BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lari Sprint Lari (sprint) adalah nomor lari dengan kecepatan penuh sepanjang jarak yang harus ditempuh yang meliputi jarak 100 meter, 200 meter dan 400 meter. Oleh karena itu lari ini membutuhkan kecepatan yang tinggi (Suherman, 2008). Lari cepat (sprint) adalah satu kategori cabang lomba yang mencakup semua jarak hingga jarak 400 meter dimana jarak 400 meter diklasifikasikan sebagai sprint jarak menengah, sedangkan jarak lari di atas 400 meter sudah termasuk sprint panjang (Carr, 1997). Lari cepat 100 meter membutuhkan waktu singkat (10-15 detik) dan termasuk olahraga siklik dimana sumber energi utamanya adalah anaerobik, semakin tinggi kecepatan semakin besar pula porsi sumber energi anaerobik (Bompa, 1994). Kecepatan merupakan salah satu komponen biomotorik yang paling berpengaruh terhadap lari cepat (Harsono, 1997). Agar seseorang dapat bergerak dengan cepat maka perlu diberi pelatihan (Bompa, 1994). Dalam melatih kecepatan Sidik (2011) menjelaskan metode yang dapat diterapkan seperti metode repetisi, metode interval, metode lari dengan tempo atau metode kontinyu. Suatu program pelatihan harus merancang periodisasi dengan baik dan cermat, Ballesteros (1993) memaparkan skema periodisasi latihan singkat untuk sprint yaitu persiapan umum yang berisikan latihan conditioning, daya tahan kecepatan, lari di bukit, fartlek dan latihan kecepatan, persiapan khusus yang 6 7 berisikan latihan kekuatan, lompat, lari dengan beban, daya tahan kecepatan pendek, interval training intensif, kecepatan penuh dan daya tahan kecepatan jauh, dan persipan lomba yang berisikan latihan start, lari ringan, kelentukan, lari dengan irama kompetisi. 2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan lari Faktor yang mempengaruhi kecepatan lari dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik, umur, kelelahan, motivasi sedangkan faktor eksternal terdiri dari, suhu dan kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat, lingkungan sosial. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut: 1. Faktor Internal a) Genetik Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013). 8 b) Umur Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan otot, dimana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam peningkatan kecepatan lari. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000). Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan oleh aktivitas ototnya. Kekuatan otot akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan umur hingga mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun, setelah itu kekuatan otot akan menurun mencapai 20% pada umur 65 tahun (Nala, 2002). Pelatihan olahraga atletik termasuk lari cepat 100 meter mulai dilatih dari umur 10-12 tahun, dan pelatihan spesialisasi pada umur 13-24 tahun, sehingga puncak prestasinya pada umur 18-23 tahun (Bompa, 1994). c) Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT adalah, IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2. IMT normal sebesar 18,5-22,9 kg/m2(Arga, 2008). 9 Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh Indonesia IMT Kategori < 18,5 Berat badan kurang 18,5 – 22,9 Berat badan normal 23,0 – 24,9 Overweight 25,0 – 29.9 Obes I ≥ 30,0 Obes II (Sumber: Depkes RI, 1994) Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan testes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan keburukan performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance(daya tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya ledak) (Arga, 2008). d) Jenis kelamin Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua 10 kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011). e) Kelelahan Kelelahan dapat mengurangi kecepatan lari. Karena itu, penting memelihara daya tahan jantung dan daya tahan otot, agar kelelahan tidak mudah timbul (Kamen dan Roy, 2000). f) Motivasi Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif) didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal. 2. Faktor Eksternal a) Suhu dan kelembaban relatif Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan. Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot. Pada umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%95% (Widhiyanti, 2013). 11 b) Arah dan kecepatan angin Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung di lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer. Dalam penelitian ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya atau tempat pengambilan data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat (Kanginan, 2000). c) Ketinggian tempat Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter diatas permukaan laut akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg. Penurunan tekanan udara ini akan menurunkan kadar O2 (oksigen), sehingga bila atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut kemudian bertanding di tempat tinggi dengan kadar O2 (oksigen) rendah, maka frekuensi pernafasannya akan lebih tinggi karena konsumsi O2 sama dengan saat berlatih sedangkan banyaknya O2 (oksigen) yang dihirup sekali nafas berkurang (Gabriel, 2003). d) Asupan makanan Asupan makanan juga berpengaruh pada kecepatan lari, ketersediaan nutrisi dalam tubuh akan mempengaruhi kinerja otot. Hasil penelitian 12 Sumosarjono (1999) menyatakan bahwa para atlet lari sebaiknya makan makanan yang terakhir 3-4 jam sebelum lomba. 2.2 Anatomi Otot Bahu dan Siku Otot-otot bahudan siku yang berperan pada saat lari yaitu (Cael, 2010): a. Biceps brachii Biceps brachii merupakan salah satu otot yang paling superficial dilengan atas dan bekerja pada kedua bahu dan lengan. Biceps brachii dibagi menjadi 2 (dua) yaitu long head bicep brahii dan short head bicep brachii. Long head bicep brachii berorigo pada supraglenoid tubercle dari scapula dan berfungsi ketika fleksi dan abduksi bahu. Short head bicep brachii berorigo pada coracoid process dari scapula dan berfungsi ketika adduksi bahu. Biceps brachii berinsersio pada radial tuberosity dan bicipital aponeurosis overlying common flexor tendon. Fungsi dari biceps brachii ini yaitu membantu menstabilkan bahu selama fleksi. Biceps brachii bekerja sama dengan deltoid, coracobrachialis, dan trisep brachii. Short head biceps brachii juga bekerja sama dengan coracobrachialis untuk aduksi lengan dan ayunan ke depan selama berjalan. 13 Gambar 2.1. Otot Biceps Brachialis (Sumber: Cael, 2010) b. Latisimus dorsi Latissimus dorsi adalah otot punggung yang besar, yang berkontraksi pada saat ekstensi, adduksi, dan internal rotasi bahu. Latisimus dorsi berorigo pada spinous processes dari T7-L5, posterior iliac crest dan posterior sacrum, dan berinsersio pada medial lip dari bicipital groove pada humerus. 14 Gambar 2.2. Otot Latisimus Dorsi (Sumber: Cael, 2010) c. Teres mayor Teres mayor merupakan otot yang berhubungan sinergis dengan latisimus dorsi karena teres mayor dan latisimus dorsi memiliki fungsi yang sama, yaitu ekstensi, adduksi, dan rotasi internal sendi bahu. Pada saat melakukan rotasi internal sendi bahu, teres mayor bekerja lebih kuat dengan subskapularis daripada otot rotator cuff lainnya. Teres minor mungkin memiliki bentuk yang sama seperti teres mayor, tetapi mereka tidak memiliki fungsi yang sama. Bahkan, teres minor adalah antagonis untuk teres besar karena membungkus sekitar humerus posterior dan berfungsi sebagai eksternal rotasi. Teres mayor berorigo pada inferior lateral border dari scapula dan berinsersio pada sulcusbicipitalis dari humerus. 15 Gambar 2.3. Otot Teres Mayor (Sumber: Cael, 2010) d. Triceps brachii Triceps brachii dibagi menjadi tiga bagian yaitu long head, medial head dan lateral head triceps brachii. Long head tricepp brachii berorigo pada infraglenoid tubercle dari scapula, medial head berorigo pada stengah distal dari posterior shaft pada humerus dan lateral head berorigo pada setengah proximal dari posterior pada batang humerus. Dari tiga bagian dari triceps brachii tersebut sama-sama berinsersio pada olecranon process dari ulna. Triceps brachii berfungsi pada saat ekstensi dan adduksi bahu serta exstensi siku. 16 Gambar 2.4. Otot Triceps Brachii (Sumber: Cael, 2010) e. Deltoid Deltoid adalah penggerak utama untuk hampir semua gerakan sendi bahu. Otot deltoid bagian anterior berorigo pada sepertiga dari clavicula, bagian medilal berorigo pada acromion process dan bagian posterior berorigo pada spina dari scapula. Semua dari bagian deltoid tersebut berinsersio pada tuberositas deltoid pada humerus. Otot deltoid ini memiliki fngsi yang berbeda-beda pada setiap bagian, hanya saja pada bagian medial otot deltoid memiliki fungsi yang khusus. Pada bagian anterior deltoid berfungsi pada saat fleksi, internal rotasi dan horizontal 17 adduksi pada bahu. Pada bagian posterior berfungsi pada saat ekstensi, eksternal rotasi dan horizontal abduksi pada bahu. Gambar 2.5. Otot Deltoid (Sumber: Cael, 2010) f. Pectoralis mayor Pectoralis mayor adalah otot dada yang kuat yang bertanggung jawab untuk gerakan di depan tubuh, seperti mendorong, melempar, dan meninju. Otot ini berorigo pada medial clavicula, sternum dan costal cartilages dari costa 1-7, dan berinsersio pada crista tuberculum mayor dari humerus. Otot ini berfungsi pada saat fleksi, adduksi, internal rotasi dan horizontal adduksi pada sendi bahu. 18 Gambar 2.6. Otot Pectoralis Mayor (Sumber: Cael, 2010) g. Coracobrachialis Coracobrachialis merupakan otot penstabil sendi bahu yang kuat dan membantu saat mengayunkan lengan ke depan saat berjalan. Otot ini berorigo pada procesus coracoideus dari scapula dan berinsersio pada sepertiga dari humerus. Otot ini berfungsi pada saat fleksi dan adduksi bahu. Coracobrachialis bekerja kuat dengan biceps brachii untuk adduksi bahu. 19 Gambar 2.7. Otot Coracobrachialis (Sumber: Cael, 2010) h. Brachialis Brachialis bekerja sama dengan biceps brachii dan brachioradialis untuk menghasilkan fleksi siku. Otot ini berorigo pada setengah distal dari permukaan anterior humerus dan berinsersio pada tuberositas dan coronoid process dari ulna. 20 Gambar 2.8. Otot Brachialis (Sumber: Cael, 2010) i. Brachioradialis Brachioradialis merupakan otot yang berorigo pada duapertiga proksimal humerus dari lateral supracondylar dan berinsersio pada bagian lateral dari procesus styloideus pada radius. Otot ini berfungsi untuk menghasilkan gerakan fleksi siku dan pronasi-supinasi pada lengan. 21 Gambar 2.9. Otot Brachioradialis (Sumber: Cael, 2010) 2.3 Fisiologi Otot Rangka Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek yaitu: kontraktilitasyaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila dirangsang. Exstensibility(distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali ke bentuk dan ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang) atau contractility (memendek). Exsitability electricyaitu kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik disebut tindakan potensi (Tortora dan Derrickson, 2009). Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Latihan 22 daya ledak akan meningkatkan diameter otot (Nala, 2011). Dengan latihan yang teratur, akan memberikan beberapa efek positifterhadapotot, bahkan perubahan adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang memungkinkan untuk respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Wiarto, 2013). 2.4 Biomekanik Lengan yang Terlibat dalam Gerakan Lari Sprint Pada saat melakukan gerakan lari, sendi pada lengan yang berperan yaitu sendi bahu dan sendi siku. Sendi siku merupakan sendi yang proksimal pada anggota gerak atas yang paling mobilitas dari sendi-sendi tubuh manusia. Persendian ini mempunyai 3 DKG (Derajat Kebebasan Gerak) dan terjadi pada 3 bidang gerak dengan axis-axis (Anshar dan Sudaryanto, 2011), sebagai berikut: a. Axis transversalis, untuk mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi yang dilakukan pada gerakan sagital. b. Axis antero-posterior, mengontrol gerakan abduksi yang adduksi dilakukan pada bidang gerak frontal. c. Axis vertikalis, berjalan melalui perpotongan bidang gerak fleksi dan ekstensi yang dilakukan bidang gerak horizontal dengan lengan dalam posisi abduksi 90º. d. Axis longitudinal humeri, untuk mengontrol gerakan endorotasi dan eksorotasi lengan. Gerakan bahu yang terjadi pada saat mengayunkan lengan yaitu gerakan fleksi dan ekstensi shoulder, yang terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis transversalis atau frontalis: 23 1. Extensi: 45-50º 2. Fleksi: 180º, perlu dicatat posisi fleksi 180º, sama dengan abduksi 180º. 3. Otot yang bekerja pada gerakan fleksi adalah pectoralis major, coracobrachialis, biceps brachii, dan deltoideus pars anterior. 4. Otot yang bekerja pada gerakan ekstensi adalah teres major, triceps brachii (caput longum), deltoideus pars posterior, dan latissimus dorsi. Gambar 2.10. Gerakan fleksi dan Ekstensi Bahu (Sumber: Carr, 1997) Tabel 2.2 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika shoulder joint Gerakan Angular Humeri Arthrokinematika Caput Humeri Fleksi Spin Ekstensi Spin (Sumber : Anshar dan Sudaryanto, 2011) Sendi siku adalah persendian tengah dari ekstremitas superior, yang menjadi penyambung mekanikal antara segmen I (lengan atas) dengan segmen II (lengan bawah). Gerakan yang terjadi pada sendisiku adalah gerakan fleksi, 24 gerakan fleksi yang diperankan oleh sendi siku yang sebenarnya yaitu humeroulnar joint serta humeroradial joint. Fleksi siku yaitu mendekatnya aspek anterior lengan atas dan lengan bawah: untuk fleksi aktif 145º dan untuk fleksi pasif 160º. Fleksi elbow paling menguntungkan saat bekerja dalam posisi fleksi 90º. Sudut efisiensi maksimal dari fleksi adalah 80º-90º oleh biceps brachii dan 100º-110º. Gambar 2.11. Fleksi Siku (Sumber: Carr, 1997) Tabel 2.3 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika elbow joint Gerakan Angular Arthrokinematika Terhadap Trochlea Fleksi Distal/Anterior Ekstensi Proksimal (Sumber:Anshar dan Sudaryanto, 2011) 2.5 Pelatihan Pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis dari pelatihan atau bekerja dengan berulang-ulang dengan penambahan beban pelatihan dan pekerjaannya secara progresif (Harsono,1993). Pelatihan merupakan suatu 25 aktivitas komplek, suatu kinerja dari atlet yang dilakukan secara sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang (Bompa, 1994). Pelatihan juga dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan fisik atau aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu (durasi) lama, dengan pembebanan yang dapat ditingkatakan secara progresif dan individual serta secara fisiologis merupakan suatu proses pembentukan reflek bersyarat, proses belajar gerak serta proses menghafalkan gerakan (Nala, 2002). Secara garis besar ada 4 aspek besar pelatihan yang diperlukan dalam meningkatakan penampilan seseorang. Pelatihan itu menyangkut: pelatihan fisik, pelatihan teknik, pelatihan taktik, dan pelatihan mental (Soetopo, 2007). Setiap pelatihan tentu mempunyai tujuan. Bila tidak ditetapkan terlebih dahulu tujuan setiap pelatihan, akan menyulitkan dalam menyusun program pelaksanaan pelatihannya. Atau apa yang diinginkan tidak tercapai, dan jangan dikelirukan dengan tujuan berolahraga. Tujuan berolahraga berlainan dengan tujuan pelatihan. Tujuan berolahraga yaitu untuk rekreasi, pendidikan, kesehatan, kebugaran fisik dan prestasi (Nala, 2011). Tujuan utama pelatihan adalah untuk membantu atlet dalam meningkatkan keterampilan dan prestasi semaksimal mungkin (Harsono, 1988). Menurut Bompa (1983) untuk mencapai tujuan utama pelatihan, yakni peningkatan keterampilan dan penampilan seseorang, maka atlet yang dituntun oleh pelatih harus memenuhi tujuan umum pelatihan. Dalam mendefinisikan tujuan pelatihan dapat dibagi dalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pelatihan adalah untuk menjuarai satu kompetisi sebagai sasaran akhir berdasarkan kalender 26 kompetisi yang di tetapkan. Tujuan khusus pelatihan adalah untuk membentuk, meningkatkan dan mempertahankan kondisi biomotor ability, fisiologis, psikologis dan ketrampilan motorik dalam teknik dan taktik berdasarkan fase-fase yang telah ditetapkan, yang tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan. 2.5.1 Pengertian Pelatihan Berbeban Dalam menunjak dan meningkatkan prestasi olahraga khususnya dalam olahraga teknik latihan yang benar sangat diperlukan. Menurut Soedjarwo,(1993) yang dimaksud dengan latihan adalah suatu proses sistematis secara berulangulang secara ajeg dengan selalu memberikan peningkatan beban latihan. Sedangkan Bompa (1990) mengatakan bahwa latihan adalah untuk mencapai tujuan perbaikan sistem organisma dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau penampilan Jadi dapat disimpulkan bahwa, latihan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam meningkatkan fungsional tubuh atau dapat dikatakan bahwa latihan merupakan kegiatan yang sistematis dan dilakukan secara berulang-ulang secara periodik dan berkelanjutan dengan tujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga. Sedangkan yang dimaksud dengan sistematis adalah berencana menurut jadwal, pola dan system tertentu, metodis dari yang mudah menuju yang lebih rumit, latihan yang teratur dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks. Berulang-ulang sendiri maksudnya adalah agar gerakan gerakan yang lebih sulit dapat dilakukan dengan lebih mudah, otomatis dan reflektis dalam pelaksanaannya sehingga akan semakin menghemat energy. Setiap hari maksudnya adalah setiap kali secara periodik dan kemudian 27 beban ditambah secara berkala. Dalam kegiatan olahraga, latihan berguna untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan seorang atlet atau pemin dalam melaksanakan kegiatan olahraga sesuai dengan bidang yang digelutinya. Sedangkan untuk latihan berbeban atau weight training merupakan salah satu bentuk latihan fisik yang dalam pelaksanaannya dapat menggunakan bantuan tubuhnya sendiri bahkan tubuh dari temannya atau alat lain yang berupa besi yang dapat digunakan sebagai beban dalam melaksanakan suatu program latihan dalam memberikan efek terhadap otot rangka dan memberikan perubahan secara morfologis dan fisiologis sehingga dapat membentuk serta meningkatkan ketahanan dan kekuatan otot. Juga dapat dikatakan bahwa latihan berbeban merupakan latihan-latihan yang dilakukan terhadap penghalangan untuk meningkatkan kualitas dari otot-otot yang dilatih pada seseorang yang berlatih untuk meningkatkan kebugaran (Bhaecle & Grovers, 2003). 2.5.2 Pelatihan dengan Metode Progressive Resistance Exercise Metode ini seringkali dikenal dengan pembebanan dengan menggunakan metode linier. Latihan berbeban Progressive Resistance Exercise merupakan bentuk latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan, daya tahan, power dan lain sebagainya. Metode ini digunakan oleh kebanyakan pelatih karena dapat digunakan mempercepat peningkatan kondisi fisik dan power atau daya ledak tubuh secara cepat, misalnya program latihan jangka pendek atau pun jangka menengah. Latihan berbeban dengan pembebanan Progressive yaitu suatu metode latihan berbeban di mana beban latihan ditingkatkan secara bertahap dan dalam 28 peningkatannya tersebut dilakukan secara terus menerus tanpa adanya pengurangan beban. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukadiyanto pada tahun 2002, yang mengatakan bahwa latihan bersifat progresif. Apabila dalam latihan tidak terjadi peningktan beban maka, superkompensasi tidak terbentuk dan terjadi stagnasi prestasi. Setiap jenis latihan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Gambar 2.12 Latihan berbeban dengan metode progressive resistance (Bompa, 1990) Dalam hal ini berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari Progressive resistance Exercise yaitu. Kelebihan : a. Kapasitas fungsional system di dalam tubuh meningkat. b. Kekuatan daya tahan otot semakin meningkat c. Beban latihan meningkat secara teratur Kekurangan : a. Kesempatan waktu untuk regenerasi sedikit. 29 b. Persiapan untuk kondisi tubuh dalam berdaptasi dengan peningkatan beban latihan kurang. c. Pemulihan energi secara fisiologis reatif sedikit. 2.6 Prinsip-Prinsip Pelatihan Prinsip pelatihan merupakan suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis, dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan. Selama proses pelatihan berlangsung, prinsip ini harus diikuti dengan penuh kesungguhan, tanpa adanya penyimpangan oleh semua pihak. Tiadanya ketaatan dari pelatih dan atlet akan sukar mencapai hasil pelatihan yang maksimal (Nala, 2011). Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut Fox, et al (1984), bahwa prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah: a. Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip pelatihan ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh harus mendapat beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari. Beban yang diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban sampai mendekati maksimal. b. Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet. 30 c. Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu : pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang kecil. d. Prinsip kekhususan (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan harus sesuai dengan keterampilan khusus. e. Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja serta perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu dan kekhususan organisme. f. Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu tertentu, demikian harus berkesinambungan. g. Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang yang dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan.Dalam melakukan pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum melakukan 31 pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakan-gerakan ringan selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala,1998). Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum pertandingan dengan intensitas yang lebih tinggi. Pemanasan sangat menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu otot memungkinkan otot berkontraksi dan berelaksasi. Pemanasan juga mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot. Pemanasan atau warming up sangatperlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih maupun sebelum pertandingan. Sistem tubuh pada waktu istirahat berada dalam keadaan inersia atau tidak begitu aktif. Pemanasan yang diberikan dalam penelitian ini dilakukan dengan berlari mengelilingi lapangan selama 10 menit, yang bertujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah ke seluruh otot lurik. Kemudian dilanjutkan dengan peregangan yang meliputi peregangan otot leher, lengan, pinggang dan otot-otot tungkai (Nala, 2002). Untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu dilakukan pendinginan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar kembali ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah otot terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan 32 kaki lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit, atau hingga denyut jantung kembali normal. Arti fisiologis yang dapat ditelusuri dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan membantu memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan membantu mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif pada waktu melakukan olahraga sebelumnya (Lutan, 2002). Tersingkirnya sampah-sampah sisa olahdaya, maka rasa pegal setelah olahraga dapat dicegah atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan pendinginan yang pada hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri sendiri(Giriwijoyo, 1992). Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran darah sentral. Selain itu, berfungsi juga untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah. Latihan pendinginan dalam penelitian ini dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang dilakukan dalam latihan penutupan ini adalah berjalan kaki lamban selama 3 menit, duduk sambil melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada anggota gerak tubuh bagian bawah selama 7 menit (Nala, 2002). 33 2.7 Pelatihan Dumbbell 2.7.1 Pengertian Dumbbell Dumbbell merupakan suatu alat pelatihan kekuatan yang dilakukan dengan cara kedua tangan menggenggam dumbbell lalu diayunkan. Tujuan latihan ini adalah untuk melatih kekuatan otot lengan sehingga dapat meningkatkan kecepatan lari atlet sprint. Kekuatan otot merupakan komponen biomotorik yang diperlukan oleh semua atlet, dengan kadar tingkatan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Komponen ini dapat ditingkatkan dengan cara memberikan tahanan internal maupun eksternal terhadap otot bersangkutan. Tahanan internal berupa tahanan dari dalam tubuh sendiri, dimana kontraksi sekelompok otot dihambat atau dilawankan dengan kontraksi kelompok otot lainnya, misalnya berupa usaha lengan kanan untuk melakukan fleksi yang dilawan (ditahan) oleh lengan kiri. Sedangkan tahanan eksternal, tahanan dari luar tubuh, dapat berupa melawan orang lain (saling menarik, mendorong, dll), mendorong tembok, menggunakan alat berbentuk dumbel, resistance band, barbel, halter, karung pasir, batu, beton, peralatan olahraga atau bentuk beban lainnya (peralatan mesin di pusat kebugaran fisik, fitness centre) (Nala, 2011). Komponen biomotorik seperti kekuatan otot akan mengalami peningkatan fungsi secara fisiologis dengan diberikan pelatihan dumbbell sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter. Kekuatan merupakan kemampuan neuromuskuler untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam. Akan terjadi penigkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu 34 terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah myofibril pada setiap serabut otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut otot dan meningkatnya jumlah serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005). Prosedur pelaksanaan dumbbell untuk meningkatkan kekuatan, sebagai berikut (Nurfandana, et al., 2012): a. Kedua tangan sampel menggenggam dumbbell b. Posisi sampel berdiri seperti posisi berlari dengan posisi satu kaki di depan dalam posisi menekuk, dan kaki lainnya kebelakang dalam keadaan lurus. c. Sampel diminta untuk mengayunkan lengan, dengan posisi siku menekuk deengan sudut 90º. 2.7.2 Pengaruh Pemberian Kekuatan Ayunan Lengan dengan Pelatihan Dumbbell terhadap Peningkatan Kecepatan Lari Banyak faktor yang mempengaruhi hasil lari 100 m terdiri dari beberapa komponen yaitu kekuatan, daya tahan, daya ledak, daya lentur, kelincahan, koordinasi, keseimbangan dan reaksi. Semua komponen fisik tersebut sama pentingnya untuk diberikan pada atlet karena saling berhubungan satu sama lain. Beberapa latihan seperti koordinasi mata-kaki,daya ledak otot tungkai dan kekuatan otot lengan sangat penting dimiliki oleh seorang pelari khususnya seorang sprinter. Karena dalam melakukan lari cepat atau sprint, atlet harus mampu melakukan gerakan berpindah cepat dari satu titik ke titik lain dalam 35 waktu yang sangat singkat dan harus dilakukan dengan gerakan teknik berlari yang baik dan benar. Pengaruh kekuatan otot tangan juga memiliki pengaruh yang cukup besar dalam melakukan teknik gerakan lari, dimana semakin besar kekuatan otot lengan dalam mengayun maka akan semakin cepat pula pergerakan kaki dalam berlari. Kekuatan tangan dibutuhkan pada akselerasi pertama saat tubuh keluar dari start block, dimana atlet harus mampu mengayunkan dengan kuat tangannya yang bertujuan memberikan percepatan berlari pada saat akselerasi sehingga memberikan gerak yang seimbang antara gerakan ayunan tangan dengan kayuhan kaki. Jika kecepatan tangan tidak seimbang dengan kayuhan kaki pada saat keluar start block akan dapat menyebabkan atlet tidak seimbang dalam mempertahankan keadaan tubuhnya dan fatal nya akan membuat atlet bisa terjatuh(Sajoto, 1988). Pelatihan dumbbell merupakan salah satu pelatihan yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan ayunan lengan. Menurut hasil penelitian Nurfandana, et al., (2012), bahwa pelatihan dumbbell dapat meningkatkan kekuatan ayunan lengan dan dapat berpengaruh terhadap kecepatan lari pada atlet. 2.7.3 Perubahan Yang Terjadi Akibat Latihan Latihan yang dilakukan secara teratur dan sistematis akan mempengaruhi berbagai perubahan yang terjadi didalam tubuh. Perubahan yang terjadi baik menghasilakan perubahan-perubahan fisiologis yang mengarah pada perubahan kemampuan fungsi tubuh. Perubahan-perubahan biokimia tersebut yaitu (Fox dan Bower, 1992 ): 36 Perubahan dalam otot rangka dikelompokkan menjadi dua, yaitu karena disebabkan oleh latihan aerobik dan karena disebabkan oleh latihan anaerobik. Dan berikut lebih jelas perubahan yang terjadi : a. Perubahan AkibatLatihan Aerobik: 1. Meningkatnya cadangan glokusan dan trigliserida, 2. Meningkatnya ekstraksi oksigen yang disebabkan adanya peningkatan konsentrasi myoglobin, 3. Meningkatnya pengangkutan oksigen melalui vaskularisasi karena jumlah kapiler dalam otot meningkan, 4. Bertambahnya tempat untuk memproduksi energi karena bertambahnya ukuran dan jumalah mitokondria, 5. Terjadi peningkatan produksi ATP melalui system aerobik, karena jumlah enzim oksidatif meningkat sangat banyak. b. Perubahan Akibat Latihan Anaerobik: 1. Peningkatan sistem ATP-PC yang seiring dengan meningkatnya cadangan ATP-PC, 2. Peningkatan cadangan glukosa Meningkatnya dan kecepatan aktivitas kontraksi enzim-enzim otot, 4. glikolitik, Hipertropi 3. otot (Meningkatnya area crossectional, dengan demikian meningkatkan kekuatan otot, meningkatnya jumlah dan ukuran myofibril per serabut otot, meningkatnya jumlah aktin dan myosin, meningkatnya diameter serabut otot.). 5. Meningkatnya densitas kapiler per serabut otot, 6. Meningkatnya kekuatan tendon dan ligament, 7. Meningkatnya kekuatan rekruitmen motor unit, 8. Meningkatnya berat tubuh tanpa lemak. 37 2.8 Takaran Pelatihan Dumbbell Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip pelatihan. Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011). 1. Intensitas a. Intensitas pada pelatihan dumbbell merupakan ukuran terhadap aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari kemampuan maksimalnya. Pada penelitian ini, takaran pelatihan kecepatan dengan menggunakan dumbbell, intensitas yang digunakan adalah intensitas medium sampai sub-maksimum yaitu 60%-90%. Intensitas tersebut diukur berdasarkan beratnya beban yang digunakan (Nala, 2011). 2. Volume Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya, berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set. 38 Dalam penelitian ini volume yang digunakan menurut Nala (2011) adalah sebagai berikut: a. Durasi Durasi merupakan lamanya waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan, bahkan tahun). Dalam penelitian ini durasi waktu yang digunakan untuk pelatihan kekuatan yaitu selama 1-2 menit, untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal durasi yang sebaiknya digunakan adalah 2 menit. b. Set Set adalah satu rangkaian dari repetisi. Untuk pelatihan kekuatan set yang dianjurkan adalah 3-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 3 set. c. Istirahat Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kekuatan. Waktu istirahat yang dianjurkan adalah selama 2 menit antar set, untuk mencegah terlalu lamanya waktu istirahat. 3. Frekuensi Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan perminggu. Dalam pelatihan kekuatan, frekuensi yang biasa digunakan adalah 3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1993). 39 Berdasarkan pertimbangan teoritis dan terkait dengan pertimbangan atlet sprint SMK Negeri 1 Denpasar, maka dalam penelitian ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula (Nala, 1998). Pelatihan ini dilaksanakan 5 minggu agar menghasilkan efek yang optimal.