9 hasil dan pembahasan

advertisement
9
ekstrak propolis Trigona spp. dimasukkan ke
dalam lubang. Media yang digunakan adalah
eosin
methylene
blue,
yang
sudah
diinokulasikan dengan bakteri E. coli Setelah
semua residu ekstrak propolis Trigona spp.
dimasukkan ke dalam lubang, semua cawan
petri diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24
jam. Aktivitas antibakteri dari ekstrak propolis
dari Trigona spp. diperoleh dengan mengukur
zona bening disekeliling lubang sampel
dengan jangka sorong.
Analisis Statistik
Rancangan percobaan yang digunakan
dalam percobaan adalah rancangan percobaan
acak lengkap dua faktor. Berikut ini
merupakan model rancangannya (Mattjik dan
Sumertajaya 2002).
Yijk = µ + αi+ βj+ αβij + εijk
Yijk = Pengamatan perlakuan ke-i, perlakuan
ke-j, dan ulangan ke-k
αi = Pengaruh konsentrasi (%)
βj = Pengaruh waktu kontak (jam)
αβi j= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i,
ke-j, dan ulangan ke-k
εijk = Galat perlakuan
Rancangan percobaan ini digunakan pada
pengukuran zona bening ekstrak propolis
terhadap bakteri Escherichia coli. Data yang
diperoleh akan dianalisis dengan ANOVA
(Analysis of variance) pada selang
kepercayaan 95% dan taraf α 0.05. Uji
Duncan dilakukan juka hasil penelitian
berbeda nyata. Seluruh data dianalisis dengan
menggunakan program SAS 9.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen Ekstrak Propolis
Maserasi adalah metode yang digunakan
untuk
mengekstrak propolis.
Propolis
diekstrak dari sarang lebah Trigona spp. asal
Pandeglang, Jawa Barat. Maserasi merupakan
teknik ekstraksi yang dilakukan untuk bahan
yang tidak tahan panas. Pemanasan pada suhu
tinggi akan merusak komponen aktif di dalam
propolis seperti flavonoid yang berfungsi
sebagai agen antimikrob.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
propolis adalah etanol 70%. Etanol 70% dapat
digunakan untuk mengekstrak flavonoid
(Harborne 1987). Flavonoid merupakan
komponen aktif terbanyak dan terpenting di
dalam propolis (Chinthapally 1993). Etanol
merupakan golongan alkohol dengan jumlah
atom karbon dua dan mempunyai nilai
kepolaran 0.68 (Moyler dalam Ashurst 1995).
Keuntungan penggunaan etanol sebagai
pelarut adalah mempunyai titik didih yang
rendah sehingga lebih mudah menguap. Oleh
karena itu, jumlah etanol yang tertinggal di
dalam ekstrak propolis sangat sedikit. Krell
(2004) menyatakan bahwa etanol 70%
merupakan pelarut terbaik ekstraksi propolis
untuk digunakan sebagai agen antibakteri dan
fungisida.
Penggunaan
etanol
70%
dapat
memperkecil jumlah lilin lebah yang ikut
terekstrak. Lilin lebah merupakan suatu ester
asam lemak dan alkohol dengan rantai karbon
yang panjang (Fearnley 2005). Rantai karbon
panjang membuat lilin lebah bersifat nonpolar
dan tidak larut dalam pelarut polar seperti
etanol 70%. Hasil ekstraksi menunjukkan nilai
rendemen propolis yang didapatkan sebesar
8.81%.
Nilai kandungan ekstrak propolis asal
Pandeglang yang didapatkan
Anggraini
(2006) sebesar 8.20%, Lasmayanty (2007)
8.52%, dan Tukan (2008) 25.8417%. Nilai
kandungan
propolis yang berbeda-beda
bergantung pada jenis tumbuhan tempat
lebah Trigona spp. mendapatkan bahan baku
propolis, musim, dan lokasi geografi tempat
pengambilan propolis (Bankova et al. 2007
dalam Fatoni 2008).
Ekstraksi oleh Bankova (1999) terhadap
propolis asal Brazil dan Bulgaria dengan
pelarut etanol 70% menghasilkan rendemen
58% dan 62%. Nilai yang jauh berbeda
dengan ekstraksi penelitian ini disebabkan
perbedaan iklim dan perlakuan awal terhadap
sarang lebah. Penelitian ini tidak memotong
sarang lebah madu Trigona spp. menjadi
bagian yang kecil-kecil setelah dimasukkan ke
dalam freezer seperti yang dilakukan Bankova
(1999). Kestabilan propolis dan senyawa aktif
yang terkandung menjadi alasan utama.
Perbedaan
kandungan
propolis
berdasarkan daerah asal diperkuat dengan
penelitian (Faten 2002) yang menyatakan
bahwa kandungan propolis asal daerah sekitar
delta Sungai Nil berbeda-beda. Mereka
melaporkan bahwa rendemen ekstrak propolis
yang didapatkan di daerah delta Sungai Nil,
yaitu Dakahlia, Ismalia, dan Sharkia berturutturut 0.80, 0.33, dan 0.40 g untuk tiap satu
gram sarang lebah. Nilai rendemen propolis
yang berbeda-beda dipengaruhi oleh metode
ekstraksi, pelarut yang digunakan, warna
filtrat hasil maserasi, dan kandungan zat aktif
dalam sarang lebah. Kondisi fisik propolis
hasil maserasi penelitian berbentuk pasta
lengket,
berwarna
coklat
tua-coklat
10
kekuningan, berbau gula aren, dan berasa
pahit. Propolis dengan warna yang lebih gelap
menghasilkan rendemen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan warna yang lebih muda
(Woo 2004).
Ekstrak propolis Pandeglang yang
diperoleh disimpan di dalam botol gelap pada
suhu tidak kurang dari 10-12 °C, dan dihindari
dari pemanasan langsung karena akan
merusak komponen aktif propolis (Krell
2004).
Mikrokapsulasi Propolis
Mikrokapsulasi adalah metode yang
digunakan untuk mengubah pasta ekstrak
propolis menjadi bentuk padat. Tujuan
mikrokapsulasi propolis adalah melindungi
senyawa aktif propolis dari cairan rumen sapi,
dapat meningkatkan penyerapan pada usus
sapi, dan
menghindari iritasi saluran
pencernaan akibat pelepasan obat yang tak
terkendali
(Babstov
2002).
Pelepasan
komponen aktif propolis dirumen sapi
dihindari
karena
dapat
menghambat
pertumbuhan mikrob penghasil asam lemak
terbang. Asam lemak terbang dapat digunakan
menjadi sumber energi. Salah satu asam
lemak terbang, yaitu asam propionat. Asam
propionat dapat dipakai sebagai sumber energi
melalui pengubahannya menjadi glukosa
melalui proses glukoneogenesis. Jalur masuk
yang digunakan melalui suksinil-KoA.
Mikrokapsul propolis asal Pandeglang dibuat
dengan melarutkan dua campuran A dan B.
Campuran A (maltodekstrin dan akuades)
sedangkan campuran B (ekstrak propolis dan
Propilen glikol).
Bahan penyalut yang digunakan adalah
maltodekstrin. Maltodekstrin adalah suatu
produk hidrolisis pati yang mengandung α-Dglukosa unit yang sebagian besar terikat 1,4glikosidik dengan
nilai
DE (dextrose
equivalent) kurang dari 20 (Kennedy 1995 et
al. dalam Simanjuntak 2007), DE adalah
perbandingan dekstrosa total dengan jumlah
total bahan kering. Alasan pemilihan
maltodekstrin sebagai bahan penyalut adalah
larut dalam air, murah, tidak mempunyai
sifat lipofilik, tidak higroskopis, mempunyai
daya rekat, dan dapat membentuk matriks
hidrogel (Kennedy 1995 et al. dalam
Simanjuntak 2007). Penggunaan akuades
dalam campuran A adalah untuk melarutkan
maltodekstrin. Maltodekstrin akan melindungi
komponen aktif propolis dari cairan rumen
sekaligus mencegah pelepasan propolis dari
maltodekstrin
ke
dalam
cairan
rumen.Campuran B dibuat dengan melarutkan
propilen glikol dan ekstrak pekat propolis
dengan perbandingan 1:1. Propilen glikol
digunakan untuk melarutkan ekstrak pekat
propolis
Pandeglang
sehingga
dalam
pencampuran dengan campuran A lebih
mudah. Propilen glikol merupakan salah satu
pelarut yang biasa digunakan untuk
melarutkan propolis di dalam dunia farmasi
dan kosmetik (Tosi et al. dalam Fatoni 2008).
Keseragaman pencampuran menjadi
faktor penting dalam pembuatan mikrokapsul.
Campuran yang belum melarut dengan
sempurna
akan
menyebabkan
ukuran
mikrokapsul yang terbentuk tidak seragam
dan menyebabkan bahan inti atau komponen
aktif tidak tersalut sempurna oleh bahan
penyalut. Pemanasan digunakan hanya untuk
mempercepat kelarutan campuran A dan B.
Suhu pemanasan tidak melebihi 50-60°C.
Pemanasan yang terlalu tinggi akan merusak
komponen aktif agen antimikrob propolis
seperti flavonoid.
Setelah kedua campuran A dan B
bercampur, tahap berikutnya adalah teknik
pengeringan. Teknik pengeringan yang
digunakan
adalah
vacuum
drying
(pengeringan vakum). Alat yang dipakai
dalam proses vacuum drying adalah vaccum
pan evaporator yang terdapat di PAU IPB.
Spesifikasi komponen alat yang dipakai, yaitu
pemanas listrik 14.000 watt, pompa vakum
750 watt, kecepatan pengaduk 125 rpm,
panjang rotor satu cm, diameter baling-baling
20 cm, suhu 40-50°C, dan tekanan vakum 72
cmHg. Alasan pemilihan teknik vacuum
drying adalah teknik ini cocok untuk
melindungi senyawa aktif propolis seperti
flavonoid, yang berperan sebagai antimikrob.
Hal ini dikarenakan suhu yang digunakan
pada proses ini tidak akan merusak komponen
aktif propolis.
Ukuran mikrokapsul yang dihasilkan
sangat dipengaruhi oleh kecepatan dan lama
pengadukan (Sutriyo et al. 2004). Pengadukan
yang cepat akan menghasilkan ukuran
mikrokapsul yang kecil, begitupun sebaliknya.
Kecepatan pengadukan yang digunakan dalam
penelitian ini 120 rpm selama 3 jam.
Kecepatan tersebut lebih rendah dari
kecepatan yang digunakan pada penelitian
Sutriyo et al. (2004), yaitu 3000 rpm selama
3 jam. Kecepatan pengadukan yang lebih
rendah dari penelitian Sutriyo et al. (2004)
mengakibatkan ukuran mikrokapsul propolis
yang dihasilkan diduga lebih besar.
Mikrokapsul propolis Trigona spp. yang
dihasilkan berwarna kuning kecoklatan. Hasil
11
mikrokapsulasi baik konsentrasi 2% maupun
4% dapat dilihat pada Gambar 4.
Metode
yang
digunakan
dalam
pembuatan mikrokapsul adalah penguapan
pelarut (Lachman 1994). Teknik pengeringan
yang dilakukan adalah teknik pengeringan
vakum (vacuum drying). Pengeringan
dilakukan untuk menghilangkan akuades dan
propilen glikol yang terlarut. Prinsip teknik
vacuum drying adalah dengan menarik
propilen glikol dan akuades keluar dari
campuran menggunakan suhu sekitar 40°C.
Mikrokapsul yang telah dimikrokapsul terdiri
atas komponen aktif propolis sebagai bahan
inti di dalam maltodekstrin sebagai bahan
penyalut. Ukuran mikrokapsulasi propolis 4%
diduga
akan
lebih
besar
daripada
mikrokapsulasi propolis 2%.
Semakin
bertambah konsentrasi penyalut etilselulosa
pada formulasi maka ukuran mikrokapsul
yang dihasilkan akan semakin besar (Sutriyo
2004). Penelitian tidak menguji hasil
Scanning Electron Micrograph (SEM)
formula mikrokapsulasi propolis dengan
maltodekstrin.
(a)
Gambar 4
(b)
Hasil mikrokapsulasi
propolis
Trigona spp. 2% (a) dan 4% (b).
Uji Ketahanan Mikrokapsulasi Propolis
Trigona spp.
Uji ketahanan mikrokapsulasi propolis
asal Pandeglang, Jawa Barat dilakukan secara
in vitro, yaitu pada kondisi rumen sapi dewasa
asal Lampung. Pengambilan cairan rumen
sapi dilakukan pada jam 03.00-05.00 WIB di
Rumah Potong Hewan terpadu Bogor. Suhu
cairan rumen segar yang terukur 34°C dan
suhu cairan rumen 3 jam setelah pengambilan
turun menjadi 26°C sedangkan nilai pH
terukur berkisar 7-8 menggunakan indikator
universal. Nilai pH dan suhu cairan rumen
sapi sebagai media uji ketahanan sangat
berpengaruh
terhadap
kelarutan
hasil
mikrokapsulasi propolis atau kapsulnya. Hasil
penelitian Yundhana (2008) menyatakan
bahwa pelepasan ketoprofen sebagai bahan
aktif obat lebih besar pada pH asam daripada
pH basa. Semakin tinggi suhu maka laju
pelepasan
propolis
dari
penyalut
maltodekstrin akan semakin besar.
Uji ketahanan mikrokapsulasi propolis
pada penelitian menggunakan alat uji
ketahanan yang berbentuk keranjang. Desain
alat ini merupakan alat disolusi tipe pertama.
Penggunaan rumen menjadi alasan utama
tidak dipakainya alat disolusi tipe pertama
(keranjang) tersebut. Keranjang digunakan
untuk menyanggah kapsul yang berisi
komponen hasil mikrokapsulasi propolis
Pandeglang. Desain keranjang uji dapat dilihat
pada Lampiran 15. Media uji ketahanan yang
digunakan adalah 100 mL cairan rumen sapi
segar di dalam Labu Erlenmeyer 125 mL.
Kondisi uji ketahanan diusahakan mendekati
dengan kondisi di dalam rumen sapi hidup,
yaitu dengan menggunakan wisebath pada
suhu 37°C dan 120 rpm.
Sampel uji ketahanan terdiri atas dua
macam konsentrasi mikrokapsulasi propolis
Pandeglang, yaitu 2 dan 4%. Tiap-tiap ukuran
kapsul diisikan dengan hasil mikrokapsulasi 2
dan 4% baik kapsul ukuran 00 maupun 1.
Propolis
merk-X
digunakan
sebagai
pembanding. Kontrol yang digunakan, yaitu
akuades, propilena glikol, etanol 70%, kapsul
ampisilin, dan rumen normal. Akuades
dipakai sebagai kontrol negatif, propilena
glikol dan etanol 70% dipakai sebagai kontrol
pelarut, ampisilin dipakai sebagai kontrol
positif, dan propolis merk X dipakai sebagai
pembanding. Alasan pemakaian kapsul
ampisilin sebagai kontrol positif
karena
ampisilin mempunyai spektrum yang luas
terhadap berbagai bakteri Gram positif dan
negatif. Kontrol pelarut dipakai untuk
mengetahui pengaruh pelarut dalam ekstrak
pekat propolis.
Kapsul yang digunakan berasal dari PT
Kapsulindo Nusantara berasal dari gelatin
sapi. Kapsul yang digunakan dalam penelitian
termasuk kapsul tipe B, yaitu kapsul yang
berasal dari kulit dan tulang sapi. Penggunaan
keranjang kapsul hanya pada sampel.
Pengamatan
dilakukan
untuk
melihat
ketahanan hasil mikrokapsul dalam masingmasing ukuran kapsul. Parameter pertama
yang diamati adalah waktu leburnya semua
ukuran kapsul sedangkan parameter kedua
pengukuran zona bening dilakukan dengan
menggunakan
metode
difusi
sumur.
Pengamatan pada jam ke-0, semua kapsul
baik kapsul 00 dan 1 belum melebur. Semua
kapsul baru melebur pada jam ke-3. Hal ini
ditandai dengan berubahnya warna cairan
rumen akibat bercampur dengan pewarna
kapsul yang ikut terurai. Warna cairan rumen
yang telah bercampur dengan pewarna
kapsul lebih gelap daripada rumen awal.
12
Ansel (1989) menyatakan bahwa kapsul
gelatin dalam udara bersifat stabil akan tetapi
mudah mengalami penguraian oleh mikrob
dan apabila disimpan dalam larutan berair.
Pecahnya
kapsul
gelatin
diakibatkan
masuknya air dari cairan rumen sehingga
kapsul gelatin mengembang dan pada
akhirnya pecah. Penyusun kapsul gelatin keras
biasanya adalah gelatin yang terdiri atas
kombinasi beberapa asam amino seperti
glisin, prolin, dan hidroksiprolin (Poppe 1992
dalam Nurhasanah 2005). Kombinasi asamasam amino tersebut dapat diuraikan oleh
mikrob pendegradasi asam amino dan protein
dalam rumen sapi sehingga gelatin penyusun
kapsul akan hancur. Kestabilan gelatin juga
sangat dipengaruhi oleh suhu, Rahmawati
(2000) melaporkan bahwa gelatin dapat
membentuk gel pada media berair suhu 3045°C.
Residu Aktivitas Antibakteri Propolis
Trigona spp.
Metode yang digunakan adalah metode
difusi sumur. Pengukuran aktivitas antibakteri
propolis dilakukan dengan mengukur zona
bening yang dihasilkan. Media uji yang
digunakan adalah media EMB. Media EMB
adalah media spesifik yang digunakan untuk
isolasi dan diferensiasi bakteri Enteric basilli
(Holt 2004). Komposisi media EMB, yaitu
enzim pemecah gelatin, kalium fosfat,
pewarna (eosin Y dan biru metilena), laktosa,
sukrosa, dan agar. Gelatin digunakan sebagai
sumber nitrogen. Bakteri Gram positif
dihambat pada media EMB. Pada pH asam,
bakteri yang dapat memfermentasi laktosa
seperti E. coli mampu menghasilkan koloni
berwarna hijau metalik, tetapi tidak semua
strain E. coli. Koloni E. coli pada penelitian
tidak terlihat hijau. Hal ini disebabkan tidak
mampunya koloni E. coli pada penelitian ini
memfermentasi laktosa menjadi produk asam
organik. Eosin Y dan biru metilena hanya
dapat membentuk kompleks pada nilai pH
asam (Holt 2004).
Segera setelah kapsul melebur pada jam
ke-3, mikrokapsul propolis Pandeglang
terpapar dengan cairan rumen. Zona bening
yang
diukur
merupakan
parameter
berdifusinya komponen aktif propolis
melewati matriks penyalut maltodekstrin.
Pelepasan propolis dari matriks maltodekstrin
dikontrol oleh proses difusi propolis melalui
matriks dan penyebaran propolis di dalam
maltodekstrin. Propolis yang berada di
permukaan maltodekstrin akan berdifusi
terlebih dahulu dibandingkan dengan propolis
di rongga bagian dalam maltodekstrin.
Residu Aktivitas Antibakteri Propolis
Ukuran Kapsul 00
Bobot
hasil
mikrokapsul
yang
dimasukkan ke dalam kapsul 00 sekitar 390
mg. Hasil pengamatan zona bening kapsul
ukuran 00. Zona bening mulai muncul pada
jam ke-12 dan ke-24. Pada jam ke-0 sampai
jam ke-9 zona bening tidak muncul. Hal ini
dapat disebabkan komponen aktif masih
berada di dalam matriks maltodekstrin.
Kecepatan pelepasan yang relatif lambat
dapat
disebabkan
ketidakseragaman
penyebaran komponen propolis di dalam
matriks
maltodekstrin
pada
saat
mikrokapsulasi propolis.
Komponen aktif propolis yang berada
dekat dengan permukaan matriks akan
berdifusi pertama kali (Sutriyo et al. 2004). Di
duga pada jam ke-0 sampai ke-9, komponen
aktif propolis tersebar di bagian dalam matriks
maltodekstrin sehingga laju difusi keluarnya
lambat. Penggunaan kapsul juga akan
memperlambat
laju pelepasan komponen
aktif propolis Pandeglang pada jam-jam awal
uji ketahanan terhadap rumen sapi.
Grafik (Gambar 5) memperlihatkan
rerata semua perlakuan pada kapsul ukuran
00. Secara umum nilai rerata zona bening
akan meningkat seiring dengan bertambahnya
waktu kontak kecuali ampisilin. Nilai rerata
zona bening tertinggi jam ke-12, yaitu pada
sampel propolis merk-X. Nilai rerata zona
bening tertinggi pada jam ke-24 terjadi pada
sampel mikrokapsulasi 4% tanpa kapsul
sebesar 1.155 cm. Nilai rerata zona bening
mikrokapsulasi 4% tanpa kapsul 1.155 cm
lebih tinggi daripada nilai rerata zona bening
mikrokapsulasi 4% dengan kapsul sebesar
1.030 cm. Aktivitas antibakteri yang berbeda
disebabkan adanya perlindungan kapsul
gelatin keras terhadap komponen aktif
propolis pada jam-jam awal perlakuan.
Kecenderungan
penurunan
aktivitas
antibakteri dari komponen aktif propolis
seperti flavonoid untuk ukuran kapsul 00 (390
mg) tidak terjadi. Akan tetapi, apabila waktu
kontak diperpanjang, diduga pada jam lebih
tinggi dari jam ke-24 akan terjadi penurunan
daya antibakteri komponen aktif propolis. Hal
ini ditandai dengan menurunnya rerata zona
bening yang dihasilkan. Hasil uji pengukuran
zona bening dapat dilihat pada Lampiran 10.
Berdasarkan hasil statistik yang diperoleh
bahwa pada ukuran kapsul 00, kombinasi
faktor konsentrasi mikrokapsul propolis dan
13
waktu kontak pada cairan rumen sapi tidak
mempengaruhi perubahan aktivitas antibakteri
propolis. Hal ini dapat dilihat dari nilai P>
0.05 nilai P = 0.8776.
Gambar 5
Diameter zona bening semua
perlakuan
konsentrasi:
mikrokapsulasi propolis dengan
kapsul 2% ( ) dan 4% ( ),
mikrokapsulasi propolis tanpa
kapsul 2% ( ) dan 4% ( ),
propolis merk-X ( ), dan kapsul
ampisilin ( ).
Pengaruh
Konsentrasi
Mikrokapsul
Propolis pada Kapsul Ukuran 00
Konsentrasi mikrokapsul propolis yang
digunakan, yaitu 2% dan 4%. Rerata diameter
zona bening untuk konsentrasi 2% mengalami
kenaikan dari 0.3682 menjadi 0.7610 cm.
begitupula dengan konsentrasi 4% naik dari
0.3387 menjadi 0.9390 cm (Gambar 6).
Kenaikan nilai rerata diameter zona bening
menandakan
adanya
aktivitas
difusi
komponen aktif propolis keluar dari matriks
maltodekstrin yang akan semakin bertambah
seiiring dengan bertambahnya waktu dan
konsentrasi zat aktifnya. Hal ini mendukung
penelitian Anggraini (2006) bahwa semakin
besar konsentrasi propolis yang dipakai maka
nilai diameter zona bening yang dihasilkan
semakin besar (Pelczar & Chan 1988).
Konsentrasi propolis 2% dan 4%
digunakan berdasarkan nilai konsentrasi
hambat tumbuh minimum propolis terhadap
bakteri patogen dan tidak patogen di usus sapi
berturut-berturut 2.04% dan 5.90% (Fatoni
2008; Tukan 2008). Zona bening yang
dihasilkan oleh mikrokapsul propolis 2%
lebih sedikit dengan mikrokapsul propolis 4%.
Akan tetapi, berdasarkan nilai statistik yang
diperoleh, pengaruh konsentrasi tidak berbeda
nyata atau tidak berpengaruh terhadap
perubahan rerata diameter zona bening yang
dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari nilai P =
0.726 (P>0.05). Interaksi antara faktor waktu
perlakuan dengan konsentrasi mikrokapsulasi
yang digunakan juga tidak berpengaruh
terhadap zona bening yang digunakan P=
0.836.
Gambar 6
Diameter
zona
bening
konsentrasi
mikrokapsul
propolis dengan kapsul: 2%
( ) dan 4% ( ) ukuran kapsul
00.
Pengaruh Kapsul Gelatin Keras pada
Kapsul Ukuran 00
Ukuran kapsul gelatin keras yang dipakai
adalah 00. Ukuran 00 lebih besar daripada
ukuran kapsul 1. Kapasitas kapsul ukuran 00
adalah 390 mg. Dosis yang dimasukkan ke
dalam kapsul 00 lebih banyak dengan kapsul
1. Nilai rerata zona bening yang dihasilkan
semakin tinggi dengan bertambahnya waktu
kontak. Akan tetapi, berdasarkan uji statistik
interaksi antara faktor perlakuan waktu kontak
dengan perlindungan kapsul tidak berbeda
nyata P = 0.795. Nilai rerata diameter zona
bening mikrokapsulasi 2% naik dari 0.3388
menjadi 0.9789 cm begitupula dengan
mikrokapsulasi 2% dalam kapsul naik dari
0.3082 menjadi 0.7610 cm (Gambar 7).
Pelepasan komponen aktif propolis pada
ukuran kapsul 00 diduga baru terjadi di jam
ke-12, hal ini terlihat dari nilai rerata zona
bening yang masih kecil. Kapsul berperan
menghambat komponen aktif keluar lebih
cepat. Hal ini dapat dilihat dari nilai rerata
zona bening mikrokapsul 2% tanpa kapsul
yang lebih tinggi pada jam ke-12 maupun jam
ke-24. Pengaruh perlakuan kapsul pada
mikrokapsul
2%
tidak
memberikan
pengaruh yang nyata P = 0.690.
Hal yang sama pun terjadi pada
mikrokapsulasi 4% dan mikrokapsulasi 4%
dalam kapsul. Kapsul mampu memperlambat
pengeluaran komponen aktif propolis. Hal ini
terlihat dari rerata diameter zona bening
mikrokapsul 4% tanpa kapsul lebih besar bila
dibandingkan dengan yang terlindungi dengan
14
kapsul. Akan tetapi, berdasarkan nilai statistik
yang diperoleh, pengaruh perlakuan kapsul
tidak berbeda nyata atau tidak berpengaruh
terhadap perubahan rerata diameter zona
bening yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat
dari nilai P = 0.859 (P>0.05). Interaksi faktor
perlakuan pengkapsulan dan waktu kontak
juga tidak berpengaruh terhadap perubahan
daya aktivitas antibakteri propolis P = 0.873.
Hal ini dipertegas dari uji ketahanan
penelitian ini bahwa semua kapsul gelatin
keras akan melebur pada jam ke-3.
(a)
(b)
Gambar 7
Diameter
zona
bening
mikrokapsulasi tanpa kapsul
( ) dan dengan kapsul ( ):
konsentrasi 2% (a) dan 4% (b).
Residu Aktivitas Antibakteri Propolis
Ukuran Kapsul 1
Kapasitas ukuran kapsul 1 227 mg.
Pelepasan zona bening untuk semua perlakuan
pada kapsul ukuran 1 terjadi mulai pada jam
ke-3 sampai jam ke-24 (Gambar 8). Hasil
pengamatan jam ke-3 pada kapsul ukuran 1
menunjukkan hanya mikrokapsulasi 2 dan 4%
saja yang mempunyai zona bening, yaitu
sebesar 4.99 cm dan 6.89
cm. Tidak
munculnya zona bening pada kapsul 2% dan
4% diakibatkan pengaruh perlindungan dari
kapsul gelatin keras yang meminimalkan
kontak mikrokapsulasi propolis dengan cairan
pada jam-jam awal perlakuan. Propolis merkX pada jam ke-3 pun tidak ada zona bening
yang terbentuk. Hal ini disebabkan oleh
adanya perlindungan dari kapsul gelatin lunak
terhadap isi dari propolis merk-X.
Zona bening
pada jam ke-6 untuk
mikrokapsul
propolis
dengan
kapsul
konsentrasi 2% dan 4% berturut-turut 0.910
cm dan 0.103 cm. Hal ini menandakan
mikrokapsul propolis konsentrasi 2% dan 4%
yang berdifusi keluar semakin besar.
Sehingga, nilai zona bening yang terbentuk
semakin besar. Akan tetapi, hal ini sangat
tergantung keseragaman cara pengambilan
sampel dari Labu Erlenmeyer. Peningkatan
diameter zona bening jam ke-6 juga diikuti
oleh mikrokapsul propolis 2% dan 4% sebesar
0.776 cm dan 0.104 cm. Hal berbeda
ditemukan pada propolis merk-X yang tidak
menunjukkan adanya zona bening. Hal ini
disebabkan
ketidakseragaman
cara
pengambilan sampel pada Labu Erlenmeyer
dan juga dipengaruhi oleh kestabilan kapsul
gelatin lunak terhadap cairan rumen.
Zona bening juga nampak pada jam ke-9
ukuran kapsul 1 untuk semua perlakuan
kecuali kapsul 4%. Tidak adanya zona bening
pada kapsul
4% dipengaruhi oleh
ketidakseragaman
pengambilan
sampel,
kurangnya volume sampel yang diambil, dan
terlalu tingginya permukaan agar EMB (eosyn
methylene blue) yang terbentuk. Terlalu
tingginya media EMB yang terbentuk dapat
menghambat proses difusi propolis pada
EMB. Berturut-turut nilai diameter zona
bening untuk kapsul 2%, mikrokapsul 2 dan
4%, dan merk-X adalah 0.722, 0.488, 0.611,
dan 0.641 cm. Perlakuan jam ke-12, hanya
kapsul 1 untuk mikrokapsul propolis 4% saja
yang mempunyai zona bening dengan besar
diameter sebesar 0.564 cm. Perlakuan jam ke24 zona bening yang dihasilkan jauh lebih
kecil dari jam ke-6. Nilai zona bening
perlakuan jam ke-24 berturut-turut untuk
mikrokapsul propolis dengan kapsul 2% dan
4%, mikrokapsul propolis tanpa kapsul 2%
dan 4%, serta propolis merk-X adalah 0.369,
0.338, 0.337, dan 0.613 cm.
Berbeda dengan ukuran kapsul 00,
pelepasan komponen aktif propolis pada
ukuran kapsul 1 terjadi mulai pada jam ke-3.
Hal ini disebabkan mikrokapsulasi yang
digunakan telah mengalami perubahan akibat
oksidasi oleh oksigen. Hal ini berhubungan
dengan cara penyimpanan dan selang waktu
uji ketahanan untuk ukuran kapsul 1, yang
15
dilakukan tiga minggu setelah uji ketahanan
ukuran kapsul 00.
Gambar 8
waktu kontak dengan cairan rumen sapi. Uji
statistik memperlihatkan bahwa kombinasi
perlakuan perbedaan konsentrasi dan waktu
kontak
sangat
berpengaruh
terhadap
perubahan diameter zona bening yang
dihasilkan. Nilai P = 0.008 (P<0.05)
menandakan minimal ada satu kombinasi
perlakuan berbeda nyata. Penulis menduga
salah satu kombinasi perlakuan ini terlihat
pada jam ke-6 seperti terlihat dari grafik
(Gambar 9).
Diameter zona bening semua
perlakuan konsentrasi ukuran
kapsul
1:
mikrokapsulasi
propolis dengan kapsul 2% ( )
dan 4% ( ), mikrokapsulasi
propolis tanpa kapsul 2% ( )
dan 4% ( ), propolis merk-X
( ), dan kapsul ampisilin ( ).
Pengaruh
Konsentrasi
Mikrokapsul
Propolis pada Kapsul Ukuran 1
Konsentrasi mikrokapsul propolis yang
dipakai, yaitu 2% dan 4%. Nilai rerata
diameter zona bening Mikrokapsul propolis
2% dengan kapsul pada jam ke-6 lebih rendah
dibandingkan dengan mikrokapsul propolis
4% dengan kapsul. Akan tetapi, pada jam ke9 nilai rerata untuk konsentrasi mikrokapsul
2% dengan kapsul turun menjadi 0.722 cm.
Hal ini disebabkan penurunan daya aktivitas
antibakteri propolis akibat dari pengaruh pH
cairan rumen, oksidasi komponen aktif
propolis pengaruh oksigen, dan suhu cairan
rumen sapi yang dapat menyebabkan
menurunnya efek sinergisme dari senyawasenyawa aktif propolis yang berperan sebagai
agen antimikrob (Krell 2004). Selain itu,
penurunan aktivitas antibakteri propolis dapat
disebabkan pula oleh menurunnya aktivitas
komponen aktif propolis seperti flavonoid
(Havsteen 2002 dalam Sabir 2005). Hasil
penelitian berlawanan dengan penelitian Sabir
A (2005) bahwa aktivitas antibakteri fraksi
flavonoid dari ekstrak propolis Trigona spp
Bulukumba, Sulawesi Utara. terhadap
Streptococcus mutans akan semakin tinggi
seiiring dengan bertambahnya waktu inkubasi.
Kenaikan nilai rerata diameter zona
bening jam ke-6 menandakan adanya aktivitas
difusi komponen aktif propolis keluar dari
penyalut maltodekstrin yang akan semakin
bertambah seiiring dengan bertambahnya
Gambar 9
Diameter
zona
bening
mikrokapsulasi propolis dengan
kapsul: 2% ( ) dan 4% ( )
kapsul ukuran 1.
Pengaruh Kapsul Gelatin Keras pada
Kapsul Ukuran 1
Ukuran kapsul gelatin keras yang dipakai
adalah ukuran 1, dengan kapasitas kapsul
sebesar 227 mg. Grafik (A) pada Gambar 10,
memperlihatkan perbandingan nilai rerata
zona bening mikrokapsul 2% dengan atau
tanpa kapsul. Diameter zona bening mulai
terjadi pada jam ke-3 perlakuan. Mikrokapsul
propolis 2% tanpa kapsul sebesar 4.99 cm.
Akan tetapi, zona bening pada jam ke-3 tidak
terjadi pada mikrokapsul 2% dengan kapsul.
Kapsul gelatin keras mampu memperlambat
pengeluaran komponen aktif propolis pada
jam-jam awal perlakuan. Kemudian, pada jam
ke-6 terlihat kenaikan nilai rerata diameter
zona
bening
yang
dihasilkan
pada
mikrokapsul propolis 2%
tanpa kapsul
menjadi 0.776 cm. Zona bening pada
mikrokapsul propolis 2% dengan kapsul baru
terjadi pada jam ke-6, yaitu sebesar 0.910 cm.
Penulis
menduga
pengeluaran
pada
mikrokapsul propolis 2% yang terlindung
kapsul, terjadi secara serentak sehingga
nilainya lebih besar bila dibandingkan dengan
pengeluaran awal dari mikrokapsul propolis
2% tanpa kapsul sebesar 0.499 cm pada jam
ke-3.
16
Zona bening pada mikrokapsul propolis
4% tanpa kapsul mulai terjadi pada jam ke-3
dengan nilai 0.689 cm sedangkan untuk
mikrokapsul propolis 4% dengan kapsul mulai
terjadi pada jam ke-6 sebesar 1.30 cm.
Pelepasan pada mikrokapsul propolis 4%
tanpa kapsul terjadi secara perlahan-lahan
tergantung kemampuan difusi komponen aktif
propolis melewati matriks maltodekstrin,
sedangkan
pelepasan
komponen
aktif
mikrokapsul 4% dengan kapsul terjadi secara
serentak hal ini disebabkan banyak komponen
aktif propolis tersebar di permukaan matriks
maltodekstrin. Sehingga laju pengeluaran
lebih cepat. Alasan pengeluaran komponen
aktif baru terjadi pada jam ke-6 pada
mikrokapsul propolis 4% dengan kapsul
karena adanya perlindungan dari kapsul
gelatin keras. Kapsul gelatin keras baru
hancur pada jam ke-3. Hal ini berdasarkan uji
ketahanan kapsul.
Nilai rerata zona bening pada jam ke-9
sampai jam ke-24 mengalami penurunan baik
untuk mikrokapsul propolis 2% dengan atau
tanpa kapsul. Uji statistik memperlihatkan
bahwa kombinasi perlakuan perbedaan
konsentrasi dan waktu kontak sangat
berpengaruh terhadap perubahan diameter
zona bening yang dihasilkan. Nilai P = 0.008
(P<0.05) bearti minimal ada satu kombinasi
perlakuan berbeda nyata. Perbedaan zona
bening mikrokapsul propolis dengan atau
kapsul untuk konsentrasi 2% dan 4% dapat
dilihat pada Gambar 10.
(a)
(b)
Gambar 10 Diameter
zona
bening
mikrokapsulasi
tanpa kapsul
(
) dan dengan kapsul ( ) :
konsentrasi 2% (a) dan 4% (b).
Interaksi Konsentrasi, Waktu Kontak, dan
Ukuran
Kapsul
terhadap
Aktivitas
Antibakteri Propolis
Aktivitas antibakteri dari propolis
Pandeglang
penelitian
mengalami
kecenderungan naik turun. Lain halnya jika
dibandingkan dengan aktivitas antibakteri
yang terjadi pada manusia, semakin lama
waktu uji disolusi suatu senyawa aktif obat,
seperti ketoprofen maka semakin besar pula
ketoprofen yang dilepaskan (Tiyaboonchai &
Ritthidej 2003 dalam
Yundhana 2008).
Pelepasan komponen aktif sangat ditentukan
oleh stabilitas bahan penyalut. Pemecahan
penyalut dapat terjadi karena beberapa faktor,
yaitu tekanan, gaya abrasi, dan perubahan
permeabilitas secara enzimatis (Lachman
1994). Hasil statistik menunjukkan tidak ada
pengaruh kombinasi dari interaksi konsentrasi
mikrokapsul, waktu kontak, dan ukuran
kapsul terhadap zona bening yang dihasilkan.
Hal ini dapat dilihat dari nilai P > 0.05, yaitu
0.8083. Hal ini disebabkan
tidak
menyebarnya data zona bening yang
didapatkan.
Nilai kecenderungan zona bening yang
naik turun sangat dipengaruhi oleh kestabilan
propolis dalam rumen sapi selama uji
ketahanan. Salah satu faktor yang sangat
berpengaruh adalah oksigen dari lingkungan.
Oksigen akan mengoksidasi komponen aktif
propolis seperti flavonoid, tanin, dan alkaloid.
Pengaruh oksigen sangat terlihat ketika proses
pembuatan mikrokapsul propolis dan saat
pengisian hasil mikrokapsul propolis ke dalam
kapsul gelatin keras.
Secara umum, proses pelepasan propolis
dari kapsul gelatin keras terjadi pada jam ke12 untuk kapsul 00 (390 mg) dan jam ke-6
kapsul 1 (227 mg). Hasil penelitian ini
mendukung pernyataan yang dikemukakan
oleh Lachman (1994), selang waktu uji
ketahanan bentuk sediaan diperpanjang, yaitu
antara 6 sampai 12 jam tergantung spesifikasi
bentuk sediaan. Pelepasan melebihi selang
waktu tersebut disebabkan berkumpulnya
komponen aktif propolis di dalam matriks
maltodekstrin. Sehingga waktu pelepasan
akan berjalan lebih lambat.
Efektivitas Penghambatan Ekstrak
Propolis terhadap Kapsul Ampisilin
Kontrol positif yang digunakan adalah
kapsul ampisilin 500 mg. Efektivitas ekstrak
propolis dibandingkan ampisilin 500 mg
untuk kapsul (ukuran 00 & konsentrasi 2%),
kapsul (ukuran 00 & konsentrasi 4%), kapsul
(ukuran 1 & konsentrasi 2%), dan kapsul
17
(ukuran 1 & konsentrasi 4%) berturut-turut
sebesar 55.18%, 68.08%, 68.16%, dan
74,68%. Ampsilin yang digunakan adalah
ampisilin 500 mg di dalam kapsul gelatin
keras. Semakin tinggi konsentrasi propolis
yang digunakan maka nilai efektivitas
penghambatan juga semakin tinggi untuk
kedua ukuran kapsul (Gambar 11).
Ampisilin merupakan antibiotik yang
bekerja menghambat sintesis dinding sel
bakteri. Ampisilin mampu menyerang
nukleofil dari gugus hidroksil serin enzim
transpeptidase pada karbonil karbon cincin
beta-laktam yang bermuatan positif sehingga
terjadi
penghambatan
biosintesis
peptidoglikan. Akibatnya, dinding sel menjadi
lemah, dan akan pecah akibat tekanan turgor
dari dalam. Pecahnya dinding sel bakteri atau
lisis menyebabkan kematian (Siswandono &
Soekardjo 1995).
Gambar 11
Efektivitas
penghambatan
ekstrak
propolis
terhadap
kapsul ampisilin: Kapsul berisi
propolis ( ) dan kapsul
Ampisilin ( ).
Efektivitas Penghambatan Ekstrak
Propolis terhadap Propolis Merk-X
Propolis merk-X digunakan sebagai
pembanding. Efektivitas ekstrak propolis
dibandingkan propolis merk-X untuk kapsul
(ukuran 00 & konsentrasi 2%), kapsul (ukuran
00 & konsentrasi 4%), kapsul (ukuran 1 &
konsentrasi 2%), dan kapsul (ukuran 1 &
konsentrasi 4%) berturut-turut sebesar
74.81%, 92.30%, 146.64%, dan 160.69%
(Gambar 12). Efektivitas penghambatan pada
kapsul 00 baik konsentrasi 2% dan 4% lebih
rendah dibandingkan dengan propolis merk-X.
Hal yang berbeda terjadi di ukuran kapsul 1,
baik konsentrasi propolis 2% maupun 4%,
efektivitas penghambatan ekstrak propolis
lebih tinggi dibandingkan dengan propolis
merk-X.
Secara umum, semakin besar konsentrasi
propolis yang digunakan semakin besar
aktivitas antibakterinya (Pelczar & Chan
1988). Hal ini dikarenakan senyawa aktifnya
bertambah dan memudahkan penetrasi
komponen aktif propolis ke dalam sel. Fatoni
(2008) menyatakan bahwa senyawa aktif di
dalam propolis yang berperan sebagai
komponen antibakteri, yaitu flavonoid dan
tanin.
Mekanisme
flavonoid
menghambat
pertumbuhan bakteri dengan menyebabkan
terjadinya kerusakan permeabilitas dinding
sel, mikrosom, dan lisosom. Gugus hidroksil
pada gugus flavonoid dapat menyebabkan
perubahan komponen organik dan transpor
nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan
timbulnya efek toksik bagi bakteri (Carlo et
al. dalam Sabir 2005). Aktivitas antibakteri
propolis merupakan hasil kerja sama sinergis
antara komponen aktif yang terkandung di
dalamnya. Castaldo dan Capasso (2002)
menyebutkan lebih dari 180 senyawa aktif
dalam propolis bekerja sama sinergis dalam
menyembuhkan berbagai penyakit.
Gambar 12
Efektivitas
penghambatan
ekstrak
propolis
terhadap
propolis merk-X: Kapsul berisi
propolis ( ) dan propolis merkX( )
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rendemen
ekstrak
propolis
yang
didapatkan sebesar 8.81%. Mikrokapsul
propolis yang dihasilkan berwarna kuning
kecoklatan. Kapsul gelatin keras mampu
melindungi propolis terpapar cairan rumen
selama 3 jam. Aktivitas antibakteri propolis
masih dapat terlihat sampai jam ke-24, untuk
kapsul 00 dan 1. Aktivitas antibakteri
propolis pada ukuran kapsul 00 mulai terlihat
pada jam ke-12 sedangkan untuk ukuran
kapsul 1 pada jam ke-3. Faktor konsentrasi
dan pengkapsulan pada mikrokapsul yang
dibuat pada ukuran 00 tidak berpengaruh
terhadap perbedaan zona bening yang
dihasilkan sedangkan pada kapsul 1 kedua
faktor berpengaruh. Efektivitas penghambatan
ekstrak
propolis
dibandingkan
kapsul
Download