17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan

advertisement
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Teori Sebab-Sebab Kejahatan
a. Pengertian Ilmu Kriminologi
Kriminologi
merupakan
ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan
oleh P.Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis,
secara harafiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan
atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka
kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat
(Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 9).
Kriminologi dilahirkan pada pertengahan abad ke-19 yang
lampau
sejak
dikemukakannya
hasil
penyelidikan
Cesare
Lombroso (1876) tentang teori atavisme dan tipe penjahat serta
munculnya teori mengenai hubungan sebab akibat bersama-sama
dengan Enrico Ferri sebagai tokoh aliran lingkungan dari
kejahatan. Kriminologi pertengahan abad XX telah membawa
perubahan pandangan dari semula kriminologi menyelidiki kausa
kejahatan dalam masyarakat kemudian mulai mengalihkan
pandangannya kepada proses pembentukan perundang-undangan
yang berasal dari kekuasaan (negara) sebagai penyebab munculnya
kejahatan dan para penjahat baru dalam masyarakat (Romli
Atmasasmita, 2005: 3). Studi kejahatan secara ilmiah (kriminologi)
meskipun dianggap baru lahir pada abad 19, yaitu ditandai dengan
lahirnya statistic criminal di Prancis pada tahun 1826 atau dengan
diterbitkannnya buku L’uomo Deliquente oleh Cesare Lombroso
pada tahun 1976, namun studi tentang kejahatan, khususnya usaha
untuk menjelaskan sebab-sebab kejahatan sudah mulai jauh
17
18
sebelumnya, misalnya oleh para filsuf Yunani Kuno seperti Plato
dan Aristoteles (I.S.Susanto, 2011: 2).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kriminologi
adalah ilmu atau pengetahuan tentang kejahatan dan tindak pidana.
W.A.Bonger
mendefinisikan
kriminologi
merupakan
ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala-gejala kejahatan
seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger membagi kriminologi
menjadi kriminologi murni dan kriminologi terapan, yaitu:
1) Kriminologi Murni, meliputi:
a) Antropologi Kriminil
Antropologi kriminal ialah ilmu tentang manusia yang jahat
(somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas
pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai
tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku
bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
b) Sosiologi Kriminil
Sosiologi kriminil ialah ilmu pengetahuan yang menjawab
dimana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.
c) Psikologi Kriminil
Psikologi Kriminil ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat
yang dilihat dari sudut jiwanya.
d) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil ialah ilmu tentang
penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
e) Penologi
Penologi ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya
hukuman.
2) Kriminologi Terapan meliputi:
a) Higiene kriminil
Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.
Adanya usaha-usaha dari pemerintah seperti menerapkan
19
undang-undang, sistem jaminan hidup dan lesejahteraan,
yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya
kejahatan.
b) Politik Kriminil
Usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan
telah
terjadi.
Disini
dilihat
sebab-sebab
seseorang
melakukan kejahatan. Apabila disebabkan oleh faktor
ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan
keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak
semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
c) Kriminalistik (Police scientific)
Ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan
pengusutan kejahatan.
Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan
ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai
gejala sosial (The body of knowledge regarding crime as a sosial
phenomenon).
Menurut
Sutherland,
kriminologi
mencakup
proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi
atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi tiga
cabang ilmu utama yaitu :
1) Sosiologi hukum
Kejahatan itu adalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan
diancam dengan suatu sanksi. Jadi yang menentukan bahwa
suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Sosiologi
hukum menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan
perkembangan hukum (khususnya hukum pidana).
2) Etiologi kejahatan
Merupakan cabang ilmu kriminologis yang mencari sebab
musabab dari kejahatan. Etiologi kejahatan merupakan
kejahatan paling utama.
20
3) Penologi
Pada dasarnya ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland
memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha
pengendalian kejahatan represif maupun preventif.
Wolfgang, Savitz dan Jhonston dalam The Sociology Of
Crime and Deliquency memberikan definisi kriminologi sebagai
kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan
untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala
kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara
ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, polapola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan
kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap
keduanya. Jadi, obyek studi kriminologi melingkupi:
1) Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan.
2) Pelaku kejahatan.
3) Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan
maupun terhadap pelakunya.
Ketiganya tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru
dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari
masyarakat (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 9-12).
Prof.Vrij
mendefinisikan
kriminologi
ialah
ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan baik sebagai
gejala maupun sebagai faktor sebab akibat dari kejahatan itu
(Simandjuntak,
1981:
5).
Selanjutnya
Constant
melihat
kriminologi sebagai pengetahuan empiris yang bertujuan untuk
menemukan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya
kejahatan dan penjahat (etiologi). Termasuk di dalamnya faktorfaktor sosial, ekonomis maupun individual psikologis (Soemitro,
1995: 3).
21
b. Mazhab atau Aliran-Aliran Pemikiran Kriminologi
Sutherland seorang ahli kriminologi menyatakan bahwa
dalam kriminologi terdapat beberapa mazhab atau aliran,
diantaranya
adalah
sebagai
berikut
(Purniani
dan
Kemal
Darmawan, 1994: 21-25):
1) Aliran Kelasik
Ajaran kelasik dari kriminologi dan hukum pidana mulai
berkembang di Inggris pada akhir abad ke-19 dan meluas ke
lain-lain negara Eropa dan Amerika dasar dari ajaran ini adalah
hedonistic psychology. Menurut psikologi, manusia mengatur
tingkah lakunya atas pertimbangan suka dan duka. Sipetindak
diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya
berdasarkan perhitungan hedonistis saja.
Beccaria dalam tahun 1764 menerapkan doktrin ini kepada
penology dengan maksud mengurangi kesewenang-wenangan
dan kekuasaan hukuman. Menurutnya, semua orang yang
melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman
yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya/miskin,
posisi social dan keadaan-keadaan lainnya. Pendapat ekstrim ini
kemudian diperlunak mengenai dua hal yakni anak-anak dan
orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan
bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara
wajar suka duka dan hukuman yang diterapkan pun dalam batasbatas tertentu.
2) Ajaran Kartografis atau Geografis
Berkembang dengan subur di Prancis, Inggris, dan Jerman
dari tahun 1830-1880. Ajaran ini yang dititik beratkan adalah
distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara
geografis maupun secara sosial. Kejahatan dianggap sebagai
suatu ekspresi dari kondisi-kondisi sosial.
22
3) Ajaran Sosialis
Ajaran sosialis dalam kriminologi didasarkan pada tulisantulisan Marx dan Engels pada tahun 1850-an. Pusat perhatian
dari ajaran ini adalah determinisme ekonomi. Ajaran ini
memandang kejahatan sebagai hasil, sebagai akibat atau sebagai
akibat lainnya saja. Ajaran ini menghubungkan kondisi ekonomi
yang dianggap memiliki hubungan sebab-akibat.
4) Ajaran Tipologis
Ajaran dalam kriminologi telah berkembang 4 (empat)
ajaran yang disebut ajaran tipologis atau bio tipologis.
Ketiganya mempunyai logika dan metodologi yang sama dengan
berdasarkan pada dalil bahwa pada dasarnya penjahat berbeda
dengan bukan penjahat karena memiliki ciri-ciri pribadi yang
mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa (menyimpang)
untuk melakukan kejahatan dalam situasi-situasi yang tidak
mendorong
orang
lain
untuk
melakukan
kejahatan.
Kecenderungan ini mungkin diwariskan dari orangtuanya atau
mungkin
merupakan
ekspresi
khusus
dari
ciri-ciri
kepribadiannya yang lain dari orang kebanyakan. Situasi sosial
ekonomi dari penjahat tidak diperhitungkan. Ketiga ajaran ini
memiliki perbedaan antara satu dan yang lainnya dalam
membedakan penjahat dan bukan penjahat.
a) Ajaran Lombrosso
Pokok-pokok ajaran ini adalah:
(1) Penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus
(2) Tipe ini dapat dikenal dari tanda-tanda atau cap tertentu
seperti: bentuk kepala yang asimetris, rahang bawah
yang lebih panjang, hidung pesek dan sebagainya.
(3) Keanehan-keanehan fisik tersebut di atas bukanlah yang
secara langsung menyebabkan kejahatan, melainkan
hanya menggambarkan kepribadian yang ditakdirkan
23
untuk menjadi jahat, dan kepribadian ini adalah atau
akibat dari atavisme yaitu reversi dari tipe kebiadaban
atau akibat dari degenerasi, khusunya karena epilepsi.
(4) Karena tabiat ini, orang-orang demikian tidak dapat
menghindarkan diri dari kejahatan kecuali apabila
keadaan hidupnya sangat menguntungkan.
(5) Golongan-golongan atau kelas-kelas penjahat seperti
misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat
lainnya mempunyai tanda-tanda atau cap yang berbedabeda.
b) Ajaran Mental Tester
Ajaran feeble mindedness menggantikan tipe fisik,
sebagi
ciri-ciri
penjahat.
Menurut
ajaran
ini
feeble
mindedness menyebabkan kejahatan karena orang tidak dapat
menilai sebab akibat dari perbuatannya atau menangkap serta
menilai arti hukum. Ajaran ini mundur karena terbukti bahwa
feeble mindedness terdapat pada penjahat dan bukan
penjahat.
c) Ajaran Psikiatri
Penekanan dari ajaran ini adalah kekacauankekacauan emosional, yang dianggap timbul dalam interaksi
sosial dan bukan karena warisan. Pokok dari ajaran ini adalah
organisasi tertentu dari kepribadian orang yang berkembang
jauh terpisah dari pengaruh-pengaruh jahat akan tetapi
menghasilkan kelakuan jahat tanpa mengingat situasi-situasi
sosial.
d) Ajaran Sosiologis
Pokok pangkal dari ajaran ini adalah bahwa
kelakuan-kelakuan jahat dihasilkan dari proses-proses yang
sama
seperti
kelakuan-kelakuan
sosial
lainnya.
Pada
umumnya analisa proses yang menghubungkan kejahatan
24
dengan perilaku sosial mendasari 2 bentuk yaitu analisa yang
menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial termasuk
di dalamnya pada sistem-sistem institusi yang lebih luas dan
analisa yang menghubungkan proses-proses sosial seperti
social learning dan menggunakan konsep-konsep seperti
imitasi, attitude value, differential association , kompensasi
dan frustasi aggression.
c. Obyek Studi Kriminologi
Secara umum dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa obyek
studi dalam kriminologi mencakup tiga hal yaitu penjahat,
kejahatan, dan reaksi masyarakat terhadap keduanya (Topo Santoso
dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 13). Maka obyek studi kriminologi
tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Kejahatan
Kejahatan dari sudut pandang hukum menyebutkan bahwa
setiap
tingkah
laku
yang
melanggar
hukum
pidana.
Bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan selama perbuatan itu
tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana perbuatan
itu tetap sebagai perbuatan yang bukan kejahatan. Kejahatan
dari sudut pandang masyarakat menyebutkan batasan kejahatan
adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang
masih hidup dalam masyarakat. Adapun unsur pokok untuk
menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan yaitu adanya
perbuatan yang menimbulkan kerugian.Unsur-unsur perbuatan
yang menimbulkan kerugian adalah sebagai berikut:
a) Kerugian yang ada tersebut telah diatur dalam Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut
KUHP).
b) Harus ada perbuatan.
c) Harus ada maksud jahat.
d) Ada peleburan antara maksud jahat dan perbuatan jahat.
25
e) Harus ada perbauran antara kerugian yang telah diatur di
dalam KUHP dengan perbuatan.
f)
Harus ada sanksi pidana yang mengancam perbuatan
tersebut.
Definisi menurut R.Soesilo mengenai kejahatan adalah
kejahatan sebagai tingkah laku yang bertentangan dengan
undang-undang, maka perundang-undangan itu harus dibuat
terlebih dahulu sebelum adanya peristiwa pidana, agar penguasa
tidak bertindak sewenang-wenang dan terjaminnya kepastian
hukum asas ini biasa disebut “Nullum delictum noella poena
sine praevia lege poenale” sebagai dasar hukumnya terdapat
dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang artinya: “tiada suatu
perbuatan yang dapat di kenakan pidana selain berdasarkan
ketentuan undang-undang yang telah dibuat sebelumnya”.
2) Pelaku atau Penjahat
Penjahat
adalah
seseorang
yang
melakukan
suatu
perbuatan melanggar hukum, baik itu berdasarkan hukum
nasional (hukum positif) maupun hukum yang di anut dalam
masyarakat. Secara umum di fikiran masyarakat perkataan
“penjahat” berarti mereka yang dimusuhi oleh masyarakat dalam
arti inilah Trede menyatakan bahwa para penjahat adalah
sampah masyarakat. Adapun jenis penjahat adalah sebagai
berikut:
a) Penjahat dari kecenderungan (bukan karena bakat) ;
b) Penjahat
karena
kelemahan
(karena
kelemahan
jiwa
sehinggah sulit tidak melakukan kejahatan) ; dan
c) Penjahat karena hawa nafsu dan putus asa.
Tipe-tipe penjahat lainnya menurut Ruth Shonle Cavam
ada sembilan,yakni sebagai berikut (Marsy Fashadhin, 2013:
18):
26
a) The casual offender
“Tipe penjahat ini sebenarnya belum dapat dikatakan
sebagai penjahat, tetapi pelanggar kecil, seperti tidak
memakai lampu pada malam hari,tidak memakai helm”.
b) The occasional criminal
“Tipe penajahat ini melakukan kejahatan ringan,seperti
orang yang menabrak seseorang sampai luka ringan”.
c) The episodic criminal
“Tipe penjahat ini melakukan kejahatan disebabkan
karena emosi yang sangat hebat, sehingga kehilangan
control diri”.
d) The habitual criminal
“Tipe penjahat ini adalah untuk mereka yang selalu
mengulangi perbuatannya, seperti pemabuk, pengemis, dan
perbuatan yang tertera di dalam pasal 104-485 KUHP, serta
residivis”.
e) The professional criminal
“Pelaku melakukan perbuatan ini sebagai
pencaharian.
Seperti;
penyelundupan,
korupsi,
mata
dan
penjualan narkotika”.
f) Organized criminal
“Pelaku kejahatan yang membentuk organisasi yang
rapi untuk melakukan kejahatan”.
g) The mentally abnormal
“Tipe
penjahat
seperti
ini
memiliki
penyakit
psycopatis”.
h) The normalicious criminal
“Perbuatan yang sekolompok masyarakat menuduh
perbuatan tersebut, sedangkan kelompok lain menyebut
bukan kejahatan”.
27
i) The white collar criminal
“Kejahatan ini dilakukan oleh sesorang dari upper class
di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam jabatan
baik di bidang ekonomi maupun sosial politik, terutama
merupakan
pelanggaran
atas
kepercayaan
dari
masyarakatnya”.
Di zaman yang semakin berkembang ini banyak sekali
munculnya penjahat, adapun sebab adanya penjahat antara lain
yaitu:
a) Pertentangan dan persaingan kebudayaan ;
b) Perbedaan ideologi politik ;
c) Kepadatan dan komposisi penduduk ;
d) Perbedaan distribusi kebudayaan ;
e) Mentalitas yang labil ; dan
f) Faktor lain seperti faktor biologis, psikologi, dan sosio
emosional.
Kejahatan dan penjahat merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, dimana ada penjahat disitu pula terjadi
kejahatan dan begitupun selanjutnya. Kejahatan kerapkali
mengganggu kestabilan dan keamanan dalam masyarakat.
Adapun akibat adanya penjahat dalam masyarakat adalah
sebagai berikut:
a) Merugikan pihak lain baik materil maupun non materil;
b) Merugikan masyarakat secara keseluruhan;
c) Merugikan Negara; dan
d) Mengganggu kestabilan dalam masyarakat.
3) Reaksi masyarakat terhadap keduanya
Para sarjana yang menganut aliran hukum atau yuridis
menyatakan
bahwa
sasaran
perhatian
yang
layak
bagi
kriminologi adalah mereka yang diputus oleh pengadilan pidana
sebagai penjahat oleh karena kejahatan yang dilakukannya.
28
Pengertian secara yuridis, kejahatan dibatasi sebagai perbuatan
yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam
hukum pidananya dan diancam dengan sanksi, sedangkan
penjahat adalah para pelaku pelanggar hukum pidana tersebut
dan telah diputus oleh pengadilan atas perbuatannya. Penetapan
aturan dalam hukum pidana itu merupakan gambaran dari reaksi
negatif masyarakat atas suatu kejahatan yang diwakili oleh para
pembentuk undang-undang.
Para
sarjana
yang
menganut
aliran
non
yuridis
(sosiologis), menilai kejahatan merupakan suatu perilaku
manusia
yang
diciptakan
oleh
masyarakat.
Walaupun
masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbedabeda , akan tetapi ada di dalamnya bagian tertentu yang
memiliki pola yang sama. Gejala yang dinamakan kejahatan
pada dasarnya terjadi di dalam proses dimana ada interaksi
sosial diantara bagian-bagian di dalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perumusan tentang
kejahatan dengan pihak-pihak yang memang melakukan
kejahatan (Bonger, 1995: 14-15).
d. Teori-teori kriminologi
1) Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif biologis
dan psikologis
Para tokoh biologis dan psikologis tertarik pada perbedaanperbedaan yang terdapat pada individu. Para tokoh psikologis
mempertimbangkan suatu variasi dari kemungkinan suatu variasi
dari kemungkinan cacat dalam kesadaran, ketidakmatangan
emosi, sosialisasi yang tidak memadai di masa kecil, kehilangan
hubungan dengan ibu, serta perkembangan moral yang lemah.
Mereka mengkaji bagaimana agresi dipelajari, situasi yang
mendorong
terjadinya
kekerasan,
bagaimana
kejahatan
berhubungan dengan faktor kepribadian serta asosiasi antara
29
beberapa kerusakan mental dan kejahatan. Sementara itu tokoh
biologis berargumen bahwa kecenderungan untuk melakukan
kekerasan atau agresifitas dimungkinkan dapat diwariskan,
pengaruh hormonal, ketidaknormalan kromosom, kerusakan otak
dan sebagainya terhadap tingkah laku kriminal.
Para tokoh yang mendukung adanya teori ini adalah:
a) Cesare Lombroso (1835-1909)
Lombroso menggabungkan positivism Comte, evolusi
dari Darwin dalam studi tentang hubungan kejahatan dengan
manusia. Lombroso berpendapat bahwa penjahat mewakili
suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan
non-kriminal. Lombroso mengklaim bahwa para penjahat
mewakili suatu bentuk kemrosotan yang termanifestasi dalam
karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari
evolusi.
Teori Lombroso tentang born criminal (penjahat yang
dilahirkan) menyatakan bahwa penjahat memiliki bentuk
seperti nenek moyang yang mirip kera dalam hal sifat dan
watak dibandingkan mereka yang bukan penjahat. Menurutnya
penjahat memiliki ciri fisik yang sama dengan manusia pada
tahap awal perkembangan menjadi manusia. Lombroso
beralasan bahwa para penjahat seringkali memiliki ciri tubuh
rahang yang besar dan gigi taring yang kuat, dan
jangkauan/rentang lengan bawah penjahat sering lebih besar
dibandingkan tinggi mereka.
Disamping itu Lombroso menambahkan tiga kategori
lainnya yaitu insane criminals dan criminoloids. Criminoloids
“mencakup suatu kelompok ambiguous termasuk penjahat
kambuhan (habitual criminals), pelaku kejahatan karena nafsu
dan berbagai tipe lain” (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2011: 38-39). Penjahat kategori ini merupakan golongan
30
terbesar dan terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki ciriciri badaniah yang khas, yang tidak menderita penyakit jiwa
yang nampak, akan tetapi mempunyai susunan mental dan
emosional sedemikian rupa sehingga dalam keadaan tertentu
mereka melakukan perbuatan kejam dan jahat. Insane
criminals “bukanlah penjahat sejak lahir, mereka menjadi
penjahat sebagai hasil dari perubahan dalam otak mereka
sehingga
mengganggu
kemampuan
mereka
untuk
membedakan mana yang benar dan mana yang salah seperti
halnya: idiot, kedunguan, alkoholisme, epilepsi, hysteria dan
kelumpuhan” (Hendrojono, 2005: 60).
b) Enrico Ferri (1856-1929)
Enrico
Ferri
lebih
memberikan
penekanan
pada
kesalinghubungan dari faktor-faktor sosial, ekonomi, dan
politik yang mempengaruhi kejahatan. Ferri berpendapat
bahwa kejahatan dapat dijelaskan melalui studi pengaruhpengaruh interaktif di antara faktor-faktor fisik (seperti ras,
geografis, serta temperature), dan faktor-faktor sosial (seperti
umur, jenis kelamin, dan variable-variabel psikologis), ia juga
berpendapat bahwa kejahatan dapat diatasi dengan perubahanperubahan sosial, misalnya subsidi perumahan, kontrol
kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, fasilitas rekreasi
dan sebagainya. Enrico Ferri mengkelasifikasikan penjahat
menjadi (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 39-40):
(1) Born criminals atau instinctive criminals
“Born criminal atau instinctive criminals merupakan
penjahat yang dilahirkan dengan membawa ciri-ciri
atavistic stigma”.
(2) Insane Criminals
“Insane
criminals
merupakan
penjahat
kondisi sakit mental atau kejiwaan”.
dikarenakan
31
(3) Passion of Criminals
“Passion
of
criminals
merupakan
penjahat
yang
melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental atau
keadaan emosional yang panjang dan kronis”.
(4) Occasional Criminals
“Occasional
criminals
merupakan
penjahat
yang
disebabkan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan
sosial lebih dari problem fisik atau mental yang
abnormal”.
(5) Habitual Criminals
“Habitual criminals merupakan penjahat yang memperoleh
kebiasaan dari lingkungan sosial”.
c) Raffaele Garofalo (1852-1934)
Garofalo menelusuri akar tingkah laku kejahatan bukan
kepada bentuk-bentuk fisik, tetapi kepada kesamaan-kesamaan
psikologis yang disebut sebagai moral anomalies (keganjilankeganjilan moral). Menurut teori ini, kejahatan-kejahatan
alamiah (natural crimes) ditemukan di dalam seluruh
masyarakat, tidak peduli dengan pembuat hukum, dan tidak
ada
masyarakat
yang
beradab
dapat
mengabaikannya.
Kejahatan demikian, menurut Garofalo dapat mengganggu
sentiment-sentimen
moral
dasar
dari
probity/kejujuran
(menghargai hak milik orang lain) dan Piety (sentiment of
revolusion against the voluntary infliction of suffering on
others). Seseorang individu yang memiliki kelemahan organic
dalam sentiment-sentimen moral ini tidak memiliki halanganhalangan moral untuk melakukan kejahatan (Topo Santoso dan
Eva Achjani Zulfa, 2011: 40-41).
d) Charles Buchman Goring (1870-1919)
Goring menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaanperbedaan signifikan antara penjahat dengan non penjahat
32
kecuali dalam hal tinggi dan berat tubuh. Para penjahat
didapati lebih kecil dan ramping disamping itu menurutnya
kondisi fisik yang kurang ditambah keadaan mental yang cacat
(tidak sempurna) merupakan faktor-faktor penentu dalam
kepribadian criminal (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2011: 41-42).
2) Teori-teori tipe fisik (body types theories)
Adapun para sarjana yang mendukung teori ini adalah:
a) Ernst Kretchmer (1888-1964)
Subyek studi Kretchmer memiliki tipe-tipe tubuh
tertentu yang berkaitan. Kretchmer mengidentifikasikan empat
tipe fisik, yakni:
(1) Asthenic
“Kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil”.
(2) Atheletic
“Menengah tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar”.
(3) Pyknic
“Tinggi sedang, figur tegap, leher besar, dan wajah luas”.
(4) Beberapa tipe campuran , tidak terkelasifikasi.
Kretchmer selanjutnya menghubungkan tipe-tipe fisik
tersebut dengan variasi-variasi ketidakteraturan fisik :
pyknics berhubungan dengan deperesi, asthenics dan
athletics berhubungan dengan schizophrenia (Topo
Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 43).
b) Ernest A.Hooten (1887-1954)
Hooten melakukan kritik tajam terhadap pendapat Goring
dari segi metode, dan ia meneliti secara detail terhadap lebih
dari 17.000 krimial dan non kriminal. Hooten berpendapat
bahwa penjahat berbeda secara inferior dibanding anggota
masyarakat lainnya dan hamper semua ukuran tubuh/fisiknya
(Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 43-44)
33
c) William H.Sheldon (1898-1977)
Sheldon dalam studinya berusaha menghubungkan
antara betuk fisik dengan tingkat tempramen, kecerdasan dan
delikuensi seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri
kelompok somatotypes yang dibagi kedalam beberapa bagian
yaitu:
(1) The endomorph : memiliki tubuh gemuk
(2) The mesomorph : berotot dan bertubuh atletis
(3) The ectomorph : tinggi, kurus, fisik yang rapuh
Setiap tipe-tipe di atas memiliki tingkat tempramen yang
berbeda. Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat
bawaan mesomorph yaitu yang secara fisik kuat, agresif, dan
atletis cenderung lebih memiliki tingkat tempramen yang
tinggi dan lebih berpotensi untuk melakukan perbuatan illegal
daripada yang lainnya (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2011: 44-45).
d) Sheldon Glueck (1896-1980) dan Eleanor Glueck (1898-1972)
Mengkomparasikan antara pria delinquent (penjahat)
dengan non-delinquent. Pria delinquent didapati memiliki
wajah lebih sempit (kecil) dada yang lebih lebar, pinggang
lebih besar dan luas, lengan bawah dan lengan atas yang lebih
besar dibandingkan dengan non-delinquent (Topo Santoso dan
Eva Achjani Zulfa, 2011: 45).
e) Disfungsi otak dan Learning Disabilities
Terdapat suatu bukti bahwa disfungsi otak dan cacat
neurologis secara umum ditemukan pada mereka yang
menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang
pada umumnya. Pelaku kejahatan kekerasan banyak yang
memiliki cacat di dalam otaknya dan berhubungan dengan
terganggunya self control. Terdapat juga sebuah bukti bahwa
delinquency berhubungan dengan learning disabilities yaitu
34
kerusakan pada fungsi sensori dan motorik yang menyebabkan
perbuatan menyimpang dan yang merupakan hasil dari
beberapa kondisi fisik abnormal. Macam-macam learning
disabilities antara lain (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa,
2011: 45-46):
(1) Dyslexia
“Gagal
menguasai
skill
berbahasa
setaraf
dengan
kemampuan intelektual”.
(2) Aphasia
“Suatu problem komunikasi verbal atau masalah dalam
memahami pembicaraan orang lain”.
(3) Hyperactive
“Gangguan perkembangan yang tejadi pada anak, dimana
anak tidak mampu memusatkan perhatiannya. Sebuah studi
menyatakan bahwa anak-anak yang hyperactive enam kali
kemungkinan
ditangkap
ketika
mereka
dewasa
dibandingkan mereka yang tidak mengalami kelainan itu”.
f) Kriminalitas dan faktor genetika
Ada beberapa hasil kajian yang menghubungkan faktorfaktor genetika dengan kriminalitas, antara lain adalah (Topo
Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2011: 46-48):
(1) Studi Tentang Orang Kembar (Twin Studies)
Adanya pengkomparasian antara identical twins
dengan fraternal twins. Identical atau monozygotc twins
dihasilkan dari satu telur yang dibuahi yang membelah
menjadi dua embrio, kembar seperti ini membagi sama gengen mereka. Sementara fraternal atau dizygotic twins
dihasilkan dari dua telur terpisah, keduanya dibuahi pada
saat bersamaan, kembar seperti ini membagi sekitar
setengah dari gen-gen mereka. Berdasarkan penelitian,
apabila identical twins pasangannya melakukan kejahatan
35
maka 50% pasangannya juga melakukan, sedangkan pada
fraternal twins hanya 20% saja.
(2)Adoption studies
Jalan untuk memisahkan pengaruh dari sifat yang
diwariskan dengan pengaruh dari kondisi lingkungan adalah
dengan melakukan studi terhadap anak-anak yang sejak
lahirnya dipisahkan dari orangtua aslinya dan ditempatkan
pada keluarga angkat. Temuan dari penelitian di Denmark
menyatakan bahwa kriminalitas dari orangtua asli (orangtua
biologis) memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap anak
dibandingkan dengan kriminalitas dari orangtua angkat.
(3)The XYY Syndrome
Kromosom
merupakan
struktur
dasar
yang
mengandung gen atau suatu materi biologis yang membuat
setiap orang berbeda. Kadang-kadang kesalahan dalam
memproduksi
sperma
atau
sel
telur
mengahsilkan
abnormalitas genetika. Salah satu tipe abnormalitas tersebut
adalah “the XYY chromosome male” atau laki-laki dengan
XYY kromosom. Orang tersebut menerima dua Y
kromosom dari ayahnya, hal ini membuat seorang lelaki
cenderung memiliki tubuh tinggi, secara fisik agresif dan
sering melakukan kekerasan.
3) Teori-Teori Psikologis Atas Kejahatan
a) Personality Characteristics (Sifat-Sifat Kepribadian)
Teori ini melihat dari perbedaan-perbedaan struktur
kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat, memprediksi
tingkah
laku,
menguji
tingkatan
dinamika-dinamika
kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat, dan
mencoba menghitung perbedaan individual antara tipe-tipe
dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.
36
b) Samuel Yochelson dan Stanton Samenow
Menurut kedua tokoh ini, penjahat adalah orang yang
marah, menyangka tidak bertanggungjawab atas tindakan
yang diambil, dan memiliki harga diri yang sangat
melambung. Setiap ada serangan terhadap harga dirinya, ia
akan memberi reaksi kuat berupa kekerasan.
c)Mental Disorder (Kekacauan Mental)
Menurut teori ini, seorang penjahat mempunyai tipe
mental disorder (kekacauan mental) atau sering disebut
psychopathy atau antisosial
personality yaitu suatu
kepribadian yang ditandai dengan ketidakmampuan belajar
dari pengalaman, kurang keramahan dan tidak merasa
bersalah.
d) Personality Traits
Teori yang dijelaskan oleh Dugdale dan Henry
Goddard ini menjelaskan bahwa “kriminalitas merupakan
sifat
bawaan
yang
diwariskan
melalui
gen,
dan
mengidentifikasikan bahwa karena beberapa keluarga
menghasilkan gen kriminal, mereka pasti menstransmisikan
sifat bawaan yang merosot sepanjang alur keturunan.
e) Teori Psikoanalisa, Sigmund Freud (1856-1939)
Teori
psikoanalisa
tentang
kriminalitas
menghubungkan delinquent dan perilaku criminal dengan
suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, sehingga
menimbulkan perasaan bersalah dan tidak dapat mengontrol
dorongan-dorongan individu.
f) Moral Development Theory
Pioneer teori perkembangan moral yakni Lawrence
Kohlberg menyatakan bahwa pemikiran moral tumbuh
dalam tiga tahap, yakni:
37
(1) Preconventional stage atau tahap pra konvensional
Pada
preconventional
stage
atau
tahap
pra
konvensional terdapat aturan dan nilai-nilai moral anak
yang terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan”. Anak
usia 9-11 tahun biasanya berfikir pada tingkatan pra
konvensional.
(2) Conventional level atau tahap konvensional
Pada conventional level atau tahap konvensional ini
seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai-nilai
dan aturan masyarakat serta berusaha menegakkan aturan
tersebut.
(3) Postconventional level atau tahap poskonvensional
Pada
postconventional
level
atau
tahap
poskonvensional ini individu secara kritis menguji
kebiasaan dan aturan sosial sesuai dengan perasaan
mereka tentang hak asasi universal dan prinsip-prinsip
moral.
g) Social Learning Theory
Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa
perilaku delinquent
dipelajari melalui proses psikologis
yang sama sebagaimana semua perilaku non delinquent.
(1) Albert Bandura (Observational Learning)
Tokoh utama teori ini berpendapat bahwa individuindividu mempelajari kekerasan dan agresi melalui
behavioral modeling, dimana anak belajar bagaimana
bertingkah laku melalui peniruan tingkah laku orang
lain, hal ini dtransmisikan melalui contoh-contoh yang
terutama datang dari keluarga, sub budaya dan media
massa.
38
(2) Gerard Petterson (Direct Experince)
Patterson menguji bagaimana agresi dipelajari
melalui pengalaman langsung (direct experience).
Mereka melihat bahwa anak-anak yang bermain secara
pasif sering menjadi korban anak-anak lainnya tetapi
terkadang berhasil mengatasi serangan itu dengan
agresi balasan.
(3) Ernest Burgess dan Ronald Akers
Menurut teori ini berlangsung terusnya tingkah laku
kriminal tergantung pada apakah ia diberi penghargaan
atau diberi hukuman. Penghargaan dan hukuman yang
paling berarti adalah yang diberikan oleh kelompok
yang sangat penting dalam kehidupan si individukelompok bermain, keluarga, guru di sekolah. “Jika
tingkah laku kriminal mendatangkan hasil positif atau
penghargaan maka ia akan terus bertahan” (Topo
Santoso, 2003: 49-56).
4) Teori-teori yang menjelaskan kejahatan dari prespektif sosiologis
a) Anomie: Emile Durkheim
Durkheim menyatakan bahwa kejahatan disebabkan
karena terjadinya anomie yaitu hancurnya keteraturan social
sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai.
Keadaan ini terjadi ketika masyarakat sederhana berkembang
menuju satu masyarakat modern maka kedekatan yang
dibuthkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum
akan merosot, kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah dan
dengan tidak dapat diprediksinya perilaku menyebabkan sistem
tersebut bertahap akan runtuh sehingga masyarakat berada
dalam kondisi anomie.
b) Strain Theory:Robert K. Merton
39
Robert
K.Merton
juga
mengaitkan
masalah
kejahatan dengan anomie. Konsepsi Merton tentang anomie
agak berbeda dengan konsepsi anomie dari Durkheim. Masalah
sesungguhnya menurut Merton tidak diciptakan oleh sudden
social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social
structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan
yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana
yang merata untuk mencapainya. Kekurangpaduan antara apa
yang diperbolehkan budaya (yang mendorong kesuksesan)
dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang mencegah
memperoleh kesuksesan), dapat menyebabkan norma-norma
runtuh karena tidak efektif lagi membimbing tingkah laku.
Merton menggunakan istilah anomie dari Durkheim untuk
menjelaskan keruntuhan sistem norma ini.
c) Modes of Adaptions
Menurut teori ini ada beberapa cara yang berbeda
bagi anggota masyarakat untuk memecahkan/mengatasi strain
(ketegangan-ketegangan)
yang
dihasilkan
dari
ketidakmampuan mencapai sukses. Merton mengembangkan
tipologi-tipologi atau metode adaptasi yaitu (Topo Santoso dan
Eva Achjani Zulfa, 2011: 64-65):
(1) Conformity
Menyesuaikan diri dengan melanjutkan mencapai
tujuan budaya berupa kesuksesan dan percaya atas
legitimasi sarana-sarana konvensional dengan mana sukses
akan dicapai.
(2) Ritualism
Menyesuaikan diri dengan norma-norma yang
mengatur. Meredakan ketegangan dengan menurunkan
skala aspirasi mereka sampai di titik yang mereka dapat
capai dengan mudah. Dibanding mengejar tujuan budaya
40
tentang kesuksesan, mereka justru berusaha menghindari
risiko dan hidup dalam batas-batas rutinitas hidup seharihari.
(3) Retreatism
Tertekan dengan harapan-harapan sosial
ditunjukkan oleh
gaya hidup
yang
konvensional, mereka
melepaskan kesetiaan baik kepada tujuan maupun sarana
tersebut, misalnya dengan alcoholism, drug addiction,
psychosis
atau
vagrancy
(menggelandang
atau
mengembara).
(4) Rebellion
Adaptasi orang-orang yang tidak hanya menolak
tetapi juga berkeinginan untuk mengubah sistem yang ada.
5) Teori-teori penyimpangan budaya (cultural deviance theories)
Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai
seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class (kelas bawah).
Menyesuaikan diri dengan sistem nilai kelas bawah yang
menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh (slum areas),
menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.
Cultural deviance theories menempatkan penyebab kejahatan
pada ketidakberuntungan posisi orang-orang di strata bawah
dalam satu masyarakat yang berbasiskan kelas. Tiga teori utama
dari cultural deviance theories ialah (Topo Santoso dan Eva
Achjani Zulfa, 2011: 67-68):
a) Social disorganization theory
Memfokuskan diri pada perkembangan area-area
yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan
disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh
industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.
41
b) Differential association
Memegang pendapat bahwa orang belajar melakukan
kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan
sikap-sikap antisocial, serta pola-pola tingkah laku kriminal.
c) Culture conflict theory
Menegaskan
bahwa
kelompok-kelompok
yang
berlainan belajar conduct norms (aturan yang mengatur
tingkah laku) yang berbeda, dan bahwa conduct norms dari
suatu kelompok mungkin berbenturan dengan aturan-aturan
konvensional kelas menengah.
6) Teori-teori dari prespektif lainnya
Para kriminolog dari prespektif ini beralih dari teori-teori
yang menjelaskan kejahatan dengan melihat kepada sifat-sifat
pelaku atau kepada sosial. Para kriminolog justru berusaha
menunjukkan bahwa orang menjadi kriminal bukan karena
cacat/kekurangan internal tetapi karena apa yang dilakukan oleh
orang-orang yang berada dalam kekuasaan, khusunya mereka
yang berada dalam sistem peradilan pidana. Terdapat 3 teori yang
akan dijelaskan sebagai berikut (Topo Santoso dan Eva Achjani
Zulfa, 2011: 97-110):
a) Labeling Theory
Teori ini memandang para kriminal bukan sebagai
orang yang bersifat jahat (evil) yang terlibat dalam perbuatanperbuatan bersifat salah tetapi mereka adalah individu yang
sebelumnya pernah berstatus jahat sebagai pemberian sistem
peradilan pidana maupun masyarakat secara luas.
b) Cooley, Thomas dan Mead (social interactionist)
Memandang bahwa pribadi manusia terbentuk
melalui proses interaksi sosial. Labeling memisahkan yang
baik dari yang buruk, yang berlaku biasa dengan yang
menyimpang. Perhatian Mead bukan pada akibat perbuatan
42
tetapi pada interaksi sosial dengan mana seseorang menjadi
deviant. Tingkah laku sosial terbangun dalam suatu proses
yang berlanjut dari aksi dan reaksi.
c) Frank Tannenbaum (Dramatization of evil)
Tannebaum menamai suatu proses labeling atau
suatu Dramatization of evil yang menyangkutkan seorang anak
laki-laki yang nakal ke dalam suatu peranan delinquent. Jadi
sistem ini dimulai dari seorang anak yang bermasalah dalam
perbuatannya yang sebenarnya normal dan bukan merupakan
kejahatan
namun,
karena
perbuatan
tersebut
dianggap
mengganggu oleh masyarakat maka perbuatan tersebut diberi
sebuah label (cap) sehingga berakhir pada “a juvenile
delinquent”.
d) Edwin Lemert
Lemert
membedakan
dua
jenis
tindakan
menyimpang yaitu penyimpangan primer (primary deviations)
dan
penyimpangan
Menurutnya
sekunder
penyimpangan
(secondary
sekunder
deviations).
terjadi
setelah
masyarakat menjadi tahu penyimpangan primer si individu.
e) John Braithwaite (reintegrative shaming)
Menurut
John
Braithwaite
reaksi
sosial
meningkatkan kejahatan, sebagaimana diyakini para penganut
labeling teori, atau menurunkan kejahatan sebagaimana
didukung
oleh
pelanggaran
prediksi
hukum
penghukuman.
menyebabkan
lahirnya
Pelanggaranpercobaan-
percobaan formal dari negara serta usaha-usaha informal dari
keluarga dan anggota masyarakat untuk mengontrol perbuatan
salah itu.
f) Conflict Theories
Teori konflik lebih jauh mempertanyakan proses
pembuatan hukum itu sendiri. Menurut mereka pertarungan
43
(struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dari
eksistensi manusia. Pertarungan kekuasan itulah yang berarti
bahwa berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol
pembuatan dan penegakan hukum. Menurut W.A Bonger di
bawah kapitalisme muncul pemisahan tajam antara penguasa
dan yang dikuasai yang berasal dari ekonomi itu sendiri.
Kondisi tersebut membuat orang akan menyerang orang lain
dalam pertarungan ekonomi untuk mengejar kesenangan
tersebut dengan sarana apapun tanpa memperdulikan orang
lain dalam hal ini orang lain lebih mampu melakukan
kejahatan terhadap orang lain. Jadi, seperti halnya tokoh
konflik teori lain, Bonger menelusuri jejak kejahatan sebagai
bagian dari egoism individual.
g) Radical (critical) criminology
Menurut teori ini institusi ekonomi merupakan
sumber dari semua konflik, pertarungan antar kelas selalu
berhubungan dengan distribusi sumberdaya dan kekuasaan,
dan hanya apabila kapitalisme dimusnahkan maka kejahatan
akan hilang.
2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana dan Tindak Pidana Kesusilaan
a. Pengertian Tindak Pidana
Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak
pidana, antara lain: delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa
pidana, perbuatan yang boleh di hukum, pelanggaran pidana,
crimical act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti
hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan
sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Dengan demikian kata
mempidana berarti
menghukum
menuntut
seseorang
karena
berdasarkan
hukum
pidana,
melakukan
tindak
pidana.
44
Dipidana berarti dituntut berdasarkan hukum pidana, sehingga
terpidana berarti orang yang dikenai hukuman.
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan
“straafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan
“tindak pidana”. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa
Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een
gedeelte van de werkelijkheid”, sedang “strafbaar” berarti “dapat
dihukum”, hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu
dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang
dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena
kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu
sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan ataupun tindakan (P.A.F. Lamintang, 2013: 181).
Menurut Moeljatno perbuatan pidana atau tindak pidana
adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu,
bagi
Selanjutnya
barangsiapa
Roeslan
Saleh
melanggar
larangan
mengemukakan
tersebut.
pendapatnya
mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan
yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang
dan
diancam
dengan
pidana
barangsiapa
yang
melakukannya (Mahrus Ali, 2012: 98).
Secara umum unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan
kedalam dua macam yaitu (Tongat, 2003: 4-5):
1) Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat diluar pelaku
(dader) yang dapat berupa:
a) Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak
berbuat. Unsur obyektif perbuatan yaitu adalah perbuatanperbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.
45
b) Akibat adalah akibat-akibat yang dilarang dan diancam oleh
undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak
dalam tindak pidana.
c) Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan
diancam oleh undang-undang.
2) Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku
(dader) yang berupa:
a) Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang
terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan
bertanggungjawab).
b) Kesalahan
(schuld)
berkaitan
dengan
kemampuan
bertanggung jawab. Seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggungjawab
apabila
dalam
diri
seseorang
itu
memenuhi tiga syarat, yaitu:
(1)Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa,
sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan
karena
juga
mengerti
akan
nilai
dari
akibat
perbuatannya itu.
(2)Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia
dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan
yang ia lakukan.
(3)Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang
dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undangundang.
b. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan
Kata “Kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
dimuat artinya “perihal susila” kata “susila” dimuat arti sebagai
berikut (Leden Marpaung, 1996: 2):
1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;
46
3) Pengetahuan tentang adat.
Baik “moral”, “etika” ataupun “hukum” pada hakikatnya
merupakan presepsi nilai dari masyarakat. “moral” merupakan
pertimbangan
atas
dasar
baik/tidak
baik
sedang “etika”
merupakan ketentuan atau norma perilaku (code of conduct).
Berdasarkan kenyataan sehari-hari apabila diamati, persepsi
masyarakat tentang arti “kesusilaan” lebih condong pada
“behavior as to right or wrong, esp in relation to sexual matter”.
Apabila diamati Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
pengartian mengenail tindak pidana kesusilaan kurang tepat hal
ini karena dalam KUHP, mengemis, penyiksaan binatang, dan
minuman keras serta judi termasuk dalam Bab XIV tentang
Kejahatan
Kesusilaan.
Dengan
demikian,
makna
dari
“Kesusilaan” adalah berkenaan dengan moral, etika yang telah
diatur dalam perundang-undangan ((Leden Marpaung, 1996: 3).
Menurut Wirjono Prodjodikoro Tindak Pidana kesusilaan
dalam KUHP diatur dalam Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI
Buku Ketiga KUHP, yakni (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 111):
1) Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid).
Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada
Pasal 281 sampai dengan Pasal 299, sedangkan untuk
pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan
dalam Pasal 532 sampai Pasal 535.
2) Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang
bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan
masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini
dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap
kesopanan (diluar hal yang berhubungan dengan
masalah seksual) dirumuskan dalam Pasal 236 sampai
dengan Pasal 547.
Pendapat Wirjono Prodjodikoro (2003: 111) tersebut didasarkan
pada tafsir terjemahan pada kata yang termuat dalam teks aslinya
yakni zedelijkheid dan zeden. Dalam naskah asli, Bab XIV dan
Bab VI memiliki titel Misdrijven tegen de zeden dan
Overtredingen betreffende de zeden. Oleh ahli hukum Indonesia
47
kata zeden diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai
kesusilaan dan kesopanan.
Kata zeden memiliki arti yang lebih luas dari kesusilaan.
Kesopanan (zeden) pada umumnya adalah mengenai adat
kebiasaan yang baik dalam hubungan antara berbagai anggota
masyarakat. Sedangkan kesusilaan (zedelijkheid) juga merupakan
adat kebiasaan yang baik tersebut (zeden) namun khusus
setidaknya mengenai kelamin (seks) seseorang. Konteks maksud
pembentuk KUHP, kesopanan (zeden) memiliki dua ranah
pengaturan secara substansial yakni kesopanan di bidang
kesusilaan (disebut zedelijkheid) dan kesopanan diluar bidang
kesusilaan (disebut zeden). Kata kesusilaan dipahami sebagai
suatu pengertian adab sopan santun dalam hal yang berhubungan
dengan seksual atau dengan nafsu birahi (Wirjono Prodjodikoro,
2003: 111).
Kejahatan kesusilaan dalam Buku II Bab XIV diatur dalam
Pasal 281-303 yang termasuk dalam kelompok perbuatan yang
diatur dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Berhubungan dengan pelanggaran kesusilaan di muka umum
dan yang berhubungan dengan benda-benda dan sebagainya
yang melanggar kesusilaan/bersifat porno (Pasal 281-283
KUHP);
2) Zina dan sebagainya yang berhubungan dengan perbuatan
cabul dan hubungan seksual (Pasal 284-296 KUHP);
3) Perdagangan wanita dan anak laki-laki dibawah umur (Pasal
297 KUHP);
4) Berhubungan dengan pengobatan untuk menggugurkan
kehamilan (Pasal 299 KUHP);
5) Berhubungan dengan minuman memabukkan (Pasal 300
KUHP);
48
6) Menyerahkan anak untuk pengemisan dan sebagainya (Pasal
301 KUHP);
7) Penganiayaan terhadap hewan (Pasal 302 KUHP);
8) Perjudian (Pasal 303 dan 303 Bis).
c. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan
aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak,
baik pria maupun wanita, dengan kekerasan maupun tanpa
kekerasan. Pengertian pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, diartikan sebagai berikut: pencabulan adalah
kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai
dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul:
berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi,
memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film
porno.
Keji
dan
kotor,
tidak
senonoh
(melanggar
kesusilaan,kesopanan). Persepsi terhadap kata “cabul”
dimuat
dalam
KUHP.
Dalam
kamus
tidak
lengkap,
Prof.Dr.S.Wojowasito, Drs.Tito Wasito dimuat artinya dalam
Bahasa Inggris yaitu “indecent, dissolute, pornographical”
(Leden Marpaung, 1996: 64).
KUHP merumuskan perbuatan pencabulan terdapat pada
Pasal 289 yang berbunyi sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
padanya
perbuatan
dihukum
karena
salahnya
melakukan
perbuatan melanggar kesopanan dengan hukuman penjara selamalamanya Sembilan tahun.”
Pasal 289 KUHP tersebut hanya terdiri atas unsur-unsur
objektif yaitu adalah (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,
2011: 130-134):
49
1) Barangsiapa
Kata barangsiapa itu menunjukkan orang, yang apabila
orang tersebut terbukti memenuhi semua unsur dari tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 289 KUHP, maka ia dapat
disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut.
2) Dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai
kekerasan
Tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan dan dengan
ancaman akan memakai kekerasan itu, undang-undang ternyata
tidak memberiikan penjelasannya. Menurut Prof.Simons, yang
dimaksud dengan kekerasan atau geweld ialah setiap
pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti atau
setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.
Tentang ancaman akan memakai kekerasan itu, Hoge Raad
dalam arrest-arrest-nya masing-masing tanggal 5 Januari
1914, NJ 1914 halaman 397, W.9604 dan tanggal 18 Oktober
1915, NJ 1915 halaman 1116 antara lain telah memutuskan
bahwa ancaman tersebut harus memenuhi syarat yakni :
a) Bahwa ancaman tersebut harus diucapkan dalam keadaan
sedemikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada
orang yang mendapat ancaman yakni bahwa yang
diancamkan
itu
benar-benar
akan
dapat
merugikan
kebebasan pribadinya.
b) Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk
menimbulkan kesan seperti itu.
3) Memaksa seseorang
Pemaksaan harus ditujukan secara langsung pada orang
yang dipaksa untuk melakukan perbuatan yang sifatnya
melanggar kesusilaan atau pada orang yang dipaksa untuk
membiarkan dilakukannya perbuatan melanggar kesusilaan
oleh pelaku.
50
4) Untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar
kesusilaan dan membiarkan dilakukannya tindakan-tindakan
yang sifatnya melanggar kesusilaan
Unsur melakukan tindakan yang sifatnya melanggar
kesusilaan, Menteri Kehakiman telah mengatakan bahwa
termasuk dalam pengertian ontuchtige handelingen yakni
perbuatan melakukan vleselijke gemeenschap atau melakukan
hubungan
kelamin.
ontuchtige
Selanjutnya
handelingen
ialah
menurut
Prof.Simons
tindakan-tindakan
yang
berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual, yang
dilakukan
dengan
maksud-maksud
untuk
mendapat
kesenangan dengan cara yang bertentangan dengan pandangan
umum tentang kesusilaan atau dengan kata lain ontuchtige
handelingen itu merupakan kata-kata yang mempunyai
pengertian yang sifatnya umum, sehingga termasuk pula dalam
pengertiannya
yakni
perbuatan-perbuatan
melakukan
hubungan kelamin seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285287 KUHP.
Jika melihat bentuk pencabulan maka cukup beragam,
terkait dengan pencabulan terhadap anak terdapat beberapa jenis
istilah
tentang
pencabulan
terhadap
anak
yaitu
adalah
(Abd.Kadir,Skripsi, 2012: 34-35):
1) Exhibitionism seksual : sengaja memamerkan alat kelamin
pada Anak.
2) Voyeurism : orang dewasa mencium anak dengan bernafsu
3) Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seorang anak
4) Fellatio : orang dewasa memaksa anak untuk melakukan
kontak mulut.
Macam-macam tindak pidana pencabulan dalam KUHP
dapat dibagi kedalam beberapa kategori berikut:
51
1)
Pencabulan terhadap orang yang berada dalam keadaan
Pingsan, dalam keadaan tidak berdaya
atau belum
mencapai usia lima belas tahun (Pasal 290).
2)
Pencabulan terhadap anak dibawah umur dari jenis kelamin
yang sama (Pasal 292).
3)
Pencabulan dengan sengaja menggerakkan anak untuk
melakukan tindakan cabul dengan dirinya (Pasal 293).
4)
Pencabulan terhadap anaknya sendiri, anak tiri, anak
angkatnya atau lain-lain yang masih dibawah umur (Pasal
294).
d. Pengertian Pencabulan sejenis
“Perbuatan cabul sesama jenis atau yang disebut sebagai
perbuatan cabul homoseksual merupakan perbuatan melanggar
kesusilaan antara dua orang yang memiliki kelamin sama, baik
antara laki-laki dengan laki-laki ataupun antara perempuan
dengan
perempuan”
(Wirjono
Prodjodikoro,
2010:
120).
Pencabulan sejenis di dalam kehidupan masyarakat sering disebut
juga dengan sodomi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
“sodomi” memiliki arti pencabulan dengan sesama jenis kelamin
atau dengan binatang, sanggama antarmanusia secara oral atau
anal biasanya antarpria. Selanjutnya sodomi juga dikenal sebagai
seks anal, yaitu adalah penyisipan penis ke dalam anus pasangan,
dengan
atau
tanpa
paksaan
(Anonim,
http://kamuskesehatan.com/arti/sodomi/ , diakses pada tanggal 10
Desember 2015).
Pelaku pencabulan sejenis dalam Hukum Pidana Indonesia
dapat dijerat dengan Pasal 290 KUHP tentang pencabulan, jika
dalam hal perbuatan pencabulan sejenis yang dimaksud
pelakunya adalah orang dewasa terhadap anak di bawah umur
dapat dijerat dengan Pasal 292 KUHP yang berbunyi sebagai
berikut:
52
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, sedang
diketahuinya atau patut harus disangkanya hal belum dewasa itu,
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.”
Secara lebih khusus pelaku pencabulan sejenis terhadap anak
dapat dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor
1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
(1) Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak,
pendidik, tenaga kependidikan,aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah
dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76E.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu)
orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,
penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana
tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa
rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan
memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82A
53
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat
(6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana
menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di bawah pengawasan secara berkala oleh
kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Unsur-unsur Pasal 82 ayat Undang-Undang Nomor 23
tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai
berikut:
1) Unsur Subjektif: Setiap Orang
2) Unsur Objektif:
a) Perbuatan:
(1) Melakukan perbuatan cabul;
(2) Membiarkan dilakukan perbuatan cabul;
b) Cara-caranya :
(1) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan;
(2) Memaksa;
(3) Melakukan tipu muslihat;
(4) Serangkaian kebohongan; atau
(5) Membujuk anak.
Tindak Pidana melakukan tindakan melanggar kesusilaan
oleh orang dewasa dengan anak dibawah umur yang dimaksudkan
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP terdiri atas
unsur-unsur (P.A.F.Lamintang dan Theo Lamintang, 2011: 153156):
1) Unsur-unsur subjektif: yang ia ketahui atau sepantasnya harus
dapat ia duga
Undang-undang telah mensyaratkan dua macam subjektif
secara bersama-sama, masing-masing yakni unsur yang ia
ketahui
yang
menunjukkan
bahwa
undang-undang
54
mensyaratkan keharusan adanya unsur dolus atau unsur opzet
pada diri pelaku, dan unsur yang sepantasnya harus dapat ia
duga yang menunjukkan bahwa pada saat yang sama, undangundang juga mensyaratkan keharusan adanya unsur culpa atau
unsur schuld pada diri pelaku, maka di dalam doktrin biasanya
orang menyebut ketentuan pidana seperti yang diatur dalam
Pasal 292 KUHP sebagai ketentuan pidana yang mempunyai
unsur-unsur subjektif pro parte dolus dan pro parte culpa.
2) Unsur-unsur obyektif:
a) Seorang dewasa
Orang dewasa apabila terbukti memenuhi semua
unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP,
ia dapat dipandang sebagai pelaku dari tindak pidana
tersebut.
b) Melakukan tindakan melanggar kesusilaan
Perbuatan melakukan tindakan melanggar kesusilaan
ontucht di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur
dalam Pasal 292 KUHP diisyaratkan harus dilakukan
oleh orang-orang dari jenis kelamin yang sama, sehingga
tidak ada alasan untuk berbicara
tentang perbuatan
melakukan hubungan kelamin, dan lebih tepat jika dalam
hal ini orang hanya berbicara tentang dilakuka,mnnya
hubungan seksual yang tidak wajar. Dengan demikian
yang dimaksudkan dengan ontucht dalam pasal ini bukan
hanya terbatas pada perbuatan yang lazim dilakukan oleh
homozexuelen atau orang-orang homoseksual dengan
melakukan sexual intercourses melalui anus atau dubur,
melainkan juga perbuatan sexual intercourses melalui
mulut, mempermainkan alat kelamin dengan oral
erotisme dan lain-lain.
55
c) Seorang anak belum dewasa dari jenis kelamin yang
sama
Undang-undang mensyaratkan bahwa anak dibawah
umur yakni dengan anak mana pelaku telah melakukan
tindakan melanggar kesusilaan, haruslah merupakan
seorang anak dari jenis kelamin yang sama dengan
pelaku baik itu pria dengan pria atau wanita dengan
wanita.
d) Kebelumdewasaan
Terkait dengan bukti kebelumdewasaan korban
tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan
pasal tersebut, dalam berbagai arrest-nya Hoge Raad
menganggap kenyataan belum menikahnya korban
sebagai bukti kebelumdewasaan korban.
e. Klasifikasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak
Kejahatan seksual terhadap anak terklasifikasi dalam
berbagai macam jenis kejahatan. Secara lebih terperinci
klasifikasi kejahatan seksual terhadap anak berikut dengan sanksi
hukumannya akan dijelaskan dalam tabel berikut ini :
Tabel 2. Klasifikasi Kejahatan Seksual Terhadap Anak
JENIS TINDAK PIDANA
PASAL YANG
KETERANGAN
DILANGGAR
Pasal 81 ayat (1) Pidana penjara minimal 5 (lima)
UU No 23/2002 tahun, maksimal 15 (lima belas)
jo
UU
35/2014
Perppu
No tahun dan denda maksimal Rp
jo 5.000.000.000,-.
(lima
milyar
No rupiah)
1/2016
Pasal 81 ayat (2) Terhadap orang yang melakukan
UU No 23/2002 tipu
muslihat/kebohongan
untuk
56
jo
UU
Persetubuhan /
35/2014
Pemerkosaan
Perppu
No melakukan persetubuhan berlaku
jo ketentuan pidana seperti pada ayat
No (1).
1/2016
Pasal 81 ayat (3) Dilakukan oleh Orang Tua, Wali,
UU No 23/2002 pengasuh Anak, pendidik, atau
jo
UU
35/2014
Perppu
1/2016
No tenaga kependidikan, maka
jo pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
No dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 81 ayat (4) Penambahan 1/3 (sepertiga) dari
UU No 23/2002 ancaman pidana juga dikenakan
jo
UU
35/2014
Perppu
No kepada
pelaku
yang
pernah
jo dipidana karena melakukan tindak
No pidana sebagaimana dimaksud.
1/2016
Pasal 81 ayat (5) Dalam
hal
tindak
UU No 23/2002 sebagaimana
jo
UU
35/2014
Perppu
1/2016
pidana
dimaksud
No menimbulkan korban lebih dari 1
jo (satu) orang, mengakibatkan luka
No berat,
gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau
hilangnya
fungsi
reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia,
pelaku
dipidana
mati,
seumur
hidup, atau pidana penjara paling
singkat 10 (sepuluh) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 81 ayat (6) Selain dikenai pidana sebagaimana
UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
57
jo
UU
35/2014
No ayat (4), dan ayat (5), pelaku
jo dapat dikenai pidana tambahan
Perppu
No berupa
1/2016
pelaku.
pengumuman
Pasal 81 ayat (7) Terhadap
pelaku
identitas
sebagaimana
UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
jo
UU
35/2014
Perppu
No dapat dikenai tindakan berupa
jo kebiri kimia dan pemasangan alat
No pendeteksi elektronik.
1/2016
Pasal 82 ayat (1) Pidana penjara minimal 5 (lima)
UU No 23/2002 tahun, maksimal 15 (lima belas)
jo
UU
35/2014
Perppu
No tahun dan denda maksimal Rp
jo 5.000.000.000,- (lima milyar
No rupiah).
1/2016
Pencabulan / Sodomi
Pasal 82 ayat (2) Dilakukan oleh Orang Tua, Wali,
UU No 23/2002 pengasuh Anak, pendidik, atau
jo
UU
No tenaga
kependidikan,
maka
35/2014
jo pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
Perppu
No dari ancaman pidana sebagaimana
1/2016
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82 ayat (3) Penambahan 1/3 (sepertiga) dari
UU No 23/2002 ancaman pidana juga dikenakan
jo
UU
35/2014
Perppu
No kepada
pelaku
yang
pernah
jo dipidana karena melakukan tindak
No pidana.
1/2016
Pasal 82 ayat (4) Dalam
hal
UU No 23/2002 sebagaimana
tindak
pidana
dimaksud
58
jo
UU
35/2014
Perppu
No menimbulkan korban lebih dari 1
jo (satu) orang, mengakibatkan luka
No berat,
1/2016
gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya
fungsi reproduksi, dan/atau korban
meninggal
dunia,
ditambah
1/3
ancaman
pidana
pidananya
(sepertiga)
dari
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 82 ayat (5) Selain dikenai pidana sebagaimana
UU No 23/2002 dimaksud pelaku dapat
jo
UU
35/2014
Perppu
No dikenai pidana tambahan berupa
jo pengumuman identitas pelaku.
No
1/2016
Pasal 82 ayat (6) Terhadap
pelaku
sebagaimana
UU No 23/2002 dimaksud pada ayat (2) sampai
jo
UU
35/2014
Perppu
1/2016
Pasal
KUHP
No dengan ayat (4) dapat dikenai
jo tindakan berupa rehabilitasi dan
No pemasangan
alat
pendeteksi
elektronik.
292 Melakukan
tindak
pidana
pencabulan sesama jenis dengan
anak
dibawah
umur,
dipidana
penjara maksimal 5 (lima) tahun.
Eksploitasi ekonomi dan
seksual anak
Pasal 88 UU No Pidana
penjara
maksimal
10
23/2002 jo UU (sepuluh) tahun dan/atau denda
No 35/2014 jo maksimal
Perppu
1/2016
Rp200.000.000,-
No ratus juta rupiah).
(dua
59
Sumber : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu
Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa terdapat berbagai
macam jenis kejahatan seksual terhadap anak yang telah diatur di
dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kejahatan tersebut
diantaranya
adalah
persetubuhan/pemerkosaan,
pencabulan/sodomi, serta eksploitasi seksual dan ekonomi anak.
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pelaku kejahatan
seksual terhadap anak dapat diancam pidana mati atau seumur
hidup. Sedangkan rata-rata hukuman pidana penjara kejahatan
seksual terhadap anak di Indonesia yaitu minimal 5 (lima) tahun
penjara dan maksimal 20 (dua puluh) tahun penjara serta pidana
denda minimal Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan
maksimal Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Pelaku juga
dapat diberi hukuman tambahan yaitu kebiri kimia, pemasangan
alat deteksi elektronik serta pengumuman identitas pelaku.
3. Tinjauan Tentang Anak
a. Tinjauan tentang Batasan Usia Anak
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang
harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang termuat dalam UUDNRI Tahun 1945 dan
Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi,
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak
sipil dan kebebasan. Anak merupakan individu yang berada
60
dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari
bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia
bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia
sekolah
(5-11
tahun)
hingga
remaja
(11-18
tahun)
(E.Simangunsong,
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24631/4/Chapter
%20II.pdf, diakses pada tanggal 18 Desember 2015). Menurut
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum
Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum anak
memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan
orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang
haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak menjadi
penting untuk diprioritaskan.
Batasan mengenai usia anak dalam perundang-undangan di
Indonesia belum terdapat keseragaman. Pasal 1 Convention On
The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang
dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku
terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya. Yang
dimaksud dengan anak adalah mereka yang belum dewasa dan
yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental, fisik
masih belum dewasa. Hal yang sama juga dijelaskan dalam Pasal
1 angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan
61
belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum
Perdata
(KUHPerdata)
yang
dikategorikan usia seorang anak ialah seseorang yang belum
dewasa mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin
sebelumnya.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan “anak
adalah seorang yang belum mencapai batas usia 21 (dua puluh
satu tahun) dan belum pernah menikah”. Dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan Pasal tersebut yang dikategorikan sebagai
anak adalah dibawah usia dua puluh satu tahun dan belum pernah
menikah. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi Pasal 1 ayat (4) mendefiniskan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
b. Tinjauan tentang Perlindungan Anak
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1
Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak
adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Perlindungan
terhadap
anak
di
Indonesia
berdasarkan pada prinsip-prinsip non diskriminasi, kepentingan
yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan, dan
perkembangan serta penghargaan terhadap anak. Tujuan dari
perlindungan terhadap anak ialah agar hak-hak anak dapat
terpenuhi sehingga anak dapat hidup, tumbuh, dan berkembang
sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia, dan mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan
62
terhadap tercapainya hak-hak anak merupakan kewajiban negara,
orangtua,dan masyarakat.
Perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana
dalam hal ini dapat dilakukan dengan berbagai upaya yaitu
dengan memberikan rasa aman bagi anak sebagai korban dengan
pemberian akses anak korban untuk mendapatkan keadilan atas
kejahatan yang menimpanya yaitu melalui adanya ketentuan
pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Di Indonesia
ketentuan pidana bagi kejahatan terhadap anak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 jo Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 jo Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Anak dan perlindungan identitas anak dari
pemberitaan media massa untuk melindungi anak dari labelisasi
masyarakat. Selain itu pemberian rehabilitasi untuk anak korban
tindak pidana juga merupakan upaya perlindungan terhadap anak
korban misalnya dengan pemberian konseling terhadap anak
korban yang mengalami trauma sebagai upaya mengembalikan
kondisi psikologis anak seperti semula.
Sedangkan Perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana
dalam hal ini dilakukan dengan adanya sistem peradilan pidana
anak yang berperinsip pada keadilan restorative (Restorative
justice) dengan adanya upaya diversi dalam setiap tingkat proses
peradilan pidana terhadap anak pelaku. Tujuan dari adanya
prinsip restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak
adalah mencari penyelesaian yang adil antara pihak anak korban
dan anak pelaku dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan bukan pembalasan. Anak pelaku baik dalam
proses peradilan atau dalam menjalani masa hukumannya
mendapatkan hak-haknya sebagai anak seperti hak untuk tidak
mendapatkan
penghukuman
atau
perlakuan
yang
tidak
manusiawi, mendapatkan bantuan hukum, tidak dijatuhi hukuman
63
pidana mati / seumur hidup, dan mendapatkan pembinaan untuk
mengembangkan kemampuannya.
64
B. Kerangka Pemikiran
TINDAK PIDANA
KESUSILAAN
TINDAK PIDANA
PENCABULAN
TINDAK PIDANA PENCABULAN SEJENIS
(Pasal 292 KUHP)
FAKTOR-FAKTOR
PENYEBAB TINDAK
PIDANA PENCABULAN
SEJENIS (SODOMI)
Bagan 2. Kerangka Pemikiran
UPAYA-UPAYA YANG
DILAKUKAN UNTUK
MENANGGULANGI
TINDAK PIDANA
PENCABULAN SEJENIS
(SODOMI)
65
Keterangan :
Kerangka pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran
mengenai
langkah-langkah
yang
digunakan
penulis
guna
menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menjawab perumusan
masalah yang telah dipaparkan dimuka. Tindak pidana pencabulan
beberapa tahun terakhir ini menjadi suatu bentuk kejahatan yang sangat
meresahkan masyarakat hal ini disebabkan karena sebagian besar
korbannya adalah anak dibawah umur. Tindak pidana pencabulan yang
penulis teliti dalam penelitian hukum ini adalah tindak pidana pencabulan
sejenis. Dalam hal ini tindak pidana pencabulan sejenis menjadi sebuah
fenomena gunung es dalam masyarakat dimana permasalahan sebenarnya
banyak terjadi dalam masyarakat namun pada kenyataannya tidak banyak
kasus yang terungkap hal ini disebabkan karena ketidak beranian para
korban untuk mengungkapkannya.
Penulisan hukum ini menguraikan secara lebih lanjut mengenai
faktor-faktor penyebab yang menjadi dasar terjadinya tindak pidana
pencabulan sejenis berdasarkan perspektif kriminologi yang dipaparkan
dengan beberapa klasifikasi teori kejahatan antara lain yaitu teori yang
menjelaskan kejahatan dari perspektif psikologis. Setelah faktor-faktor
penyebab terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis telah ditemukan,
maka selanjutnya diuraikan solusi sebagai upaya untuk menanggulangi
terjadinya tindak pidana pencabulan sejenis.
Download