6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lari Sprint Lari (sprint) adalah nomor

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lari Sprint
Lari (sprint) adalah nomor lari dengan kecepatan penuh sepanjang jarak
yang harus ditempuh yang meliputi jarak 100 meter, 200 meter dan 400 meter.
Oleh karena itu lari ini membutuhkan kecepatan yang tinggi (Suherman, 2008).
Lari cepat (sprint) adalah satu kategori cabang lomba yang mencakup semua jarak
hingga jarak 400 meter dimana jarak 400 meter diklasifikasikan sebagai sprint
jarak menengah, sedangkan jarak lari di atas 400 meter sudah termasuk sprint
panjang (Carr, 1997). Lari cepat 100 meter membutuhkan waktu singkat (10-15
detik) dan termasuk olahraga siklik dimana sumber energi utamanya adalah
anaerobik, semakin tinggi kecepatan semakin besar pula porsi sumber energi
anaerobik (Bompa, 1994).
Kecepatan merupakan salah satu komponen biomotorik yang paling
berpengaruh terhadap lari cepat (Harsono, 1997). Agar seseorang dapat bergerak
dengan cepat maka perlu diberi pelatihan (Bompa, 1994). Dalam melatih
kecepatan Sidik (2011) menjelaskan metode yang dapat diterapkan seperti metode
repetisi, metode interval, metode lari dengan tempo atau metode kontinyu.
Suatu program pelatihan harus merancang periodisasi dengan baik dan
cermat, Ballesteros (1993) memaparkan skema periodisasi latihan singkat untuk
sprint yaitu persiapan umum yang berisikan latihan conditioning, daya tahan
kecepatan, lari di bukit, fartlek dan latihan kecepatan, persiapan khusus yang
6
7
berisikan latihan kekuatan, lompat, lari dengan beban, daya tahan kecepatan
pendek, interval training intensif, kecepatan penuh dan daya tahan kecepatan jauh,
dan persipan lomba yang berisikan latihan start, lari ringan, kelentukan, lari
dengan irama kompetisi.
2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan lari
Faktor yang mempengaruhi kecepatan lari dapat dikelompokkan menjadi 2
yaitu, faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari genetik,
umur, kelelahan, motivasi sedangkan faktor eksternal terdiri dari, suhu dan
kelembaban udara, arah dan kecepatan angin, ketinggian tempat, lingkungan
sosial. Berikut uraian dari faktor-faktor tersebut:
1. Faktor Internal
a) Genetik
Genetik manusia, unit yang kecil yang tersusun atas sekuen
Deoxyribonucleic Acid (DNA) adalah bahan paling mendasar dalam
menentukan hereditas. Keunggulan genetik yang bersifat pembawaan
atau genetik tertentu diperlukan untuk berhasil dalam cabang olahraga
tertentu. Beberapa komponen dasar seperti proporsi tubuh, karakter,
psikologis, otot merah, otot putih dan suku, sering menjadi pertimbangan
untuk pemilihan atlet (Widhiyanti 2013). Tubuh seseorang secara genetik
rata-rata tersusun oleh 50% serabut otot tipe lambat dan 50% serabut otot
tipe cepat pada otot yang digunakan untuk bergerak (Quinn, 2013).
8
b) Umur
Massa otot semakin besar seiring dengan bertambahnya umur
seseorang. Pembesaran otot ini erat sekali kaitannya dengan kekuatan
otot, dimana kekuatan otot merupakan komponen penting dalam
peningkatan kecepatan lari. Kekuatan otot akan meningkat sesuai dengan
pertambahan umur (Kamen dan Roy, 2000).
Selain ditentukan oleh pertumbuhan fisik, kekuatan otot ini ditentukan
oleh aktivitas ototnya. Kekuatan otot akan terus meningkat sesuai dengan
pertambahan umur hingga mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun,
setelah itu kekuatan otot akan menurun mencapai 20% pada umur 65
tahun (Nala, 2002). Pelatihan olahraga atletik termasuk lari cepat 100
meter mulai dilatih dari umur 10-12 tahun, dan pelatihan spesialisasi
pada umur 13-24 tahun, sehingga puncak prestasinya pada umur 18-23
tahun (Bompa, 1994).
c) Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh adalah nilai yang diambil dari perhitungan
antara berat badan dan tinggi badan seseorang. Rumus menghitung IMT
adalah, IMT = Berat Badan (kg) / [Tinggi Badan (m)]2. IMT normal
sebesar 18,5-22,9 kg/m2(Arga, 2008).
9
Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh Indonesia
IMT
Kategori
< 18,5
Berat badan kurang
18,5 – 22,9
Berat badan normal
23,0 – 24,9
Overweight
25,0 – 29.9
Obes I
≥ 30,0
Obes II
(Sumber: Depkes RI, 1994)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat kegemukan memiliki
pengaruh yang besar terhadap performa empat komponen fitness dan testes kemampuan atletik. Kegemukan tubuh berhubungan dengan
keburukan performa atlet pada tes-tes speed (kecepatan), endurance(daya
tahan), balance (kesimbangan) agility (kelincahan) serta power (daya
ledak) (Arga, 2008).
d) Jenis kelamin
Kekuatan otot laki-laki sedikit lebih kuat daripada kekuatan otot
perempuan pada usia 10-12 tahun. Perbedaan kekuatan yang signifikan
terjadi seiring pertambahan umur, di mana kekuatan otot laki-laki jauh
lebih kuat daripada wanita (Bompa, 2005). Pengaruh hormon testosteron
memacu pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki, ditambah perbedaan
pertumbuhan fisik dan aktivitas fisik wanita yang kurang juga
menyebabkan kekuatan otot wanita tidak sebaik laki-laki. Bahkan pada
umur 18 tahun ke atas, kekuatan otot bagian atas tubuh pada laki-laki dua
10
kali lipat daripada perempuan, sedangkan kekuatan otot tubuh bagian
bawah berbeda sepertiganya (Nala, 2011).
e) Kelelahan
Kelelahan dapat mengurangi kecepatan lari. Karena itu, penting
memelihara daya tahan jantung dan daya tahan otot, agar kelelahan tidak
mudah timbul (Kamen dan Roy, 2000).
f) Motivasi
Motivasi olahraga adalah keseluruhan daya penggerak (motif–motif)
didalam diri individu yang menimbulkan kegiatan berolahraga, menjamin
kelangsungan latihan dan memberi arah pada kegiatan latihan untuk
mencapai tujuan yang dikehendaki (Gunarsa, 2004). Dengan motivasi
yang baik akan dicapai hasil latihan maksimal.
2. Faktor Eksternal
a) Suhu dan kelembaban relatif
Suhu sangat berpengaruh terhadap performa otot. Suhu yang terlalu
panas menyebabkan seseorang akan mengalami dehidrasi saat latihan.
Dan suhu yang terlalu dingin menyebabkan seorang atlet susah
mempertahankan suhu tubuhnya, bahkan menyebabkan kram otot. Pada
umumnya upaya penyesuaian fisiologis atau adaptasi orang Indonesia
terhadap suhu tropis sekitar 290-300C dan kelembaban relatif antara 85%95% (Widhiyanti, 2013).
11
b) Arah dan kecepatan angin
Arah dan kecepatan angin berpengaruh karena pelatihan berlangsung
di lapangan terbuka. Arah angin diukur dengan bendera angin/kantong
angin sedangkan kecepatannya dengan anemometer. Dalam penelitian
ini, arah dan kecepatan angin berada dalam batas toleransi, diharapkan
pengaruhnya dapat ditekan sekecil-kecilnya atau tempat pengambilan
data berada pada kondisi yang sama atau satu tempat (Kanginan, 2000).
c) Ketinggian tempat
Tempat yang percepatan gravitasinya rendah akan lebih mudah
mengangkat tubuh karena beratnya berkurang sebanding dengan
penurunan percepatan gravitasi. Keuntungan ini dibayar dengan kerugian
yang lebih besar yaitu setiap ketinggian 100 meter diatas permukaan laut
akan terjadi penurunan tekanan udara sebesar 6-10 mmHg. Penurunan
tekanan udara ini akan menurunkan kadar O2 (oksigen), sehingga bila
atlet biasa berlatih di dekat permukaan laut kemudian bertanding di
tempat tinggi dengan kadar O2 (oksigen) rendah, maka frekuensi
pernafasannya akan lebih tinggi karena konsumsi O2 sama dengan saat
berlatih sedangkan banyaknya O2 (oksigen) yang dihirup sekali nafas
berkurang (Gabriel, 2003).
d) Asupan makanan
Asupan makanan juga berpengaruh pada kecepatan lari, ketersediaan
nutrisi dalam tubuh akan mempengaruhi kinerja otot. Hasil penelitian
12
Sumosarjono (1999) menyatakan bahwa para atlet lari sebaiknya makan
makanan yang terakhir 3-4 jam sebelum lomba.
2.2 Anatomi Otot Bahu dan Siku
Otot-otot bahudan siku yang berperan pada saat lari yaitu (Cael, 2010):
a. Biceps brachii
Biceps brachii merupakan salah satu otot yang paling superficial
dilengan atas dan bekerja pada kedua bahu dan lengan. Biceps brachii
dibagi menjadi 2 (dua) yaitu long head bicep brahii dan short head bicep
brachii. Long head bicep brachii berorigo pada supraglenoid tubercle dari
scapula dan berfungsi ketika fleksi dan abduksi bahu. Short head bicep
brachii berorigo pada coracoid process dari scapula dan berfungsi ketika
adduksi bahu. Biceps brachii berinsersio pada radial tuberosity dan
bicipital aponeurosis overlying common flexor tendon. Fungsi dari biceps
brachii ini yaitu membantu menstabilkan bahu selama fleksi. Biceps
brachii bekerja sama dengan deltoid, coracobrachialis, dan trisep brachii.
Short head biceps brachii juga bekerja sama dengan coracobrachialis
untuk aduksi lengan dan ayunan ke depan selama berjalan.
13
Gambar 2.1. Otot Biceps Brachialis (Sumber: Cael, 2010)
b. Latisimus dorsi
Latissimus dorsi adalah otot punggung yang besar, yang berkontraksi
pada saat ekstensi, adduksi, dan internal rotasi bahu. Latisimus dorsi
berorigo pada spinous processes dari T7-L5, posterior iliac crest dan
posterior sacrum, dan berinsersio pada medial lip dari bicipital groove
pada humerus.
14
Gambar 2.2. Otot Latisimus Dorsi (Sumber: Cael, 2010)
c. Teres mayor
Teres mayor merupakan otot yang berhubungan sinergis dengan
latisimus dorsi karena teres mayor dan latisimus dorsi memiliki fungsi
yang sama, yaitu ekstensi, adduksi, dan rotasi internal sendi bahu. Pada
saat melakukan rotasi internal sendi bahu, teres mayor bekerja lebih kuat
dengan subskapularis daripada otot rotator cuff lainnya. Teres minor
mungkin memiliki bentuk yang sama seperti teres mayor, tetapi mereka
tidak memiliki fungsi yang sama. Bahkan, teres minor adalah antagonis
untuk teres besar karena membungkus sekitar humerus posterior dan
berfungsi sebagai eksternal rotasi. Teres mayor berorigo pada inferior
lateral border dari scapula dan berinsersio pada sulcusbicipitalis dari
humerus.
15
Gambar 2.3. Otot Teres Mayor (Sumber: Cael, 2010)
d. Triceps brachii
Triceps brachii dibagi menjadi tiga bagian yaitu long head, medial
head dan lateral head triceps brachii. Long head tricepp brachii berorigo
pada infraglenoid tubercle dari scapula, medial head berorigo pada
stengah distal dari posterior shaft pada humerus dan lateral head berorigo
pada setengah proximal dari posterior pada batang humerus. Dari tiga
bagian dari triceps brachii tersebut sama-sama berinsersio pada
olecranon process dari ulna. Triceps brachii berfungsi pada saat ekstensi
dan adduksi bahu serta exstensi siku.
16
Gambar 2.4. Otot Triceps Brachii (Sumber: Cael, 2010)
e. Deltoid
Deltoid adalah penggerak utama untuk hampir semua gerakan sendi
bahu. Otot deltoid bagian anterior berorigo pada sepertiga dari clavicula,
bagian medilal berorigo pada acromion process dan bagian posterior
berorigo pada spina dari scapula. Semua dari bagian deltoid tersebut
berinsersio pada tuberositas deltoid pada humerus. Otot deltoid ini
memiliki fngsi yang berbeda-beda pada setiap bagian, hanya saja pada
bagian medial otot deltoid memiliki fungsi yang khusus. Pada bagian
anterior deltoid berfungsi pada saat fleksi, internal rotasi dan horizontal
17
adduksi pada bahu. Pada bagian posterior berfungsi pada saat ekstensi,
eksternal rotasi dan horizontal abduksi pada bahu.
Gambar 2.5. Otot Deltoid (Sumber: Cael, 2010)
f. Pectoralis mayor
Pectoralis mayor adalah otot dada yang kuat yang bertanggung jawab
untuk gerakan di depan tubuh, seperti mendorong, melempar, dan
meninju. Otot ini berorigo pada medial clavicula, sternum dan costal
cartilages dari costa 1-7, dan berinsersio pada crista tuberculum mayor
dari humerus. Otot ini berfungsi pada saat fleksi, adduksi, internal rotasi
dan horizontal adduksi pada sendi bahu.
18
Gambar 2.6. Otot Pectoralis Mayor (Sumber: Cael, 2010)
g. Coracobrachialis
Coracobrachialis merupakan otot penstabil sendi bahu yang kuat dan
membantu saat mengayunkan lengan ke depan saat berjalan. Otot ini
berorigo pada procesus coracoideus dari scapula dan berinsersio pada
sepertiga dari humerus. Otot ini berfungsi pada saat fleksi dan adduksi
bahu. Coracobrachialis bekerja kuat dengan biceps brachii untuk
adduksi bahu.
19
Gambar 2.7. Otot Coracobrachialis (Sumber: Cael, 2010)
h. Brachialis
Brachialis bekerja sama dengan biceps brachii dan brachioradialis
untuk menghasilkan fleksi siku. Otot ini berorigo pada setengah distal
dari permukaan anterior humerus dan berinsersio pada tuberositas dan
coronoid process dari ulna.
20
Gambar 2.8. Otot Brachialis (Sumber: Cael, 2010)
i. Brachioradialis
Brachioradialis merupakan otot yang berorigo pada duapertiga
proksimal humerus dari lateral supracondylar dan berinsersio pada
bagian lateral dari procesus styloideus pada radius. Otot ini berfungsi
untuk menghasilkan gerakan fleksi siku dan pronasi-supinasi pada
lengan.
21
Gambar 2.9. Otot Brachioradialis (Sumber: Cael, 2010)
2.3 Fisiologi Otot Rangka
Karakteristik otot rangka secara fisiologis ada 4 aspek
yaitu:
kontraktilitasyaitu kemampuan otot untuk mengadakan respon (memendek) bila
dirangsang. Exstensibility(distensibility) yaitu kemampuan otot untuk memanjang
bila otot ditarik atau ada gaya yang bekerja pada otot tersebut bila otot rangka
diberi beban. Elasticity yaitu kemampuan otot untuk kembali ke bentuk dan
ukuran semula setelah mengalami exstensibility atau distensibility (memanjang)
atau contractility (memendek). Exsitability electricyaitu kemampuan untuk
merespon terhadap rangsangan tertentu dengan memproduksi sinyal-sinyal listrik
disebut tindakan potensi (Tortora dan Derrickson, 2009).
Otot rangka memperlihatkan kemampuan berubah yang besar dalam
memberi respon terhadap berbagai bentuk latihan (Sudarsono, 2009). Beberapa
unit organ tubuh akan mengalami perubahan akibat dilakukan pelatihan. Latihan
22
daya ledak akan meningkatkan diameter otot (Nala, 2011). Dengan latihan yang
teratur, akan memberikan beberapa efek positifterhadapotot, bahkan perubahan
adaptif jangka panjang dapat terjadi pada serat otot, yang memungkinkan untuk
respon lebih efisien terhadap berbagai jenis kebutuhan pada otot (Wiarto, 2013).
2.4 Biomekanik Lengan yang Terlibat dalam Gerakan Lari Sprint
Pada saat melakukan gerakan lari, sendi pada lengan yang berperan yaitu
sendi bahu dan sendi siku. Sendi siku merupakan sendi yang proksimal pada
anggota gerak atas yang paling mobilitas dari sendi-sendi tubuh manusia.
Persendian ini mempunyai 3 DKG (Derajat Kebebasan Gerak) dan terjadi pada 3
bidang gerak dengan axis-axis (Anshar dan Sudaryanto, 2011), sebagai berikut:
a. Axis transversalis, untuk mengontrol gerakan fleksi dan ekstensi yang
dilakukan pada gerakan sagital.
b. Axis antero-posterior, mengontrol gerakan abduksi yang adduksi
dilakukan pada bidang gerak frontal.
c. Axis vertikalis, berjalan melalui perpotongan bidang gerak fleksi dan
ekstensi yang dilakukan bidang gerak horizontal dengan lengan dalam
posisi abduksi 90º.
d. Axis longitudinal humeri, untuk mengontrol gerakan endorotasi dan
eksorotasi lengan.
Gerakan bahu yang terjadi pada saat mengayunkan lengan yaitu gerakan
fleksi dan ekstensi shoulder, yang terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis
transversalis atau frontalis:
23
1. Extensi: 45-50º
2. Fleksi: 180º, perlu dicatat posisi fleksi 180º, sama dengan abduksi 180º.
3. Otot yang bekerja pada gerakan fleksi adalah pectoralis major,
coracobrachialis, biceps brachii, dan deltoideus pars anterior.
4. Otot yang bekerja pada gerakan ekstensi adalah teres major, triceps
brachii (caput longum), deltoideus pars posterior, dan latissimus dorsi.
Gambar 2.10. Gerakan fleksi dan Ekstensi Bahu (Sumber: Carr, 1997)
Tabel 2.2 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika shoulder joint
Gerakan Angular Humeri
Arthrokinematika Caput Humeri
Fleksi
Spin
Ekstensi
Spin
(Sumber : Anshar dan Sudaryanto, 2011)
Sendi siku adalah persendian tengah dari ekstremitas superior, yang
menjadi penyambung mekanikal antara segmen I (lengan atas) dengan segmen II
(lengan bawah). Gerakan yang terjadi pada sendisiku adalah gerakan fleksi,
24
gerakan fleksi yang diperankan oleh sendi siku yang sebenarnya yaitu
humeroulnar joint serta humeroradial joint. Fleksi siku yaitu mendekatnya aspek
anterior lengan atas dan lengan bawah: untuk fleksi aktif 145º dan untuk fleksi
pasif 160º. Fleksi elbow paling menguntungkan saat bekerja dalam posisi fleksi
90º. Sudut efisiensi maksimal dari fleksi adalah 80º-90º oleh biceps brachii dan
100º-110º.
Gambar 2.11. Fleksi Siku (Sumber: Carr, 1997)
Tabel 2.3 Hubungan gerak angular dengan arthrokinematika elbow joint
Gerakan Angular
Arthrokinematika Terhadap Trochlea
Fleksi
Distal/Anterior
Ekstensi
Proksimal
(Sumber:Anshar dan Sudaryanto, 2011)
2.5 Pelatihan
Pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis dari pelatihan atau
bekerja dengan berulang-ulang dengan penambahan beban pelatihan dan
pekerjaannya secara progresif (Harsono,1993). Pelatihan merupakan suatu
25
aktivitas komplek, suatu kinerja dari atlet yang dilakukan secara sistematis dalam
durasi yang panjang, progresif dan berjenjang (Bompa, 1994). Pelatihan juga
dapat didefinisikan sebagai suatu gerakan fisik atau aktivitas mental yang
dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang (repetitif) dalam jangka waktu
(durasi) lama, dengan pembebanan yang dapat ditingkatakan secara progresif dan
individual serta secara fisiologis merupakan suatu proses pembentukan reflek
bersyarat, proses belajar gerak serta proses menghafalkan gerakan (Nala, 2002).
Secara garis besar ada 4 aspek besar pelatihan yang diperlukan dalam
meningkatakan penampilan seseorang. Pelatihan itu menyangkut: pelatihan fisik,
pelatihan teknik, pelatihan taktik, dan pelatihan mental (Soetopo, 2007).
Setiap pelatihan tentu mempunyai tujuan. Bila tidak ditetapkan terlebih
dahulu tujuan setiap
pelatihan, akan menyulitkan dalam menyusun program
pelaksanaan pelatihannya. Atau apa yang diinginkan tidak tercapai, dan jangan
dikelirukan dengan tujuan berolahraga. Tujuan berolahraga berlainan dengan
tujuan pelatihan. Tujuan berolahraga yaitu untuk rekreasi, pendidikan, kesehatan,
kebugaran fisik dan prestasi (Nala, 2011).
Tujuan utama pelatihan adalah untuk membantu atlet dalam meningkatkan
keterampilan dan prestasi semaksimal mungkin (Harsono, 1988). Menurut Bompa
(1983) untuk mencapai tujuan utama pelatihan, yakni peningkatan keterampilan
dan penampilan seseorang, maka atlet yang dituntun oleh pelatih harus memenuhi
tujuan umum pelatihan. Dalam mendefinisikan tujuan pelatihan dapat dibagi
dalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pelatihan
adalah untuk menjuarai satu kompetisi sebagai sasaran akhir berdasarkan kalender
26
kompetisi yang di tetapkan. Tujuan khusus pelatihan adalah untuk membentuk,
meningkatkan dan mempertahankan kondisi biomotor ability, fisiologis,
psikologis dan ketrampilan motorik dalam teknik dan taktik berdasarkan fase-fase
yang telah ditetapkan, yang tentunya sesuai dengan prinsip-prinsip pelatihan.
2.5.1 Pengertian Pelatihan Berbeban
Dalam menunjak dan meningkatkan prestasi olahraga khususnya dalam
olahraga teknik latihan yang benar sangat diperlukan. Menurut Soedjarwo,(1993)
yang dimaksud dengan latihan adalah suatu proses sistematis secara berulangulang secara ajeg dengan selalu memberikan peningkatan beban latihan.
Sedangkan Bompa (1990) mengatakan bahwa latihan adalah untuk mencapai
tujuan perbaikan sistem organisma dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi
atau penampilan
Jadi dapat disimpulkan bahwa, latihan merupakan suatu aktivitas yang
dilakukan secara sistematis dan terencana dalam meningkatkan fungsional tubuh
atau dapat dikatakan bahwa latihan merupakan kegiatan yang sistematis dan
dilakukan secara berulang-ulang secara periodik dan berkelanjutan dengan tujuan
untuk meningkatkan prestasi olahraga. Sedangkan yang dimaksud dengan
sistematis adalah berencana menurut jadwal, pola dan system tertentu, metodis
dari yang mudah menuju yang lebih rumit, latihan yang teratur dari yang
sederhana menuju yang lebih kompleks. Berulang-ulang sendiri maksudnya
adalah agar gerakan gerakan yang lebih sulit dapat dilakukan dengan lebih mudah,
otomatis dan reflektis dalam pelaksanaannya sehingga akan semakin menghemat
energy. Setiap hari maksudnya adalah setiap kali secara periodik dan kemudian
27
beban ditambah secara berkala. Dalam kegiatan olahraga, latihan berguna untuk
meningkatkan keterampilan dan kemampuan seorang atlet atau pemin dalam
melaksanakan kegiatan olahraga sesuai dengan bidang yang digelutinya.
Sedangkan untuk latihan berbeban atau weight training merupakan salah
satu bentuk latihan fisik yang dalam pelaksanaannya dapat menggunakan bantuan
tubuhnya sendiri bahkan tubuh dari temannya atau alat lain yang berupa besi yang
dapat digunakan sebagai beban dalam melaksanakan suatu program latihan dalam
memberikan efek terhadap otot rangka dan memberikan perubahan secara
morfologis dan fisiologis sehingga dapat membentuk serta meningkatkan
ketahanan dan kekuatan otot. Juga dapat dikatakan bahwa latihan berbeban
merupakan latihan-latihan yang dilakukan terhadap penghalangan untuk
meningkatkan kualitas dari otot-otot yang dilatih pada seseorang yang berlatih
untuk meningkatkan kebugaran (Bhaecle & Grovers, 2003).
2.5.2 Pelatihan dengan Metode Progressive Resistance Exercise
Metode ini seringkali dikenal dengan pembebanan dengan menggunakan
metode linier. Latihan berbeban Progressive Resistance Exercise merupakan
bentuk latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan, daya tahan,
power dan lain sebagainya. Metode ini digunakan oleh kebanyakan pelatih karena
dapat digunakan mempercepat peningkatan kondisi fisik dan power atau daya
ledak tubuh secara cepat, misalnya program latihan jangka pendek atau pun
jangka menengah.
Latihan berbeban dengan pembebanan Progressive yaitu suatu metode
latihan berbeban di mana beban latihan ditingkatkan secara bertahap dan dalam
28
peningkatannya tersebut dilakukan secara terus menerus tanpa adanya
pengurangan beban. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukadiyanto pada tahun
2002, yang mengatakan bahwa latihan bersifat progresif. Apabila dalam latihan
tidak terjadi peningktan beban maka, superkompensasi tidak terbentuk dan terjadi
stagnasi prestasi. Setiap jenis latihan memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.
Gambar 2.12 Latihan berbeban dengan metode progressive resistance
(Bompa, 1990)
Dalam hal ini berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari
Progressive resistance Exercise yaitu.
Kelebihan :
a. Kapasitas fungsional system di dalam tubuh meningkat.
b. Kekuatan daya tahan otot semakin meningkat
c. Beban latihan meningkat secara teratur
Kekurangan :
a. Kesempatan waktu untuk regenerasi sedikit.
29
b. Persiapan untuk kondisi tubuh dalam berdaptasi dengan peningkatan
beban latihan kurang.
c. Pemulihan energi secara fisiologis reatif sedikit.
2.6 Prinsip-Prinsip Pelatihan
Prinsip pelatihan merupakan suatu petunjuk dan peraturan yang sistematis,
dengan pemberian beban yang ditingkatkan secara progresif, yang harus ditaati
dan dilaksanakan agar tercapai tujuan pelatihan. Selama proses pelatihan
berlangsung, prinsip ini harus diikuti dengan penuh kesungguhan, tanpa adanya
penyimpangan oleh semua pihak. Tiadanya ketaatan dari pelatih dan atlet akan
sukar mencapai hasil pelatihan yang maksimal (Nala, 2011).
Ada beberapa prinsip latihan yang perlu dipahami dengan baik dan benar
oleh para atlet yang akan meningkatkan prestasinya. Menurut Fox, et al (1984),
bahwa prinsip-prinsip pelatihan tersebut adalah:
a. Prinsip beban berlebih (the overload principle). Prinsip pelatihan ini
bertujuan untuk mendapatkan pengaruh latihan yang baik, organ tubuh
harus mendapat beban yang biasanya diterima dalam aktivitas sehari-hari.
Beban yang diterima bersifat individual, tetapi pada prinsipnya diberi beban
sampai mendekati maksimal.
b. Prinsip beban bertambah (the principle of progressive resistance). Prinsip
latihan ini adalah beban kerja dalam latihan ditingkatkan secara bertahap
dan disesuaikan dengan kemampuan fisiologi dan psikologi setiap atlet.
30
c. Prinsip latihan beraturan (the principle of arrangement of exercise). Dalam
setiap melaksanakan latihan, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu :
pemanasan, latihan inti dan pendinginan. Latihan hendaknya dimulai dari
kelompok otot yang besar, kemudian dilanjutkan pada kelompok otot yang
kecil.
d. Prinsip kekhususan (the principle of specificity). Kekhususan adalah latihan
satu cabang olahraga, mengarah pada perubahan morfologi dan fungsional
yang berkaitan dengan kekhususan cabang olahraga tersebut. Kekhususan
tersebut meliputi kelompok otot yang dilatih dan latihan yang diberikan
harus sesuai dengan keterampilan khusus.
e. Prinsip individualisasi (the principle of Individuality). Faktor individu
mempunyai karakteristik yang berbeda, baik secara fisik maupun secara
psikologis. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah kapasitas kerja
serta perkembangan kepribadian, penyesuaian kapasitas fungsional individu
dan kekhususan organisme.
f. Prinsip kembali asal (reversible principle). Kualitas yang diperoleh dari
latihan akan dapat menurun apabila tidak melakukan latihan dalam waktu
tertentu, demikian harus berkesinambungan.
g. Prinsip beragam (variety principle). Latihan memerlukan proses panjang
yang dilakukan berulang-ulang, hal ini sering menimbulkan kebosanan.
Untuk mengatasinya pelatih harus mampu menciptakan suasana yang
menyenangkan serta membuat aneka macam bentuk latihan.Dalam melakukan
pelatihan harus sesuai dengan prosedur pelatihan, yaitu sebelum melakukan
31
pelatihan inti perlu dilakukan pemanasan yang berupa gerakan-gerakan ringan
selama 5-10 menit termasuk peregangan otot-otot (Nala,1998).
Pemanasan adalah suatu latihan yang sangat bersifat fisiologis yang telah
secara luas diterima dalam program olahraga. Pemanasan menghasilkan
penampilan berupa latihan dengan intensitas ringan sampai sedang sebelum
pertandingan
dengan
intensitas
yang
lebih
tinggi.
Pemanasan
sangat
menguntungkan penampilan karena meningkatkan suhu otot aktif. Kenaikan suhu
otot memungkinkan otot berkontraksi dan berelaksasi. Pemanasan juga
mempermudah lepasnya oksigen dari hemoglobin dan menaikkan volume oksigen
sehingga kebutuhan energi aerobik berkurang pada permulaan latihan keras, lagi
pula pemanasan awal dapat mengurangi resiko cedera tendon dan otot. Pemanasan
atau warming up sangatperlu dilakukan oleh setiap atlet baik sebelum berlatih
maupun sebelum pertandingan. Sistem tubuh pada waktu istirahat berada dalam
keadaan inersia atau tidak begitu aktif. Pemanasan yang diberikan dalam
penelitian ini dilakukan dengan berlari mengelilingi lapangan selama 10 menit,
yang bertujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah ke seluruh otot lurik.
Kemudian dilanjutkan dengan peregangan yang meliputi peregangan otot leher,
lengan, pinggang dan otot-otot tungkai (Nala, 2002).
Untuk mengembalikan kondisi tubuh setelah melakukan pelatihan perlu
dilakukan pendinginan. Pendinginan merupakan kegiatan penutupan berisi
kegiatan yang tujuannya untuk menyesuaikan keadaan tubuh secara bertahap agar
kembali ke kondisi normal. Kegiatan pendinginan ini bermanfaat untuk mencegah
otot terasa pegal dan kaku. Kegiatannya seperti dengan berbaring, duduk dengan
32
kaki lebih tinggi. Bisa juga diakhiri dengan jalan kaki lamban selama 3-5 menit,
atau hingga denyut jantung kembali normal. Arti fisiologis yang dapat ditelusuri
dari latihan penutupan ini ialah gerakan-gerakan ringan itu akan membantu
memperlancar sirkulasi (mengaktifkan pompa vena), sehingga akan membantu
mempercepat pembuangan sampah-sampah sisa olahdaya dari otot-otot yang aktif
pada waktu melakukan olahraga sebelumnya (Lutan, 2002). Tersingkirnya
sampah-sampah sisa olahdaya, maka rasa pegal setelah olahraga dapat dicegah
atau dikurangi. Itulah arti fisiologis dari latihan pendinginan yang pada
hakikatnya berupa auto-massage yaitu memijit oleh diri sendiri(Giriwijoyo,
1992).
Pendinginan atau cooling down dilakukan setelah selesai melakukan
pelatihan atau aktivitas fisik lainnya. Tujuan dari pendinginan adalah menarik
kembali secepatnya darah yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif
sebelumnya ke peredaran darah sentral. Selain itu, berfungsi juga untuk
membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme berupa tumpukan asam laktat
yang berada di dalam otot dan darah. Latihan pendinginan dalam penelitian ini
dilakukan kurang lebih 10 menit. Kegiatan yang dilakukan dalam latihan
penutupan ini adalah berjalan kaki lamban selama 3 menit, duduk sambil
melakukan peregangan statis dan pelemasan terutama pada anggota gerak tubuh
bagian bawah selama 7 menit (Nala, 2002).
33
2.7 Pelatihan Dumbbell
2.7.1 Pengertian Dumbbell
Dumbbell merupakan suatu alat pelatihan kekuatan yang dilakukan dengan
cara kedua tangan menggenggam dumbbell lalu diayunkan. Tujuan latihan ini
adalah untuk melatih kekuatan otot lengan sehingga dapat meningkatkan
kecepatan lari atlet sprint.
Kekuatan otot merupakan komponen biomotorik yang diperlukan oleh
semua atlet, dengan kadar tingkatan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Komponen ini dapat ditingkatkan dengan cara memberikan tahanan internal
maupun eksternal terhadap otot bersangkutan. Tahanan internal berupa tahanan
dari dalam tubuh sendiri, dimana kontraksi sekelompok otot dihambat atau
dilawankan dengan kontraksi kelompok otot lainnya, misalnya berupa usaha
lengan kanan untuk melakukan fleksi yang dilawan (ditahan) oleh lengan kiri.
Sedangkan tahanan eksternal, tahanan dari luar tubuh, dapat berupa melawan
orang lain (saling menarik, mendorong, dll), mendorong tembok, menggunakan
alat berbentuk dumbel, resistance band, barbel, halter, karung pasir, batu, beton,
peralatan olahraga atau bentuk beban lainnya (peralatan mesin di pusat kebugaran
fisik, fitness centre) (Nala, 2011).
Komponen biomotorik seperti kekuatan otot akan mengalami peningkatan
fungsi secara fisiologis dengan diberikan pelatihan dumbbell sehingga akan
berpengaruh terhadap peningkatan kecepatan lari 100 meter. Kekuatan merupakan
kemampuan neuromuskuler untuk mengatasi tahanan beban luar dan beban dalam.
Akan terjadi penigkatan kemampuan dan respon fisiologis pada pelatihan ini yaitu
34
terjadi hypertrophy (pembesaran otot), dan adaptasi persyarafan. Terjadinya
hypertrophy disebabkan oleh bertambahnya jumlah myofibril pada setiap serabut
otot, meningkatnya kepadatan kapiler pada serabut otot dan meningkatnya jumlah
serabut otot. Terjadinya adaptasi persyarafan ditandai dengan peningkatan teknik
dan tingkat keterampilan seseorang (Sukadiyanto, 2005).
Prosedur pelaksanaan dumbbell untuk meningkatkan kekuatan, sebagai
berikut (Nurfandana, et al., 2012):
a. Kedua tangan sampel menggenggam dumbbell
b. Posisi sampel berdiri seperti posisi berlari dengan posisi satu kaki di
depan dalam posisi menekuk, dan kaki lainnya kebelakang dalam
keadaan lurus.
c. Sampel diminta untuk mengayunkan lengan, dengan posisi siku menekuk
deengan sudut 90º.
2.7.2 Pengaruh Pemberian Kekuatan Ayunan Lengan dengan Pelatihan
Dumbbell terhadap Peningkatan Kecepatan Lari
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil lari 100 m terdiri dari beberapa
komponen yaitu kekuatan, daya tahan, daya ledak, daya lentur, kelincahan,
koordinasi, keseimbangan dan reaksi. Semua komponen fisik tersebut sama
pentingnya untuk diberikan pada atlet karena saling berhubungan satu sama lain.
Beberapa latihan seperti koordinasi mata-kaki,daya ledak otot tungkai dan
kekuatan otot lengan sangat penting dimiliki oleh seorang pelari khususnya
seorang sprinter. Karena dalam melakukan lari cepat atau sprint, atlet harus
mampu melakukan gerakan berpindah cepat dari satu titik ke titik lain dalam
35
waktu yang sangat singkat dan harus dilakukan dengan gerakan teknik berlari
yang baik dan benar. Pengaruh kekuatan otot tangan juga memiliki pengaruh yang
cukup besar dalam melakukan teknik gerakan lari, dimana semakin besar
kekuatan otot lengan dalam mengayun maka akan semakin cepat pula pergerakan
kaki dalam berlari. Kekuatan tangan dibutuhkan pada akselerasi pertama saat
tubuh keluar dari start block, dimana atlet harus mampu mengayunkan dengan
kuat tangannya yang bertujuan memberikan percepatan berlari pada saat
akselerasi sehingga memberikan gerak yang seimbang antara gerakan ayunan
tangan dengan kayuhan kaki. Jika kecepatan tangan tidak seimbang dengan
kayuhan kaki pada saat keluar start block akan dapat menyebabkan atlet tidak
seimbang dalam mempertahankan keadaan tubuhnya dan fatal nya akan membuat
atlet bisa terjatuh(Sajoto, 1988).
Pelatihan dumbbell merupakan salah satu pelatihan yang digunakan untuk
meningkatkan kekuatan ayunan lengan. Menurut hasil penelitian Nurfandana, et
al., (2012), bahwa pelatihan dumbbell dapat meningkatkan kekuatan ayunan
lengan dan dapat berpengaruh terhadap kecepatan lari pada atlet.
2.7.3
Perubahan Yang Terjadi Akibat Latihan
Latihan yang dilakukan secara teratur dan sistematis akan mempengaruhi
berbagai perubahan yang terjadi didalam tubuh. Perubahan yang terjadi baik
menghasilakan perubahan-perubahan fisiologis yang mengarah pada perubahan
kemampuan fungsi tubuh. Perubahan-perubahan biokimia tersebut yaitu (Fox dan
Bower, 1992 ):
36
Perubahan dalam otot rangka dikelompokkan menjadi dua, yaitu karena
disebabkan oleh latihan aerobik dan karena disebabkan oleh latihan anaerobik.
Dan berikut lebih jelas perubahan yang terjadi :
a. Perubahan AkibatLatihan Aerobik: 1. Meningkatnya cadangan
glokusan dan trigliserida, 2. Meningkatnya ekstraksi oksigen yang
disebabkan
adanya
peningkatan
konsentrasi
myoglobin,
3.
Meningkatnya pengangkutan oksigen melalui vaskularisasi karena
jumlah kapiler dalam otot meningkan, 4. Bertambahnya tempat untuk
memproduksi energi karena bertambahnya ukuran dan jumalah
mitokondria, 5. Terjadi peningkatan produksi ATP melalui system
aerobik, karena jumlah enzim oksidatif meningkat sangat banyak.
b. Perubahan Akibat Latihan Anaerobik: 1. Peningkatan sistem ATP-PC
yang seiring dengan meningkatnya cadangan ATP-PC, 2. Peningkatan
cadangan
glukosa
Meningkatnya
dan
kecepatan
aktivitas
kontraksi
enzim-enzim
otot,
4.
glikolitik,
Hipertropi
3.
otot
(Meningkatnya area crossectional, dengan demikian meningkatkan
kekuatan otot, meningkatnya jumlah dan ukuran myofibril per serabut
otot, meningkatnya jumlah aktin dan myosin, meningkatnya diameter
serabut otot.). 5. Meningkatnya densitas kapiler per serabut otot, 6.
Meningkatnya kekuatan tendon dan ligament, 7. Meningkatnya
kekuatan rekruitmen motor unit, 8. Meningkatnya berat tubuh tanpa
lemak.
37
2.8 Takaran Pelatihan Dumbbell
Sebuah hasil latihan yang maksimal harus memiliki prinsip pelatihan.
Tanpa adanya prinsip atau patokan yang harus diikuti oleh semua pihak yang
terkait, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada evaluasi pelatihan akan
sulit mencapai hasil yang maksimal (Nala, 2011).
1. Intensitas
a. Intensitas pada pelatihan dumbbell merupakan ukuran terhadap
aktivitas yang dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Kualitas suatu
intensitas yang menyangkut kecepatan atau kekuatan dari suatu
aktivitas ditentukan oleh besar kecilnya persentase (%) dari
kemampuan maksimalnya. Pada penelitian ini, takaran pelatihan
kecepatan dengan menggunakan dumbbell, intensitas yang digunakan
adalah intensitas medium sampai sub-maksimum yaitu 60%-90%.
Intensitas tersebut diukur berdasarkan beratnya beban yang digunakan
(Nala, 2011).
2. Volume
Volume dalam pelatihan merupakan komponen takaran yang
paling penting dalam setiap pelatihan. Unsur volume ini merupakan
takaran kuantitatif, yakni satu kesatuan yang dapat diukur banyaknya,
berapa lama, jauh, tinggi atau jumlah suatu aktivitas (Nala, 2011). Pada
umumnya volume pelatihan ini terdiri dari atas : durasi atau lama waktu
pelatihan, jarak tempuh dan berat beban, serta jumlah repetisi dan set.
38
Dalam penelitian ini volume yang digunakan menurut Nala (2011) adalah
sebagai berikut:
a. Durasi
Durasi merupakan lamanya waktu pelatihan (dalam detik, menit, jam,
hari, minggu atau bulan, bahkan tahun). Dalam penelitian ini durasi waktu
yang digunakan untuk pelatihan kekuatan yaitu selama 1-2 menit, untuk
menghasilkan peningkatan yang maksimal durasi yang sebaiknya
digunakan adalah 2 menit.
b. Set
Set adalah satu rangkaian dari repetisi. Untuk pelatihan kekuatan set
yang dianjurkan adalah 3-5 kali, untuk menghasilkan peningkatan yang
maksimal set yang sebaiknya digunakan adalah 3 set.
c. Istirahat
Waktu istirahat diperlukan dalam setiap set untuk memberikan waktu
istirahat kepada otot-otot yang berperan dalam pelatihan kekuatan. Waktu
istirahat yang dianjurkan adalah selama 2 menit antar set, untuk mencegah
terlalu lamanya waktu istirahat.
3.
Frekuensi
Frekuensi merupakan kekerapan atau kerapnya pelatihan perminggu. Dalam pelatihan kekuatan, frekuensi yang biasa digunakan adalah
3-5 kali seminggu (Nala, 2011). Hal ini sesuai bagi atlet sehingga
menghasilkan peningkatan kemampuan otot yang baik serta tanpa
menimbulkan kelelahan yang berarti (Harsono, 1993).
39
Berdasarkan
pertimbangan
teoritis
dan
terkait
dengan
pertimbangan atlet sprint SMK Negeri 1 Denpasar, maka dalam penelitian
ini latihan dilakukan tiga kali sesi pertemuan dalam satu minggu, dengan
diberi jeda waktu tidak lebih dari 48 jam. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya waktu senggang selama 2 hari berturut-turut, ini
mengakibatkan jika berturut-turut terdapat istirahat selama lebih dari dua
hari dikhawatirkan kondisi fisik atlet akan kembali ke keadaan semula
(Nala, 1998). Pelatihan ini dilaksanakan 5 minggu agar menghasilkan efek
yang optimal.
Download