUSTAKA 1. Mayer KH, Dieguez AC. Homosexual and bisexual behaviour in men who in relation to STDS and HIV infection. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, dkk, penyunting. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill Companies; 2008.h.203-18. 2. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2015. 3. World Health Organization. Prevention and treatment of HIV and other sexually transmitted infections among men who have sex with men and transgender people. Geneva: WHO Document Production Services, 2011. 4. Mayer KH. Sexually transmitted disease in men who have sex with men. Clin Infect Dis. 2011;53 Suppl 3:S79-83. 5. Wolitski RJ, Fenton KA. Sexual health, HIV, and sexually transmitted infections among gay, bisexual, and other men who have sex with men in the United States. AIDS Behav. 2011;15 Suppl:1-S9-17 6. Surveilans terpadu biologis dan perilaku pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia 2011. Lembar Fakta LSL. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Tahun 2011. Pencegahan dan tatalaksana IMS serta infeksi HIV pada LSL 7. Treat Asia. Handbook: Awarness and sensitivity in the promotion of sexual health among men who have sex with men – Indonesia. Jakarta. 2014. 8. National Collaborating Centre for Infectious Diseases. Evidence review: HIV prevention intervention for men who have sex with men. Canada: Public Health Agency of Canada;2008. h.2-3. 9. The Global Forum on MSM and HIV. Serosorting and strategic positioning. Oakland: MSMGF;2012. 10. Marcus U, Schimdt AJ, Hamouda O. HIV serosorting among HIV-positive men who have sex with men is associated with increased self-reported incidence of bacterial sexually transmissible infections. Sex Health. 2011;8(2):184-93. 11. Colfax G, Guzman R. Club drugs and HIV infection; a review. Clin Infect Dis. 2006;42:1463-9. 12. Taylor MM, Aynalem G, Smith LV, Montoya J, Kerndt P. Methamphetamine use and sexual risk behaviours among men who have sex with men diagnosed with early syphilis in Los Angeles County. Int J STD & AIDS. 2007;18:93-7. 13. Peterson JL, Miner MH, Brennan DJ, Rosser BR. HIV treatment optimism and sexual risk behaviors among HIV positive African American men who have sex with men. AIDS Educ Prev.2012;24:91-101. ?Z'!X|!} ~X' infections manifesting as proctitis. Frontline Gastroenterol.2013;4:32-40. 15. World Health Organization. Use and procurement of additional lubricants for male and female condoms. Geneva: Departemen of Reproductive Health and Research. 2012. 16. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2010-2014. Jakarta: KPAN, 2010. 17. STIs in Gay Men Action Group. Australian sexually transmitted infection & HIV testing guidelines for asymptomatic men who have sex with men. New South Wales: The Royal Australian College of General Practitioners. 2014. 18. Djauzi S, Rengganis I. Imunisasi human papillomavirus (HPV). Dalam: Andrijono, Indriatmi W, penyunting. Infeksi Human papillomavirus. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2013.h.189-97. 19. Petrosky E, Bocchini JA, Hariri S, Chesson H, Curtis R, Saraiya M, dkk. Use of 9-valent human papillomavirus (HPV) vaccine: update HPV vaccination recommendation of the Advisory Comittee on Imunization Practices. Atlanta: CDC. 2015. 20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Surat Edaran Menkes RI No. 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). 21. World Health Organization. Consolidated guidelines on HIV prevention, diagnosis, treatment and care for key populations. Geneva: WHO Press.2014. 123