BAB 1 PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan

advertisement
BAB 1
PEDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan investasi bagi setiap manusia dan memiliki
kontribusi yang besar untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Kesehatan
Manusia (IPKM). Undang – Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36
tahun 2009 menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk
hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam rangka mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya, pembangunan kesehatan harus
diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang, sehingga mampu mewujudkan bangsa yang berdaya saing
secara global.
Isu pemanasan global, perubahan iklim dan krisis keuangan yang terjadi
saat ini menjadi ancaman serius bagi pembangunan kesehatan yang pada akhirnya
ikut
mengancam
keberlangsungan sistem
kesehatan.
Berbagai
ancaman
keselamatan inilah yang menimbulkan rasa ketidakpastian masyarakat dan
memperlihatkan bahwa kesehatan global semakin sulit untuk diraih. Secara
perlahan pasti terjadi peningkatan beban kesehatan yang menyebar di dalam dan
antar negara di dunia (Depkes, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Teori “Demand For Health Capital” (Grossman, 1972) mengatakan
bahwa ketika individu menggunakan pelayanan kesehatan, sesungguhnya yang
dicari bukan
pelayanan kesehatan, melainkan kesehatan itu sendiri. Masing-
masing individu melakukan produksi, menggunakan aneka input di “pasar”, untuk
melipatgandakan stok kesehatan dalam tubuhnya sehingga jumlah hari-hari sehat
(healthy days) bertambah, sekaligus “mengisi ulang“ stok kesehatan yang
berkurang (depleted, depreciated) akibat proses penuaan, iklim, penyakit, polusi,
bencana alam dan sebagainya. Makin banyak jumlah makanan bergizi yang
dikonsumsi, makin sehat individu. Demikian juga makin banyak kuantitas
pelayanan kesehatan yang dikonsumsi individu, makin tinggi status kesehatan
individu (Murti, dkk, 2006).
Wulansari (2007) menyebutkan bahwa sejak era reformasi, paradigma
sehat digunakan sebagai landasan pembangunan kesehatan yang berarti
pembangunan kesehatan harus mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa
mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Salah satu grand strategi Depkes
adalah mengutamakan anggaran kesehatan pemerintah untuk upaya pencegahan
dan promosi kesehatan. Dengan demikian program promosi kesehatan sebagai
salah satu bentuk upaya promotif dan preventif mendapat tempat yang sangat
penting dalam pembangunan kesehatan.
Pemerintah pernah berhasil menggalang peran aktif dan memberdayakan
masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan
Masyarakat Desa (PKMD) pada dasawarsa 1970 – 1980-an. Masa kejayaan
Universitas Sumatera Utara
PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali melalui gerakan
pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang sudah dimulai tahun 2006.
Sejak tahun 2006, upaya promosi kesehatan ditekankan melalui Program
Desa Siaga sesuai dengan seruan Presiden saat pencanangan Pekan Kesehatan
Nasional tanggal 18 Juni 2005 dan disusul oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI
No. 564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan
Desa Siaga. Untuk mencapai target desa siaga aktif pada tahun 2015, dilakukan
revitalisasi
melalui
Peraturan
Menteri
Kesehatan
RI
No.741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang
Kesehatan di Kabupaten dan Kota dan Keputusan Menteri Kesehatan
No.828/Menkes/SK/IX/2008
tentang
Petunjuk
Teknis
Standar
Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota. Pemerintah
menetapkan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 80 % desa telah menjadi
Desa/kelurahan
siaga
aktif.
Kemudian
program
ini
direvitalisasi
guna
mengakselerasi pencapaian tersebut melalui Keputusan Menteri Kesehatan
No.1529/Menkes/SK/X/2010 tentang pedoman Umum Pengembangan Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif (Depkes, 2010).
Desa siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu
untuk mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat
seperti kurang gizi, penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan
Kejadian Luar Biasa (KLB), kejadian bencana, kecelakaan dan lain – lain dengan
memanfaatkan potensi setempat secara gotong – royong. Pengembangan desa
Universitas Sumatera Utara
siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar
kepada masyarakat desa, mensiapsiagakan masyarakat mengahadapi masalah –
masalah kesehatan serta memandirikan masyarakat dalam mengembangkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (Depkes, 2007).
Desa siaga aktif adalah bentuk pengembangan dari desa siaga yang telah
dimulai sejak Tahun 2006. Desa/kelurahan siaga aktif adalah desa atau kelurahan
atau yang disebut dengan nama lain yang penduduknya dapat mengakses dengan
mudah pelayanan kesehatan dasar yang memberikan pelayanan kesehatan setiap
hari melalui pos kesehatan desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di
wilayah tersebut seperti pusat kesehatan masyarakat pembantu (Pustu), pusat
kesehatan masyarakat (Puskesmas) atau sarana kesehatan lainnya. Penduduknya
mau dan mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
(UKBM), melaksanakan surveilans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan
penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan
kesehatan dan penanggulangan bencana, penyehatan lingkungan dan menerapkan
PHBS. Dengan demikian, desa atau kelurahan siaga aktif memiliki komponen
pelayanan kesehatan dasar, pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan
UKBM dan mendorong upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan
kesehatan, penanggulangan bencana dan penyehatan lingkungan serta menerapkan
PHBS (Depkes, 2010).
Tahun 2009, tercatat 42.295 desa dan kelurahan (56,1%) dari 75.410 desa
dan kelurahan di Indonesia telah memulai upaya mewujudkan Desa/kelurahan
Universitas Sumatera Utara
Siaga ini. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara menyebutkan bahwa
saat ini desa siaga yang sudah terbentuk sebanyak 1.786 desa. Tahun 2010
ditargetkan 5.744 desa akan menjadi desa siaga. Dewan Pertimbangan Presiden
(Watimpres) Bidang Kesejahteraan Rakyat Siti Fadilah Supari juga telah
mengukuhkan Desa Siaga se-Kabupaten Langkat pada 1 Maret 2011 di Gedung
PKK Stabat. Kunjungan dan pengukuhan Desa Siaga tersebut sebagai bentuk
komitmen pemerintah pusat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Namun, banyak diantaranya yang belum aktif.
Harus difahami bahwa promosi kesehatan melalui program desa/kelurahan
siaga tidak hanya merubah perilaku, tapi determinan kesehatan. Meskipun
perilaku berubah, bila tidak didukung dengan fasilitas juga akan mengalami
kesulitan. Hal tesebut terkait dengan pembiayaan kesehatan dan kegiatan itu
sendiri. Menurut Tjiptoherijanto. dkk (1994), persoalan pembiayaan kesehatan
pada dasarnya bukan hanya persoalan sektor kesehatan saja, melainkan juga
mencerminkan kesulitan perekonomian secara menyeluruh. Oleh karena itu
diperlukan strategi untuk mengembangkan kegiatan – kegiatan sektor kesehatan
sehingga sumber daya yang ada dapat dipetakan dan diberdayakan untuk fokus
memenuhi kompas kebutuhan kesehatan. Selanjutnya baru mulai difikirkan
sumber – sumber dukungan alternatif dalam mencari pembiayaan ke depan.
Anggaran kesehatan negara maju sudah mencapai 10 % bahkan lebih dari
total anggaran belanja negara tersebut sedangkan di Indonesia jumlah tersebut
Universitas Sumatera Utara
masih menjadi harapan saja. Sejak diberlakukannya Undang – Undang Otonomi
Daerah, jumlah anggaran kesehatan tiap daerah menjadi sangat bervariasi.
Data statistik yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, menyebutkan
bahwa anggaran lebih banyak dimanfaatkan untuk upaya kuratif. Tahun 2007
menunjukkan bahwa, 53% anggaran digunakan untuk pelayanan medik sedangkan
untuk promotif 17 % dan preventif 8 %. Keadaan tahun 2008 bahkan lebih buruk,
upaya promotif hanya mendapatkan 10 % dan preventif 3,5 % dari total anggaran
yang ada (Depkes, 2009).
Hal sejalan juga disampaikan oleh salah seorang pejabat eselon III yang
menangani kegiatan promosi kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat,
disebutkan bahwa pembiayaan upaya preventif dan promotif masih sangat minim
jika dibandingkan dengan biaya upaya kuratif dan rehabilitatif, kegiatannya masih
dianggap kurang perlu dan manfaatnya tidak jelas terukur. Khusus pada program
desa siaga, kreatifitas dan inovasi tenaga kesehatan juga masih sangat terbatas,
sehingga upaya – upaya advokasi kurang dilakukan. Beliau juga menambahkan
bahwa biaya promosi kesehatan dapat dianggarkan oleh tiap – tiap bagian,
sehingga tidak terfokus dibidang yang beliau pimpin sehingga untuk satuan
jumlah, beliau tidak dapat menyebutkan persentase / kuantitatifnya.
Tahap awal pembentukan Desa/Kelurahan Siaga di Kabupaten Langkat
sepenuhnya menggunakan anggaran dari Pemerintah Pusat. Mengacu pada
Kepmenkes No. HK.03.05/B.I.4/3060/2008 diperoleh dana untuk pembentukan
Desa Siaga Rp. 1.500.000,00 per tahun per desa. Sedangkan anggaran
Universitas Sumatera Utara
operasionalnya sebesar Rp. 1.650.000,00 per tahun per desa atau Rp. 137.500,00
per bulan. Dana tersebut dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan ibu, anak, gizi, penyakit menular lainnya dan bencana, bahan habis
pakai, sarana penunjang Poskesdes seperti : alat tulis kantor, fotokopi, transpor
petugas/kader untuk pelayanan dan konsultasi. Dana tersebut tidak boleh untuk
pembelian barang investasi dan di Kabupaten Langkat dana tersebut hanya
berjalan selama tahun 2010.
Hasil survey pendahuluan pada awal tahun 2012, menginformasikan
bahwa, pada tahun anggaran 2008, Program Promosi Kesehatan dan
Pemberdayaaan Masyarakat hanya mendapat Rp. 316.502.000,00 atau 0,005 %
dari total anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat sebesar Rp.
63.031.987.450,00. Pada tahun 2009, Program tersebut hanya mendapatkan Rp.
102.650.000,00 (0,0014%) dari total anggaran Rp. 72.694.950.708,00, sedangkan
pada tahun 2010 program tersebut mendapat anggaran Rp. 134.160.000,00
(0,0017%) dari total anggaran Rp. 75.574.659.678,00. Tidak dapat disebutkan
pula berapa persentase dari anggaran tersebut yang digunakan untuk
pengembangan program desa siaga aktif, bahkan untuk tahun 2011 tidak terdapat
angaran sama sekali untuk kegiatan ini. Meskipun demikian, tetap ada beberapa
Desa Siaga Aktif yang berjalan dengan variasi jumlah biaya operasional yang
bersumber daya masyarakat.
Profil Kesehatan Kabupaten Langkat Tahun 2010 menyebutkan bahwa
program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dengan indikator
Universitas Sumatera Utara
jumlah desa siaga aktif, memiliki nilai SPM yang paling rendah, yaitu 3,61 %
atau 10 desa dari 277 desa/kelurahan yang ada, jika dibandingkan dengan program
lainnya. Kondisi kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar juga masih buruk,
dimana 42,7 % masyarakat masih menggunakan air hujan dan sungai sebagai
sumber air bersih, rumah tangga yang ber-PHBS hanya 53,3 % dan 49 % rumah
tangga belum memiliki pengelolaan limbah yang sehat. Oleh karena itu, menjadi
penting untuk mengaktifkan kegiatan desa siaga guna menurunkan prevalensi
penyakit DBD dan Malaria yang endemis, diare dan peningkatan status gizi.
Keaktifan 10 desa tersebut juga bervariasi sesuai dengan sosiodemografi daerah
masing – masing (3 desa berkategori purnama dan 5 desa berkategori madya dan 2
desa lainnya berkategori pratama).
Penelitian Polisiri dan kawan – kawan di Kota Tidore Kepulauan tahun
2008 tentang Implementasi Desa Siaga, diperoleh gambaran bahwa Pemerintah
Pusat menyediakan secara penuh semua sumber dana terhadap 28 desa dari 72
desa yang ada. Penelitian lain yang dilakukan oleh Taufik Noor dan kawan –
kawan terhadap pengembangan Desa Siaga di Cibatu Purwakarta tahun 2007,
diperoleh gambaran adanya bantuan untuk pembangunan posyandu di 7
kecamatan terpilih sebesar Rp. 17.500.000,00 per posyandu. Bagi usaha
penguatan ekonomi kader diberi dana sebesar Rp. 250.000,00. Penambahan
pendapatan ini biasanya digunakan untuk membuka warung obat desa, membuat
jamu-jamu atau modal usaha dagang kader.
Universitas Sumatera Utara
Mengacu pada kondisi tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi untuk
menilai sejauh mana program desa siaga ini berjalan aktif dan berapa besar
manfaat atau dampak yang diperoleh oleh masyarakat. Di Kabupaten Langkat hal
ini dilakukan guna memperbaiki mindset yang dimiliki oleh masyarakat dan
pemerintah,
sehinga
dalam
pengembangannya,
pemerintah
menjadikan
masyarakat sebagai subjek dalam pelayanan kesehatan, bukan dijadikan objek
yang kemudian ditentukan harganya. Analisis yang dipilih adalah analisis biaya
manfaat atau Cost benefit Analisys (CBA).
Lubis (2009), menyebutkan bahwa CBA biasa dipakai dalam Planning
Programming Budgeting System (PPBS). Teknik ini menilai manfaat ataupun
biaya dari program kesehatan yang ada dan menetapkan apakah program tersebut
menguntungkan atau tidak dilihat dari opportunity costnya. Disamping itu CBA
juga merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis ekonomi
program kesehatan dengan pendekatan menyeluruh (input dan output) dan
dinyatakan dalam nilai uang. Analisis ini juga merupakan suatu alat yang paling
penting untuk membantu pengambil keputusan dalam menentukan pilihannya,
atau lazimnya metode ini akan menjamin pengambil keputusan untuk dapat
melakukan allocative efficiency. CBA menawarkan perbandingan antara seluruh
biaya dan manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat dan
anggaran pemerintah, sedangkan manfaat didapat bila kerugian di masa datang
bisa dicegah karena keberhasilan dari program tersebut. Manfaat dari program –
Universitas Sumatera Utara
program kesehatan adalah biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil
atau diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit.
Mengacu pada pendekatan sumber daya manusia, asumsi dasar yang
dibuat terhadap proyek atau program kesehatan terutama upaya preventif dan
promotif adalah investasi pada manusia yang memungkinkan mereka untuk lebih
produktif dan meningkatkan kesejahteraan dalam bidang materi. Manfaat yang
diperoleh adalah tersedianya tenaga kerja yang produktif dan meningkatnya
produktifitas tenaga kerja dalam bentuk waktu bekerja. Nilai dari setiap
peningkatan “supply” tenaga kerja ini harus berdasarkan “marginal product”.
Gaji/upah yang berlaku dapat digunakan sebagai dasar penilaian, sedangkan
kemauan membayar dari masyarakat dapat di gunakan sebagai langkah awal saat
menyusun asumsi dimana harga yang dibayar oleh penerima pelayanan mewakili
nilai pelayanan tersebut dimata masyarakat. Dengan sendirinya kemauan
membayar sejumlah tertentu untuk memperbaiki kesehatan atau menurunkan
resiko kematian mewakili masyarakat dalam menilai dua hal tersebut secara
sepadan.
Langkah – langkah yang akan dilakukan dalam penerapan CBA meliputi :
(1) identifikasi para pengambil keputusan dan alternatif; (2) identifikasi biaya;
(3) identifikasi
manfaat
baik
yang bersifat langsung maupun tidak
langsung; (4) transformasi dampak kedalam nilai moneter; (5) Discounting, dan
(6) penafsiran hasil CBA dengan menghitung ratio biaya manfaat (benefit cost
Universitas Sumatera Utara
ratio) atau menghitung manfaat bersih program kesehatan dengan menghitung net
present value (NPV) dan internal rate of return (IRR).
Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan advokasi terhadap
pemerintah terkait kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan
program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
1.2 Permasalahan
1. Belum diketahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap
biaya yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007 – 2011.
2. Belum diketahui sejauh mana pemahaman pengambil keputusan terhadap
pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
3. Belum tersedianya bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang
mampu meyakinkan pemerintah (Tim Anggaran Pemerintah Daerah /TAPD
dan legislative) dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran
untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat,
sehingga perlu dilakukan analisis biaya manfaat (Cost Benefit Analysis) pada
program tersebut di Kabupaten Langkat.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap biaya
yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007 – 2011.
2. Mengetahui sejauh mana pemahaman pengambil keputusan terhadap
pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
Universitas Sumatera Utara
3. Membantu menyiapkan bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang
mampu meyakinkan pemerintah (Tim Anggaran Pemerintah Daerah/TAPD
dan legislative) dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran
untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Menambah referensi Ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dengan
menggunakan tehnik analisis biaya manfaat (CBA).
2. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten
Langkat dalam melakukan advokasi, menyusun kebijakan publik berbasis
UKBM, menyusun rencana pengembangan dan penganggaran program desa
siaga aktif.
3. Sebagai pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Download