BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Merek memiliki dua

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Merek memiliki dua fungsi utama dalam perumusan strategi pemasaran
(Sujan & Bettman, 1989). Pertama, merek berperan dalam proses penentuan posisi
pasar dengan menciptakan persepsi merek dalam benak konsumen melalui
diferensiasi atribut merek atau karakteristik produk atau jasa pada kelas atau
kategori tertentu. Kedua, merek berperan dalam proses penentuan ceruk pasar
sasaran dengan menciptakan batasan pasar melalui keunikan produk atau jasa
yang ditawarkan perusahaan. Efektifitas implementasi strategi pemasaran ini
dapat dilihat dari ekuitas merek yang tercipta dalam benak konsumen. Merek
memiliki ekuitas positif/ negatif jika konsumen suka/ tidak suka dengan produk,
harga, promosi, atau distribusi merek jika dibandingkan dengan elemen bauran
pemasaran produk atau jasa yang belum jelas atau yang tidak memiliki nama.
Ekuitas merek yang positif akan berdampak pada peningkatan pendapatan,
efisiensi biaya, dan keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan (Keller, 1993).
Menurut Keller (1993), pengetahuan merek konsumen adalah inti dari
ekuitas merek pelanggan. Oleh karena itu, memahami apa yang ada dalam
pengetahuan merek konsumen dan strukturnya merupakan hal yang penting bagi
pemasar sebab dengan memahaminya maka pemasar akan mengetahui apa yang
ada dalam benak konsumen saat berpikir tentang merek. Lebih lanjut, Keller
membagi pengetahuan merek konsumen menjadi dua komponen utama, yaitu
1
kesadaran merek dan citra merek. Kesadaran merek yang tinggi dan citra merek
yang positif akan meningkatkan kemungkinan merek untuk dipilih konsumen
sehingga tercipta kesetiaan merek. Kesetiaan merek penting bagi perusahaan
sebab kesetiaan merek dapat mengurangi kerentanan perusahaan dalam
menghadapi kompetisi pasar sehingga memberikan jaminan profitabilitas bagi
perusahaan dalam jangka panjang.
Oliver (1999, pp.34) mendefinisikan kesetiaan merek sebagai:
“Komitmen yang dalam untuk kembali membeli atau berlangganan
produk/ jasa yang disukai secara terus-menerus dimasa yang akan datang,
dengan demikian menyebabkan pembelian berulang pada merek atau
seperangkat merek yang sama, meskipun pengaruh situasional dan upaya
pemasaran berpotensi menyebabkan perilaku peralihan merek.”
Lebih lanjut, Oliver membagi kesetiaan merek dalam tiga fase. Fase pertama
adalah fase kognitif dimana keyakinan dan pengetahuan atau pengalaman terkini
pelanggan terhadap merek terbentuk melalui paparan informasi atribut merek.
Fase kedua adalah fase afektif yang terjadi ketika adanya perasaan puas dalam
menggunakan merek sehingga kesenangan pelanggan terpenuhi. Adapun fase
ketiga adalah fase konatif yang menekankan pada keinginan berperilaku
pelanggan sebagai dampak dari perasaan positif yang berulang sehingga terbentuk
komitmen untuk melakukan pembelian ulang.
Pada fase kognitif, pelanggan sangat rentan terhadap paparan bauran
komunikasi pemasaran merek lain. Sedangkan pada fase afektif, saat pelanggan
dihadapkan pada perasaan puas hingga kesenangannya terpenuhi, pelanggan
memiliki kecenderungan untuk meminta lebih. Oleh karena itu, pada fase kognitif
dan afektif pelanggan sangat berpotensi melakukan perilaku peralihan merek.
2
Sehingga, fase ketiga yaitu komitmen untuk melakukan pembelian ulang, sulit
untuk dicapai. Perilaku peralihan merek disebabkan oleh banyak hal, salah
satunya adalah mencari variasi guna meningkatkan kepuasan (Givon, 1984).
Upaya pencarian variasi dilatar belakangi oleh beberapa faktor, meliputi: (1)
faktor intrapersonal yaitu timbulnya kejenuhan sehingga pelanggan berupaya
mencari kesenangan untuk memaksimalkan nilai konsumsi melalui pencarian
variasi; (2) faktor dari luar seperti perubahan harga dan produk baru; serta (3)
faktor ketidak pastian pilihan dimasa depan sehingga pelanggan berupaya
menemukan produk yang ideal (Ratner et al., 1999).
Meskipun kepuasan berpengaruh positif pada kesetiaan merek (Brakus et al.,
2009), namun kepuasan bukanlah indikator dari kesetiaan merek (Oliver, 1993).
Demikian halnya membuat pelanggan senang (customer delight) dengan
melampaui harapan mereka, yang justru menempatkan perusahaan pada posisi
yang tidak menguntungkan (Dixon et al., 2010; Rust & Oliver, 2000). Perusahaan
dikatakan berada pada posisi yang tidak menguntungkan sebab manusia
cenderung berperilaku oportunis. Dalam pemasaran, perilaku oportunis tercermin
dalam perilaku peralihan merek pelanggan. Perilaku oportunis ini dijelaskan
dalam Transaction Cost of Economics (TCE) sebagai kecenderungan manusia
untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya pada setiap kesempatan (Ghostal &
Insead, 1996). Sedangkan dalam teori keagenan, perilaku oportunis ini
digambarkan sebagai resiko seleksi dan moralitas yang dialami perusahaan karena
adanya kecenderungan manajer untuk menguasai sumber daya perusahaan demi
kepentingan pribadinya (Barney, 2007).
3
Sebagai upaya kontrol, TCE menerapkan mekanisme kontrol hirarkis
dengan memberikan sangsi kepada oportunis karena ketidak patuhannya.
Sedangkan dalam teori keagenan, perilaku ini dikontrol dengan menyewa
pengawas dari luar perusahaan. Adapun dalam konteks peralihan merek, perilaku
ini dikontrol dengan menciptakan persepsi resiko melalui ketidak pastian pasar,
ketidak pastian dalam bertransaksi, dan ketidak pastian kebutuhan (Mitchell,
1999). Salah satu persepsi resiko yang dihadapi oleh pelanggan yang inersia
adalah resiko finansial, yaitu biaya yang harus dikeluarkan jika pelanggan
melakukan peralihan merek. Persepsi biaya peralihan merek meliputi prosedural,
keuangan, dan relasional (Burnham et al., 2003), yang diciptakan melalui
berbagai program kesetiaan merek.
Namun, banyak faktor lain (the invisible hands) yang tidak dapat dikotrol
secara hirarkis, sehingga memicu lahirnya upaya kontrol sosial yang dinilai lebih
efektif dalam mengatasi perilaku oportunis. Dalam TCE, kontrol sosial berupaya
membangun motivasi dan komitmen internal seseorang secara informal melalui
kontrol dari masyarakat (Ghostal & Insead, 1996). Sedangkan dalam teori
keagenan, kontrol sosial ini dilakukan dengan memberikan kepercayaan kepada
manajer (Barney, 2007). Adapun dalam pemasaran, mekanisme kontrol ini
dilakukan dengan membangun hubungan antara pelanggan dengan merek, yang
disebut sebagai customer brand relationship (Fournier, 1998), yang digambarkan
sebagai suatu hubungan yang melibatkan partner yang aktif dan saling memiliki
ketergantungan satu sama lain; memiliki tujuan dan mampu memberi arti;
4
memberikan serangkaian manfaat; serta muncul dan berubah sepanjang waktu
(Fournier, 1998).
Selanjutnya, keterlibatan pelanggan dengan merek terbagi dalam tiga lapisan
(Schmitt, 2012). Lapisan pertama dan terdalam merupakan keterlibatan secara
fungsional, lapisan tengah terkait dengan relevansi merek secara personal, dan
lapisan terluar terkait dengan perspektif interpersonal atau sosiocultural. Semakin
luar suatu lapisan, semakin tinggi tingkat keterlibatan konsumen dengan merek,
dan semakin bernilai merek bagi konsumen. Dalam role theory dan self identity
theory diungkapkan bahwa seseorang memiliki lebih dari satu peran dalam
pertunjukan, sehingga kostumnya harus disesuaikan dengan peran utama apa yang
akan dimainkannya, yaitu sebagai individu ataukah anggota kelompok. Teori ini
juga mengungkapkan bahwa kepemilikan objek menunjukkan identitas unik
seseorang secara individu, yang sekaligus membantu mengomunikasikan identitas
kelompok (Solomon, 2013; Swaminathan et al., 2007); dan simbol terkait dengan
objek pada satu dari tiga cara yaitu menyerupai objek, terhubung dengannya, atau
mengikatnya secara konvensional (Mick, 1986). Sehingga, konsumen sebagai
“identity seeker and makers,” menggunakan merek yang bermakna simbolis
sebagai upaya mentransformasikan identitas dan lifestyle untuk merepresentasikan
atau mengomunikasikan konsep dirinya (Arnould & Thompson, 2005).
Kemudian, bagaimana merek dapat memberikan identitas penting bagi
seseorang hingga mampu mengekspresikan aspek dari diri seseorang ditentukan
oleh bagaimana merek terhubung dengan diri seseorang melalui suatu proses
identifikasi merek yang memiliki kesamaan dengan konsep dirinya. Dengan
5
melakukan penelusuran berbagai alternatif, konsumen memilih suatu merek
diantara berbagai merek lain yang dipersepsikan memiliki kesamaan dengan
konsep dirinya melalui tiga elemen. Pertama, konsumen harus memiliki asosiasi
merek yang dapat mengaitkan dirinya dengan merek meliputi karakteristik,
kepribadian merek, grup referensi, dan pengalaman pribadi. Kedua, konsumen
harus memiliki representasi konsep diri meliputi konsep dirinya saat ini, konsep
ideal dirinya, dan konsep dirinya dimasa yang akan datang yang selaras dengan
karakteristik dan cirikhas merek. Ketiga, konsumen harus melakukan proses
evaluasi kesesuaian untuk menentukan apakah citra yang dipersepsikan oleh
merek sesuai dengan konsep dirinya (Chaplin & John, 2005).
Meskipun pada dasarnya merek bukanlah makhluk hidup dan manajerlah
yang mempersepsikan merek seolah tampak hidup, namun dalam konteks
anthropomorphization, merek digambarkan memiliki emosi, pemikiran, dan
keinginan. Selain itu, dalam konteks psikologis dan sociocultural, merek
membentuk sikap dan perilaku seseorang melalui siklus hidup, jaringan sosial,
serta budaya yang mempengaruhi kuat-lemahnya suatu hubungan, jenis hubungan,
dan ekspresi emosional dalam menjalin hubungan, yang terbentuk melalui
pengalaman hidup pelanggan selama berinteraksi dengan merek (Fournier, 1998).
Hubungan yang terbentuk melalui pengalaman hidup pelanggan selama
berinteraksi dengan merek ini disebut sebagai pengalaman merek.
Brakus et al., (2009) mendefinisikan pengalaman merek sebagai:
“Tanggapan subjektif dari dalam diri konsumen (sensasi, rasa, dan
pemikiran) dan perilaku yang dipicu oleh stimuli merek yang merupakan
bagian dari desain dan identitas merek, kemasan, komunikasi, dan
lingkungan.”
6
Interpretasi merek terjadi saat pelanggan diekspos melalui berbagai atribut merek
yang menstimuli panca indra. Dalam the school of thought atau biasa dikenal
dengan gestalt psychology, yaitu seperangkat/ keseluruhan sistem pengetahuan/
pengalaman seseorang, diungkapkan bahwa otak cenderung mengintepretasikan
keseluruhan stimuli, mempelajari bagaimana pola dan konfigurasinya, yang
kemudian memaknainya dengan prinsip kedekatan (closure) dan kesamaan
(similarity).
Prinsip kedekatan menekankan bahwa terdapat kecenderungan seseorang
untuk mempersepsikan gambaran yang tidak lengkap dengan lengkap sehingga
otak mengisi kekosongan tersebut dengan pengalaman masa lalu. Adapun prinsip
kesamaan menekankan bahwa otak cenderung menyatukan objek yang memiliki
karakteristik yang sama sehingga sebagian figur akan mendominasi lainnya. Oleh
sebab itu, otak seringkali ambigu dalam mengintepretasikan sesuatu (Solomon,
2013). Ambiguitas intepretasi dapat disebabkan oleh false memory, yaitu
keyakinan yang salah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak terjadi tapi
terjadi, misalnya bayangan peristiwa yang terjadi di masa lalu, yang berdampak
pada sikap yang sekuat sikap yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya, yang
disebut sebagai false experience effect (Rajagopal & Montgomery, 2011).
Selanjutnya, bagaimana pengalaman merek dapat berpengaruh pada
kesetiaan merek dijelaskan dalam behavioral learning theories dan cognitive
learning theory, yang mengungkapkan bahwa perilaku dapat terbentuk secara
aktif maupun pasif. Secara aktif, perilaku terbentuk berdasarkan pengondisian atas
stimuli. Sedangkan secara pasif, perilaku terbentuk melalui suatu proses
7
pengamatan/ imitasi perilaku orang lain (Solomon, 2013). Pengalaman positif
(feels good experience) terhadap suatu merek yang terangkai melalui stimuli
panca indra, akan membentuk emosi, kognisi, dan pengalaman konsumen secara
menyeluruh terhadap merek (Dolbec & Chebat, 2013). Sebagai hasil dari evaluasi
pelanggan secara menyeluruh atas merek, pengalaman seseorang terhadap suatu
merek dapat memprediksi tindakan spesifik dan reaksi psikologis pelanggan saat
berinteraksi dengan merek. Saat pelanggan merasa senang dengan hubungan yang
terbangun selama berinteraksi dengan merek, maka pelanggan memiliki
kecenderungan untuk memberikan kepercayaan dan apresiasi terhadap merek,
mengulang pengalaman yang sama, dan tidak ingin berpindah meskipun terdapat
alternatif merek lainnya, sehingga komitmen dan kesetiaan pelanggan terhadap
merek terbentuk (Brakus et al., 2009).
Berdasarkan penelusuran literatur, penelitian terkait dengan pengaruh
pengalaman merek terhadap kesetiaan pelanggan belum banyak dilakukan.
Penelitian terdahulu lebih menitik beratkan pada pengalaman pelanggan (Meyer &
Schwager, 2007; Frow & Payne, 2007), terutama pengalaman produk (Woodruff
et al., 1983; Mangleburg et al., 1998; Huffman, 1998; Mascarenhas et al., 1998;
Hock, 2002; Bernacchi, 2006; Lakshmanan & Krishnan, 2011; Rajagopal &
Montgomery, 2011), pengalaman konsumsi (Arnould & Price, 1993; Ratner et
al., 1999; Diamond et al., 2009; Morrison & Crane, 2007), serta pengalaman
terhadap pelayanan dan atribut toko (Padgett & Allen, 1997; Debra & O’Cass,
2004; David, 2010).
8
Sedangkan, penelitian tentang pengalaman merek, meskipun sudah
dilakukan oleh Zaichkowsky & Simpson (1996), Thompson & Arsel (2004), serta
Diller & Steve (2008), namun konseptualisasi dan pengukuran konstruk ini baru
dirumuskan oleh Brakus et al. (2009). Lebih lanjut, penelitian terdahulu terkait
dengan pengalaman merek lebih menitik beratkan pada perluasan merek (Kim &
Sullivan, 1998), keinginan membeli (Yoo et al., 2012; Biedenbach & Marell,
2010), identitas nasional (Bulmer et al., 2010), ekuitas merek (So et al., 2010;
Zarantonello et al., 2010), strategi merek (Clatworthy, 2012), hubungan
pelanggan (Lee & Soo, 2012), kepribadian merek (Keng et al., 2013), keterikatan
merek (Dolbec & Chebat, 2013), serta sikap merek (Shamim & Butt, 2013),
sehingga penelitian terkait dengan pengaruh langsung pengalaman merek terhadap
kesetiaan merek masih sangat terbatas.
Brakus et al. (2009) dalam penelitiannya telah menguji pengaruh
pengalaman merek terhadap kesetiaan melalui kepribadian merek dan kepuasan,
serta menyarankan untuk melakukan penelitian lanjutan keseluruhan dimensi
pengalaman merek terhadap aspek persepsi, emosi, penggunaan secara kreatif,
serta interaksi yang mungkin terjadi antara konsumen dengan merek. Penelitian
lanjutan telah dilakukan oleh Dolbeck & Chebat (2013), namun terbatas pada
pengaruh pengalaman merek terhadap aspek emosi melalui konstruk keterikatan
merek serta aspek evaluasi yang tercermin dalam sikap merek, dan belum
mencakup dua aspek yang lain yaitu aspek persepsi yang menggambarkan asosiasi
seseorang terhadap merek dan aspek interaksi.
9
Lebih lanjut, Chaplin & John (2005) mengungkapkan bahwa hubungan
antara merek dan pemakainya terbentuk melalui suatu “proses” pencarian
kesamaan antara identitas diri pemakai dengan citra yang melekat pada merek
melalui asosiasi terhadap merek, representasi konsep diri, serta evaluasi
kesesuaian antara konsep diri dengan citra merek. Proses mengindikasikan bahwa
masing-masing elemen seharusnya terintegrasi dan pengujian dilakukan secara
berurutan (sequence), namun belum ada penelitian terdahulu yang menguji
pengaruh tersebut. Oleh sebab itu, penelitian lanjutan terkait dengan pengujian
pengaruh pengalaman merek terhadap aspek interaksi behavioral yang tercermin
dalam kesetiaan merek yang dimediasi oleh aspek asosiasi, representasi konsep
diri, dan evaluasi yang tercermin dalam kepribadian merek, keterikatan merek,
serta sikap merek, sangat dibutuhkan.
Penelitian secara menyeluruh diperlukan sebab penelitian yang spesifik yang
terbatas pada konsep tertentu tidak selalu dapat diterapkan secara luas, demikian
halnya dengan penelitian yang lebih luas yang melibatkan banyak variabel, yang
belum tentu dapat diterapkan pada konsep yang lebih spesifik, sehingga kedua
pendekatan dibutuhkan untuk saling melengkapi. Dengan demikian, kontribusi
utama penelitian ini adalah memberikan suatu gambaran menyeluruh (integrative
framework) dengan menguji hubungan masing-masing variabel yang meliputi
pengalaman merek, kepribadian merek, keterikatan merek, sikap merek, serta
kesetiaan merek, baik secara parsial, simultan, maupun sequence. Secara parsial,
hubungan antar variabel belum banyak dilakukan. Sedangkan secara simultan dan
sequence, belum ada peneliti yang secara langsung mengintegrasikan hubungan
10
yang terbangun antara pengalaman merek terhadap kesetiaan merek yang
dimediasi oleh kepribadian merek, keterikatan merek, serta sikap merek. Lebih
lanjut, penelitian ini menguji, diantara hubungan yang terbangun, hubungan
manakah yang memiliki pengaruh paling besar. Dari hasil pengujian tersebut,
analisis dilakukan untuk mengambil kesimpulan, apakah mediasi dapat dilakukan
atau tidak.
1.2. Rumusan Masalah
Melalui implementasi berbagai perspektif teoritis, baik dari ranah ekonomi,
keuangan, sosiologi, psikologi, maupun pemasaran, penelitian ini berupaya
mengungkap bagaimana perilaku oportunis, yang merupakan sifat alamiah dasar
manusia, yang telah secara mendalam dikaji oleh para ekonom, ternyata tidak
hanya terjadi pada ranah ekonomi saja, akan tetapi juga terjadi pada ranah
pemasaran, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Sebagaimana upaya kontrol
atas perilaku ini telah diformulasikan oleh para ekonom, penelitian ini bermaksud
memberikan suatu argumentasi logis terkait dengan implementasi upaya kontrol
atas perilaku ini pada ranah pemasaran, dengan didasarkan pada berbagai
perspektif teoritis yang mendukung argumentasi ini.
Secara spesifik, untuk mengaji argumentasi ini pada ranah pemasaran,
penelitian ini mengimplementasikan behavioral learning theories dan social
cognitive theory untuk menjelaskan proses terbentuknya kesetiaan merek melalui
pengalaman merek, kemudian perilaku peralihan merek sebagai bentuk dari
perilaku oportunis yang terdeteksi ada pada ranah pemasaran, dipaparkan
11
berdasarkan transaction cost of economics (TCE). Melalui sudut pandang TCE,
penelitian ini kemudian mengaji penerapan upaya kontrol dalam bidang
pemasaran, dan ditemukan bahwa selama ini perilaku peralihan merek telah
dikontrol secara hirarkis dengan membangun persepsi resiko, sedangkan upaya
kontrol sosial dilakukan dengan membangun hubungan antara pelanggan dengan
merek. Meskipun upaya kontrol ini telah diimplementasikan pada ranah
pemasaran, namun belum adanya pemahaman secara menyeluruh atas fenomena
ini, dan mengingat upaya kontrol hirarkis telah terbukti kurang efektif dalam
mengontrol perilaku oportunis, maka fokus utama penelitian ini lebih pada
implementasi upaya kontrol sosial dengan membangun hubungan antara
pelanggan dengan merek.
Hubungan antara pelanggan dengan merek digambarkan sebagai suatu
hubungan yang melibatkan patner yang aktif dan saling memiliki ketergantungan
satu sama lain; memiliki tujuan dan mampu memberi arti; memberikan
serangkaian manfaat; serta muncul dan berubah sepanjang waktu, yang terbentuk
dari pengalaman hidup pelanggan selama berinteraksi dengan merek. Pelanggan
sebagai seorang individu yang sekaligus sebagai anggota kelompok menggunakan
merek yang bermakna simbolis sebagai upaya transformasi identitas diri, untuk
merepresentasikan dan atau mengomunikasikan konsep dirinya (Arnould &
Thompson, 2005). Lebih lanjut, bagaimana merek dapat memberikan identitas
penting bagi seseorang ditentukan oleh bagaimana merek terhubung dengan diri
seseorang melalui suatu proses identifikasi, dimana konsumen harus memiliki
asosiasi merek yang dapat mengaitkan dirinya dengan merek; memiliki
12
representasi konsep diri baik konsep dirinya saat ini, konsep ideal dirinya, dan
konsep dirinya dimasa yang akan datang; dan memiliki evaluasi kesesuaian untuk
menentukan apakah citra yang dipersepsikan oleh merek sesuai dengan konsep
dirinya (Chaplin & John, 2005).
Mengingat hubungan antara pelanggan dengan merek terjadi melalui suatu
proses, maka pengujian argumentasi ini secara empiris dilakukan secara berurutan
(sequence), dimana aspek asosiasi diuji melalui kepribadian merek, aspek
representasi konsep diri diuji melalui keterikatan merek, dan aspek evaluasi diuji
melalui sikap merek. Berdasarkan penelusuran literatur, belum ditemukan
penelitian terdahulu yang menguji pengaruh pengalaman merek pada kesetiaan
merek dengan dimediasi oleh kepribadian merek, keterikatan merek, dan sikap
merek secara sequence sebagai suatu proses. Pengujian yang dilakukan oleh
Brakus et al. (2009), masih terbatas pada variabel kepribadian merek sebagai
pemediasi. Demikian halnya secara parsial, yaitu pengujian: pengaruh
pengalaman merek pada kepribadian merek (Kang et al., 2013), keterikatan merek
(Dolbec & Chebat, 2013), dan sikap merek (Shamim & Butt, 2013; Dolbect &
Chebat, 2013); pengaruh kepribadian merek pada kesetiaan merek (Lin, 2010;
Ghorbani & Mousavi, 2014); pengaruh keterikatan merek pada kesetiaan merek
(Thompson et al., 2005); pengaruh sikap merek pada kesetiaan merek (Liu et al.,
2012; Patwardhan & Balasubramanian, 2011); pengaruh kepribadian merek pada
keterikatan merek (Swaminathan et al., 2009; Louis & Lombart, 2010), dan
pengaruh keterikatan merek pada sikap merek (Ilicic & Webster, 2011), meskipun
sudah dilakukan, juga masih sangat terbatas.
13
Sebagaimana diungkapkan oleh Brakus et al. (2009) bahwa kesetiaan merek
terbentuk dari pengalaman merek, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dimana secara langsung kesetiaan merek terbentuk melalui stimulasi sensori dan
intelektual, sedangkan secara tidak langsung kesetiaan merek terbentuk melalui
suatu proses, maka penelitian ini menguji secara empiris pengaruh pengalaman
merek pada kesetiaan merek, baik secara parsial, simultan, maupun sequence.
Penelitian yang menguji gambaran menyeluruh (integrative framework) ini sangat
diperlukan sebab penelitian yang spesifik yang terbatas pada konsep tertentu tidak
selalu dapat diterapkan secara luas, demikian halnya dengan penelitian yang lebih
luas yang melibatkan banyak variabel yang belum tentu dapat diterapkan pada
konsep yang lebih spesifik, sehingga kedua pendekatan dibutuhkan untuk dapat
saling melengkapi.
Berdasarkan
pemaparan
permasalahan
tersebut,
peneliti
mengambil
keputusan untuk menguji pengaruh pengalaman merek pada kesetiaan merek yang
dimediasi oleh kepribadian merek, keterikatan merek, serta sikap merek baik
secara parsial, simultan, maupun sequence. Keputusan ini diambil sebab dari
sudut pandang peneliti, aspek asosiasi, identifikasi konsep diri, serta evaluasi
seharusnya terjadi sebagai suatu proses (Chaplin dan John, 2005), yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, sebagaimana fase kognitif, fase afektif, dan fase
konatif terjadi. Oleh sebab itu, peneliti menguji mediasi parsial (partial
mediation) hubungan antar variabel dalam penelitian ini, mengingat penelitian
sebelumnya telah melakukan pengujian pengaruh masing-masing variabel secara
14
parsial dan memiliki hasil yang positif, meskipun dilakukan pada konteks yang
berbeda.
Dengan demikian, rumusan masalah penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut: belum adanya suatu integrative framework yang menguji pengaruh
pengalaman merek pada kesetiaan merek dengan dimediasi oleh kepribadian
merek, keterikatan merek, dan sikap merek baik secara parsial, berurutan, maupun
simultan dalam konteks merek global di Indonesia.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan identifikasi permasalahan, pertanyaan penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
a. Apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada kesetiaan merek?
b. Apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada kepribadian merek?
c. Apakah kepribadian merek berpengaruh positif pada kesetiaan merek?
d. Apakah kepribadian merek memediasi hubungan antara pengalaman
merek dan kesetiaan merek?
e. Apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada keterikatan merek?
f. Apakah keterikatan merek berpengaruh positif pada kesetiaan merek?
g. Apakah keterikatan merek memediasi hubungan antara pengalaman
merek dan kesetiaan merek?
h. Apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada sikap merek?
i. Apakah sikap merek berpengaruh positif pada kesetiaan merek?
15
j. Apakah sikap merek memediasi hubungan antara pengalaman merek dan
kesetiaan merek?
k. Apakah kepribadian merek berpengaruh positif pada keterikatan merek?
l. Apakah keterikatan merek berpengaruh positif pada sikap merek?
m. Apakah kepribadian merek, keterikatan merek, dan sikap merek
memediasi hubungan antara pengalaman merek dan kesetiaan merek?
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menguji apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada
kesetiaan merek.
b. Untuk menguji apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada
kepribadian merek.
c. Untuk menguji apakah kepribadian merek berpengaruh positif pada
kesetiaan merek.
d. Untuk menguji apakah kepribadian merek memediasi hubungan antara
pengalaman merek dan kesetiaan merek.
e. Untuk menguji apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada
keterikatan merek.
f. Untuk menguji apakah keterikatan merek berpengaruh positif pada
kesetiaan merek.
g. Untuk menguji apakah keterikatan merek memediasi hubungan antara
pengalaman merek dan kesetiaan merek.
16
h. Untuk menguji apakah pengalaman merek berpengaruh positif pada
sikap merek.
i.
Untuk menguji apakah sikap merek berpengaruh positif pada kesetiaan
merek.
j.
Untuk menguji apakah sikap merek memediasi hubungan antara
pengalaman merek dan kesetiaan merek.
k. Untuk menguji apakah kepribadian merek berpengaruh positif pada
keterikatan merek.
l.
Untuk menguji apakah keterikatan merek berpengaruh positif pada sikap
merek.
m. Untuk menguji apakah kepribadian merek, keterikatan merek, dan sikap
merek memediasi hubungan antara pengalaman merek pada kesetiaan
merek.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dan evaluasi,
terkait dengan implementasi strategi merek bagi perusahaan.
b. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
merumuskan strategi dan kebijakan manajemen merek global.
c. Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang manajemen pemasaran.
17
Download