BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seorang bapa rohani bertanya kepada murid-muridnya: “Apakah awal mula doa itu?” Murid pertama menjawab: “Dalam kesesakan orang mulai berdoa. Bila orang menghadapi kesulitan, mereka mulai berdoa. Kalau saya terjepit, saya lari kepada Allah” Murid lain menyambung: “Bila saya bergembira, hatiku lupa akan segala ketakutan dan kecemasan, lalu terbang kepada Allah.” Yang ketiga berkata: “Dalam kesunyian. Kalau jiwaku tenang, aku suka berbicara dengan Allah” Murid keempat menjawab pertanyaan gurunya: “ Hanya jika aku dapat mengoceh seperti seorang anak kecil dan malu berceloteh di hadapan Allah. Dia besar dan aku kecil dan semuanya seperti semestinya.” Lalu bapa rohani angkat suara: “Jawaban kalian semua itu baik. Akan tetapi, ada suatu awal-mula yang mendahului semua apa yang kalian sebut. Doa dimulai pada Allah. Dialah yang memulainya, bukan kita.” (Mgr. K. Hemmerle, Dein Herz an Gotles Ohr) 1 Dalam percakapan di atas sesungguhnya doa dimulai pada Allah dan Allahlah yang memulainya. Dengan kata lain doa merupakan wahana dan mediasi untuk memupuk cinta manusia kepada Allah yang dihayati dalam kehidupan iman. Dalam doa Allah hadir menyapa manusia melalui kasih-Nya sehingga seseorang dapat merasakan kehadiran-Nya dalam sebuah perjumpaan yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Pengalaman akan Allah merupakan sebuah pengalaman dasariah manusia, di mana seseorang hanya menyiapkan diri untuk menerima cinta Allah melalui doa sebagai bentuk komunikasi dengan Allah. Pengalaman akan Allah juga biasa di sebut dengan pengalaman mistik. Mistik di sini merupakan pengalaman berjumpa dengan Allah. Menurut Koentoro Wiryomartono, SJ yang dikutip FX. Koesno 2 pengalaman mistik termasuk pengalaman religius. Sedangkan pengalaman religius sendiri didefinisikan sebagai pengalaman yang 1 Dikutip dari Adolf Heuken, SJ, Spritualitas Kristiani: Pemekaran Hidup Rohani Selama Dua Puluh Abad, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002), p. 13 2 F.X.Koesno, “Penghayatan Religius Manusia Jawa seperti Tokoh Bima dalam Pewayangan ”, dalam Mawas Diri, Thn. XVII, No. 2, (Yogyakarta, 1988), p.10 1 mendalam, yang merangkum kenyataan sedemikian menyeluruh sehingga manusia merasa terangkat ke dimensi yang lain yang melampaui batas-batas dirinya, rahasia yang kudus dan yang tak terungkapkan. Untuk bisa sampai pada pengalaman religius manusia membutuhkan mediasi sebagai wahana perjumpaan dengan Allah. Mediasi tersebut dalam kehidupan umat Kristiani dikenal dengan doa sebagai wahana sambung rasa yang dituangkan melalui komunikasi dalam keheningan serta kontemplasi yang mendalam kepada Allah. Melalui pengalaman religius manusia mengenal Allah secara lebih dekat dalam hubungan yang sangat pribadi, di mana manusia hanya membuka diri dan menyiapkan hati untuk menerima perjumpaan itu. Menurut Tom Jacobs 3 pengalaman mistik bersifat pasif, pengalaman itu ditentukan oleh misteri ilahi yang memasuki manusia. Dan pengalaman mistik itu bersifat “total” melalui pengalaman mistik orang merasa diri diubah secara total, ditangkap dan dikuasai seluruhnya oleh misteri ilahi. Juga budinya dibuka sampai bisa diisi seluruhnya oleh misteri Allah. Bicara tentang Allah akhirnya harus bermuara pada pengalaman bersama Allah untuk menjadikan hidup ini bermakna dan penuh arti 4 . Kehidupan beriman seseorang yang secara mendalam dihayati sebagai bentuk dari cinta kepada Allah merupakan sebuah ungkapan iman yang dituangkan dalam suatu relasi yang sangat personal, sehingga secara alamiah relasi yang dibangun atas dasar iman tersebut membawa manusia kepada pengalaman perjumpaan. Melalui pengalaman itulah manusia berjumpa dengan Allah dalam hidupnya dan menjadikan pengalaman itu sebagai arah baru bagi kehidupan manusia. Gereja Katolik Roma memiliki tradisi yang begitu kuat dihayati oleh umatnya yaitu devosi kepada orang-orang kudus, di mana penghayatan tersebut dituangkan melalui suatu bentuk perjalanan ziarah ke suatu tempat sakral dan suci. Ziarah dilakukan secara pribadi ataupun berkelompok, dengan tradisi tersebut umat begitu menghayati imannya yang diwujudnyatakan dalam sebuah devosi kepada Tuhan Yesus, Bunda Maria atau orang-orang kudus. Penghayatan devosi begitu melekat dan nampak dalam kehidupan umat Katolik. Devosi sebuah pengahayatan iman umat yang bertumbuh melalui tradisi yang dibaktikan kepada orang kudus sebagai wujud dari kesetiaan terhadap Allah. Kata 3 Tom Jacobs, “Mistik”, dalam Majalah Rohani, (Yogyakarta, 1992), p. 362 St. Darmawijaya, Pr, Tanda-tanda Kehadiran Allah: Kisah Pengalaman Akan Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), p.7 4 2 “devosi” berasal dari bahasa Latin devotio 5 (dari kata kerja: devovere), yang berarti “kebaktian”, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti’. Maka menurut arti katanya, devosi menunjuk sikap hati dan perwujudannya, dalam mana seseorang mengarahkan diri kepada seseorang atau sesuatu yang dijunjung tinggi dan dicintai. Dalam devosi umat Katolik ungkapan iman dituangkan dalam ziarah ke gua Maria yang merupakan suatu kebaktian yang ditujukan kepada Bunda Maria. Dalam kalangan umat Katolik, “gua” rupanya mempunyai makna khusus. Dalam “gua” itulah diceritakan bahwa Yesus lahir. Maria menampakan diri kepada Bernadet juga di gua. “Gua “ seakan menjadi simbol kehadiran Maria. Gua Maria ada di mana-mana. Boleh saja apakah Maria secara historis hidup dan tinggal di gua, namun yang jelas gambaran tempat itulah yang melekat di hati umat. Di tempat itulah umat berkumpul, berdoa, menyampaikan keluhkesahnya kepada Bunda Maria. Ke tempat itulah umat datang berduyun-duyun dan orang sakit mohon kesembuhan. Atau kalau tidak bisa datang sendiri, cukuplah orang menitipkan seberkas niat dan permohonannya agar dibakar di depan patung Maria dan sepulangnya dibawakan air sendang sudah tenanglah hatinya. “Devosi rakyat” semacam itu terjadi secara spontan, dan melibatkan perasaan (afeksi, emosi, yang sentimental juga) secara menyeluruh 6 . Gejala ini di satu pihak menimbulkan kekaguman, dan di pihak lain menunjukan suatu kenyataan, ada kehausan di hati umat. Melalui penghayatan iman itulah umat menjadi hidup, mereka merasakan pengalaman bersama Allah dalam hidup berziarah dan dengan devosi yang demikian mereka menemukan pengalaman yang menjadikan hidup mereka penuh arti dan makna dalam menghayati hidup keberagamaan. Di kalangan teologi Katolik, ada yang membedakan antara dua taraf pengalaman religius, yaitu pengalaman religius yang khusus Kristiani dan pengalaman religius yang lebih umum. Pengalaman religius yang umum itu tarafnya fundamental, lebih dekat pada asalusul hidup keagamaan, sedangkan pengalaman Kristiani merupakan pengalaman yang telah berkembang 7 . Menurut asumsi sementara penyusun bahwa pengalaman religius yang dimiliki umat peziarah di Sendang Jatiningsih masuk dalam kategori pengalaman 5 E. Martasudjita, Pr. Pengantar Liturgi Makna: Sejarah dan Teologi Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), p.143 6 Fr. Nitiprawira, “Devosi Rakyat”, dalam Majalah Rohani, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), p. 192-193 7 Niko Syukur Dister, OFM, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius,1988), p. 29 3 religius yang lebih bersifat umum. Ini nampak dalam ekspresi devosi mereka, selain melibatkan emosi serta perasaan, penghayatan devosi tersebut banyak meminjam simbolsimbol lokal, seperti adanya air sendang kemudian bunga-bunga atau ratus (dupa) yang digunakan dalam devosi umat peziarah. Menurut Geertz8 yang kudus di mana saja dalam dirinya mengandung sebuah rasa kewajiban intrinsik: yang kudus tidak hanya mendorong rasa bakti, melainkan juga menuntutnya; tidak hanya menimbulkan persetujuan intelektual, melainkan juga komitmen emosional. Dalam prakteknya devosi Maria begitu hangat dihayati peziarah dengan ekspresi yang diungkapkan kepada Maria sebagai ibu Yesus.Ungkapan tersebut diwujud-nyatakan dengan mempersembahkan lilin, bunga mawar dan terlebih sikap hormat pada Bunda Maria yang diekpresikan sebagian umat dengan berlutut ataupun sujud kepada bumi sebagai bentuk penghormatan yang besar terhadap Bunda Maria 9 . Sendang Jatiningsih merupakan salah satu tempat ziarah yang ada di pulau Jawa dan di tempat inilah umat datang secara berkelompok atau secara pribadi untuk berdoa kepada Maria. Sendang Jatiningsih ramai dikunjungi oleh umat Katolik pada bulan Maria dan Rosario (Mei dan Oktober) juga ketika perayaan ekaristi malam Jumat pertama. Perayaan misa dilakukan di sekitar pelataran lokasi ziarah yang berada di alam terbuka. Peziarah yang mengikuti perayaan misa begitu hikmat, walaupun hanya duduk beralaskan selembar kertas koran ataupun tikar yang mereka bawa sendiri 10 . Selain sebagai tempat ziarah, Sendang Jatiningsih merupakan wahana doa yang menjadi tempat berkumpulnya umat yang datang dari berbagai penjuru tempat yang sedang berziarah untuk menghayati imannya di dalam konteks hidup beriman mereka. Aktivitas kerohanian yang ada di Sendang Jatiningsih antara lain jalan salib dengan merenungkan 14 peristiwa sengsara Yesus sampai pada kematian-Nya. Oleh sebab itu di lokasi ziarah terdapat 14 stasi (perhentian) jalan salib. Selain rute jalan salib terdapat juga gua Maria, biasanya umat berdoa di depan gua tersebut baik secara pribadi ataupun berkelompok. 8 Clifford Geertz, Kebudayaan & Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), p.50 Merupakan hasil observasi penyusun ketika berada dilokasi ziarah 10 Merupakan hasil observasi penyusun ketika menghadiri perayaan misa Jumat pertama 1 April 2005 9 4 Banyak di antara peziarah yang datang merupakan umat Katolik yang berasal dari kota Yogyakarta dan luar kota. Ini dapat terlihat dari plat nomer kendaraan mereka yang di parkir di area Sendang Jatiningsih. Di antara peziarah yang penyusun temui, mereka mengungkapkan perasaanya bahwa mereka merasa hikmat ketika berdoa di tempat tersebut karena menurut mereka berdoa di rumah banyak mengalami gangguan. Sedangkan berdoa di gereja sangat terikat dengan aturan liturgis yang ketat dan kaku sehingga mereka lebih bebas mengekpresikan doa secara pribadi di Sendang Jatiningsih. Ada juga di antara peziarah yang penyusun temui bahwa berdoa di tempat tersebut lebih tenang karena langsung berada di tengah-tengah alam terbuka, di mana hutan dan sungai yang ada sangat membantu keheningan doa yang dilaksanakan oleh umat 11 . Keberadan Sendang Jatiningsih sebagai wahana doa mampu menampung aspirasi rohani umat Katolik yang sedang menjalani kehidupannya. Melalui Sendang Jatinigsih peziarah yang kehilangan motivasi hidupnya menemukan kembali kekuatan baru di tempat itu. Di tengah arus kehidupan jaman modern ini orang seringkali disibukan dengan aktifitas bekerja demi memenuhi tuntutan ekonomi. Di tengah situasi tersebut perlahan-lahan orang mengalami krisis batin dan setiap orang memiliki kerinduan akan suasana yang tenang untuk dapat melepaskan beban hidupnya dan mengkomunikasikan pergumulan hidupnya bersama Allah melalui doa. Doa adalah penggerak agama. Tanpa doa, agama adalah upacara adat atau kebudayaan saja. Maka, titik awal bukanlah agama, dan segala peraturannya mengenai doa, melainkan doa pribadi yang timbul dari hati 12 . Dewasa ini banyak orang modern yang juga terpengaruh oleh berbagai macam gerakan spiritual yang menawarkan diri secara instan untuk dapat mengatasi bahkan melepaskan kepenatan kehidupan yang kian hari menuntut vitalitas yang tinggi. Paus Yohanes Paulus II 13 pernah menegaskan tentang doa Kristiani. Ia prihatin, bahwa dewasa ini demikian banyak ragam kehidupan rohani yang menawarkan diri. Itu terjadi karena kultur yang terbuka, di mana agama lain juga menawarkan pengaruhnya. Dalam keadaan demikian, betapa perlu kita menggembangkan sendiri seni doa, yang khas Kristen dan setia pada tradisi Gereja. Umat Kristen jangan menjadi sasaran bagi pengaruh yang belum tentu sesuai dengan tradisi Gereja. Umat harus menjadi tanah dan tempat, di mana “sekolah doa”, yang khas 11 Merupakan observasi penyusun ketika mengikuti misa pada malam Jumat pertama 1 April 2005 Tom Jacobs, SJ, Teologi Doa, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), p. 23 13 Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Rosarium Virginis Mariae, 16 Oktober 2002 12 5 Kristen bisa didirikan. Ungkapan Paus tersebut merupakan penegasan kembali bahwa umat Kristiani memiliki bentuk kesalehan rohani yang juga patut untuk dihayati dan sesuai dengan tradisi gereja. B. POKOK PERMASALAHAN Berangkat dari pemahaman bahwa kehidupan beragama tidak hanya cukup untuk dipahami dan dimengerti saja, tetapi setiap orang tentunya memiliki penghayatan iman dan menumbuhkembangkan keyakinannya melalui pengalaman bersama Allah. Di antara ragam penghayatan kerohanian yang ada salah satunya penghayatan iman melalui devosi Maria adalah gejala yang sangat besar dalam perkembangan devosi umat Katolik. Melalui devosi itulah umat peziarah mengungkapkan keluhkesah kehidupannya bersama Allah melalui perantara Bunda Maria dalam devosi. Dalam praktek devosi Maria umat peziarah begitu menghayati iman mereka sebagai wujudnyata dari ungkapan iman kepada Allah melalui Bunda Maria, ini juga bisa dipahami bahwa situasi yang terjadi saat ini membuat orang semakain mencari kekuatan iman dengan memupuk relasi pribadi dengan Allah lewat devosi membuat umat peziarah menemukan kekuatan baru untuk terus menjalani kehidupannya. Dari pemaparan di atas penyusun merumuskan suatu permasalahan yang muncul ketika melihat pengalaman religius dalam praktek penghayatan umat peziarah melalui devosi Maria di Sendang Jatiningsih. Penyusun merumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut : Devosi seperti apakah yang dihayati oleh umat peziarah di Sendang Jatiningsih? Pengalaman religius macam apa yang dimiliki oleh umat peziarah di Sendang Jatiningsih? C. JUDUL Dari permasalahan di atas maka penyusun merumuskan judul dalam skripsi ini dengan : PENGALAMAN RELIGIUS PEZIARAH MELALUI DEVOSI MARIA DI SENDANG JATININGSIH Sebuah Tinjauan Antropologis-Teologis 6 D. TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan skripsi ini bukan semata-mata hanya ingin mengetahui apa itu devosi Maria?Tetapi tujuan yang lebih penting adalah : Belajar dari pengalaman religius umat peziarah di Sendang Jatiningsih Belajar dari semangat devosional umat peziarah dalam pengahayatan iman di Sendang Jatiningsih E. METODE PENELITIAN DAN PENULISAN E.1. Metode penelitian E.1.a. Metode Literer atau kepustakaan Metode ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber literatur atau kepustakaan yang ada untuk dijadikan sebagai masukan bagi penyusun dalam penulisan skripsi ini. Adapun sumber literatur tersebut diperoleh dari buku-buku, artikel-artikel, majalah atau buletin, makalah seminar dan lain-lain. E.1.b. Metode penelitian lapangan observasi partisipatif Untuk menggali dan mengumpulkan data lapangan penyusun berpartisipasi dalam praktek devosi Maria di Sendang Jatiningsih dalam rangka menyebarkan angket serta mengadakan wawancara dengan peziarah. Selama observasi ini penyusun telah melibatkan diri bersama sebuah kelompok peziarah selama 1,5 tahun terhitung dari Februari 2003 sampai September 2004. Untuk lebih dalam menggali pengalaman religius peziarah, penyusun menggunakan wawancara terfokus. Yang dimaksud wawancara terfokus adalah mendekati metode angket, angket bersifat tertulis, sedangkan wawancara terfokus bersifat lisan 14 . Sasaran yang di wawancarai adalah : 1. Kelompok Peziarah yang merupakan sebuah komunitas yang penyusun ikuti 2. Koster Sendang Jatiningsih yang setiap hari berada di lokasi ziarah 3. Suster Tarekat Caritas Klepu Godean 4. Pastor pembantu Paroki Gereja Katolik St. Petrus&Paulus Klepu Godean Yogyakarta. 14 John Mansford Prior, Meneliti Jemaat Pedoman Riset Parsipatoris, (Jakarta: PT. Garemedia, 1997). p. 95 7 Metode penelitian dimaksudkan suatu sistem peraturan-peraturan, prinsip-prinsip, dan prosedur yang mengatur suatu penyelidikan ilmiah. Dengan kata lain, ia menjelaskan kaitan antara gagasan teoritis dan data lapangan. Termasuk di dalamnya asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang menjadi landasan penelitian, serta dasar-dasar atau kriteria yang digunakan peneliti untuk menginterpretasikan data dan menarik kesimpulan 15 . Adapun proses penelitian partisipatif dilalui dengan berbagai tahapan yaitu: 1. Tahap persiapan : Merumuskan permasalahan 2. Tahap Penelitian lapangan: Menentukan pendekatan Memasuki medan penelitian Pengamatan serta Menggali data lapangan melalui kuisioner dan wawancara Membuat catatan lapangan 3. Tahap akhir penelitian: Mengolah dan menganalisis data lapangan Meninjau dan menilai Menarik sebuah kesimpulan untuk dikembangkan dalam refleksi teologis. E.2. Metode Penulisan Deskriptif Analitis Interpretatif Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan metode penulisan deskriptif analitis interpretatif, yaitu mendeskripsikan devosi Maria serta penghayatan peziarah di Sendang Jatiningsih dan kemudian menganalisisnya serta menginterpretasikan simbol-simbol religius yang terdapat di Sendang Jatiningsih dari aspek antropologi agama dan teologi. F. SISTEMATIKA PENULISAN Agar penulisan ini mudah diikuti alur berpikirnya maka penyusun membuat sistematika menjadi 5 bab. Adapun pembagiannya sebagai berikut: 15 Ibid, p. 5-6 8 Bab. I : Pendahuluan Bagian ini merupakan pendahuluan yang berisi latarbelakang, pokok permasalahan, rumusan judul, metode dan sistematika penulisan. Bab. II: Devosi Maria dalam Tradisi Gereja Katolik Pada bagian ini penyusun membahas penghayatan serta praktek devosi Maria yang ada dalam tradisi Gereja Katolik menurut teologi devosi Maria. Unsur-unsur yang terdapat di dalam teologi devosi Maria merupakan bentuk penghayatan iman umat Katolik sebagai ungkapan iman mereka. Bab. III: Sendang Jatiningsih dalam Penghayatan Umat Pada bagian ini penyusun mendeskripsikan data lapangan, yaitu letak geografis lokasi ziarah serta simbol-simbol yang ditemukan di lapangan yang merupakan media penghayatan umat peziarah, kemudian data lapangan tersebut dianalisis dari aspek antropologis dan teologis. Bab. IV: Refleksi Kritis Terhadap Pengalaman Religius melalui Devosi Maria di Sendang Jatiningsih Pada bagian ini penyusun membuat suatu refleksi kritis terhadap pengalaman religius umat peziarah melalui devosi Maria dan penghayatan terhadapnya dan penyusun juga akan membuat sebuah refleksi alkitabiah tentang pengalaman religius dalam devosi. Bab. V : Penutup Bagian ini berisi kesimpulan akhir dari keseluruhan pembahasan dan disertai saran-saran yang sekiranya diperlukan bagi kehidupan devosional. 9