BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Bangun-bangun (Plectranthus amboinicus L.) adalah tumbuhan tropis yang daunnya memiliki aroma tertentu dan termasuk dalam suku Lamiaceae. Tanaman ini banyak ditemukan di India, Ceylon, dan Afrika Selatan. Daunnya yang berasa pahit dan pedas telah banyak digunakan secara tradisional untuk berbagai pengobatan (Patel, dkk., 2010). 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Menurut Herbarium Medanense, (2016) taksonomi dari daun bangunbangun adalah : Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Lamiales Suku : Lamiaceae Marga : Coleus Jenis : Coleus amboinicus L Nama lokal : Bangun-bangun 2.1.2 Sinonim Plectranthus amboinicus Lour. Coleus aromaticus Benth (Patel, dkk., 2010). Plectranthus aromaticus Roxb., Coleus carnosus Hassk (Dalimartha, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.1.3 Nama Daerah Beberapa daerah di Indonesia, tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Masyarakat Sumatera Utara menyebutkannya bangun-bangun atau torbangun, daun jinten, daun hati-hati, daun sukan. Jawa: daun ajeran (Sunda). Nusatenggara: iwak, kumu etu, bumbu jo (Depkes RI, 1989). 2.1.4 Nama Asing Daun ini juga dikenal di negara lain misalnya Inggris dengan sebutan country borage, indian mint, mexican mint, di Vietnam disebut tan day la, sedangkan di Cina disebut zuo shou xiang, yin du bo he, dao shou xiang dan di Jepang disebut kuuban oregano (Patel, dkk., 2010). 2.1.5 Morfologi Daun Bangun-Bangun Daun bangun-bangun memiliki ciri-ciri daun tunggal, berwarna hijau, helaian daun berbentuk bundar telur, kadang-kadang agak membundar, panjang helaian daun 3,5 cm sampai 6 cm, lebar 2,5 cm, pinggir daun beringgit atau agak berombak, tangkai daun panjang 1,5 cm sampai 3 cm, tulang daun menyirip. Pada keadaan segar helaian daun tebal, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol sehingga membentuk bangunan menyerupai jala, permukaan atas berbingkul-bingkul, berwarna hijau muda, permukaan bawah berambut halus berwarna putih. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat sampai coklat tua, permukaan bawah berwarna lebih muda dari permukaan atas, tulang daun kurang menonjol, pada kedua permukaan terdapat rambut halus berwarna putih (Depkes, 1989). Universitas Sumatera Utara 2.1.6 Kandungan Kimia Daun Bangun-Bangun Kandungan kimia daun bangun-bangun adalah glikosida, karbohidrat, asam amino, protein, flavonoid, tanin, senyawa fenol, dan terpenoid, minyak atsiri (karvakrol, eugenol, limonen, mirsen, pinen, selenen, terpinen, timol, dan verbenon), vitamin C, vitamin B12, beta karoten, niasin, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Terdapat juga apigenin, cirsimaritin, eriodictyol, genkawanin, luteolin, kuersetin, salvigenin, taxifolin, asam oksaloasetat, crategolic, asam ursulat, sitosterol (Santosa dan Hertiani, 2005; Rout, dkk., 2010). 2.1.7 Khasiat Daun Bangun-Bangun Daun bangun-bangun berkhasiat sebagai antioksidan, anti tumor, anti mutagenik, mengobati bronkitis, asma, diare, epilepsi, demam, batuk, sakit kepala, gangguan pencernaan, dispepsia, konvulsi, batu ginjal, disentri, kolera, antimikroba, antimutagenik, antijamur (Rout, dkk., 2010), sakit gigi, gangguan pendengaran, gangguan saluran cerna (Chandrappa, dkk., 2010), malaria, obat cacing, hepatoprotektif (Kaliappan, et al., 2008), obat luka, sariawan, mencegah kanker, antivertigo, diuretik, antiinfertilitas, immunostimulan, hipokolesterolemik, antiradang, meningkatkan total volume ASI (Santosa dan Hertiani, 2005). 2.2 Uraian Kandungan Kimia Daun Bangun-Bangun 2.2.1 Flavonoid Flavonoida mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan tinggi, flavonoida terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun pada bunga. Pigmen bunga flavonoida berperan jelas untuk menarik burung dan Universitas Sumatera Utara serangga penyerbuk bunga. Beberapa fungsi flavonoida pada tumbuhan ialah pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus serta antiserangga (Robinson, 1995). 2.2.2 Saponin Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa latin sapo berarti sabun). Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengiritasi selaput lendir. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok. Dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun (Robinson, 1995; Gunawan, et al., 2002). 2.2.3 Glikosida Glikosida adalah suatu senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon atau genin). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007). 2.2.4 Steroid/triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Triterpenoid adalah senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard (asam asetat anhidrida – H2SO4 pekat) yang kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau biru. Steroida adalah triterpena yang Universitas Sumatera Utara kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren (Harborne, 1987). Fitosterol merupakan senyawa steroida yang berasal dari tumbuhan. Senyawa fitosterol yang biasa terdapat pada tumbuhan tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne, 1987). 2.3 Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: Cara dingin a. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2000). b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses Universitas Sumatera Utara initerdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) (Depkes RI, 2000). Cara panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000). b. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus yaitu soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000). c. Digestasi Digestasi adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes RI, 2000). d. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 960-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000). e. Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama yaitu ± 30 menit dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). Universitas Sumatera Utara 2.4 Radikal Bebas Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh seperti pada waktu kita bernapas (hasil samping proses oksidasi atau pembakaran), dan pada saat terjadi infeksi. Pada saat terjadi infeksi, radikal bebas diperlukan untuk membunuh mikroorganisme penyebab infeksi. Tetapi paparan radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sel, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel (Ramadhan, 2015). Radikal bebas bersifat reaktif, dapat menyebabkan kerusakan sel, mengurangi kemampuan adaptasi sel, bahkan kematian sel sehingga menyebabkan timbulnya penyakit. Sumber radikal bebas yang ada di tubuh manusia berasal dari 2 sumber yaitu sumber endogen dan sumber eksogen. Sumber endogen yang berasal dari proses metabolik yang normal dalam tubuh manusia seperti reaksi autooksidasi, oksidasi enzimatik, maupun proses respiratory burst. Sumber eksogen yang berasal dari luar tubuh manusia seperti radiasi, asap rokok, penipisan lapisan ozon, bahan kimia, toksin, sinar uv akan meningkatkan kadar radikal bebas secara mendadak (Ramadhan, 2015). Ada kemiripan antara oksidan dan radikal bebas dalam sifat-sifatnya. Aktivitas kedua jenis senyawa ini sering menghasilkan akibat yang sama walaupun prosesnya berbeda. Keduanya harus dibedakan dipandang dari sudut ilmu kimia. Oksidan adalah senyawa penerima elektron yaitu senyawa-senyawa yang dapat menarik elektron, misalnya adalah ion ferri (Fe3+), sebaliknya radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tak berpasangan. Universitas Sumatera Utara Oleh karena itu, radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas (Ramadhan, 2015). Radikal bebas lebih berbahaya dibanding oksidan karena elektron yang tak berpasangan cenderung untuk membentuk pasangan yang terjadi dengan menarik elektron dengan reaktivitas tinggi dari senyawa lain sehingga terbentuk radikal baru, yang pada gilirannya apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah rantai reaksi (chain reaction) dan akan berhenti apabila radikal bebas tersebut dapat diredam (quenched) (Ramadhan, 2015). Penyebab utama dari proses penuaan dan berbagai penyakit degeneratif adalah pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi yang berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam makhluk hidup adalah ROS (Reactive Oxygen Spesies), yaitu hidroksil (OH-), superoksida (O2-), nitrogen monooksida (NO-), dan peroksil (RO2-), sementara hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet (O2), dan ozon (O3) bukanlah radikal, tetapi dengan mudah dapat menjurus ke reaksi-reaksi radikal bebas (Silalahi, 2006). 2.4.1 Radikal Ion Superoksida (O2-) Radikal ion superoksida disebut juga anion superoksida. Senyawa ini diproduksi di berbagai tempat yang memiliki rantai transport elektron. Menurut Elstner (1991), oksigen teraktivasi dapat terjadi dalam berbagai bagian sel, termasuk mitokondria, kloroplas, mikrosom, glikosom, peroksisom, dan sitosol. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ditemukan enzim superoksida dismutase dalam subseluler tersebut dan menurut Fridovich (1986), menyatakan bahwa ion superoksida yang terbentuk dalam kloroplas, mitokondria, dan peroksisom Universitas Sumatera Utara merupakan bentuk senyawa oksigen yang sangat reaktif (Winarsi, 2007). Menurut Winarsi (2007), pembentukan radikal ion superoksida ini melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: a. Reaksi samping dalam reaksi yang melibatkan Fe2+, misalnya dalam proses: i. Fosforilasi oksidatif ii. Oksigenasi hemoglobin iii. Hidroksilasi oleh enzim monooksigenase (dalam sitokrom P450 dan sitokrom b4). iv. Fe2+ + O2 Fe3+ + O2·b. Reaksi dalam mitokondria dan granulosit yang dikatalisis oleh NADH/NADPH oksidase. Reaksinya sebagai berikut: NADH + O2 NAD+ + H+ + O2·NADPH + O2 NADP+ + H+ + O2·- 2.5 Stres Oksidatif Stres didefinisikan sebagai mekanisme homeostasis untuk mendukung penyesuaian terhadap tantangan dari lingkungan, yang berpengaruh terhadap perkembangan dan stimulasi ekspresi yang diinduksi perubahan plastis pada fungsi otak dan tingkah laku (Bohus, dkk., 1995). Stres oksidatif dapat mengakibatkan kerusakan pada semua target molekuler seperti DNA, protein dan lipid (peroksidasi lipid) yang berefek pada kerusakan jaringan (Halliwell, 2001). Penyebab utama kerusakan oksidatif di dalam tubuh adalah senyawa oksidan, baik yang berbentuk radikal bebas ataupun bentuk senyawa oksigen reaktif lain yang bersifat sebagai oksidator. Stres Universitas Sumatera Utara oksidatif yang berakibat kerusakan oksidatif adalah keadaan dimana rendahnya antioksidan dalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan (Winarsi, 2007). 2.6 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat. Antioksidan dapat memberikan elektronnya secara cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas (Ramadhan, 2015). Antioksidan melindungi molekul target antara lain dengan cara (Priyanto, 2009): a. Menangkap radikal bebas dengan menggunakan protein atau enzim (sebagai katalis) atau bereaksi langsung. b. Mengurangi pembentukan radikal bebas dengan merubahnya menjadi radikal bebas yang kurang aktif atau merubahnya menjadi senyawa non radikal (SOD, GSH-Px /glutation peroksidase, katalase). c. Mengikat ion logam yang dapat menyebabkan timbulnya reaksi Fenton yang menghasilkan radikal bebas (seruloplasmin, transferin). d. Melindungi komponen sel utama yang menjadi sasaran radikal bebas (vitamin E dan C, sebagai donor elektron). e. Memperbaiki target organ dari radikal bebas yang telah rusak. f. Menggantikan sel yang rusak dengan sel baru (protease, fosfokinase). Universitas Sumatera Utara Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier (Winarsi, 2007). a. Antioksidan Primer Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenus atau antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px). Superoksida dismutase bekerja dengan cara mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2, sedangkan katalase dan glutation bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 (Winarsi, 2007). Tubuh dapat menghasilkan enzim antioksidan yang aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut kofaktor, diantaranya tembaga, seng, selenium, mangan dan besi. Enzim ini memiliki berat molekul 30.000 atau lebih (Winarsi, 2007). b. Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau antioksidan non-enzimatis. Perbedaan utama antioksidan primer dengan sekunder adalah antioksidan sekunder tidak mengubah radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil. Fungsi antioksidan sekunder adalah meningkatkan aktivitas antioksidan primer. Antioksidan sekunder berperan sebagai chelator untuk ion logam Universitas Sumatera Utara (metaldeactivator), menon-aktifkan singlet oxygen, menyerap radiasi ultraviolet, atau berperan sebagai oxygen scavanger (Ayucitra, dkk., 2011). Antioksidan non-enzimatis dapat berupa antioksidan alami maupun sintesis. Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E, karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanol, dan kalkon. Sedangkan antioksidan sintetik yang umum digunakan misalnya butil hidroksianisol (BHA), butil hidroksitoluen (BHT), propil galat (PG), and tert-butilhidrokuinon (TBHQ) yang digunakan pada konsentrasi rendah dalam makanan (Ramadhan, 2015). c. Antioksidan Tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007). 2.7 Flavonoid sebagai Antioksidan Non-Enzimatis Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi. Menurut Snyder dan Kwon (1987), komponen tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan terikat atau terkojugasi dengan senyawa gula. Berbagai sayuran dan buah-buahan yang dapat dimakan mengandung sejumlah flavonoid dan konsentrasi tertinggi berada pada daun dan kulit kupasannya dibandingkan dengan jaringan yang lebih dalam (Winarsi, 2007). Universitas Sumatera Utara Flavonoid terdiri atas struktur dasar 2-fenil-benzo-δ-piran atau inti flavan dimana dua cincin benzen dihubungkan oleh cincin piran yang mengandung oksigen, sehingga dari turunannya dapat dibagi atas flavonol, flavon, dan isoflavon. Beberapa contoh yang terdapat dalam pangan adalah mirisetin, quersetin, luteolin, apigenin, genistein dan krisin (Ramadhan, 2015). Flavonoid memiliki sifat antioksidan dengan perannya sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil yang bersifat reduktor sehingga dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas. Flavonoid juga dapat membentuk kompleks (kelat) dengan ion logam transisi, misalnya besi sehingga tidak lagi bertindak sebagai peroksidan. Dengan demikian, oksidasi vitamin C dapat dicegah (Ramadhan, 2015). Menurut Robak dan Gryglewski (1988), di samping berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi, dan antivirus (Winarsi, 2007). Quersetin adalah senyawa golongan flavonol yang banyak terdapat dalam sayuran dan buah-buahan berpotensi sebagai antioksidan. Quersetin memiliki 5 gugus –OH bebas, potensi antioksidan ditunjukkan oleh posisi gugus hidroksilnya yang mampu langsung menangkap radikal bebas. Flavonoid mengamankan sel dari serangan senyawa oksigen reaktif seperti oksigen singlet, superoksida, radikal peroksil, radikal hidroksil, dan peroksinitrit. Menurut Robak dan Gryglewski (1988), Husain, et al., (1987), Huguet, et al., (1990), dan Tores, et al., (1986), quersetin memiliki sifat antiradikal paling kuat terhadap radikal hidroksil, peroksil, dan anion superoksida. Rutin juga bersifat antioksidan, efeknya sebanding dengan quersetin. Senyawa antioksidan ini bekerja jika moietas gula Universitas Sumatera Utara diketahui melebihi aktivitas flavonoid. Menurut Ratty dan Das (1988), antioksidan ini diduga dapat mencegah serangan lipid membran. Menurut Morel, et al., (1993) dan Puppo (1992), Rutin menunjukkan kerjanya sebagai inhibitor peroksidasi lipid yang bergantung pada Fe, karena senyawa ini dapat membentuk kompleks inert bersama Fe. Efek penghambatan flavonoid rutin dan quersetin terhadap proses peroksidasi lipid bergantung pada ion Fe dalam lesitin liposom. Rutin dan quersetin secara signifikan lebih efektif menghambat sistem peroksidasi lipid yang tergantung pada ion Fe. Pengkelatan ion Fe menyebabkan kompleks ion inert dan tidak dapat mengawali terjadinya terjadinya peroksidasi lipid. Pada saat yang sama, aktivitas radikal bebas kompleks ion-flavonoid dapat dihentikan. Menurut Afanas’ev, et al., (1989), rutin dan quersetin menghambat pembentukan radikal bebas ion superoksida, reaksi hidroksil dalam reaksi Fenton, dan radikal peroksi lipid (Winarsi, 2007). 2.8 Doksorubisin Doksorubisin (DOX) adalah obat antikanker golongan antrasiklin yang sangat efektif dan telah digunakan selama lebih dari empat dekade untuk mengobati berbagai neoplasma pada manusia (Xi, et al., 2011). Salah satu mekanisme doksorubisin sebagai agen kemoterapi melalui pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA atau peroksida lipid (Gewirtz, 1999). Enzim topoisomerase adalah target yang penting pada pemakaian obat ini, karena enzim ini mempertahankan struktur 3 dimensi DNA dalam proses replikasi, transkripsi, repair dan rekombinasi DNA. Topoisomerase ini akan bekerja melalui pemotongan dan penyambungan rantai DNA serta mengganggu Universitas Sumatera Utara penyambungan rantai DNA. Rantai DNA dirusak oleh radikal bebas yang terbentuk. Mekanisme lain adalah kerusakan bagian sel oleh reaksi oksidasi yang diakibatkan oleh senyawa intermediet yang terbentuk. Senyawa ini mampu merusak berbagai makromolekul yang ada, terutama DNA, protein dan membran sel (Siahaan, dkk., 2007). Namun penggunaannya obat kemoterapi ini telah dibatasi terutama disebabkan toksisitas radikal bebas yang beragam, termasuk di dalam jantung, hati, hematologi dan toksisitas testis (Hassanen, dkk., 2015). Terdapat dua mekanisme doksorubisin dalam menginisiasi terbentuknya oksigen radikal, yaitu (Siahaan, dkk., 2007): a. Perubahan reaksi superoksida anion (O2·-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dikatalisis oleh SOD . Hidrogen peroksida merupakan molekul yang relatif stabil dan toksisitasnya sangat rendah. Pada fisiologis normal, hidrogen peroksida dieliminasi dari tubuh oleh sistem pertahanan enzim CAT dan GPx. Namun dengan adanya logam transisi seperti besi, maka hidrogen peroksida dan superoksida anion dapat diubah menjadi radikal hidroksil (OH·) yang sangat reaktif dan toksik (Vergely, dkk., 2007; Torres dan Simic, 2012; Sterba, et al., 2013). Semiquinon DOX, superoksida anion, dan hidrogen peroksida dapat menyebabkan pelepasan besi dari ferritin (Chen, dkk., 2007; Minotti, dkk., 2004). Adanya besi sangat kuat mengkatalisis pembentukan OH· dalam 2 step, yaitu (1) kompleks ferri (Fe3+)-DOX direduksi menjadi kompleks ferro (Fe2+)-DOX yang dapat bereaksi dengan O2 membentuk O2·- yang akan menjadi H2O2 dan atau menghasilkan OH·. (2) kompleks ferro-DOX dapat bereaksi dengan H2O2 (dihasilkan selama reduksi DOX) menghasilkan Universitas Sumatera Utara pembentukan radikal hidroksil OH· (Torres dan Simic, 2012; Sterba, et al., 2013). b. Struktur kimia antrasiklin terdiri atas tetrasiklin yang mengandung quinon dan konjugasi amino gula. Dalam lingkungan seluler, DOX mengalami aktivasi redoks melalui interaksi DOX dengan beberapa flavoprotein oxidoreductase seperti NADPH dependent cytochrome P450 reductase, NADH dehydrogenase, xanthine oxidase. Penambahan satu elektron pada bagian ring C (reduksi elektron ring C) struktur DOX oleh NADPH-dependent reductases menghasilkan pembentukan semiquinon, yang secara cepat mengalami autooksidasi kembali menjadi senyawa awal quinon dengan mereduksi oksigen (O2 sebagai penerima elektron) menjadi reactive oxygen species (ROS) yaitu superoksida anion radikal (O2·-) (Vergely, dkk., 2007). Siklus quinonsemiquinon menghasilkan sejumlah besar superoksida anion radikal. Proses siklus tersebut dipicu oleh NADPH-oxidoreductases [cytochrome p450], mitochondrial NADH dehydrogenases, endothelial nitric oxide synthases, xanthine oxidase yang menyebabkan reaksi oksidasi, sedangkan glutathione peroxidase, catalase, dan superoxide dismutase memiliki kemampuan untuk mendeaktivasi radikal bebas (Vergely, dkk., 2007; Fogli, dkk., 2004). 2.9 Superoksida Dismutase (SOD) SOD terdapat dalam semua organisme aerob, dan sebagian besar berada dalam tingkat subseluler (intraseluler). Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn (metaloenzim) (Winarsi, 2007). SOD adalah enzim antioksidan lini pertama yang terlibat langsung dalam netralisasi ROS. SOD melakukan Universitas Sumatera Utara pertahanan terhadap radikal bebas dengan mengkatalisis dismutase dari superoksida anion menjadi hidrogen peroksida dengan reduksi. Oksidan yang terbentuk diubah menjadi air dan oksigen oleh enzim katalase (CAT) atau glutathion peroksidase (GPx). Selenoprotein (Ikatan enzim dan kofaktor ion Selenium) pada enzim GPx akan menghilangkan hidrogen peroksida dengan menggunakannya untuk mengoksidasi glutathion dehidrogenase (GSH) menjadi glutathion teroksidasi (GSSG). Glutahion reduktase (GR), yang merupakan enzim flavoprotein, meregenerasi GSH dari GSSG dengan NADPH sebagai sumber energi untuk reaksi reduksi. Selain itu, GPx juga mereduksi lipid dan nonlipid yang terpapar hidrogen peroksida selama proses oksidasi GSH (Ragavendran, dkk., 2012). Ada sistem umpan balik antara enzim-enzim endogen tersebut, peningkatan SOD akan menghambat gluthation peroksidase (GPx) dan katalase (CAT). Peningkatan H2O2akan menurunkan aktivitas CuZn- SOD. Sementara CAT dan GPx dengan mereduksi H2O2 akan menghemat SOD. SOD dengan mereduksi superoksida anion (O2-) akan menghemat CAT dan GPx. Melalui sistem umpan balik ini tercapailah keadaan SOD, CAT, GPx, O2-, dan H2O2 dalam keadaan setimbang (Ramadhan, 2015). Terdapat 3 kelompok SOD berdasarkan adanya logam yang berperan sebagai kofaktor pada sisi enzim (isoenzim), yaitu Cu/Zn-SOD, Mn-SOD, dan FeSOD. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1 Mekanisme pertahanan antioksidan endogen Superoksida dismutase (SOD), Katalase (CAT), Glutation peroksidase (GPx) dan Glutation Reduktase (GR) terhadap radikal bebas (Ragavendran, dkk, 2012). Secara subseluler, isoenzim-isoenzim ini terdistribusi di tempat-tempat yang berbeda.. Mn-SOD ditemukan dalam mitokondria dan peroksisom, sedangkan Cu/Zn-SOD ditemukan dalam sitosol, kloroplas, dan beberapa di luar sel tanaman tingkat tinggi dan Fe-SOD ditemukan berikatan dengan bagian kloroplas (Winarsi, 2007). 2.10 Histologi Histologi (Yun. Histo, jaringan, + logos, ilmu) adalah ilmu tentang jaringan tubuh dan cara jaringan ini menyusun organ-organ. Prosedur paling umum yang dipakai untuk mengamati jaringan adalah dengan membuat sediaan histologi yang dapat dipelajari dengan bantuan mikroskop cahaya. Di bawah mikroskop cahaya, jaringan diamati melalui transiluminasi (berkas cahaya yang Universitas Sumatera Utara menembus jaringan). Karena jaringan dan organ biasanya terlalu tebal untuk ditembus cahaya, jaringan tersebut harus diiris menjadi lembaran-lembaran tipis yang translusens (Junqueira dan Carneiro, 2003). Sel-sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera dan Carneiro, 2003). Kerusakan sel merupakan akibat dari ketidakmampuan adaptasi sel terhadap stres atau karena agen perusak. Kerusakan sel dapat berkembang ke tahap reversibel dan kematian sel. Kerusakan yang berkelanjutan akan berkembang ke tahap ireversibel dimana sel tidak dapat pulih dan kemudian mati. Kerusakan reversibel mempunyai dua bentuk utama yaitu pembengkakan sel dan perubahan lemak. Sedangkan kematian sel dapat berupa nekrosis dan apoptosis (Kumar, dkk., 2013). Universitas Sumatera Utara