KASUS 1 : MENABRAK JEMBATAN Pada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami cedera kepala. Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar darah dari mulut, hidung dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary survey. Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka, ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen. Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran). Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical). Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien. Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan jalan napas dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi. Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi. Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring. Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu pada pneumothoraxnya. Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan. Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit. Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit. Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada pasien. Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra. Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto thorax diperlukan untuk mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan adanya hematothorax pada pasien ini. Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami takikardi karena sudah melebihi 100 kali per menit. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen yang menurun di jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan ventilasi maupun akibat kehilangan darah akibat perdarahan aktif pada pasien. Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien(dilihat dari akral) yang masih normal. Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan ekstraseluler. Cairan ini mempunyai kadar-kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat dan sejumlah volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik. Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan yang sering dipakai. Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien, dipasang kateter urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila kurang menunjukkan adanya hipovolemia. Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8. Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial. Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga, dan hidung. Perdarahan dari telinga, kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan fraktur maksila dan mandibula. Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan , tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma. Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya, dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala. Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporoparietal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang ke dalam ruang epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral yang ditunjukkan oleh adanya hemiparesis dekstra pada kasus ini. Pasien tidak mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer berat, pasien langsung tidak sadarkan diri. Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glottis, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat gejala muntah. Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-β, tumor nekrosis alfa, interleukin 6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotic yang digunakan untuk menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya. Dari hasil secondary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax. Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Pengembangan dinding dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh efek akumulasi darah dalam rongga pleura. Terdapatnya angulasi, edema, dan krepitasi pada femur dekstra mengindikasikan terjadinya fraktur femur dektra pasien. Fraktur femur yang paling sering terjadi akibat adanya trauma kecelakaan adalah fraktur batang femur. Adanya vulnus apertum sepanjang 3 cm dan fat globul yang positif menunjukkan bahwa fraktur batang femur yang terjadi pada pasien kasus ini merupakan fraktur yang bersifat terbuka derajat III, yaitu lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah). Perdarahan aktif yang terjadi harus dikoreksi dengan baik agar penanganan yang optimal dapat dilakukan jika fraktur mengenai arteri femoralis sehingga mengganggu status sirkulasi pasien. Penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter, yaitu dengan melakukan bebat tekan realignmen femur dan imobilisasi sudah tepat. Kemudian pasien dirujuk ke Trauma Center karena pasien mengalami multitrauma dan memerlukan penanganan secara intensif.