Kebijakan China dalam Pengembangan Industri Pariwisata

advertisement
BAB I
PEDAHULUA
A.
Latar Belakang Masalah
Pariwisata internasional merupakan salah satu sektor vital bagi
perekonomian sebuah negara. Pada masa lahirnya industri pariwisata pada abad
ke-19, pariwisata sengaja diarahkan untuk mendukung terciptanya output dalam
rangka mengatasi persoalan pengangguran di negara-negara Barat akibat
keberhasilan revolusi industri. Kebijakan tersebut secara riil telah meningkatkan
penghasilan dan kesejahteraan pekerja di negara-negara industri (Sondakh, 2010:
4). Di sisi lain, pariwisata menyumbang 9 persen terhadap produk domestik bruto
(PDB) dunia pada 2011, baik secara langsung maupun tidak langsung (Kompas,
2012).
Pariwisata penting bagi kajian ilmu Hubungan Internasional. Sondakh
(2010: 118) menyatakan bahwa pariwisata dapat menjadi alat politik diplomasi
bermakna budaya untuk memperkenalkan jati diri bangsa. Asumsinya, pengenalan
bangsa dan negara melalui pariwisata, tidak hanya mendorong persahabatan tetapi
juga meningkatkan perdagangan dan investasi.
Penelitian mengenai pariwisata dewasa ini semakin penting karena
pariwisata dunia terus mengalami kenaikan selama enam puluh tahun terakhir
sejak 1950 hingga 2010. Kenaikan ini terlihat dari jumlah kedatangan turis
internasional yang terus meningkat di berbagai kawasan belahan dunia. Pada
tahun 1950, jumlah kedatangan turis internasional berada dibawah 100 juta turis.
Akan tetapi, pada tahun 2010 jumlah turis internasional mengalami kenaikan
pesat mencapai 940 juta. Jumlah turis ini diperkirakan akan terus mengalami
kenaikan hingga kurun waktu 20 tahun mendatang. Pada 2030 diperkirakan
kenaikan jumlah turis internasional mencapai 1800 juta, meningkat dua kali lipat
dari tahun 2010 (UNWTO, 2013: 14).
Data sementara menunjukkan bahwa pada 2012 emerging economies and
developing countries menerima market share penerimaan devisa pariwisata
sebesar 35,9% senilai 386 juta dolar AS. Jumlah ini sangat timpang dibandingkan
dengan negara maju yang memperoleh market share penerimaan devisa pariwisata
sebesar 64,1% dengan jumlah 689 juta dolar AS (UNWTO, 2013). Meskipun
demikian, China sebagai bagian dari emerging economies and developing
countries menunjukkan adanya sinyal positif dalam pariwisata internasional.
Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (1998 s.d. 2012), China selalu masuk
sepuluh besar negara penerima devisa pariwisata terbanyak dunia (UNWTO,
1999-2013).
Era integrasi global dapat menciptakan peluang untuk dapat ikut serta
dalam perdagangan dunia sehingga kesempatan ini harus dapat digunakan dengan
baik oleh semua negara, tidak terkecuali emerging economies and developing
countries. Diperlukan peran pemerintah dalam menentukan strategi-strategi
kebijakan industri pariwisata untuk dapat mencapai tingkat daya saing yang baik
berdasarkan pemahaman kerangka kerja rantai nilai tersebut. Strategi apa pun
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berbasis luas dan pengentasan kemiskinan
di negara berkembang harus fokus pada perindustrian yang didominasi oleh unit
usaha kecil dan menengah yang mampu bersaing secara global (Ramania, 2010:
5).
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan diurai lebih lanjut
dalam rumusan masalah :
1. Bagaimana kebijakan pemerintah China dalam pengembangan industri
pariwisata internasional di era globalisasi sebelum dan sesudah
diberlakukannya open-door policy ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong kemajuan industri pariwisata
internasional di China dari segi inbound tourism ?
C.
Tinjauan Literatur
Ada beberapa perspektif terkait pembangunan industri pariwisata sebuah
negara. Perspektif tersebut diantaranya berupa perspektif developmentalis dan
perspektif ekonomi-politik (Sondakh, 2010: 114). Penelitian ini berpedoman
terhadap pandangan developmentalis yang dikemukakan oleh Pye dan Lin
(dikutip oleh Nugroho, 1997 dikutip oleh Sondakh, 2010) yang melihat bahwa
pasar pariwisata internasional justru banyak menyumbang kecepatan dan arah
perkembangan pariwisata di negara-negara berkembang. Perkembangan industri
pariwisata memiliki potensi dalam perumusan strategi pembangunan di negaranegara berkembang sehingga dianggap sebagai pintu masuk bagi kesejahteraan
rakyat. Selain sebagai sumber penerimaan devisa, industri pariwisata juga
memiliki banyak elemen yang dapat mendorong transformasi ekonomi, dari
karakter negara pertanian yang tradisional menuju masyarakat modern industrial.
Pariwisata dapat mendorong pola kondisi masyarakat yang semula bersifat
subsistem, menuju masyarakat yang berorientasi pasar.
Pandangan developmentalis dibantah oleh pandangan ekonomi-politik
yang meyakini bahwa pembangunan pariwisata, sebagaimana yang berlangsung di
mayoritas negara dunia ketiga, bukanlah obat mujarab dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi. Pembangunan pariwisata justru telah menimbulkan
pelembagaan struktur keterbelakangan (Nasikun, 2000 dikutip oleh Fandeli dan
Mukhlison, 2000 dikutip oleh Sondakh, 2010). Dalam praktiknya banyak
dijumpai investasi besar dari luar selalu meminta privilege tertentu. Capital flight
pada akhirnya terus berlangsung, sehingga peningkatan pendapatan industri
pariwisata ini tidak banyak berdampak pada penguatan pertumbuhan ekonomi
nasional (Nugroho, 1997 dikutip oleh Sondakh, 2010).
Pariwisata internasional dalam prakteknya memiliki sisi positif dan
negatif. Sisi positif dari pariwisata internasional diantaranya dapat menghasilkan
devisa, membuka lapangan pekerjaan, serta mendorong terciptanya perdamaian
antarnegara melalui pemahaman antarwarga lintas negara. Meskipun demikian,
pariwisata internasional seringkali tidak dapat terlepas dari dampak yang kurang
menguntungkan, salah satunya yaitu terjadinya capital flight dari host country ke
home country akibat penanaman modal asing. Hal ini merupakan tantangan bagi
pemerintah agar dapat mengkondisikan industri pariwisata sehingga capital flight
yang terjadi tidak sampai menimbulkan defisit neraca pembayaran serta serta
pengembangan industri pariwisata internasional dapat memberikan keuntungan
bagi host country.
Penelitian yang berkaitan dengan pariwisata di China merupakan topik
yang sudah banyak ditulis oleh para peneliti. Akan tetapi, penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang diusulkan sebelumnya. Konteks penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi kebijakan pemerintah China dalam pengembangan industri
pariwisata sebelum dan sesudah diberlakukannya open-door policy serta faktorfaktor apa saja yang mendorong kemajuan industri pariwisata internasional di
China dari segi inbound tourism.
Zhang, et. al. (2013) melakukan penelitian yang berjudul Does It Matter?
Examining The Impact of China’s Vacation Policies on Domestic Tourism
Demand. Penelitian ini meneliti dampak kebijakan publik terhadap perkembangan
pariwisata domestik di China dan mengestimasi permintaan pariwisata domestik.
Penelitian ini menerapkan model dinamis dengan menggunakan data panel. Tiga
model alternatif diterapkan ke seperangkat data panel yang terdiri dari rasio
kedatangan turis domestik di 29 kota di China diantara tahun 2001 dan 2010.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) pasar pariwisata domestik China
berkembang, b) perubahan kebijakan liburan yang diadopsi pada 2007 memiliki
efek signifikan terhadap perubahan permintaan pariwisata domestik, dan c)
permintaan pariwisata domestik telah digantikan dengan pasar pariwisata outbond
yang semakin meningkat.
Zhang, Jianhong (2009) melakukan penelitian dengan judul Spatial
Distribution of Inbound Tourism in China: Determinants and Implications.
Penelitian ini membangun kerangka integratif untuk menganalisa faktor yang
menentukan pariwisata inbound internasional di daerah. Sementara itu, kompetisi
dan penghargaan antardaerah juga diteliti dalam kerangka yang sama. Penelitian
ini menggunakan alat analisis model ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pembangunan, keterbukaan, sumber daya pariwisata, fasilitas
pariwisata, dan organisasi pariwisata berpengaruh secara positif terhadap
penerimaaan pariwisata internasional di suatu daerah. Selain itu, penelitian juga
menunjukkan bahwa peningkatan pariwisata inbound internasional di suatu daerah
memberikan keuntungan bagi daerah tetangga dan daerah yang memiliki
hubungan dengan turis.
Tse dan Hobson (2008) melakukan penelitian yang berjudul The Forces
Shaping Chinas’s Outbond Tourism. Penelitian ini mengadopsi pendekatan
alternatif untuk mempelajari pariwisata outbond di China dengan menganalisis
lingkungan makro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial
ekonomi dan politis berperan penting dalam membentuk arus turis outbond
internasional dari China. Ekonomi pasar dan kontrol negara merupakan dua kunci
kekuatan dialektika di lingkungan makro China dimana meningkatkan dan
mengawasi arus turis outbond internasional. Analisis menunjukkan bahwa negara
apabila memperbolehkan kekuatan pasar menggunakan pengaruhnya, maka
negara akan menjaga kontrol pokok dan tidak akan segan-segan mengintervensi
pasar untuk mengawasi langkah pembangunan pariwisata outbond karena
signifikansi politiknya.
D.
Landasan Teori
Salah satu dampak liberalisasi perdagangan adalah berlangsungnya
perdagangan lintas batas negara atau yang disebut sebagai perdagangan
internasional. Setiap negara menerapkan strategi perdagangan internasional yang
berbeda-beda. Hal ini bergantung sejauh mana peran negara diperbolehkan masuk
dalam urusan perdagangan internasional.
Pandangan liberal melihat bahwa dalam menghadapi perdagangan
internasional peran negara perlu diminimalisasi dan pelaksanaan perdagangan
diserahkan kepada mekanisme pasar. Pandangan lain datang dari merkantilis
yang mengutamakan semangat nasionalis serta melihat bahwa dalam melakukan
perdagangan internasional justru negara harus menjadi pemain utama. Negara
sebagai pemegang regulasi berperan untuk melaksanakan strategi peningkatan
ekspor dan berusaha untuk mengurangi impor, dan untuk kebutuhan sehari-hari
lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri. Pandangan berbeda
datang dari developmental state yang sukses dilakukan oleh Jepang, Korea
Selatan, dan Taiwan. Pandangan ini menekankan jalan tengah antara liberal dan
merkantilis, dimana pandangan ini melihat bahwa perdagangan internasional
memerlukan harmonisasi kerjasama antara pemerintah dan swasta yang bertujuan
untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan internasional (Dicken, 2007).
Negara harus mampu melihat peluang dan ancaman yang muncul akibat
globalisasi dan liberalisasi perdagangan guna memenangkan persaingan dalam
perdagangan internasional. Negara-negara yang telah menerapkan developmental
state melihat bahwa liberalisasi dan globalisasi tidak harus dihindari atau direspon
dengan membuka pasar domestik seluas-luasnya tetapi perlu menciptakan
harmonisasi antara peran negara sebagai regulator dan swasta sebagai pemain
dalam perdagangan atau pasar agar mampu menghadapi tantangan dan ancaman
globalisasi dan dampak negatif liberalisasi itu sendiri.
Ha Joon Chang (Ha Joon Chang dikutip oleh Woo-Cumings, ed, 1999
dikutip oleh Winanti, 2003) mendefinisikan developmental state sebagai
“A state which can create and regulate the economic and political
relationships that can support sustained industrialization,” and which “takes the
goals of long term growth and structural change seriously, ‘politically’ manages
the economy to ease the conflict inevitable during the process of such change (but
with a firm eye on long term goals), and engages in institutional adaption and
innovation to achieve those goals”.
Ringkasnya, developmental state mempunyai karakteristik sebagai berikut.
Pertama, pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi pemerintah.
Kedua, pembangunan ekonomi dipandang sebagai plan-rational development,
yang merupakan model gabungan yakni, intervensi negara yang dikompromikan
dengan mekanisme pasar. Ketiga, dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi
tersebut, negara mempunyai peran yang sangat besar, tidak hanya dalam hal
perencanaan pembangunan namun lebih jauh juga dalam pelaksanaannya.
Keempat, negara mempunyai kontrol yang sangat kuat terhadap sektor swasta.
Kelima, intervensi negara yang sangat besar dalam proses pembangunan ini
didukung oleh birokrasi yang bersih, rasional, dan berdasarkan meritokrasi
(birokrasi ala Weberian). Gagasan yang disebut sebagai developmental state ini
sebetulnya diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda: capitalist developmental
state/state-guided capitalism (Woo-Cumings, ed, 1999 dikutip oleh Winanti,
2003), state-led growth/state-led capitalist development growth, (Burket dan
Landsberg, 2000 dikutip oleh Winanti, 2003), dirigisme (Park, forthcom ing
dikutip oleh Winanti, 2003), strategic pragmatism (Austin, 2001 dikutip oleh
Winanti, 2003), atau bahkan kapitalisme ala Asia (Winanti, 2003).
Terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dari argumentasi teoritik di
atas. Pertama, developmental state mensyaratkan negara yang kuat (bila perlu
dengan sistem politik yang otoritarian). Kedua, kuatnya negara tersebut tercermin
dari birokrasi yang bersih dan rasional. Ketiga, birokrasi pemerintah yang handal
diperlukan dalam rangka menyelenggarakan suatu plan-rational development.
Dengan begitu maka efektifitas intervensi negara dalam proses pembangunan bisa
ditegakkan (Winanti, 2003: 179).
Jepang dan Korea pada awalnya adalah negara yang sangat tertutup. Akan
tetapi, globalisasi dan tantangan liberalisasi mendorong Jepang dan Korea untuk
menyerahkan kegiatan ekonomi seutuhnya kepada publik dan swasta. Kedua
negara tersebut memberikan contoh bahwa globalisasi tidak harus dihindari,
namun dihadapi dengan strategi tanggung yang diciptakan oleh pihak-pihak
terkait dengan perekonomian dan perdagangan (Friedman, 2002).
E.
Argumen Utama
Industri pariwisata internasional di China sebelum diberlakukannya open-
door policy merupakan alat politik dan diplomasi. Sesudah dilakukan open-door
policy, industri pariwisata internasional bergeser menjadi bagian dari kegiatan
ekonomi. Kemajuan industri pariwisata internasional di China selain ditopang
dengan adanya organisasi dan tata kelola pariwisata, anggaran pariwisata, serta
kebijakan dan program pariwisata yang baik, diantaranya juga didorong oleh
peningkatan akses visa, pemberian fasilitas belanja bebas pajak bagi turis,
kesepakatan transportasi udara terbuka, ekspansi maskapai penerbangan dan
pengembangan bandara di China, pengembangan industri pariwisata pesiar, serta
program “Tahun Pariwisata China-Rusia” yang dimulai pada 2012.
F.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang dilakukan cara studi
kepustakaan (librabry research) yaitu mendapatkan referensi penelitian yang
diolah melalui literature, buku-buku, majalah, jurnal berkala, booklet, leaflet,
laporan institusi terkait, situs internet, serta sumber-sumber lain yang mendukung
dan relevan dengan pokok permasalahan yang ada di dalam penelitian terkait.
G.
Jangkauan Penelitian
Jangkauan dari penelitian ini akan difokuskan pada eksplorasi kebijakan
pariwisata pemerintah China sebelum dan sesudah open-door policy serta faktorfaktor yang mendorong kemajuan industri pariwisata internasional di China dari
segi inbound tourism setelah diberlakukannya open-door-policy.
H.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tinjauan literatur, landasan teori, argumen utama, metode penelitian,
jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab kedua akan
mengulas pembangunan sektor jasa setelah open-door policy. Bab ketiga
membahas kebijakan China dalam industri pariwisata internasional sebelum dan
sesudah
diberlakukannya
open-door
policy.
Selanjutnya,
bab
keempat
menjelaskan developmental state untuk mendorong kemajuan industri pariwisata
internasional di China. Sebagai penutup, bab kelima akan menyimpulkan seluruh
pembahasan.
Download