17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Teori Sebab-Sebab Kejahatan a. Pengertian Ilmu Kriminologi Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harafiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 9). Kriminologi dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 yang lampau sejak dikemukakannya hasil penyelidikan Cesare Lombroso (1876) tentang teori atavisme dan tipe penjahat serta munculnya teori mengenai hubungan sebab akibat bersama-sama dengan Enrico Ferri sebagai tokoh aliran lingkungan dari kejahatan. Kriminologi pertengahan abad XX telah membawa perubahan pandangan dari semula kriminologi menyelidiki kausa kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan yang berasal dari kekuasaan (negara) sebagai penyebab munculnya kejahatan dan para penjahat baru dalam masyarakat (Romli Atmasasmita, 2005: 3). Studi kejahatan secara ilmiah (kriminologi) meskipun dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu ditandai dengan lahirnya statistic criminal di Prancis pada tahun 1826 atau dengan diterbitkannnya buku L’uomo Deliquente oleh Cesare Lombroso pada tahun 1976, namun studi tentang kejahatan, khususnya usaha untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah mulai jauh 17 18 sebelumnya, misalnya oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles (I.S.Susanto, 2011: 2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kriminologi adalah ilmu atau pengetahuan tentang kejahatan dan tindak pidana. W.A.Bonger mendefinisikan kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala-gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger membagi kriminologi menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan, yaitu: 1) Kriminologi Murni, meliputi: a) Antropologi Kriminil Antropologi kriminal ialah ilmu tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya. b) Sosiologi Kriminil Sosiologi kriminil ialah ilmu pengetahuan yang menjawab dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat. c) Psikologi Kriminil Psikologi Kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya. d) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf. e) Penologi Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman. 2) Kriminologi Terapan meliputi: a) Higiene kriminil Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Adanya usaha-usaha dari pemerintah seperti menerapkan 19 undang-undang, sistem jaminan hidup dan lesejahteraan, yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan. b) Politik Kriminil Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi. Disini dilihat sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Apabila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi. c) Kriminalistik (Police scientific) Ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala sosial (The body of knowledge regarding crime as a sosial phenomenon). Menurut Sutherland, kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu : 1) Sosiologi hukum Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Sosiologi hukum menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana). 2) Etiologi kejahatan Merupakan cabang ilmu kriminologis yang mencari sebab musabab dari kejahatan. Etiologi kejahatan merupakan kejahatan paling utama. 20 3) Penologi Pada dasarnya ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan represif maupun preventif. Wolfgang, Savitz dan Jhonston dalam The Sociology Of Crime and Deliquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, polapola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya. Jadi, obyek studi kriminologi melingkupi: 1) Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. 2) Pelaku kejahatan. 3) Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap pelakunya. Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 9-12). Prof.Vrij mendefinisikan kriminologi ialah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan baik sebagai gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu (Simandjuntak, 1981: 5). Selanjutnya Constant melihat kriminologi sebagai pengetahuan empiris yang bertujuan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan dan penjahat (etiologi). Termasuk di dalamnya faktorfaktor sosial, ekonomis maupun individual psikologis (Soemitro, 1995: 3). 21 b. Mazhab atau Aliran-Aliran Pemikiran Kriminologi Sutherland seorang ahli kriminologi menyatakan bahwa dalam kriminologi terdapat beberapa mazhab atau aliran, diantaranya adalah sebagai berikut (Purniani dan Kemal Darmawan, 1994: 21-25): 1) Aliran Kelasik Ajaran kelasik dari kriminologi dan hukum pidana mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke-19 dan meluas ke lain-lain negara Eropa dan Amerika dasar dari ajaran ini adalah hedonistic psychology. Menurut psikologi, manusia mengatur tingkah lakunya atas pertimbangan suka dan duka. Sipetindak diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Beccaria dalam tahun 1764 menerapkan doktrin ini kepada penology dengan maksud mengurangi kesewenang-wenangan dan kekuasaan hukuman. Menurutnya, semua orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskin, posisi social dan keadaan-keadaan lainnya. Pendapat ekstrim ini kemudian diperlunak mengenai dua hal yakni anak-anak dan orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara wajar suka duka dan hukuman yang diterapkan pun dalam batasbatas tertentu. 2) Ajaran Kartografis atau Geografis Berkembang dengan subur di Prancis, Inggris, dan Jerman dari tahun 1830-1880. Ajaran ini yang dititik beratkan adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial. Kejahatan dianggap sebagai suatu ekspresi dari kondisi-kondisi sosial. 22 3) Ajaran Sosialis Ajaran sosialis dalam kriminologi didasarkan pada tulisantulisan Marx dan Engels pada tahun 1850-an. Pusat perhatian dari ajaran ini adalah determinisme ekonomi. Ajaran ini memandang kejahatan sebagai hasil, sebagai akibat atau sebagai akibat lainnya saja. Ajaran ini menghubungkan kondisi ekonomi yang dianggap memiliki hubungan sebab-akibat. 4) Ajaran Tipologis Ajaran dalam kriminologi telah berkembang 4 (empat) ajaran yang disebut ajaran tipologis atau bio tipologis. Ketiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama dengan berdasarkan pada dalil bahwa pada dasarnya penjahat berbeda dengan bukan penjahat karena memiliki ciri-ciri pribadi yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa (menyimpang) untuk melakukan kejahatan dalam situasi-situasi yang tidak mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan. Kecenderungan ini mungkin diwariskan dari orangtuanya atau mungkin merupakan ekspresi khusus dari ciri-ciri kepribadiannya yang lain dari orang kebanyakan. Situasi sosial ekonomi dari penjahat tidak diperhitungkan. Ketiga ajaran ini memiliki perbedaan antara satu dan yang lainnya dalam membedakan penjahat dan bukan penjahat. a) Ajaran Lombrosso Pokok-pokok ajaran ini adalah: (1) Penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus (2) Tipe ini dapat dikenal dari tanda-tanda atau cap tertentu seperti: bentuk kepala yang asimetris, rahang bawah yang lebih panjang, hidung pesek dan sebagainya. (3) Keanehan-keanehan fisik tersebut di atas bukanlah yang secara langsung menyebabkan kejahatan, melainkan hanya menggambarkan kepribadian yang ditakdirkan 23 untuk menjadi jahat, dan kepribadian ini adalah atau akibat dari atavisme yaitu reversi dari tipe kebiadaban atau akibat dari degenerasi, khusunya karena epilepsi. (4) Karena tabiat ini, orang-orang demikian tidak dapat menghindarkan diri dari kejahatan kecuali apabila keadaan hidupnya sangat menguntungkan. (5) Golongan-golongan atau kelas-kelas penjahat seperti misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya mempunyai tanda-tanda atau cap yang berbedabeda. b) Ajaran Mental Tester Ajaran feeble mindedness menggantikan tipe fisik, sebagi ciri-ciri penjahat. Menurut ajaran ini feeble mindedness menyebabkan kejahatan karena orang tidak dapat menilai sebab akibat dari perbuatannya atau menangkap serta menilai arti hukum. Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa feeble mindedness terdapat pada penjahat dan bukan penjahat. c) Ajaran Psikiatri Penekanan dari ajaran ini adalah kekacauankekacauan emosional, yang dianggap timbul dalam interaksi sosial dan bukan karena warisan. Pokok dari ajaran ini adalah organisasi tertentu dari kepribadian orang yang berkembang jauh terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat akan tetapi menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi-situasi sosial. d) Ajaran Sosiologis Pokok pangkal dari ajaran ini adalah bahwa kelakuan-kelakuan jahat dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. Pada umumnya analisa proses yang menghubungkan kejahatan 24 dengan perilaku sosial mendasari 2 bentuk yaitu analisa yang menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial termasuk di dalamnya pada sistem-sistem institusi yang lebih luas dan analisa yang menghubungkan proses-proses sosial seperti social learning dan menggunakan konsep-konsep seperti imitasi, attitude value, differential association , kompensasi dan frustasi aggression. c. Obyek Studi Kriminologi Secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek studi dalam kriminologi mencakup tiga hal yaitu penjahat, kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap keduanya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 13). Maka obyek studi kriminologi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Kejahatan Kejahatan dari sudut pandang hukum menyebutkan bahwa setiap tingkah laku yang melanggar hukum pidana. Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan selama perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana perbuatan itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan. Kejahatan dari sudut pandang masyarakat menyebutkan batasan kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup dalam masyarakat. Adapun unsur pokok untuk menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan yaitu adanya perbuatan yang menimbulkan kerugian.Unsur-unsur perbuatan yang menimbulkan kerugian adalah sebagai berikut: a) Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). b) Harus ada perbuatan. c) Harus ada maksud jahat. d) Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat. 25 e) Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di dalam KUHP dengan perbuatan. f) Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan tersebut. Definisi menurut R.Soesilo mengenai kejahatan adalah kejahatan sebagai tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, maka perundang-undangan itu harus dibuat terlebih dahulu sebelum adanya peristiwa pidana, agar penguasa tidak bertindak sewenang-wenang dan terjaminnya kepastian hukum asas ini biasa disebut “Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenale” sebagai dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang artinya: “tiada suatu perbuatan yang dapat di kenakan pidana selain berdasarkan ketentuan undang-undang yang telah dibuat sebelumnya”. 2) Pelaku atau Penjahat Penjahat adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan melanggar hukum, baik itu berdasarkan hukum nasional (hukum positif) maupun hukum yang di anut dalam masyarakat. Secara umum di fikiran masyarakat perkataan “penjahat” berarti mereka yang dimusuhi oleh masyarakat dalam arti inilah Trede menyatakan bahwa para penjahat adalah sampah masyarakat. Adapun jenis penjahat adalah sebagai berikut: a) Penjahat dari kecenderungan (bukan karena bakat) ; b) Penjahat karena kelemahan (karena kelemahan jiwa sehinggah sulit tidak melakukan kejahatan) ; dan c) Penjahat karena hawa nafsu dan putus asa. Tipe-tipe penjahat lainnya menurut Ruth Shonle Cavam ada sembilan,yakni sebagai berikut (Marsy Fashadhin, 2013: 18): 26 a) The casual offender “Tipe penjahat ini sebenarnya belum dapat dikatakan sebagai penjahat, tetapi pelanggar kecil, seperti tidak memakai lampu pada malam hari,tidak memakai helm”. b) The occasional criminal “Tipe penajahat ini melakukan kejahatan ringan,seperti orang yang menabrak seseorang sampai luka ringan”. c) The episodic criminal “Tipe penjahat ini melakukan kejahatan disebabkan karena emosi yang sangat hebat, sehingga kehilangan control diri”. d) The habitual criminal “Tipe penjahat ini adalah untuk mereka yang selalu mengulangi perbuatannya, seperti pemabuk, pengemis, dan perbuatan yang tertera di dalam pasal 104-485 KUHP, serta residivis”. e) The professional criminal “Pelaku melakukan perbuatan ini sebagai pencaharian. Seperti; penyelundupan, korupsi, mata dan penjualan narkotika”. f) Organized criminal “Pelaku kejahatan yang membentuk organisasi yang rapi untuk melakukan kejahatan”. g) The mentally abnormal “Tipe penjahat seperti ini memiliki penyakit psycopatis”. h) The normalicious criminal “Perbuatan yang sekolompok masyarakat menuduh perbuatan tersebut, sedangkan kelompok lain menyebut bukan kejahatan”. 27 i) The white collar criminal “Kejahatan ini dilakukan oleh sesorang dari upper class di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam jabatan baik di bidang ekonomi maupun sosial politik, terutama merupakan pelanggaran atas kepercayaan dari masyarakatnya”. Di zaman yang semakin berkembang ini banyak sekali munculnya penjahat, adapun sebab adanya penjahat antara lain yaitu: a) Pertentangan dan persaingan kebudayaan ; b) Perbedaan ideologi politik ; c) Kepadatan dan komposisi penduduk ; d) Perbedaan distribusi kebudayaan ; e) Mentalitas yang labil ; dan f) Faktor lain seperti faktor biologis, psikologi, dan sosio emosional. Kejahatan dan penjahat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dimana ada penjahat disitu pula terjadi kejahatan dan begitupun selanjutnya. Kejahatan kerapkali mengganggu kestabilan dan keamanan dalam masyarakat. Adapun akibat adanya penjahat dalam masyarakat adalah sebagai berikut: a) Merugikan pihak lain baik materil maupun non materil; b) Merugikan masyarakat secara keseluruhan; c) Merugikan Negara; dan d) Mengganggu kestabilan dalam masyarakat. 3) Reaksi masyarakat terhadap keduanya Para sarjana yang menganut aliran hukum atau yuridis menyatakan bahwa sasaran perhatian yang layak bagi kriminologi adalah mereka yang diputus oleh pengadilan pidana sebagai penjahat oleh karena kejahatan yang dilakukannya. 28 Pengertian secara yuridis, kejahatan dibatasi sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan sanksi, sedangkan penjahat adalah para pelaku pelanggar hukum pidana tersebut dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya. Penetapan aturan dalam hukum pidana itu merupakan gambaran dari reaksi negatif masyarakat atas suatu kejahatan yang diwakili oleh para pembentuk undang-undang. Para sarjana yang menganut aliran non yuridis (sosiologis), menilai kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbedabeda , akan tetapi ada di dalamnya bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana ada interaksi sosial diantara bagian-bagian di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan pihak-pihak yang memang melakukan kejahatan (Bonger, 1995: 14-15). d. Teori-teori kriminologi 1) Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif biologis dan psikologis Para tokoh biologis dan psikologis tertarik pada perbedaanperbedaan yang terdapat pada individu. Para tokoh psikologis mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan suatu variasi dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan hubungan dengan ibu, serta perkembangan moral yang lemah. Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi yang mendorong terjadinya kekerasan, bagaimana kejahatan berhubungan dengan faktor kepribadian serta asosiasi antara 29 beberapa kerusakan mental dan kejahatan. Sementara itu tokoh biologis berargumen bahwa kecenderungan untuk melakukan kekerasan atau agresifitas dimungkinkan dapat diwariskan, pengaruh hormonal, ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak dan sebagainya terhadap tingkah laku kriminal. Para tokoh yang mendukung adanya teori ini adalah: a) Cesare Lombroso (1835-1909) Lombroso menggabungkan positivism Comte, evolusi dari Darwin dalam studi tentang hubungan kejahatan dengan manusia. Lombroso berpendapat bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemrosotan yang termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lombroso tentang born criminal (penjahat yang dilahirkan) menyatakan bahwa penjahat memiliki bentuk seperti nenek moyang yang mirip kera dalam hal sifat dan watak dibandingkan mereka yang bukan penjahat. Menurutnya penjahat memiliki ciri fisik yang sama dengan manusia pada tahap awal perkembangan menjadi manusia. Lombroso beralasan bahwa para penjahat seringkali memiliki ciri tubuh rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, dan jangkauan/rentang lengan bawah penjahat sering lebih besar dibandingkan tinggi mereka. Disamping itu Lombroso menambahkan tiga kategori lainnya yaitu insane criminals dan criminoloids. Criminoloids “mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk penjahat kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan karena nafsu dan berbagai tipe lain” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 38-39). Penjahat kategori ini merupakan golongan 30 terbesar dan terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki ciriciri badaniah yang khas, yang tidak menderita penyakit jiwa yang nampak, akan tetapi mempunyai susunan mental dan emosional sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu mereka melakukan perbuatan kejam dan jahat. Insane criminals “bukanlah penjahat sejak lahir, mereka menjadi penjahat sebagai hasil dari perubahan dalam otak mereka sehingga mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah seperti halnya: idiot, kedunguan, alkoholisme, epilepsi, hysteria dan kelumpuhan” (Hendrojono, 2005: 60). b) Enrico Ferri (1856-1929) Enrico Ferri lebih memberikan penekanan pada kesalinghubungan dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi kejahatan. Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruhpengaruh interaktif di antara faktor-faktor fisik (seperti ras, geografis, serta temperature), dan faktor-faktor sosial (seperti umur, jenis kelamin, dan variable-variabel psikologis), ia juga berpendapat bahwa kejahatan dapat diatasi dengan perubahanperubahan sosial, misalnya subsidi perumahan, kontrol kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, fasilitas rekreasi dan sebagainya. Enrico Ferri mengkelasifikasikan penjahat menjadi (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 39-40): (1) Born criminals atau instinctive criminals “Born criminal atau instinctive criminals merupakan penjahat yang dilahirkan dengan membawa ciri-ciri atavistic stigma”. (2) Insane Criminals “Insane criminals merupakan penjahat kondisi sakit mental atau kejiwaan”. dikarenakan 31 (3) Passion of Criminals “Passion of criminals merupakan penjahat yang melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental atau keadaan emosional yang panjang dan kronis”. (4) Occasional Criminals “Occasional criminals merupakan penjahat yang disebabkan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal”. (5) Habitual Criminals “Habitual criminals merupakan penjahat yang memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial”. c) Raffaele Garofalo (1852-1934) Garofalo menelusuri akar tingkah laku kejahatan bukan kepada bentuk-bentuk fisik, tetapi kepada kesamaan-kesamaan psikologis yang disebut sebagai moral anomalies (keganjilankeganjilan moral). Menurut teori ini, kejahatan-kejahatan alamiah (natural crimes) ditemukan di dalam seluruh masyarakat, tidak peduli dengan pembuat hukum, dan tidak ada masyarakat yang beradab dapat mengabaikannya. Kejahatan demikian, menurut Garofalo dapat mengganggu sentiment-sentimen moral dasar dari probity/kejujuran (menghargai hak milik orang lain) dan Piety (sentiment of revolusion against the voluntary infliction of suffering on others). Seseorang individu yang memiliki kelemahan organic dalam sentiment-sentimen moral ini tidak memiliki halanganhalangan moral untuk melakukan kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 40-41). d) Charles Buchman Goring (1870-1919) Goring menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaanperbedaan signifikan antara penjahat dengan non penjahat 32 kecuali dalam hal tinggi dan berat tubuh. Para penjahat didapati lebih kecil dan ramping disamping itu menurutnya kondisi fisik yang kurang ditambah keadaan mental yang cacat (tidak sempurna) merupakan faktor-faktor penentu dalam kepribadian criminal (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 41-42). 2) Teori-teori tipe fisik (body types theories) Adapun para sarjana yang mendukung teori ini adalah: a) Ernst Kretchmer (1888-1964) Subyek studi Kretchmer memiliki tipe-tipe tubuh tertentu yang berkaitan. Kretchmer mengidentifikasikan empat tipe fisik, yakni: (1) Asthenic “Kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil”. (2) Atheletic “Menengah tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar”. (3) Pyknic “Tinggi sedang, figur tegap, leher besar, dan wajah luas”. (4) Beberapa tipe campuran , tidak terkelasifikasi. Kretchmer selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik tersebut dengan variasi-variasi ketidakteraturan fisik : pyknics berhubungan dengan deperesi, asthenics dan athletics berhubungan dengan schizophrenia (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 43). b) Ernest A.Hooten (1887-1954) Hooten melakukan kritik tajam terhadap pendapat Goring dari segi metode, dan ia meneliti secara detail terhadap lebih dari 17.000 krimial dan non kriminal. Hooten berpendapat bahwa penjahat berbeda secara inferior dibanding anggota masyarakat lainnya dan hamper semua ukuran tubuh/fisiknya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 43-44) 33 c) William H.Sheldon (1898-1977) Sheldon dalam studinya berusaha menghubungkan antara betuk fisik dengan tingkat tempramen, kecerdasan dan delikuensi seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri kelompok somatotypes yang dibagi kedalam beberapa bagian yaitu: (1) The endomorph : memiliki tubuh gemuk (2) The mesomorph : berotot dan bertubuh atletis (3) The ectomorph : tinggi, kurus, fisik yang rapuh Setiap tipe-tipe di atas memiliki tingkat tempramen yang berbeda. Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat bawaan mesomorph yaitu yang secara fisik kuat, agresif, dan atletis cenderung lebih memiliki tingkat tempramen yang tinggi dan lebih berpotensi untuk melakukan perbuatan illegal daripada yang lainnya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 44-45). d) Sheldon Glueck (1896-1980) dan Eleanor Glueck (1898-1972) Mengkomparasikan antara pria delinquent (penjahat) dengan non-delinquent. Pria delinquent didapati memiliki wajah lebih sempit (kecil) dada yang lebih lebar, pinggang lebih besar dan luas, lengan bawah dan lengan atas yang lebih besar dibandingkan dengan non-delinquent (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 45). e) Disfungsi otak dan Learning Disabilities Terdapat suatu bukti bahwa disfungsi otak dan cacat neurologis secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya. Pelaku kejahatan kekerasan banyak yang memiliki cacat di dalam otaknya dan berhubungan dengan terganggunya self control. Terdapat juga sebuah bukti bahwa delinquency berhubungan dengan learning disabilities yaitu 34 kerusakan pada fungsi sensori dan motorik yang menyebabkan perbuatan menyimpang dan yang merupakan hasil dari beberapa kondisi fisik abnormal. Macam-macam learning disabilities antara lain (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 45-46): (1) Dyslexia “Gagal menguasai skill berbahasa setaraf dengan kemampuan intelektual”. (2) Aphasia “Suatu problem komunikasi verbal atau masalah dalam memahami pembicaraan orang lain”. (3) Hyperactive “Gangguan perkembangan yang tejadi pada anak, dimana anak tidak mampu memusatkan perhatiannya. Sebuah studi menyatakan bahwa anak-anak yang hyperactive enam kali kemungkinan ditangkap ketika mereka dewasa dibandingkan mereka yang tidak mengalami kelainan itu”. f) Kriminalitas dan faktor genetika Ada beberapa hasil kajian yang menghubungkan faktorfaktor genetika dengan kriminalitas, antara lain adalah (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 46-48): (1) Studi Tentang Orang Kembar (Twin Studies) Adanya pengkomparasian antara identical twins dengan fraternal twins. Identical atau monozygotc twins dihasilkan dari satu telur yang dibuahi yang membelah menjadi dua embrio, kembar seperti ini membagi sama gengen mereka. Sementara fraternal atau dizygotic twins dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada saat bersamaan, kembar seperti ini membagi sekitar setengah dari gen-gen mereka. Berdasarkan penelitian, apabila identical twins pasangannya melakukan kejahatan 35 maka 50% pasangannya juga melakukan, sedangkan pada fraternal twins hanya 20% saja. (2)Adoption studies Jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat yang diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah dengan melakukan studi terhadap anak-anak yang sejak lahirnya dipisahkan dari orangtua aslinya dan ditempatkan pada keluarga angkat. Temuan dari penelitian di Denmark menyatakan bahwa kriminalitas dari orangtua asli (orangtua biologis) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap anak dibandingkan dengan kriminalitas dari orangtua angkat. (3)The XYY Syndrome Kromosom merupakan struktur dasar yang mengandung gen atau suatu materi biologis yang membuat setiap orang berbeda. Kadang-kadang kesalahan dalam memproduksi sperma atau sel telur mengahsilkan abnormalitas genetika. Salah satu tipe abnormalitas tersebut adalah “the XYY chromosome male” atau laki-laki dengan XYY kromosom. Orang tersebut menerima dua Y kromosom dari ayahnya, hal ini membuat seorang lelaki cenderung memiliki tubuh tinggi, secara fisik agresif dan sering melakukan kekerasan. 3) Teori-Teori Psikologis Atas Kejahatan a) Personality Characteristics (Sifat-Sifat Kepribadian) Teori ini melihat dari perbedaan-perbedaan struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat, memprediksi tingkah laku, menguji tingkatan dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat, dan mencoba menghitung perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. 36 b) Samuel Yochelson dan Stanton Samenow Menurut kedua tokoh ini, penjahat adalah orang yang marah, menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan yang diambil, dan memiliki harga diri yang sangat melambung. Setiap ada serangan terhadap harga dirinya, ia akan memberi reaksi kuat berupa kekerasan. c)Mental Disorder (Kekacauan Mental) Menurut teori ini, seorang penjahat mempunyai tipe mental disorder (kekacauan mental) atau sering disebut psychopathy atau antisosial personality yaitu suatu kepribadian yang ditandai dengan ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang keramahan dan tidak merasa bersalah. d) Personality Traits Teori yang dijelaskan oleh Dugdale dan Henry Goddard ini menjelaskan bahwa “kriminalitas merupakan sifat bawaan yang diwariskan melalui gen, dan mengidentifikasikan bahwa karena beberapa keluarga menghasilkan gen kriminal, mereka pasti menstransmisikan sifat bawaan yang merosot sepanjang alur keturunan. e) Teori Psikoanalisa, Sigmund Freud (1856-1939) Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, sehingga menimbulkan perasaan bersalah dan tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan individu. f) Moral Development Theory Pioneer teori perkembangan moral yakni Lawrence Kohlberg menyatakan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tiga tahap, yakni: 37 (1) Preconventional stage atau tahap pra konvensional Pada preconventional stage atau tahap pra konvensional terdapat aturan dan nilai-nilai moral anak yang terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan”. Anak usia 9-11 tahun biasanya berfikir pada tingkatan pra konvensional. (2) Conventional level atau tahap konvensional Pada conventional level atau tahap konvensional ini seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat serta berusaha menegakkan aturan tersebut. (3) Postconventional level atau tahap poskonvensional Pada postconventional level atau tahap poskonvensional ini individu secara kritis menguji kebiasaan dan aturan sosial sesuai dengan perasaan mereka tentang hak asasi universal dan prinsip-prinsip moral. g) Social Learning Theory Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa perilaku delinquent dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua perilaku non delinquent. (1) Albert Bandura (Observational Learning) Tokoh utama teori ini berpendapat bahwa individuindividu mempelajari kekerasan dan agresi melalui behavioral modeling, dimana anak belajar bagaimana bertingkah laku melalui peniruan tingkah laku orang lain, hal ini dtransmisikan melalui contoh-contoh yang terutama datang dari keluarga, sub budaya dan media massa. 38 (2) Gerard Petterson (Direct Experince) Patterson menguji bagaimana agresi dipelajari melalui pengalaman langsung (direct experience). Mereka melihat bahwa anak-anak yang bermain secara pasif sering menjadi korban anak-anak lainnya tetapi terkadang berhasil mengatasi serangan itu dengan agresi balasan. (3) Ernest Burgess dan Ronald Akers Menurut teori ini berlangsung terusnya tingkah laku kriminal tergantung pada apakah ia diberi penghargaan atau diberi hukuman. Penghargaan dan hukuman yang paling berarti adalah yang diberikan oleh kelompok yang sangat penting dalam kehidupan si individukelompok bermain, keluarga, guru di sekolah. “Jika tingkah laku kriminal mendatangkan hasil positif atau penghargaan maka ia akan terus bertahan” (Topo Santoso, 2003: 49-56). 4) Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif sosiologis a) Anomie: Emile Durkheim Durkheim menyatakan bahwa kejahatan disebabkan karena terjadinya anomie yaitu hancurnya keteraturan social sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Keadaan ini terjadi ketika masyarakat sederhana berkembang menuju satu masyarakat modern maka kedekatan yang dibuthkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum akan merosot, kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah dan dengan tidak dapat diprediksinya perilaku menyebabkan sistem tersebut bertahap akan runtuh sehingga masyarakat berada dalam kondisi anomie. b) Strain Theory:Robert K. Merton 39 Robert K.Merton juga mengaitkan masalah kejahatan dengan anomie. Konsepsi Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie dari Durkheim. Masalah sesungguhnya menurut Merton tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa yang diperbolehkan budaya (yang mendorong kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang mencegah memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak efektif lagi membimbing tingkah laku. Merton menggunakan istilah anomie dari Durkheim untuk menjelaskan keruntuhan sistem norma ini. c) Modes of Adaptions Menurut teori ini ada beberapa cara yang berbeda bagi anggota masyarakat untuk memecahkan/mengatasi strain (ketegangan-ketegangan) yang dihasilkan dari ketidakmampuan mencapai sukses. Merton mengembangkan tipologi-tipologi atau metode adaptasi yaitu (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 64-65): (1) Conformity Menyesuaikan diri dengan melanjutkan mencapai tujuan budaya berupa kesuksesan dan percaya atas legitimasi sarana-sarana konvensional dengan mana sukses akan dicapai. (2) Ritualism Menyesuaikan diri dengan norma-norma yang mengatur. Meredakan ketegangan dengan menurunkan skala aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya 40 tentang kesuksesan, mereka justru berusaha menghindari risiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup seharihari. (3) Retreatism Tertekan dengan harapan-harapan sosial ditunjukkan oleh gaya hidup yang konvensional, mereka melepaskan kesetiaan baik kepada tujuan maupun sarana tersebut, misalnya dengan alcoholism, drug addiction, psychosis atau vagrancy (menggelandang atau mengembara). (4) Rebellion Adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem yang ada. 5) Teori-teori penyimpangan budaya (cultural deviance theories) Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah). Menyesuaikan diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh (slum areas), menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat. Cultural deviance theories menempatkan penyebab kejahatan pada ketidakberuntungan posisi orang-orang di strata bawah dalam satu masyarakat yang berbasiskan kelas. Tiga teori utama dari cultural deviance theories ialah (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 67-68): a) Social disorganization theory Memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi. 41 b) Differential association Memegang pendapat bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap antisocial, serta pola-pola tingkah laku kriminal. c) Culture conflict theory Menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang berlainan belajar conduct norms (aturan yang mengatur tingkah laku) yang berbeda, dan bahwa conduct norms dari suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan konvensional kelas menengah. 6) Teori-teori dari prespektif lainnya Para kriminolog dari prespektif ini beralih dari teori-teori yang menjelaskan kejahatan dengan melihat kepada sifat-sifat pelaku atau kepada sosial. Para kriminolog justru berusaha menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal bukan karena cacat/kekurangan internal tetapi karena apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khusunya mereka yang berada dalam sistem peradilan pidana. Terdapat 3 teori yang akan dijelaskan sebagai berikut (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 97-110): a) Labeling Theory Teori ini memandang para kriminal bukan sebagai orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatanperbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu yang sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem peradilan pidana maupun masyarakat secara luas. b) Cooley, Thomas dan Mead (social interactionist) Memandang bahwa pribadi manusia terbentuk melalui proses interaksi sosial. Labeling memisahkan yang baik dari yang buruk, yang berlaku biasa dengan yang menyimpang. Perhatian Mead bukan pada akibat perbuatan 42 tetapi pada interaksi sosial dengan mana seseorang menjadi deviant. Tingkah laku sosial terbangun dalam suatu proses yang berlanjut dari aksi dan reaksi. c) Frank Tannenbaum (Dramatization of evil) Tannebaum menamai suatu proses labeling atau suatu Dramatization of evil yang menyangkutkan seorang anak laki-laki yang nakal ke dalam suatu peranan delinquent. Jadi sistem ini dimulai dari seorang anak yang bermasalah dalam perbuatannya yang sebenarnya normal dan bukan merupakan kejahatan namun, karena perbuatan tersebut dianggap mengganggu oleh masyarakat maka perbuatan tersebut diberi sebuah label (cap) sehingga berakhir pada “a juvenile delinquent”. d) Edwin Lemert Lemert membedakan dua jenis tindakan menyimpang yaitu penyimpangan primer (primary deviations) dan penyimpangan Menurutnya sekunder penyimpangan (secondary sekunder deviations). terjadi setelah masyarakat menjadi tahu penyimpangan primer si individu. e) John Braithwaite (reintegrative shaming) Menurut John Braithwaite reaksi sosial meningkatkan kejahatan, sebagaimana diyakini para penganut labeling teori, atau menurunkan kejahatan sebagaimana didukung oleh pelanggaran prediksi hukum penghukuman. menyebabkan lahirnya Pelanggaranpercobaan- percobaan formal dari negara serta usaha-usaha informal dari keluarga dan anggota masyarakat untuk mengontrol perbuatan salah itu. f) Conflict Theories Teori konflik lebih jauh mempertanyakan proses pembuatan hukum itu sendiri. Menurut mereka pertarungan 43 (struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dari eksistensi manusia. Pertarungan kekuasan itulah yang berarti bahwa berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol pembuatan dan penegakan hukum. Menurut W.A Bonger di bawah kapitalisme muncul pemisahan tajam antara penguasa dan yang dikuasai yang berasal dari ekonomi itu sendiri. Kondisi tersebut membuat orang akan menyerang orang lain dalam pertarungan ekonomi untuk mengejar kesenangan tersebut dengan sarana apapun tanpa memperdulikan orang lain dalam hal ini orang lain lebih mampu melakukan kejahatan terhadap orang lain. Jadi, seperti halnya tokoh konflik teori lain, Bonger menelusuri jejak kejahatan sebagai bagian dari egoism individual. g) Radical (critical) criminology Menurut teori ini institusi ekonomi merupakan sumber dari semua konflik, pertarungan antar kelas selalu berhubungan dengan distribusi sumberdaya dan kekuasaan, dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan akan hilang. 2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana dan Tindak Pidana Kesusilaan a. Pengertian Tindak Pidana Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain: delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh di hukum, pelanggaran pidana, crimical act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Dengan demikian kata mempidana berarti menghukum menuntut seseorang karena berdasarkan hukum pidana, melakukan tindak pidana. 44 Dipidana berarti dituntut berdasarkan hukum pidana, sehingga terpidana berarti orang yang dikenai hukuman. Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “straafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan “tindak pidana”. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan (P.A.F. Lamintang, 2013: 181). Menurut Moeljatno perbuatan pidana atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi Selanjutnya barangsiapa Roeslan Saleh melanggar larangan mengemukakan tersebut. pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya (Mahrus Ali, 2012: 98). Secara umum unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan kedalam dua macam yaitu (Tongat, 2003: 4-5): 1) Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat diluar pelaku (dader) yang dapat berupa: a) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Unsur obyektif perbuatan yaitu adalah perbuatanperbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. 45 b) Akibat adalah akibat-akibat yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana. c) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. 2) Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa: a) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab). b) Kesalahan (schuld) berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab. Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab apabila dalam diri seseorang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: (1)Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu. (2)Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan. (3)Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undangundang. b. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan Kata “Kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dimuat artinya “perihal susila” kata “susila” dimuat arti sebagai berikut (Leden Marpaung, 1996: 2): 1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib; 2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; 46 3) Pengetahuan tentang adat. Baik “moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya merupakan presepsi nilai dari masyarakat. “moral” merupakan pertimbangan atas dasar baik/tidak baik sedang “etika” merupakan ketentuan atau norma perilaku (code of conduct). Berdasarkan kenyataan sehari-hari apabila diamati, persepsi masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada “behavior as to right or wrong, esp in relation to sexual matter”. Apabila diamati Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengartian mengenail tindak pidana kesusilaan kurang tepat hal ini karena dalam KUHP, mengemis, penyiksaan binatang, dan minuman keras serta judi termasuk dalam Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan. Dengan demikian, makna dari “Kesusilaan” adalah berkenaan dengan moral, etika yang telah diatur dalam perundang-undangan ((Leden Marpaung, 1996: 3). Menurut Wirjono Prodjodikoro Tindak Pidana kesusilaan dalam KUHP diatur dalam Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP, yakni (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 111): 1) Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada Pasal 281 sampai dengan Pasal 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan dalam Pasal 532 sampai Pasal 535. 2) Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan (diluar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam Pasal 236 sampai dengan Pasal 547. Pendapat Wirjono Prodjodikoro (2003: 111) tersebut didasarkan pada tafsir terjemahan pada kata yang termuat dalam teks aslinya yakni zedelijkheid dan zeden. Dalam naskah asli, Bab XIV dan Bab VI memiliki titel Misdrijven tegen de zeden dan Overtredingen betreffende de zeden. Oleh ahli hukum Indonesia 47 kata zeden diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata zeden memiliki arti yang lebih luas dari kesusilaan. Kesopanan (zeden) pada umumnya adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antara berbagai anggota masyarakat. Sedangkan kesusilaan (zedelijkheid) juga merupakan adat kebiasaan yang baik tersebut (zeden) namun khusus setidaknya mengenai kelamin (seks) seseorang. Konteks maksud pembentuk KUHP, kesopanan (zeden) memiliki dua ranah pengaturan secara substansial yakni kesopanan di bidang kesusilaan (disebut zedelijkheid) dan kesopanan diluar bidang kesusilaan (disebut zeden). Kata kesusilaan dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 111). Kejahatan kesusilaan dalam Buku II Bab XIV diatur dalam Pasal 281-303 yang termasuk dalam kelompok perbuatan yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya yang melanggar kesusilaan/bersifat porno (Pasal 281-283 KUHP); 2) Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296 KUHP); 3) Perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur (Pasal 297 KUHP); 4) Berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan kehamilan (Pasal 299 KUHP); 5) Berhubungan dengan minuman memabukkan (Pasal 300 KUHP); 48 6) Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal 301 KUHP); 7) Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302 KUHP); 8) Perjudian (Pasal 303 dan 303 Bis). c. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,kesopanan). Persepsi terhadap kata “cabul” dimuat dalam KUHP. Dalam kamus tidak lengkap, Prof.Dr.S.Wojowasito, Drs.Tito Wasito dimuat artinya dalam Bahasa Inggris yaitu “indecent, dissolute, pornographical” (Leden Marpaung, 1996: 64). KUHP merumuskan perbuatan pencabulan terdapat pada Pasal 289 yang berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan dihukum karena salahnya melakukan perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selamalamanya Sembilan tahun.” Pasal 289 KUHP tersebut hanya terdiri atas unsur-unsur objektif yaitu adalah (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2011: 130-134): 49 1) Barangsiapa Kata barangsiapa itu menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. 2) Dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan Tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan dan dengan ancaman akan memakai kekerasan itu, undang-undang ternyata tidak memberiikan penjelasannya. Menurut Prof.Simons, yang dimaksud dengan kekerasan atau geweld ialah setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti atau setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan. Tentang ancaman akan memakai kekerasan itu, Hoge Raad dalam arrest-arrest-nya masing-masing tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman 397, W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915, NJ 1915 halaman 1116 antara lain telah memutuskan bahwa ancaman tersebut harus memenuhi syarat yakni : a) Bahwa ancaman tersebut harus diucapkan dalam keadaan sedemikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang mendapat ancaman yakni bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya. b) Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu. 3) Memaksa seseorang Pemaksaan harus ditujukan secara langsung pada orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sifatnya melanggar kesusilaan atau pada orang yang dipaksa untuk membiarkan dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan oleh pelaku. 50 4) Untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan dan membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan Unsur melakukan tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan, Menteri Kehakiman telah mengatakan bahwa termasuk dalam pengertian ontuchtige handelingen yakni perbuatan melakukan vleselijke gemeenschap atau melakukan hubungan kelamin. ontuchtige Selanjutnya handelingen ialah menurut Prof.Simons tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk mendapat kesenangan dengan cara yang bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan atau dengan kata lain ontuchtige handelingen itu merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian yang sifatnya umum, sehingga termasuk pula dalam pengertiannya yakni perbuatan-perbuatan melakukan hubungan kelamin seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285287 KUHP. Jika melihat bentuk pencabulan maka cukup beragam, terkait dengan pencabulan terhadap anak terdapat beberapa jenis istilah tentang pencabulan terhadap anak yaitu adalah (Abd.Kadir,Skripsi, 2012: 34-35): 1) Exhibitionism seksual : sengaja memamerkan alat kelamin pada Anak. 2) Voyeurism : orang dewasa mencium anak dengan bernafsu 3) Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seorang anak 4) Fellatio : orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak mulut. Macam-macam tindak pidana pencabulan dalam KUHP dapat dibagi kedalam beberapa kategori berikut: 51 1) Pencabulan terhadap orang yang berada dalam keadaan Pingsan, dalam keadaan tidak berdaya atau belum mencapai usia lima belas tahun (Pasal 290). 2) Pencabulan terhadap anak dibawah umur dari jenis kelamin yang sama (Pasal 292). 3) Pencabulan dengan sengaja menggerakkan anak untuk melakukan tindakan cabul dengan dirinya (Pasal 293). 4) Pencabulan terhadap anaknya sendiri, anak tiri, anak angkatnya atau lain-lain yang masih dibawah umur (Pasal 294). d. Pengertian Pencabulan sejenis “Perbuatan cabul sesama jenis atau yang disebut sebagai perbuatan cabul homoseksual merupakan perbuatan melanggar kesusilaan antara dua orang yang memiliki kelamin sama, baik antara laki-laki dengan laki-laki ataupun antara perempuan dengan perempuan” (Wirjono Prodjodikoro, 2010: 120). Pencabulan sejenis di dalam kehidupan masyarakat sering disebut juga dengan sodomi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “sodomi” memiliki arti pencabulan dengan sesama jenis kelamin atau dengan binatang, sanggama antarmanusia secara oral atau anal biasanya antarpria. Selanjutnya sodomi juga dikenal sebagai seks anal, yaitu adalah penyisipan penis ke dalam anus pasangan, dengan atau tanpa paksaan (Anonim, http://kamuskesehatan.com/arti/sodomi/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2015). Pelaku pencabulan sejenis dalam Hukum Pidana Indonesia dapat dijerat dengan Pasal 290 KUHP tentang pencabulan, jika dalam hal perbuatan pencabulan sejenis yang dimaksud pelakunya adalah orang dewasa terhadap anak di bawah umur dapat dijerat dengan Pasal 292 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 52 “Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.” Secara lebih khusus pelaku pencabulan sejenis terhadap anak dapat dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: (1) Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan,aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E. (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. (7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak. Pasal 82A 53 (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Unsur-unsur Pasal 82 ayat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: 1) Unsur Subjektif: Setiap Orang 2) Unsur Objektif: a) Perbuatan: (1) Melakukan perbuatan cabul; (2) Membiarkan dilakukan perbuatan cabul; b) Cara-caranya : (1) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan; (2) Memaksa; (3) Melakukan tipu muslihat; (4) Serangkaian kebohongan; atau (5) Membujuk anak. Tindak Pidana melakukan tindakan melanggar kesusilaan oleh orang dewasa dengan anak dibawah umur yang dimaksudkan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP terdiri atas unsur-unsur (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2011: 153156): 1) Unsur-unsur subjektif: yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga Undang-undang telah mensyaratkan dua macam subjektif secara bersama-sama, masing-masing yakni unsur yang ia ketahui yang menunjukkan bahwa undang-undang 54 mensyaratkan keharusan adanya unsur dolus atau unsur opzet pada diri pelaku, dan unsur yang sepantasnya harus dapat ia duga yang menunjukkan bahwa pada saat yang sama, undangundang juga mensyaratkan keharusan adanya unsur culpa atau unsur schuld pada diri pelaku, maka di dalam doktrin biasanya orang menyebut ketentuan pidana seperti yang diatur dalam Pasal 292 KUHP sebagai ketentuan pidana yang mempunyai unsur-unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa. 2) Unsur-unsur obyektif: a) Seorang dewasa Orang dewasa apabila terbukti memenuhi semua unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP, ia dapat dipandang sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. b) Melakukan tindakan melanggar kesusilaan Perbuatan melakukan tindakan melanggar kesusilaan ontucht di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP diisyaratkan harus dilakukan oleh orang-orang dari jenis kelamin yang sama, sehingga tidak ada alasan untuk berbicara tentang perbuatan melakukan hubungan kelamin, dan lebih tepat jika dalam hal ini orang hanya berbicara tentang dilakuka,mnnya hubungan seksual yang tidak wajar. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan ontucht dalam pasal ini bukan hanya terbatas pada perbuatan yang lazim dilakukan oleh homozexuelen atau orang-orang homoseksual dengan melakukan sexual intercourses melalui anus atau dubur, melainkan juga perbuatan sexual intercourses melalui mulut, mempermainkan alat kelamin dengan oral erotisme dan lain-lain. 55 c) Seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang sama Undang-undang mensyaratkan bahwa anak dibawah umur yakni dengan anak mana pelaku telah melakukan tindakan melanggar kesusilaan, haruslah merupakan seorang anak dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku baik itu pria dengan pria atau wanita dengan wanita. d) Kebelumdewasaan Terkait dengan bukti kebelumdewasaan korban tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan pasal tersebut, dalam berbagai arrest-nya Hoge Raad menganggap kenyataan belum menikahnya korban sebagai bukti kebelumdewasaan korban. e. Klasifikasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak Kejahatan seksual terhadap anak terklasifikasi dalam berbagai macam jenis kejahatan. Secara lebih terperinci klasifikasi kejahatan seksual terhadap anak berikut dengan sanksi hukumannya akan dijelaskan dalam tabel berikut ini : Tabel 2. Klasifikasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak JENIS TINDAK PIDANA PASAL YANG KETERANGAN DILANGGAR Pasal 81 ayat (1) Pidana penjara minimal 5 (lima) UU No 23/2002 tahun, maksimal 15 (lima belas) jo UU 35/2014 Perppu No tahun dan denda maksimal Rp jo 5.000.000.000,-. (lima milyar No rupiah) 1/2016 Pasal 81 ayat (2) Terhadap orang yang melakukan UU No 23/2002 tipu muslihat/kebohongan untuk 56 jo UU Persetubuhan / 35/2014 Pemerkosaan Perppu No melakukan persetubuhan berlaku jo ketentuan pidana seperti pada ayat No (1). 1/2016 Pasal 81 ayat (3) Dilakukan oleh Orang Tua, Wali, UU No 23/2002 pengasuh Anak, pendidik, atau jo UU 35/2014 Perppu 1/2016 No tenaga kependidikan, maka jo pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) No dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 81 ayat (4) Penambahan 1/3 (sepertiga) dari UU No 23/2002 ancaman pidana juga dikenakan jo UU 35/2014 Perppu No kepada pelaku yang pernah jo dipidana karena melakukan tindak No pidana sebagaimana dimaksud. 1/2016 Pasal 81 ayat (5) Dalam hal tindak UU No 23/2002 sebagaimana jo UU 35/2014 Perppu 1/2016 pidana dimaksud No menimbulkan korban lebih dari 1 jo (satu) orang, mengakibatkan luka No berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 81 ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (1), ayat (3), 57 jo UU 35/2014 No ayat (4), dan ayat (5), pelaku jo dapat dikenai pidana tambahan Perppu No berupa 1/2016 pelaku. pengumuman Pasal 81 ayat (7) Terhadap pelaku identitas sebagaimana UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) jo UU 35/2014 Perppu No dapat dikenai tindakan berupa jo kebiri kimia dan pemasangan alat No pendeteksi elektronik. 1/2016 Pasal 82 ayat (1) Pidana penjara minimal 5 (lima) UU No 23/2002 tahun, maksimal 15 (lima belas) jo UU 35/2014 Perppu No tahun dan denda maksimal Rp jo 5.000.000.000,- (lima milyar No rupiah). 1/2016 Pencabulan / Sodomi Pasal 82 ayat (2) Dilakukan oleh Orang Tua, Wali, UU No 23/2002 pengasuh Anak, pendidik, atau jo UU No tenaga kependidikan, maka 35/2014 jo pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) Perppu No dari ancaman pidana sebagaimana 1/2016 dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 ayat (3) Penambahan 1/3 (sepertiga) dari UU No 23/2002 ancaman pidana juga dikenakan jo UU 35/2014 Perppu No kepada pelaku yang pernah jo dipidana karena melakukan tindak No pidana. 1/2016 Pasal 82 ayat (4) Dalam hal UU No 23/2002 sebagaimana tindak pidana dimaksud 58 jo UU 35/2014 Perppu No menimbulkan korban lebih dari 1 jo (satu) orang, mengakibatkan luka No berat, 1/2016 gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, ditambah 1/3 ancaman pidana pidananya (sepertiga) dari sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 82 ayat (5) Selain dikenai pidana sebagaimana UU No 23/2002 dimaksud pelaku dapat jo UU 35/2014 Perppu No dikenai pidana tambahan berupa jo pengumuman identitas pelaku. No 1/2016 Pasal 82 ayat (6) Terhadap pelaku sebagaimana UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (2) sampai jo UU 35/2014 Perppu 1/2016 Pasal KUHP No dengan ayat (4) dapat dikenai jo tindakan berupa rehabilitasi dan No pemasangan alat pendeteksi elektronik. 292 Melakukan tindak pidana pencabulan sesama jenis dengan anak dibawah umur, dipidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. Eksploitasi ekonomi dan seksual anak Pasal 88 UU No Pidana penjara maksimal 10 23/2002 jo UU (sepuluh) tahun dan/atau denda No 35/2014 jo maksimal Perppu 1/2016 Rp200.000.000,- No ratus juta rupiah). (dua 59 Sumber : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai macam jenis kejahatan seksual terhadap anak yang telah diatur di dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kejahatan tersebut diantaranya adalah persetubuhan/pemerkosaan, pencabulan/sodomi, serta eksploitasi seksual dan ekonomi anak. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat diancam pidana mati atau seumur hidup. Sedangkan rata-rata hukuman pidana penjara kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia yaitu minimal 5 (lima) tahun penjara dan maksimal 20 (dua puluh) tahun penjara serta pidana denda minimal Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan maksimal Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Pelaku juga dapat diberi hukuman tambahan yaitu kebiri kimia, pemasangan alat deteksi elektronik serta pengumuman identitas pelaku. 3. Tinjauan Tentang Anak a. Tinjauan tentang Batasan Usia Anak Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUDNRI Tahun 1945 dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Anak merupakan individu yang berada 60 dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun) (E.Simangunsong, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter %20II.pdf, diakses pada tanggal 18 Desember 2015). Menurut Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi penting untuk diprioritaskan. Batasan mengenai usia anak dalam perundang-undangan di Indonesia belum terdapat keseragaman. Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik masih belum dewasa. Hal yang sama juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan 61 belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang yang belum dewasa mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan “anak adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh satu tahun) dan belum pernah menikah”. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal tersebut yang dikategorikan sebagai anak adalah dibawah usia dua puluh satu tahun dan belum pernah menikah. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 1 ayat (4) mendefiniskan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. b. Tinjauan tentang Perlindungan Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak di Indonesia berdasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan, dan perkembangan serta penghargaan terhadap anak. Tujuan dari perlindungan terhadap anak ialah agar hak-hak anak dapat terpenuhi sehingga anak dapat hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan 62 terhadap tercapainya hak-hak anak merupakan kewajiban negara, orangtua,dan masyarakat. Perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai upaya yaitu dengan memberikan rasa aman bagi anak sebagai korban dengan pemberian akses anak korban untuk mendapatkan keadilan atas kejahatan yang menimpanya yaitu melalui adanya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Di Indonesia ketentuan pidana bagi kejahatan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan perlindungan identitas anak dari pemberitaan media massa untuk melindungi anak dari labelisasi masyarakat. Selain itu pemberian rehabilitasi untuk anak korban tindak pidana juga merupakan upaya perlindungan terhadap anak korban misalnya dengan pemberian konseling terhadap anak korban yang mengalami trauma sebagai upaya mengembalikan kondisi psikologis anak seperti semula. Sedangkan Perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana dalam hal ini dilakukan dengan adanya sistem peradilan pidana anak yang berperinsip pada keadilan restorative (Restorative justice) dengan adanya upaya diversi dalam setiap tingkat proses peradilan pidana terhadap anak pelaku. Tujuan dari adanya prinsip restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak adalah mencari penyelesaian yang adil antara pihak anak korban dan anak pelaku dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Anak pelaku baik dalam proses peradilan atau dalam menjalani masa hukumannya mendapatkan hak-haknya sebagai anak seperti hak untuk tidak mendapatkan penghukuman atau perlakuan yang tidak manusiawi, mendapatkan bantuan hukum, tidak dijatuhi hukuman 63 pidana mati / seumur hidup, dan mendapatkan pembinaan untuk mengembangkan kemampuannya. 64 B. Kerangka Pemikiran TINDAK PIDANA KESUSILAAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TINDAK PIDANA PENCABULAN SEJENIS (Pasal 292 KUHP) FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA PENCABULAN SEJENIS (SODOMI) Bagan 2. Kerangka Pemikiran UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PENCABULAN SEJENIS (SODOMI) 65 Keterangan : Kerangka pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran mengenai langkah-langkah yang digunakan penulis guna menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menjawab perumusan masalah yang telah dipaparkan dimuka. Tindak pidana pencabulan beberapa tahun terakhir ini menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat hal ini disebabkan karena sebagian besar korbannya adalah anak dibawah umur. Tindak pidana pencabulan yang penulis teliti dalam penelitian hukum ini adalah tindak pidana pencabulan sejenis. Dalam hal ini tindak pidana pencabulan sejenis menjadi sebuah fenomena gunung es dalam masyarakat dimana permasalahan sebenarnya banyak terjadi dalam masyarakat namun pada kenyataannya tidak banyak kasus yang terungkap hal ini disebabkan karena ketidak beranian para korban untuk mengungkapkannya. Penulisan hukum ini menguraikan secara lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis berdasarkan perspektif kriminologi yang dipaparkan dengan beberapa klasifikasi teori kejahatan antara lain yaitu teori yang menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis. Setelah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis telah ditemukan, maka selanjutnya diuraikan solusi sebagai upaya untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis.