TUGAS METABOLISME OBAT Pengaruh Genetik

advertisement
TUGAS METABOLISME OBAT
Pengaruh Genetik terhadap Metabolisme Warfarin
OLEH :
ANGGY ANGGRAENI WAHYUDHIE
0808505002
NI MADE WIRYATINI
0808505003
KHATIJA TAHER ALI
0808505014
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2011
I.
Pendahuluan
Secara umum, metabolisme obat memiliki pengertian sebagai suatu proses perubahan
obat secara kimia yang disebabkan oleh adanya interaksi obat dengan sistem enzim
endogenous yang hasil akhirnya akan meningkatkan kepolaran dari obat tersebut dalam
tubuh. Selama proses metabolisme dapat terjadi beberapa hal sebagai berikut:
a. Perubahan obat menjadi bentuk metabolitnya yang lebih mudah untuk dieksresi
b. Perubahan obat yang aktif secara farmakologis menjadi bentuk metabolit yang tidak aktif
c. Perubahan obat aktif yang mudah dieksresi menjadi bentuk metabolit aktifnya
d. Perubahan obat yang tidak aktif menjadi bentuk metabolit aktifnya
e. Perubahan suatu obat menjadi metabolitnya yang memiliki respon lebih toksik
(Arlene, tt)
Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam perjalanan obat di
dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga akan lebih cepat diekskresi
melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut lemak tidak mudah direabsorpsi dalam
tubulus ginjal dan metabolit yang dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif
daripada obat asalnya. Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada
beberapa obat, metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat
aslinya, contohnya Diazepam (Neal, 2006).
Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II dan reaksi
fase III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang lebih polar
melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus fungsional (misalnya –OH, NH2, -SH) (Neal, 2006). Metabolisme reaksi fase I meliputi reaksi oksidasi, reduksi,
hidrolisis, hidrasi dan isomerasi (Gibson and Skett, 1991). Oksidasi merupakan reaksi yang
paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini dikatalisis oleh suatu kelas enzim yang
penting yang disebut sebagai sistem oksidase kelas campuran mikrosomal yaitu sitokrom P450. Reaksi fase II terjadi apabila obat atau metabolit obat dari reaksi fase I tidak cukup polar
untuk bisa diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada reaksi fase II ini, obat atau
metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa endogen
dalam hati yang dimana golongan enzim-enzim yang berbeda akan bereaksi dengan tipe
senyawa yang berbeda juga (Neal, 2006), sebagai contoh sintesis UDP-asam glukuronat
hanya
dapat
terjadi
apabila
terjadi
reaksi
glukuronidasi
dengan
enzim
UDP-
Glukuroniltransferase (Gibson and Skett, 1991). Sedangkan reaksi fase III dianggap oleh
para peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari konjugat glutation yang menghasilkan
konjugat sistein dan asam merkapturat (Gibson and Skett, 1991).
Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
polimorfisme,
penyakit tertentu, penggunaan bersama alcohol, jenis kelamin, makanan, dan kebiasaan
merokok. Pada tulisan ini, akan dibahas mengenai pengaruh polimorfisme terhadap
metabolisme obat. Keragaman genetik dimanifestasikan dengan perbedaan dalam nukleotida
tunggal atau keseluruhan gen yang mengkode protein tertentu. Hal tersebut akan
menyebabkan adanya populasi yang mengekspresikan protein yang strukturnya berbeda
dengan protein pada populasi mayoritas. Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam
amino tunggal dengan asam amino lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah.
Keadaan ini dinamakan polimorfisme. Polimorfisme merupakan variasi genetic yang muncul
paling sedikit 1 % atau lebih dalam sebuah populasi. Efek yang ditimbulkan dari
polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat polimorfisme tidak akan efisien atau bahkan
tidak berfungsi sama sekali (Coleman, 2005).
II.
Metabolisme Warfarin
A. Jalur Metabolisme Warfarin dan Enzim yang Berperan
Warfarin, seperti turunan 4-hydroxycoumarin lainnya digunakan sebagai obat
antikoagulan oral yang bertindak sebagai antagonis vitamin K dengan cara
menghambat regenerasi reduksi dari vitamin K yang merupakan suatu kofaktor penting
dalam proses pembekuan darah (Gambar 1). Enzim target untuk warfarin adalah
vitamin K epoksida reduktase kompleks 1 (VKORC1) yang mengkatalisis tahap ratelimitting dalam siklus vitamin K dan dihambat secara non-kompetitif oleh antikoagulan
kumarin. Meskipun secara pasti berada dalam ekstrak jaringan mentah, enzim
VKORC1 tidak pernah berhasil dimurnikan, mungkin karena merupakan bagian dari
protein yang lebih besar yaitu protein kompleks oligomerik. Gen VKORC1 tidak
teridentifikasi hingga tahun 2004, namun baru-baru ini mucul penemuan yang telah
mendorong penyelidikan lebih intensif kepada peran variasi genetik pada VKORC1
yang berpengaruh pada respon obat antikoagulan oral.
Gambar 1. Mekanisme kerja warfarin serta peran CYP2C9 dan VKORC1
dalam modulasi antikoagulasi. Warfarin menghasilkan efek farmakologin
dengan menghambat VKORC1. VKORC 1 merupakan enzim dalam siklus
vitamin K yang mengendalikan regenerasi vitamin K. Vitamin K
merupakan kofaktor esensial yang mengatur pembentukan faktor
pembekuan darah. CYP2C9 merupakan enzim P450 mayor yang
memetabolisme S-warfarin membentuk metabolit inaktif. CYP2C9,
Cytochrome P4502C9; VKORC1, vitamin K epoxide reductase complex;
GGCX, gamma glutamyl carboxylase.
1. VKORC1
Gen VKORC1 dalam tubuh manusia bila digambarkan menyerupai lengan
pendek dari kromosom 16 yang mengandung tiga ekson yang mengkode (coding)
sintesis 18 kDa yaitu suatu protein integral membran. Mutasi wilayah VKORC1
coding pada pasien homozigot menyebabkan multipel faktor defisiensi koagulasi
tipe 2, sedangkan munculnya resistensi terhadap warfarin muncul pada pasien
heterozigot. Beberapa kelompok kini telah mengidentifikasi pasien dengan berbagai
tingkat resistensi terhadap warfarin yang membawa mutasi pada satu salinan gen
yang mengkodekan vitamin K epoksida reduktase kompleks 1 (VKORC1) (Tabel
1). Mutasi gen ini menyebabkan polimorfisme yang jarang (<frekuensi alel <0,1%)
terhadap respon warfarin. Polimorfisme umum terjadi di daerah regulasi gen
VKORC1 yang berkorelasi kuat dengan respon warfarin di kisaran dosis normal.
Rieder dan koleganya melakukan sequencing-gen VKORC1 di hampir 200 pasien
warfarin yang berasal dari Eropa-Amerika dan telah mengidentifikasi lima
haplotype yang ditandai oleh non-coding polimorfisme, yang mengaitkan secara
signifikan dengan persyaratan dosis warfarin. Dalam populasi Kaukasia dan Asia,
Rieder memprediksi genotipe dari VKORC1 menyebabkan 25% keragaman dalam
dosis warfarin.
Tabel 1. Mutasi Non-sinonim pada VKORC1 yang Menyebabkan Resistensi
Warfarin
Perubahan asam
amino
Dosis harian
Val29 Æ Leu
14 mg
Ala41 Æ Ser
16 mg
Arg58 Æ Gly
32 – 36 mg
Val66 Æ Met
27 – 35 mg
Leu128 Æ Arg
> 45 mg
Val45 Æ Ala
Target INR tidak
Fenotipe resistensi
Moderate
Major
Severe
tercapai
2. CYP2C9
Berakhirnya efek farmakologis warfarin tergantung pada metabolisme di hati
yang sebagian besar dikatalisis oleh sistem sitokrom P450 (CYP). Warfarin yang
diberikan ke dalam tubuh merupakan campuran antara enantiomer S dan R. SWarfarin menghasilkan sebagian besar efek terapi, sedangkan R-Warfarin akan
lebih banyak dimetabolisme melalui beberapa jalur klirens metabolik (Gambar 2).
S-warfarin pada konsentrasi terapeutik dimetabolisme terutama oleh CYP2C9, yang
mengubah obat menjadi metabolit 7-hidroksi dan 6-hidroksi aktif yang dikeluarkan
dalam urin. Oleh karena itu, diharapkan variasi pada gen CYP2C9 mungkin
berkontribusi terhadap variabilitas antar individual dalam merespon warfarin.
Gambar 2. Struktur S-Warfarin dan R-Warfarin serta enzim yang terlibat dalam
metabolisme warfarin pada manusia
B. Polimorfisme Enzim pemetabolisme Warfarin (CYP2C9)
Gen CYP2C9 bila digambarkan pada kromosom 10q24.2, mengandung 9 ekson
dan kode untuk mensintesis protein mikrosomal 60-kDa. Penemuan semi-sintesis SNP
telah dilakukan di berbagai populasi etnis dan 30 alel CYP2C9 yang berkaitan dengan
daerah pengkodean telah berhasil dilaporkan. Diantara beberapa alel, CYP2C9*1
menunjukkan urutan referensi dan alel wildtype. Alel CYP2C9*2 dan CYP2C9*3
mengkode Arg144Cys dan varian Ile359Leu, kedua alel ini hadir dengan frekuensi alel
masing-masing sebesar kurang lebih 12% dan 8% pada ras Kaukasia. Sekitar 40% dari
penduduk ras ini mengekspresikan satu atau kedua enzim varian dalam tubuh mereka.
Secara in vitro, pembentukan kembali rekombinan dari CYP2C9*2 dan
CYP2C9*3 yang secara fungsional dibuat cacat, hanya menunjukkan respon masingmasing sebesar 70% dan 5%, dibandingkan dengan enzim wildtype yang relatif lebih
banyak dalam mengubah S-Warfarin. Akibatnya, perlu diantisipasi bahwa pembawa
kedua alel tersebut akan memetabolisme S-warfarin lebih lambat secara in-vivo dan
karena itu membutuhkan dosis pemeliharaan yang lebih rendah daripada dosis warfarin
normal. Pengurangan dosis warfarin untuk pembawa alel CYP2C9*2 dan CYP2C9*3
telah dibuktikan oleh beberapa kelompok peneliti, dan alel ini dianggap sebagai faktor
resiko yang kuat dalam proses antikoagulasi berlebihan jika pasien diawali dengan
pemberian dosis “standar” warfarin yang pada dasarnya lebih tepat diberikan kepada
pasien dengan CYP2C9*1 homozigot.
Dalam kelompok – kelompok etnis, prevalensi dan pola dari alel – alel CYP2C9
sangat berbeda pada ras Kaukasia. Contohnya pada pasien berkulit gelap, CYP2C9*2
dan CYP2C9*3 muncul dalam freluensi alel yang sangat kecil, yaitu
(1 – 3 %)
dibandingkan pasien dengan kulit putih. Dua alel baru, CYP2C9*5 dan CYP2C9*6,
secara selektif diekspresikan pada keturunan Afrika, dan terdapat bukti in vivo bahwa
enzim ini cacat fungsional, walaupun keduanya jarang terjadi (frekuensi < 1 %). Asia
Timur secara keseluruhan tidak memiliki alel CYP2C9*2. Pada populasi orang Cina,
Korea, dan Jepang terdapat alel CYP2C9 *3 sebanyak sekitar 1 – 3 %. Dalam populasi
ini, telah ditemukan alel baru yang cacat, yaitu CYP2C9*4, CYP2C9*13, dan
CYP2C9*25, CYP2C9*26, CYP2C9*28, dan CYP2C9*30, namun frekuensinya
rendah (<1%).
Studi in vivo mendukung defisit fungsional untuk CYP2C9*4 dan *13, tetapi
hanya tersedia data in vitro untuk 4 alel terakhir. Studi lebih lanjut diperlukan untuk
menentukan secara keseluruhan komplemen dari alel CYP2C9 yang cacat fungsional
dalam kelompok etnis yang berbeda, sehingga dapat ditentukan populasi yang mungkin
paling diuntungkan dari genotip CYP2C9. Dalam studi ekstensif pada populasi
Kaukasia, genotip CYP2C9 memprediksi ~10% variabilitas dalam dosis warfarin.
C. Pengaruh Polimorfisme Enzim Pemetabolisme Warfarin terhadap efek
Warfarin
Prevalensi fenotip CYP2C9 pada kelompok pemetabolisme rendah (Poor
Metabolizer) sekitar 2 – 4% dan > 35% pada Intermediate Metabolizer. Obat
dimetabolisme oleh enzim ini sekitar 5 – 10%. Persentase jumlah enzim CYP2C9*2:
Kaukasian 8 – 13 %, orang Asia 2 – 6 %, orang Afrika dan Amerika kurang dari 1%.
Sedangkan jumlah enzim CYP2C9*3: Kaukasian 6 – 10 %, orang Asia kurang dari 1%,
orang Afrika dan Amerika sekitar 1 – 4 %.
Pengaruh mutasi CYP2C9 dan VKORC1 terhadap klirens warfarin :
ƒ
CYP2C92*2 (430C > T) menurunkan metabolisme s-warfarin sekitar 30%,
memperpanjang waktu paruh obat, membutuhkan waktu lebih lama untuk
mencapai keadaan tunak; kebutuhan rata-rata harian warfarin sekitar 17%
lebih rendah pada pasien dengan satu salinan alel CYP2C9*2
(CYP2C9*1/*2); frekuensi alel dalam ras Kaukasia adalah sekitar 11%.
ƒ
CYP2C9*3 (1075A> C) menurunkan metabolisme warfarin sekitar 80%;
memperpanjang waktu paruh obat, membutuhkan waktu lebih lama untuk
mencapai keadaan tunak; kebutuhan harian rata-rata warfarin adalah
sekitar 37% lebih rendah pada pasien dengan satu salinan CYP2C9*3 (IM
CYP2C9 *1/*3); frekuensi alel dalam orang kaukasia adalah sekitar 7%.
ƒ
VKORC1 (-1636G>A). Kebutuhan harian rata-rata warfarin sekitar 20%
lebih rendah pada pasien dengan satu salinan VKORC1 (A>-1636G)
dibandingkan dengan pasien tanpa mutasi VKORC1 (heterozigot G /A);
frekuensi alel dalam Kaukasia adalah sekitar 40%.
ƒ
Kombinasi yang menyebabkan mutasi dari satu gen atau lebih akan
mengurangi kebutuhan warfain rata-rata harian lebih lanjut. CYP2C9
mencakup hingga 18% dari variabilitas dalam dosis Warfarin. VKORC1
(-1636G>A) mencakup sekitar 30% dan kombinasi genotip dengan faktorfaktor klinis mungkin mencangkup hingga 79% dari variabilitas dalam
dosis warfarin.
CYP2C9 merupakan enzim hati yang sangat polimorfik dari golongan sitokrom
P450. Enzim ini terlibat dalam metabolisme dan eliminasi obat-obatan yang banyak
diresepkan. Polimorfisme genetik dalam CYP2C9 umumnya dapat mempengaruhi
respon terapi obat-obatan. Aktivitas enzim ini diekspresikan dengan tingkat variasi
yang tinggi. Tiga fenotipe yang telah diidentifikasi, yaitu poor metabolizers (PM),
intermediate metabolizers (IM) and normal metabolizers (NM).
Lima varian alel CYP2C9 yang terdeteksi dalam tes genotip CYP2C9
memberikan lebih dari 98% cakupan varian alel yang ditemukan untuk gen
ini. CYP2C9*1 disepakati sebagai alel Wildtype dari gen CYP2C9. Individu homozigot
wild-type memiliki fenotip pemetabolit normal (NM). Fenotip yang paling umum pada
pemetabolit rendah telah diidentifikasi sebagai CYP2C9*2 dan CYP2C9*3. Perbedaan
CYP2C9*1 normal dari CYP2C9*2 (C430T) dan CYP2C9*3 (A1075C) masingmasing terletak pada substitusi nukleotida tunggal, yang mengarah ke gangguan
aktivitas enzim. Lee et al (2002) menentukan bahwa kedua jenis pemetabolit rendah,
yaitu tipe CYP2C9*2 dan CYP2C9*3, ditemukan sebanyak 35% pada ras Kaukasia
(42 % Kroasia). Di antara populasi kulit putih yang berbeda, CYP2C9*2 dan
CYP2C9*3 merupakan alel yang signifikan dengan frekuensi alelik masing-masing
sebesar 8 – 19 % dan 4 – 16%. Di Afrika dan Asia kedua varian jauh lebih jarang
ditemukan (0,5 – 4 %). CYP2C9*4 telah secara eksklusif diidentifikasi pada orang
Jepang. CYP2C9*5 dan CYP2C9*6 ditemukan pada orang Afrika Amerika dengan
frekuensi alelik rendah (> 2%). Homozigositas untuk genotip CYP2C9*3 atau
CYP2C9*2 relatif jarang (~ 1 – 2 %) pada ras Kaukasia.
Deteksi variasi genetik dalam enzim pemetabolisme obat bermanfaat dalam
mengidentifikasi individu yang dapat mengalami adverse drug reaction (ADR) dengan
dosis konvensional untuk obat tertentu. Individu yang merupakan pemetabolisme
rendah enzim CYP2C9 dapat menunjukkan farmakokinetik yang berbeda (level obat)
dibandingkan orang normal. Akibatnya, orang tersebut memerlukan dosis nonkonvensional untuk obat yang dimetabolisme oleh CYP2C9. Sebaliknya, obat yang
tidak memerlukan biotranformasi oleh CYP2C9 dapat menjadi pilihan untuk pasien
dengan gangguan potensial CYP2C9 sehingga ADR dapat dihindari.
Studi klinis telah menunjukkan bahwa pasien dengan setidaknya satu salinan alel
CYP2C9*2 memerlukan dosis harian warfarin rata-rata 17% lebih sedikit dibandingkan
dengan pasien homozigot wild-type. Pada pasien dengan setidaknya satu salinan alel
CYP2C9*3 memiliki dosis harian warfarin rata-rata 37% kurang dari pasien homozigot
wild-type. Dalam sebuah studi terpisah, risiko terhadap antikoagulasi berlebih (INR> 3)
selama 2 minggu pertama terapi adalah sekitar dua kali lipat untuk pasien yang
diklasifikasikan sebagai CYP2C9*2 (*1/*2 atau *2/*2) atau CYP2C9*3 (*1/* 3, *2 /*3,
atau *3 /* 3) dibandingkan dengan fenotip NM.
Polimorfisme nukleotida tunggal pada gen VKORC1 telah dikaitkan dengan
perlunya dosis yang lebih rendah untuk warfarin. Suatu studi menunjukkan bahwa 30%
dari variasi dosis warfarin dapat dikaitkan dengan polimorfisme VKORC1. Sebuah tes
mengidentifikasi 5 varian yang paling umum dari CYP2C9 (2C9*2 - 2C9 *6) dan
polimorfisme VKORC1 (-1639G>A) yang mempengaruhi dosis pemeliharaan warfarin.
Tabel 2. Mutasi CYP2C9 yang Terdeteksi
Efek Terhadap
Alel CYP2C9
Perubahan Nukleotida
*1
Tidak ada (wildtype)
Normal
*2
430C>T
Inaktif
*3
1075A>C
Inaktif
*4
1076T>C
Inaktif
*5
1080C>G
Inaktif
*6
818delA
Inaktif
Metabolisme Enzim
Tabel 3. Mutasi VKORC1 yang Terdeteksi
Alel VKORC1
Perubahan Nukleotida
-1639
-1639 G>A
Efek Terhadap
Metabolisme Enzim
Transkripsi menurun
Uji CYP2C9 mengelompokkan individu ke dalam 1 dari 3 kategori, yaitu :
•
Pemetabolisme normal (Normal metabolizer / NM) memiliki kapasitas metabolisme
yang normal. Pada umumnya, pemetabolisme normal dapat diberikan obat yang
merupakan substrat dari enzim CYP2C9 dengan dosis standard. Konsistensi genotip
dengan fenotip pemetabolisme normal mengandung 2 alel aktif CYP2C9.
•
Pemetabolisme intermediet (Intermediate metabolizers / IM) kemungkinan
memerlukan dosis yang lebih rendah dibandingkan dosis rata-rata untuk
menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan pengecualian prodrug. Untuk
prodrug yang diaktivasi oleh CYP2C9, perlu dipertimbangkan pemberian obat
alternatif
atau
peningkatan
dosis.
Konsistensi
genotip
dengan
fenotip
pemetabolisme intermediet mengandung 1 alel aktif dan 1 alel inaktif CYP2C9.
•
Pemetabolisme rendah (Poor metabolizer / PM) adalah individu yang memiliki
risiko efek samping yang tinggi karena kurangnya eliminasi. Untuk penggunaan
prodrug, pada pemetabolisme rendah terjadi kurangnya efek terapetik yang
disebabkan oleh gagalnya pembentukan metabolit aktif dari prodrug. Perlu
dipertimbangkan pemberian obat alternative. Konsistensi genotip dengan fenotip
pemetabolisme rendah tidak mengandung alel aktif CYP2C9.
Polimorfisme -1639 G>A dari gen Vitamin K Epoxide Reductase Complex
subunit 1 (VKORC1) berhubungan dengan sensitivitas warfarin dan perlunya
penurunan dosis pemeliharaan dari obat. Keberadaan varian nukleotida A menyebabkan
sensitivitas yang tinggi dari warfarin dan dikaitkan dengan perlunya dosis warfarin
yang lebih rendah dibandingkan dengan wildtype umum, yaitu nukleotida G dengan
sensitivitas rendah. Uji VKORC1 (-1639G>A) mengidentifikasi sensitivitas individu
terhadap warfarin menjadi 3 kelompok, yaitu sensitivitas rendah (GG), sensitivitas
tinggi (AA), dan sensitivitas intermediet (GA).
Rentang dosis pemeliharaan untuk warfarin memiliki variabilitas inter-individual
yang ekstensif. FDA menyetujui suatu rentang dosis warfarin individu. Rentang
tersebut diturunkan dari berbagai studi klinis. Rentang tersebut hanya merupakan
rekomendasi dan perlu disesuaikan dengan faktor klinis spesifik pasien, seperti usia, ras,
berat badan, jenis kelamin, obat lain yang dikonsumsi, asupan vitamin K, dan kondisi
kesehatan.
Table 3. Rentang Dosis Warfarin untuk Mencapai Efek Terapetik Berdasarkan Genotip
CYP2C9 and VKORC1
Genotip CYP2C9
Genotip
VKORC1
*1/*1
*1/*2
*1/*3
*2/*2
*2/*3
*3/*3
GG
5 – 7 mg
5 – 7 mg
3 – 4 mg
3 – 4 mg
3 – 4 mg
0,5 – 2 mg
AG
5 – 7 mg
3 – 4 mg
3 – 4 mg
3 – 4 mg
0,5 – 2 mg
0,5 – 2 mg
AA
3 – 4 mg
3 – 4 mg
0,5 – 2 mg
0,5 – 2 mg
0,5 – 2 mg
0,5 – 2 mg
Waktu yang dibutuhkan warfarin untuk mencapai keadaan tunak bervariasi dan
tergantung pada genotip CYP2C9. Dosis harus disesuaikan berdasarkan fenotip pada
hari ke-5 untuk menghindari kenaikan dosis melebihi level yang diinginkan pada
pemetabolisme intermediet dan pemetabolisme rendah.
Table 2. Waktu untuk Mencapai Keadaan Tunak Warfarin Pada Ketiga Tipe
Pemetabolisme
Waktu untuk menstabilkan
Genotip CYP2C9
dosis warfarin
*1/*1 pemetabolisme normal
4 – 5 hari
*1/*2 pemetabolisme intermediet
8 – 10 hari
*1/*3, *2/*2, *3/*3 pemetabolisme intermediet dan rendah
>2 – 4 minggu
III. Kesimpulan
Warfarin
bekerja
dengan
menghambat
enzim
VKORC1
dan
dimetabolisme oleh enzim CYP2C9. Mutasi pada gen VKORC1 berhubungan
dengan sensitivitas warfarin. Mutasi pada gen CYP2C9 mempengaruhi laju
metabolisme warfarin.
DAFTAR PUSTAKA
Arlene. tt. Drug Metabolism and Excretion Presentation. (cited at 2011, April 10).
Coleman, M.D. 2005. Human Drug Metabolism An Introduction. England : John Wiley &
Sons, Ltd.
Gibson, G. Gordon and Skett, Paul. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Jakarta: UI-Press
Katzung, G. Bertram . 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8. Salemba Medika
: Jakarta.
Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Media Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga
Rettie, Allan A dan Guoying Tai. 2006. The Pharmacogenomics of Warfarin. Molecular
Interventions: Seattle.
Download