TUGAS METABOLISME OBAT Pengaruh Genetik terhadap Metabolisme Warfarin OLEH : ANGGY ANGGRAENI WAHYUDHIE 0808505002 NI MADE WIRYATINI 0808505003 KHATIJA TAHER ALI 0808505014 JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2011 I. Pendahuluan Secara umum, metabolisme obat memiliki pengertian sebagai suatu proses perubahan obat secara kimia yang disebabkan oleh adanya interaksi obat dengan sistem enzim endogenous yang hasil akhirnya akan meningkatkan kepolaran dari obat tersebut dalam tubuh. Selama proses metabolisme dapat terjadi beberapa hal sebagai berikut: a. Perubahan obat menjadi bentuk metabolitnya yang lebih mudah untuk dieksresi b. Perubahan obat yang aktif secara farmakologis menjadi bentuk metabolit yang tidak aktif c. Perubahan obat aktif yang mudah dieksresi menjadi bentuk metabolit aktifnya d. Perubahan obat yang tidak aktif menjadi bentuk metabolit aktifnya e. Perubahan suatu obat menjadi metabolitnya yang memiliki respon lebih toksik (Arlene, tt) Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam perjalanan obat di dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga akan lebih cepat diekskresi melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal dan metabolit yang dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat, metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat aslinya, contohnya Diazepam (Neal, 2006). Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II dan reaksi fase III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional (misalnya –OH, NH2, -SH) (Neal, 2006). Metabolisme reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan isomerasi (Gibson and Skett, 1991). Oksidasi merupakan reaksi yang paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini dikatalisis oleh suatu kelas enzim yang penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas campuran mikrosomal yaitu sitokrom P450. Reaksi fase II terjadi apabila obat atau metabolit obat dari reaksi fase I tidak cukup polar untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada reaksi fase II ini, obat atau metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa endogen dalam hati yang dimana golongan enzim-enzim yang berbeda akan bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga (Neal, 2006), sebagai contoh sintesis UDP-asam glukuronat hanya dapat terjadi apabila terjadi reaksi glukuronidasi dengan enzim UDP- Glukuroniltransferase (Gibson and Skett, 1991). Sedangkan reaksi fase III dianggap oleh para peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari konjugat glutation yang menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat (Gibson and Skett, 1991). Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu polimorfisme, penyakit tertentu, penggunaan bersama alcohol, jenis kelamin, makanan, dan kebiasaan merokok. Pada tulisan ini, akan dibahas mengenai pengaruh polimorfisme terhadap metabolisme obat. Keragaman genetik dimanifestasikan dengan perbedaan dalam nukleotida tunggal atau keseluruhan gen yang mengkode protein tertentu. Hal tersebut akan menyebabkan adanya populasi yang mengekspresikan protein yang strukturnya berbeda dengan protein pada populasi mayoritas. Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam amino tunggal dengan asam amino lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah. Keadaan ini dinamakan polimorfisme. Polimorfisme merupakan variasi genetic yang muncul paling sedikit 1 % atau lebih dalam sebuah populasi. Efek yang ditimbulkan dari polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat polimorfisme tidak akan efisien atau bahkan tidak berfungsi sama sekali (Coleman, 2005). II. Metabolisme Warfarin A. Jalur Metabolisme Warfarin dan Enzim yang Berperan Warfarin, seperti turunan 4-hydroxycoumarin lainnya digunakan sebagai obat antikoagulan oral yang bertindak sebagai antagonis vitamin K dengan cara menghambat regenerasi reduksi dari vitamin K yang merupakan suatu kofaktor penting dalam proses pembekuan darah (Gambar 1). Enzim target untuk warfarin adalah vitamin K epoksida reduktase kompleks 1 (VKORC1) yang mengkatalisis tahap ratelimitting dalam siklus vitamin K dan dihambat secara non-kompetitif oleh antikoagulan kumarin. Meskipun secara pasti berada dalam ekstrak jaringan mentah, enzim VKORC1 tidak pernah berhasil dimurnikan, mungkin karena merupakan bagian dari protein yang lebih besar yaitu protein kompleks oligomerik. Gen VKORC1 tidak teridentifikasi hingga tahun 2004, namun baru-baru ini mucul penemuan yang telah mendorong penyelidikan lebih intensif kepada peran variasi genetik pada VKORC1 yang berpengaruh pada respon obat antikoagulan oral. Gambar 1. Mekanisme kerja warfarin serta peran CYP2C9 dan VKORC1 dalam modulasi antikoagulasi. Warfarin menghasilkan efek farmakologin dengan menghambat VKORC1. VKORC 1 merupakan enzim dalam siklus vitamin K yang mengendalikan regenerasi vitamin K. Vitamin K merupakan kofaktor esensial yang mengatur pembentukan faktor pembekuan darah. CYP2C9 merupakan enzim P450 mayor yang memetabolisme S-warfarin membentuk metabolit inaktif. CYP2C9, Cytochrome P4502C9; VKORC1, vitamin K epoxide reductase complex; GGCX, gamma glutamyl carboxylase. 1. VKORC1 Gen VKORC1 dalam tubuh manusia bila digambarkan menyerupai lengan pendek dari kromosom 16 yang mengandung tiga ekson yang mengkode (coding) sintesis 18 kDa yaitu suatu protein integral membran. Mutasi wilayah VKORC1 coding pada pasien homozigot menyebabkan multipel faktor defisiensi koagulasi tipe 2, sedangkan munculnya resistensi terhadap warfarin muncul pada pasien heterozigot. Beberapa kelompok kini telah mengidentifikasi pasien dengan berbagai tingkat resistensi terhadap warfarin yang membawa mutasi pada satu salinan gen yang mengkodekan vitamin K epoksida reduktase kompleks 1 (VKORC1) (Tabel 1). Mutasi gen ini menyebabkan polimorfisme yang jarang (<frekuensi alel <0,1%) terhadap respon warfarin. Polimorfisme umum terjadi di daerah regulasi gen VKORC1 yang berkorelasi kuat dengan respon warfarin di kisaran dosis normal. Rieder dan koleganya melakukan sequencing-gen VKORC1 di hampir 200 pasien warfarin yang berasal dari Eropa-Amerika dan telah mengidentifikasi lima haplotype yang ditandai oleh non-coding polimorfisme, yang mengaitkan secara signifikan dengan persyaratan dosis warfarin. Dalam populasi Kaukasia dan Asia, Rieder memprediksi genotipe dari VKORC1 menyebabkan 25% keragaman dalam dosis warfarin. Tabel 1. Mutasi Non-sinonim pada VKORC1 yang Menyebabkan Resistensi Warfarin Perubahan asam amino Dosis harian Val29 Æ Leu 14 mg Ala41 Æ Ser 16 mg Arg58 Æ Gly 32 – 36 mg Val66 Æ Met 27 – 35 mg Leu128 Æ Arg > 45 mg Val45 Æ Ala Target INR tidak Fenotipe resistensi Moderate Major Severe tercapai 2. CYP2C9 Berakhirnya efek farmakologis warfarin tergantung pada metabolisme di hati yang sebagian besar dikatalisis oleh sistem sitokrom P450 (CYP). Warfarin yang diberikan ke dalam tubuh merupakan campuran antara enantiomer S dan R. SWarfarin menghasilkan sebagian besar efek terapi, sedangkan R-Warfarin akan lebih banyak dimetabolisme melalui beberapa jalur klirens metabolik (Gambar 2). S-warfarin pada konsentrasi terapeutik dimetabolisme terutama oleh CYP2C9, yang mengubah obat menjadi metabolit 7-hidroksi dan 6-hidroksi aktif yang dikeluarkan dalam urin. Oleh karena itu, diharapkan variasi pada gen CYP2C9 mungkin berkontribusi terhadap variabilitas antar individual dalam merespon warfarin. Gambar 2. Struktur S-Warfarin dan R-Warfarin serta enzim yang terlibat dalam metabolisme warfarin pada manusia B. Polimorfisme Enzim pemetabolisme Warfarin (CYP2C9) Gen CYP2C9 bila digambarkan pada kromosom 10q24.2, mengandung 9 ekson dan kode untuk mensintesis protein mikrosomal 60-kDa. Penemuan semi-sintesis SNP telah dilakukan di berbagai populasi etnis dan 30 alel CYP2C9 yang berkaitan dengan daerah pengkodean telah berhasil dilaporkan. Diantara beberapa alel, CYP2C9*1 menunjukkan urutan referensi dan alel wildtype. Alel CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 mengkode Arg144Cys dan varian Ile359Leu, kedua alel ini hadir dengan frekuensi alel masing-masing sebesar kurang lebih 12% dan 8% pada ras Kaukasia. Sekitar 40% dari penduduk ras ini mengekspresikan satu atau kedua enzim varian dalam tubuh mereka. Secara in vitro, pembentukan kembali rekombinan dari CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 yang secara fungsional dibuat cacat, hanya menunjukkan respon masingmasing sebesar 70% dan 5%, dibandingkan dengan enzim wildtype yang relatif lebih banyak dalam mengubah S-Warfarin. Akibatnya, perlu diantisipasi bahwa pembawa kedua alel tersebut akan memetabolisme S-warfarin lebih lambat secara in-vivo dan karena itu membutuhkan dosis pemeliharaan yang lebih rendah daripada dosis warfarin normal. Pengurangan dosis warfarin untuk pembawa alel CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 telah dibuktikan oleh beberapa kelompok peneliti, dan alel ini dianggap sebagai faktor resiko yang kuat dalam proses antikoagulasi berlebihan jika pasien diawali dengan pemberian dosis “standar” warfarin yang pada dasarnya lebih tepat diberikan kepada pasien dengan CYP2C9*1 homozigot. Dalam kelompok – kelompok etnis, prevalensi dan pola dari alel – alel CYP2C9 sangat berbeda pada ras Kaukasia. Contohnya pada pasien berkulit gelap, CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 muncul dalam freluensi alel yang sangat kecil, yaitu (1 – 3 %) dibandingkan pasien dengan kulit putih. Dua alel baru, CYP2C9*5 dan CYP2C9*6, secara selektif diekspresikan pada keturunan Afrika, dan terdapat bukti in vivo bahwa enzim ini cacat fungsional, walaupun keduanya jarang terjadi (frekuensi < 1 %). Asia Timur secara keseluruhan tidak memiliki alel CYP2C9*2. Pada populasi orang Cina, Korea, dan Jepang terdapat alel CYP2C9 *3 sebanyak sekitar 1 – 3 %. Dalam populasi ini, telah ditemukan alel baru yang cacat, yaitu CYP2C9*4, CYP2C9*13, dan CYP2C9*25, CYP2C9*26, CYP2C9*28, dan CYP2C9*30, namun frekuensinya rendah (<1%). Studi in vivo mendukung defisit fungsional untuk CYP2C9*4 dan *13, tetapi hanya tersedia data in vitro untuk 4 alel terakhir. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan secara keseluruhan komplemen dari alel CYP2C9 yang cacat fungsional dalam kelompok etnis yang berbeda, sehingga dapat ditentukan populasi yang mungkin paling diuntungkan dari genotip CYP2C9. Dalam studi ekstensif pada populasi Kaukasia, genotip CYP2C9 memprediksi ~10% variabilitas dalam dosis warfarin. C. Pengaruh Polimorfisme Enzim Pemetabolisme Warfarin terhadap efek Warfarin Prevalensi fenotip CYP2C9 pada kelompok pemetabolisme rendah (Poor Metabolizer) sekitar 2 – 4% dan > 35% pada Intermediate Metabolizer. Obat dimetabolisme oleh enzim ini sekitar 5 – 10%. Persentase jumlah enzim CYP2C9*2: Kaukasian 8 – 13 %, orang Asia 2 – 6 %, orang Afrika dan Amerika kurang dari 1%. Sedangkan jumlah enzim CYP2C9*3: Kaukasian 6 – 10 %, orang Asia kurang dari 1%, orang Afrika dan Amerika sekitar 1 – 4 %. Pengaruh mutasi CYP2C9 dan VKORC1 terhadap klirens warfarin : CYP2C92*2 (430C > T) menurunkan metabolisme s-warfarin sekitar 30%, memperpanjang waktu paruh obat, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai keadaan tunak; kebutuhan rata-rata harian warfarin sekitar 17% lebih rendah pada pasien dengan satu salinan alel CYP2C9*2 (CYP2C9*1/*2); frekuensi alel dalam ras Kaukasia adalah sekitar 11%. CYP2C9*3 (1075A> C) menurunkan metabolisme warfarin sekitar 80%; memperpanjang waktu paruh obat, membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai keadaan tunak; kebutuhan harian rata-rata warfarin adalah sekitar 37% lebih rendah pada pasien dengan satu salinan CYP2C9*3 (IM CYP2C9 *1/*3); frekuensi alel dalam orang kaukasia adalah sekitar 7%. VKORC1 (-1636G>A). Kebutuhan harian rata-rata warfarin sekitar 20% lebih rendah pada pasien dengan satu salinan VKORC1 (A>-1636G) dibandingkan dengan pasien tanpa mutasi VKORC1 (heterozigot G /A); frekuensi alel dalam Kaukasia adalah sekitar 40%. Kombinasi yang menyebabkan mutasi dari satu gen atau lebih akan mengurangi kebutuhan warfain rata-rata harian lebih lanjut. CYP2C9 mencakup hingga 18% dari variabilitas dalam dosis Warfarin. VKORC1 (-1636G>A) mencakup sekitar 30% dan kombinasi genotip dengan faktorfaktor klinis mungkin mencangkup hingga 79% dari variabilitas dalam dosis warfarin. CYP2C9 merupakan enzim hati yang sangat polimorfik dari golongan sitokrom P450. Enzim ini terlibat dalam metabolisme dan eliminasi obat-obatan yang banyak diresepkan. Polimorfisme genetik dalam CYP2C9 umumnya dapat mempengaruhi respon terapi obat-obatan. Aktivitas enzim ini diekspresikan dengan tingkat variasi yang tinggi. Tiga fenotipe yang telah diidentifikasi, yaitu poor metabolizers (PM), intermediate metabolizers (IM) and normal metabolizers (NM). Lima varian alel CYP2C9 yang terdeteksi dalam tes genotip CYP2C9 memberikan lebih dari 98% cakupan varian alel yang ditemukan untuk gen ini. CYP2C9*1 disepakati sebagai alel Wildtype dari gen CYP2C9. Individu homozigot wild-type memiliki fenotip pemetabolit normal (NM). Fenotip yang paling umum pada pemetabolit rendah telah diidentifikasi sebagai CYP2C9*2 dan CYP2C9*3. Perbedaan CYP2C9*1 normal dari CYP2C9*2 (C430T) dan CYP2C9*3 (A1075C) masingmasing terletak pada substitusi nukleotida tunggal, yang mengarah ke gangguan aktivitas enzim. Lee et al (2002) menentukan bahwa kedua jenis pemetabolit rendah, yaitu tipe CYP2C9*2 dan CYP2C9*3, ditemukan sebanyak 35% pada ras Kaukasia (42 % Kroasia). Di antara populasi kulit putih yang berbeda, CYP2C9*2 dan CYP2C9*3 merupakan alel yang signifikan dengan frekuensi alelik masing-masing sebesar 8 – 19 % dan 4 – 16%. Di Afrika dan Asia kedua varian jauh lebih jarang ditemukan (0,5 – 4 %). CYP2C9*4 telah secara eksklusif diidentifikasi pada orang Jepang. CYP2C9*5 dan CYP2C9*6 ditemukan pada orang Afrika Amerika dengan frekuensi alelik rendah (> 2%). Homozigositas untuk genotip CYP2C9*3 atau CYP2C9*2 relatif jarang (~ 1 – 2 %) pada ras Kaukasia. Deteksi variasi genetik dalam enzim pemetabolisme obat bermanfaat dalam mengidentifikasi individu yang dapat mengalami adverse drug reaction (ADR) dengan dosis konvensional untuk obat tertentu. Individu yang merupakan pemetabolisme rendah enzim CYP2C9 dapat menunjukkan farmakokinetik yang berbeda (level obat) dibandingkan orang normal. Akibatnya, orang tersebut memerlukan dosis nonkonvensional untuk obat yang dimetabolisme oleh CYP2C9. Sebaliknya, obat yang tidak memerlukan biotranformasi oleh CYP2C9 dapat menjadi pilihan untuk pasien dengan gangguan potensial CYP2C9 sehingga ADR dapat dihindari. Studi klinis telah menunjukkan bahwa pasien dengan setidaknya satu salinan alel CYP2C9*2 memerlukan dosis harian warfarin rata-rata 17% lebih sedikit dibandingkan dengan pasien homozigot wild-type. Pada pasien dengan setidaknya satu salinan alel CYP2C9*3 memiliki dosis harian warfarin rata-rata 37% kurang dari pasien homozigot wild-type. Dalam sebuah studi terpisah, risiko terhadap antikoagulasi berlebih (INR> 3) selama 2 minggu pertama terapi adalah sekitar dua kali lipat untuk pasien yang diklasifikasikan sebagai CYP2C9*2 (*1/*2 atau *2/*2) atau CYP2C9*3 (*1/* 3, *2 /*3, atau *3 /* 3) dibandingkan dengan fenotip NM. Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen VKORC1 telah dikaitkan dengan perlunya dosis yang lebih rendah untuk warfarin. Suatu studi menunjukkan bahwa 30% dari variasi dosis warfarin dapat dikaitkan dengan polimorfisme VKORC1. Sebuah tes mengidentifikasi 5 varian yang paling umum dari CYP2C9 (2C9*2 - 2C9 *6) dan polimorfisme VKORC1 (-1639G>A) yang mempengaruhi dosis pemeliharaan warfarin. Tabel 2. Mutasi CYP2C9 yang Terdeteksi Efek Terhadap Alel CYP2C9 Perubahan Nukleotida *1 Tidak ada (wildtype) Normal *2 430C>T Inaktif *3 1075A>C Inaktif *4 1076T>C Inaktif *5 1080C>G Inaktif *6 818delA Inaktif Metabolisme Enzim Tabel 3. Mutasi VKORC1 yang Terdeteksi Alel VKORC1 Perubahan Nukleotida -1639 -1639 G>A Efek Terhadap Metabolisme Enzim Transkripsi menurun Uji CYP2C9 mengelompokkan individu ke dalam 1 dari 3 kategori, yaitu : • Pemetabolisme normal (Normal metabolizer / NM) memiliki kapasitas metabolisme yang normal. Pada umumnya, pemetabolisme normal dapat diberikan obat yang merupakan substrat dari enzim CYP2C9 dengan dosis standard. Konsistensi genotip dengan fenotip pemetabolisme normal mengandung 2 alel aktif CYP2C9. • Pemetabolisme intermediet (Intermediate metabolizers / IM) kemungkinan memerlukan dosis yang lebih rendah dibandingkan dosis rata-rata untuk menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan pengecualian prodrug. Untuk prodrug yang diaktivasi oleh CYP2C9, perlu dipertimbangkan pemberian obat alternatif atau peningkatan dosis. Konsistensi genotip dengan fenotip pemetabolisme intermediet mengandung 1 alel aktif dan 1 alel inaktif CYP2C9. • Pemetabolisme rendah (Poor metabolizer / PM) adalah individu yang memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kurangnya eliminasi. Untuk penggunaan prodrug, pada pemetabolisme rendah terjadi kurangnya efek terapetik yang disebabkan oleh gagalnya pembentukan metabolit aktif dari prodrug. Perlu dipertimbangkan pemberian obat alternative. Konsistensi genotip dengan fenotip pemetabolisme rendah tidak mengandung alel aktif CYP2C9. Polimorfisme -1639 G>A dari gen Vitamin K Epoxide Reductase Complex subunit 1 (VKORC1) berhubungan dengan sensitivitas warfarin dan perlunya penurunan dosis pemeliharaan dari obat. Keberadaan varian nukleotida A menyebabkan sensitivitas yang tinggi dari warfarin dan dikaitkan dengan perlunya dosis warfarin yang lebih rendah dibandingkan dengan wildtype umum, yaitu nukleotida G dengan sensitivitas rendah. Uji VKORC1 (-1639G>A) mengidentifikasi sensitivitas individu terhadap warfarin menjadi 3 kelompok, yaitu sensitivitas rendah (GG), sensitivitas tinggi (AA), dan sensitivitas intermediet (GA). Rentang dosis pemeliharaan untuk warfarin memiliki variabilitas inter-individual yang ekstensif. FDA menyetujui suatu rentang dosis warfarin individu. Rentang tersebut diturunkan dari berbagai studi klinis. Rentang tersebut hanya merupakan rekomendasi dan perlu disesuaikan dengan faktor klinis spesifik pasien, seperti usia, ras, berat badan, jenis kelamin, obat lain yang dikonsumsi, asupan vitamin K, dan kondisi kesehatan. Table 3. Rentang Dosis Warfarin untuk Mencapai Efek Terapetik Berdasarkan Genotip CYP2C9 and VKORC1 Genotip CYP2C9 Genotip VKORC1 *1/*1 *1/*2 *1/*3 *2/*2 *2/*3 *3/*3 GG 5 – 7 mg 5 – 7 mg 3 – 4 mg 3 – 4 mg 3 – 4 mg 0,5 – 2 mg AG 5 – 7 mg 3 – 4 mg 3 – 4 mg 3 – 4 mg 0,5 – 2 mg 0,5 – 2 mg AA 3 – 4 mg 3 – 4 mg 0,5 – 2 mg 0,5 – 2 mg 0,5 – 2 mg 0,5 – 2 mg Waktu yang dibutuhkan warfarin untuk mencapai keadaan tunak bervariasi dan tergantung pada genotip CYP2C9. Dosis harus disesuaikan berdasarkan fenotip pada hari ke-5 untuk menghindari kenaikan dosis melebihi level yang diinginkan pada pemetabolisme intermediet dan pemetabolisme rendah. Table 2. Waktu untuk Mencapai Keadaan Tunak Warfarin Pada Ketiga Tipe Pemetabolisme Waktu untuk menstabilkan Genotip CYP2C9 dosis warfarin *1/*1 pemetabolisme normal 4 – 5 hari *1/*2 pemetabolisme intermediet 8 – 10 hari *1/*3, *2/*2, *3/*3 pemetabolisme intermediet dan rendah >2 – 4 minggu III. Kesimpulan Warfarin bekerja dengan menghambat enzim VKORC1 dan dimetabolisme oleh enzim CYP2C9. Mutasi pada gen VKORC1 berhubungan dengan sensitivitas warfarin. Mutasi pada gen CYP2C9 mempengaruhi laju metabolisme warfarin. DAFTAR PUSTAKA Arlene. tt. Drug Metabolism and Excretion Presentation. (cited at 2011, April 10). Coleman, M.D. 2005. Human Drug Metabolism An Introduction. England : John Wiley & Sons, Ltd. Gibson, G. Gordon and Skett, Paul. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: UI-Press Katzung, G. Bertram . 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8. Salemba Medika : Jakarta. Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Media Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga Rettie, Allan A dan Guoying Tai. 2006. The Pharmacogenomics of Warfarin. Molecular Interventions: Seattle.