8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Seleksi Perbaikan hasil dan kualitas

advertisement
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Seleksi
Perbaikan hasil dan kualitas hasil melalui pemuliaan tanaman dapat dilakukan
dengan cara seleksi, baik seleksi langsung terhadap karakter yang bersangkutan
maupun seleksi tidak langsung melalui karakter sekunder. Salah satu syarat
seleksi tidak langsung (melalui karakter sekunder) adalah adanya korelasi genetik
antara karakter primer dan sekunder. Korelasi fenotipik juga penting dalam
seleksi tanaman, karena seleksi dilakukan terhadap karakter fenotipik. Korelasi
genetik antara karakter satu dengan karakter lainnya dapat menguntungkan
apabila karakter yang berkorelasi tersebut menunjang perbaikan karakter yang
diuji dan hal ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan seleksi tidak langsung
(Fehr, 1987). Kemajuan genetik atau sering disebut respons seleksi
menggambarkan perubahan rataan populasi sebagai akibat adanya seleksi, yaitu
merepresentasikan perbedaan nilai rataan fenotipik antara keturunan tetua
terseleksi dan seluruh tetua sebelum seleksi (Hill dkk., 1998). Seleksi beberapa
karakter tepat dilakukan untuk karakter yang sangat dipengaruhi lingkungan
seperti produksi, terekspresi dengan lambat atau memiliki nilai heritabilitas
rendah (Wirnas, 2006).
9
Nilai fenotipe suatu tanaman tidak hanya terdiri dari pengaruh genotipe, tetapi
juga oleh pengaruh lingkungan dan interaksi genotipe dengan lingkungan
(Falconer & Mackay, 1996). Adanya pengaruh genotipe dan interaksi genotipe
dengan lingkungan ini akan mengaburkan penarikan kesimpulan mengenai nilai
fenotipe tanaman. Oleh sebab itu, suatu individu tanaman dengan keragaan
terbaik dalam suatu populasi bersegregasi belum tentu akan menghasilkan
populasi zuriat atau suatu famili dengan keragaan yang sama seperti induknya,
apabila keragaan terbaik pada induknya itu berasal dari kontribusi pengaruh
lingkungan yang lebih besar. Keadaan inilah yang menyebabkan setiap metode
seleksi memerlukan waktu paling sedikit enam generasi seleksi (S6), atau hingga
mencapai sedikitnya generasi kawin sendiri F7, untuk menghasilkan suatu galur
harapan (Jambormias dan Riry, 2009).
Berdasarkan diskusi langsung dengan Saiful Hikam, 2015, seleksi yang dilakukan
selama ini adalah seleksi berdasarkan varietas. Keberadaan QTL di antara
varietas tanaman tersebut memberikan harapan akan peningkatan produksi.
Karakter QTL dapat diamati secara kasat mata. Hal ini memudahkan proses
seleksi tanaman yang akan memberikan hasil produksi tinggi. Seleksi
berdasarkan QTL lebih sederhana dibandingkan varietas. Pemulia tanaman yang
ingin merilis suatu varietas harus memenuhi syarat DUS (Distinct, Uniform,
Stable), sedangkan dengan QTL bahkan para petani dapat secara mandiri
menyeleksi tanaman padi. Hal ini diharapkan dapat mendukung program
Participatory Breeding yang akan berdampak pada peningkatan plasma nutfah
dan ketahanan pangan.
10
2.2 Segregasi Transgresif
Zuriat pertama (F1) dari suatu hasil persilangan umumnya homogen dan
heterozigot, dengan homogenitas dan heterozigositas maksimum tercapai pada
hasil persilangan tunggal. Heterozigositas persilangan tunggal bahkan ditemukan
pada semua lokus. Hasil perkawinan sendiri (selfing) zuriat F1, menghasilkan
zuriat F2 yang umumnya merupakan populasi hasil segregasi yang heterogen,
dengan campuran individu-individu yang mengandung genotipe-genotipe
homozigot, kombinasi homozigot dan heterozigot, dan genotipe-genotipe
heterozigot (Stoskopf dkk., 1993). Di antara genotipe-genotipe yang heterogen
ini, terdapat genotipe-genotipe hasil segregasi yang bersifat transgresif (Poehlman
& Sleper, 1996).
Frekuensi heterozigositas akan semakin berkurang dengan bertambahnya generasi
kawin sendiri F3, F4, F5, F6 dan seterusnya, dan berimplikasi pada meningkatnya
homozigositas (Allard, 1960). Pelaksanaan seleksi setelah persilangan untuk
pemuliaan galur bertujuan untuk meningkatkan frekuensi genotipe-genotipe
segregan transgresif yang dikehendaki dari dalam populasi homozigositas dan
heterozigositas pada setiap generasi, hingga diperoleh genotipe-genotipe
segregran transgresif homozigot untuk semua gen yang telah mengalami fiksasi.
Segregasi transgresif adalah segregasi gen pada sifat-sifat kuantitatif dari zuriat
hasil persilangan dua tetua yang memiliki jangkauan sebaran yang melampaui
jangkauan sebaran kedua tetuanya (Poehlman & Sleper, 1996). Genotipe-genotipe
dengan perilaku demikian dapat disebut sebagai segregan transgresif. Bila tidak
11
ada pengaruh lingkungan yang besar, maka teoritis, suatu segregan transgresif
telah ada pada Generasi Segregasi F2.
Segregasi transgresif membentuk dua gugus segregan transgresif dalam spektrum
sebaran, yaitu lebih kecil dari sebaran tetua dengan keragaan rendah, dan lebih
besar dari sebaran tetua dengan keragaan tinggi. Bila menggunakan seleksi positif,
misalnya seleksi untuk memperoleh varietas yang produksi bijinya tinggi,
kandungan protein biji tinggi, dan berbagai sifat yang ingin ditingkatkan nilai
fenotipenya, maka gugus segregan transgresif dengan keragaan yang lebih besar
dari keragaan tetua tertinggi yang akan ditingkatkan frekuensi genotipenya,
sedangkan gugus segregan trasgresif dengan sebaran yang lebih kecil dari
keragaan tetua rendah dibuang. Keadaan sebaliknya berlaku untuk seleksi negatif,
misalnya seleksi untuk memperoleh varietas berumur genjah.
2.3 Quantitative Trait Loci (QTL)
Pemetaan QTL melibatkan langsung genom, satu penanda dalam satu kali,
membagi individu-individu ke dalam kelas penanda genotipe, dan melakukan uji
statistik untuk menentukan apakah ada perbedaan yang signifikan dalam fenotipe
antara kelas penanda genotipe. Jika ada perbedaan seperti itu, maka QTL ini
terkait dengan penanda. Prosedur ini, seperti dijelaskan, kurang
memperhitungkan pengaruh QTL dari segi jumlah yang sebanding dengan jarak
QTL dari lokus marker, tapi masalah ini mudah diatasi dengan pemetaan QTL
relatif terhadap dua penanda yang terapit (pemetaan interval) (Mackay, 2001).
12
Berdasarkan diskusi langsung dengan Saiful Hikam, 2015, tampilan fenotipe
seperti tinggi tanaman, umur berbunga, dan lain-lain dapat dijadikan dasar dalam
seleksi. Karakter fenotipik yang dapat dijadikan dasar seleksi merupakan sifat
kuantitatif yang berpengaruh positif terhadap produksi. Quantitative trait loci
merupakan daerah gen yang berkontribusi terhadap sifat kuantitatif tersebut. Sifat
kuantitatif ini dikendalikan oleh gen minor yang jumlahnya banyak. Faktor
lingkungan tidak dapat diabaikan, tetapi dengan terbuktinya 1-2 gen saja untuk
kendali maka, lingkungan dapat diabaikan. Recurrent phenotypic selection adalah
proses seleksi berdasarkan tampilan karakter fenotipik suatu tanaman. Pada
lingkungan yang berbeda-beda fenotipe tersebut tetap muncul dan stabil sehingga,
diduga ada gen yang mengendalikan. Gene sequencing menggunakan isozyme
atau polymerase chain reaction (PCR) dapat membuktikkan keberadaan gen
kendali tersebut.
Adapun fenotipe QTL yang telah terbukti keberadaannya adalah sebagai berkut
a. Sudut Anakan
Lokus untuk sudut kemiringan anakan yaitu yrqTA-9a mengendalikan sudut
anakan yang besar pada fase vegetatif kemudian mengecil pada fase pematangan
biji (Chen dkk., 2008 dalam Suprayogi, 2011).
b. Jumlah Bulir
Jumlah bulir per malai merupakan komponen penting dalam sifat hasil padi.
Pemetaan QTL untuk jumlah bulir menggunakan persilangan antara Pusa 1.266
bulir tinggi) dan Pusa Basmati 1 (jumlah bulir rendah) mengidentifikasi satu gen
yang konsisten yaitu QTL qGN4-1 pada lengan panjang dari kromosom 4 yang
berpengaruh besar terhadap jumlah bulir. QTL ini bekerja sama dengan QTL
13
lokal tanaman padi tersebut dengan QTL utama untuk cabang primer dan
sekunder per malai, dan jumlah malai per tanaman. Interval QTL dipersempit
menjadi 11,1 cM (0,78 Mbp) dengan enam penanda tambahan. Microarray
transcriptome profile mengungkapkan delapan gen dalam qGN4-1 wilayah
diferensial dinyatakan antara dua tetua selama pengembangan awal malai
(Deshmukh dkk., 2010).
c. Tinggi tanaman
Lin dkk. (2011) melaporkan bahwa terdapat 10 QTL yang mempengaruhi tinggi
tanaman (plant height) yakni pada kromosom pertama berada di antara E60551
dan RM1387, pada kromosom keenam yang berada di antara R3879 dan RM30
yang merupakan interval yang berdekatan dengan Qph6.2, RM30 dan RM340.
2.4 Program Pemuliaan Tanaman pada Padi Sawah
Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas
yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya,
serta minat masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi
masyarakat, permintaan akan tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda.
Laju peningkatan produktivitas padi sawah melonjak tajam setelah tahun 1977.
Namun, peningkatan produktivitas mulai melandai pada tahun 1985−2000, yang
menandakan semakin sempitnya keragaman genetik potensi hasil varietas yang
telah dilepas. Untuk mengantisipasi melonjaknya kebutuhan beras di masa
sekarang dan yang akan datang, perbaikan potensi hasil padi mutlak diperlukan
(Susanto dkk., 2003).
14
Menurut Harahap dkk. (1972), persilangan padi di Indonesia dimulai pada tahun
1920-an, dengan memanfaatkan gene pool yang dibangun melalui introduksi
tanaman. Sampai dengan tahun 1960-an, pemuliaan padi diarahkan pada lahan
dengan pemupukan yang rendah, atau tanaman kurang responsif terhadap
pemupukan. Pelepasan varietas padi pertama kali dilakukan pada tahun 1943,
yaitu varietas Bengawan. Varietas tipe Bengawan memiliki latar belakang genetik
yang merupakan perbaikan dari varietas Cina yang berasal dari Cina, Latisail dari
India, dan Benong dari Indonesia (Hargrove dkk., 1979). Varietas IR64
diintroduksi dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986.
Varietas ini sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena rasa nasi
yang enak, umur genjah, dan hasil relatif tinggi. Pembentukan varietas padi
dilakukan dengan menyilangkan beberapa tetua, kemudian dari turunan
persilangan tersebut dipilih tanaman-tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang
baik. Persilangan umumnya dilakukan dengan silang tunggal (single cross),
silang puncak (top cross), silang ganda (double cross), dan silang balik (back
cross). Metode pemuliaan yang digunakan di Indonesia sampai dengan tahun
1950-an adalah metode bulk, kemudian beralih kepada metode pedigree.
Varietas-varietas yang ditanam petani saat ini memiliki kekerabatan yang erat.
Eratnya kekerabatan antarvarietas tersebut terjadi akibat suatu varietas disilangkan
dengan sisterline-nya atau dengan varietas yang merupakan keturunannya.
Kekerabatan yang tinggi atau latar belakang genetik yang sempit menyebabkan
tidak diperolehnya peningkatan potensi hasil yang nyata, sehingga terjadi
kemandegan peningkatan potensi hasil padi di Indonesia.
15
2.5 Pemanfaatan Bahan Organik pada Padi Gogo
Padi gogo yang ditanam di lahan kering tentu membutuhkan kondisi lingkungan
yang mendukung. Karena padi pada umumnya dibudidayakan di lahan
persawahan maka, pada lahan kering ini dibutuhkan bahan organik untuk dapat
menjaga ketersediaan air lebih lama. Bahan organik tanah merupakan sisa
jaringan tanaman dan hewan yang telah mengalami dekomposisi, baik sebagian
maupun seluruhnya, biomasa mikroorganisme, bahan organik tanah terlarut di
dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik berperan
penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan
tanaman. Peran bahan organik adalah meningkatkan kesuburan tanah,
memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah memegang air,
meningkatkan pori-pori tanah, dan memperbaiki media perkembangan mikroba
tanah. Tanah berkadar bahan organik rendah berarti kemampuan tanah
mendukung produktivitas tanaman rendah. Hasil dekomposisi lahan organik
berupa hara makro (N, P, dan K), makro sekunder (Ca, Mg, dan S) serta hara
mikro yang dapat meningkatkan kesuburan tanaman. Hasil dekomposisi juga
dapat berupa asam organik yang dapat meningkatkan ketersediaan hara bagi
tanaman. Dalam jangka panjang pemberian bahan organik dapat meningkatkan
pH tanah, hara P, KTK tanah dan hasil tanaman, serta dapat menurunkan kadar Al,
Fe, dan Mn. Pemberian kompos 5 t/ha meningkatkan kandungan air tanah pada
tanah subur (Kasno, 2009).
Hara dalam kotoran ternak tidak mudah tersedia bagi tanaman. Ketersediaan hara
sangat dipengaruhi oleh tingkat dekomposisi atau mineralisasi dari bahan-bahan
16
tersebut. Rendahnya ketersediaan hara dari kotoran ternak antara lain disebabkan
karena bentuk N, P, serta unsur lain terdapat dalam bentuk senyawa kompleks
organo protein atau senyawa asam humat atau lignin yang sulit terdekomposisi
(Hartatik dan Widowati, 2006).
2.6 Keragaman Genetik dan Heritabilitas
Keragaman genetik disebabkan oleh perbedaaan nilai genotipe suatu populasi,
dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik. Nilai koefisien keragaman
genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi
cara dalam membandingkan keragaman genetik di dalam sifat-sifat kuantitatif.
Kemajuan seleksi yang efektif didapatkan dengan menggunakan koefisien
keragaman genetik dipadu dengan nilai heritabilitas (Dimyati, 1977).
Dalam perakitan varietas unggul, keragaman genetik memegang peranan yang
sangat penting karena semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi pula
peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki.
Keragaman genetik yang luas menunjukkan adanya pengaruh genetik yang lebih
dominan daripada pengaruh lingkungan (Martono, 2009). Besarnya keragaman
genetik suatu sifat dalam populasi akan mempengaruhi besarnya heritabilitas.
Agar seleksi sifat interest dapat diturunkan kepada zuriat hibrida, tetua inbred
harus memiliki kemampuan pewarisan sangat penting dalam suatu perakitan
varietas baru (Fehr, 1987).
Nilai dugaan heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menduga kemajuan
dari suatu seleksi. Heritabilitas dalam arti luas merupakan proporsi ragam genetik
17
terhadap ragam fenotipiknya. Dalam hal ini, ragam genetik merupakan ragam
genetik total yang mencakup ragam dominan (σ2g D), ragam aditif (σ2g A), dan
ragam epistasis (σ2g I) (Roy, 2000). Nilai heritabilitas berguna untuk menentukan
derajat perbedaaan fenotipe yang disebabkan oleh pengaruh genotipe (Johnson,
1963).
Fehr (1987) menyatakan bahwa heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam
sistem seleksi yang efisien yang dapat menggambarkan efektivitas seleksi
genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya. Sedangkan korelasi antar karakter
fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk mengetahui karakter yang dapat
dijadikan petunjuk seleksi terhadap produktivitas yang tinggi (Wirnas dkk., 2006).
Fehr (1987) menyatakan bahwa seleksi terhadap karakter tersebut dapat dimulai
pada generasi awal karena karakter tersebut akan mudah diwariskan. Sedangkan
Kojima dan Kelleher (1963) mengemukakan jika suatu populasi memiliki nilai
heritabilitas tinggi untuk suatu karakter maka seleksi massa akan lebih efisien
dalam memperbaiki karakter tersebut.
Download