Jakarta, 18 Januari 2016 #SelaluWaspadaTeroris #KamiTidakTakutBerinvestasi Ketika serangan teroris terjadi, saya dan Pak Edward Lubis sedang mengisi acara tahunan Bahana TCW Media Forum bersama sejumlah wartawan. Tentunya kita prihatin dengan tindakan keji kelompok ekstrimis yang mengusik ketentraman masyarakat apalagi ketika Indonesia sedang memperkuat fundamental ekonomi agar terhindar dari pusaran krisis global. Kita juga berduka atas kemalangan kehilangan jiwa akibat peristiwa tersebut. Yang terbaik kita lakukan adalah #SelaluWaspadaTeroris dengan bersatu memperekat kepedulian sosial dengan lebih banyak bersilaturahim dan berbagi agar indONEsia makmur dalam semarak keberagaman. Sebab hasutan ekstrimist cenderung diikuti oleh anggota masyarakat yang terbelenggu amarah, kedengkian dan kemiskinan. HSG sempat merosot 1,7% tidak lama setelah serangan teroris itu terjadi. Saya sendiri banyak ditanyai wartawan mengenai dampak serangan teroris tersebut. Dengan yakin saya menjawab pengaruhnya hanya temporer. Bahkan bursa akan lebih jatuh bila Bank Indonesia tidak menurunkan suku bunga seperti yang selama ini diisyarakatkan. Kita bersyukur melihat bagaimana kecekatan aparat hukum mengatasi pelaku serangan dan ketenangan serta dukungan masyarakat yang marak melalui sosial media. Pada akhir perdagangan IHSG hanya melemah 0,53% setelah BI, sesuai dugaan kami, menurunkan bunga 25bps. Peraga dibawah ini menambilkan dinamika IHSG selama pekan lalu yang turun sekitar 0,5%. Tantangan China Rebalancing Selama pekan lalu, perhatian investor tetap tertuju kepada China yang kami nilai sedang melakukan transformasi yang rumit yang cenderung membingungkan banyak pihak khususnya investor asing. Koreksi atas bursa China sendiri tidak terlepas dari kenaikan pesat selama ini yang ditopang oleh penurunan harga energi, penguatan dollar dan pelonggaran moneter. Kenaikan indeks SHCOMP yang sangat pesat itu nampaknya tidak sinkron dengan derap perekonomian yang cenderung melambat sejalan dengan proses rebalancing menuju konsumsi dan jasa. Peraga JP Morgan dibawah ini menunjukkan bagaimana sektor konsumsi, seperti penjualan kendaraan penumpang (passanger vehicle) cenderung meningkat (warna hijau) yang berbeda dibanding sektor industri cenderung menurun (merah). Pangsa konsumsi rumah tangga dalam GDP China dilansir meningkat menjadi 60%. Sementara peningkatan sektor jasa ditunjukkan oleh rasio value added tertier sector terhadap GDP yang mencapai 49,5%. Pelemahan yuan terbilang rumit. Sebab disatu sisi sebagai akibat penetapannya yang lebih mengikuti mekanisme pasar. Selain itu kami melihat pelemahan yuan sebagai dampak capital outflows. Selama tahun 2015 lalu diduga China mengalami capital outflows sekitar $650 milyar dollar sehingga menggerus cadangan devisa (bandingkan dengan GDP Indonesia yang senilai $900 milyar). Sehingga adalah wajar bila capital outflows tersebut menyebabkan pelemahan yuan. Sebab bila tidak melemah maka hal tersebut sama saja dengan memberikan subsidi bagi investor asing dan juga masyarakat domestik yang ingin mengalihkan asset menuju mata uang asing khususnya dollar. Pelemahan yuan ternyata memicu sejumlah tantangan khususnya bagi perusahaan yang memiliki kewajiban utang valas. Taksiran majalah Economist, utang valas China saat ini sekitar satu triliun dollar. Konsekuensi susulan dari pelarian modal itu adalah China akan mengalami kontraksi moneter. Sebab ketika menjual valas tersebut, bank sentral menarik likuiditas dari perekonomian. Pengetatan likuiditas ini tercermin pada perlambatan pertumbuhan M1 di China. Hal ini mengisyarakat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi China yang lebih dalam. Boleh dibilang otoritas China sedang menghadapi tantangan berat dalam mengelola perekonomian makro. Selama pekan lalu, lihat Tabel, indeks SHCOMP telah terkoreksi sekitar 9% atau lebih dalam dibanding indeks saham negara berkembang diluar Jepang (MXAPJ) yang sekitar 3,7%. Kejatuhan SHCOMP juga berimbas pada bursa saham di negara maju seperti S&P500 (SPX) yang turun 2,17%, NKY -3,5% dan indeks saham negara Eropa SX5E -2,67%. Seperti dugaan kami pekan lalu, kemeriahan terjadi pada pasar obligasi negara dengan indeks ABTRINDO naik 1,8% sepekan lalu dimana yield SUN bertenor 10 tahun menurun menjadi 8,55% dari posisi awal tahun 8,75%. Penurunan yield ini sejalan terkait dengan penurunan BI rate dan juga yield di Amerika Serikat. Tantangan perekonomian Indonesia tetap terkait dengan dampak kejatuhan harga minyak seperti Brent yang kini berada dibawah $30 per barel atau anjlok hampir 14% selama tahun berjalan. Ini angka terendah sejak tahun 2003. Kejatuhan harga minyak ini mencerminkan kondisi kelebihan pasokan baik akibat tambahan produksi dan penurunan permintaan. Majalah Economist pekan lalu menunjukkan posisi cadangan minyak negara maju yang terus meningkat. Sementara penghapusan sanksi terhadap Iran dan konflik negara tersebut dengan Saudi Arabia berisiko negara penghasil minyak utama OPEC enggan memangkas produksi seperti keputusan yang diambil awal Desember 2015 lalu. Kejatuhan harga minyak tidak hanya diikuti oleh penurunan harga komoditas substitusi dan terkait seperti batu bara dan karet alam, tetapi juga memangkas penerimaan bagi hasil pemerintah dari kontrak minyak. Sebagai akibatnya pemerintah harus mengintensifkan penerimaan pajak dalam negeri dari berbagai sumber. Untuk sustainabiltias penerimaan pajak, pemerintah harus terlebih berhasil mempercepat pembangunan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing. Selama dua pekan terakhir kami melihat banyak kemajuan dalam pengerjaan berbagai proyek infrastruktur khususnya jalan tol. BahanaTCW konsisten mendukung kampanye #KamiTidakTakutBerinvestasi. Memanfaatkan dinamika makroekonomi internal dan volatiltias global, masyarakat dapat berinvestasi melalui reksadana pasar uang, surat utang negara dan saham yang intensif pada sektor infrastruktur dan ekonomi domestik. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation