Penghambatannya sebagai berikut: dihitung dengan cara IP = A-B A Keterangan : A= diameter zona bening B= diameter zona koloni IP= indeks penghambatan Uji Kompetisi dalam Media Cair Bacillus sp. Lts 40 dan bakteri uji yang telah diremajakan sebelumnya, dibuat pengenceran seri dengan menggunakan media garam fisiologis untuk uji kompetisi dalam media cair. Pengenceran seri Bacillus sp. Lts 40 dibuat hingga kepadatan selnya 107 sel/µl, sedangkan bakteri uji kepadatan selnya 106 sel/ µl. Uji kompetisi antara Bacillus sp. Lts 40 dengan bakteri uji dilakukan pada media cair (TSB + garam fisiologis). Ke dalam enam tabung eppendorf berisi 900 µl media cair, dimasukkan masing-masing 100 µl (106 sel/μl) inokulum bakteri uji umur 48-72 jam. Pada tabung II, III, IV, dan V masing-masing ditambahkan 100 μl, 200 μl, 400 μl, dan 1000 μl inokulum Bacillus sp. Lts 40 (107 sel/μl) sehingga diperoleh kultur campuran dengan rasio antara bakteri uji dan Bacillus sp. Lts 40 1:1, 1:2, 1:4, dan 1:10 (v:v). Tabung eppendorf I yang berisi kultur bakteri uji (tanpa inokulum Bacillus sp. Lts 40) digunakan sebagai kontrol negatif. Sebagai kontrol positif digunakan tabung eppendorf VI yang diinokulasi 100 μl inokulum Bacillus sp. Lts 40. Selanjutnya keenam tabung eppendorf tersebut diinkubasi pada suhu ruang. Pada umur 24 dan 48 jam populasi sel Bacillus sp. Lts 40 dan bakteri uji dihitung dengan metode cawan sebar pada media TSA. Bakteri uji dan Bacillus sp. Lts 40 dalam masing-masing tabung digunakan untuk menghitung persen penghambatan dengan cara sebagai berikut: Persentase penghambatan = A-B x 100% A Keterangan : A= jumlah sel bakteri uji pada kontrol negatif B= jumlah sel bakteri uji pada perlakuan Optimasi Waktu Produksi Antimikrob Bacillus sp. Lts 40 Zat Sebanyak satu lup biakan Bacillus sp. Lts 40 diinokulasikan ke dalam 50 ml media TSB lalu inkubasi selama 12 jam pada suhu ruang sambil dikocok dengan kecepatan 94 rpm. Setiap 12 jam dilakukan pengukuran turbiditas sel pada panjang gelombang 620 nm dan pengambilan sampel kultur. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan supernatan dari massa selnya. Supernatan yang diperoleh dari masing-masing sampel diuji aktivitas antimikrobnya. Sebanyak 10 μl supernatan diteteskan pada kertas cakram steril (diameter= 6 mm) yang diletakkan di atas permukaan cawan TSA yang telah disebari 100 μl kultur cair bakteri uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30˚C selama 96 jam, dan dilakukan pengukuran diameter zona bening yang terbentuk disekitar kertas cakram. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Aktivitas Penghambatan Isolat Bacillus sp. Lts 40 Terhadap Bakteri Uji Isolat murni Bacillus sp. Lts 40 umur 24 jam pada media TSA memiliki morfologi koloni bulat, halus tepiannya dan berwarna krem. Penghambatan pertumbuhan bakteri uji oleh Bacillus sp. Lts 40 ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni Bacillus sp. Lts 40 (Gambar 1). Zona bening yang terbentuk disebut sebagai zona hambat. Penghitungan nilai IP menunjukkan bahwa IP terbesar 0,46 yang diperoleh dari hasil uji terhadap E. coli. Sedangkan IP terhadap P. fluorescens B, P. fluorescens A, S. aureus, R. solanacearum dan P. syringae pv. glycines berturut-turut memiliki nilai semakin kecil (Tabel 1). Tabel 1 Aktivitas penghambatan isolat Bacillus sp. Lts 40 terhadap bakteri uji dengan metode cawan sebar Aktivitas penghambatan Bacillus sp. Lts 40 Bakteri indikator Ø koloni (mm) Ø zona bening (mm) IP Escherichia coli Pseudomonas fluorescens B Pseudomonas fluorescens A Staphylococcus aureus Ralstonia solanacearum Pseudomonas syringae pv. glycines 16,00 6,00 6,00 8,00 6,00 6,00 30,00 11,00 10,00 13,00 9,00 8,00 0,46 0,45 0,40 0,38 0,33 0,25 Keterangan: IP= Indeks Penghambatan (a) (b) (d) (e) (c) Gambar 1 Zona hambat disekitar koloni Bacillus sp. Lts 40 pada uji aktivitas penghambatan pertumbuhan terhadap (a) E. coli dan S. aureus, (b) P. syringae pv. glycines, (c) R. solanacearum, (d) P. fluorescens A dan (e) P. fluorescens B Uji Kompetisi dalam Media Cair Hasil uji kompetisi dalam kultur campuran menunjukkan Bacillus sp. Lts 40 mampu menghambat pertumbuhan semua bakteri uji dengan daya hambat yang berbedabeda. Hal ini dapat dilihat dari populasi sel bakteri uji yang lebih rendah dibandingkan kontrol negatifnya. Pada umur 24 jam, Bacillus sp. Lts 40 memiliki daya hambat paling kuat terhadap R. solanacerum (Gambar 2a) pada rasio 1:1 (34,09%) dan 1:2 (53,40%). Sedangkan pada rasio 1:4 (70,73%) dan 1:10 (77,43%) (Gambar 2a) persen penghambatan terhadap P. fluorescens B lebih kuat dibandingkan dengan penghambatan terhadap bakteri uji lainnya. (a) Gambar 2 Persentase penghambatan isolat Bacillus sp. Lts 40 terhadap pertumbuhan populasi bakteri uji pada inkubasi (a) 24 jam dan (b) 48 jam. Pada umur 48 jam, daya hambat Bacillus sp. Lts 40 paling kuat terhadap R. solanacearum (Gambar 2b) pada rasio 1:1 (32,97%) dan 1:2 (48,93%), sedangkan pada rasio 1:4 (75,71%) dan 1:10 (81,90%) (Gambar 2b) daya hambat paling kuat terhadap P. fluorescens B. Untuk bakteri uji yang lainnya pada umur 48 jam disetiap rasio ada yang mengalami penurunan maupun kenaikan persen penghambatan. Waktu Optimum Produksi Zat Antimikrob Isolat Bacillus sp. Lts 40 Waktu optimum produksi senyawa antimikrob Bacillus sp. Lts 40 ditentukan dengan cara mengukur luas zona hambat yang terbentuk. Selama masa inkubasi, zona hambat yang dihasilkan oleh aktivitas antimikrob yang terkandung dalam supernatan diukur setiap 12 jam. Perubahan diameter zona hambat menunjukkan produksi aktivitas antimikrob selama masa inkubasi. Dari hasil pengukuran turbiditas kultur yang diplotkan terhadap waktu inkubasi, diperoleh kurva pertumbuhan isolat Bacillus sp. Lts 40 pada media TSB. Uji aktivitas antimikrob supernatan yang diambil selama masa inkubasi menunjukkan aktivitas antimikrob terhadap P. fluorescens A paling tinggi pada umur 12 jam dengan diameter zona hambat 11,5 mm (Lampiran 2). Kemudian umur 24 jam aktivitas antimikrobnya menurun dan meningkat sedikit pada umur 36 jam (Gambar 3). Gambar 3 Aktivitas antimikrob supernatan biakan Bacillus sp. Lts 40 pada waktu inkubasi berbeda terhadap P. fluorescens A Uji aktivitas antimikrob supernatan yang diambil selama masa inkubasi menunjukkan aktivitas antimikrob terhadap P. fluorescens B paling tinggi pada umur 12 jam. Hal ini tercermin dari besarnya diameter zona hambat yang terbentuk (14,5 mm) (Lampiran 3). Lalu Aktivitas antimikrob menurun pada umur 24 jam kemudian sedikit meningkat pada umur 36 jam (Gambar 4). Gambar 5 Aktivitas antimikrob supernatan biakan Bacillus sp. Lts 40 pada waktu inkubasi berbeda terhadap R. solanacearum Gambar 4 Aktivitas antimikrob supernatan biakan Bacillus sp. Lts 40 pada waktu inkubasi berbeda terhadap P. fluorescens B Uji aktivitas antimikrob supernatan yang diambil selama masa inkubasi menunjukkan aktivitas antimikrobnya terhadap R. solanacearum paling tinggi pada umur 12 jam (Gambar 5) dengan diameter zona hambat yang terbentuk 9 mm (Lampiran 4). Lalu aktivitas antikmikrob menurun pada umur 24 dan umur 36 jam dan sedikit meningkat pada umur 48 jam. Pada P. syringae pv. glycines, uji aktivitas antimikrob supernatan yang diambil selama masa inkubasi menunjukkan aktivitas antimikrobnya paling tinggi pada umur 24 jam (Gambar 6), Hal ini tercermin dari besarnya diameter zona hambat yang terbentuk (12,5 mm) (Lampiran 5), kemudian terus mengalami penurunan aktivitas antimikrobnya setiap 12 jam berikutnya. Gambar 6 Aktivitas antimikrob supernatan biakan Bacillus sp. Lts 40 pada waktu inkubasi berbeda terhadap P. syringae pv. glycines Pembahasan Bacillus sp. dikenal mampu menghasilkan suatu senyawa antimikrob baik antibiotik (Emilianus et al. 1997) maupun bakteriosin (Bizani & Brandelli 2002). Karena kemampuannya tersebut Bacillus sp. banyak digunakan sebagai agen pengendali hayati untuk penyakit tanaman, misalnya penyakit lincat pada tanaman bakau dan layu yang disebabkan oleh R. solanacearum (Djatmiko et al. 2007). Beberapa patogen tanaman diantaranya P. syringae pv. glycines, R. solanacearum dan P. fluorescens (strain tertentu). Namun untuk P. fluorescens umumnya merupakan bakteri non patogen karena merupakan salah satu agen biokontrol hayati. Untuk mengetahui lebih lanjut kemampuan aktivitas penghambatan isolat Bacillus sp. Lts 40 maka dilakukan uji kompetisi secara in vitro. Terlebih dahulu dilakukan uji kompetisi terhadap E. coli dan S. aureus, karena kedua bakteri ini merupakan standar bakteri uji yang sering digunakan dalam pengujian bakteri penghasil senyawa antimikrob. Potensi penghambatan Bacillus sp. Lts 40 terhadap bakteri uji dapat dilihat dengan terbentuknya zona jernih disekitar koloni. Berdasarkan hasil pengujian, keenam bakteri uji membentuk zona hambat dengan indeks penghambatan yang terbesar 0,46 terhadap E. coli dan yang terkecil 0,25 terhadap P. syringae pv. glycines. Hal ini menunjukkan bahwa zat antimikrob dari Bacillus sp. Lts 40 memiliki kemampuan penghambatan cukup besar terhadap bakteri gram negatif dan sesuai dengan yang dilaporkan Bromberg et al. (2004), bahwa ada beberapa strain yang memproduksi bakteriosin mampu menghambat bakteri gram negatif seperti Pseudomonas sp. Aktivitas penghambatan juga dapat dilakukan dengan kompetisi dalam kultur campuran. Hasil kompetisi ini menunjukkan terjadinya penurunan populasi sel bakteri uji. Keadaan demikian dapat terjadi karena bakteri penghasil zat antimikrob dan bakteri uji tumbuh bersamaan sehingga terjadi kompetisi nutrisi dari media (Bromberg et al. 2004). Berdasarkan hasil uji kompetisi tersebut, diperoleh perbedaan persen penghambatan pada masing-masing bakteri uji. Pada umur 24 jam isolat Bacillus sp. Lts 40 memiliki daya hambat paling kuat terhadap R. solanacearum pada rasio 1:1 (34,09%) dan 1:2 (53,40%) (Gambar 2a), sedangkan pada rasio 1:4 (70,73%) dan 1:10 (77,43%) (Gambar 2a) persen penghambatan terhadap P. fluorescens B paling kuat daripada yang lain. Aktivitas penghambatan terhadap bakteri uji pada umur 48 jam, daya hambat paling kuat yaitu terhadap R. solanacearum pada rasio 1:1 (32,97%) dan 1:2 (48,93%) (Gambar 2b), namun pada umur 48 jam ini persen penghambatan terhadap R. solanacearum mengalami penurunan. Sedangkan pada rasio 1:4 (75,71%) dan 1:10 (81,90%) (Gambar 2b) daya hambat paling kuat terhadap P. fluorescens B dan persen penghambatannya mengalami kenaikan. Untuk bakteri uji yang lainnya pada umur 48 jam, setiap rasio ada yang mengalami penurunan maupun kenaikan persen penghambatan. Keadaan yang berbeda pada umur 24 dan 48 jam terhadap bakteri uji dapat terjadi karena dimungkinkan adanya sistem interaksi antar bakteri yang dinamakan quorum sensing (Henke & Bassler 2004). Pengujian terakhir untuk melihat aktivitas penghambatan isolat Bacillus sp. Lts 40 yaitu melihat waktu optimum produksi zat antimikrob dari isolat ini. Untuk melihat waktu optimum produksi zat antimikrob Bacillus sp. Lts 40 yaitu dengan cara menguji aktivitas antimikrob supernatan bebas selnya yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambat. Optimasi waktu produksi zat yang dihasilkan terjadi pada umur 12 jam terhadap P. fluorescens A, P. fluorescens B dan R. solanacearum, sedangkan untuk P. syringae pv. glycines terjadi pada umur 24 jam. Berdasarkan hasil ini, kurva pertumbuhan Bacillus sp. Lts 40 menunjukkan bahwa senyawa antimikrob diproduksi secara optimal pada akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner. Hal ini dapat diduga bahwa senyawa antimikrob yang dihasilkan berupa bakteriosin dan sesuai seperti yang dilaporkan bahwa sintesis bakteriosin oleh sel galur produsen terjadi selama pertumbuhan fase ekponensial hingga awal fase stasioner (Parente et al. 1997; Torkar & Matijasic 2003; Rattanachaikunsopon & Parichat 2006). Pada P. fluorescens A dan P. fluorescens B, aktivitas antimikrobnya mengalami penurunan pada umur 24 jam dan sedikit meningkat pada umur 36 jam (Gambar 3&4). Begitu pula pada R. Solanacearum terjadi penurunan aktivitas antimikrob pada umur 24 dan 36 jam, kemudian sedikit naik pada umur 48 jam (Gambar 5). Keadaan demikian dapat terjadi karena meningkatnya produksi enzimenzim proteolitik yang mendegradasi bakteriosin (Biswas et al. 1991) dan dimungkinkan adanya zat antimikrob lain (antibiotik) yang dihasilkan pada umur 36 dan 48 jam tersebut. Sedangkan P. syringae pv. glycines terus mengalami penurunan aktivitas antimikrob (Gambar 6). Hal ini dapat terjadi karena selain meningkatnya produksi enzim proteolitik kemungkinan P. syringae pv. glycines memiliki daya ketahanan sel yang lebih baik terhadap antibiotik daripada bakteri uji yang lainnya. Bakteriosin merupakan senyawa protein yang mudah didegradasi oleh enzim proteolitik dan memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang secara filogenik dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin (Jack et al. 1995; Torkar & Matijasic 2003; Bromberg et al. 2004; Salvadogo et al. 2006; Karthikeyan & Santhosh 2009). Bakteriosin dapat dibedakan dari antibiotik, salah satunya ialah dari proses produksinya yang dihasilkan pada saat fase pertumbuhan bakteri mencapai fase logaritmik, sedangkan antibiotik diproduksi pada saat akhir fase stasioner (Jack et al. 1995). Beberapa kriteria bakteriosin antara lain berupa protein, bersifat bakterisidal, bakteri target memiliki sifat pengikatan spesifik (specific binding site), gen pengkode bakteriosin berada dalam plasmid, aktif terhadap bakteri yang dekat secara filogenik (Tagg et al. 1976). Berdasarkan bakteri yang memproduksi bakteriosin dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa grup (Ennahar et al. 2000; Jack & Jung 2000; Cleveland et al. 2001; McAuliffe et al. 2001) dimana kelas I dan II paling umum dipelajari. Kelas I adalah lantibiotik disusun sekelompok peptida-peptida kecil (berat molekul < 5 kDa) yang dikarakterisasikan dari beberapa asam amino yang tidak umum (lanthionine (Lan), β metil lanthionine (Melan), dehydroalanine dan dehydrobutyrine (Gruder et al. 2000; Chen & Hoover 2003). Kelas II adalah bakteriosin kecil berukuran <10 kDa, tidak mengandung asam amino lanthionine, stabil atau tahan panas (Nes & Holo 2000). Bakteriosin kelas III, mempunyai berat molekul lebih dari 30 kDa dan protein labil terhadap panas (Ness et al. 1996) dan kelas IV: glikoprotein dan lipoprotein (Oscarriz & Pisabarro 2001). Mekanisme kerja bakteriosin dalam melawan bakteri secara umum dengan menyerang membran sitoplasma (Montville & Chen 1998) melalui pembentukan pori membran sitoplasma (Jack et al. 1995) atau penghambatan pembentukan septum (Martinez et al. 2000) pada N-section peptida KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas penghambatan yang dimiliki isolat Bacillus sp. Lts 40 memiliki spektrum yang cukup luas. Aktivitas penghambatan tertinggi dari Bacillus sp. Lts 40 terjadi pada R. solanacearum. Zat antimikroba yang dihasilkan diproduksi selama fase pertumbuhan akhir fase eksponensial atau awal fase stasioner, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa senyawa antimikrob yang dihasilkan berupa bakteriosin SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakterisasi isolat Bacillus sp. Lts 40 agar dapat digunakan pada tanaman pangan tanpa mencemari lingkungan serta tidak berbahaya terhadap tanaman tersebut. DAFTAR PUSTAKA Bizani D, Brandelli A. 2002. Characterization of a bacteriocin produced by a newly isolated Bacillus sp. Strain A. J Appl Microbiol 93: 512-519. Bromberg R, Izildinha M, Cintia LZ, Roberta RD, Josiane DO. 2004. Isolation of bacteriocin-producing lactic acid bacteria from meat and meat products and its spectrum of inhibitory activity. Brazilian J Microbiol 35: 137-144. Biswas SR, Ray B, Johnson MC. 1991. Influence of growth conditions on the production of a bacteriocin, pediocin Ach, by Pediococcus acidilactici H. Appl Environ Microbiol 57: 1265-1267. Cassidy MB, Leung KT, Lee H, Trevors JT. 2000. A comparison of enumeration methods for culturable Pseudomonas fluorescens cells marked with green fluorescent protein. J Microbiol Method 40: 135-145.