Jakarta, 11 Januari 2010

advertisement
Jakarta, 18 Januari 2016
#SelaluWaspadaTeroris
#KamiTidakTakutBerinvestasi
Ketika serangan teroris terjadi, saya dan Pak Edward Lubis sedang mengisi acara tahunan Bahana TCW Media
Forum bersama sejumlah wartawan. Tentunya kita prihatin dengan tindakan keji kelompok ekstrimis yang
mengusik ketentraman masyarakat apalagi ketika Indonesia sedang memperkuat fundamental ekonomi agar
terhindar dari pusaran krisis global. Kita juga berduka atas kemalangan kehilangan jiwa akibat peristiwa
tersebut.
Yang terbaik kita lakukan adalah #SelaluWaspadaTeroris dengan bersatu memperekat kepedulian sosial
dengan lebih banyak bersilaturahim dan berbagi agar indONEsia makmur dalam semarak keberagaman. Sebab
hasutan ekstrimist cenderung diikuti oleh anggota masyarakat yang terbelenggu amarah, kedengkian dan
kemiskinan.
HSG sempat merosot 1,7% tidak lama setelah serangan teroris itu terjadi. Saya sendiri banyak ditanyai
wartawan mengenai dampak serangan teroris tersebut. Dengan yakin saya menjawab pengaruhnya hanya
temporer. Bahkan bursa akan lebih jatuh bila Bank Indonesia tidak menurunkan suku bunga seperti yang
selama ini diisyarakatkan. Kita bersyukur melihat bagaimana kecekatan aparat hukum mengatasi pelaku
serangan dan ketenangan serta dukungan masyarakat yang marak melalui sosial media. Pada akhir
perdagangan IHSG hanya melemah 0,53% setelah BI, sesuai dugaan kami, menurunkan bunga 25bps. Peraga
dibawah ini menambilkan dinamika IHSG selama pekan lalu yang turun sekitar 0,5%.
Tantangan China Rebalancing
Selama pekan lalu, perhatian investor tetap tertuju kepada China yang kami nilai sedang melakukan
transformasi yang rumit yang cenderung membingungkan banyak pihak khususnya investor asing. Koreksi atas
bursa China sendiri tidak terlepas dari kenaikan pesat selama ini yang ditopang oleh penurunan harga energi,
penguatan dollar dan pelonggaran moneter. Kenaikan indeks SHCOMP yang sangat pesat itu nampaknya tidak
sinkron dengan derap perekonomian yang cenderung melambat sejalan dengan proses rebalancing menuju
konsumsi dan jasa. Peraga JP Morgan dibawah ini menunjukkan bagaimana sektor konsumsi, seperti penjualan
kendaraan penumpang (passanger vehicle) cenderung meningkat (warna hijau) yang berbeda dibanding sektor
industri cenderung menurun (merah). Pangsa konsumsi rumah tangga dalam GDP China dilansir meningkat
menjadi 60%. Sementara peningkatan sektor jasa ditunjukkan oleh rasio value added tertier sector terhadap
GDP yang mencapai 49,5%.
Pelemahan yuan terbilang rumit. Sebab disatu sisi sebagai akibat penetapannya yang lebih mengikuti
mekanisme pasar. Selain itu kami melihat pelemahan yuan sebagai dampak capital outflows. Selama tahun
2015 lalu diduga China mengalami capital outflows sekitar $650 milyar dollar sehingga menggerus cadangan
devisa (bandingkan dengan GDP Indonesia yang senilai $900 milyar). Sehingga adalah wajar bila capital
outflows tersebut menyebabkan pelemahan yuan. Sebab bila tidak melemah maka hal tersebut sama saja
dengan memberikan subsidi bagi investor asing dan juga masyarakat domestik yang ingin mengalihkan asset
menuju mata uang asing khususnya dollar. Pelemahan yuan ternyata memicu sejumlah tantangan khususnya
bagi perusahaan yang memiliki kewajiban utang valas. Taksiran majalah Economist, utang valas China saat ini
sekitar satu triliun dollar.
Konsekuensi susulan dari pelarian modal itu adalah China akan mengalami kontraksi moneter. Sebab ketika
menjual valas tersebut, bank sentral menarik likuiditas dari perekonomian. Pengetatan likuiditas ini tercermin
pada perlambatan pertumbuhan M1 di China. Hal ini mengisyarakat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi
China yang lebih dalam. Boleh dibilang otoritas China sedang menghadapi tantangan berat dalam mengelola
perekonomian makro.
Selama pekan lalu, lihat Tabel, indeks SHCOMP
telah terkoreksi sekitar 9% atau lebih dalam
dibanding indeks saham negara berkembang
diluar Jepang (MXAPJ) yang sekitar 3,7%.
Kejatuhan SHCOMP juga berimbas pada bursa
saham di negara maju seperti S&P500 (SPX) yang
turun 2,17%, NKY -3,5% dan indeks saham negara
Eropa SX5E -2,67%.
Seperti dugaan kami pekan lalu, kemeriahan
terjadi pada pasar obligasi negara dengan indeks
ABTRINDO naik 1,8% sepekan lalu dimana yield
SUN bertenor 10 tahun menurun menjadi 8,55%
dari posisi awal tahun 8,75%. Penurunan yield ini
sejalan terkait dengan penurunan BI rate dan
juga yield di Amerika Serikat.
Tantangan perekonomian Indonesia tetap terkait dengan dampak kejatuhan harga minyak seperti Brent yang
kini berada dibawah $30 per barel atau anjlok hampir 14% selama tahun berjalan. Ini angka terendah sejak
tahun 2003. Kejatuhan harga minyak ini mencerminkan kondisi kelebihan pasokan baik akibat tambahan
produksi dan penurunan permintaan. Majalah Economist pekan lalu menunjukkan posisi cadangan minyak
negara maju yang terus meningkat. Sementara penghapusan sanksi terhadap Iran dan konflik negara tersebut
dengan Saudi Arabia berisiko negara penghasil minyak utama OPEC enggan memangkas produksi seperti
keputusan yang diambil awal Desember 2015 lalu.
Kejatuhan harga minyak tidak hanya diikuti oleh penurunan harga komoditas substitusi dan terkait seperti batu
bara dan karet alam, tetapi juga memangkas penerimaan bagi hasil pemerintah dari kontrak minyak. Sebagai
akibatnya pemerintah harus mengintensifkan penerimaan pajak dalam negeri dari berbagai sumber. Untuk
sustainabiltias penerimaan pajak, pemerintah harus terlebih berhasil mempercepat pembangunan
infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing. Selama dua pekan terakhir kami melihat banyak
kemajuan dalam pengerjaan berbagai proyek infrastruktur khususnya jalan tol.
BahanaTCW konsisten mendukung kampanye #KamiTidakTakutBerinvestasi. Memanfaatkan dinamika
makroekonomi internal dan volatiltias global, masyarakat dapat berinvestasi melalui reksadana pasar uang,
surat utang negara dan saham yang intensif pada sektor infrastruktur dan ekonomi domestik.
Salam
Budi Hikmat
Chief Economist and Director for Investor Relation
Download