Latar Belakang Sindrom nefrotik merupakan kumpulan

advertisement
Latar Belakang
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema,
dan dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7
per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom
nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus
Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara
tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. 1
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti
pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik
pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan,
merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis
buruk. Pada tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis dari sindrom nefrotik idiopatik
pada pasien anak yang dirawat di RSUP Sanglah.
BAB 2
TINÅ¥JAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >
2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan dapat
disertai hiperkolesterolemia.1
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain 1:
Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama
3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps, yaitu proteinuria
≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m 2 LPB/jam) selama 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.
Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama
atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
Dependen steroid, yaitu keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi
2 kali berturut-turut.
Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan
prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 8590% pasien dibawah umur 6 tahun;
4
Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000
anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44.2%
tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi,
sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan
tipe kelainan minimal.2
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi
terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4
tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun. 3
2.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
2,4,
Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik
primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang
ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun. 2
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: Sindrom
nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation),
dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3
penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga
gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
PATHOLOGI.
4
4
Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus
sindrom
nefrotik
pada
anak),
glomerulus
terlihat
normal
atau
memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan matrixnya.
Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negative, dan
mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot
processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM
berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation) (5% dari
total kasus SN) ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang
difus
dan
matriks
pada
pemeriksaan
mikroskop
immunofluoroscence
dapat
memperlihatkan
jejak
biasa.
1+
IgM
Mikroskop
mesangial
dan/atau IgA. Mikroskop electron memperlihatkan peningkatan dari sel
mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar
50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis
glomerulosclerosis
fokal
/
FSGS)
segmental
(10%
dari
(focal
kasus
SN),
segmental
glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada
pemeriksaan
dengan
mikroskop
biasa.
Mikroskop
immunofluorescence
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sclerosis. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop electron, dapat dilihat jaringan parut
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen
kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, reflux
vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien
dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada
kebanyakan pasien.
2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik
atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping
obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport,
miksedema. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular. Penyakit sistemik imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis.Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin,
tumor gastrointestinal.
2.4 PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama
berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan
listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut
terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya
protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif
dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif
apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan nonselektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin.
Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
HIPOALBUMINEMIA
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
4
EDEMA
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan
plasma
terjadi
meningkatkan
hipovolemia,
retensi
natrium
dan
dan
ginjal
air.
melakukan
Mekanisme
kompensasi
kompensasi
dengan
ini
akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.
2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Reninangiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang
akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan
aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan
atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan
LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan
ekskresi natrium.
2,7
HIPERLIPIDEMIA
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
(LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat
meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di
hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein,
VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan
tekanan onkotik.
5
2.5 Manifestasi Klinis
2,4,6
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh
dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai
dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang,
digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya
terjadi disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya
diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun
dari hari kehari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan
asites, efusi pleura, dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare
sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis
untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital,
glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein.
4
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi
badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau
rendah, namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya
sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume
intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi
aldosteron,
dan
vasokonstriktor
lainnya,
sebagai
respon
tubuh
terhadap
hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan
ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan
22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien
sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan
perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis. 1
Diagnosa banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal
Disorders,
Focal
Segmental
Glomerulosclerosis,
Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain: 1
Urinalisis dan bila perlu biakan urin.
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein / keriatinin pada
urin pertama pagi hari.
Pemeriksaan darah antara lain
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik, pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal:
1
Sindrom Nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum
plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.
Sindrom Nefrotik resisten steroid
Sindrom Nefrotik dependen steroid
2.7 Penatalaksanaan
1
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan
steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan
uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila
ditemukan tuberkulosis maka diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan
pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat
atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring
tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa
metabolisme
protein
(hiperfiltrasi)
dan
menyebabkan
terjadinya
sklerosis
glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 2 g/kg BB/hari. Diet rendah protein akan
menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak.
Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edem.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in
Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian
prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi
dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung berdasarkan
berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dalam dosis
penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setalah pemberian steroid dalam 2
minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% ksus, dan remisi mencapai 94 %
setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama,
maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
tarjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)
Gambar 1. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid
1
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi
pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya
mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar. 2,
yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom
nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum
dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila ada infeksi , diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah
pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema,
maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial,
sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya.
Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid
inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu:
Tidak ada relaps sama sekali (30%)
Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi
2 kali berturut-turut.
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4
pilihan, yaitu:
Pemberian steroid jangka panjang
Pemberian Levamisol
Pengobatan dengan sitostatik
Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)
Selain itu perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau
cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering / dependen
steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan
steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2 mg/kg BB
sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu anatara 0,1-0,5 mg/kkg
BB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan (Gambar 3). Umumnya anak usia sekolah dapat
mentolerir prednison 0,5 mg/ kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB
secara alternating.
Penderita lama (Pengobatan Relaps)
Relaps tidak frekuen : prednison 2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan 3
hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermiten dibagi dalam 3 dosis selama 4
minggu.
Relaps frekuen : berikan prednison dosis penuh sampai remisi, kemudian dilanjutkan
dengan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid atau klorampusil bersamasama dengan prednison dosis intermiten selama 8 minggu.
Penderita rawat jalan
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan, mengukur tinggi
badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi, kadar
urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi.
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi
total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1 + tanpa (obat) , proteinuria
+/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotka (ampisilin
atau amoksisilin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuri maka dianggap sebagai
relaps.
Pengobatan tambahan:
Mengatasi
edema
anasarka
dengan
memberikan
diuretik,
furosemid
1-2
mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral.
Odem
menetap,
berikan
albumin
(IVFD)
0,5-1g/kgBB
atau
plasma
10-20
ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali.
Mengatasi renjatan yang diduga kerana hipoalbuminemia (1,5 g/dl) berikan albumin
atau plasma darah..
2.8 Komplikasi
1
Infeksi
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah selulitis
dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG dan komplemen
faktor B dan D di urin.Bila terjadi penyulit infeksi bakterial ( pneumonia
pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK ) diberikan antibiotik yang
sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk
mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian imunosupresan
menambah resiko terjadinya infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi
peritonitis
primer
(biasanya
disebabkan
oleh
kuman
gram
negatif
dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral,
dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
ketiga yaitu sefataksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.
Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar
kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa), sedangkan
kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan
trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat
tersebut bersifat sementara, cukup dengan pengurangan diit lemak.
Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena:
Penggunaan
steroid
jangka
panjang
yang
menimbulkan
osteoporosis
dan
osteopenia
Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik resisten
steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan vitamin D.
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 50mg/kgBB intravena.
Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom nefrotik
relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia,
ekstrimitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik,
gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama
dengan penanganan keadaan ini pada umumnya .Bila terjadi gagal ginjal kronik,
selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
2.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang
sindrom
menunjukan
nefrotik
hanya
4-5%
kelainan
minimal
menjadi
gagal
selama
ginjal
pengamatan
terminal,
20
sedangkan
tahun
pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. 1,2
INFEKSI
Download