PARADIGMA PEMBAHARUAN HASSAN HANAFI Jamal Ghofir Abstract Islam as a religion, a dynamic life that calls upon the structure of human consciousness, heart and mind to control himself in accordance with the provisions of God. Muslims in the end fall on the consideration that is sometimes too rational and sometimes overemphasized spiritual effectiveness. Hanafi critical attitude towards models of Sufi thought that selfish to defend individual without seeing and considering the social reality of Muslims. The notion of social transformation Hanafi more emphasis on the revitalization of the Islamic tradition which is considered as the best alternative.Key Words : Hasan Hanafi, modern thinking A. Pendahuluan Hassan Hanafi merupakan salah seorang pemikir yang cukup sering bergulat dengan sejarah. Pengaruh historisme terlihat dari cara pandangnya terhadap sejarah. Tak hanya dalam satu buku atau satu makalah ia berkata tentang urgensi “kesadaran sejarah”. Di antara pernyataannya tentang urgensi mengetahui sejarah ini ia kemukakan dalam bab “Limâdzâ Ghâb Mabhatsu at-Târîkh fî Turâtsinâ al-Qadîm” dalam bukunya Dirâsât Islâmiyyah (Hanafi,1988 : 415-416). Sejarah merupakan salah satu pijakan penting yang digunakan Hassan Hanafi untuk merumuskan buah pikirannya. Sejarah sebagai bagian tak terpisahkan dari alam— terus berjalan dan melahirkan keyakinan Hassan Hanafi akan “progesivitas sejarah”. Dengan “progesivitas sejarah” ini, Hassan Hanafi menolak supremasi suatu masa. Hal itu karena suatu masa adalah kelanjutan dari masa sebelumnya dan ia “ingin” (diusahakan) beranjak ke zaman selanjutnya yang lebih baik. “Progesivitas sejarah” ini mendorong Hassan Hanafi untuk mendalami fase-fase sejarah yang dialami. Hal ini dilakukan Hassan Hanafi dalam rangka mengetahui eksistensi diri dan memacunya ke depan: demi masa kini, menyiapkan masa depan, mengembangkan masa lalu dan menyempurnakannya. 1 Fase-fase sejarah Islam yang terekam di benaknya adalah sebagai berikut. Pertama, dari abad ke-1 H sampai dengan abad ke-7 H, sebagai masa keemasan Islam. Kedua, dari abad ke-7 H sampai dengan abad ke-12 H, sebagai masa pen-syarah-an dan pen-talkhîsh-an turats. Ketiga, dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 sekarang ini, sebagai masa reformasi atau kebangkitan kedua (Jabiri, Hanafi, 1990 : 24). Karena bagi Hassan Hanafi yang terpenting adalah masa kini, maka pembaHassan masa lalu dan masa depan dilakukan demi masa kini. Karena itu, ketika tahu bahwa ia tengah berada di fase ketiga, ia mulai bergerak menyempurnakan dan mengisinya. Pergumulannya dengan pemikiran tentang “urgensi perubahan” sebenarnya sudah dimulai sejak ia masih kuliah. Bahkan, disertasinya di Universitas Sorbonne, Prancis, berjudul Essai Sur la Methode d’exegese (Esai tentang Metode Penafsiran), pun sudah bisa dikatakan sebagai salah satu pemikiran pentingnya. Ia pun kemudian membuat semacam “proyek peradaban” demi mendobrak kejumudan berpikir dan bergerak umat Islam mutakhir. Selaku akademisi lulusan filsafat, ia tak menghindar dari pemikirabpemikiran Karl Marx tentang perubahan yang harus dilakukan seorang filsuf. Menurutnya, tugas filsuf adalah mengubah; tidak hanya menafsirkan alam. Mengubah berarti menciptakan sesuatu yang baru. Apa yang diubah, baginya, dilihat dari tantangan yang dihadapi; sementara ia sendiri tengah berada pada titik umat Islam yang dikelilingi tembok-tembok tebal bernama globalisasi dan kejumudan. Di satu sisi, Islam seperti “diserang” oleh kemajuan Barat yang telah jauh meninggalkan langkah-langkah yang saat ini ditempuh Islam. Sementara itu, di sisi yang lain, Islam juga tidak bisa melepaskan diri dari status quo internal yang seperti tak ingin maju. Di tengah-tengah pergumulan dua tembok yang menghimpit itulah Hassan Hanafi berdiri. Dari sana, ia merumuskan konsep ego (al-anâ) dan other (al-âkhar). Ego berupa realitas kekinian (wâqi’), sedangkan other terbagi dua: tradisi dan Barat (Hanafi,1988 : 19-27). Dari titik tolak ini, Hassan Hanafi kemudian melangkah untuk menggarap “proyek peradaban” yang dilakukan demi menyikapi (1) tradisi, (2) Barat, dan (3) realitas itu. Tradisi sebagai segala hal dari masa lalu yang sampai kepada kita di dalam suatu peradaban; atau warisan penginput masa kini—telah cukup kuat menempel dalam benar 2 orang-orang Arab. Karena itu, bangsa Arab pun dikategorikan sebagai bangsa tradisional, dalam artian terikat kuat dengan tradisi. Dalam hal ini, Hassan Hanafi menyikapinya dalam rangka untuk tidak mengulangi “kesalahan” sekularis dan tidak “memubazirkan” warisan yang ada di tangan. Adapun ketika menyikapi Barat, ia berupaya menolak secara de jure, tetapi menerima secara de facto. Hal itu karena ia menilai bahwa upaya Islam keluar dari bayang-bayang Barat dengan cara menolak Barat sama sekali merupakan langkah yang tidak tepat. Baginya, hal itu seperti “membetulkan sesuatu yang salah dengan cara yang salah”(Hanafi, 1999 : 348). Dari situlah kemudian muncul pemikiran oksidentalisme sebagai salah satu pemikiran penting Hassan Hanafi. Oksidentalisme sebagai manifestasi sikap terhadap Barat ini muncul untuk meng-counter balance orientalisme dan meredam westernisasi. Selain oksidentalisme, Hassan Hanafi juga memunculkan gebrakan baru yang dikenal dengan nama Kiri Islam. Terma Kiri Islam ini sendiri kemudian memunculkan kontroversi. Salah satu pemicunya barangkali istilah “kiri” yang telanjur dikonotasikan sebagai hal negatif dalam Islam, bahkan bila dikaitkan langsung dengan ayat-ayat AlQur`an, seperti dalam surah al-Wâqi’ah ayat 41 (Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu). Namun, semua itu dijawab oleh Hassan Hanafi dengan tangkas; mengapa ia harus memunculkan dan memopulerkan Kiri Islam. B. Teologi Liberalisme Hassan Hanafi Salah satu konsep yang diusung Hassan Hanafi dalam membumikan nilai-nilai Islam adalah teologi pembebasan ( ), teologi ini berbasis pada humanisme atau kemanusiaan. Menurutnya, konsep ini menjadi oposisi yang efektif, untuk membentuk bingkai posisi Islam dalam ranah antara tradisionalisme dan sekularisme, antara konservatisme dan progresivisme, serta antara fundamentalisme dengan westernisme. Dalam teologi liberalismenya, Hassan Hanafi menggunakan konsep tauhid sebagai tonggak utamanya. Dia mengejawentahkan makna tauhid sebagai berikut. 3 1. Tauhid berarti kesatuan manusia yang jauh dari bentuk dualisme, seperti sikap kemunafikan, bermulut dua sesuai keadaan, dsb. 2. Tauhid berarti kesatuan masyarakat tanpa kelas; karena perbedaan kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan hak. 3. Tauhid berarti sebagai kesatuan umat manusia tanpa adanya diskriminasi ras (Hanafi, 2003 : 34). Konsep tauhid ini memunculkan iman, amal, imamah, dan baiat (sumpah). Konsep tauhid Hassan Hanafi bertolak pada adz-Dzat (kesadaran murni) dan ash-Shifat (kesadaran spesifik). Adz-Dzat bermakna transisi hakikat, esensi, subtansi, wujud mutlak, dan superioritas. Upaya penetapan adz-Dzat harus dilakukan sebelum mengetahui adzDzat itu sendiri, yakni perpindahan dari hakikat alam indrawi menuju hakikat kesadaran. Karena tidak mungkin mengetahui sesuatu sebelum menetapkan sesuatu itu terlebih dulu. Adz-Dzat (kesadaran murni) ini merupakan kesadaran alam, kesadaran manusia, dan kesadaran yang membedakan pangkal teori wujud untuk menetapkan paradoks-paradoks yang ada. Adz-Dzat ditandai dengan enam sifat: al-wujud, al-qidam, al-baqa', almukhalafah lil-hawadits, al-qiyam bin-nafsi, dan al-wahdaniyah. Ash-Shifat (kesadaran tertentu) ini merupakan kesadaran pribadi kemanusiaan. Ash-Shifat ini ditandai dengan tujuh sifat: al-'ilmu, al-qudrah, al-hayat, as-sam', al-bashar, al-kalam, dan al-iradah. Tauhid adz-Dzat dan ash-Shifat ini bukanlah tauhid secara mutlak premis positif (contoh: Allah Maha Mengetahui/al-'Alim) maupun premis negatif (contoh: Allah tidaklah bodoh), tetapi tauhid ini merupakan tauhid praktis melalui realisasi sifat-sifat enam, sifat-sifat tujuh, dan 99 asmaul-husna dalam kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial. Jika sifat-sifat ini sudah terealisasi melalui tindakan, maka sifat-sifat itu tidak akan masuk sebagai predikat dalam premis-premis teoritis konstruktif yang menjadikan "Allah" sebagai objek di dalamnya, karena Allah itu sendiri merupakan kesadaran manusia, yang menjadi motivator manusia, yang berada jauh di luar alam, terpisah dari manusia, dan telah memfosil (tidak bisa diganggu gugat), walaupun manusia berupaya sekuat tenaga untuk mencapainya melalui shalat, ibadah, berdoa, munajat, berpikir, dan lain sebagainya. Dari sini muncul perbedaan antara tauhid teoretis dan tauhid praktis (amaliyah). Tauhid teoritis adalah tauhid adz-Dzat dan ash-Shifat, 4 sedangkan tauhid praktis adalah realisasi sifat-sifat tersebut ke dalam kehidupan individu maupun sosial. Dalam penerapannya, tauhid praktis ini menjadi slogan utama salah satu pergerakan reformasi modern. Di mana slogan yang diusungnya adalah merekonstruksi tauhid " ﺣﻖ ﷲ " bukan mengukuhkan " ". Maksud " " adalah hak hamba untuk mendapatkan kembali kesadaran mereka yang memfosil nun jauh di sana, serta mengemban amanat risalah dan merealisasikannya di alam dunia. Di sini Allah merupakan sumber, tujuan, pusat, fokus, dan target. Sedangkan " " adalah realisasi risalah Allah dengan menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Hubungan manusia dengan Allah di sini adalah hubungan hak timbal balik. Tauhid praktis dalam bingkai amal adalah hasil, sedangkan dalam bingkai iman adalah maksud atau tujuan. Pada hakikatnya, objek tauhid adalah mukadimah bagi objek iman dan amal. Amal di sini adalah amal terencana yang menempati posisi pengetahuan sebelumnya maupun pengetahuan yang baru ada ketika melakukan amal tersebut, serta menempati kemurnian faktor pendorong dan tujuan yang jelas. Sedangkan iman adalah kemurnian tujuan dan keharmonisannya dengan tujuan secara menyeluruh. "Allah" dalam prilaku merupakan kekuatan pendorong, kemurnian prilaku, ruang lingkup tujuan dan keumumannya, pencurahan kemampuan dan potensinya, dan kesiapan berkorban dan bersaksi. Awal amal manusia adalah tindakan merasa sebelum tindakan eksternal. Tauhid merupakan amal merasa, dan tindakan merasa itu merupakan perbuatan manusia yang berlandaskan pada kesadaran untuk meningkatkan derajat religinya. Amal merupakan tauhid yang melakukan tindakan merasa, tindakan menolak dan menafikan, tindakan menerima dan menetapkan, menolak segala kekuatan dusta dan menyimpang syariat (seperti kekuatan menolak perbudakan, pemaksaan, penganiayaan, dan kelaliman), kekuatan keadilan dan persamaan, serta kekuatan liberasi dan revolusi. Selain iman dan amal yang merupakan derivasi tauhid, imamah dan baiat juga merupakan bagian dari derivasi tauhid. Konsep imamah dicetuskan oleh kaum Syiah, dan menjadi landasan ideologi mereka, bahkan menjadi salah satu rukun iman yang harus 5 dipegang erat. Dalam pandangan Syiah, seorang imam (pemimpin yang mereka pilih) adalah maksum dan harus dipatuhi secara mutlak dan tidak bisa ditentang. Dalam perspektif Syiah, kekuasaan imam ini hampir menyamai Rasul atau bahkan Tuhan. Segala perintahnya harus dipatuhi dan diimani kebenarannya, meski hal itu salah. Konsep imamah dalam Syiah menjadi bagian dari ilmu kalam mereka, sementara menurut Sunni, hanya masuk dalam pembahasan fiqih (pembahasan ulil amri). Sebagai seorang beraliran Sunni, secara teologi Hassan Hanafi tidak mengakui imam maksum, namun konsep imamah yang diusung Syiah itu diakui oleh Hasan Hanafi dalam ranah politik. Secara politis, Hasan Hanafi mengapresiasi revolusi Iran dan tokoh yang diapresiasinya adalah Ayatullah Khomeini. Dalam pandangan Hanafi, imamah itu adalah kepemimpinan sekuler. Jadi, menurutnya, dalam bingkai politik, antara Sunni dan Syiah terdapat kemiripan dalam konsep imamah. C. “Kiri Islam” Hassan Hanafi Hassan Hanafi merupakan salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar: pembaruan pemikiran Islam dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan serta melepaskan diri dari kolonialisme modern. Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaruan rekonstruksi Islam yang ia kemas dalam konsep besar at-Turâts wat-Tajdîd (Turats dan Pembaruan), dan al-Yasâr al-Islâmî (Kiri Islam) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kepanjangan dari gagasan al-Urwatul-Wutsqâ-nya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama ‘kiri’ sangat penting karena dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, Kiri Islam adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respons Islam terhadap Barat. Hanafi berpendapat Kiri Islam merupakan resultan dari gerakan-gerakan kaum muslimin di Afghanistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional. Umat Islam di negara-negara tersebut ingin memelihara otentisitas dan kreativitas dalam memperjuangkan kepentingan 6 mereka, serta menggerakkan umat Islam di tempat lain. Esensi Kiri Islam adalah pencurahan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman ini, berupa: imperialisme, zionisme, dan kapitalisme yang merupakan ancaman eksternal, serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan sebagai ancaman internal. Kebangkitan Islam yang diupayakan oleh Hassan Hanafi berbeda dengan kebangkitan Islam yang diusung oleh kaum neo-revivalis yang lebih mengedepankan apologi ideologis dan simbol-simbol keagamaan. Hassan Hanafi lebih mengedepankan tradisi dan pembaharuan pemikiran dalam Islam guna mengisi wacana kebangkitan Islam itu. Kebangkitan Islam merupakan kebangkitan rasionalisme untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) khazanah klasik Islam, melakukan perlawanan wacana terhadap dominasi kebudayaan Barat, dan melakukan analisis kembali terhadap dunia Islam. Istilah “Kiri Islam” mulai mencuat setelah terbit jurnal dengan nama yang sama pada tahun 1981, tepatnya: al-Yasâr al-Islâmî; Kitâbât fin-Nahdhah al-Islâmiyyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) (Hanafi, 2000 :xii). Benih-benih Kiri Islam muncul sejak Hassan Hanafi mulai mengalami kegelisahan intelektual keislaman. Ia mulai melakukan sebuah pertarungan wacana keislaman di mana seyogianya Islam segera melakukan sebuah pengembangan dalam wawasan kehidupan yang lebih progesif dengan dimensi pembebasan (taharrur, liberation). Watak dari progesif itu bertumpu pada beberapa unsur penopang. Gagasan keadilan sosial seharusnya segera dilaksanakan dalam penegakannya bila benar-benar merujuk pada fungsi manusia sebagai pelaksana tugas-tugas ketuhanan (Khalifah Allah) dalam kehidupan ini. Manusia memiliki otonomi khusus guna menyukseskan tegaknya keadilan sosial. Nama Kiri Islam muncul secara spontan. Sebutan itu sebagai bentuk penggambaran arus perjalanan kehidupan yang berkembang di masa itu dalam sebuah esai-esai. Dalam ilmu politik, Kiri Islam merupakan sebuah resistensi dan kritisisme yang menjelaskan antara realitas dan idealisme. Kiri Islam berada dalam sebuah barisan orangorang yang terkuasai, yang tertindas, kaum miskin (Shimogaki, 2001 : 88). Kiri Islam lahir setelah metode pembaharuan masyarakat kita dalam beberapa generasi mengalami keberhasilan yang relatif atau bisa dikatakan sebagian besar gagal. 7 Terutama terkait dengan pengentasan keterbelakangan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal; pertama, berbagai tendensi keagamaan yang terkooptasi oleh kekuasaan menjadikan Islam hanya sekadar ritual ukhrawi. Sebab pada dasarnya realitas Islam bukan merupakan representasi dari sistem Islam, sehingga ritualitas yang ada hanya sebagai kedok belaka bagi kepentingan dominasi Barat dan kapitalisme nepotis. Sedangkan kecendrungan keagamaan yang tidak terkooptasi terjebak dalam fanatisme primordial, kejumudan, dan berorientasi kekuasaan. Mereka lebih menyibukkan diri pada perspektif ketuhanan dan pencitraan yang statis terhadap realitas. Sementara perspektif kemanusiaan dan pencitraan terhadap sejarah dan gerak masyarakat ditinggalkan. Kedua, liberalisasi yang pernah berkuasa sebelum masa-masa revolusi yang terakhir ternyata didikte oleh kebudayaan Barat yang hanya melayani kepentingankepentingan kelas-kelas elite yang berperilaku laksana kolonial yang menguasai pemerintahan dan aset-aset negara. Sedangkan keberadaan masyarakat ditempatkan di luar arena yang hanya tampak dalam kerjap –kerjap revolusi. Ketiga, Marxisme yang berpretensi mewujudkan keadilan sosial dan melakukan perlawanan kepada kolonialisme ternyata tidak diikuti oleh dengan pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai energi guna mewujudkan tujuan kemerdekaan nasional. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil melakukan perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak berumur lama, banyak mengandung kontradiksi dan tidak memengaruhi kesadaran mayoritas rakyat. Kiri Islam juga mendapatkan sebuah inspirasi dari keberhasilan revolusi Islam akbar di Iran yang menghentakkan dunia. Di mana rakyat muslim tegak kukuh melawan tekanan militer dan membungkam rezim Syah atas nama “Islam” dan kekuatan “Allah Mahabesar, penumpas kaum otoriter”. Kiri Islam juga merupakan sebuah resultan gerakan-gerakan kaum muslimin di Afganistan, Melayu, Filipina, Pakistan, dan Aljazair untuk memunculkan Islam sebagai khazanah nasional yang senantiasa memelihara otentisitas dan kreativitas kaum muslimin, memperjuangkan kepentingan, dan mendinamisasi rakyat muslim di setiap tempat. Peradaban Barat merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh Kiri Islam. Jika al-Afghani mengingatkan akan imperialisme militer, Hassan Hanafi intens mengingatkan ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multinasional, sekaligus 8 mengingatkan pada kita akan ancaman kebudayaan. Imperialisme kebudayaan melakukan sebuah penyerangan dari dalam dan melepaskan afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri sehingga umat tercerabut dari akarnya. Untuk itu, Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam (dari tradisi sendiri) dan melakukan sebuah perlawanan terhadap westernisasi. Tugas Kiri Islam adalah melakukan pengawalan dan melakukan pemilahan Barat. Artinya, mengembalikan kepada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos “mendunia” yang selama ini dibangun melalui upaya menjadikan Barat sebagai pusat peradaban dunia dan berambisi menjadikan kebudayaan Barat sebagai “paradigma” kemajuan bangsabangsa lain. Kiri Islam juga melakukan penarikan peradaban Barat bersama kekuatan militernya ke dalam batas-batas Barat. Hassan Hanafi lalu menjadikannya sebagai objek studi, bahkan membangun ilmu baru yang diberi nama “oksidentalisme” guna menandingi orientalisme. Dengan demikian Kiri Islam tidaklah semata-mata berupa perspektif politik terhadap realitas, juga bukanlah perspektif kultural terhadap masa lampau, melainkan merupakan pandangan kebudayaan terhadap sejarah bangsa-bangsa. Kiri Islam tidak bertumpu pada retorika belaka, tetapi bertumpu pada analisis ilmiah akademisi yang canggih dan mendiagnosa kultur Barat dalam rangka membebaskan umat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dahulu terhadap kebudayaan-kebudayaan destruktif. Kiri Islam senantiasa mencurahkan segala potensi untuk menghadapi puncak problematika zaman; yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme yang merupakan bagian dari ancaman eksternal serta kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan yang merupakan ancaman internal. Dalam konteks revolusi keagamaan, Kiri Islam tidak hanya mendeklerasikan revolusi bagi kaum muslimin, tetapi juga revolusi Ahlul Kitab yang merupakan representasi dari khazanah dan sejarah nasional rakyat. Tidak ada lagi perbedaan antara Islam dan gereja-gereja dalam melakukan perjuangan dalam melawan kolonialisme Barat. Kiri Islam berpretensi guna menjaga kretivitas historis bangsa-bangsa dan menolak supervisi kultural dari Barat. Pemikiran Kiri Islam yang lahir di Mesir yang merupakan pusat dunia Islam dan jantung Arabisme. Dia bukanlah partai politik yang beroposisi dan tidak menganjurkan 9 siapa pun untuk melakukan pemberontakan pada pemerintahan yang sah. Karena bagi Kiri Islam yang paling mendasar adalah medan percaturan pada kebudayaan dan kesadaran historis rakyat. Kiri Islam tidaklah terpengaruh bayang-bayang kejayaan Islam. Tujuan Kiri Islam justru untuk mengubah bayang-banyang itu menjadi wacana pemikiran, dialog, dan pencerahan agar kejayaan Islam dapat termanifestasikan dalam wujud kesejahteraan rakyat; tidak terjebak hanya dalam tarikan yel-yel, perayaan dan ritual, panjang jenggot, tasbih di jalan-jalan, kumandang bacaan Al-Qur`an, pembangunan masjid, menara, azan, serta dekorasi ayat Al-Qur`an di tempat-tempat ibadah. Oleh karena itu, Kiri Islam mengekspresikan kebutuhan umat Islam dewasa ini terhadap pemikiran dan institusi, gerakan perubahan, dan pembaruan. Jadi, Kiri islam menampilkan diri dengan bahasa konvensional yang menggabungkan antara analisis dan ajakan yang ditujukan kepada awam ataupun elite. D. Penutup Islam sebagai agama, hidup dinamis yang menyeru struktur kesadaran manusia, hati, dan akal untuk mengendalikan diri sesuai dengan ketentuan Tuhan. Umat Islam pada akhirnya terjerembab pada pertimbangan yang kadang terlalu rasional dan terkadang terlalu menekankan efektivitas spiritual. Sikap Hanafi yang kritis terhadap model pemikiran sufistik yang egois dengan melakukan pembelaan individual tanpa melihat dan mempertimbangkan realitas sosial umat Islam. Gagasan tranformasi sosial Hanafi lebih banyak menekankan pada revitalisasi tradisi Islam yang dianggap sebagai alternatif terbaik. Hassan Hanafi bisa dikatakan sebagai tokoh yang menolak sufisme, dan ini merupakan kelemahan dan inkonsistensi Hanafi, karena di sisi lain Hanafi juga mengagumi gerakan berbasis sufisme seperti Sanusiyah, Mahdiisme (di Sudan) dan Omar Mukhtar (di Libya). Reaktualisasi tradisi Islam yang dilakukan Hassan Hanafi sebagai komponen utama dalam transformasi sosial muncul sebagai respons terhadap modernisme destruktif. Dalam dunia Islam, modernisme dianggap sebagai ancaman serius terhadap kebudayaan dan peradaban mereka, sehingga umat Islam mencoba untuk mengatasinya dengan berdasar pada tradisi mereka sendiri. 10 Dengan reaktualisasi tradisi Islam, Hassan Hanafi berupaya melakukan pembebasan umat Islam dari berbagai ancaman. Melalui gagasan-gagasannya, Hassan Hanafi mencoba untuk membongkar imperialisme kontemporer, rasisme Barat, dan salibisme historis yang terselubung. Menurut Hassan Hanafi, hal itu bertentangan dengan Islam yang secara objektif menolak pemusatan modal secara individual. Kapitalisme digambarkan Hassan Hanafi sebagai kediktatoran dan dominasi yang selalu beraliansi dengan feodalisme, kaum reaksioner, dan imperialisme. Untuk membangun nasionalisme Arab-Islam yang independen dalam upayanya melawan Barat, Hassan Hanafi memunculkan disiplin ilmu baru yang disebut dengan oksidentalisme. Namun, oksidentalisme yang diinginkan Hassan Hanafi bukan seperti orientalisme yang pernah dipakai Barat sebagai alat penjajahan. Dalam tradisi Barat sendiri, oksidentalisme juga bukan hal yang baru.۞ Daftar Pustaka Hanafi, Hassan dan al-Jabiri, Abid, Muhammad.1990. Hiwâr al-Masyriq walMaghrib. Beirut: al-Mu`assasah al-’Arabiyyah. Hanafi, Hassan. 2003. Cakrawala Baru dan Peradaban Global. Yogyakarta: LkiS. ____________. 1988. Dirâsât Islâmiyyah. Cairo: Maktabah al-Anjalû al-Mishriyyah. ____________.1999.ats-Tsaqâfah al-’Arabiyyah bainal-’Aulamah wal- Khushûshiyyah; al-Isykâl an-Nazharî, dalam Abdul Lathif Abad dan Hamid Thahir (ed.), al-Islâm fî ‘Ashril-‘Aulamah. Cairo: Cairo University. ____________.2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina. ____________. 1988. Minal-‘Aqîdah ilats-Tsaurah; al-Mujallad ats-Tsânî (atTauhîd). Cairo: Maktabah Madbuli. Shimogaki, Kazuo. 2001. Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula. Yogyakarta: LkiS. 11