BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman yang menerima cekaman dari dalam maupun dari lingkungan hidupnya akan mensintesis metabolit sekunder untuk mempertahankan diri. Berbeda dengan senyawa metabolit primer yang memberi pengaruh biologis terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman itu sendiri, metabolit sekunder berfungsi untuk pertahanan diri menghadapi tekanan biotik dan abiotik. Menurut Wink (2010) metabolit sekunder bukan produk buangan yang tidak berguna, tetapi merupakan senyawa penting yang berperan untuk melawan herbivora dan mikrobia. Senyawa metabolit sekunder jumlahnya sangat banyak, menurut Springbob & Kutchan (2009) sampai saat ini ada lebih dari 20.000 struktur metabolit sekunder telah dilaporkan. Secara umum metabolit sekunder dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu alkaloid, flavonoid, dan tanin. Alkaloid merupakan salah satu metabolit sekunder yang paling banyak ragamnya dan diketahui dapat berperan sebagai antibakteri, antijamur dan sebagai insektisida. Ragwort (Jacobaea sp.) mampu mensintesis berbagai metabolit sekunder terutama alkaloid golongan pirolisidin. Golongan alkaloid ini telah dilaporkan berperan dalam pertahanan tanaman, khususnya untuk menghadapi herbivora (Hartmann & Dierich, 1998). Alkaloid Pirolisidin (AP) pada tanaman ragwort telah banyak dipelajari dan diketahui mempunyai komposisi dan konsentrasi AP yang sangat bervariasi, baik antar individu, dan antar organ dalam satu individu. 1 Menurut Hartmann & Dierich (1998), biosintesis AP secara umum dilakukan di akar dan dikatalis oleh enzim homospermidin sintase (HSS) untuk menghasilkan senesionin N-oksida. Senesionin N-oksida ini merupakan produk awal yang berperan sebagai kerangka AP jenis lainnya. Senesionin N-oksida kemudian dibawa ke daun melalui floem dan didiversifikasi menjadi 4 golongan AP yaitu senesionin, jakobin, erusifolin dan otosenin (Pelser et al., 2005). Setidaknya sebanyak 37 macam AP telah dilaporkan sampai saat ini (Cheng et al., 2011; Pelser et al., 2005). Kandungan AP yang dimiliki tumbuhan sangat bervariasi tergantung jenis tanaman, faktor biotik, dan faktor abiotik. Faktor abiotik dapat berupa intensitas cahaya, radiasi UV, cekaman air, kelembaban dan nutrien, sedangkan faktor biotik dapat berupa herbivora, patogen dan endofit (Hol et al., 2003). Endofit merupakan bagian dari faktor biotik dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, endofit dapat berupa jamur atau bakteri yang bersimbiosis dengan tumbuhan hospesnya. Jamur endofit paling melimpah jika dibandingkan endofit bakteri. Endofit berbeda dengan mikoriza, karena mikoriza berkembang diluar akar dan membentuk rhizosphere. Endofit hidup di dalam jaringan tanaman dan dapat tumbuh di dalam akar, batang atau daun (Sherwood & Caroll, 1974; Caroll, 1988;Stone et al., 2004). Endofit memiliki peran yang luas dalam perkembangan tanaman dan dapat meningkatkan toleransi terhadap stress, meningkatkan biomasa dan meningkatkan pertahanan tumbuhan dari serangga (Rodriguez et al., 2008). Keterlibatan jamur endofit dalam biosintesis alkaloid pada berbagai tanaman telah banyak ditemukan, salah satunya adalah jamur endofit Fusarium solani yang memproduksi alkaloid kuinolin yaitu kamfotekin pada tumbuhan Camptotheca 2 acuminata (Kusari et al., 2011). Secara umum simbiosis antara tanaman hospes dan endofit adalah mutualistik jika endofit dan tanaman hospes sama sama diuntungkan. Keterlibatan jamur endofit dalam biosintesis alkaloid pada berbagai tanaman telah banyak diteliti akan tetapi kemungkinan keterlibatan jamur endofit dalam biosintesis AP pada tanaman Jacobaea sp. masih belum diketahui. Endofit pada tanaman dapat dieliminasi menggunakan fungisida sistemik. Penelitian terdahulu menunjukkan tanaman Jacobaea sp. yang diperlakukan dengan fungisida sistemik folikur diketahui mengalami penurunan kandungan AP (Nuringtyas et al., 2013)., akan tetapi belum diketahui apakah penurunan tersebut dikarenakan hilangnya endofit pada tanaman Jacobaea sp. atau dikarenakan oleh perlakuan fungsida tersebut. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaan jamur endofit pada tanaman Jacobaea sp. dengan pendekatan molekuler. Jacobaea sp. merupakan tanaman yang memiliki kadar polisakarida dan fenolik tinggi, sehingga perlu dicari metode isolasi DNA yang dapat menghilangkan senyawa pengganggu tersebut. Adanya senyawa penggangu ini menyebabkan konsentrasi dan kemurnian DNA yang rendah sehingga tidak dapat digunakan untuk template PCR. Dalam penelitian ini dilakukan 3 metode isolasi DNA yang berbeda yaitu, GeneAid kit, Metode Cheung dan Metode CTAB dengan modifikasi. Dasar pemilihan GeneAid kit karena mudah pengerjaannya dan efisien untuk mengisolasi DNA. Metode Cheung dipilih karena metode ini cukup banyak digunakan untuk tanaman yang memiliki kadar fenolik yang cukup tinggi. Metode CTAB dipilih karena sangat potensial dalam mengisolasi DNA tanaman dengan kadar polisakarida tinggi. 3 B. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Prosedur isolasi DNA apa yang efektif untuk mendapatkan DNA tanaman Jacobaea sp. dengan kualitas baik untuk template PCR? 2. Apakah gen ITS dan β-tubulin jamur endofit dapat diamplifikasi dari DNA genom Jacobaea sp.? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendapatkan prosedur isolasi DNA yang efisien untuk mendapatkan DNA genom tanaman Jacobaea sp. dengan kualitas baik untuk template PCR 2. Mengamplifikasi gen ITS dan β-tubulin jamur endofit dari DNA genom Jacobaea sp. D. Manfaat Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah mengenai kemungkinan keterlibatan jamur endofit pada biosintesis AP pada tanaman Jacobaea sp. 4